Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
bikin side story si Mario donk,, sepertinya bakalan seru karena lebih banyak korbannya
 
“Ahhhhh… Ahhh… Ahhh… Sshhhhh… AHHHH… AHHHH…”

Ragil mendongak, “Bu, jangan kenceng-kenceng dong! Nanti ada yang denger gimana?”

“Ya mau gimana kalo enak?”

Ragil nyengir-nyengir najis.

“Udah cepet lanjutin ah. Bawel!”

Ragil kembali turun mengubek-ubek labia mayor-ku dengan lidah tangkasnya.

***​

Suatu hari minggu rumah makan tempatku kerja tutup guna mempersiapkan menu katering untuk sebuah acara di kantor pemerintahan. Pagi-pagi sekali aku sudah datang ke tempat kerja, kuajak Ragil untuk bantu-bantu. Nanti katanya dia juga bakal dapat insentif dari pak bos. Sebetulnya tanpa diberi insentif pun Ragil akan tetap kuajak, dan dia pasti mau. Semenjak kami hidup layaknya suami istri, setiap malam rajin bersenggama, Ragil semakin nempel kepadaku—sebagaimana aku kepadanya. Setiap kami harus berpisah, meskipun sebentar, rasanya selalu kangen.

Dari pertama datang, Ragil telaten mengatur dan merapikan perabotan rumah makan supaya tempatnya jadi nyaman untuk kegiatan mempersiapkan katering besar. Di rumah pun, sekarang dia yang lebih rajin rapi-rapi daripada aku. Dia yang sering mengomel kalau kondisi rumah agak kurang tertata. Dan tak kusangka anak itu juga ternyata sangat luwes bergaul dengan orang yang lebih tua. Baru sebentar ketemu, Pak Bos langsung asik bercerita ini-itu kepadanya.

Selesai rapi-rapi, Ragil langsung sigap membantuku mengupas bawang.

Sekitar pukul 6 pagi, Pak Bos dan istrinya pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan. Kami ditinggal berdua saja di rumah makan. Anak si Pak Bos yang biasa ngobrol denganku itu sedang berada di luar kota.

Begitu Pak Bos dan istrinya pergi, Ragil langsung saja menatapku dengan tatapan nakal. Tangannya sih tetap mengupas bawang, tapi raut wajahnya itu sudah aneh-aneh.

“Apaan sih? Yang bener kerjanya.”

“Iya, ini bener kok. Emangnya ada salah?”

“Dih. Ngejawab mulu.”

“Emang nggak boleh?”

“Terserah ah.”

Kalau diladeni terus, aku bisa ikut-ikutan sinting.

Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara kulit bawang terkelupas.

“Bu?”

“Hmmmm?” Kutanggapi sekenanya. Aku bahkan tak mau melihat mukanya. Fokusku melihat bawang.

“Ibu…?” Suaranya manja dibuat-buat.

Aku yang sudah sangat memahami apa yang dia pikirkan, akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak mengekeh kecil.

“Apaan sih…?” Senyumku mengambang di bibir, tak peduli seberapa keras aku menahannya,

Saat aku mendongakkan wajah, Ragil—yang duduk di seberangku—sedang nyengir-nyengir sambil menaik-naikkan alisnya. Apaan coba itu maksudnya? Dasar nggak jelas.

“Udah, cepet ker—”

“Bu, mau lagi…”

“Mau apaan? Sarapan?” Aku masih pura-pura bego.

“Iya. Sarapan Ibu.”

“Hah? Apaan sih? Makin nggak jelas aja lu.”

“Ah, Ibu suka pura-pura deh.”

Ini anak memang jadi cerewet semenjak mulutnya itu bersilaturahmi dengan mulut bawahku.

“Ragil tahu kok, Ibu nggak pake celana dalem kan?”

Hah? Sialan!

Aku segera merapatkan bagian selangkanganku.

“Ga sopan banget ih ngintip-ngintip.”

“Siapa yang ngintip, orang kebuka sendiri.”

Ekhm…” sudah lah. “Ya udah, sebenernya kamu mau apa sih? Ngomong yang jelas dong sama Ibu.”

“Mau ngentot Ibu.”

Seketika wajahku memerah. “Kan tadi malem udah.”

“Ya, kan pagi belum…”

“Kamu apa nggak lihat kita lagi ngapain? Kita itu ke sini mau kerja.”

“Ya Ibu kan butuh energi buat kerja. Sini Ragil kasih energinya.”

“Energi apaan kali?”

“Energi peju.”

Kutimpuk dia pakai bawang. “Hush! Ga sopan tau. Kita lagi ngurusin makanan.”

“Ya udah, kalo gitu Ragil aja yang sarapan pakai memek Ibu.”

Anak sialan. Sepertinya tak bisa kubiarkan lagi perilaku tak senonohnya itu.

Kubiarkan sejenak, tak kutanggapi lagi. Biar dia ada kesalnya. Tapi anak ini malah konsisten, seakan-akan sedang menjilati seluruh tubuhku dengan tatapan panasnya itu.

Kulemparkan bawang yang sedang kukupas dan pisaunya. Pura-pura kesal seraya beranjak berdiri.

“Huh! Tahu gini nggak bakal Ibu ajak kamu ke sini.”

“Ah, Ibu suka pura-pura,” timpalnya, sambil mengekek.

“Ya udah. Mau gimana?”

Ragil menarik sebuah meja. Meja pelanggan.

“Ibu duduk aja di sini.”

“Hah? Di atas meja?”

“Iya.”

Ragil menarik sebuah kursi, lalu langsung duduk di situ.

Aku masih bengong. Tapi sebetulnya sudah gatal juga. Ragil menarik tanganku pelan sambil matanya menatapku dan tersenyum. Akhirnya, seperti orang bloon, aku pun menurut saja disuruh duduk di atas meja.

Ragil menyibak rok selutut yang kupakai. Dielus-elusnya kedua pahaku oleh kedua tangannya, sensasi yang kurasakan membuatku menggigil. Atau memang udaranya masih dingin?

Lalu dia tempelkan pipinya di paha kiriku.

“Paha Ibu hangat. Ragil suka.”

Kuusap-usap kepalanya penuh sayang.

Tak lama, kepalanya itu maju, menyambangi hutan belantaraku.

Ahh…!” aku mengerang tertahan ketika kurasakan jari Ragil mulai menyentuh sisi-sisi daerah kewanitaanku. Refleks kupegang kepalanya.

Jari Ragil bergerak memutar di sekeliling labia mayora. Sesekali mengusapi klitorisku.

Ahhhhh…! Ragil! Cepet dijilat dong, katanya mau sarapan?” aku tak sabaran.

Tak menurut, Ragil malah melanjutkan bermain-main pakai jarinya. Setelah puas mengitari sekitar labia mayor, Ragil mulai bergerilya di sekitar dinding dalam vaginaku. Dikorek-korek seperti orang mengorek kuping.

Tanpa sadar tangan kananku mulai menggerayangi dadaku sendiri. Ini benar-benar memalukan sebagai sorang ibu.

Tak lama kepala Ragil menyembul dari balik rok. “Bu, pengen cium bibir atas dulu.”

Tanpa menunggu persetujuanku, Ragil menyosor bibirku. Dan langsung saja lidahnya itu menerobos masuk, mengajak lidahku bersalaman. Kedua tanganku menahan berat tubuhku ke belakang, kedua tangan Ragil juga menahan berat tubuhnya yang condong ke arahku. Ragil menciumku dengan penuh rasa. Seandainya masuk film, adegan ini sebetulnya sangat romantis.

Kecipuk suara bibir kami terdengar jelas karena suasana masih pagi, belum banyak suara lain dari aktivitas orang-orang. Aku sempat khawatir ada orang yang dengar, tapi rupanya cinta ini terlalu indah untuk kutahan-tahan.

Setelah puas ciuman, Ragil kembali menelusup ke dalam rok, dan memulai kegiatan sarapannya.

Pertama-tama dijilat lembut seluruh bagian depan kelaminku. Langsung saja aku refleks memegang kepalanya. Setelah puas menjilat, Ragil menciumi klitorisku dengan sedikit menekan ke depan. Lalu untuk bagian utamanya dia menyedot-nyedot lubang vaginaku dengan begitu antusias seperti orang sedang makan seafood. Terang saja aku keenakan.

“Ahhhhh… Ahhh… Ahhh… Sshhhhh… AHHHH… AHHHH…”

Ragil mendongak, “Bu, jangan kenceng-kenceng dong! Nanti ada yang denger gimana?”

“Ya mau gimana kalo enak?”

Ragil nyengir-nyengir najis.

“Udah cepet lanjutin ah. Bawel!”

Ragil kembali turun mengubek-ubek labia mayorku dengan lidah tangkasnya.

Tak butuh waktu lama, aku pun mencapai orgasme pertamaku hari itu dari permainan lidah Ragil.

Ragil nongol lagi dari balik rok. “Enak kan?” ujarnya sambil mesem-mesem.

Aku pura-pura tak peduli, pandanganku melihat ke arah jam.

“Mungkin setengah jam lagi Bapak sama Bu Adi pulang.”

Ragil ikut-ikutan melihat jam. Kemudian menoleh ke arahku lagi berbarengan denganku menoleh ke arahnya, kami jadi saling tatap. Tak banyak omong, sepertinya kami sama-sama sudah tak tahan. Ragil memerosotkan celana pendeknya. Penis tegangnya sudah menonjol dari balik celana dalam. Ingin kulumat sebetulnya, tapi khawatir tak ada waktu.

“Bu, usap-usap bentar. Dari luar aja.”

“Sini!”

Segera kuusap-usap penuh sayang di sepanjang tonjolan keras itu. Dadaku masih saja berdebar-debar padahal sudah berkali-kali kulakukan.

Selesai mengusap-usap aku sendiri yang memelorotkan celana dalam itu, dan penisnya pun akhirnya terbebas dari kekangan.

Selamat pagi, adik kecil…—yang tidak kecil.

Aku tak bisa menahan senyum. Aroma khas kelamin laki-laki langsung menguar.

Bayangan bahwa kami akan bersenggama di atas meja pelanggan yang besok akan mereka pakai untuk makan membuat ketabuan hal ini jadi meningkat berkali-kali lipat.

Aku maju sedikit supaya selangkanganku bisa diakses dengan mudah oleh si kesayangan. Kakiku pun kubuat mengangkang lebih lebar, agak kuangkat lututku. Nanti kalau sudah mulai menggenjot biar tangan Ragil yang menopangnya.

Sayang seribu sayang. Baru masuk kepalanya saja si kesayangan, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk, dan orang itu memanggil-manggil nama Bapak.

Kami gelagapan. Buru-buru Ragil menarik penisnya, dan cepat-cepat dia pakai lagi celananya. Aku segera turun dari atas meja. Jantungku serasa mau copot, adrenalin berhamburan di sekujur pembuluh darah.

Ternyata yang mengetuk adalah tetangga yang mau kasih jahe pesanan Bapak. Memang sudah langganan Bapak beli jahe sama orang ini. Aku menerima jahe itu dan menyimpannya di dapur. Ragil sudah kembali mengupasi bawang.

Aku kembali duduk di seberang Ragil, juga kembali mengupasi bawang. Kami saling pandang sesaat dan kemudian tertawa. Agak seram memang tadi itu, tapi kalau tidak sampai ketahuan ya lucu juga. Aku cuma kepikiran si kesayangan yang sudah sempat masuk. Kasihan sekali.

“Masih ngaceng ga?” tanyaku iseng.

“Ya nggak lah. Hampir kepergok gitu mah langsung ciut,” jawab Ragil. Kentara sekali dia rada kesal karena tak jadi menggenjot.

Selesai kami mengupasi bawang, Bapak dan Ibu datang dari pasar. Banyak sekali barang belanjaan mereka Ragil langsung sigap membawakan. Mereka juga membeli sarapan, jadi kami sarapan bersama dulu setelah itu.

Proses mempersiapkan katering ternyata sangat panjang dan melelahkan, padahal menunya jauh lebih sedikit daripada kalau buka biasa. Musababnya adalah menu utama, yakni rendang, yang dipesan dalam jumlah banyak. Masak rendang benar-benar butuh ketelatenan dan kesabaran. Kalau tidak ada Ragil yang bantu tenaga, sudah pasti tak akan kuat jika dikerjakan hanya oleh aku, Bapak yang sudah tua, dan juga Ibu yang sudah sering mengeluh pergelangan tangannya sakit.

Disela-sela bekerja, kalau kuyakin aman, aku sempatkan mengusap-usap penis Ragil yang belum tuntas servis-nya itu. Masih dari luar celana sih. Lagipula tidak mungkin kusentuh langsung sebab tanganku sudah berkali-kali memegang cabe.

Pada satu momen ketika kesempatan terbuka lebar karena Bapak dan Ibu sedang keluar sejenak—tapi tidak terlalu lama, hanya sekitar lima menit—kuminta Ragil menggesek-gesek dari belakang. Tujuannya supaya dia cepat keluar.

“Ragil, dry hump aja cepetan, gesekin ke pantat Ibu.”

Ragil segera ambil posisi seperti mau mengentot dari belakang. Tangannya diletakkan di pinggangku. Setelah membetulkan posisi batangnya supaya mengarah ke atas, Ragil segera menggesek-gesek batang itu, atau kadang ia cucukkan meskipun tak bisa betulan masuk karena terhalang celananya dan rok yang kupakai. Ragil melakukannya sambil menciumi punggungku. Aku tak tahu kenapa, tapi setiap main dari belakang dia senang sekali melakukan itu. Untung aku tahan geli.

Ragil meremas-remas dadaku dan gesekan serta tusukannya semakin tidak berirama—tanda mau mencapai orgasme. Sialnya, kudengar suara pintu depan dibuka, Bapak dan Ibu sudah kembali. Gawat ini, masa si kesayangan harus mengalami tanggung lagi?

“Bu, gimana ini?”

“Udah mau keluar belum?”

“Dikit lagi ini.”

“Ya udah, tuntasin aja, kayaknya sempet. Bapak sama Ibu juga masih ngobrol di depan.”

“Kalau gitu sambil cium, Bu.”

“Berisiko banget kalau sambil cium.”

“Tapi pasti langsung keluar kalo sambil cium. Ragil pengen ngemut lidah Ibu.”

Aku segera menoleh ke belakang sebisaku, Ragil langsung menyambut dengan bibirnya. Kami berciuman cepat, dan benar saja di bagian bawah tiba-tiba hujaman penis Ragil menjadi liar.

Tepat ketika kami melepaskan ciuman, Bapak dan Ibu memasuki dapur. Untung saja posisi kami menghadap mereka, tidak menyamping, jadi mereka tidak melihat selangkangan Ragil yang Rapat ke pantatku. Ragil langsung menjauh, tangannya sigap menempatkan memegang pundakku.

“Wah, udah rajin, perhatian pula. Pasti seneng kamu ya, Yun, punya anak berbakti.” Komentar Bapak.

Aku nyengir saja.

“Bapak juga kalau mau dipijit, bilang aja sama Ragil.”

“Wah, bener nih, Gil?”

“Siap laksanakan, Pak.”

Kami semua tertawa setelah itu. Jantungku sebenarnya tidak karuan karena khawatir Bapak dan Ibu ada melihat percumbuan kami.

***​

Tak berapa lama semanjak sering melakukan percumbuan, entah bagaimana kami mengembangkan sebuah kecenderungan—mungkin bisa disebut fetish—untuk melakukan persetubuhan di tempat-tempat umum di mana risiko untuk ketahuan oleh orang lain cukup besar.

Pertama kali kami melakukannya di sekolah Ragil. Biasanya Ragil berangkat ke sekolah naik mobil angkutan umum. Sebetulnya jaraknya tidak terlalu jauh, masih bisa dicapai dengan jalan kaki, hanya saja waktu tempuh jadi sedikit lebih lama. Sejak kami saling bucin, aku jadi sering sekali mengantar Ragil berangkat sekolah berjalan kaki. Sepanjang jalan kami gandengan tangan tanpa malu. Kadang kami sarapan sepiring berdua makan bubur ayam atau apapun itu. Kalau ada temannya yang melihat, mungkin Ragil akan dicap anak mami. Aku pernah menanyakan hal ini kepadanya, tapi dia bilang tidak ambil peduli.

Suatu pagi kami datang terlalu pagi ke sekolah. Suasana masih sangat sepi, belum ada siapa-siapa baik guru maupun murid. Ragil menatapku sambil tersenyum penuh arti, dan aku tahu aku pun sepemikiran dengannya. Ragil menuntun tanganku, membawaku ke dalam ruang kelasnya yang tak ada orang. Begitu pintu ditutup kembali, Ragil langsung menciumku dengan penuh. Aku langsung mabuk saja sepagi itu. Selama lima menit penuh kami hanya berciuman sambil berpelukan. Mesra sekali tak tertolong.

Kemudian Ragil beralih menciumi dan meremas dadaku dari luar. Aku menimpali dengan membelai sayang kepalanya. Kurasakan batang tegang Ragil menyentuh pahaku, aku pun langsung berinisiatif menggerakkan pahaku menggesek batang itu. Alhasil, duselan Ragil di dadaku semakin manja.

Saat sedang asyik-masyuk, tahu-tahu terdengar suara langkah kaki dari luar. Tubuh kami langsung mengalami freeze. Aku dan Ragil saling tatap, bertanya-tanya siapakah itu. Jantungku dagdigdug, tapi Ragil belum mengubah posisinya yang menempel kepadaku. Aku juga masih tak ingin lepas. Kami tunggu sampai suara langkah kaki itu menjauh.

“Kayaknya cuma Pak Penjaga.”

Aku menjawab dengan anggukan dan tersenyum. Ragil membalas senyumku dan kembali mendusel di dadaku. Aku kembali menggerakkan paha kiriku menggesek batang Ragil.

“Gil, Ibu udah pengen.”

Ragil membawaku ke meja paling belakang, aku didudukkan di atas meja itu. Lalu disibaknya rok yang kupakai, digulung sepinggangku. Ragil sendiri segera membuka celana seragamnya, tapi tak dilepas, hanya diperosotkan sampai mata kaki. Ditarik pinggulku maju ke pinggir meja, lalu didorong supaya tubuhku agak miring ke belakang, tujuannya biar posisi selangkanganku lebih terbuka untuk penetrasi.

Ragil menggenggam penisnya, membawanya menghadap lubang vaginaku. Sebelum masuk, kami saling pandang, dan saling tersenyum. Perutku pegal dan geli karena otot-ototku tegang semua. Lalu pandangan kami kembali tertuju pada alat kelamin kami yang hendak bersatu. Sangat kunikmati pemandangan ketika penis Ragil masuk menembus vaginaku. Kenikmatan ini sebetulnya tak bisa dilukiskan, tidak ada kata-kata yang sanggup menanggung keagungannya.

Setelah masuk semua batang penis Ragil, secara bersamaan, seperti ada telepati, kami langsung berpelukan. Kepala Ragil kembali mendusel di dadaku, tapi kali ini sambil alat kelamin kami bersatu. Aku jadi lupa pada dunia karena kini diriku hanya dipenuhi rasa sayang kepada anakku ini. Aku membelai-belai kepala Ragil. Kuciumi rambutnya.

Ragil mulai menggenjot, awalnya pelan, tapi perlahan semakin cepat. Genjotan ritmik yang seperti bernapas. Seperti alam. Aku merasakan persatuan ini tak hanya terjadi antara aku dan Ragil, tapi juga antara kami berdua dengan seluruh alam semesta.

Pagi itu, baik aku maupun Ragil, menyembunyikan semua desahan kami. Yang terdengar hanya suara napas berat. Seakan-akan suara erangan bisa merusak kesucian momen yang sedang terjadi.

Aku beberapa kali mencapai orgasme, tanpa kuberbicara, dan Ragil pun selalu memberi jeda tanpa diminta. Aku pun langsung menyadari ketika kurasakan Ragil hampir mencapai puncaknya. Kupeluk dia lebih erat. Kuciumi pipinya berkali-kali, juga lehernya. Ragil semakin semangat mencapai klimaks.

Ragil pun akhirnya memuntahkan spermanya sampai tuntas. Dinding vaginaku merespon dengan himpitan ketat, seakan mau memastikan tak ada bulir yang tersisa.

Terengah-engah, pagi yang dingin itu terasa sangat hangat bagi kami berdua. Ragil tersenyum, aku ikut tersenyum, lalu dia mengecup bibirku ringan sebelum menarik penisnya dari selangkanganku.

Aku membatin, Oh, jadi begini ya rasanya punya pujaan hati.

***​

Malam hari kami selalu tidur berpelukan. Meskipun tak setiap malam bersenggama, tapi kalau tidur pasti merapat. Kasur double size di kamar selalu terpakai setengahnya saja. Kadang berpelukan saling berhadap-hadapan, kadang Ragil memelukku dari belakang, atau sebaliknya, kadang Ragil kupeluk dari belakang. Benar-benar rasa pacaran.

Aku sering terbangun tengah malam, yang kulakukan hanya membelai rambut Ragil dan menciuminya lembut sampai aku mengantuk lagi. Pernah juga ketika aku terbangun, ternyata Ragil juga terbangun dari tidurnya. Dan dia hanya menatapi wajahku.

“Udah lama kebangun? Kenapa? Mimpi buruk?”

Ragil hanya menggeleng, matanya tetap fokus melihatku.

“Kenapa lihatin Ibu gitu?”

Aku pun jadi menatapnya dalam.

Jeda cukup lama sebelum Ragil kemudian menjawab.

“Ibu cantik banget.”

Kubelai wajahnya.

“Kamu juga ganteng.”

Ragil terkekeh kecil.

“Ih, kenapa?”

“Mana ada sih ibu yang bilang anaknya jelek.”

“Ih, masa sih ga percaya sama omongan ibu sendiri?”

Hehehe…

“Emangnya di sekolah ga ada cewek yang menarik perhatian kamu?”

Ragil menggeleng. “Ga ada yang secantik Ibu.”

“Kamu belajar gombal gitu dari mana sih?”

“Ragil serius, Bu. Bukan lagi gombal. Ibu perempuan paling cantik yang Ragil kenal.”

Aku merasakan ketulusan di dalam kata-katanya. Aku jadi berpikir, apakah semua penderitaan hidupku selama ini demi bertemu dengan laki-laki sempurna ini ya?

Aku memberikan senyum sebagai jawaban perasaan tulus yang Ragil sampaikan.

“Kamu ga mau tidur lagi? Baru jam dua lho ini.”

“Mau.”

“Ya udah.”

Bukannya memejamkan mata, Ragil malah tetap menatapku.

“Kenapa? Mau ngentot dulu?”

Ragil hanya nyengir.

“Ih, bilang dong yang jelas, jangan nyengir-nyengir doang.”

Ragil menggeleng. “Nggak ah. Takut Ibu capek. Tadi kan habis kerja nyiapin katering.”

“Kamu kali yang capek.”

“Enak aja. Ragil kan masih muda.”

“Lho, jadi maksud kamu Ibu udah tua, gitu? Dasar.”

“Hehehe…”

“Jadi gimana, mau ngentot ga?”

“Lho, jangan-jangan Ibu yang pengen?”

“Lah, Ibu mah terserah kamu. Kalau kamu mau, ya ayo.”

“Ragil juga, kalau Ibu lagi mau mah, ya ayo.”

“Ih apaan sih, ga tegas. Jadi laki tuh harus tegas tau.”

“Hehehehe… ya udah, kalo gitu nenen aja deh.”

“Nenen doang?”

“Atau Ibu pengen lebih?”

“Kamu kali.”

“Nggak.”

“Ya udah.”

Aku membuka dua kancing atas piyamaku, lalu mengeluarkan salah satu si kembar. Ragil menatap gundukan itu dengan mata berbinar. Hahaha, kena deh. Pasti konak dia.

“Cepetan. Masa mau dipelototin doang.”

“Tetek Ibu juga cantik.”

Apaan sih?

Ragil mendekatkan bibirnya ke puting susuku. Pertama, hanya dia tempelkan saja mulutnya, tanpa menyedot. Aku refleks membelai kepalanya, baru setelah itu Ragil mulai mengenyot puting yang mulai tegang itu—meskipun tak ada apapun yang keluar.

Awalnya kukira Ragil akan bergerak lebih jauh, tapi ternyata benar, dia hanya ingin nenen. Mulutnya terlepas dari putingku begitu Ragil sudah kembali tidur. Aku memasukkan kembali susu kiriku.

Sebentar.

Ini kan…


Ini kan momen bonding ibu menyusui yang tak pernah kudapatkan dulu. Oh, jadi ini rasanya.

***​

Di malam-malam berikutnya, aku sering meminta Ragil untuk nenen padaku tiap mau tidur. Anehnya, momen nenen ini tidak pernah berubah jadi ngentot. Ragil selalu tertidur kalau nenen, dan aku sendiri jarang sekali mengalami horny. Momen nenen ini sepertinya betul-betul khusus sebagai bonding ibu-anak yang tak sempat kudapatkan karena dulu aku masih ****** dan belum menyayangi Ragil.

Pagi-pagi Ragil sering membuatkan sarapan untukku. Kalau dia bangun lebih awal, biasanya dia langsung beres-beres rumah, mempersiapkan buku pelajaran, dan kalau masih ada waktu dia akan membuatkan masakan sederhana. Kadang juga bikin roti dan teh manis. Aku sering terharu dengan perlakuan Ragil ini. Pernah sampai aku menangis.

Ragil langsung menghampiriku dengan wajah khawatir.

“Ibu kenapa? Ibu sakit?” Ragil cemas luar biasa. Tentu saja, dia pasti kaget aku ujug-ujug menangis di pagi hari.

Aku bukannya menjawab, malah memeluk dia. Tangisanku semakin keras ketika Ragil mengusap-usap punggungku, berusaha menenangkan.

Saat sudah reda, Ragil mengusap pipiku yang basah dengan ujung sweaternya. Dia sudah rapi pakai seragam siap-siap berangkat. Tapi kutahan.

“Ragil, kita ngentot yuk.”

“Hah?”

Tanpa menghiraukan reaksinya yang sedikit kebingungan, aku segera membuka sabuk di celananya, lalu resletingnya, kuperosotkan celana itu, sekaligus celana dalamnya. Penisnya belum tegang betul, tetapi sudah mulai bertumbuh.

“Kamu ga usah ke sekolah ya hari ini. Ibu ga mau pisah sama kamu.”

Setelah melucuti bagian bawah, giliran baju dan sweaternya yang kutanggalkan. Ragil menurut saja sampai akhirnya dia pun telanjang bulat.

Kuraih penisnya yang sekarang sudah tegang sempurna. Kukocok perlahan.

“Sini, sayang, sambil cium Ibu.”

Posisinya aku duduk di tepi ranjang, Ragil berdiri dengan penis tegangnya yang kukocok, lalu dia pun sedikit membungkuk untuk berciuman denganku. Ciuman nan lembut dan dalam.

Tak terlalu lama aku mengocok, karena langsung kuminta Ragil untuk melakukan penetrasi. Aku rebahan, kepalaku disangga tiga bantal, Ragil menggenjotku dari atas. Setelah penisnya masuk sempurna ke vaginaku, kuraih lagi bibirnya dan kami terus berciuman non-stop sampai Ragil ejakulasi. Aku sedikit meneteskan air mata saking emosionalnya. Berbeda dengan momen mengentot di gedung sekolah, ngentot kali ini bersifat lebih panas. Aku mengerang tak ditahan di tengah cumbuan bibir kami.
 
Suatu hari datang kejutan dari masa lalu. Masa lalu yang sudah hampir kulupakan sepenuhnya karena hidupku sudah dipenuhi oleh Ragil.

Pulang dari tempat kerja sore itu, aku mendapati seseorang duduk di kursi beranda rumah. Seorang wanita paruh baya. Ketika melihatku datang ia langsung tersenyum dan hampir berlari hendak memelukku. Aku sempat kaget beberapa saat, tapi begitu dia memelukku, aku langsung ingat.

“Bi Atih…!!!!!”

“Non Yuni…!!!!”

Kami heboh seperti kawan sudah lama tak ketemu—ya memang benar sih. Aku sedikit pangling melihat sosoknya. Sekarang Bi Atih sedikit lebih gemuk dibandingkan bertahun-tahun yang lalu ketika ia melepasku pergi.

Langsung kuajak masuk saja. Banyak sekali yang ingin kami bicarakan, tapi kubiarkan dulu Bi Atih menyampaikan semua hal yang perlu disampaikan.

Sejak kabur dari rumah gedong itu, hanya beberapa kali aku berkirim kabar kepada Bi Atih, terutama waktu aku masih belum dapat pekerjaan. Bi Atih-lah tempatku mencurahkan keluh kesah. Setelah aku mendapatkan kesibukan, dan perlahan kehidupanku dan Ragil membaik, aku semakin jarang berkabar kepadanya.

Bi Atih senang sekali mendengar kabar kehidupanku yang semakin membaik. Lalu dimulailah cerita panjang dari Bi Atih mengenai perkembangan rumah gedong itu. Secara garis besar, ceritanya adalah sebagai berikut:

Tua bangka sangat terkejut waktu pulang mengetahui aku tidak ada di rumahnya. Tapi dia tidak berasumsi bahwa aku kabur. Bi Atih tutup mulut waktu itu. Tua bangka memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mencariku dan Ragil. Mereka tak pernah berhasil menemukan kami sebab aku memang sudah memperhitungkan dengan sangat matang tujuan kaburku. Sebanyak apapun anak buah tua bangka, mereka tak akan menemukan kami di sini.

Singkat cerita, tahun demi tahun berlalu, dan tua bangka masih belum menyerah untuk mencari keberadaanku dan Ragil. Bi Atih hampir saja keceplosan menceritakan bahwa aku kabur sekaligus membocorkan lokasi keberadaanku. Tapi Bi Atih ingin teguh memegang janjinya. Sementara itu, Kukuk & Neti beserta anak-anak mereka saling berseteru di antara mereka sendiri. Sebab utamanya, tua bangka belum juga menetapkan pewaris baru pasca kematian Mario.

Suatu hari, tua bangka sedang ada urusan di Jakarta, tiba-tiba anak buahnya memberi kabar mengejutkan bahwa dia melihat seseorang yang mirip dengan Ragil. Anak buah itu tak betul-betul yakin karena sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi ia tak mau melewatkan kesempatan penting itu. Tua bangka langsung tancap gas, meninggalkan urusan bisnisnya, dan datang ke tempat yang ditunjukkan anak buahnya. Di sana benar dia menemukan Ragil. Itu adalah ketika Ragil ikut lomba tingkat nasional. Tadinya tua bangka hendak menghampiri Ragil, tapi ia urungkan niatnya karena khawatir Ragil menjadi ketakutan dan akhirnya tak mau bertemu dengannya. Tua bangka meminta seorang anak buahnya untuk mengikuti Ragil sampai pulang.

Akhirnya tahu lah tua bangka lokasi kami.

Setelah mengetahui tua bangka tak ada niat buruk kepada Ragil, Bi Atih akhirnya membuka lebar cerita kaburku, termasuk alasan kenapa aku membawa Ragil kabur. Tua bangka sangat terkejut mengetahui bahwa yang bikin Ragil masuk rumah sakit waktu itu adalah ulah kubu Kukuk-Neti. Dia merasa sangat bersalah. (Kurasa seiring bertambahnya usia, tua bangka mulai sedikit demi sedikit menginsafi kehidupannya sendiri.)

Cerita dari Bi Atih membuat tua bangka memutuskan untuk menyerahkan semua harta warisan kepada Ragil. Secara penuh. Tadinya mau dibagi-bagi dengan anak-anaknya yang lain, tetapi begitu mengetahui kebusukan kubu Kukuk dan Neti, tua bangka mem-blacklist mereka semua.

(Hahahaha. Mamam.)

Fakta bahwa tua bangka menemukan Ragil pada momen Ragil sedang mengikuti sebuah lomba tingkat nasional membuatnya bangga bukan main. Belum pernah ada anggota keluarganya yang berprestasi seperti Ragil. Mario itu dulu tukang judi dan mabuk. Tapi tua bangka tak ada pilihan karena dia anak lelaki tertua. Dengan sosok Ragil yang ternyata sangat di atas ekspektasinya, tua bangka jadi tak ragu sema sekali untuk mewariskan seluruh asetnya ke tangan Ragil.

Sampai bagian ini aku masih sulit untuk mempercayai penuturan Bi Atih. Bagaimana mungkin takdir membawa cerita kami ke titik ini? Saat itulah aku percaya bahwa tidak ada kebetulan yang sia-sia dalam kehidupan. Semua sudah ada garisnya meskipun manusia kebanyakan tak mampu melihat garis itu, sehingga banyak sekali dari kita yang terjebak dalam keterpurukan dan keputusasaan.

Terakhir, Bi Atih bercerita bahwa tua bangka saat ini sedang dalam kondisi kritis dan dirawat dengan intensif di rumah. Ia menolak pergi ke rumah sakit dan ngotot untuk tetap tinggal di rumah. Ia bersikeras untuk menghabiskan sisa umurnya di rumah yang telah ia bangun dengan susah payah itu. Satu permintaan terakhirnya adalah untuk bertemu dengan Ragil dan aku. Itulah kenapa Bi Atih langsung berangkat untuk menemuiku.

“Tiket pesawat sudah dibeli, Non. Kalau bisa kita berangkat secepatnya, takut tidak keburu. Den Ragil kapan pulang dari sekolah?”

“Mungkin sebentar lagi, Bi.”

Tak lama Ragil pun pulang. Ia terkejut melihat Bi Atih, tapi akhirnya segera ingat dengan sosoknya. Bi Atih memeluk Ragil penuh haru, tak menyangka Ragil yang dulu ringkih sekarang sudah jadi pemuda yang gagah dan ganteng. Aku bangga luar biasa saat Bi Atih memuji-muji Ragil.

Karena terburu-buru, aku tak sempat menjelaskan apa-apa kepada Ragil, kami langsung berkemas. Satu jam kemudian kami sudah menunggu pesawat di bandara.

Perjalanan dengan pesawat adalah kesempatanku untuk menjelaskan segalanya kepada Ragil. Kubeberkan sejak cerita awal sebelum pernikahanku. (Aku tetap merahasiakan bahwa Mario bapak kandungnya,) Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali bertanya tentang bagian yang tidak dia ingat betul. Aku sangat bersyukur mendapatkan kesempatan menjelaskan kepadanya ketika Ragil sudah punya pikiran yang cukup dewasa. Di bagian-bagian pahit dan berat, Ragil dengan penuh perhatian menggenggam tanganku.

Sampai di Jakarta, sudah ada mobil jemputan yang menunggu. Ragil tampak antusias dalam perjalanan menuju tempat kelahirannya.

Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari ketika mobil memasuki gerbang istana besar yang kutinggalkan bertahun-tahun lalu itu. Tidak banyak perubahan fisik yang terjadi, hanya saja ada lebih banyak kembang dan pohon-pohon kecil. Tapi aku tak begitu bisa memperhatikan karena suasana masih agak gelap.

Begitu pintu depan dibuka, kami langsung disambut oleh banyak orang yang sepertinya menunggu sejak kemarin sore Bi Atih berangkat. Ada beberapa keluarga dan staff. Beberapa staff kukenal, tapi banyak juga yang baru. Semua staff itu menyambut Ragil bak menyambut seorang pangeran. Tidak kulihat Kukuk cs.

Kami langsung dibawa ke kamar utama, tempat di mana tua bangka berada. Di dalam hanya ada seorang perawat yang menunggu dan memonitor keadaannya. Agak emosional juga aku. Meskipun dia hampir tak pernah memperlakukanku dengan baik, tapi kalau bukan karena dia aku tak mungkin bertemu dengan Ragil.

Wajahnya tampak berbeda. Hilang sama sekali raut sangar yang dulu selalu menyertai sorotan matanya. Dia tampak tak berdaya. Kulihat berbagai macam alat bantu medis sudah terpasang di tubuhnya. Mungkin kalau dulu dia sempat bikin kenangan bagus denganku, bisa jadi aku akan menangis melihat kondisinya.

Kusentuh tangannya, lalu kupanggil namanya. Kukatakan bahwa aku sudah di sini, bersama Ragil.

Lalu ada satu momen yang di luar dugaanku. Ragil maju untuk ikut menyentuh tangan itu. Sambil menyentuh, dia bilang…

“Bapak…”

Itulah pertama kali dalam seumur hidupnya dia melontarkan kata itu untuk merujuk pada sosok seorang Bapak. Aku tak menyangka serangan emosional yang kudapatkan gara-gara momen ini.

Lebih dramatis lagi karena setelah mendengar Ragil memanggilnya begitu, tak lama tua bangka pun membuka matanya. Dia melihatku dulu, lalu beralih menatap Ragil, dan dia pun tersenyum—meskipun tak terlihat jelas karena terhalang alat bantu napas.

Tua bangka membalas genggaman tangan Ragil. Kulihat Ragil menitikkan air mata. Wah, kalau sudah begini sih mana bisa aku tidak menangis. Kuusap-usap pundak Ragil dengan kedua tanganku.

Tua bangka memberi isyarat kepada Ragil untuk mendekat. Ragil membungkuk, mendekatkan telinganya. Tua bangka mengucapkan sesuatu dengan lirih, Ragil mengangguk-angguk.

Belakan kuketahui bahwa tua bangka bilang, ‘Bapak minta maaf.’

Kami langsung dipersilahkan untuk istirahat setelah itu. Bi Atih mengantar kami ke ruang kamarku dulu. Ternyata tidak diubah sama sekali karena tua bangka terus berharap kami akan kembali.

Sempat agak canggung. Ragil mengikutiku masuk kamar. Bi Atih bertanya.

“Den Ragil… eh… mungkin mau di kamar sebelah? Udah disiapin.”

“Nggak, Bi. Saya sama Ibu.”

Bi Atih tak bertanya lagi dan meninggalkan kami.

Aku cepat tertidur karena lelah. Tapi Ragil sepertinya tak bisa tidur.

***​

Waktu sarapan pagi semua keluarga sudah berkumpul di meja utama, meja makan. Kursi paling besar milik tua bangka kosong. Posisi duduk di meja makan menentukan hirarki politik di dalam rumah gedong. Ragil dan aku ditempatkan di kursi tepat di samping kiri kanan kursi utama. Dulu kursi itu ditempati oleh Kukuk dan Neti.

Anggota keluarga—yakni paman, bibi, dan sepupu Ragil secara formal—semuanya antusias bertanya tentang kehidupan kami. Rupanya ada juga salah satu sepupu itu yang waktu itu ikut lomba tingkat nasional, tapi dia sejak awal tak begitu kenal dengan Ragil, jadi tidak menyapa. Mereka semua menunjukkan perangai baik kapada kami. Tentu saja karena mereka sadar posisi politik kami yang paling tinggi saat ini.

Di tengah percakapan seru, datanglah Kukuk & Neti bersama rombongan, yakni anak-anak mereka. Terlihat sekali mereka sangat enggan bergabung. Mereka bahkan tidak melihat ke arah aku dan Ragil. Obrolan berhenti sejenak sampai mereka duduk. Mereka duduk di kursi terjauh dari kursi utama—menandakan posisi mereka yang paling rendah saat ini. Obrolan lalu berlanjut, dan mereka seperti tidak dianggap.

Selepas sarapan, aku bergabung dengan Bi Atih, membantunya beres-beres. Bi Atih awalnya sangat menentang. Kalau sampai tua bangka tahu, katanya, dia bisa-bisa dipecat. Tapi aku ingin ngobrol karena sangat kangen dengan Bi Ati. Akhirnya Bi Ati mengizinkan setelah kukatakan bahwa dirinya sekarang kembali mengabdi padaku lagi. Kami ngobrol sepuasnya seperti dua saudari.

Sementara itu, Ragil menemani tua bangka. Berdua saja dia dengan tua bangka di kamar utama itu. Suster yang kebagian piket jaga diberi istirahat. Selama tua bangka tertidur, Ragil terus menunggui di sampingnya sambil membaca buku. Buku-buku yang dulu kubeli untuk menghabiskan waktu luang.

Karena perangai Ragil yang sangat bagus, perlahan kesehatan tua bangka membaik. Semakin sering dia mengobrol dengan Ragil, semakin pulih dia. Ragil sangat pandai mengobrol dengan orang yang lebih tua. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana dia bisa sepandai itu. Sepertinya memang ada bakat khusus.

Hanya dalam waktu dua minggu, tua bangka pulih total. Dia kembali bisa duduk di singgasana utamanya di meja makan. Pagi itu dia buat pengumuman di hadapan semua orang, bahkan semua staff rumah diminta berkumpul.

“Setelah sekian lama, saya akhirnya menemukan permata yang selama ini dicari-cari. Inilah putraku yang paling saya banggakan.” Tua bangka menepuk pundak Ragil. “Mulai saat ini, segala urusan yang tidak bisa saya handle secara langsung, akan saya serahkan kepada Gus Ragil.” Aku hampir tersedak ketika tua bangka menyebut Ragil begitu. Ternyata sifat halu dan bangga dirinya belum hilang betul. Tapi kalau kuingat-ingat, tak pernah dulu si Mario disebut ‘Gus Mario’. Ini menandakan kualitas Ragil yang memang sangat tinggi sampai-sampai tua bangka jadi halu begitu. “Ragil akan ikut saya bekerja mulai hari ini. Dia akan belajar langsung semua seluk beluk bisnis keluarga. Kelak, semua aset perusahaan akan saya serahkan kepada Ragil. Sementara itu untuk urusan rumah, sepenuhnya saya serahkan kepada istriku tercinta, Nyonya Yuni. Semua staff di rumah ini, mulai detik ini, dikomando langsung oleh Yuni. Mengerti?”

Kuperhatikan wajah Kukuk dan Neti seperti udang rebus. Merah padam menahan gejolak. Aku tak tahu apakah hidup bisa lebih manis dari ini?

***​

Dua minggu Ragil mengikuti ke mana pun tua bangka pergi, mengurusi bisnisnya yang besar dan luas. Dia bahkan sempat diajak ke Belgia, dan aku kecipratan diajak juga. Pertama kalinya kami ke luar negeri. Aku tak menyangka tanjakannya akan setajam ini.

Tepat satu bulan setelah kedatangan kami kembali ke rumah gedong itu, tua bangka meninggal dunia karena serangan jantung. Dia meninggal saat hendak pakai baju seusai mandi pagi. Rumah gedong itu penuh sesak dengan orang melayat. Semua kolega bisnis dari berbagai penjuru dunia datang.

Sekretaris pribadi, orang kepercayaan tua bangka, memperkenalkan Ragil kepada semua orang sebagai pewaris tunggal semua lini bisnis tua bangka. Meskipun di tengah kesedihan yang mendalam (sebab Ragil menganggap tua bangka sebagai bapak kandungnya), kharisma kedewasaan tak bisa ditahan memancar dari sosok Ragil. Semua orang memuji betapa Ragil memang paling pantas jadi penerus utama bisnis keluarga.

Selama seminggu penuh Ragil menjadi komando utama mengurus semua prosesi berkabung. Aura kepemimpinannya tak diragukan lagi. Semua urusan tertata dengan rapi. Aku bahkan sempat pangling, apa benar ini Ragil anakku, bukan seorang pemuda gagah yang jatuh dari langit?

Setelah semua prosesi berkabung selesai, rumah kembali sepi. Kebijakan pertama Ragil sebagai bos baru adalah memberi libur kepada semua staff rumah. Kebijakan yang disambut gagap gempita oleh mereka karena memang selama seminggu sebelumnya mereka bekerja sangat keras. Ragil juga tak lupa memberikan insentif kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka tidak cinta kepadanya? Aku saja pusing sekali merasakan cintaku yang meluap-luap ini.

Semua staff pulang kampung kecuali Bi Atih karena memang Bi Atih orang sini.

Pagi itu Ragil bangun kesiangan. Aku terbangun jauh lebih dulu. Kulihat wajah tertidurnya, dia benar-benar kelelahan. Aku segera bergegas menyiapkan sarapan. Bi Atih yang hampir mulai masak, langsung kucegat.

“Biar saya aja, Bi. Pokoknya mulai sekarang makanan buat Ragil cuma saya yang boleh masak.”

Jam sembilan aku selesai memasak. Kubawa di atas nampan. Saat masuk ke dalam kamar, Ragil ternyata sudah bangun. Dia sedang duduk di atas kasur, memandang ke arah jendela.

“Pagi sayang. Udah bangun?”

Ragil menoleh kapadaku dan tersenyum. Lalu kembali menatap ke arah jendela.

“Sarapan dulu. Nanti boleh tidur lagi kalau kamu masih capek. Kamu kerja keras banget seminggu kemaren. Harus istirahat yang bener.”

Kuletakkan makanan di meja dekat ranjang. Lalu aku duduk di sampingnya.

“Kamu lagi mikirin apa? Kok kayaknya serius gitu.”

“Bu.” Ragil berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.

“Kenapa? Cerita aja sama Ibu. Cerita apa yang kamu khawatirkan.”

“Apa Ragil bisa mengelola semua aset Bapak?”

“Maksud kamu perusahaan?”

“Iya. Ragil kan belum lulus SMA, Bu. Apa Ragil bakal sanggup memimpin perusahaan sebesar ini?”

Aku luput menyadari bahwa sehebat apapun dia, anakku ini masih di usia yang sangat muda. Aku jadi merasa bersalah karena membebankan semua ini kepada Ragil tanpa bertanya dulu kepadanya.

“Ragil kan nggak sendiri. Ada Ibu. Ada Bi Atih. Ada Pak Mahfud juga yang siap bantu Ragil apapun.”

Ragil cuma menanggapi dengan senyum tipis. Tentu saja rasa khawatir yang dia rasakan begitu besar. Aku mungkin tak mengalaminya langsung, tapi aku bisa menebak betapa seriusnya semua bisnis yang ditinggalkan tua bangka ini. Bukan hanya dari segi skala, tapi juga jerat kejahatan yang ada di dalamnya. Aku yakin hal itulah yang paling membebani Ragil.

“Ibu janji nggak akan pernah biarin Ragil berjuang sendiri. Apapun yang terjadi, Ibu selalu sama Ragil. Ibu bakal dukung Ragil dengan sepenuh daya dan upaya yang Ibu punya. Kalau Ragil mau berjuang di sini, Ibu akan dampingi Ragil sampai akhir. Pun, kalau Ragil memutuskan untuk ngelepas semua ini dan memilih jalan untuk Ragil sendiri, Ibu juga akan selalu temani Ragil. Ke mana pun itu.”

Ragil menatapku sangat dalam setelah aku mengatakan itu. Cintanya kepadaku terpancar tanpa kata-kata. Lalu Ragil tiba-tiba rebahan di pangkuanku. Kubelai-belai kepalanya penuh sayang.

Dalam kegiatan membelai itu, tiba-tiba ada sekelumit rasa yang menyengat sekujur tubuhku. Sebuah rasa yang kekuatannya sangat dahsyat. Sebuah rasa yang merupakan insting mendasar tubuhku.

Selama sebulan lebih ini, karena kesibukan dan peristiwa besar yang terjadi, kami tidak sempat ngentot sama sekali meskipun selalu tidur seranjang.

Saat itu memekku berkedut-kedut gelisah. Tapi aku tak mungkin langsung minta ngentot. Malu sekali rasanya. Apalagi aku tahu suasana hati Ragil sedang gundah. Tapi tunggu dulu, bukankah seks bisa menjadi penyembuh hati yang gundah?

Di sela-sela membelai, kucium kening Ragil. Tak ada protes darinya. Tapi aku mau pelan-pelan saja meskipun faktanya vaginaku sudah meronta-ronta.

“Kamu capek banget ga sih?” aku bertanya di sela-sela menciumi keningnya.

“Nggak kok. Ragil kan masih muda. Hehehehe.”

“Cih. Basi banget bercandaan kamu.”

“Ibu sendiri capek nggak?”

“Ibu mah ga ngapa-ngapain, ngapain capek?”

“Lho, siapa tahu? Kan Ibu udah tua.”

Kucubit hidungnya. “Jangan jadi anak durhaka kamu ya.”

“Mana ada anak durhaka sepinter Ragil.”

Kujitak keningnya—tentu saja dengan penuh sayang. “Pinternya anak itu nurun dari ibunya tau. Jadi kamu itu bisa pinter gara-gara Ibu.”

Hahahaha… itu hoax tau, Bu. Ga masuk akal secara genetika. Kecerdasan itu kan multifaktor, ga mungkin ditentukan dengan cara sesimpel itu.”

“Tuh. Tuh. Mulai ngelunjak ya ini anak.”

Kukelitiki ketiaknya. Ragil lebih mudah merasa geli daripada aku.

Hahahahaha. Hahahaha. Ampun, Bu. Ampun.”

Ketika sedang berusaha melepaskan diri dari tanganku itulah, tangan Ragil tak sengaja menyentuh susu kananku, dan dia langsung berhenti, aku juga langsung berhenti mengelitiki.

Hening. Hanya suara saling berdehem-dehem tak tahu harus melanjutkan bagaimana. Sebenarnya aku sudah sange berat, tapi sepertinya Ragil belum. Aku merasa tersiksa harus menahan diri.

“Kamu mau refreshing ga?”

“Refreshing ke mana?”

“Ga usah kemana-mana.”

“Maksud Ibu?”

“Ya refreshing, tapi ga usah ke mana-mana.”

Ragil berpikir sejenak. Apakah dia belum menangkap maksudku? Rasanya tidak mungkin. Bukankah dia itu pintar?

“Ya udah, ayo.”

“Hah?” Jawabannya di luar dugaanku.

“Ya, ayo. Katanya mau refreshing di sini.”

Aku jadi gelagapan. “Ekhm. Mmm-m-m-m-maksud Ibu… eh… itu…”

Ragil mesem-mesem. Kalau sudah gini aku yakin sebenarnya dia paham. Anak ini sedang mempermainkanku. Ini tak boleh dibiarkan. Harus KUdidik dengan tegas.

Peduli setan. Langsung kulumat saja bibirnya. Ragil agak kaget juga kuserang tiba-tiba, tapi langsung mengimbangi. Kini aku tahu bahwa dia juga sudah di ujung tanduk menahan konaknya. Buktinya, waktu kupegang, batang penisnya sudah keras maksimal.

Kami berciuman sambil berguling-guling di atas kasur, saling menindih, saling membelai, saling menekan selangkangan. Tangan Ragil tak lupa aktif meremas payudaraku. Tanganku tak mau kalah mengusap-usap penisnya. Kami sudah mulai lupa daratan bahkan sebelum buka baju sama sekali.

Tak lama, saking sudah tak tahan, kami melepaskan ciuman secara bersamaan tanpa dikomando. Lalu, juga tanpa dikomando, kami melucuti pakaian kami masing-masing secepat kilat. Dalam sekejap aku dan Ragil sudah sama-sama bugil di atas kasur.

“Mau siapa yang genjot?” tanya Ragil.

“Ibu aja. Ibu di atas ya.”

Ragil langsung berbaring terlentang. Penisnya mengacung tegak lurus.

“Ibu boleh emut dulu ga? Kangen banget.”

“Cepet ya, Bu. Aku juga kangen sama memek Ibu.”

“Mau enam-sembilan?”

“Ga usah, Ibu aja sepong punyaku, tapi jangan lama-lama.”

Aku segera ambil posisi dan langsung mengenyot sambil mengocok penis tagang anakku itu. Sedang khusyuk begitu aku mana sadar kalau pintu kamar kami sedikit terbuka, cukup untuk seseorang bisa mengintip. Sepasang mata melotot tak berkedip melihat aku mengoral penis Ragil sambil bugil.

Sesuai arahan Ragil, tak lama-lama aku mengemut kontolnya. Cukup sampai penuh dengan lendir air liur saja. Aku langsung mengangkangi anakku itu, hampir terburu-buru kubawa penisnya masuk ke lubang vaginaku.

“AHHHHH…!”

“MMHHH…!”


Aku dan Ragil sama-sama tidak bisa menahan erangan.

Kudiamkan sejenak karena ingin menikmati pesetubuhan suci ini yang rasanya sudah jutaan tahun tak kudapatkan. Kedua tangan Ragil menggenggam kedua tanganku. Aku pun mulai perlahan menggerakkan pinggul naik-turun.

Kupejamkan mata demi menghayati gesekan yang terjadi di setiap inchi lapisan dinding memekku dengan setiap inchi batang kontol Ragil.

“Ahhh…! Ahhhh…! Hmmmmmhhhhh…! Ahhhhh……!”

Enak banget, Gusti…


Saat membuka mata, kulihat Ragil sedang memandangku dengan raut wajah super sange maksimal. Aku tak tahan langsung kubawa turun wajahku dan kujemput bibirnya. Kami berciuman lagi, dan sepertinya tak mau lepas. Kedua tangan kami tetap saling menggenggam.

Genjotanku semakin cepat.

“Ah! Ah! Ah! Ah! Ah! Ah! Ahhhhhhhh! Mmmmhhhhhhh!”

Lagi-lagi tanpa berkomando, kami berdua sama-sama memutuskan untuk saling berpelukan. Aku merangkul Ragil erat di pundaknya, Ragil memeluk punggungku. Pinggulnya pun ikut menggenjot dari bawah. Suara teplokan selangkangan kami saja sudah sangat keras, dan mungkin bisa terdengar sampai ruang sebelah. Ditambah suara erangan yang tak kutahan-tahan.

Baik Ragil maupun aku, semakin mempercepat hujaman kedua kelamin kami. Pertanda puncak akan segera tercapai. Dalam momen, seperti selalu, di mana waktu dan ruang tak lagi kurasakan, di tengah peluh bercucuran, ditingkahi oleh erangan erotis ibu dan anak, dalam balutan rasa cinta yang tak terjangkau batasnya, dalam kemesraan paling dalam ini, akhirnya kami berdua merasakan orgasme secara tepat bersamaan.

Ragil menghujam-hujamkan penisnya sedalam-dalamnya sebanyak empat kali, memastikan semua benihnya masuk ke dalam rongga vaginaku.

Kami berdua terengah-engah. Ragil tersenyum sumringah, beda 180 derajat dengan saat tadi aku hendak mengantar makanan. Dia seperti mendapatkan kekuatan dan kepercayaan diri tambahan yang membuatnya akan mampu menaklukkan apapun. Aku bangga bahwa akulah yang memberikan hal itu kepadanya—lewat tubuh dan memekku.
 
PENUTUP

Ragil memutuskan untuk tetap mengelola perusahaan. Dia juga tetap melanjutkan sekolahnya dengan mengulang satu tahun. Ragil mungkin siswa SMA paling sibuk, karena sepulang sekolah dia langsung dijemput dan dibawa ke kantor. Malam hari minimal jam 10 dia baru bisa pulang ke rumah. Tidak jarang Ragil harus bolos sekolah. Tapi anehnya nilai ujian dia tetap tinggi.

Kadang sebagai ibunya aku tidak tega melihat dia diforsir seperti itu. Tapi ini pilihan Ragil yang harus kuhormati. Setiap malam sepulang dari kantor aku selalu memijitnya meskipun Ragil kerap menolak. Tak lupa juga selalu kutawarkan apakah dia ingin mengentotku malam itu. Aku selalu siap sedia. Sejak kuputuskan memekku menjadi tempat peraduan kontol Ragil yang harus siap siaga setiap saat, aku mengikuti program KB.

Lulus SMA Ragil memutuskan untuk fokus terjun mengurus perusahaan selama 3 tahun. Banyak sekali hal yang dilakukan Ragil di perusahaan. Dia melakukan perombakan total untuk meminimalisir jejak kecurangan yang sebelumnya dibiarkan begitu saja, bahkan disokong, ketika era tua bangka berkuasa. Banyak anak perusahaan yang dibubarkan, atau dimerger, tapi ada juga anak perusahaan baru yang dia buat. Bukan tanpa halangan Ragil melakukan itu semua. Tentu saja banyak sekali orang yang tidak menyukai cara kerja Ragil yang adil dan jujur, tetapi tak sedikit juga orang-orang yang mendukung Ragil sepenuhnya.

Setelah dirasa kondisinya sudah lumayan lebih aman dan nyaman, Ragil pun mendaftar untuk kuliah di kampus terdekat. Lucunya, ketika hendak mendaftar, dia malah didatangi pihak rektorat dan dijamu langsung oleh sang rektor. Rektor itu bilang bahwa Ragil bisa langsung masuk kuliah di jurusan mana pun yang dia mau, tanpa tes dan printilan administrasi lainnya. Langsung masuk kelas aja.

“Mau masuk jurusan apa, Gus? Nanti langsung saya panggilkan dekannya ke sini.”

Ragil memilih jurusan Hubungan Internasional. Besoknya dia langsung berada di dalam kelas, mengikuti perkuliahan yang sudah berjalan hampir tiga bulan. Jadi Ragil ini dimasukkan ke angkatan sebelumnya, bukan angkatan yang tahun itu mendaftar.

Ragil lulus dengan cepat. Tanpa hambatan. Mungkin masalahnya cuma waktu, kenapa waktu harus ada dan bergulir begitu cepat. Itulah pertengkaran besar pertamaku dengan Ragil.

“Sayang, kamu ga mau cari pacar di kampus?” tanyaku untuk kesekian kalinya.

Ragil selalu tidak suka kalau aku membahas soal ini, tetapi aku tak punya pilihan. Aku semakin tua, sedangkan Ragil akan segera memasuki usia paling primanya.

“Atau mau Ibu kenalkan dengan anaknya teman-teman Ibu?”

Ragil masih tak menggubris.

“Jawab dong.”

Aku memang menyebalkan karena ngotot bertanya begitu. Ragil emosi dan menggebrak meja.

“BERAPA KALI AKU HARUS BILANG? AKU GAK BUTUH ORANG LAIN! AKU GAK BUTUH PACAR! APALAGI ISTRI! KALAU IBU MEMANG CAPEK NGURUSIN AKU…” matanya berkaca-kaca, dan aku sangat menyesal karena telah melukai hatinya, membuatnya salah paham, “… AKU BISA HIDUP SENDIRI!”

Aku langsung mengutuki diriku sendiri yang bodoh. Segera kupeluk Ragil dari belakang.

“Nggak, sayang, maksud Ibu bukan gitu. Maafin Ibu ya.”

Malah aku yang duluan menangis.

“Ibu cuma takut Ibu udah nggak cukup baik buat kamu. Ibu nggak mau kamu terkekang karena perasan gak enak sama Ibu. Kamu masih muda, kamu sempurna, kamu dambaan semua orang. Ibu takut ngehalangin jalan kamu, Nak.”

Ragil berbalik, lalu diusapnya air mata di pipiku.

“Maafin Ragil tadi ngebentak Ibu.” Nada bicaranya sudah kembali menjadi lembut.

Gantian Ragil yang memelukku, dielus-elusnya kepalaku.

“Ibu… Ragil ga butuh apa-apa di dunia ini selain Ibu. Bahkan kalau semua kekayaan ini hilang seketika, Ragil ga peduli selama masih ada Ibu. Ini persaaan sebenarnya yang Ragil punya.”

Aku masih sesenggukkan di dadanya—sekarang Ragil sudah lebih tinggi daripada aku.

“Eh… Maafin Ragil ya kalau selama ini Ragil terlalu sibuk dan jarang merhatiin Ibu.”

Aku seketika berhenti menangis. Kutatap Ragil dengan wajah cemberut dan pandangan sebal.

“Lama banget sih nyadarnya. Emang laki-laki itu begitu ya. Kalau sudah gila kerja pasti ga tau diri.”

Ragil tersenyum. Diangkatnya wajahku, lalu dicium lembut bibirku.

“Ibu sendiri kok ga terus terang. Padahal bilang aja sih kalau Ibu kurang ngentot.”

Setelahnya kami main beronde-ronde di ruang kerja. Sampai tengah malam. Beberapa staff rumah asik mengintip persetubuhan kami. Mereka bahkan bergantian. Setiap selesai satu ronde, penontonnya akan berganti.

Hidup memang seaneh itu.

TAMAT
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd