Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Wah ini suhu nympherotica ni yang dulu buat cerita 2 weeks fuck-cation kan? Welcome back huu, selamat berkarya lagiii.
 
Chapter 4 — School Fun





"Coba lidahnya dijulurin."

Aku langsung ngejulurin lidah, mengikuti intruksi Bu Siska. Untuk beberapa saat, Bu Siska mengamati lidahku sambil sesekali mengeluarkan suara "hmmm" yang aku ga tau maksudnya apa.

"Huhah hehom, Hu?"

"Udah, kok." Bu Siska lalu duduk di sampingku, di ranjang UKS.

"Jadi, kesimpulannya gimana, Bu?"

"Ya... setelah Ibu amati, lidah kamu panjang juga, Dea."

Aku langsung mengernyit. "Yah, Bu... kirain tadi mah meriksa kesehatan aku, kayak dokter-dokter gitu. Kan kalo dokter suka ngeliat ada indikasi penyakit dari warna lidah yang berubah, tuh. Kirain Ibu juga gitu, tadi."

Bu Siska ketawa mendengar protesku. Teteknya yang gede banget itu berguncang-guncang mengikuti gerak tawanya. "Ya tadinya emang gitu, maksudnya. Cuma Ibu sekalian iseng." Bu Siska kemudian memberiku termometer suhu badan. "Dijepit di ketiak. Kalo warna lidah kamu normal, kok."

Aku kembali melakukan intruksi Bu Siska. Karena badanku sekarang sensitif banget, jadi saat termometer menyentuh ketiakku, langsung terasa geli yang menyengat di bagian itu. Aku hampir kelepasan mau mendesah, tapi buru-buru kutahan supaya Bu Siska ga curiga.

"Berapa lama ini dijepitnya, Bu?"

"Satu menit, ya." Lalu Bu Siska beranjak dari ranjang, menuju lemari. Dibukanya lemari, mencari sesuatu. Kayaknya sedang mencari obat. "Ibu suka sebel, deh. Kalau abis ambil obat, suka pada ga taruh di tempatnya lagi. Kan jadi susah nyarinya."

"Emang aku mau dikasih obat apa?"

"Parasetamol aja, dulu. Badan kamu panas, soalnya."

"Bu, udah semenit." Aku buru-buru ngelepasin termometer dari jepitan ketiakku. "Nggg... ini berapa, ya?"

"Mana, coba Ibu liat." Bu Siska mengambil termometer yang kusodorkan. Raut wajahnya langsung berubah heran. "39,6 derajat. Ini kamu serius cuma ngerasa panas aja badannya, Dea?"

Aku mengangguk, polos.

"Ga ada keluhan lain? Ini badan kamu panas banget, bukan anget lagi. Coba tes lagi," katanya, sambil menyodorkan termometernya lagi padaku.

Kuulangi proses mengukur suhunya, dan hasilnya tetap sama. Bu Siska keheranan, karena seharusnya dengan suhu badan setinggi itu, aku sudah kejang-kejang. Tapi aku justru menunjukkan gejala sebaliknya. Tetap tenang, ga merasa demam, dan hanya sesekali berkeringat dingin. Tapi aku memang masih merasakan rasa panas di seluruh badan seperti hari-hari kemarin, sih. Bukan panas demam, lebih ke... panas horny.

"Nih, parasetamolnya diminum dulu. Ibu mau bikin surat pengantar ke guru piket, supaya kamu diijinin pulang lebih dulu."

"Kan... aku ga kenapa-kenapa, Bu."

"Dea, badan kamu tuh panas banget. Ibu yang khawatir kalau kamu masih ngotot tiduran di UKS, bukannya ke dokter."

"Kan Ibu sering obatin murid-murid yang dateng ke UKS, jadi sama aja kayak aku ke dokter, kan?"

"Dea," Bu Siska mencubit pipi bulatku, "Ibu tuh guru Biologi, bukan dokter. Ngaco amat sih, kamu."

Kalau aku disuruh pulang, berarti aku ga bisa lagi masturbasi di UKS sampai sisa jam pelajaran, dong? Masalahnya, aku sudah horny lagi, dan aku ga akan bisa bebas masturbasi kalau di rumau, karena ada kedua orang tuaku.

Tapi untung banget Bu Siska datang ke UKS setelah aku selesai bersih-bersih lantai dari pipisku sendiri. Pintu yang kukunci dari dalam, kasih aku cukup waktu untuk beresin seragamku. Lalu, karena ga ada alat pel di ruangan ini, jadi aku pakai alternatif untuk bersihin lantainya. Coba tebak pakai apa? Jaketku. Sekarang sebagian jaketku basah. Mana sedang kupakai untuk nutupin seragamku yang tembus pandang, lagi.

"Kamu tunggu di sini, ya. Ibu mau ke meja piket guru, ngasih surat pengantar. Nanti kalau kamu sudah boleh pulang, kamu bisa telepon orang tua kamu untuk minta jemput. Oke?"

Aku mengangguk pelan. Lalu kuamati Bu Siska yang sedang berjalan ke pintu. Kuamati lebih detil. Bu Siska ini punya badan yang seksinya kayak pemain bokep. Teteknya gede banget, sampai seragam gurunya kelihatan sesak dan ketat. Bagian lain yang ketat di seragam Bu Siska adalah pantatnya. Besar, bulat, dan kelihatan menggoda. Saat Bu Siska berjalan membelakangiku, pandangan mataku ga bisa berpaling dari pantatnya.

Sepeninggal Bu Siska, aku jadi mengkhayal yang engga-engga. Ngebayangin kalau Bu Siska telanjang, pasti badannya seksi banget. Teteknya yang gede itu jadi menggantung karena sudah ga disangga bra. Aku jadi ngebayangin, kalau aku lagi ngeremesin tetek Bu Siska. Ah... rasanya pasti enak banget di telapak tanganku.

Bayangin Bu Siska bikin aku makin horny. Apalagi kalau inget wajah cantiknya. Rasanya... aku pengen cium bibirnya. Mau aku lumat, basahin pake liur. Duh, fantasiku jadi makin liar! Gila, gila, gila! Padahal Bu Siska dan aku tuh sama-sama cewek, tapi kenapa aku juga bisa terangsang sama Bu Siska?

Apa ini juga efek obat perangsangnya, jadi bikin aku bisa terangsang dengan gender apapun? Ga tau, deh. Yang jelas, sekarang aku habis menyibak rok ke atas, dan mulai elus-elus memekku lagi sambil ngebayangin Bu Siska. Aku tahu, aku tahu. Harusnya aku ga begini. Aku bisa aja ketahuan Bu Siska, atau murid lain yang masuk ke ruangan ini. Maksudku, bahkan Bu Siska ngebiarin pintu UKS terbuka, dan sekarang aku lagi masturbasi sambil menghadap ke pintu!

Tapi sensasi masturbasi sambil harap-harap cemas takut ketahuan justru bikin aku makin dan makin horny! Aku justru makin nekat. Kupejamkan mata, biar bisa lebih fokus ngebayangin Bu Siska. Sementara kedua tanganku aktif ngeremesin tetek dan gesekin memekku. Rasa cemas takut ketahuan orang lain, justru malah bikin aku sengaja ingin ketahuan.

"Ahhh... ahhh... Bu... Ibu... badannya seksi banget... ngghhh... ga tahan banget liat badan Ibu, sshhh..."

Aku mainin lagi klitorisku, diputar-putar dan dipilin-pilin. Aku pun mendesah keenakan saat kacang itu kumainin. Sementara kedua tanganku sibuk dengan puting dan klitoris, kedua kakiku menegang, jadi tumpuan bagi pantatku yang sekarang spontan ku angkat tiap kali rasa enak dari klitoris menjalar ke seluruh badan.

"Bu... ahhh, ahhh... Bu Siska... aku... aku... m-mau... mmm... oohh, oooh, ooohh... Bbbuuu... akuuUUUUU PIPPPIIISSS—"

Buru-buru kugigit lengan kiriku agar suara erangan orgasmeku ga keluar ke luar ruangan. Gigitanku makin keras, seiring rasa enak yang datang bertubi-tubi menghajar memekku. Meski masih memejam, tapi aku bisa rasain jari-jari dan telapak tangan kananku basah oleh muncratan pipisku sendiri, dan aku pasrah saja kalau pipisku tumpah bermuncratan ke sprei.

Orgasmeku bikin aku lupa segalanya. Yang ada di kepalaku cuma rasa enak yang bikin aku bahagia.

Setelah badai orgasme mereda, badan tegangku yang terangkat-angkat tadi, langsung merebah lemas ke ranjang. Mataku memejam erat, bibirku megap-megap mencari udara. Aku mencoba atur nafas. Satu, dua. Satu, dua. Pelan, pelan...

Spontan, aku pun tersenyum. Ternyata bermasturbasi sambil bayangin orang lain itu menambah sensasi enaknya, deh. Aku jadi ketagihan, dan mau ngelakuinnya lagi di rumah. Tentu, bahan fantasinya masih Bu Siska. Masih banyak skenario yang mau kubayangin dengannya di dalam kepalaku.

Tapi, tepat saat aku mulai membuka mata lagi, aku melihat orang yang tadi kujadikan objek fantasi, sekarang sedang berdiri tepat di sisi ranjangku. Kedua alisnya naik, bibirnya tersenyum lebar. Lalu, dia menggelengkan kepala.

"Kenapa manggil-manggil Ibu, Dea? Kamu lagi bayangin Ibu lagi ngapain di kepala kamu?" tanya Bu Siska, dengan nada meledek.

Aku... langsung meneguk ludah. Tenggorokanku tercekat, ga bisa bersuara. Bahkan, bibirku terlalu kaku untuk membuka.


———


Di ruang UKS yang terkunci dari dalam dan hanya ada aku dan Bu Siska, aku menunduk malu sambil menceritakan semuanya ke Bu Siska. Ga semuanya banget, sih. Ada bagian yang terpaksa harus aku rombak, supaya masalahnya ga melebar. Aku mengaku ke Bu Siska, kalau tiga hari yang lalu, aku ga sengaja minum obat perangsang cair yang kukira obat suspensi untuk maag. Efek obatnya begitu kuat, sehingga aku jadi terangsang terus tiap waktu, bahkan setelah berhari-hari.

Aku menghilangkan bagian Pak Jumadi, dan perkosaan yang dia lakuin. Sisanya, ya... aku jujur saja. Sudah kepalang basah. Aku juga jujur ke Bu Siska, kalau sebelum Bu Siska datang menengokku di UKS, aku sudah masturbasi berkali-kali.

"Jadi, dari asumsi kamu, panas badan kamu yang sampai 39 derajat—"

"—39,6 derajat, Bu."

"Iya, segitulah," Bu Siska menghela nafas panjang, "jadi itu karena efek panas dari obat, yang bikin kamu terangsang terus-menerus?"

Aku mengangguk malu.

"Terus, udah berapa kali kamu masturbasi hari ini?"

Sekarang, aku mengangkat bahu.

"Kamu lupa hitungannya? Oke, Ibu ganti pertanyaannya. Kapan aja... masturbasinya?"

Aku berpikir sejenak. Kuhitung-hitung momen masturbasiku. "Di kamar pas baru bangun, di kamar mandi... terus... sama di UKS ini. Udah, itu aja, Bu."

"ITU. BANYAK. YA. DEA." Bu Siska menghela nafas lagi. "Maaf, Ibu kekencengan ngomongnya. Tapi Dea, Ibu harus peringatin kamu, terlalu banyak masturbasi itu ga baik buat fisik dan psikis kamu."

"Iya, aku tau, Bu. Di artikel yang aku baca juga bilangnya gitu."

"Kalau udah tau, kenapa masih ga bisa dikendaliin hasratnya?"

"Ya... ga bisa ketahan lama-lama, Bu. Aku udah coba, tapi susah. Kalau aku berusaha ga masturbasi, aku jadi gampang panik, stress, susah fokus, pikiran isinya yang jorok-jorok mulu. Susah, Bu."

Bu Siska tampak memijit-mijit keningnya. Kayaknya dia pusing mikirin aku. Ini bikin aku jadi merasa bersalah. Akhirnya, aku menunduk lagi. Malu. Ga berani tatap Bu Siska.

"Siapa aja yang tau kelakuan kamu?" tanya Bu Siska, kini suaranya lebih dipelanin.

"Ga ada. Cuma aku aja." Ga deng, ada Pak Jumadi yang tahu. Tapi ga mungkin aku bilang, kan?

"Oke. Ibu juga akan jaga ini tetap jadi rahasia. Tapi Ibu minta, Ibu minta tolong banget sama kamu, Dea, jangan diulangi yang tadi."

Aku pun heran dengan maksud omongannya. "Masturbasinya yang jangan diulangi, Bu?"

"Bukan, sikap ga hati-hati kamu itu." Bu Siska menoleh ke arah pintu UKS, bikin aku ikut menoleh ke arah yang sama. "Kalau aja tadi bukan Ibu yang masuk ke sini, bisa habis kamu, Dea. Kamu itu siswi berprestasi di sekolah, bisa hancur citra kamu kalau kamu ketahuan lagi... ya, gitu lah."

Nggg... aku jadi makin heran, nih. "Jadinya, aku tetep boleh masturbasi, Bu?"

"Engga, ga boleh. Harusnya ga boleh. Tapi kalau menurut kamu itu susah, tolong, hati-hati banget ngelakuinnya. Ngerti?"

Aku mengangguk tanda mengerti. Lalu, dimulailah ceramah Bu Siska soal dampak mengerikan masturbasi. Ceramah yang berlangsung puluhan menit, dan ga fokus kudengarkan karena ada distraksi yang menggangguku: wangi parfum yang dipakai Bu Siska.

"...Jadi, kita akan cari cara supaya bisa menetralisir efek obat perangsang yang kamu minum. Kamu masih simpen botolnya, kan? Pasti masih ada sisa obatnya, dan Ibu bisa meneliti kandungan di dalamnya apa aja, dan jadi bisa tau cara kerja obatnya mempengaruhi bagian apa aja di badan kamu. Besok, Ibu minta kamu bawa botolnya ke sekolah, terus kasih ke Ibu. Ngerti, ga?"

Ah... ini wangi parfum apa, sih? Enak banget wanginya, bikin aku pengen ngendus langsung dari sumbernya aja. Bukan, bukan botol parfum sumbernya, tapi sumber yang lain. Badan Bu Siska.

"Dea? Halo?"

"Oh, iya Bu? Kenapa, Bu?"

"Kamu ga dengerin Ibu ngomong ya dari tadi?" tanya Bu Siska. Mukanya tampak kesal.

"Denger kok, Bu. Sampe di 'bawa botolnya ke sekolah', kan?"

"Terus apa yang kamu bengongin?"

"Parfum Ibu. Wanginya enak banget, kerasa sampai ke kepala, Bu," jawabku, lirih. Nafasku mulai memburu.

"Oh, ini merk—eh, Dea? Kamu ga...."

Aku menunduk. Kedua tanganku saling mengepal. Pahaku saling merapat erat. "Aku... horny, Bu. Maaf. Maaf."

Bu Siska, lagi-lagi menghela nafas panjang. Entah sudah keberapa kali dia menghela nafas panjang saat bersamaku hari ini. "Karena wangi parfum Ibu?"

Aku mengangguk, pelan. "Maaf, Bu. Tiba-tiba aja... dan ga bisa aku kendaliin..."

"Tapi kata kamu, ada interval dari habis orgasme sampe kamu terangsang lagi, kan? Berarti bisa kamu tahan, dong, dengan asumsi kamu terakhir masturbasi itu yang pas kamu ketahuan Ibu."

Sekarang aku menggeleng. "Ga tau, Bu. Ini rasanya beda. Kepala aku pusing, ga bisa... fokus sama sekali. Terus... detak jantung aku cepet banget. Rasa mau masturbasinya kuat banget, Bu."

Aku terus menunduk, ga berani lihat Bu Siska. Cukup lama hening berada di antara kami. Semakin lama heningnya, semakin aku ga bisa menahan hasrat ingin masturbasi. Tapi aku terlalu takut sama Bu Siska untuk nekat ngelakuin itu sekarang juga. Tapi, tapi... makin kutahan, makin tersiksa rasanya.

Setelah sekian hening, Bu Siska akhirnya menghampiriku. Dia menyentuh bahuku. Ada rasa kesetrum yang intens saat Bu Siska menyentuhku, dan membuat rasa hornyku meningkat drastis.

"Dea, kamu bisa... ngelakuin itu di ranjang. Ibu ijinin," kata Bu Siska, yang bikin aku langsung ngelihatin dia dengan tatapan ga percaya.

"Ngelakuin... apa, Bu?" tanyaku, retoris. Aku tahu maksudnya, tapi cuma mau meyakinkan saja.

"Ya... itu, supaya kamu rileks. Ibu temenin."

Aku menatap Bu Siska lebih lama. Pipinya memerah, kelihatan jelas di wajah cantiknya yang putih. Bu Siska kadang menggigit bibirnya sendiri, lalu ketika sadar kuperhatikan, dia langsung salah tingkah.

"Kalau kamu bengong, nanti Ibu berubah pikiran."

Aku mengangguk mengerti, lalu bangun dari kursi tempat kami mengobrol, untuk menuju ranjang. Kurebahkan diriku, membuat diriku tiduran senyaman mungkin. Sementara Bu Siska menarik kursi untuk duduk di sebelah ranjangku.

Jujurnya, sih, ada rasa malu karena mau masturbasi saja harus dilihat guruku sendiri. Tapi rasa horny ngalahin rasa canggungku. Kulebarkan paha, dan kusingkap rok abu-abu. Memek basahku pun kini terekspos bebas. Lalu, kumulai sesi masturbasiku dengan mengelus-elus memekku, pelan. Kunikmati sentuhan erotis ini. Jari-jariku bergerak perlahan menyusuri belahan memekku yang sudah berlendir. Lalu kuarahkan jari telunjuk dan tengahku untuk menggesek bibir memek. Kutekan-tekan juga bagian itu, dan kadang kuapit bagian bibir luar memekku dengan dua jari karena gemas dengan bentuk memekku yang tembem itu.

Aku ga berani menatap Bu Siska secara langsung, jadi aku curi-curi pandang ke arahnya lewat ekor mata. Bu Siska tampak sedang mengamatiku bermasturbasi. Mukanya kelihatan serius banget. Ga ada yang bicara di antara kami.

Ku mulai lagi rangsangan yang lebih intens pada memekku. Aku mulai berani mengelus-elus klitorisku yang sudah membengkak. Tiap kusentuh, aku mengejang geli. Klitorisku enak banget saat disentuh, dan aku langsung ketagihan ingin menyentuhnya lagi. Terus... kusentuh bergantian antara klitorisku, lalu turun ke bawah ke lubang memekku, kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang yang telah basah itu, kukeluarkan lagi... kuoles cairan memekku ke sekitar bibir memek, dan terakhir ke klitorisku.

"Hhmmmpp... aahhh, aahhh... uuuhhh... ssshh... aaahhh..."

Aku mulai berani mendesah di hadapan Bu Siska. Kuulangi pola stimulasi pada memekku, sampai seluruh bagian memekku sudah basah dan licin. Lalu, kupercepat temponya. Ini membuat desahanku jadi makin kencang dan liar.

"Ahhh... enak... ooohhh... geli... ahhh, ahhh... klitorisnya enak... aauuuhh... nngghh..."

Karena Bu Siska diam saja, jadi aku berinisiatif untuk bertanya. "Bu... boleh, ga... aku... nggghhh... bayangin Ibu... lagi?"

Bu Siska ga menjawab dengan kata-kata. Cuma anggukan pelan yang dia beri sebagai tanda persetujuannya. Aku yang menengok ke arahnya saat Bu Siska mengangguk, langsung tersenyum lebar.

"Aaahh... Ibu wangi... aku suka banget wanginya... bikin... bikin... ooohhh... bikin horny, Bu... nngghhh... tau ga, Bu? Aku suka banget... ahhh, ahhh... sama badan Ibu. Seksi, montok... padahal... padahal aku juga cewek, Bu... tapi aku suka banget sama badan Ibu."

Aku hampir ga percaya kalau kata-kata sekotor itu keluar dari mulutku, dari aku yang selama ini dikenal santun dan penuh prestasi, yang alim dan bisa jaga ucapan. Tapi kontradiksi seperti ini yang justru makin bikin aku horny. Lalu, aku mulai fokus memasukkan jariku. Sambil mencolok-colok memek dengan satu jari, desahanku jadi makin liar.

"Aku lagi bayangin Ibu telanjang... bayangin badan seksi Ibu aku peluk... aku jilatin... terus... ke tetek Ibu... teteknya gede... aku bisa benamin muka di belahannya... uuhhh... pasti wangi banget teteknya, ya, Bu? Aku pasti kesenengan banget... ahhh, ahhh... aku remessss... teteknya... ahh, Bu, aku udah gila banget pasti... ngebayangin cabulin guru sendiri... aahhh, maafin aku, Bu... mmmpphhh..."

Selanjutnya, cuma racauan liar yang keluar dari mulutku. Aku terlalu fokus bermasturbasi, sampai baru sadar kalau badanku selalu bergetar dan tegang tiap kali telapak tanganku menyentuh klitoris. Akhirnya, kembali jariku bermain di daging kecil itu, demi mengejar rasa geli dan enak yang intens.

Diluar dugaan, Bu Siska meraih tangan kananku yang dari tadi menggenggam erat besi pinggir ranjang. Disentuhnya punggung tanganku, lalu digenggam. Aku merespon sentuhan Bu Siska. Kulepas saja genggamanku pada besi, lalu gantian kugenggam tangan Bu Siska. Bersentuhan tangan dengannya malah bikin aku makin tenggelam dalam birahi.

Di momen ini, aku kayaknya sudah ga tertolong lagi.

"Bu... Bu... klitorisnya geli banget... ahhh, ahhh, ahhh... aku maininnnhhh... ahhh, geli, geliii... pengen pipisss... aahhh, Ibu... tangannya halus banget, Bu... ahhh... Bu Siska, Bu... aahhh... Bu Sis—"

Jantungku hampir copot ketika Bu Siska tiba-tiba melumat bibirku yang meracau, dengan bibirnya! Bibirnya aktif mengulum bibirku, melumat dan membasahinya dengan liar. Ga butuh waktu lama juga bagiku untuk beradaptasi. Aku pun mengimbangi lumatan bibirnya. Bibir kami saling berpagutan, bergantian antara bibir atas dan bawah. Aku ga peduli sebasah apa bibirku sekarang karena liur kami berdua, tapi yang jelas aku nikmatin banget bibir Bu Siska yang lembut ini.

Bu Siska sejenak melepas pagutan bibirnya dariku. Dia menarik wajahnya, sedikit. Wajah kami begitu dekat. Aku bisa ngerasain nafasnya yang memburu.

"Mmhhh... Bu... kok aku dicium—"

Bu Siska kembali melumat bibirku. Kali ini lebih liar. Aku sampai kesulitan mengimbangi permainan bibirnya yang lincah. Bahkan, kali ini Bu Siska mengikutsertakan lidahnya. Lidah itu masuk lewat bibirku yang membuka, bersentuhan dengan lidahku untuk mengajaknya beradu. Kami berpagutan, saling melumat, dan saling bermain lidah dalam pacuan birahi yang menggebu.

Lalu aku rasain ada sesuatu yang... cair, yang masuk ke mulutku, saat kami berpagutan dan bermain lidah. Bu Siska ternyata sengaja memberi liurnya ke mulutku. Anehnya, aku suka diperlakukan begitu. Kuhisap lidah beserta liur Bu Siska. Kutelan sampai habis, lalu Bu Siska memberiku liurnya lagi, kutelan lagi, dan berulang berkali-kali. Aku bahkan ga merasa jijik sama sekali.

Sementara bibirku sibuk meladeni bibir Bu Siska, tangan kiriku masih aktif menggesek-gesek klitorisku sendiri. Tapi ada sensasi mendadak yang bikin aku kaget; tiba-tiba Bu Siska masukin satu jarinya ke dalam memekku. Aku ga tahu jari yang mana, tapi aku rasa jarinya masuk makin dalam, lebih dalam... menyusuri dinding atas liang memekku. Lalu...

"HHHHNNGGGGGGGGGG—"

Eranganku tertahan karena mulutku masih disumpal mulut Bu Siska. Tapi aku yakin, Bu Siska tahu alasanku mengerang; jarinya yang masuk ke liang memekku begitu dalam, sampai menyentuh suatu titik yang ketika dia tekan, rasanya bikin aku menggelinjang ga karuan saking enak sensasinya. Titik itu pun dia tekan berkali-kali, digesek-gesek cepat. Badanku otomatis menyentak-nyentak ga kuat menahan kenikmatan baru yang intens banget ini. Ditambah gesekan klitoris dengan jariku sendiri, kenikmatan yang aku rasain di memekku jadi berkali-kali lipat rasanya.

"HHNNGGG... MMMPPHHH... MMMPPPHHH... HHHH... MMMHHH... MMMHH, MMHHH, MMMHHH, MMMFFHHHH, ENNGGGHHHRRHHHH..."

Aku orgasme, aku orgasme, aku orgasme! Pipisku menyembur deras tanpa bisa kutahan, dan aku bisa mendengar suara becek dari pipisku yang bermuncratan ke tangan Bu Siska, yang, masih terus mengocok memekku tanpa ampun. Aku bahkan ga bisa minta Bu Siska untuk berhenti, karena bibir dan lidahnya sengaja masih terus menyumpalku.

"NNGG... NNNGGG... HHHH... MMMHHHH," dengan susah payah, akhirnya aku bisa lepas dari lumatan bibir Bu Siska, "BU... BU... GELI BANGET, AKU KELUARRR... AKU KELUARRR... AKU PIPPIIISSSSS... BBBBAANYAK BANGETTTT... AKU... PIPP—"

Bibirku kembali berhasil dilumat Bu Siska. Kali ini lebih lihai sehingga aku ga bisa ngelepasinnya. Sementara di bawah sana, memekku sedang dikocok-kocok oleh jarinya tanpa ampun, tanpa jeda. Aku sudah ga tahu berapa kali aku pipis karena kocokan jari Bu Siska, karena tiap selesai pipis, Bu Siska masih terus mengocok memek sensitifku sehingga orgasme lainnya langsung menyusul tanpa jeda.

Tiba-tiba, Bu Siska mencabut kasar jarinya dari dalam memekku, dan bikin aku kelojotan ga karuan. Pahaku spontan merapat, kakiku melipat erat, badanku mengejan-ngejan heboh. Bu Siska tetap melumat bibirku, sambil menikmati badanku yang ga bisa menahan badai demi badai orgasme. Tapi permainan bibir dan lidahnya berangsur-angsur melambat, seiring badanku yang makin rileks. Sampai ketika aku sudah tenang, Bu Siska melepas kuluman bibirnya.

Tampak seutas jaring liur yang membentang di antara bibir kami berdua saat Bu Siska menarik wajahnya dariku.

"Dea," Bu Siska tampak tersengal, mukanya merah banget, nafasnya memburu cepat, "pulangnya Ibu anter aja, ya. Tapi mampir dulu ke rumah Ibu. Ada tugas dadakan yang harus kamu kerjain."

Mendengarnya, aku langsung tersenyum lebar. Badanku merinding, ngebayangin tugas macam apa yang akan dikasih Bu Siska ke aku.

"Kalau udah segeran, rapih-rapih, ya," katanya lagi, sambil membelakangiku. Lalu, Bu Siska melihat ke sekeliling, seperti mencari sesuatu. "Eh, iya. Ibu perhatiin kamu ga pake celana dalem, ya? Celana dalem kamu kemana, Dea?"

Aku cuma bisa tersenyum kikuk dalam merespon pertanyaannya. "Eng... ga bawa, Bu. Aku ga pake daleman dari rumah," jawabku, sambil cengengesan.

Bu Siska spontan menengok ke arahku lagi, lalu menggelengkan kepala. "Gila banget kamu," katanya.





Nympherotica♡
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd