Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pria-Pria Dalam Puber Keduaku

Di malam kedua ini, tidak ada alasan bagiku untuk menolak Bang Tian. Sejak sore tadi, aku sudah kebingungan mencari alasan untuk menolak keinginannya mencumbu aku, tapi tidak ketemu.

Kamar sudah menggelap karena aku sudah mengganti lampu utama dengan lampu kecil. Sengaja aku menutupi tubuhku dengan selimut. Dengan mata menatap ke atas, ke langit-langit kamar, aku berbaring terlentang.

Bang Tian yang berbaring disampingku sudah menghadapkan dirinya ke arahku. Kepalanya bertumpu pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya memainkan rambut panjangku yang tergerai disampingnya.

“Tini biasanya tidur malam jam berapa?” tanya Bang Tian yang kali ini mengelus pipiku.

“Jam satu, biasanya,”jawabku sekedarnya.

“Malam sekali.” Bang Tian menyelusupkan tangannya ke dalam selimut dan meraih tanganku yang bersidekap menutupi payudaraku. “Kalau Abang sih jam sebelas sudah tidur.”

“Abang tidur saja kalau sudah mengantuk,” tukasku cepat. Siapa tahu dia terbujuk rayuanku, hingga dia segera tidur dan lupa untuk menyetubuhi aku malam ini. Semoga, harapku.

Dalam larutnya malam, kami sama-sama berdiam diri. Kamar terasa sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding.

“Lucu, ya, kita ini,”katanya lagi setelah lama terdiam.

“Lucu kenapa?” tanyaku penasaran.

“Kata orang, malam pertama itu indah bagi pengantin baru.” Tangan Bang Tian jatuh di perutku. “tapi, kok malam pertama kita, kita habiskan untuk tidur.”

Tanpa sadar, aku tersenyum. Mataku masih menatap ke atas.

“Ada temanku yang bilang, kalau menikah nanti, aku dan istriku tidak akan keluar-keluar dari kamar selama minggu, tapi kita kok malah sibuk bersih-bersih rumah?”

Lelaki itu mengambil tanganku, menggenggam jemariku, dan aku membiarkannya.

“Terima kasih, sudah mau menjadi istriku.” Dengan perlahan Bang Tian menarik tanganku keluar dari dalam selimut, mengangkatnya mendekati wajahnya dan lalu menciumi jemariku yang digenggamnya.

Bunggah dadaku karena ucapan suamiku ini, karena perlakuan lembutnya. Sudah dua malam dia mengatakan bangga menjadikan aku sebagai istrinya. Haruskah aku mengabaikan keberadaannya terus?

Kualihkan wajahku ke samping, menatap dia yang menatap aku. Kulemparkan senyuman termanis untuknya. Kueratkan genggaman tanganku, meremas jemarinya. Bang Tian pun balas meremas, lembut. Maka, dalam diam, dalam keremangan kamar, kami saling tatap, saling senyum, saling remas jemari tangan. Dan malam ini, aku bersumpah akan menerima kehadiran dia dalam hidupku. Aku harus menerima dia untuk bersama mengarungi bahtera keluarga. Aku berjanji.

Bang Tian menarik jemarinya dari genggamanku.

“Panas …,” ujarku sambil membebaskan tubuhku dari selimut.

Tersenyum Bang Tian. Dia ikut menarik selimut dan membuangnya ke bawah ranjang. Berkipas-kipas aku dengan tanganku.

“Aku tiup-tiup, ya, biar Tini tidak gerah,” guraunya sambil memoyongkan mulut.

“Moh. Bau.”

Tertawa dia. “Paling-paling bau sampah.”

Kini aku ikut tertawa. Akhirnya cair keheningan di kamar pengantin kami.

Masih bertumpu pada tangan kirinya, dia meninggikan kepalanya. Kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku diam. Tapi, aku rasakan jantungku yang menjadi cepat berjalan. Wajah itu kian dekat dan akhirnya dia cium ujung hidungku. Hanya ujung hidungku yang dia sentuh untuk kemudian wajahnya kembali menjauh.

“Aku sayang kamu,” sembari menatapku, dia berucap pelan.

Tidak sempat aku menjawabnya karena Bang Tian menimpakan dadanya ke pundakku yang membuat aku meringis sakit.

Rupanya suamiku melihat aku yang kesakitan akibat tindihannya. Dia pun meninggikan tubuhnya kembali, lalu, “Berat, ya?”

Berat sih tidak, tetapi tindihannya yang tiba-tiba memang membuat sakit, tapi aku menggelengkan kepalaku sembari memamerkan senyumku. Melihat aku tersenyum, Bang Tian kembali menimpakan dadanya ke pundakku, tapi kini lebih pelan. Begitu wajahnya berada di atas wajahku, kuangkat meninggi bibirku, mempersilakan dia mengambilnya. Napasnya menerpa hidungku, lalu kurasakan bibirku tertekan. Bibirnya yang hangat menimpa bibirku. Kupejamkan mata ini, tapi, hanya sebentar Bang Tian menempelkan bibirnya. Belum sempat aku menikmatinya, bibir itu sudah pergi. Cepat kubuka mataku dan kudapati Bang Tian sedang menatap aku. Aku yang berbaring dibawahnya hanya bisa tersenyum malu.

Sambil mengelus lembut pipiku, Bang Tian menaikiku. Berat sekali badan lelaki ini saat menindih tubuhku. Kulebarkan kedua pahaku, sehingga dapat aku rasakan ada benda keras di selangkangannya menimpa pahaku. Sudah mengaceng rupanya kontolnya, batinku sambil menahan senyum. Ditekannya benda keras itu, lalu pelan-pelan digesek-gesekkannya.

Kembali Bang Tian menempelkan bibirnya ke bibirku, tapi kali ini lebih lama. Dia kulum bibirku dan, setelah menutupkan mata, segera aku membalas mengulumnya. Bak sepasang ikan yang terdampar di daratan, bibir-bibir kami megap-megap kehabisan napas, tapi enggan melepaskan ciuman kami.

Bibir Bang Tian berubah liar. Meninggalkan bibirku, bibir itu menjangkau setiap lekuk wajahku. Pun mataku tak luput diciuminya. Menggelinjang aku ketika dijilatinya telingaku, ketika lidahnya mengobok-obok lubang telinga. Napasku mulai menderu, sementara kontolnya masih menekan keras di pahaku.

Begitu Bang Tian bangkit meninggalkan tindihannya, aku perbaiki posisi berbaringku. Bang Tian yang bersimpuh disampingku, melepaskan kaosnya. Setelah itu, “Lampunya dihidupkannya, ya?”

“Jangan.”

“Kenapa? Biar terang kamarnya.”

“Malu.”

Karena niatnya aku tolak, tanpa banyak bicara, dia kejar piyamaku. Dilepasinya kancing-kancing piyama yang aku pakai. Ketika dia menyibak lebar piyamaku, spontan jemariku langsung menutupi kedua payudaraku. Meskipun masih tersembunyi dibalik beha, aku malu karena belum pernah payudaraku dilihat dan disentuh seorang lelaki. Biarpun pacarku berganti-ganti, tetapi gaya pacaranku hanya sebatas bibir.

Tetapi, Malam ini, Bang Tian sepertinya sudah lupa diri. Ditariknya kedua tanganku meninggalkan payudaraku. Kemudian, wajahnya menghujam ke belahan payudaraku yang masih berada dalam beha. Dengan ganas dikecupinya lereng gunung yang menyembul itu, sementara aku hanya mampu menggelinjang geli. Berganti-ganti bibir Bang Tian berpindah diantara kedua gunung tersebut.

Kembali Bang Tian meninggalkan payudaraku. Bersimpuh kembali dia, ditariknya aku bangun dari berbaringku. Dipaksanya tanganku melurus agar mudah dia meloloskan piyamaku. Dan kini aku tanpa pakaian. Memerah pipiku menahan malu ketika mata Bang Tian memelotot ke arah payudaraku. Segera aku tutupi payudaraku dan segera pula ditariknya kembali tanganku. Kubuang mataku tidak tega payudaraku dia tatap sedemikian rupa.

Berpindah dia ke belakangku. Bersimpuh, merapatkan tubuhnya erat di tubuhku.

“Dilepas tangannya.” Bang Tian menyentuh lereng payudaraku.

“Tidak mau,” jawabku sambil tetap menutupi payudaraku.

Tidak ingin memaksakan kehendaknya, Bang Tian mengalihkan perhatiannya ke pundakku. Merinding aku ketika bibirnya mendarat di pundakku, menciuminya. Bibirnya merambah leherku, menjilatinya. Menjengit aku manakala pundakku dia gigit pelan, lalu disedotinya, untuk kemudian digigit-gigitnya lagi, dan aku hanya bisa menggelinjang geli.

Perlahan Bang Tian menurunkan tali beha dari pundak dan dua tangannya ikut turun untuk mengelus tanganku. Dicumbunya telingaku. Disaat aku menggelinjang akibat kecupannya, tangan kanannya memaksa masuk ke bawah tanganku. Dengan cepat jemari tangannya menyelinap ke dalam beha dan segera meremas isi beha tersebut. Kucoba menarik keluar tangannya, tetapi rasa geli menerpaku ketika puting susu milikku tersentuh.

“Kenyal dadanya. Besar,”bisiknya sembari terus meremasnya dan aku merasa tersanjung.

Menyusul tangan kanannya, tangan satunya ikut masuk untuk mengambil payudaraku. Hei, teriakku tertahan karena dibawanya keluar payudaraku dari dalam beha. Kini dengan bebas Bang Tian memainkannya. Diremasnya, diputarnya, diangkatnya, dan dilakukannya berulang. Ada rasa sakit kurasakan, tapi aku coba menikmatinya.

Bang Tian melepaskan payudaraku. Tersenyum simpul aku karena dia kesulitan untuk melepas pengait behanya. Aku kendorkan punggungku hingga akhirnya terlepaslah beha itu dan jatuh di pangkuanku.

Segera dipeluknya aku. Hangat tubuhnya kurasa saat menempel erat di tubuhku, tangannya menindih payudaraku, dan ciumannya yang dalam menempel di pipiku.

“Tini,”panggilnya dan aku mengangkat wajahku.

“Di sana.”Dia menunjuk ke depan dan aku mengikuti arah tangannya.

Tersenyum aku dan kemudian merunduk. Malu dengan ketelanjanganku.

“Ayo, lihat lagi,”paksanya.

Kupancangkan mataku dan, di cermin meja hias, aku melihat diri ini yang bertelanjang dada dengan kedua payudaraku berada dalam genggamannya. Untung saja lampu kamar tidur kami redup, sehingga wajahku yang memerah tidak terlihat.

“Baru kali ini Abang memegang dada perempuan,” ucapnya sembari mengutili butiran kecil kecoklatan yang berada di atas payudara-payudara itu.

Kudongakkan wajahku meninggi, malu melihat payudaraku jadi permainannya. Kemudian Bang Tian mengangkat tangan kananku meninggi, lalu aku rasakan kepalanya menyelusup masuk di bawah tanganku. Mengejang sebentar tubuhku kala puting susuku dijilat oleh lidahnya yang kasar. Kembali mengejang tubuhku ketika puting susu dia emut. Sakit pun melanda dada ini ketika puting susuku dia sedot-sedot. Benar kata kaum hawa, ternyata malam pengantin tidak seenak yang dibicarakan para lelaki.

Bang Tian menggeser tubuhku ke samping. Kini aku terbaring di kasur. Tubuh telanjangku sudah lemah, tidak mampu aku bergerak. Kutatap suamiku yang bergerak lincah menurunkan celanaku. Kuangkat pantatku meninggi agar mempemudah suamiku menurunkan celana dalamku.

Sempurna sudah aku telanjang. Tanpa pakaian aku didepan suamiku. Tapi, tidak ada rasa malu menghinggapiku, malah timbul rasa bangga di dada melihat mata melotot suamiku mengarah ke selangkangan.

“Hihihi… Bulu jembutnya panjang, ya,” komentarnya sambil memainkan bulu-bulu keriting di selangkanganku itu dan dengan segera aku merapatkan kedua pahaku.

Dua pahaku kemudian dilebarkan oleh Bang Tian dan dia pun masuk mendekat. Merinding tubuh ini kala jemari tangannya mengelus pahaku untuk terus meninggi menuju selangkanganku. Geli saat dia memainkan bulu jembut yang lebat menghiasi selangkanganku. Mengernyit tubuhku kala belahan memanjang di selangkangan dia sentuh.

“Tini, “ Terdengar Bang Tian memanggilku.

Aku menoleh. Kulihat wajah Bang Tian berada di atasku. Dalam keremangan malam, kulihat wajah itu terlihat lebih gelap.

“Aku masukkan, ya.”

Bingung, tetapi akhirnya aku mengangguk.

“Kalau sakit, bilang, ya.”

Hanya bisa mengangguk aku. Apa memang sakit pecah perawan itu? Sebelum akad nikah, banyak ibu-ibu yang menceritakan bagaimana sakitnya malam pertama. Bohong kalau ada yang mengatakan malam pertama itu indah. Untuk para suami, mungkin indah karena tujuan mereka hanya menusukkan kontol mereka ke memek istrinya untuk membuktikan bahwa istrinya masih perawan, sedangkan bagi sang istri yang alat kelaminnya memang belum pernah terjamah, akan terasa sangat sakit. Ada temanku yang mengatakan, begitu senjata suaminya masuk ke lubang vagina, rasanya seperti kulit diiris pisau tumpul, sakit sekali. Tidak ada rasa nikmatnya.

Lalu, Bang Tian merangsek masuk. Pahaku terdorong meninggi akibat desakan dua pahanya. Kurasakan ada benda tumpul mengenai memekku. Aku mengejang tegang. Takut. Tapi, benda itu terus menempel di lubang memek itu.

Ketika Bang Tian memaksakan kepala kontolnya untuk menusuk masuk, jemari tanganku otomatis mencengkeram seprai kasur yang kami tindih.

“Sakit, Bang.” Sumpah! Meskipun baru kepala benda tumpul itu menyeruak masuk di lubang memek, sakitnya alang kepalang.

Bang Tian menghentikan gerak maju senjatanya. Ditariknya kontolnya keluar.

“Sakit, ya?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk. ”Iya.”

Bang Tian sepertinya bingung dengan perilakuku. Dengan lembut, dia elus-elus perutku, sementara matanya memandang simpati ke arahku.

Setelah lama dia mengelus-elus pahaku, memainkan bulu-bulu jembut di selangkanganku, akhirnya dia berucap,“Kita coba lagi?”

Aku mengangguk. Kugigit bibirku. Biar akan kutahan rasa sakit itu, batinku.

Kembali benda tumpul itu menempel di lubang memekku. Kembali tegang mendera diri ini. Kali ini kepala benda tumpul itu naik turun mengelus lubang memek dan, tak lama kemudian, benda tumpul itu memaksa masuk dan rasa sakit timbul kembali. Kucoba menahan sakitnya, tetapi rasa sakit itu makin kuat seiring benda tumpul itu kian masuk memenuhi lubang kemaluan.

“Sakit, Abang,” teriakku tertahan.

Spontan Bang Tian menarik cepat senjatanya keluar dari lubang memek dan, berbarengan dengan itu, rasa sakit pun menghilang.

“Maafkan aku, Bang,” ucapku menyesal melihat Bang Tian yang terduduk di antara pahaku, “Tapi, memang sakit.”

“Tidak apa-apa,” sambutnya sambil keluar menjuhi aku.”berarti burung Abang besar, ya?”

Hanya bisa tersenyum aku. Senyum getir mendengar gurauan suamiku.

“Ini pakai pakaiannya.” Bang Tian mengulurkan piyamaku.

Sedih aku melihat dia yang kembali mengenakan pakaian tidurnya. Segera aku pun memakai piyamaku.

“Kita tidur saja, yuk,” ucapnya mengajak aku berbaring.

Dan di malam kedua ini, berdua kami berbaring saling berdekapan.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd