Catatan:
1. Cerita ini mengandung unsur SARA namun tak ada maksud rasis.
2. Kesamaan nama, tempat, dan peristiwa adalah kebetulan semata.
3. Genre cerita ini mungkin termasuk kategori drama dengan bumbu “softcore” sehingga konten seksualnya – kalaupun ada - tidaklah sebanyak dan se-eksplisit dalam genre cerita-cerita “hardcore” pada umumnya. Penulis mohon maaf kalau hal ini tak sesuai dengan ekspektasi pembaca.
4. Apabila ada kesalahan penulisan atau hal-hal yang menyinggung maka penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Semua itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan.
5. Di luar itu, tanggapan dari pembaca tentu diharapkan dan akan sangat diapresiasi oleh penulis.
6. Semoga cerita ini dapat bermanfaat atau paling tidak menghibur pembaca.
7. Dimohon tidak copas tanpa mencantumkan nama pengarang atau tanpa seijin pengarang
8. Mohon cerita ini tidak ditiru atau diekstrapolasikan dalam kehidupan nyata secara mentah-mentah. Semua yang terjadi adalah fiksi belaka yang bisa jadi sangat berbeda dengan kehidupan nyata.
Namaku Rico. Mahasiswa, dan salah satu dari sekian banyak manusia yang merantau ke ibukota. Daerah asalku adalah satu kota menengah di bagian timur pulau. Atau sering disebut daerah tapal kuda oleh banyak orang. Tanpa terasa, kini telah 6 tahun lamanya aku tinggal di ibukota negara yang penuh dengan segala hingar-bingar serta drama kehidupan yang begitu beraneka ragam ini.
Pertama kali menjejakkan kakiku disini adalah saat usiaku belum genap 15 tahun. Ketika aku dan kakakku dikirim oleh Papa untuk meneruskan pendidikan kami di ibukota. Saat itu aku baru akan masuk kelas 3 SMP. Sementara kakakku, yang juga merupakan saudara kandungku satu-satunya, akan masuk kelas 3 SMA. Usia kami terpaut hampir tepat 3 tahun. Kami lahir di bulan yang sama dengan tanggal selisih beberapa hari.
Di saat-saat awal kami tinggal di rumah Tante, sepupu jauh dari Papa. Dulunya keluarga tanteku agak kekurangan dan mereka sering dibantu oleh kakek dan papaku. Mungkin karena itu maka tanteku langsung menyanggupi untuk menerima kami. Apalagi kini mereka sangatlah berkecukupan bahkan jauh melebihi keluarga kami.
Namun rupanya lain dulu lain sekarang. Saat-saat awal, mereka sekeluarga mulai dari tanteku, suaminya, dan anak-anaknya menerima kami dengan baik dan ramah. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah itu tanteku jadi sering memarahi kami untuk urusan sepele. Sementara anak-anaknya yang usianya jauh lebih muda dibanding kami juga sering mencari gara-gara lalu mengadu ke orangtuanya.
Yang lebih parah lagi, situasi jadi bertambah sulit karena diam-diam suami tanteku tergiur oleh kecantikan dan daya tarik kakakku. Di usianya antara 17-18 tahun kakakku ibarat bunga yang baru tumbuh mekar sempurna. Di usianya yang 40 tahunan, sepertinya si oom ini sedang memasuki masa puber kedua laki-laki.
Sementara tanteku di usia yang sama sedang memasuki masa-masa krisis bagi seorang wanita. Secara fisik, tentu agak challenging untuk bersaing dengan gadis usia remaja dalam hal daya tarik. Tanpa berupaya kesana sedikitpun, seringkali kehadiran kakakku membuat si oom jadi sexually attracted kepadanya. Apalagi kita tinggal serumah. Tentu ada saat-saat dimana interaksi terjadi kerika kakakku memakai pakaian tidur atau daster yang agak tipis atau juga baju rumah yang membuatnya terlihat sexy tanpa bermaksud untuk tampil sexy apalagi menggoda. Terlebih, memang kakakku punya “asset”.
Sejauh yang kutahu memang tak pernah terjadi si oom melakukan tindakan yang nyata ataupun pendekatan secara eksplisit seperti memaksa atau merayu kakakku. Namun dari sikapnya selama ini terutama cara pandang dan sorot matanya jelas menunjukkan ketertarikan kalau tak ingin disebut nafsu birahi. Hal ini tentu juga dirasakan oleh tanteku. Sebagai wanita paruh baya dan seorang istri, tentu ia lebih sensitif akan hal-hal seperti ini dibanding orang lain. Bahkan hal yang tak ada pun bisa “diada-adakan” dan dicemburuin setengah mati.
Satu hal yang pasti, ia tak pernah membiarkan suaminya lama-lama dengan kakakku. Apalagi sampai sendirian berdua di rumah. Sebenarnya hal ini bagus juga buat kami. Karena dengan demikian kakakku jadi lebih aman. Soalnya aku pun kadang juga agak kuatir kalau-kalau si oom sampai lupa daratan lalu terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tentu pihak perempuanlah yang nantinya akan menanggung kerugian. Termasuk aku, sebagai adik laki-lakinya. Paling tidak, tentu korban perasaan saat kakak perempuan kita dijadikan permainan oleh laki-laki yang bukan pasangannya.
Well, apapun itu, yang pasti situasi jadi kurang kondusif dimana “perang dingin” dan prasangka selalu terjadi tiap hari. Ditambah dengan sikap marah-marah tante kepada kami. Makin lama kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin menyakitkan hati.
Puncaknya, malam itu tante dan kakakku saling “berbalas kata”. Gara-gara tante yang memarahi kakakku karena urusan sepele. Karena tak merasa bersalah, kakakku membela diri. Hal itu membuat kemarahan tante jadi meluap. Lalu keluarlah kata-kata yang intinya mengatakan “kalo kayak gini terus lama-lama kakakku akan jadi seorang pe*ek”. Tak terima dikatakan begitu, kakak mengatai balik yang rupanya sangat menyentuh ego tante. Puncaknya, tante menelpon papa. Intinya, kami berdua disuruh keluar dari rumahnya dalam waktu 1x24 jam. Hanya karena mengingat hubungan saudara saja maka kami tidak langsung diusir malam itu juga.
Setelah sempat tinggal di hotel melati beberapa hari, untungnya kami akhirnya bisa dapat rumah kontrakan. Untungnya juga, saat itu kakakku baru saja melewati ultah-nya yang ke-18. Sehingga secara teknis telah dianggap dewasa dan bisa menandatangi kontrak. Itupun juga pemilik rumahnya mulanya curiga. Dikiranya kami lari dari rumah atau sedang bermasalah. Hanya setelah berbicara dengan papa lewat telpon saja akhirnya ia percaya dengan keadaan kami yang sesungguhnya.
(Saat kami tinggal di hotel melati itu juga ada beberapa kejadian menarik dimana keberadaan kami terlihat menyolok, terutama kakakku, yang mana mengundang perhatian berlebih dari penjaga hotel dan terutama para tamu lainnya yang kebanyakan laki-laki. Mungkin hal ini akan kuceritakan di lain waktu).
Sejak itu, kami tinggal berdua selama bertahun-tahun di rumah kontrakan tersebut.
Index:
Part 1 & 2: di halaman depan
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Epilog
1. Cerita ini mengandung unsur SARA namun tak ada maksud rasis.
2. Kesamaan nama, tempat, dan peristiwa adalah kebetulan semata.
3. Genre cerita ini mungkin termasuk kategori drama dengan bumbu “softcore” sehingga konten seksualnya – kalaupun ada - tidaklah sebanyak dan se-eksplisit dalam genre cerita-cerita “hardcore” pada umumnya. Penulis mohon maaf kalau hal ini tak sesuai dengan ekspektasi pembaca.
4. Apabila ada kesalahan penulisan atau hal-hal yang menyinggung maka penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Semua itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan.
5. Di luar itu, tanggapan dari pembaca tentu diharapkan dan akan sangat diapresiasi oleh penulis.
6. Semoga cerita ini dapat bermanfaat atau paling tidak menghibur pembaca.
7. Dimohon tidak copas tanpa mencantumkan nama pengarang atau tanpa seijin pengarang
8. Mohon cerita ini tidak ditiru atau diekstrapolasikan dalam kehidupan nyata secara mentah-mentah. Semua yang terjadi adalah fiksi belaka yang bisa jadi sangat berbeda dengan kehidupan nyata.
Namaku Rico. Mahasiswa, dan salah satu dari sekian banyak manusia yang merantau ke ibukota. Daerah asalku adalah satu kota menengah di bagian timur pulau. Atau sering disebut daerah tapal kuda oleh banyak orang. Tanpa terasa, kini telah 6 tahun lamanya aku tinggal di ibukota negara yang penuh dengan segala hingar-bingar serta drama kehidupan yang begitu beraneka ragam ini.
Pertama kali menjejakkan kakiku disini adalah saat usiaku belum genap 15 tahun. Ketika aku dan kakakku dikirim oleh Papa untuk meneruskan pendidikan kami di ibukota. Saat itu aku baru akan masuk kelas 3 SMP. Sementara kakakku, yang juga merupakan saudara kandungku satu-satunya, akan masuk kelas 3 SMA. Usia kami terpaut hampir tepat 3 tahun. Kami lahir di bulan yang sama dengan tanggal selisih beberapa hari.
Di saat-saat awal kami tinggal di rumah Tante, sepupu jauh dari Papa. Dulunya keluarga tanteku agak kekurangan dan mereka sering dibantu oleh kakek dan papaku. Mungkin karena itu maka tanteku langsung menyanggupi untuk menerima kami. Apalagi kini mereka sangatlah berkecukupan bahkan jauh melebihi keluarga kami.
Namun rupanya lain dulu lain sekarang. Saat-saat awal, mereka sekeluarga mulai dari tanteku, suaminya, dan anak-anaknya menerima kami dengan baik dan ramah. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah itu tanteku jadi sering memarahi kami untuk urusan sepele. Sementara anak-anaknya yang usianya jauh lebih muda dibanding kami juga sering mencari gara-gara lalu mengadu ke orangtuanya.
Yang lebih parah lagi, situasi jadi bertambah sulit karena diam-diam suami tanteku tergiur oleh kecantikan dan daya tarik kakakku. Di usianya antara 17-18 tahun kakakku ibarat bunga yang baru tumbuh mekar sempurna. Di usianya yang 40 tahunan, sepertinya si oom ini sedang memasuki masa puber kedua laki-laki.
Sementara tanteku di usia yang sama sedang memasuki masa-masa krisis bagi seorang wanita. Secara fisik, tentu agak challenging untuk bersaing dengan gadis usia remaja dalam hal daya tarik. Tanpa berupaya kesana sedikitpun, seringkali kehadiran kakakku membuat si oom jadi sexually attracted kepadanya. Apalagi kita tinggal serumah. Tentu ada saat-saat dimana interaksi terjadi kerika kakakku memakai pakaian tidur atau daster yang agak tipis atau juga baju rumah yang membuatnya terlihat sexy tanpa bermaksud untuk tampil sexy apalagi menggoda. Terlebih, memang kakakku punya “asset”.
Sejauh yang kutahu memang tak pernah terjadi si oom melakukan tindakan yang nyata ataupun pendekatan secara eksplisit seperti memaksa atau merayu kakakku. Namun dari sikapnya selama ini terutama cara pandang dan sorot matanya jelas menunjukkan ketertarikan kalau tak ingin disebut nafsu birahi. Hal ini tentu juga dirasakan oleh tanteku. Sebagai wanita paruh baya dan seorang istri, tentu ia lebih sensitif akan hal-hal seperti ini dibanding orang lain. Bahkan hal yang tak ada pun bisa “diada-adakan” dan dicemburuin setengah mati.
Satu hal yang pasti, ia tak pernah membiarkan suaminya lama-lama dengan kakakku. Apalagi sampai sendirian berdua di rumah. Sebenarnya hal ini bagus juga buat kami. Karena dengan demikian kakakku jadi lebih aman. Soalnya aku pun kadang juga agak kuatir kalau-kalau si oom sampai lupa daratan lalu terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tentu pihak perempuanlah yang nantinya akan menanggung kerugian. Termasuk aku, sebagai adik laki-lakinya. Paling tidak, tentu korban perasaan saat kakak perempuan kita dijadikan permainan oleh laki-laki yang bukan pasangannya.
Well, apapun itu, yang pasti situasi jadi kurang kondusif dimana “perang dingin” dan prasangka selalu terjadi tiap hari. Ditambah dengan sikap marah-marah tante kepada kami. Makin lama kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin menyakitkan hati.
Puncaknya, malam itu tante dan kakakku saling “berbalas kata”. Gara-gara tante yang memarahi kakakku karena urusan sepele. Karena tak merasa bersalah, kakakku membela diri. Hal itu membuat kemarahan tante jadi meluap. Lalu keluarlah kata-kata yang intinya mengatakan “kalo kayak gini terus lama-lama kakakku akan jadi seorang pe*ek”. Tak terima dikatakan begitu, kakak mengatai balik yang rupanya sangat menyentuh ego tante. Puncaknya, tante menelpon papa. Intinya, kami berdua disuruh keluar dari rumahnya dalam waktu 1x24 jam. Hanya karena mengingat hubungan saudara saja maka kami tidak langsung diusir malam itu juga.
Setelah sempat tinggal di hotel melati beberapa hari, untungnya kami akhirnya bisa dapat rumah kontrakan. Untungnya juga, saat itu kakakku baru saja melewati ultah-nya yang ke-18. Sehingga secara teknis telah dianggap dewasa dan bisa menandatangi kontrak. Itupun juga pemilik rumahnya mulanya curiga. Dikiranya kami lari dari rumah atau sedang bermasalah. Hanya setelah berbicara dengan papa lewat telpon saja akhirnya ia percaya dengan keadaan kami yang sesungguhnya.
(Saat kami tinggal di hotel melati itu juga ada beberapa kejadian menarik dimana keberadaan kami terlihat menyolok, terutama kakakku, yang mana mengundang perhatian berlebih dari penjaga hotel dan terutama para tamu lainnya yang kebanyakan laki-laki. Mungkin hal ini akan kuceritakan di lain waktu).
Sejak itu, kami tinggal berdua selama bertahun-tahun di rumah kontrakan tersebut.
Index:
Part 1 & 2: di halaman depan
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Epilog
Terakhir diubah: