Paraha di Tanah Dewata
(War in Paradise)
(War in Paradise)
Part 1. Dalem Bedahulu
Di Balairung Kerajaan Gelgel berkumpul sang Dalem dan para senapatinya.
"Majapahit adalah kerajaan yang besar, gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tentram, rajanya berkuasa dan berwibawa, wilayahnya luas subur dan makmur. Menurut batik, usulan Ki Bima Sakti terlalu beresiko Paduka Dalem. Batik mohon Paduka mempertimbangkannya lagi." Senapati Kuturan memohon.
*Batik = hamba/saya di hadapan orang yang lebih berkuasa
*Dalem = sebutan pada seorang raja di Bali
"Hmmm..." Sang Raja yang bergelar Sri Astasura Ratna Bhumi Banten tampak berpikir serius. Aura kewibawaan sebagai raja membuat seluruh balairung terdiam. "Bagaimana menurutmu Grigis?"
"Batik rasa, pendapat Senapati Danda ada benarnya. Majapahit memang berkekuatan besar, rakyat dan prajuritnya banyak juga hidup dalam kemakmuran namun prajurit dan panglima yang cakap bertempur hanya terkumpul di Wilwatikta. Adipati penguasa di timur Wilwatikta tidak begitu cakap. Batik bisa mengerahkan pasukan menggempur terlebih dahulu."
*Senapati Danda = Menhankam di zaman sekarang
"Tapi mereka memiliki Mangkubumi yang sangat kuat," potong Sang Raja.
"Benar Paduka. Maha Mentri Mada memang sangat kuat dan cakap dalam bertempur. Namun satu orang tidak akan mampu melawan pasukan kita yang kekuatannya merata. Kita memiliki Ki Gudug Basur yang sakti dan teguh (kebal), juga Ki Tambiak yang dulu pernah membunuh banyak pasukan kita, Ki Tunjung Tutur dan saudaranya Ki Tunjung Biru, Ki Kopang yang pernah menjabat panglima Selaparang dan masih banyak lagi. Kekuatan kita begitu merata, begitu reket. Batik yakin, pasukan Paduka Dalem akan menang jika bertempur dengan Majapahit.
*Reket : kompak/bersatu
"Bagaimana pendapat senapati yang lain?" Sang Raja memandang satu per satu bawahan yang mengelilinginya. Hampir semua senapati setuju, kecuali Ki Mabasa Sinom yang menjabat Senapati Kuturan dan Ki Balung Sinkal yang menguasai wilayah Taro yang tidak setuju.
*Senapati Kuturan = Mendagri
"Memberontak pada Majapahit sama dengan melawan tradisi leluhur. Penguasa kita diangkat oleh Raja Daha. Ratu Tribuwana merupakan Bhre Daha, Junjungan langsung kerajaan kita." Senapati Kuturan berusaha mengingatkan Sang Raja.
"Daha? Singasari? Bukankah Kerajaan Gelgel ini sudah berdikari sejak Paduka mangkat Bathara Çri Maha Guru? Lagi pula, raja pertama Majapahit, Nararya Sangramawijaya, bukanlah keturunan raja Daha, bukan begitu Paduka Dalem?" Ki Bima Sakti mempertahankan pendapatnya.
Sang Raja mengangguk dan tersenyum. Dengan suara lantang, Paduka Dalem Gelgel bertitah, "Sejak zaman ayah dari ayahku, kita sudah berdiri sendiri. Penunjukan raja tidak dilakukan oleh Raja Daha, apalagi Majapahit yang baru ada kemarin sore.mulai saat ini, kita akan menentang Majapahit. Kita adalah kerajaan yang kuat. Kita tidak akan kalah. Biarlah Majapahit bilang kita pemberontak tapi kita akan rebut kembali kekuasaan kita dari Majapahit." Sri Astasura Ratna Bhumi Banten menghunus keris pusakanya dan menunjuk pada Ki Bima Sakti dan Ki PasungGrigis, "Senapati Danda dan Mangkubumi, siapkan pasukan sebanyak mungkin dibantu tumenggung, bendesa dan mentri lainnya."
Kedua Senapati yang ditunjuk menyembah dan menganggukan kepalanya.
Giliran Senapati Kuturan yang ditunjuk dengan keris oleh Sang Raja, "mulai hari ini, tidak ada lagi upeti kepada Majapahit."
Ki Mabasa Sinom, menyembah dan mengangguk pada junjungannya.
"Dan Ki Balung Singkal..." Sang Raja memandang tajam pada penguasa Taro itu, "apakah prajurit Taro memihak pada Gelgel atau Majapahit?"
Seketika Ki Balung Singkal melepaskan keris dan gelung tangannya. "Pasukan, harta, bahkan nyawapun akan batik serahkan pada Paduka Dalem."
"Baiklah, kita akan merubah haluan, menuju kejayaan!" Sang Raja berteriak ambil mengangkat tinggi keris pusaka, diikuti oleh gemuruh teriakan para senapati setianya.
****PTD****
Trowulan
Siang itu, seorang lelaki berjalan terburu-buru untuk menemui penguasa Majapahit, Tribuawana Tungga dewi. Di sebelahnya berjalan seorang lelaki tinggi gempal dengan gelung tangan terbuat dari emas murni. Bukan sebuah kebetulan pada hari itu juga di balairung Majapahit berkumpul para ksatria Wilwatikta bersama Dyah Gitarja. Mereka tampak sedang membicarakan hal yang penting. Beberapa dari mereka bahkan berbisik saat mengucapkan kata tertentu. Terkadang nada tinggi penuh amarah keluar dari salah satu ksatria itu. Dyah Gitarja, atau yang lebih dikenal sebagai Tribuawana Tungga dewi, tampak berpikir keras. Dia duduk tegak di atas singasananya. Alisnya berkerut memperhatikan para ksatrianya berdebat panjang lebar tak kunjung henti. Sebuah tawa terkekeh, menyadarkan Dyah Gitarja dari buaian pemikirannya.
"Mengapa kau tertawa, Damar?"
"Aku hanya merasa geli, kakak. Salah satu dari mereka bilang pengawal upeti dari Gelgel dirampok, ada juga yang berkata tenggelam di Segara Rupek. Aku yakin semua tidak benar."
Segara Rupek = laut sempit, penyebutan selat yang memisahkan Jawa-Bali pada zaman itu.
"Jadi? Apa pendapatmu?"
"Menurutku, mereka tidak akan membawa upeti itu kemari. Tidak mungkin upeti terhambat sampai empat sasih tanpa ada alasan atau utusan dari mereka. Mereka tidak mengakui kekuatan dan kekuasaan Majapahit. Cepat atau lambat, kakak harus bertindak," jawab Arya Damar dengan tenang.
"Hmmm... baiklah, sebaiknya kita tunggu Mangkubumi dan telik sandi yang dikirimnya."
* telik sandi = mata-mata
Mendengar ucapan sepupunya, Arya Damar atau yang lebih dikenal sebagai Adityawarman di tanah Andalas hanya mengangguk dan melipat tangannya di dada. Sementara Rakyan Kanuruhan, Rakyan Demung dan Rakyan Rangga masih berdebat tentang upeti dari kerajaan Gelgel yang sudah empat bulan tidak datang.
"Lapor paduka," dua orang laki-laki berlutut dan menyembah belasan meter di depan Dyah Gitarja, "batik datang melapor bersama telik sandi dari tanah Bali."
"Berdirilah paman. Apa yang sebenarnya terjadi di tanah seberang, Mangkubumi?"
"Ampun Paduka, menurut pasukan telik sandi yang hamba sebar di Bali, penguasa Gelgel tidak mengakui Majapahit sebagai penerus Kerajaan Daha. Mereka menganggap Paduka mangkat Sira Sang Rama Wijaya pendiri Majapahit bukanlah keturunan raja Daha namun keturunan Galuh. Mereka berkata Sang Rama Wijaya mencari perlindungan pada Paduka mangkat Maha Prabu Kertanegara karena kalah perang dengan saudara lain ibu. Tanpa bantuan Arya Wiraraja dan prajurit Tartar, Paduka tidak akan bisa mengalahkan Jayakatong. Kekuasaan Majapahit hanyalah semu. Didapat dengan bantuan Adipati Madura, membalas tuba pada pasukan Tartar dan mengaku-aku sebagai raja penerus Daha. Mereka hanya mengakui Maha Prabu Kerta Negara sebagai junjungannya, kerajaan Daha sebagai hulunya. Saat ini mereka adalah karajaan yang 'beda hulu'. Saat ini mereka sedang menyusun kekuatan untuk menyerang ke tanah Majapahit. Dari berita yang hamba dengar Blambangan sudah takluk pada Gelgel."
*Beda hulu > beda asal/ beda atasan/ beda pimpinan >> pemberontak
Laporan Mangkubumi membuat geger seisi balairung. Seketika suasana tegang menyelimuti setiap lelaki yang ada, kecuali sang Mangkubumi dan Arya Damar yang tebakannya terbukti benar. Raut wajah Dyah Gitarja berubah drastis mendengar laporan Maha Mantri-nya. Pipinya menggembung, matanya mendelik, kulit mukanya berubah merah. "Lancang!" Dyah Gitarja berdiri dan menunjuk ke awing-awang. "Dasar tidak tahu diuntung! Apa mereka lupa?! Atau mereka bodoh?! Maha Prabu Kertanegara adalah kakekku. Aku masih keturunan langsung beliau!" Penguasa Majapahit itu berjalan mondar-mandir di depan singasananya. "Damar, apa pendapatmu?"
"Yah... seperti yang kukatakan tadi, kakak harus mengambil tindakan. Kerajaan beda hulu ini tidak bisa dibiarkan. Jika Adipati lainnya mendengar ini, harga diri kita akan jatuh. Pagaruyung, Melaka, Dharmasraya, Pajang, Mataram dan lainnya mereka pasti akan ikut memberontak. Satu atau dua pemberontakan bisa dipadamkan, tapi bagaimana jika serentak?"
"Hmmmm..." Dyah Gitarja menganggukan kepalanya, "bagaimana pendapat paman Mangkubumi?"
Lelaki tinggi besar dengan rambut panjang digelung yang tadi melapor berjalan mendekati Dyah Gitarja. Dengan Arya Damar yang berdiri disampingnya dan Mangkubumi di sisi lainnya, tampak diskusi ini hanya antara mereka bertiga. "Menurut batik, Kita harus segera mengumpulkan pasukan. Beri titah pada Ra Hino untuk menyiapkan pasukan. Ra Halu untuk menyiapkan perbekalan dan makanan. Ra Demung dan Ra Kanuruhan untuk menyiapkan senjata. Kita butuh bantuan pasukan dari Galuh, dari Kahuripan dan Andalas..." Mangkubumi terdiam sesaat dan memandang Arya damar yang kemudian mengangguk, "kita harus bergerak cepat ke wilayah selatan dan bersembunyi di huan untuk bersiap menyerbu ke Blambangan. Semua harus siap dalam tiga sasih. Setelah Blambangan kita kuasai barulah kita menyebrang dan menyerang dari barat. Kita hancurkan pertahanan mereka dari pesisir barat hingga Sukawati. Jika Sukawati bisa kita kuasai, batik yakin, mereka akan kalah dengan mudah."
*Ra = Rakyan
"Rakyan Mantri Hino, siapkan pasukan sebanyak mungkin, kirim utusan ke penjuru tanah Jawa, kita membutuhkan mereka. Rakyan Mantri Halu, siapkan perbekalan dan makanan untuk pasukan yang terkumpul, berapapun itu, aku tidak ingin pasukanku ada yang kelaparan saat perang. Rakyan Demung dan Rakyan Kanuruhan, perintahkan seluruh pandai besi yang ada di wilayah kita untuk membuat senjata bagi pasukan kita. Aku ingin semua dilakukan dalam dua sasih. Kita akan memberi raja pemberontak (bedahulu) itu pelajaran."
"Siap Paduka!" keempat Rakyan yang diperintahkan menjawab serempak.
"Rakyan yang lain, aku ingin kalian membantu persiapan perang ini."
"Siap Paduka!" seluruh Rakyan di balairung menjawab titah junjungan mereka. Tak berapa lama mereka meninggalkan balairung untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Balairung menjadi sepi, hanya tiga orang yang masih berbicara.
"Damar, tunda kepulanganmu ke Tulembang, aku butuh bantuanmu."
"Aku mengerti kakak. Aku akan mengirim adikku pulang untuk mengumpulkan pasukan. Semua pasukan Andalas siap membantu Majapahit," jawab Arya Damar tersenyum menenangkan sepupunya.
Mangkubumi Majapahit, mengutarakan pembicaraan yang lagi-lagi membuat junjungannya kaget bukan kepalang, "paduka, batik mohon diri untuk pergi ke tanah Bali."
"Apa yang paman Mada katakan? Mereka tidak mengakui kekuasaan kita, bahkan ingin berperang dengan kita. Jika paman Mada datang kesana, bukankah bunuh diri namanya?"
"Batik memiliki sebuah siasat dan siasat itu akan batik uraikan pada update selanjutnya....
Terakhir diubah: