Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 30

--------------------
--------------------

015-ap10.jpg

Kecil.

Bersih.

Wangi.

Minimalis.

Empat kata itu yang terlintas ketika aku berada di dalam ruangan ini. Ruangan yang kali ini menjadi saksi bisu pergumulanku dengan Stephanie di Jakarta. Entah mengapa semuanya begitu kabur, dan berjalan begitu cepat.

Entah kenapa kami berdua sekarang ada di dalam apartemennya. Dan kondisi kami berdua sudah jauh. Jauh tenggelam. Semuanya seperti dalam kecepatan fast forward. Dari pelukan di dalam mobil di tengah hujan di Jakarta bagian paling selatan, sekarang kami berpelukan sambil berciuman panas di sofa apartemen Stephanie yang menggemaskan ini.

Semuanya tampak berwarna putih, bersih nyaris tanpa debu.

Entah sejak kapan lapisan pakaian terluar kami juga lepas dari badan kami. Stephanie ada di pangkuanku, sambil memelukku erat, dan bibir kami berdua beradu, seperti tak mau lepas. Tangannya bertumpu pada bahuku dan tanganku ada di pinggangnya. Seingatku, di dalam mobil kami berpelukan dengan baju lengkap, dan sekarang, dia hanya tinggal memakai pakaian dalamnya yang berwarna hitam pekat, kontras dengan kulit putihnya yang pucat.

Wangi tubuhnya menyerang masuk ke dalam hidungku, dan kulitnya terasa begitu lembut, beradu dengan kulitku.

Bibirnya begitu kompatibel dengan bibirku. Rasanya seperti tubuh kami diciptakan untuk bersatu, begitu saja. Di dalam kepalaku, kami berdua seperti akan meleleh dan bercampur menjadi satu.

Dan malam ini, sudah tidak ada pertanyaan seperti di Bangkok lagi. Tidak ada lagi pertanyaan tentang pengaman. Logika kami berdua seperti tumpul. Perasaan kami berdua banjir seperti air yang sudah tidak bisa ditahan lagi oleh bendungan yang mendekati jebol.

“Hhh… Bas…” bisiknya mendadak, setelah melepas bibirku.
“Kenapa?” bisikku dengan nafas yang tak tentu. Kami berdua saling bertatapan.

“Aku…..” nafasnya tampak tak beraturan.
“Ssstt…. Gak usah bicara lagi…”
“Tapi….”
“Yang penting aku sama kamu sekarang” aku bernafas langsung ke telinganya.

“Fuck You…” lanjutnya. “But I Love You”

Mata kami saling bertatapan lagi. Dia menunggu jawaban dariku. Dan mulutku mulai mengeluarkan rangkaian kata-kata yang tak masuk akal. Kata-kata absurd yang sudah lama tak kuucapkan dengan sungguh-sungguh.

“I Love You too, Steph…”
“Mnnn…”

Kami berciuman lagi dan berpelukan makin erat. Permukaan kulit kami beradu, dan bibirku mulai turun, perlahan, ke arah lehernya.

“Aahh..” jeritnya tertahan sambil merasakan getaran yang kuberikan merata di permukaan kulit lehernya. Bibirku berjalan-jalan kesana kemari, menyusuri kulit lembutnya, perlahan, dan tangan kananku mulai menurunkan tali pakaian dalamnya yang sebelah kiri. Kepalaku terus menjelajah ke arah payudaranya dan mulai memberikan ciuman lembut tepat di putingnya.

“Bass… Nnnnhh… Fuck…”
“You curse too much”
“Nnnn…”

Tangannya mulai turun kebawah, meraba punggungku yang tak menempel di sofa, jari-jari kecilnya mulai masuk ke dalam celana dalamku, sambil mencoba merogoh kemaluanku dengan nakal.

“Mmn..” aku mengerang kecil.
“Nnh… Geli..” bisiknya saat dia merasakan lidahku bermain-main di organ seks sekundernya.

Posisi kami tak ideal. Tangannya memaksa masuk memegang benda yang sudah berdiri di bawah sana, tapi ia berada di atas pangkuanku. Karena tangannya agak terus memaksa, bibirku berpindah ke payudaranya yang kanan, dan memberikan sedikit gigitan kecil di putingnya.

“Ngg!!” dia kembali merintih, dan tangannya agak menjauh. Dia kembali bertumpu di leherku, sambil berbisik dengan nafas yang panas. “Sakit Bas…”

“Maaf…” bisikku kecil. Sambil menciumi payudaranya dengan lembut. Untuk beberapa saat, dia tampak pasrah sambil memelukku erat. Tangannya melingkar di leherku, dan kakinya terkait erat di badanku. Badannya yang ramping terasa begitu ringan di pangkuanku. Payudaranya yang indah menjadi bulan-bulananku. Tak terhitung berapa banyak ciuman, hisapan dan gigitan kecil yang hadir di sana. Erangannya tak berhenti, kadang pelan dan kadang keras. Tapi kami berdua sudah tak lagi menahan diri.

“Stop…” Bisiknya. Dia lantas mendorong badanku menjauh, dan dia lalu melepas bra-nya dengan tangan kanannya. Dia beringsut ke arah karpet, sambil mencoba melepaskan celana dalamku, yang tentu saja kubantu dengan tanpa paksan.

Kemaluanku berdiri tegak di hadapan wajahnya. Ia bersimpuh di atas karpet, dan menatap mataku dengan tajam. Sejenak, dia menyibak rambutnya yang sedikit acak-acakan ke arah telinganya.

“Mmmnn..” Dan dengan gerakan yang lembut, mulutnya terbuka dan mulai mengulum batang kejantananku. Matanya tampak tertutup, dan aku bisa merasakan lidahnya bermain disana. Tangannya bertumpu di lututku, dan dia tampak tekun mengulum penisku dengan seksama.

Aku meringis, merasakan getaran yang merambat dari sana ke seluruh tubuhku. Cahaya bulan yang masuk malu-malu dari kaca balkon yang besar, membuat pemandangan Stephanie Kirana Hartanto yang duduk bersimpuh sambil melakukan oral seks adalah pemandangan paling indah yang pernah kusaksikan.

Dia sama sekali tidak menyentuh kemaluanku dengan tangannya. Dia hanya fokus kepada mulutnya yang sekarang sedang bekerja perlahan, memberikan kenikmatan yang mungkin belum pernah kurasakan selama ini.

“Bas…” dia menarik penisku keluar dari mulutnya.
“Nnn?” aku bernafas dengan nafas yang sangat berat, sambil menatap matanya yang tampak begitu bernafsu.
“Aku udah gak bisa lagi…”

Aku mengangguk, dan dia tanpa aba-aba lebih lanjut membuka celana dalamnya dan duduk di atas pahaku. Tanpa gerakan yang banyak, dia mendarat di atas tubuhku. Kami saling berpelukan lagi dan hal itu terjadi lagi.

“Nnn…”
“Ah…”
“Bas…. Nnnn…”
“Nnhhh…”

Kami mengerang berirama, berdua, saat kemaluan kami mulai bersatu. Entah kenapa, rasanya begitu mudah. Sepertinya kami berdua sudah sama-sama tidak tertahankan lagi. Selanjutnya kami berdua hanya fokus berpelukan, berciuman, dan bersetubuh.

Badannya naik turun dengan pelan di atas badanku. Aku mengikuti ritmenya. Saat ini tampaknya sulit untuk menahan ledakan yang mungkin terjadi. Tapi aku fokus pada ritme badannya. Kami saling berciuman, saling memagut, dan suhu hangat yang kurasakan dari dalam tubuhnya menjalar perlahan dari arah kejantananku ke kepalaku.

Dalam kepalaku, Cuma ada wajahnya. Wajahnya yang sekarang, kemarin, atau mungkin besok. Yang kurasakan, hanya rasa manis ciuman kami berdua, dan panasnya gerakan dirinya di atas badanku.

Area kewanitaannya begitu licin, dan dia bergerak dengan tidak sabar.

“Nnnhh.. Bas… Aku…”
“Nnn?”

Entah kenapa, kami berubah posisi. Aku menjatuhkan badannya di sofa, dan aku kini menimpa tubuhnya. Kakinya kupegangi dan dia tampak meronta-ronta tak karuan di atas sofa.

“Nnnn…”
“Steph…”
“Nnnhh…”
“Aku…”

“Aaaahh…” Dia mengejang sedikit, dan tampaknya nafasnya tampak tertahan. “Nnnh… Nhhh…” Dia tampak berusaha melepas badanku. Dan terjadilah. Tanpa aba-aba aku keluar dari tubuhnya.

“Nnn..”
“Hhnn…..”

Sedetik setelah badanku keluar, rasanya sudah tidak tertahan lagi. Mereka tumpah begitu saja di atas sofa. Badan Stephanie mengejang, tanpa bisa menahan rasa puas yang mungkin ia tunggu sepulang dari Bangkok. Tanpa aba-aba, ia menarik tubuhku, kami bergumul di atas sofa yang sekarang kotor itu. Kami berciuman, dan beradu nafas. Kami berdua berpelukan dengan erat, disaksikan bulan malam itu yang bercahaya makin terang.

--------------------

Aku membuka pintu balkon.

Pakaianku sudah kupakai lagi, dan jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Tanpa diminta, aku menyalakan rokok dan menghisapnya dalam dalam.

Aku melirik ke arah Stephanie yang masih tidur meringkuk di atas sofa. Selimut tipis menutup badan indahnya yang tadi, baru saja menjadi satu dengan badanku. Pikiranku kosong.

Sekosong-kosongnya. Aku menatap ke arah langit yang sepi dari awan. Asap rokok berhembus dengan tenangnya dan tertiup angin. Pandanganku teralihkan ke tangan kananku. Jari manisku tampak mencolok.

Dengan gerakan yang agak sulit, aku melepas cincin yang melingkari jariku itu. tampaknya sudah lama dia tidak kulepas. Dalam gerakan yang bimbang, aku menimang dan memainkan cincin itu dengan jemariku yang lain.

Aku mengintip ke dalam cincin tersebut. Ada nama istriku. Aku menarik nafas panjang lagi, menutup mataku dan menghisap rokok dalam-dalam.

Kugenggam cincin itu, sambil mengutuk apapun yang sudah terjadi. Entah apakah aku yang terkutuk malam ini, atau besok-besoknya lagi. Yang pasti, langkah malam ini sudah kuambil dan sudah terjadi.

Rasanya, sudah tidak ada lagi jalan kembali.

--------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd