Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 32

--------------------
--------------------

015-ap10.jpg

“Robert Downey Junior bagus banget disini”
“Setuju”
“Sayang orang lebih kenal dia lewat Iron Man aja ya…”
“Gak salah karena itu populer banget”
“Tapi ini salah satu performance terbaik dia selain film Chaplin”
“Oh yang dia jadi Chaplin sih bagusnya luar biasa”

Kami berdua sedang ada di sofa, di apartemen Stephanie. Adegan demi adegan dari film Zodiac-nya David Fincher berputar di televisi layar datar yang ada di hadapan kami. Kami menonton film yang luar biasa bagus tersebut sambil makan malam.

Ya, kami membeli nasi goreng pinggir jalan yang terkenal, dan kami memilih untuk memakannya di apartemen Stephanie. Kami masih mengenakan pakaian tadi. Kami mengobrol, tertawa, dan mengomentari film tersebut.

Walau aku sudah pernah menonton film itu sebelumnya, tapi sekarang rasanya berbeda. Mungkin itu karena dulu aku menonton film itu sendiri, tidak ditemani oleh siapapun. Selera film ku terlalu berbeda dengan….

Ah. Aku sedang berusaha memblok semua ingatan yang tertuju ke sana. Ke arah istriku. Aku mendadak menelan ludahku, sambil melihat kembali ke arah tangan kananku yang menggenggam sendok plastik. Ada cincin yang melingkar di jari manisku.

“Bas..”
“Hmm?”
“Mau minum apa? Ice tea or more coffee?” Stephanie menyimpan makanannya di coffee table, dan dia berdiri ke arah dapur. Dia membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol teh besar. Ya, itu teh yang biasa kita lihat di pasar swalayan. Aku memperhatikan gerak-geriknya dari tadi.

“Teh aja… Kalo kopi, kayaknya hari ini udah kebanyakan”
“Minuman favorit anak agency…. Kalo gak kopi ya alkohol” senyumnya kecil. “Or do you prefer beer?”

“Gak… Jangan alkohol…” aku menelan ludahku sendiri karena teringat situasi dimana aku minum alkohol terlalu banyak beberapa hari lalu.

“Okay….” Dia menuangkan minuman ke dua gelas yang tampak sederhana dan cantik. Dan dia dengan gerakannya yang anggun dan manis, datang ke arah sofa.

“Here you go” senyumnya manis sekali. Aku tersenyum balik dan mengangguk pelan, tanda berterima kasih.

“Kamu kayaknya kelewatan”
“Oh ya?” tadi, sewaktu mengambilkan minum, Stephanie melewatkan satu adegan dengan dialog yang penting.

“Balikin aja lagi ke adegan tadi”
“Yep” Stephanie mengambil remote control dengan gerakan yang tidak kalah menggemaskannya, sambil mencari adegan yang ia lewati tadi.

“BTW…. Do you know what I miss the most during the pandemic?” tanyaku dengan nada pelan, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa antusias yang amat sangat.

“Apa tuh? Ke luar negri? Kan udah kemaren kita ke Bangkok” jawabnya pelan, dengan mata terus menatap ke arah televisi.
“Nonton musik”
“Ah…”
“Yep, konser… Tadi aku liat di IG gitu, udah lama banget enggak… Udah dua taun lebih gak dateng ke acara-acara gitu…” sambungku.
“Well… Yuk pergi… Kapan emang acaranya?”

“Besok” aku memperlihatkan sebuah postingan di instagram. Ada sebuah tempat baru dengan live music reguler. Kebetulan yang jadi headliner besok, namanya sudah pasti familiar di orang-orang dengan umur sepantaranku dan Stephanie.

“Hahaha… Jadi inget dulu” tawanya.
“Kenapa?”
“Waktu aku baru lulus, terus balik ke Indo, sering banget kesana sini nontonin acara musik… Ibaratnya mencoba fit-in lagi di lingkungan Jakarta” lanjutnya dengan mata yang berbinar-binar.

“Mau kesana?” tanyaku. Kami berdua bertatapan.
“Boleh”
“Okay” balasku pelan. “It’s a date”

Stephanie tersenyum dengan manis, dengan aura menggemaskan yang kurindukan sepulang dari Thailand.

“It’s a date” balasnya.

--------------------
--------------------

unit10.jpg

“Akhirnya… Balik lagi setelah sekian lama kita dikurung di dalam sangkar emas kita”

Ucap sang vokalis. Suara riuh penonton terdengar seperti suara ombak di dalam ruangan itu. Venue ini masih baru, dan aku tidak bisa menemukan muka yang kukenal. Jadi aman. Tapi aku dan Stephanie sudah berjanji untuk tidak mempertontonkan kemesraan di hadapan banyak orang.

Jadi kami berdua, duduk di area bar, jauh dari kerumunan yang tampak seperti riak-riak air di depan panggung.

Di tanganku, bertengger sebotol bir dingin. Dan di tangan Stephanie, segelas minuman entah apa. Aku tidak bisa mendengar obrolannya dengan bartender di tempat seberisik ini.

Ya, berisik. Sudah sekian lama aku tidak menonton musik live. Sudah berapa tahun? Aku ingat Listya tidak pernah suka datang ke tempat-tempat seperti ini. Kenangan ketika aku kuliah, kesana kemari bersama beberapa teman untuk menonton konser kembali lagi. Dan aku sangat bersemangat mendengarkan musik-musik keras yang tidak mungkin kita dengarkan keras-keras di rumah ataupun di kantor.

“Tatonya nambah banyak kayaknya” bisik Stephanie, dengan nafas bau rokok di telinga kananku.
“Mungkin pas jaman covid kemaren biar gak bosen nato terus kali ya” tawaku, sambil menatap ke sang vokalis.

“Yep, sangkar emas…” bisik sang vokalis dengan microphone yang kabelnya sudah digulung gulung. Dia sudah tidak mengenakan atasan. Dia hanya mengenakan celana jeans berwarna gelap dengan aksen robek dimana-mana. Tanpa ikat pinggang, dengan sneakers yang biasa digunakan orang-orang main skateboard.

“Nah kalo dia enak, dikurung sama anak istri… Kalo gue?” canda sang vokalis sambil menunjuk ke arah gitaris yang hanya tersenyum itu. Mas-mas gitaris berambut pendek rapih itu, tampak nyaman di atas panggung. Dia menenteng gitar yang tampak mahal harganya, dengan celana jeans warna hitam, t-shirt hitam bersablon lambang sebuah band terkenal dan sepatu boot casual.

“Mesti gue bocorin, kelakuan lo pas lockdown ngapain aja?” sang bassist mulai meledek sang vokalis, sambil memainkan sedikit-sedikit intro lagu berikutnya.

“Diem kontol… Main bass aja sana” hardik sang vokalis, dengan rambut gondrong dan brewoknya yang tak beraturan. Drummer yang tampangnya seperti robot itu mulai mengikuti irama bass, dan tanpa aba-aba, sang gitaris masuk.

“WOOOO!!!!” suara para penonton kembali riuh, mereka bergerak mengikuti irama, terbius alunan musik rock yang keras, namun tidak kasar ini. Satu-satunya yang kasar adalah tata bahasa sang vokalis, yang sekarang berubah menjadi lirik-lirik puitis yang miris, bercerita tentang entah apa. Yang pasti, tema lagu mereka selalu serius.

“Coba tebak” bisik Stephanie.
“Tebak apaan?”
“Dulu aku ngecengin siapa dari mereka?”
“Yang maen gitar kan?”
“YES!! Bener banget” tawa Stephanie dengan geli. “Aku sampe ngantri minta tanda tangan di cd mereka waktu itu”

“Yang mana?”
“Album yang sebelum mereka tur Jepang”
“Oh, inget, aku juga dateng ke acaranya…. Yang di warehouse itu kan….”
“Wah, coba kita udah kenal dari dulu”
“Hehe”

Kami berpandangan sambil menikmati suasana. Lucu rasanya melihat anak-anak muda jaman sekarang masih bisa asyik mendengarkan Hantaman. Band yang tumbuh bersama orang-orang yang sekarang usianya sudah 30-an ke atas.

“Tunggu bentar…” Aku turun dari kursiku.
“Kenapa?”
“Aku mau ke WC”
“Ok”

Aku menyimpan botol bir itu di meja, sambil berjalan ke arah kamar kecil, toilet, atau entah apapun namanya itu dengan hati berbunga-bunga. Aku sudah lama tidak datang ke tempat-tempat seperti ini dengan perasaan senang. Di perjalanan singkatku, aku menyalakan rokok dan menikmati dentuman lagu-lagu keras yang terdengar.

Sungguh, ini perjalanan ke wc paling menyenangkan yang pernah kualami. Tak lama aku melakukan urusanku di dalam sana. Setelah membuang hajat kecil, aku kembali ke arah bar.

Dan aku menemukan pemandangan yang menurutku tidak enak dilihat.

Stephanie tampak bermuka masam, sambil berbicara serius dengan seorang lelaki di depannya. Aku bisa melihat sang lelaki tersenyum sinis dan Stephanie tampak tidak ingin berbicara dengannya.

“Hei… Ada apa? Apa ada masalah?”

Entah kenapa instingku menyuruh aku mengatakan itu. Aku bisa mencium bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Oh… Sorry… Steph udah punya pacar ternyata” senyum kecil lelaki itu. “Gue sangkain belum”

“Ada apa ya?” aku menangkap rasa tak nyaman dan gestur meledek dari lelaki yang sepertinya berdarah tionghoa itu.

“Kalo gitu gue ga ganggu deh” tawanya. Dengan refleks, aku memeluk dan menarik bahu Stephanie dengan tangan kananku, mempertontonkan kelemahanku dengan tidak sengaja.

“Wait-wait-wait-wait” lelaki itu tampak bingung, tapi dia tampak ingin tertawa. “After all those year, kamu sekarang malah sama laki orang? Fuck Steph.. Hahahaha”

Shit. Dia melihat cincin ditangan kananku.

“Bukan urusan lo” kesalku.
“Emang bukan… Bye Steph.. See you around” lelaki itu berlalu dan aku terpancing. Aku bergerak ke arahnya, tapi Stephanie lebih cepat dari aku.

“Bas…”
“Shit”
“Pulang yuk….”
“Apa?”
“Kita pulang aja”
“What?”

“Let’s go home, Please?” pintanya.
“Siapa itu Steph?”
“….” Dia hanya diam.
“Siapa dia?”
“……..”

“Answer me, siapa dia?”
“…………”

--------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd