Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

semangat hu, senantiasa ditunggu kelanjutannya
 
XXII. Kenyataan Menyakitkan


Dari Senin hingga Rabu segala pekerjaan selain urusan gedung baru harus ditepikan. Urusan itu saja sudah cukup membuat stres dan melelahkan. Jenni menelepon Ana dan memberitahu aku ga akan datang ke rumah sampai urusan kontrak selesai. Aku dan Jenni makan di luar tiap malam dan setelah itu pulang ke apartment kami masing-masing untuk istirahat karena kelelahan.

Tapi Rabu sore kontrak kredit bank akhirnya ditandatangani dan kami dengan bangga bisa bilang kapasitas perusahaan akan berkembang dua kali lipat dari sebelumnya.

Malam itu Jenni ikut pulang ke apartmentku dan kami masak untuk makan malam kami, lalu melepas pakaian dan mandi bersama sebelum naik ke tempat tidur dalam keadaan basah dan merayakan kesuksesan. Tidak terlalu istimewa, hanya sesi oral seks bergantian sampai masing-masing kami mendapatkan orgasme, setelah itu dengan cepat kami tertidur pulas.

Saat bangun, kami mengulangi perayaan tersebut meskipun kali ini kami mendapatkan orgasme dari penetrasi gaya misionaris. Lalu kami berbaring diam bersama, berpelukan sampai kami harus memaksakan diri bangkit dan bersiap untuk berangkat kerja. Bisa ditebak, kami terlambat.

Saat kami tiba, Jeffry bilang besok Jumat sepulang kerja akan ada pesta untuk seluruh karyawan yang bisa hadir. Dia sudah memesan ruang pesta di Crossroad jam tujuh malam, termasuk makanan dan minuman yang banyak. Ide bagus, pikirku, walaupun aku ga tahu kalau Crossroad punya tempat seperti itu.

"Istri, suami, pacar dan juga anak-anak semua diundang," kata Jeffry. "Susan akan datang dan juga Alfon dan Vivi. Kenapa kamu ga mengajak Ana dan anak-anak? Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari sejarah perusahaan ini."

"Ide bagus," kata Jenni. "Ana pasti sudah lama ga merasakan suasana seperti ini."

Aku mempertimbangakan ide itu dan akhirnya setuju dan kami masuk ke ruangan kantorku dan langsung menelepon Ana, dan setelah aku menyampaikan undanganku, dia menerimanya dengan senang hati, lalu dia mengajukan permintaan dengan agak ragu-ragu.

"Errik, minggu depan liburan kenaikan kelas anak-anak. Biasanya kamu selalu kerja dari rumah dan menghabiskan waktu bersama mereka. Apa minggu depan kamu bisa melakukan itu lagi?"

Aku senang mendengar itu, mungkin ini kesempatan bagus untuk berada di dekat mereka setelah sekian lama sibuk di kantor.

"Ide bagus," kataku antusias. "Aku akan datang Jumat malam."

"Oh," dia terdengar kecewa.

"Ada apa?"

"Yah, aku tahu kita punya masalah weekend kemarin, tapi kamu belum pernah datang makan malam disini lagi sejak saat itu, aku tahu kamu sibuk, tapi anak-anak terus menanyakan kamu."

Aku berpikir sejenak. "Jenni mungkin mau ikut juga," kataku, "Ga masalah kan?”

"Ya, ga apa-apa," katanya, tapi aku tahu dari nada suaranya bukan itu yang dia harapkan. Aku tersenyum sendiri setelah kami menutup telepon.

Aku menyampaikan pada Jenni yang kelihatan memikirkan sebentar, tapi setuju untuk ikut datang.

Saat istirahat makan siang, aku membolak-balik koran dan melihat iklan untuk liburan di Bali. Salah satu penawarannya adalah liburan di komplek yang walaupun berada di tepi pantai, tapi masih tampak hijau oleh rimbunnya pepohonan hijau di area itu. Banyak juga fasilitas untuk anak-anak seperti selancar, kano, outbound, sepak bola, berkuda, dan banyak hal lain termasuk pantai pribadi. Bangunan terbuat dari kayu, pasti cocok untuk anak-anak dan aku.

Buatku sendiri ini akan jadi momen untuk berpikir dan menenangkan diri. Saatnya juga buat Jenni untuk bisa mandiri dalam penjualan dan kontrak tanpa campur tanganku. Aku menyampaikan itu pada Jeffry yang dengan cepat bilang bahwa aku memang perlu liburan, dan Jenni akan bisa diandalkan. Aku sendiri ga meragukan pendapat itu.

Aku menelepon Ana lagi dan menyampaikan rencanaku itu. Dia sempat diam lalu dia bilang akan menyampaikan ke anak-anak. Menurutnya Agnes pasti suka liburan itu setelah selesai ujiannya. Aku segera booking tempat untuk minggu depan.

Ga perlu disebutkan lagi, anak-anak tampak sangat senang saat aku dan Jenni datang malam itu. Selama di sana Jenni terus ngobrol dengan Ana dan itu artinya aku bisa lega karena ga perlu banyak berinteraksi dengan Ana. Jam sembilan malam, aku dan Jenni pamit untuk pulang, ke apartment kami masing-masing.

Jumat malam, patut bersyukur pesta yang direncanakan dalam waktu singkat berjalan lancar. Acara itu ga wajib, tapi sebagian besar karyawan datang, membuat ruangan berkapasitas seratus orang cukup padat. Beberapa mengajak pasangannya dan beberapa juga mengajak anak-anak mereka. Jeffry juga sudah menyewa badut untuk menghbur anak-anak di ruangan lain, ide yang cerdas.

Aku dengan senang berkeliling untuk menyapa karyawan dan keluarga mereka, berterima kasih karena sudah membantu perusahaan berkembang sejauh ini. Aku juga kaget karena cukup banyak karyawati dari bagian marketing dan administrasi yang terang-terangan menggodaku. Aku balas menggoda tapi jauh lebih sopan. Aku bisa lihat di beberapa kesempatan Jenni mengangkat alis sambil menyeringai dari seberang ruangan.

Aku akhirnya bertemu dan ngobrol dengan Alfon sebentar sementara Vivi asyik ngobrol dengan Ana dan Susan. Aku lalu meninggalkan Alfon untuk mengambil minuman dan saat aku kembali aku ga melihat Ana, tapi sekarang Vivi dan Susan sedang bicara cukup serius dengan Jenni. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan, tapi sebelum aku mendekat, seorang karyawan dari divisi riset menyapaku dan akhirnya aku terjebak dalam obrolan dengannya, yang menghujaniku dengan beberapa ide yang menarik.

Pesta Itu sendiri berjalan dengan baik, makanannya enak dan pemusik yang disewa cukup bagus. Menjelang acara selesai, aku melihat Agnes sedang ngobrol dengan seorang pemuda seusianya. Melihat bagaimana cara pemuda itu memandang Agnes saat mereka bicara, melihat respon Agnes dan semua itu mengingatkanku bahwa putriku sekarang sudah jadi seorang wanita dewasa. Aku tahu pada suatu saat orang tua harus melepaskan anak-anak mereka, tapi itu ga gampang, terutama karena aku sudah melewatkan tiga tahun penting masa remaja dalam hidupnya.

Satu jam kemudian acara berakhir, aku mengantarkan Ana dan anak-anak ke rumah dan saat aku sampai ke apartmentku, Jenni sudah menunggu disana.

"Kita ga akan ketemu selama seminggu penuh," katanya, dan dia menginap malam itu, yang kami isi dengan penuh cinta dan kehangatan.


Sebelum aku pergi liburan bersama anak-anak, aku melakukan satu hal yang sebenarnya membuatku merasa bersalah, yaitu aku meminta bantuan Jimmy untuk mengawasi Ana. Aku tahu seharusnya aku ga mencampuri hidupnya karena dia bukan lagi istriku, tapi aku begitu ingin tahu apa yang dia lakukan saat ga ada aku ataupun anak-anak. Jimmy setuju dan janji akan melaporkan hasilnya saat aku sudah kembali.

Liburan satu minggu bersama anak-anak sukses besar mengembalikan mood dan mendekatkan kami. Dengan kondisiku, aku ga bisa terus mendampingi semua aktivitas mereka, tapi mereka sepertinya ga terganggu dengan itu. Agnes sendiri bertemu dengan dua gadis lain yang sedang liburan disana dan sebaya dengannya dan akhirnya mereka menghabiskan waktu liburan bersama-sama.

Jadi aku sering hanya sendirian dan menunggu mereka pulang dengan berada di gym yang ditata dengan baik. Aku terhibur dengan ekspresi wajah para pelatih saat melihat seorang laki-laki pincang dan bertongkat berkeliling memakai semua jenis peralatan yang mereka sediakan.

Selain itu aku banyak menghabiskan waktu untuk membaca novel di teras depan kamar saat cuaca cerah dan di dalam kamar saat hujan, dan juga melakukan kebiasanku yang mulai sering terlupakan, membuat catatan harian di laptop. Kebiasaan yang dulu kulakukan setiap hari, seperti yang diajarkan oleh Tris, tapi akhir-akhir ini jadi sering bolong karena situasi dan suasana hatiku yang ga mendukung. Mau ga mau aku harus mengingat lagi pemikiran dan kesimpulanku sendiri tentang hubungan Ana dan Hadi saat menuangkannya dalam catatanku.

Di malam hari kami main kartu atau nonton film. Kami makan di restoran setiap hari, memberi kami kesempatan untuk ngobrol saat menunggu pesanan kami datang. Dan akhirnya hari Sabtu dalam perjalanan pulang kami adalah empat orang yang sangat puas dan fresh. Aku secara pribadi merasa bahwa kami berempat sudah jadi lebih dekat dari sebelumnya, terutama si bungsu Stefan.

Agnes menegaskan perasaaan itu dengan berkata, "Ayah tahu, kalau bukan karena bekas lukamu, sepertinya Ayah ga pernah pergi dari kami."

Aku terharu mendengar itu dan memberinya pelukan hangat untuk berterima kasih.

Dan saat kami turun dari taksi, Leo juga menyatakan betapa senangnya dia saat aku kembali.

"Aku cuma berharap ..." katanya dan berhenti.

"Apa?" Aku bertanya.

"Ga jadi." Katanya sambil berbalik, tapi aku bisa menebak apa yang ingin dikatakannya, dan aku merasa harapannya itu ga mungkin terjadi.

Leo dan Stefan memeluk Ana yang menyambut mereka di depan pintu, masing-masing saling berlomba menceritakan padanya apa yang sudah mereka lakukan selama liburan. Agnes juga memeluknya tapi menahan diri untuk ga ikut bercerita seperti adiknya. Ana sibuk menyambut anak-anak pulang, jadi aku pamit pulang ke apartment untuk istirahat, dan berjanji untuk menghubunginya minggu depan.

Sesampainya di apartment Jenni ga ada, tapi ada tanda-tanda dia pernah datang. Tumpukan koran dan beberapa surat sudah tertata rapi diatas meja, kecuali koran hari ini. Aku mengambilnya. Ada satu amplop coklat besar yang bertuliskan nama Jimmy. Aku memutuskan untuk ga membukanya sekarang.

Aku memanaskan air untuk membuat teh, dan memperhatikan bahwa Jenni sudah beli beberapa bahan makanan yang bisa kupakai, setidaknya ada susu.

Aku duduk di sofa dan mengingat kembali liburan kemarin. Lalu pikiranku kembali tertuju pada hubungan Hadi dan Ana. Tapi aku merasa lebih tenang karena sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Yang saat ini bisa kupercaya adalah kesetiaan teman-temanku, dan Jenni. Selain mereka, Ana dan Hadi tepatnya, bisa jadi adalah penipu.

Ana sepertinya begitu banyak membuat kontradiksi, dan itu artinya antara dia sudah berbohong atau benar-benar sudah disesatkan oleh Hadi. Hadi menyatakan dia ga berdosa dan berperilaku seolah-olah dia adalah korban tapi semua bukti mengarah padanya sebagai otak dari semua masalahku.

Semua terhubung ke sebuah pertanyaan. Apa mereka sudah selingkuh sebelum aku menghilang? Apakah perselingkuhan mereka yang jadi penyebab perceraian Hadi? Kalau Ana tahu dialah penyebab perceraian Hadi, dia mungkin merasa bersalah, dan rasa bersalah itu mungkin sudah menyebabkan dia menerima Hadi saat aku menghilang.

Dalam lubuk hatiku aku ga percaya dia ikut terlibat bersama Hadi dalam upaya pembunuhanku, aku mampu menilai perilaku orang lain dengan cukup baik, dan dia jelas punya perasaan khusus padaku walaupun sekali lagi secara kontradiktif dia selalu memilih dan berpihak pada Hadi. Apa benar dia ga bisa meninggalkan Hadi karena terikat pada rasa bersalah akibat perselingkuhan mereka yang berujung pada perceraian Hadi?

Hanya ada satu cara yang bisa kulakukan untuk memastikan, dan ini mungkin akan bisa menyelesaikan segala sesuatunya. Aku harus menemui Linda Firmanto. Sesederhana itu. Aku ga butuh informasi lain kecuali konfirmasi dari mantan istrinya, dengan siapa Hadi berselingkuh.

-----

Siapa yang menyangka aku akan mendapatkan informasi baru lebih cepat dari yang kukira.

Setelah makan malam aku memutuskan untuk berjalan-jalan di mall seberang apartment yang saat malam minggu seperti saat ini mendirikan panggung semi permanen di depan deretan cafe lantai dasar dan mengadakan pertunjukan live musik sampai dini hari, dan sebelum itu biasanya akan ada band yang memainkan musik instrumental. Segelas bir sambil ditemani iringan musik sepertinya akan cocok untuk dinikmati saat ini.

Apa yang aku lupakan adalah sejak berita penangkapan Hadi, aku sudah beberapa kali masuk dalam berita. Wajahku pasti pernah muncul di TV, saat mereka membahas tentang kasus ini. Sekarang aku akan dikenali sebagai Errik Riccardson meskipun wajahku sudah ga mirip dengan wajahku sebelum peristiwa penyerangan itu.

Jadi saat itu aku sedang berjalan mencari tempat yang kosong di dekat panggung, saat aku mendengar suara dari belakangku.

"Hei!" suara seorang gadis, atau mungkin lebih tepatnya suara wanita. Aku berhenti berjalan dan berputar.

Tiga orang wanita yang berada di depan sebuah cafe melambai kepadaku sebelum mereka mendekat.

"Errik?" kata salah satunya yang berambut coklat, aku mengangguk.

Mereka tersenyum.

"Errik, kamu ga ingat kami?" kata wanita kedua yang berambut hitam dengan senyum lebar. Wanita ketiga berambut warna merah samar. Mereka semua sepertinya seusiaku, dan berpenampilan menarik. Sekarang mereka semua tersenyum lebar padaku, itu artinya mereka ga takut pada penampilanku, atau aku mungkin memang ga sejelek itu.

Aku membalas senyuman mereka dan menggelengkan kepala.

“Maaf, ingatanku ga terlalu bagus setelah ini terjadi,” kataku sambil menyentuh bekas luka di kepalaku.

Si rambut coklat meringis dan yang lainnya langsung terlihat sedih dan simpatik.

"Kami hari ini janjian untuk jalan bertiga karena sudah lama ga ketemu," kata wanita ketiga. Mereka lalu saling memandang dan mengangguk, "Tapi kebetulan malah ketemu kamu, kamu mau ngobrol sebentar sambil minum dengan kami?"

Aku mengangguk. Aku memang dari awal berencana untuk minum bir dan sekarang aku punya teman minum. Setelah seminggu penuh bersama anak-anak, aku mungkin perlu teman orang dewasa.

Begitu bir yang kupesankan untuk kami datang, ketiganya duduk menatapku dengan penuh harap. Aku menatap balik.

"Apa?" Tanyaku.

"Kamu benar-benar ga ingat kami?" kata rambut hitam.

"Tidak," jawabku, "Kalian mungkin perhatikan bahwa aku punya masalah di kepalaku. Ingatan biasanya tersimpan di sini." Aku menepuk kepalaku.

Mereka mungkin ga berani tertawa dan tetap terlihat serius. Jadi aku menyeringai pada mereka lebih dulu, itu membuat mereka lebih rileks.

"Oke," kata si rambut merah, "Aku Tina, ini Laura," menunjuk ke wanita berambut hitam itu, "dan itu Winnie." Dia menunjuk si rambut coklat.

Kami semua bersalaman di atas meja. Aku melihat cincin kawin di jari mereka semua. Aku diam-diam menyalakan perekam di kantong celanaku.

"Senang mengenal kalian." kataku. "Bagaimana kalian mengenali aku? Apa kita teman kuliah?"

Mereka tertawa. "Bukan, kami ga sepintar Ana yang bisa melanjutkan kuliah di Universitas Negeri. Kami cuma lulusan SMA."

"Kalian teman Ana?"

"Betul," jawab Tina sambil tersenyum, "Saat kamu dan Ana menikah, Laura yang jadi pengiring pengantin, kamu ga ingat?"

Aku menggelengkan kepala.

"Apa dia belum menunjukkan foto-foto pernikahan kalian?" dia mengejar, "Maksudku, untuk membangkitkan ingatanmu?"

"Tidak," jawabku, "Kalian mungkin ga percaya, tapi kami ga terlalu sering menghabiskan waktu bersama sejak aku muncul lagi dihadapannya."

"Oh ya, kami juga ada di restoran itu saat kamu memperkenalkan dirimu, walaupun saat itu kami ga bisa melihatmu, kamu ada di ruangan lain kan. Yang jelas saat Ana kembali ke meja kami saat itu, dia seperti habis melihat hantu. Dia diam saja dan sangat sedih, lalu bergegas pulang. Ga sepatah kata pun dia ucapkan pada kami. Kami semua bingung harus apa."

"Aku minta maaf soal itu," kataku dengan tersenyum, "Tapi seandainya dia mau saat aku mengajaknya bertemu dan bicara sejak beberapa minggu sebelumnya, mungkin segalanya akan berbeda."

"Oh," kata Laura, "Ya, memang dia sangat marah saat tahu kamu kembali, dia belum tahu cerita sebenarnya waktu itu."

Aku tiba-tiba melihat peluang dan tersenyum lebar. "Yah, mungkin kalian bisa membantuku."

Aku menceritakan pada mereka tentang kejadian yang menimpaku dan terakhir juga memberi tahu mereka soal masalahku dengan Ana.

"Begini," kataku, "Walaupun dia sepertinya ingin melanjutkan hubungan kami yang sempat terputus saat aku menghilang dua tahun lebih, aku belum ingat jelas tentang kehidupan kami dulu, jadi aku ga bisa memenuhi keinginannya. Aku ga tahu seperti apa dia. Aku memang tahu dia kadang bisa keras kepala dan gampang emosi, tapi sebatas itu. Menurutku kalian bertiga sudah mengenalnya lebih lama daripada aku, jadi kalian pasti bisa membantuku dengan cerita bagaimana karakter Ana sebenarnya?"

Ada keheningan dan kebingungkan saat mereka mencerna permintaanku.

"Dari mana kita harus mulai?" tanya Winnie.

"Hmm.. gimana kalau soal kemarahnya padaku, setelah dua tahun kami terpisah, dia sudah move on dan bahagia bersama pria lain yang akan dinikahinya, tapi kenapa dia masih terus menyimpan kemarahan padaku."

Ada pandangan di antara mereka yang ga bisa kubaca, dan Tina bergumam, "Laki-laki itu ga akan pernah bisa mengantikan posisimu."

Lalu Winnie memotongnya, "Apa yang harus kamu tahu Errik, adalah bahwa Ana punya dua kualitas yang utama. Dia punya banyak kualitas, tapi dua itu yang menurutku selalu mendominasi dalam hidupnya. Yang pertama adalah kesetiaan."

"Ya, itu betul," kata Tina. "Sebelum kamu muncul, maksudku dulu saat kalian pertama ketemu, dia beberapa kali jalan dengan teman laki-laki. Siapa yang bisa menyalahkan mereka, dia gadis yang sangat cantik, tapi sebenarnya dia ga pernah meladeni mereka terlalu jauh. Jadi kebanyakan dari mereka sadar diri dan mundur.

"Dia biasanya ga terlalu peduli soal itu, dia memang ga berniat untuk menjalin hubungan dengan mereka. Dia tipe yang ga gampang jatuh cinta pada seseorang, dia biasanya berusaha mengenali mereka dulu sebelum mulai membuka hatinya lebih jauh.

"Lalu suatu hari dia kenal dengan seseorang yang namanya Bram. Ya Tuhan, dia pemuda yang sangat tampan, tapi dia playboy. Dia berhasil membuat Ana jatuh cinta, mempercayainya sepenuhnya, bahkan memberikan kegadisannya pada laki-laki itu. Kamu ga akan komplain soal itu sekarang kan?” katanya sambil menyeringai, lalu melanjutkan, “Dia berhasil mendapatkan keperawanan Ana, dan terus bersama Ana selama sekitar enam bulan kalau ga salah. Ana sering bilang pada kami kalau dia jatuh cinta pada Bram dan dia benar-benar setia padanya. Tapi Bram tidak begitu.

"Kami tahu dia menduakan Ana dan kami menceritakan itu pada Ana, tapi saat dia menanyakan itu pada Bram, sudah pasti dia menyangkal dan Ana langsung mempercayainya. Itulah dia. Loyal pada pasangannya. Kami sempat bertengkar cukup lama karena itu."

"Iya," tambah Winnie. "Butuh waktu lama sebelum akhirnya Laura berhasil menipu Ana untuk mendatangi sebuah tempat karaoke dimana Laura ga sengaja mendengar Bram akan kesana dengan pacar satunya. Dan benar saja, di sana Ana melihat Bram ada di salah satu ruangan, berdua dengan seorang wanita yang sedang duduk di pangkuannya, mereka berciuman dan tangan Bram sudah masuk ke dalam rok wanita itu."

"Di situlah dia marah," kata Laura, "Dia mendekati mereka dan menguyur satu pitcher bir keatas kepala Bram, sebelum melangkah keluar, aku mengikuti di belakangnya. Aku mencegat taksi dan kami pergi ke rumahku. Dia mengomel sepanjang perjalanan sampai kami masuk ke kamarku.

"Lalu dia akhirnya ga bisa lagi menahan air matanya dan menangis berjam-jam. Aku mengambilkan minum dan meminjamkan bajuku untuk ganti. Lalu aku cuma memeluknya tempat tidur dan membiarkannya menginap malam itu.

"Besok paginya dia jadi pendiam dan aku mencoba, kami semua mencoba untuk mengajaknya ngobrol soal kejadian itu tapi dia sama sekali ga mau membicarakannya. Dia menganggap laki-laki itu ga pernah ada, tapi sejak saat itu Ana yang dulunya ceria sudah hilang, sampai akhirnya kamu berhasil menemukannya."

Ada jeda sesaat sebelum mereka bicara lagi.

"Sebenarnya sebelum bertemu denganmu pun dia ga terlalu menutup diri dari laki-laki." kata Tina, "Tapi ga ada pria yang mendekatinya bisa tahan padanya. Dia, yah, sangat judes pada mereka. Dia berpendapat semua pria adalah sama."

"Maksudmu kegagalan hubungan nya dengan Bram membuatnya berubah drastis?" Aku bertanya.

"Yah, sepertinya begitu," kata Tina, "Dia, memberikan terlalu banyak pada Bram, dan ketika dia menghianatinya, efeknya berlipat-lipat."

"Tunggu sebentar!" sela Winnie, "Ada satu lagi, kamu ingat Toni?"

"Oh ya, Toni," kata Laura. "Itu mengingatkan kita pada kualitasnya yang kedua--"

"Ah, ya," kata Winnie. "Simpati untuk yang lemah. Ya. Aku tahu Ana mau jalan dengan Toni karena itu."

"Toni seorang pemuda yang aneh," kata Laura. "Dia tipe anak yang pendiam, kurus, pemalu, dan sering jadi sasaran bully, dan karena itu Ana mengajaknya jalan, untuk membuat kepercayaan diri Toni bangkit karena gadis tercantik di sekolah mengajaknya nonton. Tapi aku tahu Ana ga bermaksud membuat hubungan itu lebih dari itu, dia hanya seperti ingin ada disana untuk membantunya."

"Lalu Bram datang lagi," kata Winnie. "Dia meminta maaf, bilang sangat menyesal, dan si bodoh itu menerimanya lagi!"

"Ya," kata Tina. "Tapi cuma sekitar seminggu dan Ana melihatnya ngobrol dengan gadis lain. Dia coba menjelaskan ke Ana kalau gadis itu cuma teman, tapi Ana ga mau mendengarnya lagi. Mereka selesai."

"Setelah itu dia ga pernah lagi pacaran," kata Laura. "Dia mulai kuliah di Tangerang, dan dia cuma fokus untuk menyelesaikan kuliahynya lalu kerja. Sampai kamu datang. Kamu ingat itu?"

Aku menggelengkan kepala.

"Aku ga kaget," lanjutnya. "Dia kejam padamu. Dia menerima ajakanmu nonton tapi ga pernah muncul di tempat kalian janjian. Tapi kamu begitu gigih datang lagi dan lagi dan akhirnya dia mau menerima ajakanmu lagi.

"Lalu dia mencoba menguji apa kamu semata-mata mengejar tubuhnya seperti laki-laki lain, tapi kamu begitu sopan bahkan saat dia terang-terangan mencoba merayumu dan gagal. Dia sempat penasaran apa sebenarnya maumu atau apa sebenarnya kamu homo."

"Tapi caramu berhasil," kata Tina. "Akhirnya kamu meluluhkan hatinya. Aku ingat dia datang ke rumahku sambil menangis. Kami pikir kamu mencampakkannya, tapi ternyata kamu justru menegaskan perasaanmu padanya dan memintanya untuk berhenti mempermainkanmu.

"Dia bilang kamu memaksanya untuk bicara denganmu dari hati kehati, dan sepertinya kamu bisa mendengarkan saat dia menumpahkan semua makian soal pria pada umumnya dan termasuk kamu. Lucunya dia merasa marah karena kamu ga melakukan apapun dan bereaksi setelah dia berusaha merayumu, seakan-akan kamu menganggapnya ga menarik."

"Ya," lanjut Winnie. "Saat itu kamu bilang padanya bahwa kamu serius tentang hubungan kalian dan kamu ga akan berbuat lebih jauh kecuali ada komitmen. Yang menyadarkannya adalah saat kamu bilang padanya bahwa kamu sangat tertarik padanya, tapi dia sendiri seakan-akan hanya mempermainkanmu dan kamu menganggapnya bukan tipe wanita setia."

"Itu berhasil," kata Laura. "Kesetiaan. Kamu menuduhnya ga setia, ga loyal pada pasangan. Dia sempat merasa kamu akan pergi tapi nyatanya kamu masih menghubunginya lagi dan memberinya kesempatan, dia melompat-lompat bahagia di depan kami saat menceritakan itu."

Mereka bertiga sekarang memperhatikanku.

"Terima kasih," kataku. "Itu sangat membantu."

"Jadi, apa kalian berdua akan mencoba lagi?" tanya Laura. Dia jelas ingin mendengar jawaban positif, happy ending.

Tapi ga ada gunanya memberikan harapan palsu.

"Maaf, Laura," kataku, "Aku sudah punya pasangan lain sekarang."

"Tapi--"

Aku merasa sudah cukup. Aku ga perlu menjelaskan alasanku lebih jauh pada mereka.

"Kami sudah bercerai, dan itu keputusan Ana. Sekarang aku sama orang lain. Cuma itu saja."

Itu langsung menghentikan upaya mereka dan ga lama kemudian mereka pamit, memelukku dan mendoakan semua masalahku bisa selesai, lalu mereka meninggalkanku sendiri.

Sayangnya pertemuan dengan mereka sudah menghilangkan kesempatanku untuk mendengarkan musik instrumental yang menenangkan, sekarang band yang bermain sudah berganti menjadi musik metal yang memekakkan telinga, jadi aku pergi dari sana. Di apartment, aku punya kedamaian dan ketenangan yang kuperlukan untuk berpikir.

Sekarang aku punya beberapa informasi baru tentang latar belakang Ana dan hubungan kami serta sedikit lebih mengenal karakter Ana. Itu menjelaskan kemarahannya yang meledak-ledak padaku sebelum dia tahu fakta sebenarnya.

Itu menjelaskan juga kenapa dia dengan terus bertahan dan berpihak pada Hadi, dan percaya dia ga bersalah melawan semua bukti yang ada. Ana menganggap Hadi adalah orang yang tertindas, orang yang lemah dan saat dia butuh dukungan, Ana akan datang membantunya.

Karena itu juga kenapa sepertinya tindakannya bertolak belakang berada diantara aku dan Hadi. Dia harus setia padaku, masih merasa sebagai istriku karena kami punya dua puluh tahun janji pernikahan, tapi setelah aku menghilang, dia juga punya komitmen dua tahun lebih dengan Hadi. Ketiga anak kami adalah penanda sisi keluargaku dan Hadi, seolah-olah adalah anak lain di sisi berbeda yang butuh perlindungan Ana. Cukup menyedihkan.

Meskipun membantuku, informasi baru ini masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab. Aku masih belum menemukan dan bicara dengan mantan istri Hadi. Aku tahu informasi baru akan datang lagi.

Sampai jam sebelas malam, Jenni belum menghubungi jadi aku pergi tidur.

------

Hari Minggu pagi aku sedang baca koran saat ada telepon dari Jimmy.

"Apa kamu sudah baca laporanku?" dia bertanya, langsung ke intinya.

Aku tiba-tiba teringat. "Sialan, Jimmy, aku sudah lihat amplopnya dan bermaksud untuk baca nanti saja, tapi aku lupa. Aku masih gampang lupa, ga terlalu sering tapi lumayan."

"Oke, bisa kamu baca sekarang? Kalau perlu aku bisa mampir, aku lagi di dekat apartmentmu. Nanti kita bisa bahas."

"Kok sepertinya hasilnya buruk, Jimmy?"

"Itulah intinya, aku ga tahu. Ini membingungkan."

"Semua memang sudah membingungkan dari dulu. Ya sudah, ayo aku tunggu disini."

Aku menutup telepon dan mengambil amplop dari Jimmy. Aku merasa seperti penjahat saat meminta Jimmy memata-matai Ana, tapi aku perlu tahu semuanya.

Ada daftar kegiatan yang tertulis disana.

Dia pergi menemui Hadi di rumahnya hari Sabtu sore setelah aku berangkat bersama anak-anak ke Bali. Dia disana dua jam lalu pergi.

Hari Minggu ga terjadi apa-apa.

Senin Ana pergi ke rumah Hadi dan mereka pergi untuk makan malam di restoran dimana aku dan Alfon bertemu dengan mereka dulu. Mereka pulang ke rumah Hadi dan berciuman cukup panas di depan pintu, sebelum masuk ke dalam. Ana menginap dan pulang keesokan paginya.

Malamnya Hadi datang ke rumahku di Serpong. Ana kelihatan ga suka Hadi datang. Mereka berdebat di tangga masuk. Ana ga membiarkan Hadi masuk jadi dia pergi.

Rabu siang Hadi menjemput Ana dia kantor dan mereka makan siang bersama. Dia mengantarnya kembali ke kantor dan mereka berciuman lama di dalam mobil sebelum Ana turun. Rabu malam Ana datang lagi ke rumah Hadi dan menginap. Hanya satu kamar yang dipakai karena cuma disana yang lampunya menyala. Ana terlihat hanya memakai bra saat dia menutup tirai jendela. Lalu terlihat dari bayangan di tirai, dia berputar membelakangi jendela dan melepas bra-nya. Sekali lagi dia pergi pagi-pagi, menciumnya di tangga sebelum pergi.

Kamis malam dia pergi makan malam di rumah Alfon dan Vivi, dan buru-buru pergi dengan seorang pria, bukan Hadi, yang mengantarkan Ana pulang. Dia tidur sendirian malam itu. Hadi datang larut malam itu dan menggedor-gedor gerbang. Ana ga menjawab. Hadi menendang pintu dan pergi dengan cepat.

Jumat pagi Hadi sudah menunggunya di depan rumah. Mereka berdebat cukup lama di taman. Ana berjalan ke mobilnya meninggalkan Hadi dan Hadi menarik lengannya. Ana melepaskannya dan sangat marah. Ana pergi dan Hadi duduk di tanah untuk sementara waktu. Hadi sepertinya menangis, lalu dia bangkit dan pergi. Dia kelihatan terpukul.

Jumat malam Ana pergi ke rumah Alfon dan Vivi lagi. Dia menginap disana malam itu dan pulang saat jam makan siang hari Sabtu, setelah mampir ke supermarket. Hadi muncul sekitar jam satu, dan mereka bertengkar lagi. Lalu mereka berdiri diam. Ana menciumnya sebentar, membalikkan badan Hadi, dan menyuruhnya pergi. Lalu dia pergi. Dia kelihatan sedih.

Sampai disana catatan itu selesai. Jimmy, atau anak buahnya sudah bekerja dengan baik. Aku merasa catatan itu cukup akurat dan ga mungkin bohong. Namun tampaknya hubungan antara Hadi dan Ana ga bahagia dan bahkan hancur. Seminggu bebas dari aku dan anak-anak, Ana seharusnya memakai kesempatan itu untuk bersama Hadi terus. Tapi, nyatanya mereka bertengkar.

Pikiranku terputus oleh suara telepon dan aku mempersilahkan Jimmy untuk naik dan masuk.

Aku menawarkan minum dan dia minta teh. Lalu kami duduk bersama.

"Aku ingin menambahkan laporannya," katanya.

"Silahkan." Kataku, saat kami berdua duduk dan santai.

"Ga banyak yang bisa diceritakan, benar-benar rumit. Lebih mudah dibicarakan langsung daripada ditulis. Apa yang ada di sana, adalah fakta," dia menunjuk pada laporan yang aku pegang, "Tapi ga semuanya."

"Maksudnya?"

"Biar aku coba ceritakan. Saat pertama kali dia meninggalkan rumah Hadi hari Sabtu, Ana tampak khawatir, ragu. Bahkan dia berhenti dan berbalik seolah-olah mau kembali. Tapi dia memutuskan sebaliknya dan pulang.

"Di restoran Hadi menatapnya dengan penuh cinta tapi Ana selalu melihat ke arah lain. Hadi mencoba menyampaikan atau menjelaskan sesuatu pada Ana, gerak-geriknya selama makan menunjukkan Hadi memperdebatkan sesuatu. Sejauh yang aku bisa lihat Ana ga bereaksi atau menjawab. Setelah mereka pulang, aku melihat saat mereka berciuman di depan pintu dan Ana mencoba merespon sebisanya. Cuma satu kamar yang lampunya menyala, tapi itu ga berarti banyak karena aku ga tahu apa yang terjadi didalam selain yang sudah kutulis.

"Besok paginya aku ga ada di sana, tapi aku meminta bantuan kenalanku, seorang wanita, untuk menggantikanku mengawasi. Dia bilang bahwa Ana pergi pagi-pagi sekali, mungkin sebelum Hadi bangun. Dia sudah mandi dan merias wajahnya, katanya.

"Sampai disini kita masuk ke dugaan. Temanku bilang dari pengalamannya sebagai penyelidik perceraian, dia bisa tahu dari raut wajah seorang wanita apakah dia habis melakukan hubungan seks liar malam sebelumnya. Mereka kelihatan, ya bisa dibilang, sangat puas - entah bagaimana berseri-seri dan memancarkan kepuasan seksual. Ana sendiri pergi dari sana seperti seorang wanita yang keluar dari rumah setelah tidur malam yang nyenyak. Jadi, entah dia ga berhubungan seks atau ga puas.

"Saat malamnya Hadi muncul di rumah Ana, temanku yang lain, bilang kalau Ana sangat kaget, dan bilang bahwa Hadi seharusnya ga datang ke sana. Ana jelas marah padanya, melipat tangannya di depan dada dan berdiri di depan pintu. Hadi mencoba untuk memaksa masuk dan mendorong Ana tapi dia ga mau mengalah. Temanku ga bisa dengar jelas apa yang mereka katakan, tapi nada suara Ana menghina Hadi, sebaliknya Hadi memohon. Itu berlangsung sekitar setengah jam. Hadi terus merengek dan berusaha menjelaskan sesuatu, Ana cuma mendengarkan dan sepertinya cuma menunggu Hadi capek sendiri dan pergi.

"Lalu saat mereka balik dari makan siang hari Rabu, Ana sepertinya ga menolaknya lagi. Mereka berciuman seperti pasangan lain, bahkan cukup liar. Ana terlihat berantakan saat keluar dari mobil, dia harus merapikan rok dan blusnya. Dia kelihatan khawatir.

"Sekarang kamu tahu kenapa aku ga menuliskan itu dalam laporan, penilaian seperti itu terlalu subjektif, tapi jangan lupa aku dan teman-temanku sudah sering membuntuti pasangan dan kasus seperti ini sebelumnya. Kami melihat ekspresi dan tindakan mereka dan kami cukup pandai membaca situasinya. "

"Aku bisa terima itu," kataku. Aku menuangkan secangkir teh lagi untuknya. "Lanjutkan."

"Malam itu, Ana datang ke rumahnya saat jam makan malam dan mereka makan sesuatu di teras mereka. Sangat santai. Aku memperhatikan mereka. Mereka bergandengan tangan saat masuk. Sekitar jam sebelas, lampu kamar tidur menyala, dan seperti yang aku sebutkan dalam laporan dia mendekati jendela untuk menutup tirai. Dia berbalik dan melepas bra-nya. Dari caranya melepaskan Bra, aku merasa dia melepaskan bra di hadapan Hadi, kamu tahu kan, seperti penari striptis.

"Teman perempuanku bilang besoknya Ana pergi dengan cara yang sama seperti sebelumnya, hanya bedanya kali ini Hadi mengantarkan sampai depan pintu. Ana mencium pipinya dan pergi. Sekali lagi dia ga terlihat seperti baru saja melewati malam yang liar atau terpuaskan. Bahkan dia kelihatan agak lesu, seperti sedih. Ana ga melambai padanya atau menoleh ke belakang.

"Kamu harus tanya pada Alfon ada apa saat Ana makan malam dirumahnya, tapi Ana terlihat marah saat dia pulang. Dia masuk ke rumah dan dari lampu rumah dia sepertinya langsung tidur. Lalu Hadi datang, dia sangat gelisah. Dia menekan bel, mengedor pintu, melemparkan batu kecil ke jendela, Ana ga turun, meskipun aku yakin dia tahu Hadi datang, dia membuat keributan di depan rumah.

"Hadi pergi, tapi teman perempuanku sampai di depan rumahmu jam lima pagi dan Hadi sudah di sana menunggu Ana keluar. Saat dia keluar Hadi mencegatnya. Temanku bilang itu adalah perdebatan biasa pasangan yang baru putus. Ana sudah mencampakkannya dan Hadi patah hati. Dia memelas padanya, marah dan sedih bergantian. Dan ditengah suara mereka yang makin tinggi temanku dengar Ana bilang pada Hadi hubungan mereka sudah berakhir dan Hadi ga terima.

"Sepertinya Ana ga mau pulang malam itu dan pergi ke rumah Alfon dan Vivi. Tapi Ana ga bermaksud untuk sembunyi, karena dia pulang saat jam makan siang hari Sabtu. Aku ada di sana. Mereka berdebat lagi Ana ga memberinya kesempatan. Akhirnya Hadi pasrah dan terdiam dan saat itulah Ana memegang pundaknya dan menciumnya. Lalu dia memutar tubuh Hadi dan mendorongnya pergi. Ana mulai menangis dan masuk ke dalam rumah. Lalu Hadi pergi.

"Jadi begitulah, Errik, Kami berunding untuk menyusun laporan dan kami membuat kesimpulan Ana memakai waktu seminggu itu untuk menyelesaikan masalah dan hubungannya dengan Hadi. Tanda-tandanya jelas, Meskipun awalnya dia seperti ragu, memutuskan hubungan, lalu kembali lagi. Setelah pertemuannya dengan Alfon dan Vivi-lah Ana benar-benar menyelesaikannya.

"Serius Errik, ini seperti cerita sinetron. Tapi pendapatku pribadi hubungan mereka sudah selesai."

Aku duduk sebentar. "Terima kasih Jimmy. Aku masih merasa bersalah sudah memata-matainya. Aku ga tahu kenapa aku berbuat begitu."

"Kamu perlu tahu apa mantan istrimu masih bersama Hadi. Kamu yang tahu alasan kenapa informasi itu penting buatmu. Aku ga bisa menjawab. Ana wanita yang sangat cantik dan kalian saling mencintai sebelum kamu menghilang. Siapa lagi yang bisa tahu alasannya selain kamu sendiri?"

"Wah, terima kasih," jawabku cukup sinis. "Mungkin dia selesai dengan Hadi karena pria lain itu."

"Pria lain?"

"Yang menjemputnya pulang dari rumah Alfon."

"Oh ya," katanya. "Itu hal lain yang perlu kamu tahu. Aku ragu-ragu untuk mengutarakannya karena ga ada dalam rencana awal dan karena itu aku menganggapnya ga relevan."

"Oh ya?"

"Malam pertama saat Ana datang makan malam dengan Alfon dan Vivi. Asistenmu, Jennifer, juga datang kesana. Dengan seorang pria."

"Oh, itu berita menarik. Siapa dia?"

"Aku ga bisa menjawab itu, Errik. Tapi dia datang dengan pria yang mengantar Ana pulang. Mereka turun dari taksi dan berjalan bergandengan tangan melewati pekarangan, Jenni menyandarkan kepalanya di lengan pria itu. Di depan pintu masuk mereka berciuman agak lama sebelum membunyikan bel."

Aku menatapnya.

"Maaf Errik. Aku pikir kamu punya hubungan khusus dengannya dan kamu harus tahu soal ini."

Aku berusaha mengendalikan diriku. "Terima kasih Jimmy, kamu teman yang baik."

"Sama-sama."

-----

Jam empat sore Jenni datang. Dia muncul begitu saja seolah ga ada yang salah. Dia tahu aku ada di apartment sejak Sabtu sore, tapi dia ga menelepon untuk menanyakan apa aku sudah pulang. Hari ini, Minggu dia datang sore seolah-olah kami sudah janjian padahal tidak.

Aku dengar saat dia membuka kunci pintu depan dengan kunci cadangan yang kuberikan padanya, lalu aku bangkit, mengambil kunciku sendiri dan kunci mobil. Dia masuk dan aku berpapasan dengannya di lorong. Dia tersenyum dan berjalan terus ke kamar tidur.

"Senang akhirnya kamu bisa datang," teriakku. "Anggap saja seperti di rumah sendiri." Dan aku pergi.

Aku pergi, ga tahu mau kemana. Ga berapa lama ponselku berdering. Aku tahu dari siapa. Sayangnya aku ga boleh menerima telepon saat mengemudi, ya kan?. Aku pergi ke rumah Alfon. Telepon terus berdering beberapa kali lalu berhenti.

Aku berhenti di luar rumah Alfon. Lalu aku sadar aku bersikap kekanak-kanakan. Aku menelepon balik.

"Jenni--" aku memulai.

"Errik," dia menangis, "Maafkan aku, aku seharusnya meneleponmu. Tolong pulang. Aku perlu bicara denganmu."

"Oke," kataku.

Aku tiba di apartment beberapa menit kemudian. Dia berdiri di ruang tamu hanya memakai pakaian dalam seksi, bra half cup berenda, celana dalam hitam berenda sepaha, dan gaun tipis melapisi semuanya. Dia tersenyum malu-malu ke arahku, tapi aku ga tersenyum. Ekspresinya berubah jadi khawatir.

"Ada apa, Sayang?" dia bertanya.

"Kemana saja kamu?" Tanyaku dingin.

Dia tersipu malu, ga menjawab. Aku tahu dia ga nyaman berdiri memakai pakaian seksi untuk membangkitkan nafsuku tapi aku ga tertarik dan malah marah.

"Sebaiknya kamu ganti baju," bentakku.

Dia menatapku. Membuka mulutnya untuk bilang sesuatu lalu berbalik ke kamar tidur. Aku duduk menunggu di ruang tamu dan setelah beberapa menit dia muncul lagi berpakaian lengkap.

"Jadi?" Kataku.

Dia duduk di sofa lalu menjawab "Itu pamanku."

"Apa? Apa dia mengejarmu lagi? Bukannya dia sudah lama pergi menghilang?" Pikiran itu mengagetkanku, sudah pasti pamannya ga akan mengantarnya ke rumah Alfon?

"Tolong, biar kuselesaikan dulu," dia memohon. "Hari Rabu Ibu menelepon aku. Paman kena stroke dan dirawat di rumah sakit. Parahnya, dia ga bisa bicara dan tubuh sebelah kanannya lumpuh. Ibu bilang Pamanku ingin ketemu denganku. Ibu bilang itu akan menyelesaikan permasalahan kami. Jadi aku kemarin kesana.

"Aku takut menemuinya di rumah sakit tapi seorang perawat mengantarkanku kesana. Errik, dia kelihatan jauh lebih kecil dari yang kuingat. Mungkin karena usia tuanya.

"Aku cuma berdiri di samping tempat tidur sambil menatapnya. Dia menatapku dan mengeluarkan suara seakan-akan mau bicara. Tangan kirinya menunjuk ke lemari disamping tempat tidur. Ada selembar kertas di sana. Ada satu kata yang tertulis disana, kemungkinan besar ditulis sendiri olehnya dengan tangan kiri karena sangat berantakan. DIa cuma menulis 'maaf'. Aku menatapnya lagi dan dia menangis. Dia tampak sangat menyesal.

"Aku ga tahu kenapa, tapi aku memeluk dan mencium dahinya, dan bilang padanya aku sudah memaafkannya. Errik, kalau bukan karena kamu, aku ga akan bisa memaafkannya. Untuk pertama kalinya aku merasa bebas, benar-benar lega. Dia tersenyum lebar, dan masih kelihatan menyesal.

"Aku duduk disampingnya dan menceritakan semuanya, bagaimana perbuatannya sudah merusakku, bagaimana aku takut pada pria sampai kamu datang. Bagaimana kamu menolongku dari percobaan pemerkosaan di Australia. Dia mendengarkan. Akhirnya dia tersenyum dan tampak lega.

"Pagi-pagi sekali, aku dapat telepon dari rumah sakit yang mengabarkan dia kena serangan stroke kedua. Aku pergi ke rumah sakit dan menemani Ayah dan Ibuku di samping tempat tidurnya. Dia ga sadar, tapi aku memegang tangannya dan membelainya. Sekitar jam sebelas dia pergi dengan tenang.

"Ayah dan Ibu ga tahu harus bagaimana, tapi kamilah satu-satunya keluarganya, jadi aku melakukan yang harus dilakukan, mengurus akte kematian, dan lain-lain."

"Oh," kataku. Apa lagi yang bisa kubilang?

"Errik, kamu marah saat aku sampai di sini. Seharusnya aku meneleponmu."

"Tidak, kamu pasti ga sempat. Aku marah karena kamu ga menelepon dan langsung membuat kesimpulan sendiri."

"Kenapa? Kamu biasanya ga begitu." tanyanya, tiba-tiba khawatir lagi.

"Aku menemukan sesuatu. Aku meminta bantuan Jimmy untuk mengawasi Ana selama seminggu aku pergi bersama anak-anak. Dia juga sedang mengawasi Ana saat dia datang ke rumah Alfon Kamis lalu."

Sekarang dia menunduk, kelihatan merasa bersalah, tapi ga bilang apa-apa.

"Siapa dia?" Kataku. Itu sebenarnya bukan pertanyaan, dan dia tahu itu.

Dia perlahan mengangkat wajahnya memandangku dan menjawab.

"Adrian, adiknya Ana."

"Selamat tinggal, Jenni." Bentakku.

"Errik..."

"Selamat tinggal." Aku mengulangi.

Sekali lagi dia membuka mulutnya, lalu sadar itu bukan ide bagus dan pergi.

Aku marah, lalu sedih, lalu aku merasa bersalah.

Aku merasa sudah cukup banyak dikhianati, dan aku pikir Jenni adalah pertahanan terakhirku. Adrian! Nah, sebenarnya aku sendirilah yang sudah mengarahkan perhatian Jenni pada Adrian. Faktanya Adrian akan cocok untuknya dan Jenni juga cocok untuk Adrian.

Tapi aku tiba-tiba sadar bahwa dia sudah membohongiku. Jenni pasti sudah pernah jalan dengan Adrian sebelum aku liburan. Aku tahu itu, aku sudah merasakan perubahan halus dalam sikapnya.

Lalu teleponku berdering. Kali ini dari Susan, istri Jeffry.

"Errik, ada wanita putus asa yang datang kesini. Apa yang sudah kamu lakukan?"

"Tanya dia."

"Tolong bicara dengannya, Errik."

"Aku ga akan bicara dengan orang yang sudah membohongiku, atau yang selingkuh dariku. Aku agak sensitif soal masalah ini. Saat dia butuh aku, aku memberikan apa yang dia butuh. Dia tahu aku menganggap hubungan kami lebih dari hubungan biasa dan dia juga tahu aku sedikit sensitif soal diselingkuhi."

"Errik, dia merasa bersalah. Tolong bicara dengannya."

"Sudah seharusnya," lalu aku mengalah. "Kalau dia bisa menyetir kembali ke sini, aku akan menunggu." dan aku menutup telepon.



Bersambung... Bab XXIII
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd