Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nafsu Para Lelaki Paruh Baya

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 5

"Ayah, ini obat sama vitaminnya ya, itu di plastiknya sudah ditulis minumnya berapa kali sehari"
"Semuanya sesudah makan", Nia menemani ayah mertuanya sarapan di meja makan. Ia sedang menyerahkan sekantong plastik obat dan vitamin ke ayah mertuanya.
"Ini Maskernya ya, Yah"
"Dipakai, supaya Mas Lukman dan Ardian gak ikut ketularan.


"Tolak Angin jadi dibeli?"
"Aku mau minum itu dulu, yang lain belakangan saja"


"Ada di dalam plastik, yah"


"Oh, yaudah, biarkan, nanti aku minum"
"Kamu ndak makan?", tanya Pak Rohimin selagi mengunyah sebungkus nasi kuning.


"Belum, mau mandi dulu"


"Ayo buru makan dulu, itu matahari udah turun"
"Habis makan, kita jemur, biar virus itu mati"


Nia kaget dengan ucapan ayah mertuanya. Di balik sifat yang awalnya Nia kira meremehkan penyakit yang sedang dideritanya ini, ternyata Ayah mertua Nia mengetahui cara umum mengatasi problem virus secara tradisional. Di antaranya berjemur di bawah sinar matahari saat pagi.


"Iya Ayah", Nia menarik kursi, sebelum duduk Ia melepaskan Sweater sejenak karena suasana menghangat seiring pagi menyongsong siang.


"Ardian di mana? Udah sarapan belum?"


"Ada di kamarnya, sepertinya dia tidur lagi pulang dari apotek"
"Barengan sama Mas Lukman sarapannya, yah", Nia memulai sarapan.


"Kalo aja ini penyakit ndak dianggep macem-macem, Ardian ndak perlu takut-takut"
"Weleh-weleh, makin hari makin banyak penyakit aneh saja"


"Ayah kalo mau jemur duluan, silakan yah"


"Barengan sama kamu aja", jawab Pak Rohimin begitu bersemangat setelah melihat Nia melepaskan Sweater. Kini, ia baru bisa mengamati dengan jelas postur tubuh menantunya yang seksi dan berisi, karena lengan Nia yang berlemak terbentang menggantung. Ketiaknya pun mudah dilirik saat Nia menggunakan salah satu tangannya untuk makan.


"Gapapa yah duluan, aku kan juga baru mulai makan"
"Keburu mataharinya ketutup awan"


"Nanti saja, Ayah juga nunggu makanan turun ke perut
"..."
"Engghh Nia, kalau Ayah boleh tahu, itu Ardian gak ada rencana dikasih adik?"
"Ayah suka kasian, di rumah jarang diajak omong"


"Susah bagi waktunya juga, yah. Mas Lukman kerja, akunya juga kerja"
"Urus rumah aja sama Ardian kita udah lumayan kerepotan", Nia melahap nasi kuning dengan lauk telur.


"Seharusnya Lukman saja sudah cukup, anakku itu coba saja mau dengar kata Ayahnya"
"Kamu makan yang banyak, Nia"
"Ndak usah didenger kata orang, wong badanmu sekel begini"
"Heuheu", Pak Rohimin mendekati Nia yang tengah asyik mengunyah.
Ditatapnya tajam-tajam Nia yang kini lebih menggiurkan dilihat karena lebih dekat. Sedangkan Nia tak sadar tatapan Ayah mertuanya sudah beda. Dirinya tak menyadari akan diterkam.


"Iya, Aku gak mau terlalu pusing soal itu"
"Capek sendiri..."


"Yowes, kamu nyusul ya?" Awas ndak nyusul"
"Mosok Kamu yang ngingetin Ayah, malah kamu yang beda sendiri"


"Iya, nanti habis beres sarapan, aku juga jemur kok"


"Baiklah, Ayah ke belakang duluan", Pak Rohimin berjalan ke arah halaman belakang tempat biasa Ia duduk santai di kursi bambu kesayangannya. Akan tetapi, Sinar matahari jatuh agak ke pojok dekat dinding pembatas rumah. Tak ambil pusing, Pak Rohimin lalu memindahkan kursi bambunya ke tempat di mana sinar matahari berada. Ia lalu melepas kaos kutangnya, barulah duduk menjemur bagian depan tubuhnya yang sedikit berbulu di bagian tengah hingga menjulur ke arah perut.


Kendati sinar matahari memancarkan seluruh cahayanya ke tubuh Pak Rohimin, justru yang sedang kepanasan adalah 'rudal' di balik sarung.


"Wedus! harus bagaimana ini?!"
"Si burung ndak mau diajak kalem dikit" Pak Rohimin sedikit menyesali kesempatannya tadi pagi. Ia makin bernafsu setelah melihat Nia yang sekarang. Ia belum mau menyerah. Akalnya terus berputar memikirkan cara. Malahan diam-diam Ia mencopot celana dalam yang dikenakan. Sungguh tak ada yang tahu apa yang direncanakan Pak Rohimin.


Di ruang makan, Nia yang sedang dipikirkan dan ditunggu oleh Pak Rohimin, dikira sarapannya bakal lebih lama justru hampir selesai. Ia tak mau kalah semangat dengan ayah mertuanya yang sudah berjemur badan lebih dulu.


"Niaa! Mana kamu ini?! Katane mau ikut jemur?!


"Iya, sabar yah! sebentar lagi"


Mendengar sahutan ayah mertuanya, Nia lekas buru-buru membereskan sisa makan paginya. Selesai minum dan menaruh piring-piring di dapur, Nia kemudian pergi menyusul ke halaman belakang.


"Jemurnya di sini! Ndak ada matahari di situ!"


"Terang banget mataharinya!", ujar Nia menghampiri Pak Rohimin.


"Yang begini yang sehat, ayo duduk di sini", Pak Rohimin bergeser sedikit, kembali memerhatikan daster yang Nia pakai sekaligus mempersilakan Nia untuk duduk. Ketika Nia sudah berada di sebelahnya, Setan hadir kembali membisikki batin Pak Rohimin.


AYO BURU SIKAT INI!! MAU KEHILANGAN KESEMPATAN LAGI LUH!!!


"Jangan keluar rumah dulu ya, yah"


"Iya, aku nurut aja ndak keluar rumah, asalkan makan tetep dibeliin yo"


"Makanan nanti Nia yang urus, ayah fokus aja ke kesehatan Ayah"
"Mudah-mudahan pas dua minggu lagi udah negatif hasil kita berdua"


"Aaamiin"
"Oh iya, susumu gedhe juga ya? Turunan ibumu?"
Kembali tatapan liar mata Pak Rohimin menyorot tubuh Nia.


"Hehe engh, iya..."
"Katanya sih begitu, Aku juga kurang begitu tahu, yah"
"Cuma bisa syukurin aja"


"Woalah, montok banget kamu, Nia"
"Ckckck", geleng-geleng Pak Rohimin.


"Hehe, Ayah bisa aja"
"Oh ya, maafin Nia ya"
"Kalau bukan karena Nia, mana mungkin Ayah jadi ikut-ikutan kena penyakit ini"


"Nah! Nah! Kamu jangan berpikiran begituh!"
"Penyakit yang menimpa kita toh udah diatur sama yang di atas"
"Memangnya pas lagi ndak enak badan, lah kena virus"
"Kamu ndak salah nia, ndak salah", ucap Pak Rohimin menenangkan Nia.
Nia lantas terpesona dengan ucapan ayah mertuanya. Hilang rasa bersalahnya. Nia tak menyangka meski usia tak lagi muda, tapi Pak Rohimin masih punya keyakinan hidup yang kuat. Nia merasa kalah semangat.


Ia lalu memandangi Pak Rohimin yang tubuhnya mulai basah dengan keringat. Peluh membasahi sekujur tubuh ayah mertuanya itu, tak terkecuali Nia sendiri. Dasternya sudah lepek, tak tahu sampai kapan akan selesai berjemur ini.


"Makasih ya, Yah"
"Tapi Ayah emang bener gak mau dirawat?"
"Kan gratis, perlengkapan di rumah sakit juga jauh lebih lengkap"


"Ndak perlu, ayah minum jamu sama yang dibeliin Lukman inih sembuh kok"
"Kan ada kamu juga yang nemenin di sini"
"Hehe...", Pak Rohimin tiba tiba dengan penuh keberanian merangkul pinggang Nia. Mulanya sedikit risih, Nia mengira hal itu wajar saja selayaknya orang tua dengan anak.


"Ayah udah keringetan tuh"


"Kamu elapin dong, jangan dilihat aja", ucap Pak Rohimin seraya menyerahkan kaos kutangnya.


"Ayah ini, sudah berumur, masih aja manja"


Tak ada rasa jijik, Nia terkagum saat mengelap keringat di badan ayah mertuanya. Masih kokoh saja tulang ayahnya sejatinya hidup tak ada yang mengurus di kampung. Entah bagaimana dan siapa yang akan mengurus jika ayah kandung suaminya ini memilih menghabiskan masa tua di kampung. Lebih-lebih saat sakit seperti ini.


"Nia?"


"Iya, Yah?, Nia menatap wajah Ayah mertuanya. Mereka berpapasan.


"Tolong bantu Ayah, sayang", Pak Rohimin lalu mengendorkan sarungnya. Menyeruaklah di hadapan Nia, batang penis Pak Rohimin yang sudah mengeras. Kelamin berkulit coklat tua itu meliuk ke atas. Nia terkejut.


"Ayah ih! Ngaco!"


"Ayo sayang, tolong Ayah"
"Sekali ini saja"


"Gak mau!", Nia memalingkan muka. Dia ingin buru-buru pergi, tetapi salah satu tangan ayah mertuanya menahan pundaknya.


"Dihisap aja, atau kalau kamu tidak mau, tolong dikocok"
"Ayo Nia!"


"Ihh ayah tangannya jangan pegang-pegang"


"Ayah penasaran sama susu kamu", tangan Pak Rohimin yang tadinya memegang pundak Nia, berusaha meraba payudara Nia.


Nia memang terlanjur geram, sebaliknya dia harus akui dirinya berhasil dibuat bergairah oleh Ayah mertuanya. Diamati benda tumpul milik ayah mertuanya. Ayah mertuanya sepertinya punya nafsu yang lebih besar ketimbang Lukman. Nia yang belum disentuh tiga hari belakangan, rasanya tak mungkin menuntut nafkah batin dari Lukman selagi dirinya masih menderita penyakit virus ini. Apa salahnya sekali ini saja ia memberi jatah kepada Ayah kandung dari suaminya. Lagipula Nia yakin hal itu akan berlangsung sebentar. Nia juga telah KB spiral, terkesan aman.


Tapi Nia berusaha melawan, Ia hanya sekadar mau membantu ayahnya klimaks saja. Tangan Nia mulai memegang batang penis ayah mertuanya. Dikocok oleh Nia tanpa diperhatikan.


"Ohhh, enak mantuku sayang"
"Teruskan..."


"Kenapa keras banget kontol ayah"
"Paaah, tolong Mama...", gumam Nia. Sinar matahari kian naik ke atas, berpindah menyinari bagian halaman belakang yang lain.


"Agak cepat, sayang"
"Ohhh...."
"Kenapa mujur betul Lukman bisa dapat bini seperti kamu", Pak Rohimin tak puas Nia hanya mengocok penisnya. Didesak menantunya itu untuk mengemut. Akan tetapi, Nia menggeleng-geleng. Pak Rohimin terus memohon agar dituntaskan. Kembali Nia menolak. Pak Rohimin kehabisan kata-kata. Ia kecewa tidak punya jalan lain lagi.


"Yowes, Ayah selesaikan sendiri saja", ucap Pak Rohimin bangkit berdiri, membetulkan sarung ala kadar. Ia berjalan meninggalkan Nia yang memerhatikan dari belakang dan masih shock dengan apa yang baru dilakukan. Kemudian beberapa menit kemudian Nia berjalan mengendap untuk mencari tahu kemana ayah mertuanya.


"Ini gara-gara kamu, anak gemblung!"
"Ayah jadi susah melampiaskan birahi!"
"Ohhhh..."


Nia menemukan Ayah mertuanya berada di kamar mandi. Tanpa sengaja pintunya lupa ditutup. Ayah mertua nia benar menepati janji, yakni menuntaskan birahi sendirian. Nia pun jadi merasa bersalah lagi. Setelah menulari virus ke ayah mertuanya, Nia beranggapan ayahnya jadi bernafsu karena dirinya. Juga salah suaminya yang tak memperkenankan Pak Rohimin menikah lagi. Nia menimbang-nimbang apakah gerangan yang dia akan lakukan. Diam saja atau.. Nia baru ingat ayah mertuanya punya riwayat prostat. Aduh! Galau jadinya Nia...


Lalu Nia bergerak ke lantai dua, ia mengecek situasi kamar Ardian dan dilihatnya Ardian dalam kondisi terlelap. Tidak lagi mematai ayah mertuanya, Nia malah masuk ke kamar ayah mertuanya.


"Ayah! Ayah!". Suara nyaring Nia membuat Pak Rohimin tergesa-gesa keluar kamar mandi, khawatir terjadi sesuatu pada menantunya. Pak Rohimin kembali mendengar Nia memanggil dan ternyata berasal dari dalam kamarnya. Ketika lekas masuk ke dalam untuk memeriksa,


"Niaa?!!! Apa yang kamu lakukan?!!", Menganga mulut Pak Rohimin. Wajah yang awalnya penuh kegetiran menjadi sumringah. Nia berbaring telanjang di atas tempat tidurnya.


"Jangan main sendirian dong, yah..."
"Nia pengen ditemenin.."
"Aaahhh...."


"Kamu seriusan ini?", Pak Rohimin tak sepenuhnya percaya bahwa di hadapannya sekarang Nia sedang mengusap vaginanya sendiri.


"Buruan Yah, mumpung Ardian masih tidur"
"Sini cepet!"


"Kamu inih!", Pak Rohimin tersenyum. Lalu ia meletakkan sarungnya di sembarang tempat. Dengan kondisi telanjang bulat, Ia lompat naik ke kasur menghampiri menantunya.


"Kamu masih punya hutang sama ayah, ayo dihisap inih"


"Masih keras aja yah..."


"Sebelum masuk ke memek kamu, gak kan lemes dia"


"Umppphhh", tak berlama-lama Nia lantas mengulum penis Ayah mertuanya. Bibirnya maju mundur supaya batang penis ayah mertuanya basah, bahkan kalau bisa segera klimaks.


"Ohhhh, beneran enak mulutmu", Pak Rohimin mendorong-dorong penisnya ke mulut Nia agar nikmatnya bisa tambah pol. Berlomba dengan waktu, Nia menyudahi menghisap penis ayah mertuanya. Ia lalu berbaring, berharap ayah mertuanya segera penetrasi. Kedua paha Nia pun membuka lebar-lebar.


"Ayahhhh, buruan dimasukkin..."
"Keburu, Ardian bangun, terus nanti ayah ngambek lagi"


"Ohhh, hehe"
"Udah sange juga ya kamu, mantuku sayang"


"Aahhh iya, udah kepengen dientot kontol ayah yang keras ituh"
"Buruan yaah...", Nia mengusap liang vaginanya yang semakin becek.


"Dia dataaanggg sayaaaang...", Pak Rohimin mengarahkan ujung penisnya ke vagina Nia.


"Aaaaaaaahhhhhhhhh..."
"Masukin semuanyaaaaaah"


"Ohhhhhhh, ueeenaaak memekmu!", Pak Rohimin berhasil membenamkan seluruh alat kejantanannya ke liang vagina Nia. Ia diamkan sebentar seraya mulai mengumpulkan tenaga untuk memggenjot menantunya itu. Nia tak berdaya. Yang diinginkannya segera adalah Ayah mertuanya agar buru-buru selesai sebelum ada yang mengetahui perbuatan mesum keduanya.


"Uhhh..."
"Bisa juga akhirnya aku entot kamu, sayang"


"Aaahhh, ayah kenapa bisa nafsu sama Nia?"


"Kamu sih makanya jangan kelupaan BH terus, handukkan pula jalan ke kamar"
"Uhhhh, rasakan ini"


"Aahhhhhhh.....", Nia menjerit karena Penis Pak Rohimin mempercepat lajunya dalam vagina nia.


"Sekarang juga ayah bisa hisap susumu sayang"
"Sruppppttttt....."


"Aaaaahhhhhhhh, ayaaahhhh"


"Dua minggu ke depan, ayah minum susumu ini saja yakin bisa sembuh"
"Hehe..."


"Ayaaahhh, aku mau keluarrr!"
"Bareng yah...."


"Orghhhhh, ayooooh, ayah mau merasakan semprotin pejuh di memekmu, Nia", Pak Rohimin dan Nia menyongsong orgasme mereka berdua. Tubuh mereka bermandi peluh sampai lupa kalau mereka sejatinya sudah berkeringat saat jemur di pagi hari.


"Ayaaaahhh!! Ahhhhhhh..."
"Niaaa keluarrrrrrr"
"Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh"


"Ohhhhhhh, rasakan ini sayangggg"
"Crootttttt crotttttt....", Mengejang hebat tubuh Nia dan ayah mertuanya.



=¥=





"Berangkat sendiri lagi Neng Yanti?"


"Iya nih, Pak"


"Bapak anter aja yuk"
"lagi sepi penumpang juga akhir-akhir ini"
"Bayarannya terserah kamu aja"


"Wah gak perlu repot-repot"
"Udah terlanjur mesen ojek online nih"
"Hehe..."


"Owalah kok gitu"
"Hayuk biar bapak anter aja"
"Bayarnya bisa nanti-nanti, hayuk, hayuk..."


"Lain kali aja Pak, maaf yaa"
"Kasian juga driver ojek onlinenya udah deket..."


"Hmmm, baiklah kalo begitu"


Setelah keluar dari rumah dan berpamitan kepada Heri, suaminya, Yanti menunggu ojek online yang akan mengantarnya ke stasiun. Yanti tinggal di daerah Bekasi, apabila menggunakan ojek online dari rumah ke kantornya, tentu tarifnya akan membengkak. Oleh karena itu, ia harus ke stasiun dulu kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Kereta Api Listrik. Baru pesan ojek online lagi untuk menuju kantornya di Jakarta. Padahal, sebelum-sebelumnya suaminya yang rutin mengantar langsung ke kantor selagi sama-sama berangkat kerja. Sayangnya, akhir-akhir ini, semenjak di-PHK, Heri sungguh malas-malasnya karena sedang terbelit masalah besar tanpa sepengetahuan Yanti. Di sisi lain, ketika Heri sedang malas-malasnya itu, tetangga depan rumah Yanti, Pak Ngadimin, berprofesi sebagai ojek pangkalan (OPANG). Ia biasanya menawarkan jasanya ke Yanti saat Heri tidak bisa mengantar atau lagi sepi penumpang. Akan tetapi, Yanti jujur sedikit keberatan dan tak enak apabila sering menggunakan jasa opang Pak Ngadimin, disebabkan lelaki itu kerap menyerahkan soal tarif seikhlasny kepada Yanti.


Di lain hal, Yanti juga tak enak dengan istri Pak Ngadimin, Mak Ida. Meski Pak Ngadimin dan Mak Ida sudah usia kepala lima dan punya anak tiga, Yanti pernah ditegur oleh istri Pak Ngadimin, andai suaminya menawarkan jasa opang ke Yanti sebaiknya ditolak saja. Yanti pun memaklumi sikap yang rupanya cemburu tersebut karena tidak bisa dipungkiri perawakan dan postur tubuh Yanti menarik mata lawan jenis, kalah telak Mak Ida. Lagipula Yanti dianugerahi paras yang cantik dan mengundang decak kagum, eits birahi!


"Pak Ngadimin, mari saya duluan..."


"Iya Neng! Hati-hati!", sahut Pak Ngadimin. Ia tampak kecewa dan heran mengapa Yanti jadi tidak pernah lagi menggunakan jasa opangnya. Apakah karena ia bau. Pak Ngadimin sangat jelas membantah. Sebelum cari rezeki pastinya ia mandi dulu dan tidak pernah lupa mengenakan parfum bawaan. Apa karena ia mata keranjang? Itu yang patut dibenarkan. Pak Ngadimin tidak akan menyangkal hal itu. Membawa penumpang perempuan seperti Yanti kepercayaan dirinya meningkat berlipat-lipat. Dikira punya istri muda, sejatinya malah disangka bawa anak.


"Pak, tolong anter saya", tiba-tiba seorang pemuda menyapanya.


"Kemana?"


"Terminal..."


"Oke siyaaphhh!!!"
"Bentar, itu apa?", Pak Ngadimin menunjuk ke arah gelang yang terkalung di tangan si remaja.


"Gelang anti Corona, Pak"


"Ah yang bener luh?!"
"Masa virus bisa takut sama gelang"


"Udah Pak, nanti aja ceritanya, saya lagi buru-buru"


"Owh iyak maap, maap..."
"Yuk naik...."
"Nih helmnyaa"


Di sisi lain, Yanti dalam perjalanan menuju stasiun gregetan ingin menghubungi Nia, kakak iparnya perihal sikap Heri akhir-akhir ini. Jauh-jauh hari Yanti sudah berniat mengabarkan. Ragu-ragunya, Yanti pernah diingatkan Heri agar tidak sesekali menceritakan persoalan rumah tangga ke Nia beserta keluarganya. Maka, kesabaran lebih sering menjadi pertahanan terakhir Yanti ketika Heri acap bersikap menjengkelkan. Dia yang mencari uang sekarang, tetapi Heri seakan tidak sadar diri posisinya sebagai seorang suami. Yanti paham suaminya baru dipecat, tetapi bukan berarti dipecat itu membuatnya jadi ogah-ogahan juga. Lama-lama menguras hati sikap suaminya, pikir Yanti.


Di balik itu semua, Yanti belum tahu kesalahan berat apa yang telah dilakukan oleh Heri. Baik itu hutang hingga hal yang pastinya membuat rumah tangga Yanti bakal goyang. Sebaliknya Heri, tidak tahu penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Yanti setelah menikah. Seingat Heri, Yanti jauh lebih nakal darinya. Bahkan Heri ketika menikahi Yanti, ia harus menerima Yanti apa adanya bahwasanya calon istrinya itu sudah tidak perawan lagi. Heri tidak protes. Bagaimanapun sebelum menikah juga ia sudah merasai bersetubuh dengan Yanti. Jadi dia diam. Di sisi lain, Yanti pernah berkata kepada Heri bahwa dia ingin merasakan disetubuhin oleh lelaki lain. Heri tak kaget, walau menganggap hal tersebut guyon. Heri sadar Yanti sering jadi bahan imajinasi pria.


BeRsAmBuNg
musti dikirim cendol dulu biar semangat pakde,,,,
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd