Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
Part 16. Mengulang Masa Lalu

Randy pulang ke apartemennya. Sudah beberapa hari dia tidak pulang dan memilih menginap berpindah-pindah. Dari mulai rumah Icha, Sari, lalu disewa Dewi selama 24 jam di rumahnya.

Dan malam itu dia memutuskan untuk kembali. Dia tidak boleh terus-terusan menghindari kakaknya. Dia harus berbicara baik-baik. Saat masuk ke dalam apartemen Randy mendapati Ranty tengah tertidur pulas di atas ranjang. Raut wajah lelah tercetak jelas di sana menandakan dia terlalu over dalam bekerja.

Randy tahu kakaknya itu jadi foto model sekarang tetapi tidak mengetahui detailnya seperti apa. Dia pun mendekati wanita yang bernafas dengan tenang itu. Dikecupnya kening Ranty yang sedikit hangat.

"Randy..." jawab Ranty lemah. Tapi dia tampak bahagia karena lelaki yang dia tunggu selama beberapa hari akhirnya muncul juga.

Ranty lalu menegakkan badannya. "Kakak lagi sakit?" tanya Randy penuh perhatian. Ranty menggelengkan kepalanya. "Enggak papa. Cuma agak menggigil aja." Memang sejak saat kejadian di hotel tempo hari, tubuhnya terasa tidak enak. Pikirannya selalu gelisah entah kenapa. Apalagi tidak ada sosok yang bisa ia jadikan sandaran.

Kemunculan Randy benar-benar ia butuhkan saat itu. "Maafin Randy ya karena beberapa hari ini Randy ngambek kaya anak kecil. Randy merasa belum dewasa dalam menghadapi masalah."

Ranty mengulas senyum. Walau dia belum tahu pasti kenapa Randy bisa sampai marah seperti itu tetapi dia tidak lagi ambil pusing. Yang terpenting sekarang pria itu sudah ada di hadapannya.

"Kakak kangen sama kamu Ran. Jangan tinggalin kakak yah," pinta Ranty seraya memeluk Randy yang sedang duduk di sebelahnya.

Randy membalas pelukan itu. "Kakak mau ke dokter? Badan kakak panas." Dengan cepat Ranty menolak. Dia khawatir gejala itu adalah efek samping dari obat yang diberikan Baskoro kepadanya. Kalau Randy sampai tahu tamatlah riwayatnya.

"Gak perlu Ran. Yang kakak butuhkan sekarang cuma kamu. Jangan pergi lagi yah." Randy mengangguk. "Iya kak. Randy gak akan pergi kemana-mana kok." Ranty kembali tersenyum. Sepertinya hubungan mereka akan kembali seperti semula.

"Ran."

"Hmm?"

"Kamu kangen gak sama kakak?" tanya Ranty. Dia membasahi bibirnya nampak gugup.

"Kangen dong kak."

"Kalo gitu sini." Ranty membimbing tangan Randy untuk menyentuh gundukan kenyal yang tergantung di dadanya. Tangannya melingkar di leher Randy.

Ranty pun tanpa ragu melumat bibir Randy yang amat ia rindukan. Lelaki itu membalas dengan tidak kalah ganasnya. Akhirnya malam itu mereka mengulang aktivitas panas yang terakhir mereka lakukan beberapa hari yang lalu.

Dua jam mereka habiskan dari mulai foreplay hingga penyatuan antara kelamin mereka. "Achhh...Randyyy...enak..." desah Ranty kala inti tubuhnya diobok-obok oleh kejantanan Randy yang perkasa. Sungguh nikmat rasanya melakukan persetubuhan dengan didasari rasa cinta bukan hanya nafsu semata.

"Achhh...Randyyy...kakak mau nyhampeee...!!!" pekik Ranty yang sedang menjemput orgasme ketiganya malam itu.

"Iyaaa...kak...Randy...juga..."

"Di dalem aja...sayanggg..." pinta Ranty. Sejenak Randy berpikir, kenapa tiba-tiba Ranty ingin dia menumpahkan benihnya di dalam? Padahal selama ini dia selalu menolak dengan alasan takut hamil.

"Nanti kalo kakak hamil gimana?" gumam Randy masih dalam mode pacuan.

"Achhh..***k apa-apa Randyyy...kalo kakak hamil itu anak kamu...asalkan kamu ayahnya kakak rela..." respon Ranty semakin menggoyangkan pinggulnya kuat-kuat.

Randy memandang wajah Ranty. Walau wanita itu sedang birahi berat tapi tidak bisa menutup ekspresi gugup dari wajahnya. "Ada yang aneh!"

"Kalau Randy keluar di dalamku maka jika aku hamil itu bukan suatu masalah yang berarti. Entah itu anak Randy atau pak Baskoro aku akan tetap menganggap anak ini anak Randy."


•••

Di sisi lain terlihat seorang wanita dewasa yang sedang mondar-mandir dengan gelisah sambil menatap layar ponselnya. Ia berusaha menghubungi seseorang namun dirinya masih ragu. Apakah dia memutuskan sesuatu yang tepat? Tapi ini demi seseorang yang dia sayangi.

Setelah mengumpulkan keyakinan, akhirnya dia menelpon sebuah kontak yang beberapa waktu lalu ia blokir. Dia kemudian menempelkan benda pipih itu di telinganya.

Tuttt...tuttt...tuttt...

Tiga kali nada sambung itu terdengar sebelum berganti dengan suara seorang pria dari sebrang sana.

"Halo, ibu Sari?" sapa pria itu.

"Ha...halo pak Ginanjar," balas Sari sedikit ragu-ragu.

"Ada yang bisa saya bantu bu Sari? Tumben telfon saya. Sepertinya ada udang di balik batu," ucap Ginanjar dengan diselingi dengan kekehan yang memuakkan. Sebenarnya Sari sangat muak dengan Ginanjar tetapi demi agar Randy dapat terlepas dari masalah yang menjeratnya terpaksa dia melakukan ini.

Sari pun memejamkan matanya sejenak sebelum kembali berbicara. "Ada yang mau saya bicarakan sama bapak." Ginanjar terkesiap. Dia berdiri dari kursi yang didudukinya saat ini. "Sepertinya yang mau anda bukan masalah sepele, akan kurang etis jika dibahas lewat telepon. Jadi bagaimana kalau kita ketemu untuk membahas hal ini?"

Sari kembali menghembuskan nafas dalam. "Baik pak, kira-kira kapan dan dimana?" Ginanjar tersenyum tipis. "Baiklah, nanti akan saya beritahukan waktu dan lokasinya. Dan satu hal lagi, anda tidak perlu bawa bodyguard, apalagi bocah ingusan seperti Randy itu."

Terdengar tawa dari seberang. Sari sama sekali tidak terpengaruh. Lebih cepat urusannya dengan lelaki itu lebih baik. "Terserah bapak saja. Saya tidak akan melibatkan Randy untuk masalah ini. Saya mohon kerjasamanya."

"Oke, nanti saya hubungi lagi," ucap Ginanjar dari seberang. Setelah itu terdengar suara nada putus-putus karena Sari langsung menutup sambungan teleponnya.

Sari menggenggam ponselnya kuat. Dia menggigit bibirnya seraya berdoa agar apa yang dia lakukan sudah benar. "Randy, mbak akan melakukan apapun demi kamu," ucap Sari dalam hati.

"Dek, lagi ngapain? Belum tidur?" tanya seorang pria dengan alat penyangga kaki untuk berjalan di tangannya.

Sontak Sari menengok ke arah sumber suara. "Belum, mas tidur aja duluan." Pram mengangguk. "Ya udah, jangan tidur kemalaman." Sari balas mengangguk sambil mengulas senyum manisnya. Senyum yang telah Pram sia-siakan demi sesuatu yang semu. Beruntung wanita itu masih memberikan senyum itu dengan ikhlas.

Setelah Pram masuk ke dalam kamar, tidak ada lagi suara. Sari memutuskan untuk membuka-buka galeri ponselnya. Sudut bibirnya terangkat kala melihat kebersamaannya dengan Randy. Dia sadar rasa yang ia berikan dan dapatkan dari Randy bukan hanya nafsu semata. Ada rasa yang tertinggal di sana. Rasa antara dua orang lawan jenis yang saling mengasihi. Tapi Sari tetap sadar kalau Randy itu milik adik kandungnya, Annisa. Dia akan tetap mensupport hubungan antara mereka berdua hingga ke jenjang pernikahan.

Sedang asik menggulir ponselnya tiba-tiba pintu rumah diketuk oleh seseorang. Sari langsung bergegas berjalan menuju pintu. "Siapa yang bertamu malam-malam?" pikirnya.

Saat dibuka Sari sangat terkejut karena tubuhnya tiba-tiba didekap oleh seorang pria. Sempat panik namun akhirnya Sari bisa menghembuskan nafasnya yang sempat tercekal di paru-paru ketika mengetahui siapa yang melakukan hal itu.

"Randy? Kenapa kamu...mmmppphhh..." Sari menghentikan ucapan kala mulutnya nya langsung dibekap oleh bibir lelaki itu.

Sejenak Sari masih terdiam karena otaknya belum sepenuhnya dapat memproses kejadian luar biasa yang terjadi secara mendadak itu. Namun lambat laun dirinya membalas perlakuan kurang ajar yang akhir-akhir ini membuat dia candu.

"Mmmhhh...cccppp...sssppp..." Kedua tangan Sari melingkar di leher Randy seraya matanya tertutup menikmati cumbuan lelaki itu yang memabukkan.

Kedua pasang bibir itu pun berpisah meninggalkan saliva yang saling terhubung. "Ran, kenapa kok tiba-tiba?" Sari bertanya dengan nada lirih seperti angin yang berhembus di belakang Randy.

Lelaki itu terdiam berusaha mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya hingga sampai ke sini. Dia tidak bisa bilang jika dirinya sedang kena tanggungan setelah bersenggama dengan kakaknya yang berakhir tidak sesuai ekspektasi.

"Randy kangen sama mbak," jawab Randy asal. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya salah tapi ada alasan yang lebih kuat yang tidak bisa ia katakan.

Sari tersenyum dengan rona merah di wajahnya. Berondongnya itu selalu saja memberikan kejutan yang tidak bisa diprediksi. Baru saja Sari memikirkan tentang Randy tiba-tiba pemuda itu sudah ada di hadapannya.

Randy kembali memeluk Sari. Wanita itu merasakan sesuatu yang mengganjal di perutnya. "Kamu di sini nyari maling ya?" celetuk Sari membuat Randy bingung. "Maksudnya?"

Sari menurunkan pandangannya ke bawah. "Itu, tongkat satpam dibawa-bawa, hehehe..." Sejenak Randy masih berpikir dengan otak lemotnya. Barulah saat Sari memegang benda yang dimaksud Randy baru ngeh.

"Hehehe...iya mbak. Kan malingnya ada di depan Randy."

"Emangnya mbak maling?!" Sari tampak tidak terima dengan ucapan Randy.

"Iya, maling hatiku, hehehe..." Sari tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Gombalan Randy terkesan kuno tapi dirinya tetap saja tersipu malu. Maklum dirinya tidak pernah digombali oleh orang lain terkecuali Randy. Bahkan Pram pun tidak pernah melakukannya.

"Ayo masuk!" ajak Sari setelah menutup pintu rumahnya. Dia menggandeng tangan Randy seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.

"Om Pram udah tidur mbak?"

"Udah kok. Kamu gak usah khawatir," jawab Sari tanpa menghentikan langkahnya menuju kamar tamu.

Randy yang sudah sangat turn on sejak di apartemen langsung mengangkat tubuh Sari ala bridal style. Dia menjatuhkan Sari di atas kasur empuk itu.

Dan malam itu mereka kembali merengkuh kenikmatan yang tak terbatas hingga peluh menghiasi kamar yang menjadi saksi atas persenggamaan mereka. Dua kali Randy menumpahkan benihnya di dalam inti tubuh Sari. Dan Sari? Entah berapa kali yang jelas setelah mereka selesai pada pukul 2 dini hari, Sari merasakan kram di area pinggulnya.

Mereka tertidur sambil berpelukan layaknya pasangan suami istri. Hingga pagi menjelang, Sari membangunkan Randy sebelum Pram bangun. Randy membersihkan tubuhnya di kamar mandi sedangkan Sari merapikan tempat tidur yang seperti kapal pecah karena kejadian semalam.

Sebenarnya pagi itu suasana hati Sari sedikit dongkol. Pasalnya Randy kembali mengingkari janjinya. "Ya udah, Randy pergi dulu ya mbak." Sari menatap Randy dengan tatapan datar. "Hmm..." Hanya deheman yang keluar dari mulut Sari.

"Kenapa kok mukanya ditekuk mbak?" tanya Randy yang menunda kepergiannya karena melihat wajah Sari yang badmood.

"Gak papa," balas Sari seraya hendak menutup pintunya namun di tahan oleh Randy. "Yang tadi ya? Maaf ya mbak, Randy gak tahan soalnya, jadi keluar di dalem."

"Kamu sengaja kan?" hardik Sari. Randy meneguk ludahnya dengan susah payah. Meskipun Sari sifatnya lemah lembut dan dewasa tapi jika sudah marah maka akan sangat mengerikan.

"Gak sengaja kok mbak, hehehe," senyum Randy canggung. Dia berusaha mencium pipi Sari agar wanita itu tidak marah lagi padanya tetapi wajah Sari langsung melengos.

"Kamu gak tau resikonya. Mbak masih bersuami dan dia udah gak bisa kasih mbak keturunan. Gimana kalo mbak hamil?!" ucap Sari dengan nada meninggi tanda sedang marah.

Randy menunduk dengan perasaan bersalah. Hal itu tidak luput dari penglihatan Sari. Dalam hati wanita itu merasa kasihan kepada pemuda di hadapannya itu. Randy seperti seorang anak kecil yang ketahuan membolos sekolah oleh ibunya.

"Jangan diulangi lagi," celetuk Sari sambil menahan sudut bibirnya agar tidak terangkat ke atas namun tampak gagal.

Melihat senyum terkulas di wajahnya membuat Randy sedikit lega. "I...iya. maaf ya mbak." Sari semakin tidak kuasa untuk tertawa geli. Ditowelnya hidung bangir milik lelaki itu. "Kalo mbak dinikahi sama kamu, baru kamu bebas mau keluar di dalem mbak."

Randy tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya. Setelah itu Randy benar-benar pamit. Dia mencium punggung tangan Sari layaknya seorang anak kepada ibunya lalu Sari mengecup kening Randy dalam. Mereka pun berpisah.

•••

POV Annisa

Sambil melangkahkan kakiku di koridor kampus aku mengobrol dengan temanku. Hari ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang istimewa.

"Eh Nis, aku ada kelas nih sekarang. Ternyata ada perubahan jadwal dari dosen, kamu sih harus ngulang mata kuliah semester satu jadinya kita gak sekelas lagi," celetuk temanku yang bernama Bella.

"Hehehe...ya mau gimana lagi?" Aku tersenyum simpul mendengar perkataannya. Aku juga sebenarnya tidak ingin mengulang mata kuliah tetapi keadaan yang memaksa apalagi sekarang aku malah satu kelas dengan Randy yang mana dia lelaki yang sekuat tenaga aku hindari.

"Ya udah, bye Nisa!" Aku melambaikan tangan ketika dia pergi meninggalkanku. Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju lobby kampus. Sejenak aku ingin memulihkan otakku yang sedikit panas setelah menjalani mata kuliah barusan.

Aku duduk di salah satu bangku kosong di sana. Aku keluarkan laptop serta headphone ku. Mumpung ada WiFi gratis aku ingin menjelajah sambil mendengarkan musik lewat YouBute.

Sedang asyik-asyiknya browsing tiba-tiba datang seorang laki-laki ke arah ku. Setelah samar-samar mendengar sapaan darinya aku menurunkan headphone ku ke bagian leherku sambil menatap orang itu.

"An...Annisa, l...lagi gak ada kuliah?" ucapnya sedikit gugup. "Lagi jam kosong Arif. Kenapa?" Aku memandanginya yang sedang tersenyum meringis. Dulu aku dan Arif memang satu kelas tetapi sejak aku mengulang beberapa mata kuliah aku jadi tidak sekelas lagi dengannya. Hanya satu mata kuliah yang masih satu kelas.

"Boleh ikut duduk di sini?" Aku mengangguk seraya menunjuk bangku yang ada di depanku. Dia lalu duduk di tempat yang aku tunjuk.

Dia mengeluarkan laptop miliknya. Aku kembali memakai headphone ku lalu fokus ke layar laptop. Tidak ada satupun kata yang tercipta kala itu. Dia sempat curi-curi pandang kepadaku namun aku mengabaikannya. Sudah dari dulu dia melakukan hal itu secara diam-diam. Aku bukannya tidak tahu kalau dia menaruh perasaan terhadapku. Tapi yah mau gimana lagi aku tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya.

Sedang mengetikkan sesuatu di atas keyboard mendadak mataku jadi gelap. "Hah?! Apa ini?!" Ada dua benda lunak yang menutupi mataku. Aku buru-buru melepasnya lalu menoleh ke belakang.

"Hey Annisa! Dicari-cari ternyata ada di sini," ucap lelaki dengan senyum lebarnya. Aku memutar bola mataku malas sembari kembali fokus ke laptop.

Dia duduk di sebelah kiriku. Melemparkan tas kosongnya ke atas meja lalu memandang wajahku dengan senyum yang memuakkan. Niat kuliah gak sih dia? Bawa tas hanya untuk pajangan saja.

Aku yang terus diperhatikan lama-lama risih juga. Aku balik menatapnya. "Ngapain sih liatin aku terus?!" ucapku dengan raut wajah kesal.

Dia hanya terkekeh. "Yee, siapa juga yang liatin kamu. Aku lagi liatin cewek yang ada di sampingmu itu loh." Sontak aku memutar kepalaku ke kanan. Aku terkejut sekaligus malu ketika melihat seorang wanita dengan genitnya mengedipkan salah satu matanya sambil melambaikan tangan ke arah kami.

Randy tertawa terbahak-bahak. Dia mencubit pipiku yang sudah memerah layaknya kepiting rebus karena aku merasa sangat malu. "Ya ampun Annisa! Jangan kegeeran! Randy cuma mau ngerjain kamu harusnya kamu udah tau!" rutuk ku dalam hati. Kesal sekali kalau Randy sudah mengeluarkan senjatanya untuk mengerjai aku.

Aku yang gondok lalu menutup laptopku dan memasukannya ke dalam tas bersama headphone yang setia menemani telingaku sedari tadi. Aku beranjak pergi meninggalkan dua lelaki yang terpaku.

"Annisa!" panggil Randy lagi. Aku dengan malas menoleh ke arahnya. "Nanti sore jangan lupa nonton pertandingan basket aku ya," ucap Randy sambil mengerlingkan matanya membuatku ingin sekali melempar botol ke arah kepalanya agar hilang ingatan.

Hari itu aku kembali menjalani dua kali mata kuliah hingga sore hari. Ku rasakan lelah di otot-otot tubuhku terutama bagian tengkuknya.

Kak Justin dengan setia sudah menunggu ku di tempat parkir sambil menyunggingkan senyum serta lambaian tangan.

Aku menghempaskan bokongku dengan sedikit kasar di kursi kiri bagian depan mobil milik kak Justin. Lelaki itu sudah berada di sebelahku sambil menatapku sedikit heran. "Kenapa?" tanya kak Justin kemudian. Aku hanya menggelengkan kepala tidak berminat untuk menceritakan tentang sahabatnya yang membuatku kesal.

Mobil pun melaju tanpa ada pertanyaan lebih lanjut dari kak Justin. Aku sibuk menggulir ponselku hingga aku tidak sadar kalau laju mobil yang ku tumpangi tidak mengarah ke rumahku.

Aku baru sadar ketika mobil masuk ke area gelanggang olahraga dimana hampir seluruh kegiatan olahraga kota ini berpusat di sana. "Kak, kok kita ke sini?" tanyaku yang tidak tahu menahu alasan kak Justin membawaku ke sini.

"Hari ini kakak ada pertandingan basket. Jadi kakak bawa kamu ke sini biar gak bosen di rumah," jawab kak Justin santai sambil memarkirkan mobilnya di area parkir.

Aku menghembuskan nafas dalam. Padahal aku sudah ingin me time di rumah tapi apa boleh buat. Aku saja menumpang di mobil kak Justin.

"Gak papa kan?" tanyanya lagi karena aku tidak merespon ucapannya barusan. Aku menyunggingkan senyum yang agak sedikit dibuat-buat. "Apa sih yang enggak buat calon papaku yang ganteng ini," balasku sembari mencubit pipinya yang mulus. Kini giliran dia yang mendengus kesal. Aku tertawa kecil melihat responnya.

Di sana suasana sudah sangat riuh oleh calon penonton. Kak Justin memberikan sebuah kertas kepadaku. "Ini tiket VVIP, karena kamu gak dibolehin masuk ke locker room jadi kakak beliin kamu tiket. Kakak gak mau kamu desak-desakan di tribun biasa."

Aku terharu dengan perhatiannya. "Ulu...ulu...makasih calon papaku sayang..." ucapku sembari memeluk lengan kirinya dan menaruh kepalaku di pundaknya. Aku kembali terkekeh melihat reaksi kak Justin yang seolah ingin muntah melihat gelagat ku yang memang terlalu lebay.

Entah mengapa dengan kak Justin aku tidak bisa jaim seperti dengan orang lain. Dengan kak Sari yang notabennya sedarah sekalipun aku tidak pernah semanja ini. Mungkin memang dia calon papa idamanku. Semoga bunda sadar kalau lelaki itu memang pantas mendampinginya.

"Makanya kamu bantuin kakak dong. Jangan diem aja kalo ada cowok yang deketin bunda," sungut kak Justin.

"Iya-iya deh. Nanti Nisa usir deh kalo ada cowok yang deketin bunda, hehehe..." candaku sambil bergelayut manja di lengannya.

Orang-orang yang melihat interaksi antara kita berdua pasti mengira bahwa kita adalah pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Kami akhirnya berpisah. Kak Justin masuk ke back stage sedangkan aku masuk ke stadium dan duduk di tempat sesuai nomor tiket ku.

Ku dengar suara sorak-sorai penonton menyanyikan yel-yel tim GB. Maklum karena tim GB adalah tuan rumah sedangkan musuhnya tim tamu.

Lama menunggu akhirnya para pemain masuk ke court. Aku tidak melihat kak Justin ada di susunan pemain inti. Ternyata dia sedang duduk di bangku cadangan. Kenapa? Padahal dia pemain inti.

Di lapangan yang aku lihat malah lelaki yang tadi pagi membuatku kesal. Siapa lagi kalau bukan Randy. Aku jengah melihat dia tebar pesona dengan para fans wanita yang hadir di stadion itu.

"Aaaa...Randyyy...i love youuu...!!!"

"Aaaa...Randyyy...calon ayah dari anak-anakku...!!!"

"Yaaa...ampunnn...Randyyy..***nteng bangettt...!!!"

"Aaa...Randyyy...sirami rahimku biar angettt...!!!"

Kalimat terakhir yang aku dengar membuatku menatap tajam ke arah seorang gadis SMA yang berteriak itu. "Dasar, bukannya belajar yang bener malah minta disiram rahimnya," sungutku dalam hati.

"Aku yang udah pernah disiram sama Randy aja biasa aja. Ini malah ABG labil heboh banget!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada dengan perasaan kesal.

Pertandingan pun di mulai. Awal-awal perebutan poin terjadi dengan sangat sengit. Randy beberapa kali melakukan aksi yang membuat penonton berdecak kagum.

"Ya inilah seorang rising star GB yang bermain dengan sangat cemerlang. Sudah mencetak 12 poin sejauh ini dan 9 poin diantaranya melalui dunk yang sangat gemilang. Dia memiliki keunggulan vertikal jump yang sangat tinggi walaupun tingginya hanya 185cm, dia bisa melakukan dunk dari titik free throw."

Reporter tidak segan-segan memuji kemampuan Randy. Dalam hati aku sangat bangga dengannya. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk tim. Tanpa sadar aku ikut bersorak gembira ketika Randy mencetak angka dengan lompatan yang melewati kepala lawannya.

Setelah mencetak angka yang ke 14, Randy menoleh ke arah diriku. Dia tersenyum seraya mengacungkan jari telunjuk dan jempolnya membentuk simbol 'love'. Sontak para fans girl yang ada di sekitarku berteriak sambil kejang-kejang. "Lebay!" batinku merasa gondok.

"Yaa...ampunnn...Randy kasih tanda love ke gue. Udah gue duga pasti dia suka sama gue..." celetuk seorang gadis yang ada di belakangku. "Kegeeran banget sih jadi orang!" Semakin kesal aku dibuatnya.

"Yaa...ampunnn...pengin deh semalem bobo bareng Randy ku cintaku. Berbagi keringat sampe dapet keturunan yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik." Aku memutar bola mataku malas mendengar gaya bicaranya seakan-akan Randy mau melakukan hal itu dengannya. "Kalian cuma bisa bayangin. Aku udah pernah ngerasain!" gerutuku dalam hati.

Entah kenapa kupingku serasa panas mendengar komentar-komentar menjijikan itu. Mereka tidak punya harga diri apa gimana? Hmm..***k usah dipikirin. Aku kembali fokus ke pertandingan. Kini kak Justin masuk menggantikan Randy yang terlihat kelelahan.

Lagi-lagi pria itu melambaikan tangan ke arah tempatku duduk sehingga teriakan yang memekakkan telinga kembali terdengar. Aku cuek saja mengalihkan pandangan ke arah pertandingan. Aku tidak akan mau dikerjai lagi oleh pria itu meskipun aku tahu ke siapa dia melambaikan tangannya.

Di pertandingan itu Randy menjadi mvp dengan mengemas 49 poin dengan 5 kali rebound dan 10 kali assist. Kak Justin sebenarnya tidak tampil buruk namun menit bermainnya lebih sedikit dari Randy karena mereka sama-sama berposisi sebagai small forward jadi tidak bisa dipasang secara bersamaan.

Kalau ditanya aku tahu darimana. Jawabannya dari reporter yang mengulas tentang pertandingan barusan. Jadi bukan aku yang terlalu paham mengenai basket ya, hehehe...

Pertandingan berakhir dengan kemenangan tim GB yang cukup telak. Para penonton berbondong-bondong keluar dari stadion. Aku pergi menuju gerbang masuk back stage untuk menunggu kak Justin keluar dari ruangan itu.

Aku duduk di bangku yang terbuat dari cor-coran semen. Aku chat kak Justin kalau aku sudah menunggu di depan gerbang tetapi belum ada balasan. Aku putuskan untuk update status wa ku. Dulu aku sama sekali tidak peduli akan hal itu tetapi sekarang kadang aku melakukannya hanya untuk mengisi waktu luang seperti sekarang ini.

"Hmm...lama banget sih kak Justin!" Aku sudah menunggu hampir setengah jam di sini tapi tidak ada tanda-tanda batang hidungnya. Beberapa pemain sudah pergi meninggalkan ruangan itu.

Saat tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku. "Annisa!" Aku melirik ke sumber suara. Lelaki itu lagi. Dia berlari kecil ke arahku. "Kamu belum pulang?" tanya Randy yang menenteng tas olahraganya.

"Lagi nungguin kak Justin. Mana ya? Kok gak kelihatan?" tanyaku celingak-celinguk.

"Justin udah pulang dari tadi tuh." Aku melotot mendengar jawaban Randy. "A...apa?!" Aku menutup mulutku terkejut sekaligus geram.

"Dasar kak Justin ngeselin...!!!" Aku menghentak-hentakkan kakiku ke tanah karena kesal. Bisa-bisanya kak Justin meninggalkan ku sendirian tanpa mengabari ku terlebih dahulu. "Kalau tahu gitu aku udah pulang dari tadi naik taksi online!"

"Aku anterin yuk!" ajak Randy yang langsung ku tolak mentah-mentah. Dia tidak menyerah begitu saja. "Ayolah, gak ada yang mau nganterin kamu sekarang."

"Aku bisa pesen taksi online." Aku menggulir ponselku untuk memesan melalui salah satu aplikasi berwarna hijau.

Namun ketika aku sedang memesan taksi online tiba-tiba ponselku sudah berpindah tangan kepada Randy. Dia merebutnya secara paksa. "Sini balikin Randy! Aku mau pulang!"

"Enggak! Aku anterin atau hpmu gak aku balikin!"

'Sebal' kata yang tepat untuk aku lontarkan kepadanya saat ini. Dia berbuat seenaknya sendiri. Ingin sekali aku memukul kepalanya agar yang otaknya sudah geser itu.

Aku masih berusaha merebut ponselku yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sekarang posisinya malah seperti aku sedang memeluk dirinya. "Aduh...Randy sini balikin!" Dia masih tidak bergeming.

Akhirnya aku lelah. Aku pasrah membiarkan dia berbuat semaunya. Meskipun hati ini masih gondok. "Ayo ikut!" Randy menarik tanganku paksa. Aku hanya mengikutinya.

Aku dipaksa duduk di jok belakang motornya. "Pegangan!" perintah Randy. Aku mengabaikannya. Dia lalu sengaja menarik gasnya dengan sedikit kencang hingga aku hampir saja terjerembab ke belakang. "Randyyy...!!!"

"Hehehe...makanya pegangan yang kenceng!" Randy menarik tangan kiriku untuk melingkar di pinggangnya.

"Nah gitu dong. Sekarang kita jalan." Aku diam saja. Tangan kananku otomatis mengikuti tangan kiriku memeluk dirinya dari belakang.

"Awas aja kak Justin. Gara-gara kakak, Nisa jadi terjebak di situasi begini!"

Motor melaju namun tidak ke arah rumahku. Aku memukul helm yang dikenakan Randy. "Aduhhh...kenapa kepalaku dipukul Annisa?!" gaduh Randy memprotes.

"Kita mau kemana?!" tanyaku dengan nada yang ketus.

"Kita mampir makan dulu. Aku laper."

"Kamu kan bisa makan sendiri habis nganterin aku pulang!" kilahku kepadanya.

"Gak enak makan sendiri. Enaknya ditemenin sama bidadari cantik kaya kamu."

"Dasar gombal! Seenaknya sendiri!" Aku kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya aku turuti kemauannya.

Kami mampir ke sebuah restoran yang cukup bagus. Pemandangan kolam ikan dan taman di bagian dalam sedang jalan raya padat merayap di bagian luar.

Kami pun memesan makanan masing-masing. Karena aku juga lapar aku pesan 1 mangkok bakso dan 1 porsi steak daging sapi yang paling mahal. Biar dia tahu rasa telah seenak jidat mengajakku makan walaupun aku tidak mau.

"Untuk minuman pesan apa ya kak?" tanya waitress itu.

"Emm...mojito aja kak." Pelayan itu langsung menuliskan pesananku.

"Kamu serius pesen mojito?" tanya Randy. "Iya, kenapa?"

"Emang kamu tau mojito itu apa?" Aku menggelengkan kepala. "Aku asal pesen aja. Aku pesen yang paling mahal," ujarku agar dia lain kali berpikir ulang saat hendak mengajakku makan di luar.

Randy menelan salivanya dalam. Dia kemudian memesan minuman yang lain. Setelah selesai order waitress itu pergi meninggalkan kami berdua.

Suasana hening sampai pesanan datang. Aku langsung melahap steak itu dengan cepat. Aku tidak peduli dengan yang ada di hadapan ku yang terus menatapku tanpa henti.

"Pelan-pelan Annisa. Nanti keseleo..."

"Keselek! Uhukkk...uhukkk...uhukkk..." ralat ku yang membuat hal itu malah benar-benar terjadi padaku.

Buru-buru aku meminum minuman pesananku. "Apa nih? Kok rasanya asem," gumam ku dalam hati.

"Tuh, makannya pelan-pelan." Randy terkekeh melihatku.

Aku kembali meneruskan makanku dengan lebih pelan. Aku risih diperhatikan oleh Randy terus-terusan. Apalagi dia menatapku sambil senyum-senyum sendiri.

"Kamu tiap hari makannya segini ya? Pantesan agak gemukkan sekarang," ucap Randy seolah mengomentari bentuk tubuhku.

Sontak aku menatapnya tajam. Enak saja bilang kalau aku gemuk. Berat badanku hanya bertambah beberapa kilo dari saat aku mulai mencoba move on darinya. Randy sadar dengan tatapan mematikan dariku. Dia meneruskan makan tanpa banyak komentar lagi.

Karena aku sudah terlanjur kenyang, jadinya bakso yang sudah terlanjur aku pesan aku bagi dua dengannya. Kami makan dalam satu mangkok yang sama.

Aku kembali khawatir dengan situasi ini. Pasalnya Randy begitu sangat perhatian padaku. Dia tidak memarahi ku yang telah memesan makanan di luar batas kemampuan perutku.

Duh, dag dig dug jantungku berdetak disco. Inilah situasi yang aku takutkan. Situasi dimana aku mulai nyaman dengan kehadirannya. Kehadiran yang tidak aku harapkan dalam diriku tetapi hati tidak bisa bohong. Dia masih memiliki ruang di dalam dadaku. Aku masih mencintainya.

"Gimana, enak kan? Makan berdua kayak gini. Kenapa kita gak pacaran aja kaya dulu biar bisa suap-suapan lagi," tawar Randy. Sungguh bukan cara menembak atau mengajak balikan yang elegan.

"Kamu masih cinta sama aku kan?"

Deg...

Pertanyaan itu membuatku membeku. Aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku menjawab iya dia pasti semakin getol untuk mengejar ku, tetapi kalau aku jawab tidak, itu artinya aku membohongi diriku sendiri.

"Kasih kesempatan aku sekali lagi," mohon Randy.

Aku terdiam. Tidak ingin menjawab maka aku balikkan pertanyaannya. "Gini Ran. Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?" Randy hanya mengangguk.

"Kalo kamu di suruh milih antara aku dan Aira. Kamu pilih mana?"

"Aira," jawab Randy spontan sambil menyendokkan kuah bakso ke mulutnya.

Aku melongo mendengar jawabannya yang terkesan tidak punya pertimbangan sama sekali. "Secepat itu?!" tanyaku heran. Randy hanya mengangkat kedua bahunya santai.

"Annisa. Aku emang cinta sama kamu, tapi soal Aira itu sesuatu yang mutlak buatku dan gak bisa diganggu gugat."

"Jadi kalo kamu mau nerima aku dengan syarat aku harus ninggalin Aira, maka aku lebih baik mundur."

Aku tertegun mendengar jawabannya itu. Tersinggung? Tentu saja tidak. Aku malah takjub mendengar ucapan Randy yang sangat dewasa menurutku.

Diam-diam aku mengulas senyum di bibirku. Randy benar-benar beda dari laki-laki lain di luaran sana. Biasanya jika pria sedang mendekati seorang wanita maka dia rela melakukan apapun termasuk meninggalkan orang-orang yang dia sayangi. Tapi Randy, dia pria yang bertanggung jawab. Dia rela mengorbankan apapun demi anaknya.

Duh, bisa-bisa aku semakin gagal move on dari pria di depanku ini. Perlahan pandanganku turun ke bawah ke bagian perutku serta mengelusnya. Dulu di dalam sana pernah ada kehidupan dimana setiap wanita mendambakannya.

"Nak, seandainya dulu kamu sempat terlahir ke dunia ini. Mungkin kamu akan jadi salah satu anak yang paling beruntung di dunia karena memiliki ayah yang hebat."

Aku memejamkan mata sejenak dan melafalkan doa untuk anakku yang sudah berada di surga sana.

To Be Continue...
 

Similar threads

Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd