Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Lorem Ipsum Dolor Sit Amet (All I Wanna do is Keep on Loving You) END

Status
Please reply by conversation.
Episode 06

I Met the Grumpy & Fell in Love With



Sepertinya, aku mulai menyukai dirinya, Nadila.


.

.

.

Entah kenapa, dalam pikiranku hanya ada Nadila. Seolah duniaku hanya berputar disekitarnya. Bahkan, dadaku terasa sesak hanya karena memikirkan dirinya.

Nadia Cindi Wantari, teman sekelasku yang juga merupakan member dari idol group yang masih asing ditelingaku. Seseorang yang awalnya hanya menjadi hindrance disaat aku ingin hidup normal. Entah mengapa, hampir setiap presentasi pola pikir kami sering berseberangan. Orang yang keras kepala, bahkan dialah yang menyebabkan kami mendapat masalah hingga tersesat di Vietnam. Hingga sampai malam itu, malam dimana aku tidak bisa menahan diri hingga merenggut kesuciannya.

Aku bisa saja pergi, tidak menghiraukan dirinya karena memang apa yang terjadi bukan karena kesalahanku. Namun, entah kenapa, hati kecilku berkata lain. Hatiku sakit saat melihatnya bersedih. Membuatnya kembali ceria sungguh membuatku ikut bahagia.

Ah, aku ingin bertemu dengannya.

Harus!

“Sepertinya aku harus pergi,” ucapku kepada kedua gadis yang sedang beradu mulut ini. Setelah Anin memergokiku dan Aurel yang sedang bercinta, dia kemudian menyindir Aurel. Aurel yang tidak terima lantas naik pitam. Mereka bersitegang, saling melemparkan kalimat pedas dan tatapan sinis. Mereka baru berhenti bicara, saat melihatku beranjak dan tergesa mengenakan pakaianku.

“E-eh kak kok malah pergi? Aku nggak maksud lho, Kak,” ujar Anin yang malahan sekarang seperti tidak enak kepadaku.

“Lho Kakak mau kemana? Jangan pergi, dong, Kak.” Aurel merajuk dengan wajah memelas.

“Maaf ya Rel, tapi harus ada yang aku selesaikan saat ini, maaf ya!”

Aku bergegas keluar dari rumah kost, meninggalkan mereka berdua, menuju mobil. Kuambil gawai dari saku celana dan mencari sebaris nama dalam daftar kontak. Dengan perasaan tak menentu, kutekan ikon hijau berbentuk gagang telepon.

NADILA CINDI

Tuuuuuut …”

“Tuuuuuut … Tuuuuut …”


Sialan! Baru mendengar nada sambungnya saja sudah membuat jantungku berdebar kencang. Hingga akhirnya terdengar bunyi gemerisik.

“Halo, Nad?”

“Ha-halo, Jan?”

Suara ini, yang sering membuatku gelisah. Suara yang sanggup membuatku tak berdaya dihantam rindu. Suara yang pemiliknya ingin kutemui saat ini juga. Akupun menghela nafas cukup panjang, mencoba mengatur kegugupanku.

“Nad, bisa kita ketemu?”

.

.

.

***
NADILA

Cinta. Mungkin kata tersebut terdengar sederhana. Tuhan seperti menciptakan satu kata, cinta. Namun aku pikir, setiap insan di muka bumi ini punya interpretasi masing-masing mengenai kata cinta itu sendiri. Banyak orang rela melakukan apa saja, bahkan hal yang terlihat bodoh sekalipun, hanya karena mereka ingin mendefinisikan kata “cinta” itu sendiri. Sama seperti diriku.

Ya, diriku.

Diriku yang mungkin terlihat bodoh karena mencintai dia.

Januar Hadiwinata, si murid pindahan yang awalnya sangat menyebalkan. Sering sekali mengajak debat karena hal detail didalam kelas. Namun dia juga pria yang selalu menjadi pelindung saat aku berada dalam masalah. Seperti saat berada di Vietnam. Dan juga, saat malam itu. Malam dimana akhirnya aku harus merelakan kesucianku terenggut olehnya.

Aku seharusnya marah, geram bahkan membenci pria tersebut. Tapi, aku bisa apa? Semua yang terjadi juga karena kesalahanku sendiri bukan? Dimulai salah menanggapi kepanikan Mama, dan juga minuman itu, yang membuatku lepas kontrol dimalam tersebut.

Namun, dia juga pria yang hadir ditengah kegundahanku karena hal tersebut, menghiburku dan membantuku sekuat tenaga agar aku kembali bahagia.

Ya, aku bahagia bersamanya, aku merasa aman bila di dekatnya. Terasa seperti ada yang dapat kuandalkan. Apakah ini cinta?

“Woy, Nad. Ngelamun mulu. Lu mikir jorok ya?

Rachel yang berseru kepadaku membuyarkan lamunan. Tiba-tiba, suhu didalam mobil ini terasa meningkat. Perjalanan menuju Prambanan bersama Rachel dan Saktia, kedua temanku, terasa amat lama.

“Lu lagi mikirin cowok ya, Nad? Siapa, tuh, namanya? Jono?” Tuding Rachel yang berada di kursi depan.

“Apaan sih Hel, sok tau banget sih lu,” sergahku.

Halah, enggak usah bohong, deh. Keliatan kali, Nad. Muka lu merah, tau!” Rachel terkekeh sambil menatap lewat kaca spion tengah. Aku gelagapan sambil memegang pipiku yang terasa memanas.

“Si Nadila kenapa, Hel? Jono siapa?” Tanya Saktia yang berada dibalik kursi pengemudi.

“Itu kak, cowoknya Nadila. Bule loh kak. Kemaren juga yang beliin tiket pesawat Nadila kan dia. Dia lagi galau si Jono ga ada kabar.”

“Lu gosip mulu deh, Hel!” Aku melempar bantal ke arah Rachel. “Dia temen sekelasku di kampus kok, Kak Sak. Lagian namanya juga Januar, bukan Jono.”

“Ho … jadi cowo lu namanya Januar, Nad? Wuih member nakal, nih, udah mulai pacar-pacaran,” tukas Saktia yang malah ikut-ikutan menggodaku. Gelak tawa terdengar membahana di dalam mobil. Senang sekali mereka sepertinya, karena berhasil membuatku tak bisa berkata apapun, hanya mengernyitkan dahi kearah mereka.

“Kalo kangen ya lu telpon lah Nad.” Saktia memberikanku saran. Terdengar mudah, namun terasa berat kulakukan.

Benar, aku rindu. Bahkan sekarang aku resah. Janu belum menghubungiku kembali. Aku ingin tahu apa yang sedang dia kerjakan, bagaimana keadaannya. Berulang kali, tanganku urung menekan ikon gagang telepon, kala menemukan nama Janu dalam daftar kontak di ponsel. Berulang kali pula, aku mengetik sebaris kalimat dalam aplikasi chat, lalu menghapusnya. Begitu terus. Aku bingung, apa yang harus kukatakan?

“Aku nggak tau harus ngomong apa Kak Sak.”

“Yaelah Nad, Gitu aja dipikirin. Gue kasih tau nih.” Saktia memberi isyarat lewat tangannya, supaya aku mendekat ke arahnya. Kemudian, ia menoleh.

“Lu telpon dia sekarang, terus ngomong. Jaan … I want you~ I need you~ I love you~

Aku mendengus, kesal. Sial, rasanya percuma saja aku serius mendengarkan ucapan mereka!

"Ciee ngambek. Ambekan nih member jeketi.” Gelak tawa mereka kembali menyeruak. Wajahku merengut kesal. Aku memilih diam dan menyandarkan tubuh pada kursi sambil menyilangkan tangan di dada.

Who knows how long I've loved you~

Gawaiku berbunyi. Jantungku berdegup kencang melihat sebaris nama yang tertera di layarnya.

JANUAR IS CALLING

Aku tak bisa menyembunyikan ekspresi bahagia dari wajah. Akhirnya, dia menghubungiku.

Ringtone lu ganti, Nad? Perasaan, pas kemaren nyokap lo nelpon bukan ini, deh,” tanya Rachel.

“Yah, dia malah bengong, angkat dong telponnya! Jangan-jangan dari si Jono nih.” Rachel terkikik. Aku melayangkan tatapan bingung pada Rachel yang berbalik ke arahku. Tapi, ekspresi wajahku sepertinya tidak membuat mereka iba. Mereka justru makin bersemangat menggodaku.

Gelagapan, aku akhirnya mengangkat telepon tersebut.

“Halo, Nad?”

Mendengar suaranya, aku merasa seperti melayang di udara.

“Ha-halo, Jan?”

Kamu masih lama disana?”

“Sampe akhir minggu ini, Jan. kenapa?”

“….”

“Nad, bisa kita ketemu?”

***


.

.

.

“Kamu aja Jan yang kesini, aku tunggu ya!”

Entah, ucapannya seperti menjadi perintah yang harus segera kulakukan. Atau, itu hanyalah alasan semata agar aku bisa bertemu dengannya? Aku tidak peduli.

Yang jelas, sekarang aku ada disini, di kota yang sama dengan Nadila, Yogyakarta.

Sialnya, aku yang seharusnya bisa tiba jam delapan, justru malah ketinggalan pesawat. Aku harus menunggu penerbangan selanjutnya satu jam kemudian. Menunggu selama satu jam, kini terasa seperti sepuluh tahun.

Aku tak henti-hentinya melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Berharap semoga dia tidak marah karena aku datang terlambat.

Dari kejauhan, mataku menangkap sosok gadis yang kukenal. Melihatnya melambaikan tangan kepadaku, membuatku semakin mempercepat langkah kaki.

Penantianku tak sia-sia. Gadis yang berdiri tepat di depanku sedang tersenyum manis.



“Aku enggak nyangka kamu mau kesini, Jan.”

“Aku hanya ingin cepat ketemu kamu, Nad.” Kugenggam kedua tangannya, hangat. Terasa Nadila pun membalas genggaman tanganku. Waktu serasa terhenti saat kami saling bertatapan.

EH-HEM!”

Suara tersebut lantas membuyarkan tatapan mata kami. Kulihat, ada dua orang gadis yang menatap kami sambil menyeringai penuh arti. Sepertinya, aku belum pernah melihat mereka sebelumnya.

“E-eh iya Jan, kenalin ini temen-temen aku. Yang ini Rachel, kalo yang tinggi itu Kak Saktia.” Ujar Nadila sambil menunjuk dan memperkenalkan mereka satu-persatu. Aku menjabat tangan mereka satu-persatu.

“Kangen banget tuh kayanya, sampe tangannya ga bisa lepas gitu,” Ledek Saktia sambil mengedikkan dagu ke arah genggaman kami. Kami buru-buru saling melepaskan genggaman. Ternyata, dari tadi, tanganku masih memegang tangan Nadila. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal untuk menyembunyikan rasa malu. Rachel dan Saktia tak berhenti menggoda kami, hingga Nadila yang gugup menjadi makin salah tingkah.

Barang-barang kamu mana, Jan?” Tanya Nadila bingung melihat ke sekitarku.

“Aku nggak bawa apa-apa Nad. Sehabis telpon kamu, aku langsung pesen tiket dan pergi ke bandara.” Mata Nadila membulat, mulutnya menganga, seolah tak percaya aku bisa senekat itu demi bertemu dengannya. Aku memang tidak membawa apapun. Hanya berbekal dompet, gawai, beserta pakaian yang menempel di tubuh, aku nekat menjejakkan kaki di kota Pendidikan ini. Saktia bahkan sampai menggelengkan kepala.

“Gue kayanya harus cari bucin baru deh, Kak Sak,” ujar Rachel, cemberut. Saktia tertawa melihatnya.

"Udah, mending sekarang kita balik ke hotel. Lu udah ada tempat buat nginep, Jan?” Tanya Saktia. Aku menggelengkan kepala.

“Ya udah, lu ikut dulu. Semoga masih ada kamar kosong. Kalo enggak ada, lu tidur di mobil aja.” Nadila seketika panik, kemudian memasang wajah memelas pada Saktia.

“Gue bercanda kali Nad. Gue udah pesenin kamar di hotel kita juga. Gue yang ngasih ide biar dia kesini masa iya gue nggak tanggung jawab. Dah yok kita ke hotel sekarang, ngantuk nih gue.”

Kamipun berjalan mengekor kepada Saktia. Nadila terus merangkul lenganku menuju parkiran mobil. Bahkan didalam mobil, dia terus menggenggam tanganku. Perjalanan yang memakan waktu setengah jam menuju hotel terasa sangat cepat. Aku masih ingin bersama dengannya.

“Kak Sak, boleh aku ngajak Nadila jalan dulu?” Entah terpikir darimana tiba-tiba perkataan tersebut keluar dari mulutku.

“Yaelah, lu pikir gue emaknya Nadila? Ngapain pake minta ijin ke gue segala? Lu tanya sendiri dah, anaknya mau apa nggak?” Cibir Saktia. Sontak aku menoleh kearah Nadila, yang ternyata sudah menatapku penuh harap.

“Lu mah malah ngarep, Nad.” Ledek Rachel melempar bantal yang tadi dilempar oleh Nadila kearahnya.

Kedua teman Nadila itu seolah mengerti, setelah memberikan kunci kamarku, mereka meninggalkan kami yang masih berada di dalam mobil berdua saja. Aku kemudian mengajak Nadila pergi menikmati kota Yogyakarta diwaktu malam. Kutawarkan untuk mencari makan terebih dahulu, karena, jujur saja, makanan di pesawat tidak cukup mengenyangkan buatku.

Kami memutuskan untuk makan di sekitar alun-alun kota. Makan nasi gudeg, duduk lesehan, sambil menikmati suara pengamen jalanan yang ternyata cukup enak di dengar. Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol. Nadila yang ceria, kini sudah kembali lagi. Ia bercerita panjang lebar, seolah tidak akan kehabisan bahan obrolan.

Anehnya, aku menikmatinya. Dan untuk pertama kali, aku menikmati mendengar ocehan dari seorang perempuan. Duduk manis di sampingnya, sambil tak lepas memandangi cara dia berbicara.

Suasana masih cukup ramai padahal waktu sudah hampir mendekati tengah malam. Selesai makan Nadila memintaku untuk menemaninya berkeliling menaiki kendaraan yang penuh dengan kerlip lampu. Rasa lelah mengayuh kendaraan ini pun seketika hilang saat dirinya melempar senyum bahagia kearahku.

“Mereka sedang apa Nad?” Pemandangan unik tertangkap mataku. Beberapa orang yang menggunakan penutup mata berjalan kearah dua pohon beringin yang bersandingan.

“Oh, itu. Mereka lagi nyoba jalan masuk ke celah antara pohon itu, Jan. Katanya kalo berhasil, keinginan mereka bakalan terkabul. Kamu mau nyoba?” Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya.

“Keinginanku buat ketemu kamu sudah terkabul, Nad. Buat apa aku melakukan hal itu?”

Aku terheran melihat Nadila yang tiba-tiba gelagapan. Aneh, padahal udara terasa sejuk namun dia malah mengipasi wajahnya yang bersemu merah.

“Kalau keinginan kamu apa, Nad?”

“Ah ….”

.

.

.

Melihatnya bahagia menghilangkan rasa kantuk dan lelah yang mulai menerpa tubuh. Ocehannya seolah menjadi energi tambahan meskipun sudah hampir 24 jam aku terjaga dan sekarang berkendara sejauh lebih dari tiga puluh kilometer. Namun, saat mobil mulai mendekati tempat tujuan, suasana seketika menjadi hening. Ternyata Nadila sedang tertidur.

Bahkan hingga mobil terparkir di area wisata, Nadila masih tertidur. Hari ini cukup melelahkan memang. Membiarkannya beristirahat lebih lama sepertinya tidak buruk. Jarum jam menunjuk ke angka pukul tiga lebih lima belas menit. Waktu fajar menyingsing sepertinya masih cukup lama. Ya, saat kutanya keinginannya di alun-alun tadi, Nadila berucap ingin melihat Golden Sunrise di perbukitan daerah Magelang. Tempat yang menjadi terkenal karena menjadi tempat shooting sebuah film di tahun 2016.

Kurebahkan badan yang sudah mulai terasa pegal. Sambil bersender, kumiringkan tubuhku kearah Nadila. Wajahnya terlihat merengut walaupun sedang tertidur. Ah, kenapa aku suka sekali melihat wajah tersebut. Seakan tidak ada bosannya untuk dipandang. Ingin aku menatap wajahnya dengan lebih lama lagi namun entah kenapa mata ini semakin lama semakin berat.

.

.

.

Serasa ada yang mengelus pipi saat kubuka mata dengan perlahan. Sinar mentari mulai menyorot saat aku menatap jendela depan. Matahari sudah terbit tenyata. Eh? Terbit? Aku yang terperanjat kaget seketika bangkit. Nadila yang berada disebelahku hanya tersenyum. Sial, kami melewatkan sunrise yang diidamkan olehnya.

“Maaf Nad aku ketiduran.” Aku meminta maaf kepadanya. Cukup lama sepertinya aku tertidur.

“Nggak apa-apa Jan, makasih ya udah mau ngajak aku kesini.”

Aku yang merasa tidak enak hanya menundukkan kepala, tidak berani menatap wajahnya. Namun tak lama, Nadila mulai mengelus kembali pipiku kemudian mengangkat wajahku agar menatap kearahnya.

“Aku nggak apa-apa Jan. Kita bisa liat Sunrise lain kali.”

“Tapi aku bener-bener seneng, Jan. Kamu mau nyusulin aku kesini. Makasih banyak ya, Jan.” Digenggamnya kedua tanganku lalu dielusnya ringan punggung tangan tersebut. Matanya terlihat berkaca-kaca. Kubalas genggaman tanganya, lalu kucium tangan halus tersebut.

“Sekarang kita pulang, yuk. Kak Saktia udah nanyain dari tadi.” Aku mengangguk. Kami mulai merapikan duduk kami, memastikan semua siap untuk perjalanan yang cukup jauh.

Cuph

Tiba-tiba saja Nadila mengecup pipiku. Jantungku berdegup cukup kencang dibuatnya. Senyuman yang terpancar dari wajah Nadila tiba-tiba saja berubah menjadi sangat manis saat kutengok. Tanpa mampu berkata apapun lagi, kumulai memacu mobil untuk pulang menuju Yogyakarta.

.

.

.

Liburan yang singkat ini tak terasa akan segera berakhir. Besok siang kami akan pulang ke Jakarta. Terkadang memang hal yang tidak direncanakan bisa terasa sungguh menyenangkan. Sore tadi, aku kembali merasakan keramahan dari kota yang, suatu saat aku pasti akan kembali. Selain memang aku masih memiliki janji bersama Nadila, kota ini sungguh sangat menyenangkan untuk didatangi.

Beberapa makanan khas dari kota ini kubeli untuk buah tangan Ayah yang tiba-tiba kutinggalkan. Dan juga Aurel tentunya. Aku masih merasa tidak enak saat meninggalkan dirinya kemarin. Semoga hubungan dengan temannya itu baik-baik saja.

TOK! TOK! TOK!

Saat kubuka pintu yang diketuk, Nadila berdiri dihadapanku.

“Aku tidur disini, ya, Jan?”

Tanpa menjawab, kutarik Nadila masuk kedalam kamar. Kupeluk tubuh mungilnya. Nadila ikut memeluk erat tubuhku. Harum tubuhnya menusuk hidung, membuat sensasi yang cukup nyaman. Kuelus ringan rambut Nadila yang sedang menyandarkan kepalanya di dadaku.

Tawa kecil kemudian terdegar, Nadila lalu mengadahkan kepalanya.

"Kenceng banget suara jantung kamu, Jan."

Ya, jantungku berdegup cukup kencang. Suasana sekarang terasa lebih hangat. God, Nadila terlihat sangat cantik. Tiba-tiba saja dia memegangi wajahku, berjinjit mendekatkan wajah kami sambil menutup mata.

“Cupphh ….”

Kecupan ringan meluncur ke bibirku. Nadila memalingkan wajah setelah kecupan singkat tersebut. Ditariknya tanganku kearah dadanya.

“Aku juga sama, Jan.”

Ya, tanganku dapat merasakan jantungnya berdegup cukup kencang. Matanya menatap sayu diatas pipi gembilnya yang bersemu merah. Dia menutup mata saat wajah kami kembali berdekatan. Ciuman yang awalnya lembut, kelamaan semakin intens. Sambil merangkul pinggulnya, kulumat habis seluruh bagian bibir manisnya. Tangan Nadila pun menekan kepalaku agar mencumbui dirinya lebih dalam.

“Aaakk ….”

Nadila terpekik kecil saat tubuhnya kugendong. Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata tubuhnya lebih ringan dari kelihatannya. Dikalungkan tangannya ke leherku. Dia hanya membenamkan wajah bersemunya didadaku sampai aku membaringkan tubuhnya pelan di ranjang.

Sambil terus bercumbu kami saling melucuti pakaian yang menempel ditubuh. Tak butuh waktu lama hingga kami dapat melihat tubuh polos masing-masing. Ini kali pertama aku melihat tubuhnya tanpa terhalang apapun. Meski tak seindah beberapa wanita yang pernah kukencani di Inggris, namun aku tetap terpana melihatnya.

“Jangan diliatin gitu, Jan.” Nadila menutup dada dan area selangkangan dengan kedua tangannya.

“Sorry, Nad. Kamu cantik.” Dia semakin tersipu mendengar pujian tersebut.

Kembali kutindih tubuh mungilnya tersebut. Sambil kembali bercumbu, tanganku mulai menggerayangi lekuk tubuhnya. Payudaranya yang padat kuremas berputar. Erangan terdengar dari sela-sela decakan liur kami. Tubuhnya mulai menggeliat, menerima setiap rangsangan yang kuberi pada bongkah dadanya.

“Aaahhh … Jaaannn ….”

Nadila mendesah, menggenggam bahuku gemas, ketika aku mulai menjilati area lehernya. Hampir tak ada bagian yang luput kucumbu dan kujilat. Cumbuanku semakin turun hingga menuju tengah payudaranya. Nadila agak tersentak saat kucumbu gundukan bulat yang menggairahkan tersebut.

Nadila menggigit bibir bawahnya, sebelum mengadahkan kepala saat pandanganku mendelik kearahnya. Birahi mulai menguasainya, terlihat dari wajah yang merah padam dan tatapannya yang sayu. Tubuhnya terus bergerak resah. Desah nikmat terus keluar dari mulut Nadila saat kedua payudaranya kuhisap dan kuremas secara bergantian.

Rangsanganku kembali turun menyusuri perut hingga selangkangannya. Lidahku mulai menelusuri garis vaginanya. Kuncup klitorisnya yang masih cukup rapat langsung kuhisap membuatnya menggelinjang dan mendesah liar. Kupegangi pahanya yang mulai menekan kepala saat terus menjilati vaginanya yang sudah mulai basah.

Akupun bangkit dan mulai memposisikan penisku dihadapan vaginanya. Nadila terlihat pasrah berbaring penuh peluh. Nadila mengerang sambil menggenggam tanganku keras saat kepala penisku mulai memasuki vaginanya.

“Jaaann … sakiitt ….”

Vaginanya seakan menolak kehadiran benda asing yang mencoba masuk. Nadila tegang. Kubelai rambutnya, kembali mencumbui bibir dan lehernya agar dia menjadi lebih rileks.

“Mmmuahh … Cpppllkk … Aaahh ….”

Kembali kugerakkan pinggul. Nadila sepertinya sudah mulai santai, terasa dari semakin mudahnya aku melakukan penetrasi hingga akhirnya penisku amblas sempurna dengan sekali hentakan. Tubuhnya pun ikut terhentak saat selangkangan kami bertumbuk. Vaginanya yang terasa sangat sempit seperti memijit-mijit penisku, nikmat.

“Aaahh … Aaahhh ….”

Nadila mulai mendesah saat pinggulku mulai bergerak. Wajahnya terlihat sangat menikmati. Tersenyum, ia tarik kepalaku agar kami dapat berpagut. Tubuhnya terus menghentak disetiap genjotanku yang cukup dalam. Desahnya tak tertahan saat cumbuan kami terlepas, dan terus kencang seiring dengan semakin cepatnya aku menggenjot vaginanya.

“Aaahh … Aaaah … Jaaannn … Nngghh ….”

Racaunya semakin tidak jelas. Terlihat tangan Nadila menggenggam selimut dengan erat. Tubuhnya semakin basah oleh keringat. Vagina Nadila berkedut semakin kencang.

“Jan aku … NNNGGHHHH!!!”

Nadila melenguh, pinggulnya mengejan. Pinggangnya terangkat hingga dada kami bergesekan. Tak lama kemudian tubuhnya kembali jatuh seakan kehilangan beban. Cairan hangat mulai membasahi penisku dalam vaginanya. Perutnya terlihat kembang kempis ketika menarik nafasnya yang tersengal-sengal.

“Hhhhh … Hhhhhh ….”

Tatapannya seakan kosong menerawang. Nadila tersenyum puas, sepertinya dia menikmati orgasmenya tadi, yang kemungkinan menjadi orgasme pertamanya, tanpa pengaruh alkohol.

“Nggghhh … Jan ….”

Kembali aku menggerakkan pinggul. Vagina Nadila yang masih sensitif berkedut seakan memijat penisku. Terasa nikmat sekali. Langsung kupompa dengan tempo yang cukup cepat.

“Aaaahh … Mmmmhh … Aaaahhh … Sssshh ….”

Nadila kembali meracau. nikmat Keringat mulai bercucuran dari tubuh kami. Pasrah, sekarang tangannya menggenggam erat kedua tanganku yang menopang tubuh agar tidak menindihnya secara langsung. Payudaranya berguncang akibat hujaman penisku yang semakin dalam.

“Nnnggghhh Jaann … ” Racau Nadila sembari melenguh ketika orgasmenya hendak kembali datang. Penisku yang dimanjakan oleh pijatan vaginanya pun terasa semakin gatal dan sepertinya akan berejakulasi. Kupercepat pompaanku. Semakin cepat dan semakin tidak beraturan.

“AAAAHHHH JANN AKHU!! NNNGGGHHHH!!!”

Kukunya menancap ditanganku. Orgasme, Nadila menengadahkan kepala sembari membuka mulut. Matanya terpejam meresapi kenikmatan. Tubuh bawahnya kembali mengejan. Terlihat cairan putih meleleh dari vagina ke area selangkangannya.

“NNGGHHHIIII”

Dengan sekali hentakan kubenamkan penisku ke dalam-dalam. Vaginanya memijit penisku nikmat sebelum akhirnya kucabut dan menembakan sperma kearah perutnya.

Nafasnya tersengal akibat rangkaian orgasme yang ia dapatkan. Rambutnya lepek dan berantakan, matanya begitu sayu menatapku. Aku yang dilanda kenikmatan akhirnya ambruk di sampingnya.

“Hhhh … Hhhh … Jan ….”

Digenggamnya tanganku erat. Kusibak rambutnya hingga dapat melihat wajahnya yang lelah, namun sorot bahagia jelas terpancar dari wajah manis tersebut. Sungguh, wajah inilah yang aku ingin lihat sepanjang waktu.

Aku cinta kamu, Nadila.

Direbahkannya kepala ke dadaku, sembari tetap memainkan jariku tanganku. Aku yang sudah berbaring disampingnya, kemudian mengelus ringan rambutnya yang hitam berkilau, lalu kukecup kening yang penuh peluh itu.

Will you still love me in the morning, Nad?

“Forever and ever, Jan

.

.

.

.

tbc
 
Terakhir diubah:
akhirnya grumpy cat kesayangan di update jugaa :alamak:

Akhinya ya kak
Ehehe'

Bagus kan hu judulnya? Gw juga suka waktu nyaranin ini hahaha

Bagus bagus kak, selalu aja ada yang bisa dipake buat topik yang diangkat tuh. Malahan bisa jadi patokan awal mau buat cerita apa di eps tersebut
Pokonya terima kasih banyak kak

Ada kesalahan nama ini hu

Wah iya, ga sempet ke edit btw.
Ini di bagian SS, aku sedikit ngacu sama SS yang aku buat waktu bikin WWD, dan ga jadi dipake, tau mungkin itu adegan dengan siapa harusnya
Ehehe'
 
Akhirnya, aku kembali update

Terima kasih kepada @FreezerBunny untuk ide judulnya di eps kali ini.

Maap yah kalo update nya agak lama, sama masih banyak kekurangan

Disini ada beberapa dialog yang aku ambil dari film, tebak ajah dimana,

Happy reading folks
yang penting semangat terus hu, ku selalu mendukung mu wkwk
 
selan selin nih tuan, kayak suhu sebelah yang typo nama kejauhan, spoiler episode selanjutnya? omong omong GBU buat tuan
 
tidak asal tancap, dan tidak melulu soal yang sendu sendu. Mantep alurnya tapi typo masih ada, editornya gimana nih kerjanya? makan gajibuta ya gan? sikat aja dah :pandaketawa:
 
Bagus bagus kak, selalu aja ada yang bisa dipake buat topik yang diangkat tuh. Malahan bisa jadi patokan awal mau buat cerita apa di eps tersebut
Pokonya terima kasih banyak kak
Senang bisa membantu!
 
Akhirnya dengan sadar ngarapnya

Seru nih akustik bubar gegara Janu
 
Bimabet
yang penting semangat terus hu, ku selalu mendukung mu wkwk
waaaaa keren selalu nihh :sayang:
mantap suhu je
Senang bisa membantu!

makasih ya gaes
semoga bisa menghibur dikala keterbatasan gerak

selan selin nih tuan, kayak suhu sebelah yang typo nama kejauhan, spoiler episode selanjutnya? omong omong GBU buat tuan

ga ada selin di cerita ini kaka, mungkin

tidak asal tancap, dan tidak melulu soal yang sendu sendu. Mantep alurnya tapi typo masih ada, editornya gimana nih kerjanya? makan gajibuta ya gan? sikat aja dah :pandaketawa:

udah dijelasin typo nya kenapa kemaren kak. iya juga, ini editornya gimana sih, perasaan katanya udah aman masih aja ada yang kena

akhirnya ga nunggu pawpaw mabok dulu ehehehehe

kalo mabok terus kurang nikmat kak

Yess,, mantap mantap bersama yg paling mantap

dari simantap

Akhirnya dengan sadar ngarapnya

Seru nih akustik bubar gegara Janu

wah jangan sampai bubar dong, tapi gatau nih, janu bikin masalah sepertinya

Pawpaw nakal yaa ~

nakal dikit boleh kali kak
:pandaketawa: :pandaketawa:

ane masih bingung di part ini hu

bingung gimana?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd