Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA PERJALANAN.

CHAPTER 8​

Kami sampai di depan rumah.. tante Fia ingin keluar mobil membuka pagar tapi aku dahului. “ga usah tante Arman aja” kataku. Lalu aku keluar untuk membuka pagar. Ternyata tidak dikunci, mungkin tadi lupa dickunci waktu aku berangkat keluar.

Saat sudah berada di area dalam rumah kulihat tante Asri duduk menunggu di teras depan. Aku keluar mobil dan menuju ke arah tante Asri, begitu juga dengan tante Fia. Aku memeluknya dan memberikan salam, ia juga mengusap-sap rambutku sambil menanyakan kabar seperti yang dilakukan tante Fia. Kemudian berkenalan dengan tante Fia karena mereka belum pernah berjumpa secara langsung.

Masih 10 Tahun lalu...​

Kukira aku akan mendapatkan hal spesial malam itu bersama tante Asri. Namun baru mau masuk ke kamar untuk mengompres tubuhnya dengan air hangat, tak lama Om Joni pulang kerumah. Om Joni berkata padaku bahwa ia sangat lelah... dia juga menyuruhku untuk istirahat dan bincang-bincang besok pagi saya. Aku tidak bisa bohong, bahwa aku sedikit kesal. Satu, waktuku tidak banyak, dan kedua, aku sedang horny dan ditinggalkan begitu saja karena tante Asri ikut menyusul Om Joni ke kamar. Tentu saja, apa yang kuharapkan?

Esok harinya aku bertemu dengan Om Joni dan Om Jono. Sebelum aku mengungkapkan keinginanku untuk meminjam uang... mereka malah membuka omongan soal Om Juri. Ternyata, ada dua puluh orang yang membuat laporan terkait penipuan investasi bodong yang dilakukan om Juri. Dua diantaranya adalah Om Jono dan Om Joni. Si kembar ini melaporkan adik mereka sendiri ke polisi.

Om Jono berkata bahwa mereka berdua telah berinvestasi pada Om Juri, masing-masing satu milyar rupiah. Namun setelah pembayaran tahunan sebagai keuntungan yang dijanjikan tidak kuncung dipenuhi, mereka mulai curiga dan menyelidiki bangunan townhouse yang hanya mereka lihat dari browsur selama ini. Tidak ada apapun, Om juri tidak membangun apapun dan hanya mengelola uang dengan skema ponzi. Maka mereka melaporkan Om Juri ke kepolisian setempat, namun ternyata mereka sudah ada di urutan ke 15 dan 16.

Aku menjadi ragu untuk meminjam uang pada dua saudara kembar ini. Aku tahu Om Juri melakukan hal tidak baik dan salah, namun bukankah seharusnya mereka menghubungi Om Juri dulu sebelum lapor polisi? Om Juri adalah adik bungsu mereka yang jelas membutuhkan bimbingan kakaknya lebih dari apapun. Menjadi pelapor harusnya menjadi opsi terkhir. This guys are snakes.

Bisnis dua orang inipun agak mencurigakan. Mereka sepertinya sibuk untuk mengurus bisnis namun kemarin aku lihat kantornya sepi sekali. Aku tidak melihat banyak orang yang datang, terutama di kantor Om Joni yang aku masuki kemarin. Apakah mereka punya pelanggan? Bagaimana mereka menjaga bisnis itu tetap berjalan selama bertahun-tahun jika tidak ada pemasukan yang stabil, untuk sewa ruko kantor saja mungkin sudah 100 juta pertahun. Ruko kantor mereka masing-masing dua pintu.

Kenapa pula aku memikirkan mereka. Im fucked up myself. Kini waktuku tinggal 4 hari dan aku tidak memiliki jalan keluar. Akhirnya aku hanya bilang pada Om Jono dan Om Joni bahwa aku berkunjung karena belum pernh melakukannya saat bapak dan mamak masih ada. Aku mencoba meminta nomor telepon pada 3 kakak bapak yang lain. Om Jarwo saudara tertua, Om Jajang anak kedua, dan Om Jaafar kakak satu tingkat di atas bapak. Sayangnya aku tidak bisa meminta bantuan kepada tiga orang ini juga.

Om Jarwo karena ia baru saja kehilangan istrinya, tidak mungkin aku datang meminjam uang disaat begini. Om Jajang tinggal di luar pulau dan saat ini sedang berangkat umrah pula. Om Jaafar, tidak memiliki nomor telepon dan ia tinggal di daerah rawan. Pinggiran kota yang terkenal dengan tindak kriminalnya. Kenapa ia tinggal disana? Karena ia jawara kriminalnya.

Hari itu di malam hari aku pulang. Perjalananku tidak membuahkan hasil. Dalam perjalanan di kereta aku hampir tidak bergerak sedikitpun. Perawakanku memang tenang... namun pikiranku campur aduk. Baru saja aku merasakan nikmatnya surga dunia, sepertinya aku bisa menikmati tubuh indah tante Fia selamanya... aku merasakan perasaan ini pertama kalinya. Namun semua itu akan hilang dalam beberapa hari kedepan. Aku akan tinggal sendirian? Bagaimana aku makan sehari-hari. Horni, sedih, kesal, dan iba pada kondisi tante Fia dan Dio bercampur aduk.

8 jam perjalanan, malam hari membuat perjalanan kereta tepat waktu. Aku masuk ke taksi dan pulang menuju rumah Om Juri. Ditemani dinginnya cuaca subuh aku berhenti di depan pagar rumah. Aku berhenti memikirkan apa kemungkinan yang bisa aku lakukan untuk membuat tante Fia bertahan disini. Jika ia pulang ke rumahnya bersama ibu dan adiknya, keadaanya pun tidak akan berubah baik. Hal itu hanya berpengaruh positif padakum bukan pada tante Fia. Ia bukan keluarga kaya, ibunya hanya memiliki warung manisan kecil dan adiknya masih bersekolah. Kembalinya tante Fia hanya akan menjadi beban.

“Arman? kamu kenapa duduk disini?” tante Fia tiba-tiba membuka pagar dan menyapaku. Aku juga terbingung dan memperhatikan tubuhku dan lingkungan sekitar. Sejak kapan aku terduduk? Tampaknya aku bahkan sudah tdak sadar kejadian di sekelilingku.

Bukannya menyuruhku masuk tante Fia malah keluar dan ikut duduk di sampingku. Aku bingung harus berkata apa. Aku merasa sangat tidak berguna saat ini. Tidak bisa melindungi orang yang aku pedulikan, dan hanya bisa bersembunyi menyelamatkan diriku sendiri. Tante fia duduk menekuk lututnya di sampingku dan meletakkan kepalanya di bahuku.

“tante sudah siap-siapin sebagian barang tante man... udah kamu ga usah terlalu mikirin tante. trust me I will be okay.” Tante Fia tampaknya bisa membaca kalutnya pikiranku.

“tante... maafin Arman ya, Arman janji nanti Arman bakal jemput...” belum selesai aku menyelesaikan perkataanku tante Fia sudah meremat mulutku dengan kelima jari mungilnya.

“sssstttt... udah ga usah janji macem-macem. Janji aja sama tante kamu akan berusaha hidup sehat dan sebaik mungkin. Belajar masak jangan makan di luar terus.” Katanya sambil tersenyum menghadap ke arahku. Kenapa ia bisa ceria di saat seperti ini. Hidupku jelas akan baik-baik saja... hidupnya dan anaknya terancam, namun ia malah tersenyum menangkanku. Pikiranku melengkung dan perasaanku luluh... aku berpikir, sungguh.. aku belum dewasa.

“maafin Arman tante..” aku menunduk malu.

Tante Fia mengangkat daguku dan mencium bibirku dengan lembut. Aku merasakan kebahagiaan. Nafsu membara yang ada sejak kemarinpun menghilang.

“tante mau berterimakasih sama Arman. Arman anak yang baik... tante kira Arman Cuma mau tubuh tante aja. Arman bisa aja mengambil keuntungan dari kondisi tante, tapi Arman malah berusaha keras untuk membantu tante, memikirkan tante dan Dio, dan bagaimanapun hasilnya... tante anggap Arman sukses. Arman memberikan tante semangat untuk terus maju.”

Aku memandang matanya tajam. Lama kami saling pandang menikmati momen ini karena waktu kami tidak banyak. Setelah itu aku peluk tante Fia dengan rapat. Mentari mulai bersinar memulai hari yang baru... kami harus terus maju.

Dua hari setelah itu tante Fia dan Dio berpamit padaku. Mereka akan menaiki kereta untuk pulang kerumah orang tua tante Fia. Aku sudah meminta izin Pak Luki untuk mengambil 25 juta lagi guna membatu tante Fia. Ia tidak punya banyak, hanya perhiasan lamalanya dan beberapa barang rumah yang di jual ke website barang bekas dan beberapa kepada tetangga sekitar. Ia harus memulai kembali.

...........​

Sebulan aku hidup uring-uringan sendirian di rumah ini. Jadwal kuliah masih dua bulan lagi. Teman-temanku banyak yang pulang kampung. Sedangkan aku sudah tidak punya kampung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mencoba mencari hobby baru seperti bermain game dan membaca buku, namun sepertinya itu bukan gayaku.

Kabar baiknya tante Fia dan Dio sudah secara berangsur membangun kehidupan mereka kembali. Tante Fia membuka kantin di sebuah sekolah di dekat rumahnya. Ia berjualan makanan berat seperti mi instan, dan jajanan ringan seperti kacang atom. Dio masuk preschool disana dan mulai memiliki banyak teman lagi.

Kamudian aku terpikir bapak dan mamak. Pada masa sunyi begini aku merindukan mereka dengan sangat. Kami bukanlah keluarga yang ekspresif... di rumah tidak pernah ada pembicaraan panjang, jenaka yang mengundang tawa, atau pertengkaran penuh drama. Kami sekeluarga adalah orang yang menikmati kehadiran satu-sama lain tanpa harus melakukan apapun. Namun aku tak merasakan kehadiran mereka saat ini.

Dalam kerinduan yang mendalam, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kampung mengunjungi makam bapak dan mamak. Perjalanan dari kota tidak terlalu lama, entah mengapa aku baru melakukan hal ini sekarang. harusnya kulakukan setiap minggu. Atau setiap bulan paling tidak.

Sesampainya disana aku langsung menuju pemakaman umum dan menuju ke arah makam mamak dan bapak. Mekamnya masih bersih tanpa ada jalaran rumput. Apa ada yang membersihkannya? Aku duduk di antara keduanya... diam, lama sekali. Mungkin aku hanya duduk dan terdiam disana selama dua jam. ya. dua jam.

Tiba-tiba air mataku mengalir... lalu mengalir... terus mengalir lagi semakin deras... suaraku tiba-tiba terisak, napasku tersendat dan aku mulai menangis tersedu-sedu. Aku rindu kalian... apa yang harus aku lakukan? Aku tidak punya siapapun saat ini. Aku merasa sangat tidak berguna, aku tidak mengerti apapun... bagaimana aku belajar? Dari mana aku harus memulai?

Kemudian pikiranku makin menjauh tentang banyaknya hal yang belum pernah aku lakukan bersama mamak dan bapak. Kenapa kita tidak bicara lebih sering? Bagaimana bapak dan mamak bertemu? Bagaimana kalian bisa jatuh cinta hingga menikah? Mamak tidak pernah cerita tentang keluarganya, dari mana asal mamak sebenarnya? Mak, bagaimana cara memasak sarden, kenapa setiap Arman memasak tidak seenak masakan mamak? Padahal itu makanan kaleng, harusnya tidak sulit namun Arman kesulitan.

Aku adalah orang yang solutif... aku tidak akan laut dalam kesedihan dan selalu berfokus pada apa yang bisa aku lakukan. Terus dan terus aku mengulang kata-kata itu dalam pikiran agar bisa menyugesti diriku. Apa yang bisa aku lakukan... apa yang bisa aku lakukan... namun hasilnya nihil. Aku masih saja merasa rindu dan tidak berdaya. aku... tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku harus coba lakukan daripada bingung, melakukan apa? Apa saja... aku hanya kurang pengalaman, maka harus mencari beberapa.

Aku memejamkan mata dan memegang tanah makam bapak dan mamak yang bersebelahan sekaligus. “mak.. pak... maafkan Arman yang hilang arah ini. Arman tahu mamak dan bapak adalah orang-orang spesial yang memiliki karakter kuat. Tapi Arman hanyalah anak manja yang berpura-pura kuat dan tenang. Arman berjanji, sepuluh tahun dari sekarang, Arman akan menentukan pilihan hidup dan menjadi Manusia sesuangguhnya, yang bertanggungjawab dan memiliki manfaat. Namun sebelum itu.. arman akan melakukan banyak hal yang mungkin akan menyimpang dari prinsip nilai hidup mamak dan bapak. Arman tidak tau jalan yang benar, maka Arman akan melakukan apa yang Arman bisa. Hanya untuk sepuluh tahun, Arman berjanji apapun kerusakan yang Arman sebabkan dalam sepuluh tahun kedepan, akan Arman bayar dengan tuntas.”

Aku membuka mataku yang sudah mulai kering dari air mata yang mengalir deras beberapa menit lalu. Aku taburkan bunga ke makam mamak dan bapak. Kemudian aku duduk diam lagi disana sambil memikirkan mamak dan bapak. Maklum aku tidak pandai berdoa... setidaknya aku datang dan menemani mereka saat ini. Sekaligus mengingat mati untukku sendiri.

“maaf mas, siapa ya?” tiba tiba suara sorang perempuan mengagetkanku dari arah belakang. Akupun menoleh.

Seorang perempuan usia 35-an berdiri di hadapanku. Perawakannya mungil seperti tante Asri dan tante Ana, namun yang ini sedikit berisi. Kulitnya tidak secantik kulit tante Fia karena sepertinya ia sering terjemur sinar matahari dan tidak menggunakan perawatan. Wajahnya manis... pinggulnya masih kecil, mungkin ia masih gadis... gadis tuakah? Ia mengenakan daster tipis yang sedikit transparan. Saat diterpa oleh sinar matahari, bentuk tubuhnya terlihat jelas. Sial... tiba-tiba adikku berdiri karena wanita ini. Ini termpat yang sangat buruk untuk mengalami ereksi. Padahal aku baru saja menangis beberapa saat lalu. Di depan makam mamak dan bapak pula. Sadarlah pikiranku, kumohon.

“saya Arman anak almarhum Pak Jaka...” kataku singkat, sepertinya ia mengangguk menyetujukan. “maaf, kalau kamu siapa?” Kataku mengajak mengobrol dan mengajak salaman.

“oooalaaah.. ini Arman toh? Iih.. manggil kamu.. emang ga keliatan bulek umur berapa ya?” katanya malah tersipu...



 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd