Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

V. Menjemput Kehidupan Lama


Saat aku bangun pagi itu, Tris sudah pergi kerja, tapi aku menemukan ada kertas catatan di meja yang bertuliskan namaku.


Errik tersayang


Maaf aku ga bangunin. Pagi ini kita ga sempat terapi ^_^

Aku masuk jam enam pagi dan sebelumnya harus jemput temanku yang mobilnya kupinjam.

Jangan buang-buang waktu lagi. Selesaikan semuanya supaya pikiranmu tenang. Lakuin sesuai daftar apa aja yang harus kamu lakuin. Kamu sudah buat kan daftarnya ???

Sebaiknya, kamu pindahin sisa barang-barang di apartment-mu ke tempatku sekaligus berhenti sewa disana. Biar pas kamu pindah ke Tangerang kita bisa langsung angkut dari sini, hemat waktu ga perlu bolak-balik ke apartment.

Aku pulang jam 3 seperti biasa.

Love you,


Tris.



Aku menuruti apa yang dia sarankan, menemui pengelola apartment dan bilang bulan depan aku ga tinggal disini lagi, lalu memindahkan sisa barangku ke asramanya dengan taksi. Sopir taksi dengan senang hati membantu mengangkat barang bawaanku, dan semakin senang karena aku memberikan tips besar padanya.

Setelah menurunkan barang dan menyimpannya di kamar Tris, aku menelepon Alfon dan memberitahu keputusanku untuk pindah ke Serpong dalam waktu dekat. Dia senang dengan keputusanku dan bilang kalau akte kelahiran dan berkas-berkas identitasku yang lain sudah jadi dan akan dikirimkan ke Semarang. Aku bilang ga usah dikirim dan lebih baik dia simpan sampai aku datang kesana saja.

Lalu aku menelepon klinik yang direkomendasikan Tris untuk tes DNA dan membuat janji, untungnya hari ini bisa langsung datang. Jadi aku pergi kesana untuk ambil sampel DNA-ku. Mereka juga mengambil sampel darah, cuma sedikit dan ga sebanyak yang kuperkirakan. Ada sedikit masalah saat membayar karena aku ga bawa uang sebanyak yang harus kubayar, dan sialnya mesin EDC sedang bermasalah, tapi perawat menyarankan agar aku mengambil lewat mesin ATM di bank sebelah. Untung saja ada ATM di dekat sini, jadi aku kesana, membuka catatan PIN di buku catatanku, walaupun seharusnya ga disarankan mencatat kode PIN dimanapun, tapi untuk kasus hilang ingatan sepertiku, aku harus berjaga-jaga kan.

Aku juga sempat memeriksa saldoku dan melihat ada nominal dua ratus juta lebih di sana. Aku sempat bingung dari mana uang sebanyak itu, lalu ingat bahwa Alfon bilang dia akan transfer uang ke rekeningku.

Setelah dari klinik, aku kembali ke asrama Tris dan sempat tidur siang. Dia membangunkan aku saat dia pulang. Dia masih memakai seragam perawat, tapi jelas ini bukan seragam yang biasa dia pakai untuk kerja di rumah sakit. Dress putih ketat pendek menampilkan kakinya yang panjang, bagian atas terbuka menampilkan payudara yang bulat sesak di dalam bra seksi, topi perawat dan stoking setinggi paha, bagian atas pahanya terlihat di tepi rok bagian bawah. Ini seragam yang biasa dipakai perawat dalam film porno dan DVD yang sering kami tonton bareng.

Aku memandangnya tanpa berkedip dan dia sedang melihat kearah tonjolan besar di celana kolorku. Bibirnya terbuka sedikit saat lidahnya keluar membasahi bibirnya, aku yakin dia sama terangsangnya denganku. Dan dalam waktu singkat aku menelanjangi diri. Dia pun melepaskan dress perawatnya menyisakan bra dan celana dalam mungil di tubuhnya. Dia berbalik membelakangiku, meletakkan dressnya pelan di sandaran kursi, lalu tangannya meraih ke belakang untuk membuka kait branya, menunduk memamerkan pantatnya yang bulat sempurna, tepat saat telepon berdering di dekatnya. Dia terkejut, menoleh, mengulurkan tangan dan menjawab telepon. Celana dalamnya sudah melorot sampai ke lututnya saat dia mengulurkan telepon padaku. Bra nya tergeletak diatas kursi.

"Telepon untukmu." katanya, menoleh ke belakang dengan senyum misterius di bibirnya.

"Halo?" Aku berkata setelah mengambil telepon darinya. Dia meraih di antara kedua kakinya, melepas celana dalam, lalu mendekat, mendorongku kembali berbaring. Jemarinya yang lentik terulur ke penisku dan menempatkannya di depan pintu masuk vaginanya yang berkilauan karena basah.

"Errik, ini Alfon!"

"Ooouggh! Hai.. Alfon!" Aku tersentak kaget saat Tris mendorong pinggulnya ke bawah dengan tiba-tiba, menelan kemaluanku seketika.

"Kamu gapapa?" Alfon bertanya.

"O-o-h, ya!" Aku susah payah berhasil mengatur nafas, karena dia sekarang bergerak naik turun, mengesek kemaluanku dan menciumi dadaku saat aku berbaring di bawahnya. "Ada.. kabar apa?"

Satu tanganku yang bebas memegang pinggang Tris, berusaha menahannya agar ga bergerak, tapi dia melawan dan dengan mudah bergerak lancar diatasku.

"Aku sudah dapat apartment bagus yang udah full furnish. Dua kamar tidur, ruang tamu, ada dapur, kamar mandi dan toilet terpisah."

"Ba..g..us.," Tris memainkan jarinya di bolaku.

"Errik, apa kamu sedang sama Tris? Kalian lagi sibuk terapi?"

"Ya, ya. Ugh!" Dia menggerakkan pantatnya dengan gerakan memutar di atasku.

"Telepon aku besok pagi. Sekarang fokus ke terapi didepanmu." Dia tertawa saat dia menutup telepon.

Aku menjatuhkan telepon. "Benar, dasar perawat mesum, sekarang aku balas kamu."

"Oh, bagus!" teriaknya, saat aku bangkit dan mendorongnya kesamping dalam posisi merangkak, lalu berdiri dan mulai menyetubuhinya dari belakang, mendorong penisku keluar masuk berulang-ulang,

"Ough, ya sayang, lebih ce..pat... Ahh.. nngh..."

Satu tangannya meremas-remas payudaranya sendiri, sebelum turun ke klitorisnya, bersentuhan dengan bolaku beberapa kali saat aku terus bergerak di belakangnya. Tangan yang lain menahan tubuhnya melawan gerakan berulang yang mendorongnya ke depan.

“Nggkkhh....owggh...”

Tris orgasme dengan diikuti lenguhan dan erangan keras yang menambah semangat buatku untuk terus bergerak, orgasmeku sendiri menyusul ga lama setelahnya, mendengus dan mengerang. Mungkin suara kami bisa terdengar sampai keluar, tapi sejauh ini belum ada tetangga yang protes karena kami berisik.

Setelah makan malam, kami melakukannya lagi, menghasilkan suara sama kerasnya, tapi sekali lagi ga ada yang protes.

Hari Senin, Tris harus piket pagi lagi, dan seperti kemarin aku ikut terbangun saat dia bersiap-siap dan jam 5.15 pagi kami sudah duduk sarapan berdua walaupun diluar masih gelap.

"Aku bakal pulang malam, selama tiga hari mulai besok. Ada temanku yang sakit dan harus di-backup, jadi aku bakal double shift dari siang. Tapi aku dapat libur pengganti dari Sabtu sampai Rabu. Bakal percuma kalau kamu disini sendiri, lebih baik kamu ke Serpong lebih awal, beresin masalahmu sama Alfon dan cek apartment barumu? Lalu aku bisa nyusul pas weekend sambil bawa sisa barang-barangmu."

Sekali lagi Tris memberi ide bagus, jadi aku memberi tahu Alfon bahwa aku akan pulang ke Serpong besok, lebih cepat dari rencana awal. Alfon senang karena kebetulan Ana sudah mulai mengajukan tuntutan ‘biaya hidup’ yang harus kubayarkan setelah kami bercerai. Alfon bilang akan menjelaskan lebih rinci saat aku sampai di Serpong.

Hari itu aku ikut fisioterapi dan selesai dengan rasa nyeri di sekujur tubuh seperti biasanya. Tapi aku tahu itu semua demi kebaikanku sendiri. No pain, no gain. Aku sekarang sudah jadi lebih lincah saat melakukan latihan sehari-hari yang sudah diajarkan, dan sekarang aku bisa berjalan lebih jauh tanpa perlu pakai tongkat.

Tris mengajakku makan malam di restoran yang mewah. Kami kesana lebih awal supaya bisa dapat promo buy one get one free kalau kami datang sebelum jam 5 sore. Lumayan bisa makan mewah sambil menghemat biaya, walaupun aku tahu biaya bukan lagi masalah buatku.

"Aku bakal kangen kamu," katanya saat kami dalam perjalanan pulang.

"Aku tahu, aku juga bakal kangen kamu, tapi ini cuma beberapa hari aja kok."

"Iya sih," katanya dengan nada sedih.

“Kamu kan bisa jalan sama teman-temanmu setelah aku ga ada."

Aku tahu akhir-akhir ini Tris hanya sempat keluar dengan teman-teman perawatnya, dan sama sekali ga pernah keluar dengan sahabat-sahabat lamanya dari sekolah perawat, teman-teman yang mengenalkannya pada dunia malam.

"Iya sih, tapi sejak sama kamu, aku udah jarang jalan sama mereka lagi sendirian."

"Yah, dulu kan aku ga bisa jalan ngikutin kalian, sekarang dari pada jalan lebih baik terapi di kamar.”

Kami berdua tertawa. Aku sangat nyaman dengannya. Orang lain cenderung menghindari percakapan yang menyangkut kondisiku, mereka merasa malu dan bersalah karena lebih bugar dariku, tapi Tris dan aku selalu bisa bercanda soal itu, lagipula, dia sudah menemaniku melewati masa-masa terberatku.

Malam itu kami begadang, ngobrol tentang apa saja ditempat tidur, saling membelai dan mencium satu sama lain, tapi itu lebih sebagai bentuk perhatian dan sayang daripada nafsu, terasa nyaman dan lembut. Perlahan-lahan kami pun tertidur.

Setelah beberapa hari bangun subuh, pada Rabu pagi itu kami bisa menikmati kemewahan tidur. Aku bangun dan membuat teh lalu kami bercinta lembut yang makin lama jadi lebih intens, dan saat kami mendapatkan orgasme kami tetap membuka mata, memandang reaksi satu sama lain, menghargai setiap momen yang kami punya.

Setelah sarapan, kami mandi bareng, saling menyabuni dengan lembut dan jadi terangsang karena keintiman kami. Kami berlari ke tempat tidur dan melampiaskannya disana, membuat badan kami lengket dan berkeringat lagi.

"Sebelum sarapan tadi kita sudah making love, sekarang setubuhi aku." Dia menggeram padaku saat kami bergegas ke tempat tidur. Aku menunjukkan nafsuku padanya, jauh lebih kasar dibanding sesi pertama tadi. Aku kali ini dari menyetubuhinya dari belakang seperti permintaannya, bolaku secara teratur membentur klitorisnya menimbulkan erangan dan rintihan nikmat darinya, membawaku sekali lagi ke klimaks yang memuncak sampai aku memuntahkan maniku di dalam vaginanya dan dia menyambut dengan punggung yang melengkung dan paha yang gemetar saat orgasmenya tiba, lalu kepalanya terkulai di ranjang.

Aku mundur perlahan, dinding kemaluannya masih berkedut memerah penisku, dan aku menikmati pemandangan pantatnya yang bulat dan indah, saat batangku yang layu keluar meninggalkannya. Lalu saat dia sudah bisa bangkit dari tempat tidur, kami mandi lagi dan harus menahan diri agar ga sampai mengulang hal yang sama.

Setelah minum kopi, aku menelepon Alfon, memberitahunya perkiraan waktu keretaku sampai, dan dia bilang dia ada urusan jadi Vivi yang akan menjemputku di stasiun dan mengantarkan ke apartment baruku. Tris mengantarkan aku yang membawa dua koper ke stasiun. Kami berpelukan dan berciuman di peron, lalu kami berciuman lagi sebelum aku masuk ke ruang tunggu. Aku menoleh kebelakang dan melihat sosoknya yang terlihat sedih melambai kearahku. Aku membalasnya sebentar dan berusaha untuk ga menoleh lagi agar aku ga berubah pikiran.

Aku duduk di kursi gerbong eksekutif dan membaca novel komedi yang sengaja kubeli di stasiun tadi, tapi tetap saja itu ga bisa menghilangkan rasa kesepian yang melandaku. Saat tiba waktunya nanti, apa bisa aku melepaskan wanita ini pergi menjauh? Kami benar-benar saling mengisi dalam segala hal. Kekhawatiran yang sekarang kurasakan karena kami ga bisa ketemu selama beberapa hari memperkuat perasaan sepi ini.

------​

Kereta tiba tepat waktu dan matahari bersinar cerah saat aku sampai di Jakarta dan sesuai rencana akan dijemput oleh Vivi. Aku berjalan santai keluar dari peron memakai satu tongkat diikuti oleh portir yang mendorong dua koper besarku. Saat aku keluar Vivi sudah berdiri disana menunggu dengan senyum lebar, hampir seperti melompat-lompat karena senang.

Dia memelukku dan aku memeluknya. Dia menyelipkan satu tangannya di tanganku yang tidak memegang tongkat dan kami berjalan bersama ke tempat parkir. Aku ga ingat apa kami sedekat ini sebelum aku hilang ingatan, tapi kupikir segala bentuk persahabatan ga akan merugikanku.

"Aku anterin kamu ke apartment dulu supaya kamu bisa taruh barang-barang dan lihat apa kamu suka tempatnya. Aku sih yakin kamu akan suka disana. Setelah itu aku harap kamu nanti bisa ikut untuk makan malam."

Aku dengan senang hati setuju. Duduk berjam-jam di kereta membuatku lelah, dan aku rasa aku ga akan sempat belanja untuk masak malam ini. Memasak adalah salah satu skill yang ga pernah kulupakan walaupun setelah peristiwa itu, jadi sebisa mungkin aku terus melakukannya, berharap itu akan memicu suatu kenangan atau ingatan di masa lalu.

Kami sampai dan dia benar, apartment yang disewa Alfon untukku sangat nyaman dan dilengkapi dengan perabotan yang bagus. Aku yakin perabotan ini pasti jadi pertimbangan mereka saat memilih apartment ini, mengingat mereka juga punya perabotan sekelas ini di rumah mereka. Letaknya cukup mudah dijangkau berada di tengah wilayah Serpong dengan dua kamar tidur yang punya jendela besar memberikan pemandangan yang bebas.

Kamar tidur kedua sepertinya diubah jadi ruang kantor oleh pemilik atau penyewa sebelumnya. Disana ada meja untuk komputer dan kabel sambungan telepon. Tapi untuk mengubah kamar itu jadi ruang kerja mereka harus memindahkan tempat tidur queen size ke kamar tidur utama, dimana disana juga sudah ada satu tempat tidur yang bahkan lebih besar dan akibatnya ruangan itu jadi agak sempit, tapi sejauh ini aku ga masalah dengan itu.

Dapur berukuran kecil tapi dilengkapi dengan peralatan yang lengkap, langsung menyambung ke ruang tamu. Kamar mandi luas dan memakai shower. Jendela ruang tamu menghadap ke taman yang hijau dan terawat di bawah dan di kejauhan ada pemandangan jalan utama yang lalu lintasnya padat, tapi untungnya jaraknya cukup jauh sehingga kebisingannya ga sampai terdengar kesini.

Vivi membuat teh di dapur, dan saat aku memperhatikan sekeliling, aku tahu mereka pasti sudah belanja buat aku, karena di kulkas juga ada susu, buah dan kopi di lemari, bahkan beberapa peralatan tampak masih baru. Tempat tidurnya juga sudah disiapkan dan dipasang seprei.

"Aku sudah pasang seprei sebelumnya, tapi aku lupa selimutnya masih ketinggalan di mobil,” katanya, "Biar kuambil dulu supaya nanti kamu bisa langsung tidur dengan lebih nyaman."

"Terima kasih, Vi, buat kamu dan Alfon, kalian baik banget. Gimana aku bisa membalas budi kalian?" Aku berkata.

"Seperti yang selalu dibilang Alfon," katanya, "Kamu sudah membayar kami. Kamu sudah membayar Alfon dengan sangat murah hati baik untuk pekerjaan yang dia lakukan, dan kamu sudah membantunya saat dia punya masalah beberapa tahun lalu. Kamu selalu menjadi teman baik bagi keluarga kami."

Aku ga ingat apa yang sudah kulakukan buat mereka dulu, tapi aku ga berencana mencari tahu sekarang. Vivi bilang mau keluar sebentar ke mobilnya mengambil selimut yang ketinggalan, jadi aku kembali ke kamar untuk membuka koper, mengambil handuk lalu mandi. Aku keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk di pinggangku saat Vivi berjalan keluar dari kamar tidur.

"Errik... Oh kamu sudah mandi. Aku mau... Ya Tuhan!..." Dia memucat dan berdiri diam, menatap tubuh dan kedua kakiku.

Aku berharap dia kagum dengan badanku yang atletis dan seksi, tapi ekspresinya bukan kagum melainkan ngeri. Dia bisa melihat bekas lukaku. Mereka memang kelihatan mengerikan, meskipun semakin lama semakin samar dan mulai menghilang.

"Mereka sudah ga terasa sakit lagi, Vi. Tris sudah biasa lihat ini, tapi aku lupa kamu mungkin akan kaget. Sorry."

"Aku yang minta maaf, Errik. Gimana mungkin ada orang yang begitu kejam bikin kamu sampai seperti itu?"

"Sepertinya ga buat mereka," jawabku sambil tersenyum. "Aku ke kamar dulu pakai baju. Ga pantas, nunjukin bekas lukaku ke wanita yang sudah nikah."

Dia tertawa dan berbalik ke ruang tamu. Aku bergabung dengannya tak lama kemudian setelah berganti pakaian. Kami menghabiskan waktu menata apartment sebelum berangkat ke rumahnya sekitar jam 5 sore.

Makan malam berjalan normal seperti biasa, tapi setelah itu aku harus menghadapi konsekuensinya. Vivi mulai ke mode perjodohan dan ini menyebabkan perdebatan seperti yang kami alami sebelumnya.

Dia memulai dengan pertanyaan polos. "Jadi, Errik, apa rencanamu berikutnya? Langsung kerja?"

"Ga, belum minggu ini. Aku harus membereskan apartment dulu, belanja beberapa bahan masakan sebagai permulaan dan aku yakin Alfon punya banyak urusan yang harus kuselesaikan juga. Hari Sabtu Tris datang untuk mengirim sisa barang-barangku, dia juga akan menginap beberapa hari."

Sekali lagi ada ekspresi kecewa di wajah Vivi.

"Vi, aku sama Tris sekarang," kataku dengan sabar. "Kamu harus biasain itu. Ga ada gunanya kamu kelihatan sedih tiap kali aku menyebut namanya."

Dia sadar dan minta maaf.

"Vivi ga bisa menahannya, Errik," kata Alfon. "Dia punya kenangan yang saat ini belum kamu punya, tapi sementara kita bahas itu, apa kamu punya pertanyaan lagi tentang Ana?"

"Satu-satunya hal yang ingin aku tahu adalah kenapa Ana ga berusaha lebih keras untuk mencariku. Dia punya cukup uang untuk membayar seseorang. Mungkin dia sudah memutuskan untuk melupakanku demi Hadi."

"Ga mungkin, Errik," Vivi menjawab, "Dia sangat mencintaimu."

"Justru itulah yang bikin aku penasaran, kalau dia secinta itu sama aku, kenapa dia ga berusaha mencariku lebih keras."

"Apa kamu kecewa karena saat kamu berjuang memulihkan diri ga ada orang yang mencarimu atau mengunjungimu?" Vivi bertanya.

"Ga juga. Aku ga ingat apa-apa waktu itu, jadi aku ga akan berharap ada seseorang yang mencariku. Aku punya hidup yang aneh, Alfon. Banyak al datang dan pergi. Itu lebih seperti sebuah pertanyaan yang muncul setelah aku ingat punya keluarga dan sampai sekarang belum bisa kujawab."

"Nah," kata Alfon, "Seperti yang kamu tahu, kita punya teman yang mungkin bisa membantu soal itu. Jimmy."

"Jimmy?"

"Jimmy Harsono."

"Ga, aku ga kenal dia. Aku punya hidup yang aneh, Alfon. Banyak hal datang dan pergi."

"Ya aku tahu, Kamu sudah bilang itu tadi."

"Oh ya?"

Tawa cekikikan keluar dari bibir Vivi, diikuti dengan ekspresi malu di wajahnya. Aku ikut tertawa karena ekspresinya.

“Dia orang yang punya cara sendiri untuk mencari informasi, dia pernah jadi anggota polisi bersama Hasan. Sekarang bisa dibilang dia punya banyak pekerjaan, juga termasuk Detektif Swasta” Kata Alfon setelah tawa kami mereda.

Aku menulis nama Jimmy dan pekerjaannya di buku catatanku.

"Jumat malam, kita pergi ke cafe dan bertemu Hasan."

Aku mengangkat alis.

"Letda Hasan Nurcahyo anggota Satreskrim Polsek Tangerang?" Dia menjelaskan.

"Yang kita ketemu di kantor polisi itu ya?" Aku mencoba sok menebak.

"Tepat sekali. Oh, iya aku lupa bilang. Aku memintanya untuk tetap berhubungan dengan kepolisian Semarang tentang kasusmu."

Aku mengangguk, aku senang punya teman-teman yang bisa diandalkan, pikirku.

"Errik?" Vivi tampak ragu-ragu.

"Iya?" Aku tersenyum untuk membuatnya tenang.

"Apa ada peluang kamu balikan sama Ana lagi? Walaupun kecil?" Pertanyaannya tentatif, dia tahu di mana Ana sekarang tinggal, dan dengan siapa.

"Vivi!" kata Alfon dengan agak tajam. "Aku sudah bilang--"

"Gapapa, Alfon," aku memotongnya. "Itu pertanyaan yang akan terus ditanyakan orang, lagi dan lagi. Aku sudah memikirkannya, Vi."

Aku tersenyum. "Tapi biar aku tunjukkan masalahnya. Kamu adalah orang yang benar-benar baru bagiku saat kita ketemu. Aku sekarang mengenalmu, tapi hanya sejak aku makan malam hari itu. Kamu ingat semua memori sejarah kita, tapi bagiku sejarah itu ga ada.”

"Mereka bilang ingatanku akan kembali dan itu sudah mulai kembali sedikit-demi sedikit. Kadang-kadang aku tahu sesuatu tapi ga sadar aku tahu. Aku punya kilasan dari masa kecilku, misalnya tentang ibuku. Tapi sejauh yang aku tahu, aku ga bisa 'balikan sama Ana' karena dari awal aku ga ingat pernah sama Ana. Bisa paham yang aku maksud?"

Vivi menghela napas. Dia paham, dan aku juga paham harapannya akan sesuatu yang saat ini ga ada dalam bayanganku. Aku melanjutkan lagi.

"Jadi aku ga kenal Ana. Apa menurutmu cinta itu ga tumbuh karena dipengaruhi oleh memori? Memori kehidupan yang dijalani sama orang itu, memori secara sadar atau ga sadar? Sejauh tentang Ana, aku ga punya memori sama sekali. Ga ada ingatan tentang sejarah hubungan kami, Vi, aku bahkan ga tahu apa aku akan bisa mengenalinya kalau kami ketemu. Jadi, kamu bisa menebak sendiri peluang kami untuk balikan."

"Tapi aku yakin dia akan tetap mencintaimu begitu dia tahu cerita sebenarnya."

"Tapi aku ga mencintainya!" Aku jadi jengkel lagi. "Aku ga bisa. Mungkin saat ingatanku kembali aku akan mencintainya lagi, tapi itu pun belum pasti kapan akan terjadi. Karena itulah aku ga berharap untuk bertemu dengannya. Dia sudah bersama orang lain. Dia sudah move on. Dan ada komplikasi lain."

"Apa?" Vivi tampak putus asa.

"Kamu tahu apa, atau lebih tepatnya siapa. Dia bernama Tris. Sekarang aku benar-benar mencintainya, meskipun kami ga akan bisa bersama selamanya. Aku punya memori sejarah dengannya."

"Tapi kamu sudah menikah."

"Aku memang pernah menikah. Itu dulu. Kamu mungkin lupa Ana sudah menceraikanku."

"Belum. Keputusannya belum mutlak. Pokoknya dia cuma menceraikanmu karena--"

"Ya, aku tahu. Aku menghilang." Kesabaranku menipis. "Nah, sekarang dia sudah punya orang lain dan aku punya orang lain juga sama seperti dia. Saat kami mulai bersama, Tris dan aku ga tahu apa-apa tentang hidupku di sini. Segalanya mungkin akan beda kalau aku punya ingatan. Dan ada hal lain, Vi. Wanita mana, termasuk Ana, yang mau hidup bersama monster mengerikan sepertiku? Aku tahu efek apa yang wajahku buat ke orang lain."

Aku menoleh ke Alfon, sambil tersenyum.

"Alfon, aku ga sengaja telanjang didepan Vivi tadi sore setelah mandi. Aku masih pakai handuk. Tapi dia bisa melihat bekas luka di badan dan kakiku. Ekspresinya ngeri dan jijik sama seperti yang kulihat di setiap wajah orang lain setiap hari. Nah Vivi, bisa kamu bayangin, Ana, atau wanita mana pun selain Tris, yang bakal menerima kondisiku yang seperti ini?"

"Jangan konyol, Errik," jawab Vivi dengan cepat dan tegas. "Gadis remaja mungkin melihat penampilan fisik laki-laki, tapi wanita dewasa melihat lihat lebih jauh dari itu, walaupun aku tahu ga semuanya bisa tumbuh dewasa.”

“Itu juga yang selalu dibilang oleh Tris, aku bahkan ga percaya itu.”

“Tris mencintaimu karena kualitas yang sudah kamu tunjukkan, perjuanganmu untuk sembuh, cara kalian saling peduli, cintamu padanya. Errik, kebanyakan wanita akan mendukung pria yang mereka cintai apa pun yang terjadi. Tapi kamu benar, cinta seperti itu dipicu oleh kenangan yang telah mereka lalui bersama, dan itulah yang akan membuat Ana menerimamu saat dia tahu kisahmu, percayalah."

"Oke," jawabku pasrah, "Tapi faktanya sama bahwa sampai aku mendapatkan ingatanku lagi, aku akan tetap menganggapnya orang asing."

"Aku masih yakin suatu saat nanti kamu bertemu dengannya kamu akan jatuh cinta padanya seperti dulu lagi. Kamu tahu ada kemungkinan itu kan, kalaupun kalian harus mulai dari awal lagi, kamu mau mencobanya lagi kan?"

Mau ga mau aku mengagumi komitmen Vivi pada Ana dan aku harus mengakui aku jadi memikirkan tentang apa yang sebenarnya mungkin terjadi saat aku bertemu dengan Ana lagi, terutama setelah percakapanku dengan Tris minggu lalu.

"Oke Vi, kalau itu bisa bikin kamu senang, aku terbuka pada semua kemungkinan yang terjadi saat aku melihatnya. Mungkin aku bisa bertemu dengannya tanpa dia mengenalku, tapi jangan minggu ini."

Itu mengakhiri percakapan kami.

Alfon sekarang menjelaskan tentang perceraian dan tuntutan Ana. Karena aku ga hadir, Ana harus ke pengadilan untuk menentukan bagaimana dampak perceraian ini pada pembagian harta keluarga dan berapa banyak tunjangan yang akan didapatkan Ana dan anak-anak. Alfon harus menunjukkan ‘Daftar Aset’ yang menunjukkan semua harta yang kupunya, termasuk bagian sahamku di perusahaan, begitu juga dari pihak Ana. Lalu kedua pengacara harus bertukar data. Itu semua harus dilakukan dalam jangka waktu 28 hari.

Kemudian dia menjelaskan acaraku sepanjang minggu ini. Kami akan ketemu lagi hari Jumat untuk menyelesaikan masalah hukum, makan malam dengan Vivi, dan lalu pergi ke cafe untuk ketemu dengan Hasan. Dia sudah membuat janji untuk kursus mengemudi di hari Sabtu untuk memastikan aku masih bisa mengendara mobil dengan aman. Kalau aku bisa mengemudi dia akan mencarikan mobil untukku, kecuali kalau Jeffry akan meminjamkan mobil kantor untukku.



Kamis pagi aku bangun telat dan panik sebentar saat lupa aku ada dimana. Ini adalah tempat baru yang baru kutinggali dari kemarin, bahkan orang sehat juga akan mengalami hal semacam itu saat baru pindah. Aku mandi, bikin sarapan sederhana lalu berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandangi lalu lintas di kejauhan. Gerimis lembut turun pagi ini, para pengendara motor berhenti di pingir jalan memasang jas hujan, dan yang lain terus melaju tanpa peduli tetes air membasahi pakaian mereka. Pejalan kaki bergegas mondar-mandir memakai payung mereka seperti semut yang berbaris.

Aku berkeliling apartment membuat daftar panjang hal-hal yang harus dibeli dan menghabiskan waktu pagi ini dengan berbelanja. Sore hari cerah dan aku mulai mengatur ulang apartmentku sendiri, menata letak furnitur sesuai dengan keinginanku dan membersihkan dapur, kamar mandi, toilet dan kamar.

Aku yakin Alfon dan Vivi sudah membayar orang untuk membersihkan tempat ini, tapi ini terkait dengan ikatan emosional, entah bagaimana membersihkan tempat tinggal sendiri dimana kita makan, tidur, melakukan segala hal pribadi sepertinya menegaskan kepemilikan seseorang atas suatu tempat.

Aku lelah saat aku selesai dan baru saja ketiduran di sofa berlengan saat telepon berdering. Aku mengangkatnya, ternyata dari Jeffry.

"Hai, Errik, Boleh ga aku kasih tahu Susan tentang kamu?" dia bertanya, "Kami ga pernah nyimpan rahasia satu sama lain dan dia juga bisa jaga rahasia kok."

"Siapa Susan? Pacarmu?"

"Oh sial!" dia bersumpah. "Aku selalu lupa."

"Ga Jeff, aku yang selalu lupa!" Aku tertawa.

Dia tertawa lebih kencang.

"Errik, Susan itu nama istriku."

"Oh oke, silakan. Seharusnya memang ga ada rahasia antara suami istri." Ada sedikit kepahitan saat aku mengatakan itu. Entah kenapa aku merasa marah pada Ana, padahal aku sendiri yang selalu membantah aku ingat tentang dia.

"Terima kasih. Apa Sabtu pagi kita bisa ketemu? Aku punya sesuatu yang mungkin berguna untukmu."

Aku bilang bisa dan dia menutup telepon. Bagaimanapun dia adalah orang yang sibuk, menghasilkan uang untukku. Aku pindah ke kamar dan tidur lagi selama satu jam dan merasa kelaparan saat bangun. Aku membuat Spaghetti dan segera merasa lebih baik setelah memakannya.

Setelah mandi aku duduk santai di ruang tamu, dan aku sadar bahwa ini adalah pertama kalinya aku benar-benar sendirian di sebuah rumah atau apartment sejak aku meninggalkan rumah sakit dan rehabilitasi. Aku sering sendirian saat Tris kerja atau sedang ke asramanya, tapi aku tahu dia akan datang sepulang kerja untuk bertemu denganku, beda dengan saat ini. Aku sama sekali ga suka perasaan ini, dan aku semakin rindu pada Tris. Aku membayangkan dia sekarang sedang apa disana, dan entah bagaimana pikiranku melayang kepada apa yang sedang dilakukan mantan istriku dan anak-anakku. Benar-benar ga berguna memikirkan mereka disaat aku ga ingat apapun tentang mereka, dan aku lalu memikirkan tentang teman-teman lama yang baru kukenali lagi, mereka luar biasa baik padaku dan jelas sangat memikirkan kepentinganku.

Aku sering membayangkan seperti apa sosokku sebelum kejadian itu. Ada yang bilang bahwa karakter orang sering kali berubah secara dramatis setelah kerusakan otak dan hilang ingatan, dan aku hanya bisa menebak-nebak apa aku orang yang buruk bagi orang lain disekitarku, mungkin itu alasan kenapa sepertinya mantan istriku begitu ingin memutuskan hubungan kami begitu saja. Di sisi lain, sepertinya aku ga seburuk itu karena kalau aku orang yang kejam, ga mungkin teman-temanku mau membantuku saat ini.

Aku menonton TV sebentar sebelum tidur. Hari ini cukup melelahkan karena perjalanan kereta api dari Semarang, tapi Jumat besok akan jadi hari yang lebih sibuk dan ga kalah melelahkan.



Jumat pagi cuaca cerah dan segar di pertengahan Februari. Aku berdiri di dekat jendela dan mengamati lalu lintas di jalan utama yang berhenti, jalan, dan merambat dalam drama 'jam sibuk' pagi hari.

Tiba-tiba kenangan baru sepertinya datang tiba-tiba padaku. Ada kilasan di benakku tentang seorang anak laki-laki berusia lima atau enam tahun sedang berdiri menunggu bus di jalan itu. Lalu muncul gambar sekolah. Ya, pada usia itu aku harus naik bus ke sekolah. Aku tersenyum mengingatnya.

Aku menyantap makan siang yang kubawa dari rumah saat jam istirahat di sekolah. Kenapa ingatan itu muncul aku ga tahu, tapi semakin banyak kenangan yang muncul apapun itu, hanya akan membuat senyumku semakin lebar.

"Kamu kelihatan senang?" kata Alfon saat dia datang pagi itu.

"Ingatanku muncul, Alfon,” kataku yang diikuti dengan sorot matanya yang melebar karena harapan, “Kenangan masa kecilku yang muncul," tambahku yang disambut redupnya sinar dimatanya.

"Tapi setiap kenangan yang muncul akan berarti buatku," tambahku lagi saat aku melihat kekecewaannya. "Aku percaya mereka akan kembali satu demi satu."

Kami pergi ke kantornya. Menaiki tangga itu terasa lebih mudah kali ini.

Hal pertama yang dia lakukan adalah memberikan KTP dan SIM-ku yang baru. Lalu diikuti rangkaian panjang pengisian formulir dan pembuatan surat perjanjian. Mengingat sidang kasus berikutnya adalah tentang penyelesaian keuangan keluarga dan melibatkan Surat Kuasa, dia memintaku aku untuk membuat surat tertulis kepadanya yang menjelaskan bahwa aku sekarang bisa mengurus urusanku sendiri, tetapi ingin dia tetap menjadi perwakilanku untuk saat ini.

Aku juga bilang aku bisa datang ke sidang kalau diperlukan, tapi aku menunjuk Alfon untuk jadi pengacaraku dan mewakiliku. Alfon akan menyerahkan bukti bahwa aku adalah aku yang sebenarnya, dan bahwa tanda tangan baruku adalah asli. Dia mendiktekan isi surat itu pada sekretarisnya dan aku menandatanganinya setelah selesai diketik.

Setelah itu kami pergi ke bank di mana aku dikenalkan dengan manajer dan mengisi beberapa formulir lagi. Akhirnya kami kembali ke kantor Alfon, dan aku mengubah surat wasiatku untuk mencoret Ana dan memasukkan nama anak-anakku. Alfon juga memeriksa dokumen legalitas perusahaan kami, dan akhirnya memberiku rangkuman tertulis dari semuanya.

Lalu ada dokumen tentang rumah keluargaku, dan otorisasi transfer dana yang akan meresmikan rumah itu jadi milikku sepenuhnyai. Aku memastikan syarat bahwa semua yang ada di rumah, isi serta perlengkapan dan perlengkapan akan ditinggalkan sudah tertulis. Ternyata Alfon memaki jasa surveyor untuk membuat daftar inventaris semua barang yang ada di rumah. Daftar yang kelihatan seperti novel, dan rupanya Ana sudah menandatanganinya tanpa memeriksa rinci isinya. Daftar itu berisi ratusan halaman yang seakan ga ada habisnya dan seperti Ana, aku ga tertarik untuk membacanya dengan detail.

"Kamu akan menemukan beberapa hal yang sangat menarik di rumah ini, tapi aku biarkan kamu yang menemukan sendiri nanti," cuma itu yang dibilang Alfon tentang isinya, tapi senyum itu membuatku yakin bahwa kejutannya akan menyenangkan buatku.



Bersambung... Chapter VI
 
Terakhir diubah:
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Gentile ..
Kirain udah mo ketemu Ana,
Iya yak sekarang Errik cinta Tris, tp apabila nanti ingatannya udah kembali, Apakah Errik akan CLBK sama Ana?
Klo pun iya apa Ana mau menerima cinta Errik yg jd buruk rupa dan sementara dia sudah sama Hadi?
Baiknya Errik harus ketemu dulu dgn Ana sebelum Ana menikah, jd tidak ada penyesalan dari Ana, klo perlu sebelum ketok palu cerai, eh udah cerai lom seh? Hehe
Sapa tahu Ana mau kembali,
3S dech sama Tris, wkwkwk
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd