Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

II. Dua ‘R’, Dua ‘C’, Tanpa ‘H”


Setelah tahun baru, sepertinya ga ada banyak kemajuan pada pemulihan ingatanku, menyebabkan munculnya depresi di pertengahan Bulan Januari. Cuaca juga ga mendukung, hujan, angin kencang datang hampir setiap hari, menghalangi orang keluar dari rumah, apalagi yang cacat sepertiku. Aku terpaksa absen di beberapa sesi terapi rumah sakit karena terlalu berbahaya buatku keluar sendiri dalam kondisi ini.

Menjelang akhir Januari, dua tahun lima bulan setelah tragedi, ingatanku tiba-tiba mulai kembali, terutama tentang masa kecilku. Aku terus mendapatkan bayangan dari mimpi atau sekilas memori tentang kota Tangerang.

Puncaknya Selasa 28 Januari 2014, aku bangun tidur dan satu potongan besar puzzle kutemukan. Aku tahu siapa namaku. Errik Riccardson, dan aku tahu aku berasal dari sebuah daerah bernama Serpong di pinggiran kota Tangerang.

Aku ingat aku punya istri, meskipun aku ga ingat seperti apa penampilannya atau bahkan namanya. Aku juga yakin aku punya anak, dan sama, aku juga ga ingat berapa banyak atau nama mereka.

Aku hampir memberitahu Tris pagi itu, tapi ada sesuatu yang menghentikanku. Aku merasa harus mikir dulu. Kami sarapan bersama dalam diam, Tris sempat bertanya ada apa tapi aku bilang ga ada masalah. Tris lalu berangkat kerja dan aku duduk sendiri untuk merenung.

Aku sudah ada di sini selama lebih dari dua tahun tapi belum ada orang yang mengaku sebagai istriku atau keluargaku. Mungkin rumah tanggaku ga bahagia. Mungkin dia sudah menceraikan aku. Kalau betul seperti itu yang terjadi, ga mungkin dia mau menerimaku dalam kondisiku seperti sekarang ini. Aku ga berharap dia menemukan aku lalu menolakku setelah melihat kondisiku sekarang, itu hanya akan menaburkan garam di luka-lukaku. Aku perlu cari tahu lebih banyak sebelum menemui keluargaku lagi. Tapi gimana caranya? Setelah berpikir seharian dan ga menemukan jalan keluar, sekarang aku yakin harus memberi tahu Tris secepatnya karena hanya dia yang bisa membantuku.

Sore itu setelah makan malam yang sudah kupersiapkan, aku ajak dia duduk di sofa dan mempersiapkan diri. Dia tampak penasaran.

"Ada sesuatu yang terjadi? Kamu kelihatan aneh sejak bangun pagi tadi." tanyanya dengan senyum gugup.

Aku menarik nafas panjang dan bilang, "Sebelum aku mulai, mau ga kamu janji untuk ga bilang ke siapapun tentang apa yang mau kuceritakan." Aku bertanya dengan nada serius.

Awalnya dia kaget, lalu senyum mengembang di wajahnya.

"Kamu sudah ingat!" katanya penuh kemenangan.

"Kamu mau janji?"

"Itu luar biasa, ya kan?" senyumnya lebih lebar.

"Tris, untuk terakhir kali, atau aku ga akan ngasih tahu. Janji?"

Dia tampak menyesal.

"Oke – oke sorry. Ya, Adjie, Hinny, aku janji," katanya, dan menunggu.

"Namaku bukan Adjie," kataku dengan wajah tanpa ekspresi.

Dia benar-benar menjerit, sesuatu yang belum pernah kudengar dia lakukan sebelumnya, setidaknya menurut ingatanku. "Kamu beneran ingat! Terus?"

Aku mengulurkan selembar kertas kecil yang kurobek dari buku catatanku dengan dua kata tertulis diatasnya, tulisan namaku ‘Errik Riccardson’.

Dia menerimanya, membacanya lalu melonjak mengulurkan tangannya dan memelukku erat-erat, tapi disaat yang sama berhati-hati ga sampai menyakitiku.

"Dua ‘R’ dua ‘C’ tanpa ‘H’! Salah satu ingatan pertamamu, jadi itu artinya adalah penulisan namamu yang memang sedikit unik. Aku senang banget," bisiknya, "Tapi kenapa harus dirahasiakan? Emangnya kenapa?" Sambil melepaskan pelukannya untuk memandang wajahku.

"Aku juga ingat hal lain. Sepertinya aku punya istri dan anak."

Tris tersenyum mendengarnya, tapi ga lama senyumnya hilang dan dia kelihatan bingung.

"Terus kenapa? Sekarang kamu bisa mencarinya kan. Kita bisa cari tahu di mana kamu tinggal sebelum kecelakaan itu. Kamu bisa pulang."

"Aku ga ingat soal itu tapi aku yakin Itu bukan kecelakaan, Tris."

"Oh, iya sorry," dia mengoreksi dirinya sendiri. "Penganiayaan itu. Terus apa yang menahanmu mencari keluargamu?"

"Pernah ga kamu terpikir bahwa sampai selama ini ga ada satupun yang pernah datang nyariin aku? Sudah lebih dari dua tahun, Tris, dua tahun itu lama. Kalau kamu nikah terus suamimu tiba-tiba hilang, apa yang akan kamu lakuin?"

"Hubungi polisi dan rumah sakit... Oh, sial!"

“Betul. Jadi pasti ada alasan kenapa dia ga ngelakuin itu. Mungkin pernikahan kami bermasalah. Mungkin keluargaku ga harmonis atau bahkan kami sudah cerai. Mungkin ada alasan lain tapi yang jelas dia ga pernah mencariku."

"Mungkin kamu benar. Mungkin rumah tanggamu kacau." Katanya setelah berpikir sebentar.

"Dan ada alasan lain kenapa aku ga mau buru-buru datang padanya bahkan kalau aku tahu siapa dia."

"Apa itu?"

"Lihat aku, Tris. Ini wajahku yang kamu lihat sejak pertama kita ketemu. Tapi istriku? Aku ga akan bisa tahan andaikata aku buru-buru kembali ke pelukannya yang penuh kasih seumpama memang begitu, lalu cuma untuk melihatnya menjauh, pergi, lari dariku yang sekarang mirip seperti monster. Kalaupun dia menerimaku lagi, aku ga akan pernah tahu apa itu karena cinta atau kasihan."

"Kebanyakan wanita--"

"Aku tahu, kamu melihat bukan dari penampilan fisik, tapi dia mungkin ga seperti itu. Aku ingin memastikannya lebih dulu dengan caraku sendiri." Potongku sebelum dia mengulang kalimat yang sudah kudengar berkali-kali.

Keesokan paginya, aku merasa aku mungkin mengerti tentang komputer, tentang IT. Apa aku bekerja di perusahaan teknologi? Aku lalu memberi tahu Tris.

"Memang butuh waktu lama, tapi kayaknya ingatanmu mulai pulih," katanya sambil tersenyum.

Dia sangat senang dan mencium bibirku dengan penuh semangat sebelum berangkat kerja.

Saat dia pulang, wajahnya menunjukkan ekspresi kemenangan.

"Aku minta bantuan temanku mencari dari database asuransi dan data pasien dari komputer di rumah sakit, aku tahu itu ilegal, tapi untungnya namamu cukup unik dan kami nemu satu yang cocok. Aku tahu alamat tempat tinggalmu, dan kami bahkan tahu nama istrimu."

Itu menarik minatku.

"Terusin," kataku.

"Namanya Ana Gracia."

Aku ga ingat apapun tentang nama itu, tapi aku ga membantah atau mempertanyakannya.

"Anak-anakku?" Aku bertanya.

"Ada seorang gadis namanya Agnes. Yang lainnya mungkin ga ada, atau belum keupdate di database."

Aku tersenyum pada wajahnya yang bahagia dan penuh kemenangan dan menariknya ke arahku untuk dicium.

"Terima kasih sayangku."

Aku sekarang yakin aku akan menemukan lebih banyak jawaban di Serpong.

"Aku harus pergi kesana," kataku.

"Kamu benar," katanya. "Kamu harus ambil risiko. Pergi dan lihat kesana. Kalau kamu mau, aku bisa anterin kesana naik mobil temenku. Perjalanannya jauh bisa naik kereta api tapi kamu belum tahu seratus persen mau kemana kan, jadi naik mobil sendiri akan lebih masuk akal. Aku punya tiga hari jatah libur yang belum kuambil dan ini bukan masa liburan jadi aku yakin ga ada perawat lain yang mengajukan libur. Aku bisa pakai jatah libur itu minggu depan."

Aku berterima kasih untuk tawaran itu. Aku ga akan berani pergi sejauh itu sendirian, apalagi aku ga tahu banyak tentang situasi disana saat ini. Tris booking hotel di daerah Serpong untuk tiga malam, dia bilang alamat rumahku masih satu wilayah dengan hotel itu. Memang waktu yang tersedia untuk pencarian kami terlalu singkat, karena dia harus kerja dan aku harus terapi.

Jadi pada hari Senin minggu berikutnya kami sampai di kampung halamanku yang lama. Aku mengenali beberapa jenis landmark yang kami lewati sepanjang jalan dari saat kami keluar dari jalan tol. Toko roti langganan, dan klinik kecil tempat aku pernah operasi gigi, tapi sebagian lain gedung-gedung bertingkat baru yang belum pernah kulihat selama aku menghilang dari tempat ini hampir tiga tahun.

Hujan baru berhenti saat kami sampai di hotel kecil tempat kami akan menginap, butiran air yang menempel di jendela gedung tampak berkilauan bermandikan sinar matahari sore. Kami check in dan pergi ke kamar kami. Aku menaruh tas dan mulai membongkar isinya. Saat aku berbalik, Tris sudah telanjang dan sedang berbaring di tempat tidur.

"Ayo," cuma itu yang dia bilang. Aku menelanjangi diriku sendiri dan berbaring di sampingnya.

Di luar mungkin sejuk sehabis hujan, tapi ruangan ini terasa hangat dan nyaman dan kami jelas ga butuh selimut. Tris berbaring miring menghadapku dan aku menghadapnya. Dia menelusuri garis dari atas bahuku dan turun ke lenganku, berhenti di setiap bekas luka saat dia mencium bibirku. Lalu turun ke samping tubuhku dan melewati pinggulku sampai dia ga bisa menjangkau lebih kebawah. Dia menyentuh ringan penisku, lalu tersenyum dan menunggu.

Aku melakukan hal yang sama pada tubuhnya, berhenti di tempat yang sama dengannya, dan menciumnya. Saat aku sampai di ujung jangkauanku, aku menelusuri bagian dalam pahanya dan membelai bulu kemaluannya yang dicukur rapi dengan ringan. Selama itu pula mata kami saling bertatapan dan menikmati semua cinta yang kami temukan di sana.

Dia membawa jari-jarinya ke wajahku dan menelusuri pola di pipiku yang cekung dan hidung yang cacat, membuat garis panjang di bibir dan daguku. Itu adalah tanda penerimaannya pada kondisiku yang rusak dan cinta padaku apa adanya.

Aku mengikutinya membuat garis di wajahnya, tapi saat aku mencapai bibirnya dia ga bisa menahan diri dan membuka mulutnya untuk menghisap jariku, menjilatnya dengan lidahnya, sementara aku membelai bagian dalam bibirnya.

“Umm...”

Dia mengerang ringan lalu tangannya melingkari penisku, yang sudah bangkit karena situasi erotis, dan dilanjutkan dengan belaian naik turun begitu ringan yang menyebabkan sensasi paling hebat yang pernah kualami, setidaknya yang kuingat. Eranganku menjawab erangannya saat dia sekarang mengisap tiga jariku yang ada di mulutnya.

Aku merasakan pahanya bergerak. Dia berguling telentang, penisku terlepas sebentar dari tanggannya, sebelum dia menarikku ke atasnya dan meraih lagi penisku, mengarahkan persis di depan vaginanya

"Masukin, sayang," bisiknya sambil mengangkat pinggulnya.

Kadang penetrasi begitu buru-buru dan penuh nafsu sehingga orang melewatkan perasaan saat pertama masuk. Tapi kali ini ga. Aku mendorong masuk perlahan, merasakan setiap centi lebih dalam dengan sungguh-sungguh. Aku melakukan itu untukku sendiri, tapi aku tahu dia juga menikmati saat itu.

“Akhh...asss...”

Dia memegang pinggulku dan menjaga kecepatanku sesuai dengan yang dia inginkan. Dia terus-menerus mengeliat mengubah sudut pinggulnya untuk merasakanku di setiap lipatan di liang vaginanya, setiap celah yang tersembunyi.

Lalu aku merasakan penisku mencapai ujung dari terowongannya. Mata kami masih saling bertatapan.

"Sekarang," katanya.

Aku mulai bergerak menarik perlahan keluar sampai hampir terlepas darinya, sebelum mendorong lagi. Dia menghela nafas dan sekali lagi mengeliat memutar pinggulnya untuk memastikan semua dinding vaginanya tergesek batang penisku yang terdorong lembut kedalam. Kami bergerak selama beberapa menit, dan lalu dia mulai menggulingkanku, sehingga sekarang dia berada di atas. Dia duduk tegak dan melanjutkan ritme yang sudah kami buat, memutar pinggulnya berputar-putar untuk menyentuh setiap bagian dengan penisku, sementara satu tangannya menelusuri bekas luka di dadaku sambil meremas payudaranya dengan tangan yang lain.

"Aku ga bisa... aku mau... Ohh!" dan tiba-tiba dia mengejang, orgasme, lalu ambruk ke arahku. Setelah beberapa saat dia berguling ke samping dan aku bangkit, lalu menarik pinggulnya keatas dan menempatkan diriku dibelakangnya.

"Giliranmu," bisiknya.

Aku mulai mengulang apa yang sudah kami lakukan sebelumnya, tapi dia mendorong pantatnya ke arahku dan menggeram, "Lebih kencang dan lebih cepat, sayang."

Aku mempercepat dan mengikuti ritme favoritku. Ga butuh waktu lama sebelum aku merasakan tekanan mengumpul di penisku dan bergumam, "Sampai."

Intensitasnya hampir terasa menyakitkan, setiap otot di tubuhku mengencang karena ketegangan yang kurasakan saat aku mencapai puncak dan cairanku tersembur dengan paksa ke dalam tubuhnya.

Giliranku ambruk kearahnya, kepalaku terkulai di samping kepalanya bertumpu pada lenganku dan kami saling memandang. Kami ga bilang apa-apa, cuma saling tersenyum, dan penisku yang layu terlepas darinya. Aku pindah berbaring di sampingnya, dia memelukku dan kami tertidur.

Langit sudah gelap saat kami bangun. Kami cari makan dan beli beberapa cemilan dan bahan makanan di supermarket dekat hotel, berjalan agak jauh sejenak dalam gelap trotoar. Beberapa bangunan di antaranya tampak familier tapi cuma sejauh itulah ingatanku.

Namun ketika kami berdiri di jembatan di samping hotel, dan melihat ke sungai kecil, sekilas ingatan muncul. Aku ingat aku sering bermain disana bersama teman-temanku saat masih kecil, mancing ikan kecil, mencari kecebong, bahkan berenang disana, tentu waktu itu airnya ga sekotor sekarang, tapi aku kaget ingatan itu terasa begitu jelas sekarang.

Kami berjalan lagi di sekitar hotel sebelum kembali ke kamar. Kami melakukan hubungan seks dengan posisi misionaris yang biasa saja, seolah-olah kami berdua tahu bahwa kami ga mungkin mengulang aktivitas sore tadi dengan intensitas yang sama.

Selasa pagi hujan gerimis turun sejak subuh dan awan hitam merata di langit, membasahi pakaian kami saat kami bergegas menyebrang ke gedung hotel utama dari kamar kami untuk sarapan.

"Menurutku kita mulai dengan lihat ke alamat rumah tempat tinggalku dan lalu keliling daerah Serpong dan lihat apa yang bisa kuingat," aku mengusulkan.

Tris mengangguk. "Mobil?" dia bertanya.

Aku mengangguk. "Hujan gini akan susah kalau naik kendaraan umum, dan aku yakin akan banyak waktu terbuang untuk menunggu."

Dia tahu kakiku ga tahan berdiri atau berjalan terlalu lama, dan lenganku akan sakit karena tongkat atau kruk.

Tris berkendara di sepanjang jalan rindang yang ditumbuhi pepohonan tinggi di kiri kanan jalan, lalu berhenti saat kami tiba di dekat sebuah rumah besar. Ada papan bertuliskan 'Dijual' di luar dan tampak seperti rumah kosong, tampak agak suram di tengah hujan berkabut. Ga seperti rumah lain di sekitar sini, rumah ini kelihatannya sedikit lebih besar dan bangunannya lebih tua.

Rumah itu besar dan beratap tinggi, terdiri dalam dua lantai, dengan halaman luas. Sementara semua rumah lainnya di sepanjang jalan ini menghadap ke jalan, yang satu ini sedikit serong menghadap ke samping dan berdiri cukup jauh menjorok kedalam dari pagar depan yang ga dikunci. Tris keluar dan melihat lebih dekat, lalu membuka pagar sebelum kembali kemobil dan mengendarainya masuk ke halaman. Kami lalu turun dan melihat-lihat rumah itu. Seorang wanita tua keluar dari rumah sebelah. Tris mendatanginya.

"Siang, Bu, apa rumah ini sudah lama kosong?" dia bertanya padanya.

"Lumayan, beberapa bulan, kayaknya," jawab wanita itu. "Nyonya yang punya rumah pindah dan tinggal sama tunangannya. Suaminya meninggalkannya beberapa tahun yang lalu. Menurutku dia senang bisa pindah dari sini, terlalu banyak kenangan."

Kami mengucapkan terima kasih, lalu balik ke mobil.

"Nah, sepertinya memang rumah tanggamu berantakan," kata Tris saat kami membahas informasi dari wanita tadi. "Kalian pasti sudah cerai kalau istrimu tunangan sama orang lain."

Aku merasa dikhianati dan marah, walaupun aku cuma ingat sedikit atau hampir nol tentang istriku - atau mantan istri. Aku sadar perasaan itu konyol.

"Ayo kita keliling sekitar sini," kataku, dan duduk bersandar di kursi penumpang.

Gerimis sudah berhenti, tapi jalanan masih basah saat mobil kami berjalan pelan di jalanan Serpong, sepertinya saat ini kami melewati salah satu jalan utama karena lebih lebar dan bersih. Kami berhenti di depan sebuah ruko yang berderet memanjang, lalu berjalan menuju minimarket yang tadi kami lewati. Tris berjalan didepanku dan aku mengikutinya tertatih-tatih, tapi aku sudah terbiasa dengan keadaan ini sekarang. Masih ada rasa sakit saat aku menggerakkan kakiku untuk berjalan, menumpu beban tubuh di tongkatku, tapi rasa sakit itu terasa sangat minim dibandingkan dengan awal-awal dulu.

Aku berhenti sejenak dan membetulkan posisi tongkatku saat aku membaca papan nama pengacara di depan salah satu ruko. Tris melihat aku berhenti lalu mengikuti arah pandanganku dan ikut membaca, "Alfon Syarif dan Partner."

Aku terdiam.

"Alfon Syarif?" Kataku. "Kedengaran ga asing dan begitu juga deretan ruko ini tapi aku ga tahu kenapa. Aku rasa aku harus ketemu dia."

"Ayo," kata Tris bersemangat, "Siapa tahu dia kenal kamu."

Aku malas ketemu orang baru tanpa tujuan jelas, malas merasakan reaksi orang saat pertama melihatku dan sepertinya ketemu pengacara harus bikin janji dulu, tapi Tris sudah memasuki ruko itu jadi aku terpaksa mengikutinya.

Seorang resepsionis duduk di sebuah ruangan kecil di bawah tangga. Sepintas kulihat dia adalah seorang gadis yang cantik.

“Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya setelah ekspresi kaget wajib saat melihat wajahku dan berdehem untuk menyembunyikan kekagetannya.

Tris yang menjawab.

"Apa bisa ketemu Pak Alfon Syarif?"

Gadis itu melihat buku catatan di mejanya.

"Dia sekarang masih ada klien, tapi kalau kalian mau nunggu, setelah itu Pak Alfon belum ada jadwal lagi."

"Kalau gitu kami tunggu."

"Silahkan kalian naik tangga..." dia menoleh dan menatapku. "Maaf, kami ga punya lift. Pintu pertama di sebelah kiri di atas adalah ruang tunggu. Aku akan infokan bahwa Anda sedang menunggu setelah Pak Alfon selesai dengan kliennya. Atas nama siapa?"

"Patricia," kata Tris, menatapku dengan tatapan setengah melotot saat aku mau menyebutkan namaku. Aku menutup mulutku.

Tris membantuku menaiki tangga dan kami bersyukur saat akhirnya duduk ke kursi yang nyaman di ruang tunggu.

"Aku ga mau dia tahu namamu sebelum ketemu. Lebih baik kita yang kasih tahu langsung dihadapannya supaya kita bisa lihat reaksinya.”

Aku kagum pada kecerdasannya.

Ada majalah lama yang biasa ada di tumpukan di atas meja tapi juga beberapa koran hari ini, dan kami memutuskan untuk membaca sambil menunggu, diterangi oleh satu bola lampu yang dengan berani berusaha melawan keremangan ruangan. Setengah jam kemudian pintu terbuka. Begitu pria itu masuk, aku tahu aku pasti mengenalnya.

"Alfon Syarif," dia menyapa kami dan menjabat tangan kami. "Lebih baik kita ngobrol di ruangan saya, mari silakan ikuti saya." Dia tersenyum dan berjalan di depan kami.

"Apa yang bisa saya bantu, Tuan dan Nyonya Patricia?" dia bertanya begitu kami duduk.

"Kami bukan suami istri. Teman saya ini selamat dari usaha perampokan yang kejam, seperti yang Anda lihat, tapi ingatannya sangat terganggu. Dia baru ingat tinggal di sini sebelum kejadian itu dan sekarang kami kesini untuk mencoba menemukan sesuatu yang bisa diingatnya. Tadi pas ga sengaja lewat sini, nama Anda bikin dia sedikit merasa familiar. Namanya Errik Riccardson. Apa Anda kenal dia? "

Reaksi Alfon Syarif menarik. Dia kelihatan kaget dan tertegun lalu lalu ada keheningan yang lama saat dia mengamati wajahku.

Lalu, "Sebenarnya aku ga perlu bilang lagi, Anda ga kelihatan seperti Errik," katanya dan menunggu.

"Wajahku dipermak ulang oleh para perampok," kataku pelan, "Dan sebagian besar tubuhku juga. Patricia bisa menceritakan seluruh kisahku dari awal kalau perlu. Yang jelas aku baru ingat namaku minggu lalu. Aku tahu aku berasal dari Serpong. Aku tahu aku punya istri dan anak, tapi ingatan itu baru muncul beberapa hari yang lalu. Beberapa kenangan masa kecil juga sudah kembali."

"Saya kenal sesuatu dari nada bicara Anda, tapi suara Anda ga persis seperti dia," kata Alfon.

"Mereka melukai pita suaraku juga, sekarang itu sudah sembuh, tapi rasanya suaraku ga akan bisa sama lagi."

"Saya ga percaya," kata Alfon Syarif tiba-tiba. "Saat Errik menghilang, kami memeriksa rumah sakit. Ga ada. Polisi ga menemukan apa pun, cuma penyelidik swasta yang menemukan apa yang terjadi. Errik pergi dengan wanita lain, meskipun kami belum bisa melacaknya. Penyelidik itu menganggap mereka pergi ke luar negeri. "

"Itu konyol!" seru Tris. "Dia koma selama enam bulan! Lalu butuh beberapa bulan lagi buat dia untuk sampai pada level apa yang disebut kesadaran. Kalau ada yang datang ke Rumah Sakit Umum Semarang untuk mencari orang hilang, mereka akan menemukan dia."

"Semarang?" Alfon tampak bingung. "Errik menghilang dari Surabaya."

"Errik masuk ke rumah sakit tanggal dua puluh empat Agustus dua setengah tahun yang lalu," kata Tris dengan kesabaran yang menipis. "Seseorang melihat tiga orang pria di dalam mobil merah mengeluarkan mayat dari bagasi dan membuangnya di tumpukan sampah lalu pergi. Saksi melihat dia ternyata masih hidup dan menelepon polisi yang segera mengirimkan ambulance. Dia hampir ga selamat karena itu adalah kasus cedera paling parah yang pernah kami tangani di rumah sakit. Ga seorang pun yang kami ingat pernah selamat dari luka-luka seperti itu.”

"Ga ada yang datang mencarinya, dan ga ada yang bahkan sekedar bertanya. Karena dia ingat dia menikah, kami berasumsi bahwa pernikahannya bermasalah dan istrinya ga peduli lagi padanya."

"Tanggalnya cocok," Alfon menggumam lebih seperti sedang ngomong dengan dirinya sendiri, lalu dia mendonggak kearah kami.

“Maaf, nona Patricia Anda ini...”

“Saya perawat di Rumah Sakit yang kebetulan tahu ceritanya dari awal dia masuk.”

"Begini, saya sebenarnya adalah pengacara dan teman dekat Errik. Maaf, tapi saya butuh bukti. Saya punya dokumen yang dilengkapi cap jempolnya. Apa Anda siap untuk dicocokkan sidik jari di kantor polisi?"

"Ya, tentu saja," jawabku. "Mereka mengambil wajah dan suaraku, dan mematahkan tanganku, tapi sidik jarinya masih utuh."

"Bagus," katanya dan mengangkat telepon, lalu setelah beberapa kali nada sambung, "Bisa disambungkan ke Letda Hasan Nurcahyo?" dia bertanya setelah memperkenalkan dirinya.

"Hasan, aku punya kabar yang mungkin bagus buatmu. Tapi sebelumnya, apa kamu bisa melanggar aturan sedikit dan mengambil sidik jari seseorang dan lalu membandingkan kecocokannya dengan sidik jari di dokumen yang aku punya di sini?

"Oke. Kami akan kesana." Untunglah kantor polisi itu dekat.

Aku sepertinya mengenal polisi berpakaian preman yang menemui kami di pintu masuk, tapi ga ada nama yang bisa kuingat. Aku berasumsi bahwa itu adalah Letda Hasan, yang tadi dihubungi Pak Alfon.

"Siapa mereka?" dia bertanya pada Alfon.

"Bisa kita tunda itu sampai setelah hasil tes selesai?"

"Oke," keluh Hasan, "Kasusmu yang baru?"

Kami masuk dan sidik jariku diambil. Polisi muda yang melakukannya lalu membawa hasil sidik jari dan beberapa dokumen yang diberikan Alfon padanya dan menghilang. Kami menunggu di ruangan tertutup yang sepertinya ruang interogasi. Setengah jam kemudian Hasan kembali ke ruangan dengan wajah bingung.

"Errik?" dia bertanya sambil menatapku. "Ya Tuhan, Bung, kamu habis perang. Bajingan! Ini akan bikin banyak orang di sini kaget."

"Maaf, Pak Hasan," kataku, "Hasan kan? Mungkin seharusnya aku kenal Anda, tapi saat ini aku ga ingat sama sekali."

Tris menjelaskan tentang hilang ingatan.

"Errik," sela Alfon, "Aku sangat menyesal sudah meragukanmu. Tapi kamu ngerti kan kalau aku berbuat begitu demi kepentinganmu sendiri?"

Aku mengangguk.

"Bapak-bapak," aku bicara pada mereka berdua, "Walaupun identitasku sudah bisa dikonfirmasi, aku harus minta bantuan kalian untuk merahasiakan identitasku. Apa aku bisa mempercayai kalian berdua untuk menyimpan rahasia ini dari siapa pun?"

"Tentu saja," kata Alfon, "Tapi ada istrimu - maksudku mantanmu... Ya ampun. Lebih baik kita kembali ke kantorku dulu dan bicarain disana. Hasan kamu bisa menjaga rahasianya, kan?"

"Ya," jawabnya, "Tapi Errik, Apa kamu sudah tahu siapa yang ngelakuin ini?"

"Polisi di Semarang menganggap itu adalah kejadian perampokan, yang mungkin aku melawan dan mereka menghajarku. Ada mobil sedan warna merah yang terlibat dalam kejadian itu, dan itu yang membuatnya ga kelihatan seperti perampokan acak yang kebetulan dimana aku jadi korban. Ada saksi yang melihat tiga orang pria mengeluarkan aku dari bagasi mobil dan meninggalkanku di tempat pembuangan sampah. Selain itu ga ada petunjuk lain yang bisa dipakai untuk mengungkap kasus ini."

"Aku bisa menghubungi kantor polisi disana dan melihat petunjuk apa yang mereka punya."

"Oke. Tapi rasanya mereka juga belum tahu namaku. Staf rumah sakit memanggilku Adjie - jangan tanya kenapa! Ngomong-ngomong, Pak Hasan bertugas di bagian apa?"

"Satreskrim," jawabnya. "Lupa ingatan?"

Aku mengangguk, dan melihat ekspresi wajahnya berubah karena merasa bersalah menanyakan itu.

Kami kembali ke kantor Alfon, dan aku harus berjuang menaiki tangga sempit itu lagi. Alfon melihat itu dan sekarang dia juga merasa bersalah.

Kami duduk. Alfon berpikir sejenak.

"Apa kalian berdua mau datang ke rumahku untuk makan malam?" Dia bertanya. "Akan butuh waktu lama untuk menjelaskan semua ini. Banyak yang sudah terjadi dan kamu perlu tahu semuanya. Dan boleh aku tahu kenapa kamu ga mau Ana dikabari? Atau anak-anak?"

"Sejauh apa yang aku kutahu dia tinggal dengan orang lain sekarang, tunangannya. Apa dia bahagia?"

"Ya, sejauh yang aku tahu juga begitu. Aku tahu mereka berencana menikah pada bulan Mei setelah semua urusan pengadilan selesai. Anak-anakmu ga terlalu senang, tapi ya begitulah reaksi kebanyakan anak-anak saat akan mendapatkan orang tua tiri."

" Alfon, boleh aku panggil Alfon?”

“Errik! Kamu mungkin ga ingat tapi kita sudah berteman sejak kita SMP, aku, kamu, Hasan dan juga Jimmy, kamu boleh panggil aku apa saja.”

“Oke Alfon, aku tahu akan sulit buatmu untuk memahami ini, tapi aku ga kenal Ana. Aku tahu kami pernah menikah, tapi aku ga ingat seperti apa penampilannya atau apapun tentang dia. Aku cuma tahu dia ada sejak beberapa hari yang lalu. Rasanya ga adil untuk membebani dia dengan rasa bersalah karena dia sudah move on, atau bahwa aku dalam keadaan seperti ini dan dia meninggalkanku untuk menderita sendirian, dan aku juga ga sepenuhnya sendirian." Aku melirik Tris dan tersenyum. Alfon menangkap lirikan itu.

Kami terdiam dalam pikiran kami masing-masing.

"Oke, cukup untuk sekarang," kata Alfon, "Kita simpan cerita untuk nanti malam, aku yakin kamu butuh istirahat."

Dia mengangkat telepon lagi, dan sambil menunggu dia bertanya, "Apa boleh Vivi tahu siapa kamu?"

"Siapa Vivi?"

"Maaf, maaf," dia kelihatan malu, "Aku lupa terus kamu punya masalah ingatan. Vivi, adalah istriku. Kamu juga berteman baik dengan dia."

"Kalau dia bisa jaga rahasia, boleh, kalau ga, jangan."

"Dia bisa," tegasnya, dan dia meneleponnya. "Vivi? Bisa siapin makan malam untuk dua tamu malam ini, penting."

"Nanti aku ceritain semua pas aku sampai di rumah. Aku akan pulang lebih awal."

"Love you too!" dan dia menutup telepon. "Gimana kalau jam enam?"

"Boleh," jawabku. "Dimana alamatmu?" tambahku.

Dia meminta maaf lagi dan menuliskan alamatnya di selembar kertas. Aku meminta peta dan dia mengambarnya disertai petunjuk-petunjuk kecil disampingnya.

"Ini semua terasa sangat aneh," dia tersenyum, memberikan lembaran kertas itu pada Tris.

"Sebelum kamu pergi, kita harus mengajukan kartu identitas baru untukmu, KTP dan SIM" katanya.

Kami mengambil foto dan dia mengisi formulir dan menyuruh aku menandatanganinya. Semua dilakukan di meja resepsionis agar aku ga perlu naik tangga lagi. Dia memverifikasi foto-foto itu dan dia meminta gadis itu untuk mengurusnya besok.

"Sepertinya banyak yang harus kamu pelajari lagi dan kita bisa mulai malam ini," kata Alfon.

Saat itu sudah cukup siang dan aku mulai kelelahan, jadi kami mampir membeli makan siang lalu kembali ke hotel, di mana aku ambruk dan tidur selama beberapa jam.



Bersambung... Chapter III
 
Terakhir diubah:
nubi ijin ikut membaca om
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd