Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pesantren Series (Remake)

Status
Please reply by conversation.
Chapter 1



Zaskia

05:00
Suara kumandang adzan berseru membangunkan penghuni pondok pesantren al-fatah. Beberapa santri, Ustad dan Ustadza berbondong-bondong pergi ke masjid, tetapi sebagian lagi memilih untuk shalat di rumah mereka masing-masing.

Zaskia baru saja selesai shalat subuh, ia belum melihat adanya Rayhan keluar dari dalam kamarnya. Sembari mendesah pelan ia menghampiri kamar adik iparnya.

Sudah menjadi rutinitasnya membangunkan Adik iparnya setiap pagi, sehingga ia menjadi terbiasa marah-marah setiap pagi.

Perna satu kali Rayhan bangun sendiri, entah kenapa hari itu Zaskia merasa ada yang hilang.

Tok... Tok... Tok...

"Dek... Bangun." Panggilnya, tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Lagi ia mencoba menggedor dan memanggil adiknya, menyuruh adiknya untuk segera melaksanakan shalat subuh, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam kamar adiknya.

Zaskia segera membuka pintu kamar Rayhan yang tidak terkunci, di dalam kamar Rayhan tampak masih mendengkur sembari memeluk bantal gulingnya.

"Astaghfirullah Adek." Ucap Zaskia menggelengkan kepalanya.

Ia menghampiri Rayhan, mengguncang-guncang tubuh Rayhan, tetapi tetap tidak ada respon, hingga akhirnya ia menjewer kuping Rayhan hingga pemuda itu meringis kesakitan.

"Aduh... Aduh... Aduh..." Rutuk Rayhan sembari memegang jemari halus Zaskia yang tengah menjewer kupingnya.

Dengan mata melotot Zaskia menatap adiknya. "Bangun, shalat subuh dulu." Omel Zaskia, dengan tatapan bengis kearah Rayhan.

"Iya, sebentar lagi kak."

"Astaghfirullah Ray! Kenapa kamu ini susah sekali di bangunkan! Ingat shalat itu kewajiban, lawan kantuk kamu." Nasehat Zaskia, sembari menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Rayhan.

Kemudian Zaskia menuju jendela kamar adiknya, membuka jendela kamar Rayhan, agar udara segar masuk ke dalam kamar adiknya. Tidak sampai di situ saja, ia juga mulai membereskan kamar adiknya yang berantakan, dari menyusun buku-buku yang berserakan di lantai, hingga memunguti bekas makanan ringan dan tissu.

Diam-diam Rayhan memandangi Kakak iparnya yang tengah menungging, memunguti bekas sampah yang ada di bawah lemari pakaiannya.

Matanya bagaikan elang menatap bulatan pantat Zaskia yang berbentuk membulat sempurna di balik mukenna berwarna putih yang di kenakan Zaskia, bahkan samar-samar ia bisa melihat siluet dalaman Zaskia yang berwarna hitam.

"Kamu bisa gak Dek, habis makan itu di bereskan." Rutuk Zaskia kembali.

"I-iya Kak." Jawab Rayhan agak gugup.

Diam-diam ia menyusupkan tangannya ke dalam celana pendek miliknya, mengurut kejantanannya yang terasa hangat dan keras.

Zaskia menoleh kebelakang, dengan cepat Rayhan menarik kembali tangannya sembari berpura-pura kembali tidur. Zaskia yang melihat Rayhan masih tiduran langsung menegurnya kembali. "Masih belum mau bangun juga? Mau kakak jewer lagi." Ancam Zaskia geregetan dengan kelakuan Rayhan.

"I-iya Kak." Jawab Rayhan cepat, ia menyingkap selimutnya, lalu turun dari tempat tidurnya.

Sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, ia menatap wajah cantik Zaskia yang rasanya tidak pernah membosankan untuk di pandang.

Rayhan merasa sangat bersyukur bisa tinggal satu atap dengan wanita secantik Zaskia. Andai saja dulu ia menolak mondok di pesantren, mungkin ia tidak akan bisa sedekat ini dengan Kakak iparnya.

Sejenak suasana mendadak hening, Zaskia menutup mulutnya yang mengangah dengan telapak tangannya, dan mata Zaskia yang tadinya melotot kini terlihat sayu memandangi sebuah tonjolan yang cukup besar di celana adiknya. Sanking ketatnya celana yang di kenakan Rayhan, Zaskia dapat melihat jelas garis cetakan kontol Rayhan di celananya. Di tambah lagi, Zaskia melihat ada bekas bercak sperma di celana pendek yang di kenakan Rayhan.

Sebagai wanita normal sudah sewajarnya kalau ia kaget melihat tonjolan besar di celana Rayhan, bahkan ia meyakini kalau milik Adik iparnya jauh lebih besar ketimbang milik Suaminya.

"Ya Allah itu kontol adikku? Astaghfirullah...." Bisik hati Zaskia.

Buru-buru Zaskia menyingkirkan pikiran liarnya, ia segera bangun tanpa melihat langsung kearah Adiknya. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau Zaskia sangat gugup setelah melihat terpedo milik adik iparnya.

"Astaghfirullah... Ya Allah maafkan hambamu."

"Aku ambil wudhu dulu ya Kak." Ujar Rayhan membuyarkan lamunan Zaskia.

"Tu-tunggu dulu Dek..." Cegah Zaskia.

Rayhan mengangkat satu alisnya dengan pandangan bingung. "Kenapa Kak?" Tanya Rayhan.

"Mandi wajib dulu." Ujar Zaskia cepat, yang kemudian menunjuk selangkangan Rayhan dengan dagunya. Reflek Rayhan menutup selangkangannya dengan kedua tangannya.

"Eh i-iya Kak."

"Mimpi basah lagi ya kamu Dek?"

Rayhan mengangguk malu.

Zaskia menggelengkan kepalanya. "Mimpi basah kok hampir setiap hari si Dek." Ujar Zaskia tidak habis pikir dengan kebiasaan Rayhan yang suka sekali mimpi basah.

Tapi anehnya, walaupun sudah sering melihat kondisi Rayhan seperti saat ini, tetap saja Zaskia selalu terperangah dan salah tingkah. Seakan-akan ia tidak percaya kalau Rayhan memiliki terpedo yang sangar besar.

Setelah sedikit menceramahi Rayhan, Zaskia pergi meninggalkan adiknya.

Selepas kepergian Zaskia, bukannya segera mandi wajib, Rayhan kembali onani sembari membayangkan sosok Zaskia Kakak iparnya.

*****


Farah

KH Shamir baru saja pulang dari masjid, saat hendak ke kamarnya ia tidak sengaja mendengar suara tangisan cucunya di dalam kamar anaknya. Karena ia pikir tidak ada orang, KH Shamir langsung membuka pintu kamar anaknya tanpa permisi terlebih dahulu.

Dan ternyata di dalam kamar ada Farah yang sedang menyusui cucunya.

Langkah KH Shamir terhenti, genggaman tangannya di handle pintu kamar anaknya semakin erat, sementara mata tuanya menatap tajam kearah gumpalan daging montok yang menggelantung indah di dada menantunya.

"Ya Allah, Astaghfirullah..." Gumam hati KH Shamir.
Farah yang tidak menyadari ada seseorang di balik pintu kamarnya malah terlihat santai membiarkan payudaranya terekpose.

Sedangkan KH Shamir yang melihat kejadian tersebut tampak panas dingin.

Payudara Farah terlihat membulat sempurna dengan puting merah menyala yang kini sedang di lahap oleh anaknya, membuat KH Shamir menjadi terbakar birahi.

Cukup lama KH Shamir melihat menantunya yang sedang menyusui cucunya, hingga akhirnya ia di sadarkan oleh panggilan Farah yang baru menyadari kehadiran mertuanya di depan pintu kamarnya.

"Abi..." Sapa Farah.

"Astaghfirullah..." Kaget KH Shamir.

Ia tersenyum memandang mertuanya, tanpa berusaha menyembunyikan payudaranya, karena Aldi sedang menyusu.

"Maaf Nak Farah, Abi tidak tau kalau kamu sedang menyusui Aldi." Ujar KH Hasan yang terlihat panik, tapi pandangannya tetap tertuju kearah payudara Farah yang mempesona, membuatnya sulit mengontrol diri.

"Iya Bi, gak apa-apa! Abi baru pulang dari masjid?" Tanya Farah, jemari halusnya sekilas menyibak jilbabnya yang sedikit menutupi sebagian payudaranya.

Jakun KH Shamir bergerak naik turun, nafas tuanya perlahan terdengar berat. "I-iya Nak! Sekali lagi Abi minta maaf, tadi Abi dengar Aldi nangis, Abi pikir tidak ada orang." Sambung KH Hasan menjelaskan kronologis nya, ia takut Farah salah sangka kepadanya, dan memberitahu suaminya yang akan membuat kesalahpahaman semakin besar.

Farah tersenyum manis. "Ya Allah Bi, kayak sama siapa aja." Jawab Farah santai, sembari mengusap hidung anaknya. "Sini Bi, Aldi kangen sama Kakeknya! Iyakan sayang, Aldi kangenkan sama kakek." Ucap Farah.

Sejenak KH Shamir tampak ragu, tapi pada akhirnya ia menerima panggilan tersebut.

Dengan perlahan KH Shamir mendekat, walaupun perasaannya saat ini sedang tak menentu, antara ingin menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya, atau bermain dengan cucunya.

"Sadar Shamir, dia menantumu, dia Istri dari anakmu. Istighfar Shamir..." Jerit hati KH Shamir.

Kemudian Farah menyerahkan Aldi ke KH Shamir. Saat KH Shamir mengambil Aldi dari gendongan Ibunya, tanpa di sengaja lengan KH Shamir malah menyentuh payudara menantunya itu, membuat bulu-bulu halus di lengannya tampak berdiri.

Farah terlihat menutupi payudaranya dengan jilbab miliknya seadanya, membuat KH Shamir merasa lega, walaupun ada sedikit rasa kecewa.

"Aldi mirip Abi ya?" Ujar Farah.

KH Shamir mengangguk. "Tapi bibirnya mirip kamu nduk! Tipis." Jawab KH Shamir, pria tua itu tampak menatap sekilas bibir Farah yang tipis berwarna merah muda.

"Aldi... Seneng ya di gendong kakek."

"Seneng banget Umi, hehehe..." Jawab KH Shamir mewakili cucunya.

Tetapi baru lima menit berada di dalam gendongannya, tiba-tiba Aldi menangis. Terpaksa KH Shamir kembali menyerahkan cucunya kepada Farah untuk mengambil kembali Aldi dari gendongan KH Shamir.

Mata tua KH Shamir membesar ketika Farah menyibak jilbabnya, hingga payudara sebelah kanannya kembali terlihat, kejutan tidak sampai di situ saja, tiba-tiba Farah mengeluarkan payudara kirinya dan memberikan payudara kirinya itu untuk putranya Aldi, dan membiarkan payudara kanannya menganggur, menggantung bebas di samping KH Shamir.

Tanpa sadar KH Shamir melototi payudara Farah, putingnya yang besar terlihat sedikit basah oleh asinya yang penuh.

Kedua tangan KH Shamir terkepal, rasanya ingin sekali KH Shamir meremas payudara Farah, menumpahkan susunya ke dalam mulutnya. Untunglah imannya masih tersisah sedikit sehingga ia masih bisa menahan diri.

"Astaghfirullah aladzim." Bisik hati KH Shamir.

Ia tampak menghela nafas, menyadarkan dirinya kalau wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah menantunya sendiri.

Segera KH Shamir beranjak dari tempat duduknya. "Farah, Abi ke kamar dulu ya, mau lanjut baca kitab" Ujar KH Shamir pelan, dengan suara yang terdengar berat.

"Iya Bi! Nanti mau Farah buatkan kopi?" Tawar Farah.

"Nanti saja, takut gak khusuk." Jawab KH Shamir.

Sebelum meninggalkan kamar anaknya, untuk terakhir kalinya KH Shamir menatap buah melon milik menantunya itu untuk terakhir kalinya. Perlahan seraya mendesah pelan, ia menutup kembali pintu kamar anaknya dan bergegas kembali ke dalam kamarnya. Di dalam kamar KH Shamir yang sedari tadi menahan birahinya, segera membuka celananya lalu beronani.

KH Shamir sadar kalau dia sudah lama menduda, sehingga ia sulit sekali mengontrol hasratnya ketika melihat kemolekan payudara menantunya sendiri. Di tambah lagi, KH Shamir merasa kalau Farah seakan sengaja menggodanya. Tetapi pikiran itu ia buang jauh-jauh.

*****


Laras

Laras tengah duduk di pinggiran tempat tidur putranya yang tengah terlelap. Dengan perlahan ia mengusap lembut kening Azril.

Walaupun anak kandungnya itu telah tumbuh menjadi anak remaja, tetap saja di mata Laras Azril adalah bayi kecilnya yang sangat Laras sayangi.

Laras menyandarkan punggungnya, sembari menatap kamar Azril yang selalu rapi. Di pojokan kamarnya terdapat meja belajar, dan rak buku yang tersusun sangat rapi.

Sungguh Laras merasa bangga memiliki anak seperti Azril. Selain patuh terhadap orang tua, Azril juga anak yang berprestasi. Satu bulan yang lalu, mereka merayakan keberhasilan Azril yang telah berhasil menghafal tiga puluh Juzz. Rasanya sangat jarang menemukan anak seusia Azril bisa menghafal 30 juz.

"Bangun Nak! Subuh dulu." Panggil Laras lembut.

Tubuh Azril menggeliat, dan sedetik kemudian ia membuka matanya. Laras menyambut pagi Azril dengan senyuman terbaiknya. Dan tanpa di sadari Laras, senyumannya membuat anak remaja tersebut menjadi salah tingkah.

Azril segera bangun, ia duduk di atas tempat tidurnya sembari melihat kearah jam dinding kamarnya dengan motif Spiderman. "Astaghfirullah! Sudah setengah enam." Gumam Azril.

"Masih ada waktu!" Laras membelai anak rambut Azril.

Laras mengerti kenapa Azril akhir-akhir ini sering bangun terlambat. Sehingga ia memakluminya.

Azril melihat kearah Ibunya. Dalam diam ia menelan air liurnya yang terasa hambar, ketika matanya menangkap siluet belahan payudara Laras diantara lipatan kimono yang di kenakan Laras. Sebagai anak remaja, sudah sewajarnya kalau Azril terangsang melihat pemandangan indah tersebut.

Tetapi karena Azril takut ketahuan, ia cepat sadar akan kesalahannya. Buru-buru Azril membuang mukanya, ia menatap kaligrafi yang ada dinding kamarnya yang bercat putih, sebagai pengalihan.

"Kalau ngantuk tidur lagi aja sebentar." Suruh Laras. Ia merasa tidak tega melihat Azril menahan kantuk.

Azril tersenyum. "Takut kebablasan Umi." Sahut Azril, tanpa melihat kearah Ibu Tirinya. Ia takut kembali khilaf, walaupun setan sudah berusaha membujuk dirinya untuk melihat kearah Laras yang pagi ini tampil seksi.

Tiba-tiba Laras menarik tangan Azril, membuat tubuh Azril limbung dan jatuh kedalam pelukan Laras. Dan beruntungnya atau sialnya bagi Azril, wajahnya bersandar tepat diatas payudara Ibu Tirinya, benda empuk yang menjanjikan sejuta kenikmatan. Dari jarak yang begitu dekat Azril dapat mencium aroma tubuh Ibunya.

Laras yang tidak mengerti akan penderitaan Azril, malah mendekap kepala Azril, membuat nafas Azril menjadi tersengal-sengal. Seumur hidupnya, baru kali ini wajahnya menyentuh payudara Laras.

Azril membuka matanya, dengan tatapan tidak percaya, ia dapat melihat jelas belahan bongkahan payudara Laras yang memang tidak mengenakan bra untuk melindungi payudaranya yang berukuran 34F. Bahkan ia bisa melihat puting Laras yang berwarna kecoklatan sebesar biji kacang.

Buru-buru Azril menurunkan pandangannya, dan kali ini ia di suguhi pemandangan yang tidak kalah indahnya. Sepasang paha mulus beserta gundukan vagina Laras yang masih tersimpan di balik kain segitiga berwarna hitam yang telah lecek. Lagi Azril menelan air liurnya. Sungguh ia tidak menyangkah, kalau sepagi ini akan di suguhi pemandangan yang begitu indah, sekaligus menyesatkan.

"Astaghfirullah..." Azril bergumam pelan.

Laras mengecup lembut ubun-ubun kepala Azril. "Gimana hafalan kamu sayang?" Tanya Laras, ia sama sekali tidak sadar, kalau sikapnya yang bermaksud ingin membuat Azril merasa nyaman, malah membuat anak remaja itu menderita.

"Al-alhamdulillah U-Umii, masih lancar!" Jawab Azril gugup.

"Yang sulit dari menghafal itu, bukan waktu menghafalnya, melainkan menjaganya sayang! Karena itu kamu harus menjaga hafalan kamu dengan baik." Jemari Laras membelai wajah Azril, sembari menatapnya.

"Iya Umi, insyaallah Azril akan menjaganya." Jawab Azril ragu. Ia tidak yakin bisa mempertahankan hafalannya, kalau Ibu Tirinya tidak juga melepaskan dirinya.

Sebenarnya Azril ingin sekali meminta Laras untuk berhenti memeluknya. Tetapi ia takut Ibunya akan tersinggung. Tetapi kalau dia hanya diam saja, ia juga tidak yakin bisa menjaga pandangannya lebih lama lagi, karena penampilan Laras yang seksi seakan menari-nari di kelopak matanya, walaupun ia sudah memejamkan matanya.

******

Dengan langkah gontai Azril berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Banyangan kemolekan tubuh Ibunya seakan tidak mau menghilang dari pikiran nya. Saat berada di dalam kamar mandi, ia mendengar suara gemericik air yang menandakan kalau ada seseorang di dalam toilet.

Azril yang tadinya terlihat lesu, kini berubah menjadi bugar. Matanya menatap tegang kearah pintu toilet kamar mandinya.

Perlahan Azril mengambil bangku kecil, dan memposisikan bangku tersebut di depan toilet. Ia menjadikan bangku itu sebagai pijakan agar bisa mengintip ke dalam toilet. Perlahan dengan nafas memburu, ia mengintip melalui pentilasi kamar mandi.

Tampak di dalam kamar mandi Laras Ibu tirinya sedang duduk di closet.

Seeeeeeeerrrr....

"Ughk..." Azril mendesah pelan mendengar gemericik air kencing Ibunya.

Sembari mengintip Ibunya yang sedang buang air kecil, Azril mengurut-ngurut burungnya. Matanya tidak berkedip memandang lekat kemaluan Ibunya yang di tumbuhi rambut halus.

Sekitar lima menit Azril mengintip Ibunya kencing, saat Laras hendak mencuci kemaluannya Azril buru-buru turun dan berpura-pura mengambil wudhu.

Saat Laras keluar dari toilet, ekor mata Azril memandangi Ibunya yang sedang meletakan celana dalamnya kedalam mesin cuci, lalu tanpa menyapa Azril Laras meninggalkan anaknya yang sedang mengambil wudhu.

Selepas kepergian Laras, Azril langsung mengambil celana dalam Ibunya, dan bergegas masuk ke dalam toilet sembari membawa celana dalam Laras.

Azril buru-buru membuka celananya lalu sembari onani Azril mencium aroma celana dalam Ibunya yang basah dak berbauk pesing. Azril terlihat sangat menikmati aroma celana dalam Ibunya, walaupun sebagian orang menganggap hal tersebut menjijikan.

*****

06:30


Zaskia

Di ruang makan tampak Rayhan bersama Zaskia tenga sarapan. Di saat mereka sedang khusuk menikmati sarapan mereka tiba-tiba seekor kucing liar melompat keatas meja membuat Zaskia tersentak kaget hingga ia latah dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas.

Meoooong...

"Kontooool... Eh... Kontooool..."

"Ehuk.... Huk..." Rayhan sampai terbatuk mendengar ucapan Zaskia.

Sadar kalau dirinya baru saja mengatakan hal yang salah, buru-buru Zaskia memperbaikinya. "Astaghfirullah... Isst... Ni kucing sana-sana." Usir Zaskia sembari mengibaskan tangannya kearah si kucing berwarna oranye.

Tetapi kucing itu seakan tak bergeming, bahkan ia balik melawan dengan mencakar tangan Zaskia, hingga membuat Zaskia kembali terpekik.

"Eh kontol... Ya Tuhan... Kontol..." Latah Zaskia.

"Huhahahaha..." Tawa Rayhan tak tertahankan. "Ya Allah Kak." Goda Rayhan, membuat wajah Zaskia merona merah.

"Usir kucingnya Dek." Suruh Zaskia tak menggubris Rayhan.

Masih menahan tawa Rayhan mengambil kucing tersebut, tapi bukannya membawa kucing itu keluar, Rayhan malah mengagetkan Zaskia dengan pura-pura melempar kucing tersebut kearah Kakaknya, membuat Zaskia kembali terpekik.

"Kontoooolll... Eh Adeeek..." Jerit kesal Zaskia.

Rayhan buru-buru membawa kucing tak bersalah tersebut keluar dari rumah mereka sembari tertawa puas. Setelah mengusir kucing tersebut Rayhan kembali ke ruang dapur, ia melihat Zaskia tampak salah tingkah sembari menyantap makanannya.

Rayhan kembali duduk di samping Zaskia, menatap Kakaknya dengan tatapan penuh arti membuat Zaskia jengah dan melototinya.

"Apa?"

"Gak apa-apa, itu kontolnya sudah aku usir." Ujar Rayhan iseng.

Dengan mata melotot Zaskia mencubit perut Rayhan. "Apa? Kamu bilang barusan Dek?" Tanya Zaskia dengan nada mengancam.

"Aduh Kak... Sakit." Melas Rayhan.

"Kamu bilang apa barusan? Coba di ulang, Kakak mau denger lagi." Geram Zaskia.

"Itu kontol nya sudah aku usir! Aduuuh... Sakit Kak." Wajah Rayhan meringis ketika Zaskia semakin kuat mencubit perutnya.

"Berani kamu ya..."

"Kan tadi Kakak yang bilang nama kucing itu kontol." Ucap Rayhan tidak mau di salahkan.

"Bagus..." Lirih Zaskia sembari manggut-manggut.

Zaskia mencubit perut Rayhan semakin kencang hingga Rayhan terlihat sangat kesakitan. "Ampuuuun Kak! Aduuuuh... Ampuuuun...." Mohon Rayhan.

"Mau minta maaf?"

Rayhan mengangguk. "Iya Kak, Maaf... Aaaaww..." Melas Rayhan.

Melihat raut wajah Rayhan yang kesakitan membuat Zaskia tidak tega, hingga akhirnya ia melepaskan cubitannya dari perut Rayhan. Zaskia menjelaskan kepada Rayhan kalau dirinya memang salah karena kaget sehingga mengucapkan kalimat kotor tersebut.

Rayhan yang mendengarkan omongan Zaskia hanya manggut-manggut, sementara bibirnya terlihat mengulum senyum.

Selepas kepergian Rayhan ke sekolah, Zaskia tampak melamun. Ia sendiripun bingung kenapa dirinya sering kali latah dengan menyebut kontol padahal selama ini ia tidak pernah mengeluarkan kalimat-kalimat najis seperti itu. Semenjak Rayhan tinggal bersamanya, semenjak ia sering melihat tonjolan di celana Rayhan, ia jadi merasa sangat familiar dengan kalimat kontol.

"Ya Allah kenapa hambamu ini tidak bisa mengatur mulut ini." Lirih Zaskia sembari memukul pelan bibirnya yang nakal.

Entah seperti apa penilaian Rayhan kepada dirinya setelah mengetahui kebiasaannya menyebut kontol ketika sedang latah. Sebagai seorang muslimah Zaskia merasa sangat malu.

*****


Clara

"Claraaaaa... Jangan lari."

Di koridor asrama putri Siti Fatimah, tampak dua orang santriwati saling kejar-kejaran. Sementara santri lainnya hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka melihat tingkah kedua santri tersebut. Bahkan seorang Santri sampai beristighfar beberapa kali melihat kelakuan kedua sahabatnya.

Asyifa sampai mengangkat roknya agar bisa leluasa mengejar Clara yang begitu gesit menghindari tangkapannya.


Asyifa


Hingga akhirnya Clara bersembunyi di belakang Adinda yang sedari tadi beristighfar melihat tingkah laku kedua sahabatnya.

"Astaghfirullah kalian ini." Kata Adinda.



Clara tampak membungkuk, mengatur nafasnya yang memburu. "Clara duluan Nda!" Protes Asyifa. sembari melihat sahabatnya yang cengar-cengir.

"Ayo sini uhtki tangkap aku." Pancing Clara.

Adinda langsung melotot kearah Clara. "Kalian berdua itu santri, jadi jaga sikap kalian layaknya seorang santri." Tegur Adinda.

"Iya Nda." Gumam Asyifa tidak berani membantah sahabatnya tersebut.

"Ya Allah Nda, kamu kayak gak tau mereka berdua aja. Mereka itu seperti kucing dan anjing, kalau gak berantem sehari aja dunia biasa kiamat." Celetuk Elliza sembari mengunyah cemilan keripik yang ada di tangannya.


Elliza

Helena

"Tidak boleh menyamakan saudara sendiri dengan binatang." Nasehat Adinda.

"Kena jugakan, hihihi..." Tawa Helena yang sedang mengulang hafalannya.

Alhasil pagi itu mereka harus mendengarkan ceramah Adinda tanpa ada yang berani menyela, ya karena Adinda memang lebih di dewasakan oleh mereka. Ceramah itu baru berakhir setelah mereka kedatangan seorang santri bernama Azril. Pemuda itu terlihat salah tingkah sambil menundukan wajahnya.

"Cari siapa?" Tanya Asyifa menggoda.

"Siapa lagi kalau bukan pujaan hati! Hehehe..." Sambung Elliza.

Wajah Azril tampak merona merah karena di goda oleh mereka.

"Yang di cariin lagi sembunyi tuh." Tunjuk Helena kearah Clara dengan dagunya. "Cie... Cie... Cie... Yang di datangi pangeran." Ledeknya yang tampak puas.

"Biasa aja kali." Jengkel Clara.

"Hahaha..." Tawa Asyifaa kencang.

Adinda langsung melotot. "Jaga sikap kalian Uhkti." Tegas Adinda membuat teman-temannya langsung terdiam.

"Maaf." Lirih Asyifa.

"Maaf mau ngapain akhi kemari? Ini asrama putri seharusnya akhi paham soal aturan." Sindir Adinda, membuat Azril semakin serba salah.

Azril meremas jemarinya sanking tegangnya. "Anu... Saya mau memberikan ini kepada Clara." Ujar Azril sembari menyerahkan buku soal kepada Clara.

Wajah Clara yang tadinya jutek karena di ledekin teman-temannya, kini tampak sumringah karena tugas bahasa arabnya sudah di kerjakan oleh Azril. Buru-buru Clara mengambil buku soal tersebut seraya tersenyum.

Adinda dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala melihat Clara yang suka memanfaatkan kebaikan Azril.

"Terimakasih ya Zril." Ujar Clara.

Wajah Azril tampak bersemu merah. "I-iya sama-sama." Jawab Azril gerogi.

Kemudian Azril pamit kepada mereka, sebelum meninggalkan asrama putri, Azril sempat melempar senyum kearah Clara yang malah pura-pura tidak melihat senyuman Azril.

Selepas kepergian Azril, Adinda menasehati Clara agar tidak mempermainkan perasaan seseorang.

Bukan hanya Adinda, yang lainnya juga ikut menasehati Clara karena merasa kasihan dengan Azril yang hanya di manfaatkan saja oleh sahabat mereka Clara. Tetapi Clara sepertinya tidak perduli, karena ia masih membutuhkan Azril.

*****

09:00


Fatimah

Fatimah duduk di sofa dengan perasaan tidak menentu, ia menatap bingung saudara iparnya yang sedari tadi hanya diam sembari meremas-remas jemarinya dengan gelisah.

Fatimah menghela nafas perlahan, sudah setengah jam ia duduk di ruang tamu KH Sahal, tapi tak satu patahpun terucap dari bibir KH Sahal, adik kandung Suaminya KH Hasyim.

"Dimana Hj Irma Mas?" Tanya Fatimah untuk kesekian kalinya.

Wajah KH Sahal tampak mengeras. "Tunggu sebentar lagi." Jawab KH Sahal yang membuat Fatimah semakin bingung.

Satu jam yang lalu Hj Irma menelponnya dan memintanya untuk datang ke rumahnya. Saat di tanya ada perlu apa, Hj Irma hanya mengatakan kalau ia lagi ada masalah dan membutuhkan bantuannya. Tetapi setibanya di rumah Hj Irma, ia malah tidak menemukan iparnya tersebut.

Hj Fatimah yang mulai kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti, bermaksud hendak kembali pulang ke rumahnya.


Irma

Tetapi belum sempat ia mengatakan sesuatu, tiba-tiba ia melihat sosok yang ia cari. Hj Irma keluar dari dalam kamar dengan keadaan sedikit berantakan, jilbabnya terpasang ala kadarnya saja, dan gamis yang ia kenakan tampak lecek.

Dan yang membuat Hj Fatimah semakin keheranan ketika ia melihat Pak Sobri keluar dari dalam kamar yang sama dengan Hj Irma.

Secara bergantian Hj Fatimah memandangi KH Sahal dan Istrinya Hj Irma.

Perlahan KH Sahal beranjak dari tempat duduknya dengan raut wajah sedih ia pergi begitu saja meninggalkan rumah. Hj Irma duduk di samping Fatimah, lalu sembari menangis ia memeluk Hj Fatimah.

"Ada apa Irma?" Tanya Fatimah bertanya-tanya.

Fatimah melihat kearah Pak Sobri yang tengah duduk di tempat yang di tinggalkan oleh KH Sahal. "Apa saya perlu menjelaskannya?" Ujar Pak Sobri datar.

Hj Irma berlutut di depan Hj Fatimah, ia bersimpuh sembari menangis. "Mbak... Hiks... Hikss... Tolong kami, hanya Mbak yang bisa menolong kami." Tangis Hj Irma, yang membuat Fatimah makin kebingungan.

"Jelaskan pelan-pelan Ma." Pinta Hj Fatimah.

Pak Sobri menyerahkan map plastik yang berisi dokumen yang cukup tebal.

Fatimah membuka dokumen tersebut, membacanya dengan seksama. Raut wajah Fatimah terlihat tegang, keningnya berkerut, dan keringat sebesar jagung mulai membasahi dahinya.

"Tidak mungkin, apa maksud semua ini." Cecar Fatimah.

Pak Sobri mencodongkan tubuhnya ke depan, menatap tajam Hj Fatimah. "Seperti yang Bu Haja lihat, Suami Ibu KH Hasyim dan Saudaranya KH Sahal terbukti telah menggelapkan uang negera, dan menerima suap gravitasi dari pengusaha tambang." Pak Sobri memberi jeda sesaat. "Hasil dari penyelidikan kami, uang tersebut di gunakan untuk membangun pesantren di kota B." Jelas Pak Sobri.

"Gak mungkin, ini pasti ada kesalahan. Suami saya adalah orang baik dan jujur, ini tidak mungkin."

"Namanya juga manusia Bu, kalau sudah di kasih jabatan pasti lupa diri. Saya sudah sering bertemu dengan orang macam Suami Ibu." Ujar Pak Sobri seraya menatap tajam kearahnya.

Inilah yang di takutkan Fatimah ketika Suaminya hendak turun ke dunia politik. Ia khawatir Suaminya akan tergoda untuk melakukan tindakan korupsi, dan kini yang ia takutkan benar-benar terjadi.

Fatimah tidak bisa membayangkan kalau sampai Suaminya, yang di kenal selama ini sebagai ulama' di tangkap KPK karena terbukti melakukan tindakan korupsi dan menerima suap. Tidak hanya nama besar keluarganya yang akan menerima dampaknya, tapi juga nama baik pesantren Al-fatah juga akan di pertaruhkan.

"Tolong jangan di proses Pak! Ini menyangkut nama baik pesantren." Melas Fatimah.

Pak Sobri kembali tersenyum. "Itulah mengapa saya ada di sini Bu Haja. Saya bermaksud ingin membantu suami Bu Haja Fatimah dan Bu Haja Irma. Hanya saja ada syaratnya." Jelasnya, membuat perasaan Fatimah menjadi tidak tenang, ia merasa kalau Pak Sobri punya niat busuk.

"Apa syaratnya?"

"Mungkin Bu Hj Irma bisa bantu saya menjelaskannya." Ujar Pak Sobri.

Hj Fatimah membantu saudara iparnya duduk kembali di sampingnya. Tampak Hj Irma kini sedikit bisa lebih tenang.

Sekitar lima menit mereka berdiam diri, menunggu Hj Irma mengatakan sesuatu.

"Mbak... Pak Sobri bersedia tutup mata soal masalah ini, asalkan... Asalkan..." Hj Irma terlihat ragu untuk mengatakannya.

"Asalkan apa?"

"Asalkan kita mau menemani Pak Sobri tidur!" Tubuh Hj Irma kembali terguncang. "Sa... Saya sudah melakukannya Mbak, hiks... Hikss... Hiks... Dan sekarang semua keputusan ada di tangan Mbak." Hj Irma kembali memeluk erat saudaranya.

Mulut Fatimah menganga tak percaya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar.

Tidak mungkin, ini semua pasti bohong, bagaimana mungkin seorang wanita muslimah seperti Hj Irma bisa melakukan itu semua. Apapun alasannya, berzina hanya akan menambah dosa mereka.

"Astaghfirullah... Kamu berzina?"

"Saya tidak punya pilihan lain Mbak, ini demi pesantren Mbak, demi Suami saya, demi saudara Suami saya." Ujar Hj Irma dengan suara gemetar.

"Ya Allah..." Hj Fatimah menggigit bibirnya, menahan emosi yang bergejolak di dadanya.

Pak Sobri menghela nafas. "Jadi bagaimana Bu Haja Fatimah? Saya tidak punya waktu banyak, kita semua tau posisi kita masing-masing." Jelas Pak Sobri tidak sabar. Fatimah berdiri menatapnya penuh kebencian.

Dirinya seorang muslimah, Istri dari seorang kiayi. Selama hidupnya ia tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti itu, jangankan berzina mendekati zina saja ia tidak sudi. Tetapi seseorang memintanya untuk berzina, tentu saja Hj Fatimah menolaknya.

"Jangan mimpi anda bisa meniduri saya." Tunjuk Fatima dengan suara gemetar.

Pak Sobri mengambil kembali berkas dokumen yang di baca Fatimah, lalu memasukan kembali ke dalam tasnya. "Pilihan ada di tangan anda! Saya hanya ingin mengambil sedikit bayaran atas kebaikan yang saya tawarkan." Pak Sobri berdiri dari duduknya. "Saya berharap anda tidak menyesali keputusan yang sudah di buat. Tidak ada penawaran yang kedua, ketika saya melangkah keluar dari rumah ini, dan anda menolak persyaratan yang saya berikan... Maka saya pastikan KH Hasyim dan KH Sahal secepatnya akan berurusan dengan KPK."

Hj Irma melompat dari kursinya, ia mencegah Pak Sobri untuk tidak keluar dari rumahnya. Kemudian ia menatap saudarinya dengan tatapan memohon, bahkan Hj Irma sampai berlutut dan mencium kaki Hj Fatimah.

"Tolooong Mbak! Untuk kali ini saja tolooong." Mohon Hj Irma.

Hj Fatimah membuang muka, ia tidak ingin melihat wajah melas saudarinya. "Astaghfirullah... Kamu taukan kalau zina itu dosa besar?" Geram Fatimah.

"Ini darurat Mbak, saya juga tidak mau, bahkan Mas Sahal juga pasti tidak rela." Teriak Irma, wajahnya memerah menahan emosi. "Demi keluarga kita Mbak, demi nama baik pesantren Mas Jahal merelakan aku untuk di tiduri. Tolong jangan sia-siakan pengorbanan kami."

Walaupun ada rasa kasihan, tetapi Fatimah tetap tidak bergeming dengan keputusannya. Ia tau dan sangat mengerti bagaimana perasaan KH Sahal ketika harus merelakan Istrinya di setubuhi oleh pria lain. Tetapi bagi Fatimah itu keputusan yang mereka ambil dan bukan salahnya.

Tiba-tiba Irma mengambil sebilah pisau, dan menempelkan pisau tersebut di tangan kirinya, membuat Fatimah panik.

"Astaghfirullah Irma... Istighfar!" Jerit Fatimah.

Dengan tubuh terguncang Irma menatap kecewa kearah saudarinya. "Saya sudah melakukan apa yang saya bisa Mbak. Lebih baik saya mati, dari pada harus melihat nama baik Almarhum Abah KH Usman dan Pesantren Al-fatah hancur." Irma menekan pisaunya, hingga lengannya terluka.

Tindakan Irma membuat Fatimah panik dan tidak bisa berfikir jernih. "Stop Irma, Mbak mohon... Mbak akan melakukannya, tapi tolong berhenti." Mohon Fatimah, yang kemudian memeluk iparnya.

Irma menurunkan tangannya, dan membiarkan Fatimah mengambil pisau yang ada di tangannya.

"Jadi bagaimana Bu Haja?" Tanya Pak Sobri. "Apa Bu Haja bersedia menerima syarat dari saya?" Sambung Pak Sobri dengan tatapan tajam.

Fatima terdiam, ia terlihat gelisah. Dari raut wajahnya ia terlihat tegang, beberapa kali ia mengusap wajahnya, menggigit bibirnya dengan tatapan sayu. Haruskah dia melakukannya? Tetapi jika ia menolak nama pesantren akan menjadi taruhannya.

Setelah melalui lautan gejolak batinnya, Fatimah mengangguk lemah. "Baiklah, anda menang." Lirih Fatimah, ia merasa tidak ada pilihan lain.

"Bagus kita buktikan kesungguhan anda. Bu Haja pasti tau sekarang harus pergi kemana?" Perintah Pak Sobri seraya tersenyum.

Dengan langkah gontai Fatimah berjalan melewati mereka berdua, menuju kamar yang tadi di masuki oleh saudarinya bersama Pak Sobri. Sekilas Hj Irma membalas senyuman Pak Sobri yang kemudian mengikuti langkah Hj Fatimah. Istri dari pimpinan pesantren al-fatah, Istri dari ketua DPRD kabupaten Durian.

Hj Irma tampak menghela nafas sembari kembali duduk di sofanya, tidak lama kemudian KH Sahal masuk, lalu memeluk Istrinya.

"Akting kamu luar biasa sayang." Puji KH Sahal.

*****


Zaskia


Haifa

Di kantor Aliyah, Zaskia sedang sibuk di depan layar laptopnya. Tiba-tiba Haifa datang menghampirinya yang terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya, sanking sibuknya Zaskia sampai tidak menyadari kehadiran sahabatnya.

"Kantin yuk Uhkti." Celetuk Haifa.

Zaskia yang kagetan langsung merespon dengan latanya. "Astaghfirullah.... Astaghfirullah..." Lirih Zaskia sembari mengelus dadanya. "Ya Allah Mbak, bikin kaget aja." Ujar Zaskia.

"Hihihi... Anti lucu ya kalau lagi kaget." Goda Haifa.

"Lucu, emang ana badut."

Haifa makin keras tertawa. "Ya Allah Uhkti! Hihihi... Afwan ya! Ehem... Kantin yuk." Ulang Haifa lagi.

"Bentar Mbak."

"Kerjakan lagi nanti, masih banyak waktu." Kata Hafai setengah memaksa.

Walaupun Zaskia berniat ingin segera menyelesaikan tugasnya, tapi pada akhirnya Zaskia memilih untuk mengalah.

Sebelum menutup layar laptop miliknya, Zaskia menyimpan terlebih dahulu hasil pekerjaaan.

"Yuk." Ujar Zaskia.

Mereka berjalan beriringan menuju kantin pesantren yang ada di wilayah putri. Jaraknya memang cukup jauh, tapi karena sudah terbiasa sehingga mereka tidak merasa kelelahan.

Sembari berjalan menuju kantin, mereka mengobrol santai tentang kehidupan masing-masing.

"Gimana hubungan kamu dengan Rayhan?" Tanya Haifa, ia memandang sekilas Zaskia, lalu kembali menatap ke depan.

"Bingung Mbak."

Haifa merenyitkan dahinya. "Bingung kenapa? Uhkti masih merasa gak nyaman karena kalian bukan muhrim tapi tinggal satu atap?" Tanya Haifa.

"Bukan itu masalahnya Mbak."

"Terus."

Zaskia tidak langsung menjawab, ia mempertimbangkan terlebih dahulu, apakah dia harus menceritakan kegelisahan hatinya kepada Haifa, atau tidak. Ia takut, nantinya Haifa akan berfikiran yang tidak-tidak tentang dirinya, dan terjadi kesalahpahaman.

Selain itu, ia juga khawatir kalau nanti Haifa akan membocorkan ceritanya kepada orang lain.

"Rahasia anti aman sama Mbak! Bukannya dari dulu Mbak selalu menjaga rahasia Uhkti." Ujar Haifa seakan bisa membaca pikiran Zaskia.

Zaskia menunduk sebentar. "Iya Mbak, ana percaya sama Mbak." Jawab Zaskia.

"Jadi, apa kamu mau cerita sama Mbak?"

"Ehmmm... Sebenarnya ana merasa nyaman Mbak tinggal berdua dengan Rayhan! Ya... Walaupun terkadang anak itu menjengkelkan." Zaskia tersenyum kecil, mengingat kelakuan Rayhan.

"Lantas apa masalahnya? Sampe kamu jadi bingung kayak gini."

"Jadi begini Mbak...."

Zaskia mulai menceritakan kegelisahannya kepada Haifa, di mana ia setiap pagi harus ke kamar Rayhan, yang notabenenya bukan kamar muhrimnya, di tambah lagi ia sering mendapatkan Rayhan habis mimpi basah, membuatnya menjadi serba salah.

Haifa terlihat khusuk mendengar cerita Zaskia, ia mengerti kegelisahan yang di rasakan Zaskia, karena mereka berdua sama-sama wanita muslimah.

"Bukannya Uhkti punya pilihan untuk tidak membangunkan Rayhan?" Pancing Haifa.

Zaskia tampak menghela nafas, memang benar apa yang di katakan Haifa, ia bisa memilih untuk tidak membangunkan Rayhan, mengingat Rayhan sudah Akil balik dan mengerti tentang kewajibannya sebagai seorang Muslim.

Hanya saja Zaskia merasa bertanggung jawab kepada Rayhan karena ia tinggal bersamanya.

"Bagaimanapun juga Rayhan Adik ipar ana Mbak!" Jawab Zaskia. "Di sisi lain ana merasa bertanggung jawab terhadap dia, tapi di sisi lain ana merasa berdosa karena terlalu sering masuk ke dalam kamarnya." Sambung Zaskia.

Haifa tersenyum. "Menurut Uhkti mana yang baik, tidak masuk ke kamar yang bukan muhrim kita, atau masuk ke kamar pria yang bukan muhrim kita dengan tujuan menolong orang yang kita sayangi terhindar dari dosa?" Tanya Haifa.

"Jelas menolong si Mbak."

"Tuh tau! Jadi mulai sekarang jangan bingung lagi." Ucap Haifa sembari menepuk pundak Zaskia.

"Iya Mbak."

"Eh tapi ngomong-ngomong, Rayhan kalau tidur ia suka pake pakaian yang seperti apa?" Tanya Haifa penasaran.

"Parah Mbak."

"Parah gimana?"

Zaskia kembali menghela nafas. "Dia itu kalau tidur suka gak pake baju, terus... Suka pake celana pendek tapi gak pake dalaman." Jelas Zaskia sembari menggelengkan kepalanya.

"Kok Uhkti tau?"

"Ya taulah Mbak, kan keliatan tonjolan di celananya dia kalau lagi gak pake dalaman." Jawab Zaskia santai, sementara Haifa tersenyum penuh arti.

"Besar gak?"

"Ya Allah Mbak, besar banget... Ana sampe merinding setiap kali ngeliatnya Mbak." Ungkap Zaskia jujur sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Besar mana di bandingkan sama punya suami anti?"

Tanpa berfikir Zaskia menjawab. "Jauh Mbak, besar punya Rayhan." Jawabnya enteng.

Tawa Haifa sudah tak terbendung lagi, ia tertawa sejadi-jadinya, sampai beberapa orang yang ada di sekitar mereka terlihat kebingungan.

Sementara Zaskia tampak baru sadar atas apa yang ia ucapkan. "Astaghfirullah...." Lirihnya menyesal.

"Ya Allah Uhkti, pantes antum sampai bingung, hihihi..."

"Astaghfirullah.... Ya Allah."

Haifa tersenyum sembari memeluk lengan Zaskia. "Gak apa-apa Uhkti! Kita sama-sama perempuan, ana ngerti kok!" Ujar Haifa sembari mengedipkan matanya.

Zaskia mencoba menjelaskan maksud ucapannya kepada Haifa, agar saudara seimannya itu tidak sampai berfikiran negatif tentang dirinya. Tetapi sepertinya sudah terlambat, karena Haifa tetap memberikan senyuman misterius kepada Zaskia.

Hingga akhirnya mereka tiba di kantin sekolah, saat sedang menyantap makanan di kantin, kembali Zaskia mencoba menjelaskan ucapannya kembali kepada Haifa.

*****


Fatimah

Hj Fatimah tampak terkejut dengan kondisi kamar Hj Irma yang terlihat rapi dan bersih. Seprei putih yang membungkus kasurnya terlihat sangat bersih, seakan belum di sentuh sama sekali, membuat Hj Fatima bertanya-tanya, apakah Hj Irma benar-benar di tiduri oleh Pak Sobri? Kalau benar, lantas kenapa tempat tidurnya tidak berantakan.

Pak Sobri meraih kursi yang berada di dekat meja kerja KH Sahal, ia duduk santai sembari memandangi Hj Fatimah yang tampak kebingungan.

"Apa kita bisa mulai sekarang." Ujar Fatimah tak sabar.

Pak Sobri terkekeh pelan. "Sabar Bu Haja, sudah kebelet ya." Ledek Pak Sobri, membuat hati Fatimah bergetar menahan amarah.

"Yang sopan Pak! Atau akan saya batalkan perjanjian kita." Ancam Fatimah.

Pak Sobri meringis jengkel mendengar ancaman istri dari pimpinan pesantren. Tetapi ia berusaha bersikap tenang di hadapan mangsanya.

Tiba-tiba Hj Irma ikut masuk ke dalam kamar sembari membawa kamera di tangannya.

"Irma?" Fatimah tampak kebingungan.

Irma mendesah pelan. "Maaf Mbak, kata Pak Sobri ia butuh dokumentasi." Jelas Irma takut, kehadiran Hj Irma membuat Fatimah tidak bisa menerimanya. Ia merasa harga dirinya di lecehkan oleh Pak Sobri.

"Tidak perlu banyak basa basi, kita bisa mulai sekarang. Hmmm..." Pak Sobri mengetuk dagunya. "Mungkin kita bisa mulai dengan melepas pakaianmu." Ujar Pak Sobri, dari kilatan matanya terlihat sekali kalau ia sudah tidak sabar.

"Tidak dengan kamera Pak." Kesal Fatimah.

Pak Sobri berdiri, ia menatap marah kearah Fatimah. Dan tanpa banyak bicara Pak Sobri melangkah hendak keluar kamar, tapi di cegah oleh Irma.

"Mbak... Saya mohon! Anggap saja saya tidak ada." Melas Irma.

Fatimah mendengus kesal. "Ayo kita lakukan sekarang Pak! Saya ingin semuanya cepat selesai." Geram Fatimah.

Pak Sobri kembali duduk di kursinya, ia menyandarkan punggungnya sembari menatap Hj Fatima yang berdiri di depannya. "Buka pakaianmu!" Suruh Pak Sobri lagi.

Fatimah sempat melihat kearah Irma yang sedang mengarahkan kameranya kearah dirinya.

"Ya Allah apakah hambamu harus benar-benar melakukan ini semua?" Jerit hati Fatimah. Rasanya ia tidak Ridho kalau tubuhnya harus di lihat oleh pria lain selain Suaminya.

Tangan Fatima bergetar hebat saat dia melepaskan resleting gamisnya, membiarkan pakaian kebesaran miliknya jatuh kelantai. Pandangan mata Pak Sobri tidak lepas dari payudara Fatimah yang masih tertutup tanktop berwarna hitam, ia menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan payudara Fatimah dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun.

Fatimah ingin berhenti, tapi ia sadar kalau semuanya sudah terlambat, perlahan ia melepas tanktop yang ia kenakan. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Sobri.

Walaupun usia Hj Fatimah sudah memasuki kepala lima tetapi ia masih memiliki payudaranya yang terbilang masih kencang.

Fatimah meraih kancing BH di belakang punggungnya dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, air mata Fatimah sudah tidak terbendung ketika ia melepas BH miliknya, hingga putingnya terlihat oleh Pak Sobri. Ia merasa sangat berdosa karena membiarkan auratnya menjadi santapan pria lain.

"Lanjutkan." Suruh Pak Sobri tak sabar.

Irma menjulurkan tangannya, dengan ragu-ragu Fatimah memberikan BHnya ke Irma.

Dengan cepat ia menyilangkan satu tangannya diatas dadanya, berusaha menyembunyikan payudaranya yang berukuran 36F.

Kedua jemari Fatima menarik kedua sisi celana leging yang di kenakannya secara bergantian, perlahan ia menarik turun celana leging miliknya. Pak Sobri memperhatikan celana dalam yang di pakai Fatimah. Celana dalam hitam yang terlihat kontras dengan kulit Fatimah yang putih mulus.

Saat hendak melepas celana dalamnya, lagi-lagi Fatimah tampak ragu, hingga membuat Pak Sobri tidak sabar. Ia membuka tasnya dan melambaikan amplop coklat kearah Fatimah.

Istri KH Hasyim tau betul apa yang di inginkan Pak Sobri, ia mengumpulkan segenap keberaniannya, dengan satu tarikan nafas ia menarik celana dalamnya dan langsung menutup selangkangannya kembali. Ia berusaha menyembunyikan tubuh telanjangnya dengan menyilangkan kedua tangannya.

Pak Sobri sangat menikmati ekspresi wajah Fatimah yang tampak tidak nyaman. Sudah jelas bagi Pak Sobri bagaimana malunya Istri KH Syahal saat ini, Pak Sobri sangat yakin kalau dirinya adalah pria kedua yang beruntung bisa melihat Fatimah telanjang.

"Letakan tanganmu ke samping." Suruh Pak Sobri.

Fatimah tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Laras menarik napas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Laras akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Fatimah sangat membenci tatapan mesum Pak Sobri pada dirinya, tapi ia tak berdaya.

Terlihat dari raut wajah Sobri, ia tampak mengagumi kesempurnaan tubuh Fatimah. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Hj Fatimah masih memiliki sepasang payudara yang indah berukuran jumbo dengan putting yang cukup besar menghiasi payudaranya.

Perutnya yang sedikit berlemak dan memeknya yang di tumbuhi rambut lebat, sama sekali tidak mengurangi keindahan tubuh Hj Fatimah.

Sementara itu Irma dengan keahlian ala kadarnya mengezoom muka Fatimah yang tampak gelisah, lalu turun merekam sepasang payudara Fatima yang berukuran 36F dengan puting berwarna kecoklatan yang cukup besar.

Kamera ia arahkan kebawah, menuju selangkangan Fatimah yang tampak rimbun, hingga menambah keseksian tubuh Fatimah.

Sebagai seorang wanita, Irma tampak iri melihat kesempurnaan tubuh Istri dari Kakak Iparnya itu. Walaupun usianya sudah 51 tahun, tetapi Fatimah masih memiliki tubuh yang sempurna seperti wanita berusia 30an.

"Berbaliklah dengan perlahan." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menurut, ia berputar dan berhenti ketika pantatnya berada di hadapan Pak Sobri. Di usianya yang sudah memasuki kepala lima, pantat Fatimah terbilang masih sangat kencang dan merangsang.

"Membungkuk dan buka kedua kakimu. Lalu lihatlah kemari melalui sela-sela kakimu." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menahan nafas ketika ia melihat Pak Sobri dari sela-sela kedua kakinya. Tampak celana panjang hitam dan dalaman Pak Sobri sudah ia lepas, dan kontolnya yang tegang berdiri kokoh seakan tengah menodongnya. Tidak hanya keras, kontol Pak Sobri juga berurat dan besar melebihi milik Suaminya, KH Hasyim.

Bulu-bulu halus di tubuhnya tampak merinding membayangkan kontol Pak Sobri yang akan mengaduk-aduk liang kewanitaannya.

Kemudian Irma berjongkok di depan pantat Fatimah, kedua jarinya membuka cela-cela pipi pantat Kakak Iparnya sembari merekam lobang pantat Fatimah yang terlihat berkedut-kedut, mekar seperti bunga mawar. Irma tersenyum diam-diam.

Fatimah menjadi panik, ia malu salah satu lobang intimnya di lihat dengan jarak yang begitu dekat.

"Irma... Jangan di rekam!" Mohon Fatimah.

Tetapi Irma tidak memperdulikannya, ia merekam dari jarak yang sangat dekat. "Masih perawan Pak." Ujar Irma mengkonfirmasi status pantat Fatimah kepada Pak Sobri yang tersenyum kegirangan.

"Kemarilah, dan berdiri di sampingku." Suruh Pak Sobri.

Fatimah melangkah perlahan mendekati Pak Sobri dan berdiri di sampingnya. Ia sempat menghindar ketika Pak Sobri mengelus pahanya, tetapi pada akhirnya ia berdiri diam dan membiarkan Pak Sobri membelai paha mulusnya, naik turun hingga berhenti di kemaluannya.

Irma mendekatkan kamera kearah selangkangan Fatimah yang tengah di jamah oleh Pak Sobri. Perlahan kamera Irma dapat menangkap cairan bening yang keluar dari celah-celah bibir kamaluan Fatimah.

"Ya Tuhan..." Jerit Fatimah, ketika ia merasakan jari manis Pak Sobri masuk ke dalam memeknya.

Irma memfokuskan kameranya merekam kedua jari Pak Sobri yang berada di dalam memek Kakak Iparnya. Tampak jari itu bergerak maju-mundur, menusuk lembut memek Fatimah. Sesekali jemari itu berputar, mengorek-ngorek kemaluannya Fatimah.

Jemarinya yang tadi kering kini terlihat basah, di selimuti oleh lendir kewanitaan Fatimah. Sebagai seorang wanita Irma sangat memahami yang di rasakan Kakak Iparnya.

"Sudah basah ya Bu Haja?" Tanya Pak Sobri.

"Sssstttt.... Eeehkk...." Lenguh Fatimah, ia berusaha menutupi kegelisahannya saat ini.

Fatimah tidak tau berapa lama lagi ia bisa menahan rasa malunya. Sebagai Istri soleha, ia sangat malu terhadap dirinya sendiri. Bagaimana mungkin jemari tua itu bisa membuatnya basah. Dan parahnya lagi, Irma merekam momen tersebut.

Cukup lama Pak Sobri mengorek-ngorek kemaluannya, mencolok dan menusuk-nusuk memeknya. Fatimah akhirnya bisa bernafas lega ketika Pak Sobri mencabut jarinya.

"Sini, duduk di pangkuan saya." Suruh Pak Sobri.

Fatimah menggelengkan kepalanya. "Tolong Pak, saya tidak bisa, ini bisa menjadi skandal! Saya mohon Pak, ini zinah." Fatimah merengek.

"Masukan kontol saya ke memek kamu, atau?" Ancam Pak Sobri.

Tubuh Fatimah terasa lemas mendengar ancaman tersebut, Fatimah mengerti kalau ia tidak punya pilihan, kecuali menuruti apa yang di inginkan Pak Sobri. Fatimah menatap Irma yang di jawab anggukan kecil oleh Irma. Perlahan ia merangkak naik keatas selangkangan Pak Sobri. Ia mencoba memasukan kemaluannya Pak Sobri tanpa menyentuhnya, tetapi usahanya gagal.

Dengan sangat terpaksa Fatimah menggenggam dan menuntun kontol Pak Sobri ke depan bibir kemaluannya. "Maafin hambamu ini ya Allah." Jerit hati Fatimah.

"Aaahkk... Sssttt..." Desah Fatimah.

Inci demi inci kontol Pak Sobri membela, menembus bibir kemaluannya. Fatimah bisa merasakan kontol gemuk itu menjamah dinding rahimnya, terasa keras dan kaku di dalam sana. Fatimah dan Pak Sobri saling bertatapan ketika kontol itu masuk ke dalam rahimnya.

Pak Sobri tersenyum puas karena bisa menikmati jepitan hangat kemaluan dari seorang Istri soleha, seorang Istri pemimpin pondok pesantren. Ada kebanggaan dari dalam diri Pak Sobri bisa tidur dengan seorang wanita sealim Fatimah.

Sementara Irma tampak tertegun melihat kontol Pak Sobri yang menembus memek Kakak Iparnya.

Tangan Pak Sobri meraih buah dada Fatimah yang besar, montok dan kencang itu. Ia mengelus, meremas dan memilin puting Fatimah.

Sebisa mungkin Fatimah untuk tidak terangsang oleh sentuhan Pak Sobri, tapi ia gagal, putingnya membesar dan mengeras. Sementara di bawah sana, memek Fatimah berhasil memandikan kontol Pak Sobri dengan lendirnya.

"Oughk... Enak sekali Bu Haja! Aaahkk..." Desah Pak Sobri.

Kedua tangan Pak Sobri menangkup pantatnya, mengangkat lalu menurunkannya, mengangkatnya lagi dan menurunkannya lagi, Pak Sobri melakukannya berulang-ulang dengan di ritme perlahan.

Sementara bibirnya meraih payudara Fatimah, ia menjilat dan menghisap puting Istri Soleha tersebut berulang kali secara bergantian kiri dan kanan, membuat Fatimah mulai kehilangan jati dirinya sebagai seorang Ustadza di pondok pesantren Al-fatah.

Tanpa sadar perlahan Fatimah menggerakkan sendiri pantatnya naik turun, menyambut kontol Pak Sobri.

Pak Sobri memanfaatkan momen tersebut dengan menjamah pantat bahenol Istri KH Hasyim, jemarinya mengelus, menstimulasi lobang anus Fatimah.

"Oughk... Ya Tuhan..." Pekik Fatimah sembari memeluk kepala Pak Sobri yang berada di payudaranya.

"Uhhmmm... Sruuuupsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss..." Dengan rakus Pak Sobri menghisap payudaranya, seperti balita yang sedang kelaparan.

Rasa nikmat yang menderanya membuat Fatimah tanpa sadar semakin keras menghentak-hentakkan pantatnya ke bawah, hingga kontol Pak Sobri mentok ke dalam rahimnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Fatimah menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berusaha untuk tidak sampai orgasme. Tetapi usahanya terasa semakin sulit, ketika satu jari Pak Sobri tiba-tiba menusuk lobang anusnya.

"Aaaaaaaaasssrrrrrtttttt...." Jerit Fatimah.

Pantatnya tersentak-sentak, sembari menahan nafas, tampak cairan cintanya meledak, berhamburan keluar seperti air bah yang sudah tidak tertampung lagi. Momen tersebut tidak luput dari tangkapan kamera yang di pegang oleh Irma.

Fatimah merasa seperti terbang ke nirwana, tubuhnya mendadak lemas jatuh ke dalam pelukan Pak Sobri.

Selama beberapa menit Pak Sobri membiarkan Fatimah mengumpulkan kembali tenaganya yang terkuras habis, lalu dengan perlahan Pak Sobri menggendong Fatimah menuju pembaringan. Ia menindih Fatimah, sembari menatap mata Fatimah yang tampak sayu.

"Sudah berapa lama kamu kekeringan?" Tanya Pak Sobri.

Irma memalingkan wajahnya, ia merasa sangat malu untuk saat ini. "Cukup Pak, saya mohon." Melas Fatimah, tapi ia hahya diam ketika Pak Sobri mengangkat satu kakinya, sembari mengarahkan terpedonya ke depan bibir memeknya.

"Ayo jawab." Paksa Pak Sobri.

"Dua... Dua tahun Pak!" Jawab Fatima di depan kamera Irma.

Rasanya malu sekali ketika ia harus mengakui hubungan ranjangnya di depan kamera, di hadapan Adik iparnya yang sibuk merekam kegiatan mereka.

Pak Sobri mendorong kembali kontolnya, masuk ke dalam lobang peranakan Fatimah. "Mulai hari ini, kamu tidak akan pernah kekeringan lagi." Dengan perlahan Pak Sobri mendorong, menarik, lalu mendorong lagi dan menarik lagi kontolnya dari dalam memek Fatimah.

"Aaahkk... Aaahkk... Pak! Aaahkk... Ya Tuhaaaan... Pak... Aaahkk..." Erang Fatimah keras.

Semakin lama Pak Sobri semakin cepat menyodok-nyodok memek Fatimah, membuat tubuh Fatimah tersentak-sentak hingga kedua payudaranya yang berukuran jumbo berayun-ayun.

Tidak butuh waktu lama Fatimah kembali di buat orgasme. Walaupun tidak sedahsyat sebelumnya, tapi tetap saja menguras tenaganya.

"Nungging sekarang! Ini penutup." Suruh Pak Sobri.

Dengan sisa-sisa tenaganya Fatimah memutar tubuhnya, ia mengangkat pantatnya di depan Pak Sobri yang tampak mengagumi bulatan pantat Fatimah. Jemari Pak Sobri membelai dan menampar pelan pantat Fatimah hingga memerah.

Fatimah yang terlalu lelah hanya pasrah ketika Pak Sobri membuka pipi pantatnya, mengelus lobas anusnya yang berkedut-kedut.

Pak Sobtri meludahi kejantanannya, lalu meludahi lobang anus Fatimah yang masih perawan.

"Pak..." Lirih Fatimah.

"Sakitnya cuman sebentar, nanti juga kamu akan keenakan." Jawab Pak Sobri enteng.

Fatimah memohon memelas saat merasakan kepala kontol Pak Sobri sudah berada di depan pintu anusnya. Sementara Irma dengan siaga merekam momen terpenting hari ini.

Tidak muda memang, tapi Pak Sobri terus mencobanya walaupun beberapa kali menemui kegagalan. Hingga akhirnya dengan perlahan kepala kontol Pak Sobri mendobrak pintu anus Fatimah yang masih rapet.

"Ya Tuhaaaaaan.... Sakiiiiiit..." Jerit Fatimah.

Tangan Sobri memegangi pinggul Fatimah, sembari terus mendorong kontolnya, hingga mentok.

Kedua tangan Fatimah mencengkram erat seprei tempat tidur Irma dan Suaminya. Ia melolong sakit, merasakan perih di anusnya. Fatimah merasa perutnya mules karena di masukan benda asing dengan ukuran yang sangat besar.

"Sssttt... Aaahkk... Sempit sekali." Gumam Pak Sobri.

Kedua tangan Pak Sobri mencengkeram pantat Fatimah, menikmati pijitan hangat cincin anus Fatimah di kemaluannya.

"Cabut Pak... Oughk... Perih... Ya Tuhaaaan... Paaaak... Aaahkk..." Desah Fatimah.

"Jangan di lawan! Sssstt.... Aaahkk... Nikmati saja Bu Haja." Bisik Pak Sobri.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..."

Perlahan Pak Sobri menarik penisnya keluar, membuat Fatimah tampak mengejan karena rasa sakit itu kembali menyiksa.

Ketika penisnya hampir terlepas dari genggaman anus Fatimah, Pak Sobri kembali mendorongnya dengan perlahan. Awalnya ia melakukan gerakan tersebut dengan tempo pelan, tapi lama kelamaan ia mulai meningkatkan tempo sodokannya.

"Eeeeeeengkkkkk......" Erang Fatimah.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Oohk... Enak sekali Bu Haja! Pantat Ibu enaaak... Aaaahkk... Sssstt...." Ujar Pak Sobri yang semakin menggila menyodok-nyodok lobang anus Fatimah.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaaak...

Layaknya seorang joki, Pak Sobri menunggangi Fatimah sembari menampar pantat Fatimah.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Fatimah.

Rasa sakit yang sempat ia rasakan perlahan memudar dan di gantikan dengan rasa nikmat yang sulit ia gambarkan. Fatimah sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menikmati perzinahan terlarang ini.

Tidak lama kemudian untuk ketiga kalinya Fatimah di buat tak berdaya.

"Ouuuuuuuughhhkkk....."

Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeerrrr....

"Saya sampe Bu Haja." Jerit Pak Sobri tiba-tiba.

Ia menekan sedalam mungkin penisnya di dalam anus Fatimah. Setelah berkedut beberapa kali, sperma Pak Sobri meledak di dalam anus Fatimah.

Croootss... Croootss... Croootss...

"Oughk...." Lenguh Pak Sobri.

Pak Sobri tersenyum puas, ia mebaringkan tubuhnya ke samping, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah. Tetapi di balik rasa lelah itu Pak Sobri merasa puas karena telah membobol gawang belakang Istri dari pimpinan pondok pesantren, Istri dari pesaing politiknya.

Fatimah memejamkan matanya, ia masih dapat merasakan hangatnya sperma Pak Sobri.

Jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah karena telah mengkhianati Suaminya. Fatimah merasa malu terhadap dirinya sendiri yang dengan mudanya menikmati pemerkosaan yang ia alami.

Beberapa menit kemudian, masih dengan posisi tengkurap, Fatimah melihat Pak Sobri mengenakan kembali pakaiannya. Pria itu tersenyum dengan bangga menatap Fatimah.

"Terimakasih atas kerjasamanya Bu Haja." Ucap Pak Sobri sembari meninggalkannya di dalam kamar Adik iparnya.

Irma mendekati Fatimah, menatap Kakak Iparnya yang tergolek lemas. Ia membantu Fatimah untuk duduk, perlahan ia memeluk iparnya tersebut, menenangkan Fatimah yang menangis di dalam pelukannya.

"Maaf Mbak, tapi terimakasih sudah membantu kami." Ujar Irma.

"Tolong rahasiakan ini dari Abinya anak-anak."

Irma mengangguk...

Kemudian Irma membantu Kakak Iparnya kembali mengenakan pakaian. Sepintas Fatimah melihat seprei tempat dirinya di eksekusi, diatas seprei yang sudah tidak lagi berbentuk itu, ia melihat bercak darah dan sperma dari anusnya.

*****


Laras

Suara azan berkumandang melalui Manara masjid yang menjulang tinggi. Suara sang Muazin yang begitu merdu, mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarkannya dengan khusuk. Tidak lama kemudian, beberapa santri dan ustadz-ustadza berbondong-bondong menuju masjid. Dalam sekejap masjid di penuhi oleh orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah.

Di tempat yang berbeda, terlihat seorang pemuda berdiri di depan sebuah rumah. Sesekali wajahnya meringis menahan hawa panas matahari yang menerpa wajahnya.

Sudah hampir setengah jam lamanya ia berdiri di depan pintu seorang diri. Menahan hawa panas yang membakar kulitnya, membuatnya mendumel kesal. Ingin rasanya ia segera meninggalkan rumah tersebut, tetapi sayangnya ia tidak memiliki tujuan lain.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum!" Panggilnya untuk ke sekian kali.

Lima menit kemudian pintu itu akhirnya terbuka. Tampak seorang wanita paruh baya berparas cantik keluar dari dalam rumahnya. Wanita tersebut adalah Laras, istri dari KH Umar. Di usianya yang sudah berkepala empat, ia masih terlihat begitu cantik. Dan kecantikannya mampu menghipnotis pemuda yang ada dihadapannya saat ini.

Butuh waktu beberapa detik untuk mengembalikan kesadaran Daniel.

"Waalaikumsalam! Daniel?" Ujar Laras memastikan.

Pemuda itu tersenyum lega. "Iya Amma, ini saya Daniel." Ujar Daniel sembari menyalami tangan Laras. Bibir tebalnya mencium hangat punggung tangan Laras.

"Subhanallah, sekarang kamu terlihat semakin tampan, terakhir kita ketemu kamu masih terlihat kudel. Hihihi..." Laras tertawa renyah, ia tidak menyangkah kalau Daniel akan tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan.

Daniel tersenyum senang mendengarnya. "Amma juga masih terlihat sangat cantik!" Balas Daniel.

"Bisa saja kamu Dan!"

"Bener kok Amma, tadi saya kira anaknya Amma yang keluar menyambut saya, eh... Gak taunya Amma sendiri."

Laras tertawa semakin keras, ia tidak menyangkah kalau dirinya ternyata masih begitu cantik. Sebagai seorang wanita sudah sewajarnya kalau ia merasa senang karena di sejajarkan dengan anak remaja.

"Uda ah ngegombalnya, nanti Amma malah terbang lagi." Ujar Laras sembari tersenyum manis. "Gimana kabar kamu Dan?" Tanya Laras, mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, baik Amma, kabar Amma sendiri bagaimana?" Tanya Daniel sopan. Tapi sayang, matanya tidak sesopan mulutnya. Diam-diam mengamati wajah cantik Istri dari KH Umar yang berseri indah, bagaikan bunga mawar yang tengah mekar. Ia berfikir betapa beruntungnya kalau dirinya bisa meniduri wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Matanya turun menuju sepasang gunung kembar yang terbungkus rapi di balik hijab hitam yang di padu dengan gamis berwarna coklat muda.

Laras sama sekali tidak menyadari kenakalan Daniel yang berani memandangi kemolekan sepasang gunung kembar miliknya yang amat ia banggakan.

"Alhamdulillah, Amma juga baik! Ayo masuk dulu Dan. Gak enak ngobrol di luar." Ajak Laras.

"Iya Ma"

*****


Julia

Setengah berlari Rayhan menerobos hujan yang mulai turun dengan perlahan. Tepat saat ia berada di depan rumahnya, pada saat bersamaan Ustadza Julia, tetangganya juga baru saja tiba di depan rumahnya. Dengan sopan Rayhan menyapa Ustadza Julia yang tampak basah kuyup.

"Assalamualaikum Ustadza?" Sapanya.

Ustadza Julia tampak tersenyum manis. "Waalaikumsalam, kamu kehujanan juga?"

"Iya Ustadza, hehehe..."

"Buru-buru ganti baju, nanti masuk angin loh!" Nasehatnya. "Ustadza duluan ya." Sambungnya lagi.

Rayhan mengangguk sembari memperhatikan Ustadza Julia, hingga akhirnya Ustadza Julia menghilang dari balik pintu rumahnya.

Rumah yang di tempat Zaskia dan Rayhan memang berbentuk kos-kosan empat pintu. Pintu pertama di isi Ustadza Rumi dan Suaminya, pintu ke dua Zaskia, ke 3 Julia, ke 4 di isi oleh dua orang Ustadza Maryam dan Ustadza Sarah dan yang ke 5 di isi oleh Mbak Inem dan Suaminya Pak Pur. Biasanya rumah tersebut di tempati oleh Ustadza atau pekerja yang berstatus lajang atau Ustadza yang baru menikah dan belum memiliki anak atau baru memiliki satu anak, seperti Ustadza Rumi, Zaskia dan Mbak Inem.

Rayhan segera masuk ke dalam rumahnya yang berukuran 6X9. Di rumah yang sederhana itu terdapat satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga, dua kamar tidur yang hanya di sekat menggunakan triplek, satu ruangan dapur dan kamar mandi berukuran 2X2 meter.

Setelah berganti pakaian Rayhan pergi ke dapur untuk mengisi perutnya, saat ia melihat ke jendela dapurnya ia melihat Mbak Inem yang sedang mengangkat jemuran.

Tanpa pikir panjang Rayhan langsung keluar rumah dan membantu Mbak Inem yang sedang bekejaran dengan waktu mengangkat jemuran sebelum hujan turun semakin deras.


Inem

Beruntung mereka tepat waktu, setelah membawa jemuran terakhir ke dalam rumah Mbak Inem, tiba-tiba hujan turun dengan deras.

"Untung ada kamu Ray." Ujar Mbak Inem lega.

Rayhan tersipu malu mendapat pujian dari Mbak Inem. "Eh iya Ustadza." Ujar Rayhan seraya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Loh kok Ustadza? Panggil saja Mbak. Saya kan tidak mengajar di sini." Ujar Mbak Inem.

"Iya maaf Mbak."

Mbak Inem tersenyum sembari merapikan pakaiannya yang berantakan di ruang depan.

"Saya pulang dulu ya Mbak!"

"Loh mau kemana? Ini masih hujan Ray! Sudah di sini saja temanin Mbak ngelipat baju." Cegah Mbak Inem, membuat Rayhan sedikit kegirangan, karena itulah yang dia mau.

"Pak Purnomo sama Nikita belum pulang Ust... Mbak?" Tanya Rayhan berbasa-basi.

"Belum, mungkin masih ada urusan di kantor." Pak Purnomo Suami Mbak Inem memang bekerja di kantor pusat pesantren sebagai office boy, tidak jarang ia pulang sore ataupun malam hari setiap kali ada rapat di kantor pusat ataupun ada kegiatan lainnya. Sementara Mbak Inem sendiri tidak bekerja di pesantren.

Mendengar Pak Purnomo belum pulang, membuat Rayhan semakin bersemangat, bahkan di dalam hati ia berharap hujan tidak cepat reda.

"Mbak ganti baju dulu ya basah ni." Ujar Mbak Inem.

Rayhan mengangguk, di dalam hatinya ia kecewa karena dengan gamis yang agak basah, ia bisa melihat lekuk tubuh Mbak Inem.

Tetapi kekecewaan Rayhan sirna ketika melihat Mbak Inem yang telah berganti pakaian keluar dari dalam kamarnya. Sanking kagetnya Rayhan sampai melongok melihat Mbak Inem yang mengenakan kebaya berwarna putih semi transparan yang di padu kain kemben yang panjangnya hanya satu jengkal dari selangkangan Mbak Inem.

Kemudian Mbak Inem duduk lesehan di dekat Rayhan dengan posisi kaki yang ia lipat ke belakang, membuat kain kembennya ketarik makin keatas, memperlihatkan kulit pahanya yang mulus.

Sembari memperhatikan Mbak Inem melipat pakaian, diam-diam Rayhan mengintip belahan payudara Mbak Inem sela-sela kerah leher kebaya yang di kenakan Mbak Inem. Ketika lagi sedang asyik-asyiknya mengintip, aksinya malah ketahuan Mbak Inem.

"Hayo liat apa kamu?" Tegur Mbak Inem.

Rayhan buru-buru memalingkan wajahnya. "Eh... Maaf Mbak! Hehehe..." Tawa Rayhan garing setelah aksinya ke pergok oleh tetangganya.

"Nanti Mbak aduin sama Mas Pur loh?"

"Ya Allah Mbak kejam banget!" Sungut Rayhan, sembari memandang Mbak Inem yang tengah tersenyum manis kearahnya.

"Makanya jangan macem-macem!"

"Hehehe... Iya deh Mbak."

Mbak Inem mengubah kembali posisi duduknya dengan menyamping, membuat kainnya tersingkap semakin tinggi.

Walaupun tidak begitu jelas, Rayhan dapat melihat selangkangan Mbak Inem yang di balut kain segitiga berwarna putih yang membungkus vaginanya. Pemandangan tersebut membuat terpedo Rayhan kian memberontak di balik celananya.

"Kok bengong? Gak mau bantuin Mbak ni?" Sindir Mbak Inem.

Rayhan bergegas mengambil salah satu pakaian yang ada di depannya dan membantu Mbak Inem melipatnya. "Maaf Mbak, habisnya Mbak Inem cantik banget jadi pangling." Gombal Rayhan, sembari mencuri pandang kearah selangkangan Mbak Inem.

"Apanya yang cantik, Mbak ini orang kampung, gak ada cantik-cantiknya."

"Malah orang kampung itu Mbak, cantiknya natural, kayak Mbak Inem." Ujar Rayhan sedikit berbisik membuat Mbak Inem tersipu malu mendengarnya.

"Hihihi... Sudah pintar ngegombal ya sekarang kamu." Ujar Mbak Inem sembari menyentil hidung Rayhan.

Mereka berdua pun tertawa bersamaan, dan tanpa mereka sadari hujan sudah sedari tadi berhenti. Sembari melipat pakaian Mbak Inem, mata Rayhan berulang kali melirik kearah payudara dan selangkangan Mbak Inem secara bergantian.

Walaupun Mbak Inem tau kelakuan nakal Rayhan, tetapi ia mendiamkannya dan pura-pura tidak menyadari kenakalan Rayhan.

Karena pada dasarnya sebagai seorang wanita, Mbak Inem merasa bangga kalau ada seorang pria mengagumi kecantikan tubuhnya, di tambah lagi Rayhan adalah sosok pria yang terlihat jantan di mata Mbak Inem.

Perlahan ia menggerakkan kakinya yang sedaritadi di tekuk ke samping, ia meluruskan kakinya sebentar lalu melipatnya dengan posisi duduk bersila, alhasil kain kemben yang di kenakan Mbak Inem semakin tersingkap, memamerkan sepasang paha mulusnya dan gundukan tebal yang terbungkus kain segitiga berwarna putih.

Rayhan sampai menelan air liurnya yang hambar saat melihat celana dalam Mbak Inem yang sudah terlihat lecek karena memeknya yang mulai basah.

"Gimana sekolah kamu Ray?" Tanya Mbak Inem hanya sekedar berbasa-basi.

"Begitulah Mbak, bosen..."

Mbak Inem tampak menghela nafas. "Kok gitu, gak boleh males-malesan, kasihan loh sama Kakak kamu, nanti kalau nilai kamu jelek Kakak ipar kamu juga yang akan kena imbasnya." Nasehat Mbak Inem.

Rayhan hanya manggut-manggut, ia tidak begitu mendengarkan ucapan Mbak Inem, karena matanya fokus memandangi selangkangan Mbak Inem yang terlalu menggairahkan, membuat darah mudanya bergejolak liar dan hampir tidak mampu ia tahan.

Mbak Inem yang menyadari nasehatnya tidak di gubris Rayhan, hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum memakluminya.

"Bentuknya lucu ya Mbak?" Tutur Rayhan, sembari memegangi g-string milik Mbak Inem berwarna merah.

"Lucu gimana?"

"Di depannya mirip kupu-kupu, tapi di belakangnya cuman tali segaris." Ujar Rayhan mendiskriminasikan bentuk celana dalam yang ia pegang saat ini.

Mbak Inem tertawa renyah. "Kamu suka?" Goda Mbak Inem, sembari menatap Rayhan dengan tatapan yang menggoda iman kelakuan Rayhan. Merasa tertantang Rayhan pun memberanikan diri berterus terang.

"Suka! Keliatan lebih seksi." Jawab Rayhan, sembari menatap gundukan di selangkangan Mbak Inem.

Seakan tidak mau kalah Mbak Inem menekuk lututnya keatas, sembari menaruh tangannya ke belakang, menjadi penyanggah tubuhnya. "Lebih suka warna merah apa warna putih?" Pancing Mbak Inem.

Rayhan tidak langsung menjawab, ia memandangi Mbak Inem dari dadanya yang membusung ke depan, hingga turun menatap nanar selangkangan Mbak Inem yang dibungkus celana dalam berwarna putih yang terlihat semakin basah.

Mbak Inem dengan sengaja membuka lututnya lebih lebar, hingga Rayhan dapat melihat lipatan di selangkangannya, dan tampak rambut-rambut hitam menyembul keluar dari sela-sela pinggiran celana dalam yang di kenakannya.

"Ehmmm..." Rayhan pura-pura berfikir, kemudian dengan terang-terangan ia menatap selangkangan Mbak Inem. "Lebih suka warna putih." Jawab Rayhan.

Mbak Inem kembali tersenyum, dan sedetik kemudian ia kembali merubah posisi duduknya sembari menarik kebawah kainnya, menutup akses pemandangan indah yang memanjakan mata si pemuda yang ada depannya saat ini.

Rayhan tampak menghela nafas kecewa, membuat Mbak Inem terkikik.

"Hihihi... Kayaknya ada yang kecewa." Sindir Mbak Inem.

"Sangat kecewa." Jawab Rayhan pelan.

"Hihihi... Astaghfirullah..." Tawa Mbak Inem makin kencang. "Udah ah, Mbak ke kamar mandi dulu ya, gak tahan." Kata Mbak Inem sembari mengedipkan matanya kearah Rayhan.

Rayhan melongok dengan mulut terbuka sembari memandangi Mbak Inem dari belakang, hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.

Selama menunggu Mbak Inem, Rayhan terlihat tidak tenang, beberapakali ia terlihat memperbaiki celananya yang terasa sempit dan sesak. Sepuluh menit kemudian, akhirnya Mbak Inem kembali menemui Rayhan dengan raut wajah tegang.

"Kamu ke kamar mandi dulu sana! Dari pada ngompol di sini." Ujar Mbak Inem.

"Eh iya Mbak!"

"Ray, jangan lupa di bersiin... Jangan sampe ada jejak." Kata Mbak Inem yang membuat Rayhan menjadi salah tingkah.

Di dalam kamar mandi milik Mbak Inem, ia menemukan celana dalam putih milik Mbak Inem yang tadi di kenakan Mbak Inem. Karena sudah tidak tahan Rayhan buru-buru onani dan menjadikan celana dalam Mbak Inem sebagai media masturbasi nya.

Setelah beberapa menit Rayhan menuntaskan hasratnya, tampak lelehan sperma Rayhan mengenai celana dalam Mbak Inem.

"Mbak Inem... Ughk..." Lirih Rayhan.

Setelah kesadaran nya kembali, Rayhan tersadar kalau saat ini Mbak Inem pasti tidak memakai dalaman. Mengingat celana dalamnya ada di dalam kamar mandi. Tentu saja mengetahui fakta tersebut membuat Rayhan semakin bersemangat.

Tetapi semangat itu mendadak hilang tak bersisa ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia melihat Mbak Inem yang sedang memanaskan air.

"Mbak..." Panggil Rayhan.

Mbak Inem yang telah berganti pakaian dengan gamis bermarna hijau tua menoleh kearahnya seraya tersenyum. "Ada Mas Tarno." Ujar Mbak Inem seakan menjawab kebingungan Rayhan. Kemudian dengan bibirnya ia mengisyaratkan Rayhan untuk segera pergi dari pintu belakang.

Dengan perasaan campur aduk, Rayhan bergegas meninggalkan rumah Mbak Inem dari pintu belakang, tempat ia masuk sebelumnya.

Mbak Inem tersenyum memandang Rayhan yang buru-buru keluar dari rumahnya.

*****


Kartika

Kartika sedang berada di dapur ketika Pak Hasan mertuanya baru tiba dari kampung. Dia menyambut pria paruh baya itu dengan senyuman hangat, mengamit dan mencium punggung tangan Mertuanya yang mulai keriput di makan usia.

Ada getaran aneh yang di rasakan Pak Hasan ketika merasakan bibir lembut Kartika di kulit keriputnya. Diam-diam ia memandangi wajah cantik nan putih mulus menantunya itu.

Di dalam hati ia memuji wanita pilihan anaknya tersebut. "Apa kabar Nduk?" Tanyanya.

"Alhamdulillah baik Pak! Gimana kabar Bapak?"

"Alhamdulillah, Bapak juga baik."

Kartika segera mempersilahkan mertuanya masuk. "Masuk Pak!" Ujarnya.

Pak Hasan memasuki rumah sederhana yang di huni oleh Putra dan menantunya itu. Tidak ada yang istimewa dari rumah yang mereka tempati. Di ruang tamu itu hanya terdapat sofa kecil dengan meja kecil, di depannya terdapat tv 21inc merek LG. Dinding rumah mereka yang bercat putih sudah terlihat kusam, dan hanya ada satu hiasan, yaitu foto keluarga saat mereka menikah dulu di dinding rumah tersebut.

Sembari menyandarkan tubuhnya Pak Hasan menghela nafas panjang. Tidak lama kemudian Kartika muncul sembari membawakan segelas teh hangat.

"Di minum Pak!" Ujar Kartika.

Pak Hasan tersenyum. "Terimakasih Nak Kartika, kamu jadi repot gini."

Kartika duduk di samping Pak Hasan. "Enggak repot kok Pak! Kartika malah senang di kunjungi Bapak." Ujar Kartika. "Maaf ya Pak, gak bisa jemput di terminal, Mas Rifki sedang ada kerjaan mendadak." Sebagai menantu ia merasa bersalah kepada Mertuanya karena tidak bisa menjemput mertuanya.

"Gak apa-apa, Bapak maklum."

Merekapun mengobrol ringan, layaknya keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Tidak terasa hari semakin sore, suara ngaji yang terdengar dari menara masjid menandakan kalau sebentar lagi akan memasuki shalat magrib.

Kartika mempersilahkan mertuanya beristirahat di kamar kosong berada dekat dengan ruang tamu. Setelah itu Kartika segera mandi.

Selepas kepergian Kartika, Pak Hasan menerima telpon dari anaknya, dan memberitahu kalau anaknya tidak bisa pulang lebih awal, di karenakan ia masih ada urusan di luar pesantren. Pak Hasan sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Selepas menerima telpon Pak Hasan hendak memberitau menantunya.

Tetapi ketika ia hendak mengetuk pintu kamar anaknya, ia melihat pintu Kartika yang tidak tertutup rapat, membuat Pak Hasan mengurungkan niatnya.

Dengan cara mengendap-endap ia mengintip menantunya yang ternyata baru saja selesai mandi dan hendak berganti pakaian. Di dalam kamarnya, Kartika masih mengenakan kimono dan handuk menutupi kepala hingga leher dan dadanya.

Karena tidak sadar sedang di awasi, dengan santainya Kartika melepas handuknya dan membiarkan rambut bergelombangnya terurai. Kemudian Kartika melepas lilitan kimononya, dan dengan perlahan menanggalkan kimononya.

Dari belakang Pak Hasan tampak terbengong, air liurnya menetes, menatap nanar punggung dan pantat bahenol menantunya. Tanpa di komando, sang terpedo langsung memasuki mode berperang.

Sembari menelan air liurnya, ia mengurut-urut kemaluannya yang telah tegang maksimal.

Dengan santainya Kartika mengambil pakaian dari dalam lemari, ia memakai satu persatu pakaian nya, dari celana dalam, beha, hingga celana dan baju tidur jenis piyama berwarna merah muda. Pak Hasan tidak melewati sedetikpun momen berharga tersebut.

Sembari mengusap bibirnya, Pak Hasan pergi seraya menyunggingkan senyuman misterius. Sementara Kartika sempat melihat sekelebat bayangan seseorang dari depan pintu kamarnya.

*****


Laras


Aurel

Selepas shalat isya hujan turun sangat lebat beserta angin kencang. Pohon-pohon besar yang berjejer di tepian sungai tampak bergoyang mengikuti alunan angin yang seakan ingin menerbangkan mereka, akibatnya banyak daun-daun pohon tersebut yang berguguran.

Di jalanan tampak beberapa santri berlindung di balik kain sarung yang mereka kenakan. Berlari secepat mungkin agar bisa tiba lebih cepat di asrama. Hal yang sama juga di lakukan oleh santriwati, mereka bergegas untuk kembali ke asrama agar bisa segera berlindung di balik selimut tebal.

Berulang kali langit berteriak, seakan ingin meruntuhkan seisi dunia. Membuat beberapa santri Wati terlihat ketakutan. Mereka yang tidak bisa tidur, memutuskan untuk mengobrol di dalam kamar sembari menanti hujan reda.

Sementara itu di kediaman KH Umar, Laras bersama kedua anaknya tengah menikmati siaran televisi. Mereka tengah menonton sinetron di ruang keluarga.

"Umi saya ke kamar dulu ya." Pamit Clara. Gadis muda itu berulang kali menguap, mencoba menahan kantuk.

Laras tersenyum sembari menganggukan kepalanya. "Iya Kak" Jawab Laras kepadanya.

Kaki mungil Clara menghentak lantai, meninggalkan Laras dan Azril yang diam-diam memperhatikan garis celana dalam adiknya, yang menjiplak di celana tidur yang di kenakan Clara.

Tapi Azril buru-buru sadar akan kesalahannya, sehingga ia dengan cepat beristighfar di dalam hatinya. Ia sangat menyesal karena sempat mencuri pandang kearah pantat adiknya itu. Padahal dulu, ia tidak pernah memiliki pikiran kotor tentang keluarganya, tapi entah kenapa akhir-akhir ini ia sering berfikiran kotor tentang mereka.

"Kamu belum tidur?" Tegur Laras.

Wanita anggun itu meluruskan kakinya di sofa, sembari menopang kepalanya dengan tangan. Ia menekuk satu kakinya sehingga gaun tidur berwarna putih yang ia kenakan sedikit tersingkap memamerkan betisnya yang putih mulus seperti pualam.

Sejenak Azriel terpaku menatap betis Laras yang terlihat seperti padi bunting. Alhasil pemandangan tersebut membuat sang junior terbangun.

Laras menggeser kakinya hingga semakin terbuka. "Di tanya kok diam?" Tegur Laras, dia melirik kearah putranya.

Deg... Deg... Deg...

Jantung Azril berdetak tidak beraturan, bahkan ia tampak kesulitan mengambil nafas sanking tegangnya. "Eh... Ke-kenapa Mi?" Tanya Azril, sembari melihat kearah Ibu Tirinya, dan sialnya matanya malah tertuju kearah selangkangan Laras yang terbuka.

Gleeek...

Azril menelan air liurnya yang hambar ketika melihat celana dalam Laras yang berwarna cream.

"Kamu gak ada hafalan?" Tanya Laras.

Azril menggelengkan kepalanya. "Gak ada Mi! Eehmm... Azril ke kamar dulu ya Mi?" Ujar Azril gugup. Ia tidak ingin Ibu Tirinya menyadari perubahan yang ada di dalam dirinya.

"Iya, kamu tidur sana." Suruh Laras.

Ia tersenyum tipis sembari menghela nafas. Sebagai seorang Ibu ia merasa sangat bersyukur karena memiliki anak yang begitu baik dan penurut. Apa lagi Azril bisa di bilang cukup berprestasi, Laras merasa sangat bangga terhadap Azril.

Perlahan Laras memejamkan matanya, mengistirahatkan matanya yang terasa lelah.

Tanpa di sadari Laras, seseorang tengah berjalan mendekat kearahnya. Pemuda tersebut tentu dapat melihat isi dalam gaun tidur Laras yang kebetulan menghadap kearahnya.

"Amma..." Panggilnya.

Laras mengerjapkan matanya. "Daniel? Astaghfirullah..." Laras tersadar dari lelapnya. Ia buru-buru duduk di sofa, sembari mengambil jilbab miliknya yang kebetulan tadi sempat ia lepas.

"Maaf Amma! Tadi saya liat Amma ketiduran, jadi saya berinisiatif ingin membangunkan Amma." Ujar Daniel, sembari tersenyum hangat.

"Iya tidak apa-apa." Jawab Laras tampak canggung.

"Mau saya buatkan kopi?" Tawar Daniel.

"Serius?"

"Ya tentu saja. Buatan kopi saya sangat enak, Amma harus mencobanya." Usul Daniel, sembari mengangkat satu alisnya. Laras tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Boleh juga." Jawab Laras.

Suasana canggung yang sempat terjadi diantara mereka berdua dengan cepat kembali normal. Laras sangat tersanjung dengan sikap Daniel yang menurutnya sangat baik. Sayang, pemuda baik itu punya masa lalu yang membuat keluarga besarnya sangat membenci dirinya.

Tapi tidak bagi Laras, ia sama sekali tidak membenci Daniel, baginya setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri mereka.

Tidak lama kemudian Daniel kembali menghampiri Laras, ia membawa dua gelas kopi hangat.

"Silakan di minum Ma!" Ujar Daniel.

Laras mengangkat gelasnya. "Terimakasih Dan! Kamu tau, Amma itu paling suka kopi." Jujur Laras, dia menghirup aroma kopi yang terasa nikmat.

"Oh ya, sama dong Ma."

"Sepertinya kita memiliki banyak kesamaan ya!" Laras melirik Daniel yang tengah menyeruput kopi.

Daniel tersenyum tipis, sembari meletakan kembali gelas miliknya keatas meja. Daniel menemani Laras yang terlihat sangat antusias ketika sedang bercerita. Entah kenapa Laras merasa ada kecocokan ketika tengah mengobrol dengan Daniel keponakannya.

*****


Zaskia

Sementara itu di tempat berbeda, di kediaman Zaskia, tampak wanita muslimah tersebut juga tengah menikmati sinetron yang juga di tonton oleh Laras. Ia terlihat sangat fokus dan sanking fokusnya menonton ia tidak menyadari kedatangan Rayhan yang berjalan mengendap-endap di belakangnya.

Dengan senyum misteriusnya, ia mendekati Zaskia dan bersiap mengagetkannya.

"Kakaaaaaak...." Jerit Rayhan sembari menepuk pundak Zaskia, alhasil Zaskia melompat kaget sembari berteriak.

"Kontooool... Kontooool... Kontooool..."

"Hahahaha..." Tawa Rayhan.

Wajah Zaskia memerah menahan kesal. "Adeeeek... Bandel banget si." Kesal Zaskia, ia mencoba mencubit Rayhan, tapi dengan gesit Rayhan menghindar.

Tidak kehabisan akal Zaskia melempar bantal sofa kearah Rayhan yang tengah tertawa.

Dengan cepat Zaskia berdiri dan menangkap tangan Rayhan hingga menariknya dan jatuh menabrak Zaskia. Alhasil mereka berdua sama-sama terjatuh diatas sofa dengan posisi Zaskia berada di bawah Rayhan, bahkan tanpa di sengaja Rayhan mencium pipi Zaskia.

Sejenak mereka terdiam dan saling pandang, suasana yang tadi riuh mendadak terasa hening, bahkan Zaskia seakan tidak bisa mendengar suara volume tv.

Rayhan yang berada di atas Zaskia, tanpa sadar selangkangannya menyentuh paha Zaskia, alhasil tekanan lembut tersebut membangunkan kontol Rayhan yang tengah tertidur. Zaskia bisa merasakan tonjolan di celana Rayhan yang di rasa sangat keras.

"Kontol!!" Lirih Zaskia.

Rayhan tersenyum geli mendengarnya. "Kakak jorok." Ledek Rayhan.

Zaskia yang tadinya terbawa suasana, mendadak kembali ganas. Ia mencubit perut Rayhan, membuat pemuda itu meringis kesakitan.

"Ampun Kak! Aduuuh..." Melas Rayhan.

Dengan muka bengisnya ia menatap Rayhan. "Masih berani isengin Kakak?" Ancam Zaskia.

"Enggak Kak! Aduuuh... Sssttt... Sakit Kak."

"Janji gak akan jahilin Kakak lagi?"

"Janji..."

Zaskia segera melepas cubitannya, sementara Rayhan yang kini duduk di samping Zaskia tampak mengusap-usap bekas cubitan Kakaknya.

Ketika Rayhan mengangkat kaosnya, ia melihat kulitnya memerah karena cubitan Zaskia.

"Sampe merah gini Kak." Lirih Rayhan.

Zaskia mengulum senyum sembari melihat kearah perut Rayhan. Sedetik kemudian senyum Zaskia memudar ketika tatapan beralih kearah celana boxer yang di kenakan adiknya. Matanya membulat menatap tonjolan di celana Rayhan yang kini membentuk tenda.

Pemandangan tersebut membuat birahi Zaskia melonjak, sejenak ia berhenti bernafas seiring dengan rasa gatal yang menggelitik memeknya.

"Kak..." Panggil Rayhan.

Reflek Zaskia berkata jorok. "Eh kontooool..." Pekik Zaskia sembari menutup mulutnya.

"Ayo lagi mikir jorok ya." Goda Rayhan.

Wajah Zaskia kembali merona merah, bukan karena marah tapi karena merasa malu telah berkata tidak pantas di hadapan Adiknya. Alhasil Rayhan kembali tertawa mengejek Kakaknya.

Seakan tidak mau kehilangan muka, Zaskia mengancam Rayhan dengan memperlihatkan kedua jarinya sembari meragakan gerakan mencubit.

"Dikit-dikit ngancem." Rayhan ngedumel.

Zaskia kembali tersenyum. "Makanya jangan suka ngejahilin Kakak." Omelnya.

"Iya deh..." Rayhan berdiri seakan hendak pergi. "Kak ada kontol." Pekik Rayhan, dan lagi-lagi ia berhasil menjahili Zaskia.

"Kontol... Eh kontooool... Mana kontolnya Dek."

"Hahahaha..." Tawa puas Rayhan sembari kabur sebelum Kakaknya mengamuk.

Zaskia terlihat geram sembari mengelus dada melihat kelakuan Rayhan yang suka sekali mengerjai nya. Sekali lagi ia menghela nafas setelah kepergian Rayhan. Dan sedikit kemudian bibirnya bergerak, mengukir sebuah senyuman tipis.

******
Kok Jadi gini ceritanya? Padahala bagusan yg dulu deh. Zaskia & Rayhan sodara kandung
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd