Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
Ceritanya di lanjut mbak...happy ending bersama pram.....tp bumbu ceritanya mantan suami rindi kena karma dlm pernikahan ke duanya...
Kalo mantan suami Rindi kena karma, jadi kek sinetron dong bang.. rasanya jadi kek gimana gitu..

Pasti ada moment itu sih, tapi gak tau bisa disebut karma atau enggak.. mungkin lebih ke bagaimana cara kita memaknai moment itu..

Idenya emang menarik sih kalo tentang karma ini, terkait dgn pernikahan ke-2 mantan suami Rindi, emang sempet aku kepikiran kayak gitu, tapi karena base on real story, dan kejadian yg sesungguhnya rada anu gimana gitu.. akhirnya ide itu di ubah dikit..

Mungkin sih.. ada feel karmanya di moment itu.. tapi sekali lagi, bagaimana cara kita memandang atau berpikir tentang moment yang akan datang itu.

Kira2 gitu ya bang...

Makasih bang :ampun:
 
Marathon bacanyaa dr awal, ajib bener.. saya ngarepnya sih happy ending sampe bener² bahagia seutuhnyaa.. yaa sampe nikah gitu.. biar lega bacanyaa
 
Part 2



Rindiani

Hujan semalaman menyisakan genangan air disepanjang jalan yang kami lalui saat hendak menuju ke kampus Pram. Keadaan dirumahku pun sama parahnya, karena ketinggian air telah mencapai garasi dan menggenangi lantainya.

Dan ketika surut, yang tersisa hanyalah genangan lumpur yang terserak di lantai.

“Nanti setelah selesai registrasi, saya pulang dulu, bersihkan garasi.” kata Pram dibelakang stir mobil.

“Untung aja hujannya berhenti, kalo gak airnya bisa masuk ke rumah.” balasku.

Aku sedang memperhatikan suasana disepanjang jalan yang kami lalui ketika ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal tertera dilayar ponselku. Suara sapa ramah seorang wanita terdengar di ujung telpon. Wanita memperkenalkan diri dan menyampaikan informasi bahwa hari ini aku diundang untuk melakukan wawancara kerja jam sembilan pagi ini. Wanita tersebut pun memberikan alamat kantornya padaku sebelum akhirnya mengakhiri percakapan.

“Akhirnya… ibu mulai dapet kerjaan yang sesungguhnya.” guman Pram.

“Iya.. moga aja ibu bisa ngerjain pekerjaan itu.”

“Untuk posisi apa bu?”

“tadi katanya sekretaris.” jawabku.

“Ooo.. itu sih mudah kok bu, apalagi kalo bosnya gak rewel.”

Sedikit banyak, aku mengetahui profil perusahaan yang mengundangku untuk melakukan wawancara tersebut. Si pemilik perusahaan tersebut merupakan salah satu orang kaya di negri ini. Ia memiliki beberapa perusahaan yang tersebar di berbagai daerah di negara ini. Dan di kota pelajar ini, ia memiliki usaha perhotelan.

“Nanti ibu mau ke warung dulu, mau ijin buat hari ini.” kataku lagi.

Pram mengangguk, sambil tersenyum ke arahku.

“Pasti ibu bakalan sibuk banget.” gumannya.

“Iya, tapi pasti pulang kerumah juga kan? Pasti tetap ketemu sayang juga.”

Tak terasa, akhirnya kami sampai di kampus Pram. Suasana mulai terlihat ramai, karena hari ini adalah hari terakhir resgistrasi ulang untuk seluruh mahasiswa sebelum memulai semester baru, walaupun wajah-wajah familiar belum nampak sama sekali.

Sesampainya di warung, aku langsung meminta ijin pada ibu si pemilik warung, dan ia dengan senang hati memberiku waktu untuk memenuhi panggilan wawancara tersebut.

“Semoga sukses mbak Rindi..” kata si ibu sebelum aku beranjak pergi.

“Amiinnn.. makasih doanya bu.”

Saat kembali berjalan menuju ke parkiran, aku bertemu dengan lelakiku dan Topan, mereka sedang bercakap-cakap ketika aku menghampiri.

“Topan.. apa kabar?”

“Baik mbak, sehat. Mbak gimana?”

“Sehat juga. Yang lain belum pada dateng?” tanyaku.

“Kayaknya sih udah pada pulang dari mudik, cuman belum ke kampus. Paling bentar lagi pada nongol.” jawab Topan.

Sejenak aku melirik jam yang melingkar di tangan Pram. “Ya udah, ibu tinggal dulu ya Pram. Nanti ibu jemput kalo ibu udah selesai.” kataku pada Pram.

Pram mengangguk pelan.

“Mbak Rin mau kemana?” tanya Topan.

“Ada panggilan wawancara kerja.”

“Wah wah.. moga sukses mbak Rin.”

“Aminnn.. makasih Topan..”

“Ya udah mbak tinggal dulu ya. Pram, ibu tinggal dulu yaa.. doain ibu.”

Pram tersenyum dan mengangguk.

Hampir setengah jam kemudian, aku telah berada di lobi hotel, tempat untuk melangsungkan wawancara pekerjaan. Seorang wanita muda berparas cantik menyambut kedatanganku.

“Mbak Rindi ya?” sapanya ramah.

“Iya mbak.”

“Ya udah, langsung masuk aja mbak, mas Bayu yang mau wawancara mbak udah ada di ruangannya.”

Wanita itu mengantarkanku memasuki hotel tersebut hingga kedepan sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Setelah mengetuk pintu dan mendengar jawaban dari dalam ruangan, kami memasuki ruangan tersebut.

Bayu, kepala bagian HRD menyambut kedatanganku dengan berdiri dibelakang meja kerjanya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku.

Kusambut uluran tangannya dengan senyum dan kami pun berjabat tangan dengan erat.

“Saya tinggal dulu pak.” kata wanita yang berdiri disampingku.

Setelah mempersilahkanku untuk duduk, Bayu membuka file lamaran pekerjaan yang pernah kukirimkan.

“Sudah berkeluarga.” gumannya pelan sambil meneliti berkas lamaranku.

“Kalo semisal harus kerja ekstra time, bisa?” tanyanya.

“Bisa pak..”

“Suami dan anak gimana? Suami gak keberatan??” tanyanya lagi.

Akhirnya aku berterus terang dengan keadaan keluargaku, aku berkata sejujurnya tentang keadaanku saat ini dan Bayu mendengarkan kisahku dengan seksama.

“Saya turut prihatin.” katanya sambil menutup file lamaran pekerjaanku.

Selanjutnya Bayu menjelaskan tentang detail pekerjaanku dan dibagian akhir menyebutkan nominal gaji yang akan aku terima. Aku sama sekali tak keberatan semua hal itu karena aku membutuhkan pekerjaan tersebut.

“Kita ke ruangan kerja mbak. Biar mbak bisa lihat secara langsung.”

Bayu mengantarkanku ke sebuah ruangan lain yang berada di lantai satu. Saat Bayu membuka pintu ruangan tersebut, pemandangan didalamnya membuatku terkagum-kagum karena sangat rapi dan memiliki fasilitas yang lengkap.

“Ini meja mbak Rindi.” kata Bayu sambil melangkah ke meja kerja yang ia tunjuk.

“Yang ini meja ibu bos.” katanya lagi sambil kembali melangkah ke arah meja kerja di ujung ruangan tersebut.

“Bos kita jarang ada disini. Selalu berpergian keluar kota, ngecek usaha-usaha lain yang masih berada dibawah kendalinya. Jadi, biasanya mbak Rin kerja disini sendirian. Teorinya, mbak Rin sekretaris, tapi dalam kenyataannya, mbak Rin adalah penanggung jawab jalannya pekerjaan disini, karena semua instruksi, pesan, semua arus kegiatan pekerjaan disini kami laporkan ke mbak Rin, lalu mbak Rin laporkan ke beliau. Singkatnya, mbak Rin berperan sebagai sekretaris merangkap wakil beliau.”

Aku mengangguk dan memahami apa yang Bayu katakan. Sebuah tanggung jawab yang besar bagiku, apalagi sebelumnya aku belum prrnah bekerja, miskin pengalaman dalam dunia kerja.

“Nah, ini kamar mandinya.” kata bayu lagi sambil menunjukkan sebuah ruangan lain. Aku menggelengkan kepala setelah melihat kamar mandi tersebut. Sebuah bath-up berukuran sedang berada disana, benar-benar sebuah kemewahan bagiku.

“Khusus untuk mbak dan bu bos, kalo mau sarapan atau makan, di café yang terletak di rooftop. Atau bisa juga di food counter lantai dasar. Terserah. Bebas aja mau pilih makan dimana.” katanya lagi.

“Untuk seragam gimana pak?” tanyaku.

“Nanti diatur oleh Irma. Mungkin minggu depan baru bisa mbak Rin dapatkan.”

Sambil berjalan menuju ke lobi hotel, Bayu memperkenalkanku pada beberapa karyawan dan karyawati yang juga bekerja disana.

“Kita ngobrol sebentar, mumpung pekerjaan saya sudah selesai. Mbak ada waktu?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan sambil mengikuti langkahnya menuju ke deretan sofa yang tersedia di lobi.

“Posisi yang mbak duduki sekarang sudah agak lama kosong. Ada beberapa calon pengganti yang sudah mencoba mengisi posisi ini, tapi belum ada yang cocok dengan ritme kerja bos kita.”

“Dua hari yang lalu ibu menelpon saya dan meminta untuk menghubungi mbak Rin. Nama mbak Rin terpilih atas saran dari pak Sandi. Pasti ibu kenal dengan pak Sandi.”

Mendengar penuturan Bayu, tentu saja aku terkejut, ternyata Sandi memiliki andil yang cukup besar untuk pekerjaan yang akan kujalani.

“Iya, saya kenal mas Sandi.”

“Pak Sandi itu, dulu teman kuliah bos kita. Saya masuk kerja disini juga atas rekomendasi pak Sandi kok mbak.”

“Dan ibu bos biasanya meminta pertimbangan dari orang-orang yang ia kenal sebelum merekrut seorang karyawan. Salah satunya mas Sandi.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan mendengar cerita Bayu.

“Bos kita ini wanita workaholic, jadi mbak harus kuat. Harus siap mental. Sekretaris yang dulu bertaham cukup lama, dan berhenti bekerja setelah menikah.”

“Bos kita galak pak?” tanyaku pelan.

Bayu tertawa pelan, lalu menengok ke sekeliling kami.

“Banyak yang bilang galak, judes, keras, aneh, dan istilah-istilah lainnya. Tapi kalo menurut saya pribadi, beliau orang yang profesional dan punya kemampuan leadership yang mumpuni. Lagipula, wajar saja jika banyak yang gak suka dengannya, karena beliau hanya ingin agar usaha ini semakin maju dan berkembang. Disiplin, tanggung jawab, loyalitas. Itu kuncinya mbak.”

“Jangan khawatir mbak Rin, kerja disini enak kok. Emang sih, kadang pasti ada rasa bosan, jenuh, capek, tapi itulah seninya bekerja. Yang penting berusaha semaksimal mungkin agar semua pekerjaan kita beres.”

“Iya pak.” jawabku singkat.

“Kalo tentang jam kerja, jam kerja mbak kebanyakan lebih panjang. Lembur, apalagi saat musim liburan.”

“Kalo bos kita lembur, kadang ya gak pulang kerumah. Dia tidur dikantor, disofa.”

“Benar-benar workaholic.” gumanku.

Bayu mengangguk pelan.

“Oh iya, kadang ada meeting dengan klien yang harus mbak lakukan kalo bu bos gak ada disini. Tapi jarang banget. Sesekali aja.”

“Kalo saya kerja pakai jilbab gapapa pak?” tanyaku.

“Gapapa mbak, yang penting pakaian formal dan layak untuk bekerja. Seragamnya nanti ada dua macam juga, yang jilbab dan yang biasa. Terserah mbak mau pilih yang mana.”

“Mungkin nanti saya pilih yang jilbab pak, gapapa?”

“Iya, gapapa mbak. Disini ada beberapa teman yang pakai jilbab juga, dan gak masalah kok.”

“Oh iya, ngomong-ngomong, mas Sandi kok tahu saya kirim lamaran kesini?” tanyaku.

“Kalo tentang itu, sepertinya ibu bos yang terlebih dahulu menghubungi mas Sandi dan menanyakan tentang sosok mbak Rindi, karena dalam resume tertera alamat rumah mbak, yang sepertinya masih satu wilayah dengan mas Sandi.”

“Ooo gitu.. ngomong-ngomong bapak udah lama kerja disini?”

“Lumayan mbak, dan masih betah kerja disini.”

“Sudah lama saya gak ketemu mas Sandi. Gimana kabarnya beliau? Maaih ngajar dikampus?”

“Beliau masih ngajar pak. Dan masih betah ngajar dikampus.”

Bayu tertawa mendengar jawabanku. “Okelah.. Saya harus kembali bekerja. Sekarang mbak boleh pulang dan beristirahat untuk mempersiapkan diri. Salam buat mas Sandi kalo mbak ketemu beliau.”

“Iya pak. Saya juga mengucapkan terima kasih karena diberi kesempatan untuk bekerja disini.” balasku.

“Saya hanya menjalankan tugas kok mbak, ibu bos yang memutuskan memanggil mbak untuk mengisi posisi tersebut.”

Aku mengangguk pelan sebelum akhirnya Bayu pamit undur diri.

Dalam perjalanan pulang menuju ke kampus, masih ada satu pertanyaan yang menggantung dalam pikiranku, yaitu bagaimana mungkin aku yang terpilih untuk mengisi posisi prestisius seperti itu padahal aku belum memiliki pengalaman apapun. Apakah karena keberuntunganku? Atau karena peran Sandi? Entahlah. Semuanya terasa janggal dan tidak masuk akal bagiku.

Namun, apapun itu, aku memang sangat membutuhkan pekerjaan itu, dan seberat apapun tanggung jawab yang akan kupikul, harus kujalani dengan kesungguhan hati.

Impian untuk bekerja, memiliki penghasilan sendiri hampir menjadi kenyataan, walaupun hal ini merupakan imbas dari keretakan rumah tanggaku. Aku tak punya pilihan lain selain harus hidup mandiri, demi hidupku dan demi buah hatiku, Nova.

Sesampainya dikampus, aku tak menemukan satupun wajah-wajah yang kukenal diantara kerumunan para mahasiswa yang kembali dari masa libur. Mungkin mereka tengah disibukkan dengan urusan kampus sebelum perkuliahan dimulai.

Aku melanjutkan langkah menuju ke warung, dan ketika sampai disana, aku sempatkan diri untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada ibu pemilik warung karena telah menerimaku bekerja disana.

Terasa sedih karena walaupun belum genap sebulan bekerja, tempat itu adalah sebuah batu loncatan bagiku dari keterpurukan.

“Ibu doakan mbak Rindi sukses diluar sana.” guman si ibu sambil tersenyum.

“Iya bu, terima kasih. Dan maaf gak bisa bantu ibu lagi.”

“Gapapa mbak, ibu ngerti kok.”

Si ibu menyerahkan sebuah amplop sambil menyalami tanganku.

“Ini gaji mbak.” gumannya.

Aku berusaha menolak pemberian si ibu, namun ia bersikeras dan langsung memasukkannya kedalam tas yang terselip dipinggangku.

“Kalo ada waktu, sering-sering mampir kesini mbak.” kata si ibu saat aku hendak melangkah pergi.

“Iya bu, saya pasti mampir kok, pasti masih sering main kesini.” balasku, lalu melangkah pergi.

Satu langkah telah telah kulalui dengan baik, batu pijakan yang akhirnya mengantarkanku ke langkah berikutnya. Semua karena Pram, lelaki muda yang sejauh ini berperan sebagai sosok pembuka jalan dalam lembaran hidupku yang baru.

Tepat saat melewati lorong dalam gedung kampus, aku bertemu dengan Sandi, sosok yang telah membantuku untuk mendapatkan pekerjaan.

Dari kejauhan, ia tersenyum sambil terus melangkah ke arahku.

“Siang mbak Rindi.” sapanya dengan ramah.

“Siang mas.”

“Oh iya, makasih atas rekomendasinya. Saya bisa bekerja mulai besok. Dan mas Sandi dapat salam dari pak Bayu.”

“Oh, jadi sudah interview?”

“Sudah mas, pagi ini. Dan besok mulai masuk lerja.”

“Sebenarnya saya gak tahu kalo mbak Rin melamar kerja di hotel itu. Ibu Carina yang menelfon saya. Beliau pikir saya mengenal mbak Rin karena kita tinggal di wilayah yang sama.”

“Oh iya mas, makaaih banyak ya mas.” kataku lagi.

“Saya juga gak tahu kalo posisi sekretaris disana lagi kosong. Kalo saya tahu, pasti saya rekomendasikan ke mbak Rin.”

Aku mengangguk pelan sambil mengawasi sejumlah mahasiswa disekitarku.

“Semoga sukses dengan pekerjaannya mbak.” kata Sandi lagi sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Amiinnn.. mas Sandi juga. Semoga sukses jadi pengajar dan bisa jadi rektor.” balasku.

Sandi tertawa sambil menggelengkan kepala lalu melangkah pergi, menuju ke ruang kerjanya.

Dari kejauhan, dua wanita yang sangat kukenali melambaikan tangan sambil berlari pelan ke arahku. Kulangkahkan kaki menuju ke arah mereka sambil tersenyum.

Nina dan Rita, dua wanita teman sekampus Pram merentangkan tangan sambil terus melangkah ke arahku.

“mbaaakkkkkkkkkk Riinnnnnn Kanggeeeeeennnnn.” kata Rita sambil memelukku dengan erat.

“Kangen banget…” timpal Nina sambil ikut memelukku.

“Iya.. mbak juga kangen kalian…” balasku sambil berusaha memeluk kedua wanita tersebut.

Selanjutnya, kehebohan diantara kami membuat suasana lorong kampus menjadi semakin ramai. Benerapa pasang mata memperhatikan tingkah kami, namun Rita dan Nina tampak cuek dan tak memperdulikannya.

“Kalian sehat? Gimana liburannya??” tanyaku sambil melangkah diantara mereka menuju ke bagian depan kampus.

“Sehat kok mbak, cuman ya itu.. liburnya kurang lama.” sahut Rita.

“Kurang lama? Tadi katanya kangen sama mbak, berarti kan liburnya udah lama dong.” jawabku.

“Kurang lama buat enak-enak sama cowoknya tuh mbak Rin.” balas Nina.

Aku tertawa keras mendengan celoteh Nina sementara Rita tersenyum malu.

“Maklumlah Nin.. namanya juga LDR..” balas Rita.

“Paling enggak, udah sempet ketemu kan?” tanyaku.

“Ya udah dong mbaaakkkk..” jawab Rita cepat.

Dari arah belakang, Pram, Topan dan Deva menyapa kami.

“Praaammmmmmm… aku kangeennnnn..” teriak Rita saat melihat Pram telah berdiri dibelakang kami dan langsung memeluk tubuh lelakiku.

Pram sedikit terkejut dan tak mampu menghindar. Ia hanya berdiri mematung dengan tatapn keheranan terhadap kami.

“Udah udah… lo kangen apa horni sih? Meluknya gitu amat.” protes Topan.

“Boooodddoooooo aaammaatttt… sirik aja lo celengan bambu.” balas Rita sambil terus memeluk Pram.

Dan seperti yang sudah-sudah, gelak tawa pun akhirnya pecah dan membuat suasana semakin ramai.

“Rit.. mbak Rindi aja gak meluk Pram lhooo.. kok malah kamu yang jadi manja sama Pram?” tanyaku.

“Namanya juga kangen.. benerapa hari gak ketemu. Kalo mbak Rindi kan ketemu tiap hari, kelonan tiap malam.” jawabnya dengan suara sedikit keras sehingga terdengar oleh beberapa mahasiswa lain yang kebetulan berkumpul tak jauh dari tempat kami berkumpul.

Tanpa banyak kata, aku langsung mencubit pinggangnya dengan sedikit keras karena gemes dengan tingkahnya.

“Kamu ini yaaahhhh.. emang paling usiilllll.” gumanku sambil mencubit pipinya.

Rita menjerit dan berusaha membebaskan pipinya dari cubitanku sementara yang lain tertawa melihat tingkah kami.

“Eh, ngomong-ngomong, Galang belum balik dari liburan??” tanya Topan.

“Kayaknya sih belum, biasanya kan kita selalu ngumpul semua kalo habis liburan.” sahut Rita sambil melepaskan pelukannya pada tubuh lelakiku.

“Dia mau cuti semester ini. Ada masalah keluarga katanya.” timpal Nina.

“Masalah apa Nin? Kok harus sampai cuti??” tanya Pram.

“Ayahnya sakit, jadi dia harus bekerja untuk menghidupi keluarganya.”

Pram menggelengkan kepala, sementara Topan dan Deva nampak sedikit terkejut dengan apa yang Nina katakan.

“Padahal semester ini kan tinggal skripsi aja.” sambungku.

“Sekarang Galang dimana?” tanya Topan.

“Di kost.”

“Padahal aku pengen kita lulus bareng, wisuda bareng.” guman Nina.

Kami terdiam sejenak, dan bagiku, aku bisa merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung oleh Galang. Ia bahkan harus merelakan kuliahnya tertunda demi keluarga.

“Pram, dan teman-teman semua. Gimana kalo kita bantuin Galang?” kataku, memecah keheningan.

“Aku juga pengennya begitu mbak, tapi belum sempet ngomong sama Galang. Aku bener-bener pengen nolongin dia. Aku berhitang budi sama Galang.” kata Nina kemudian.

Pram dan Deva menatapku, seakan menanti kelanjutan ide yang telah kuberikan.

“Kalo kalian gak keberatan, kita bantuin Galang dengan cara ngumpulin duit semampu kita, buat bantuin keluarganya.” kataku.

Mereka nampak setuju dengan usulku karena menganggukan kepala.

“Ok. Gue setuju.” kata Topan semangat.

“Iya, aku juga.” sambung Nina.

Rita dan Deva hanya mengacungkan jempol sebagai tanda setuju dari mereka.

“Kita harus lulus bersama-sama, wisuda sama-sama.” guman Pram sambil menatap Nina.

Sekali lagi kami menganggukan kepala.

Pram mengeluarkan ponsel dari saku celana sambil melangkah menjauh dari kami, Pram sedang menghubungi seseorang dan terlihat begitu serius dalam pecakapannya.

Karena penasaran, akhirnya aku menyusul lelakiku dan berdiri disampingnya. Pram menggengam jemariku saat melihatku ada disisinya sambil terus mendengarkan suara di ujung telpon.

Ia lantas menggunakan pengeras suara agar aku pun bisa mendengarkan percakapan mereka.

“Mbak sudah percaya sama kamu, jadi kamu bebas mau pakai uang itu untuk keperluanmu, untuk apapun kebutuhanmu. Ingat satu hal, lain kali telpon mbak kalo urusannya darurat atau sangat penting! Mbak lagi sibuk, jadi jangan telpon kalo cuman urusan begini doang! Telpon mbak kalo kamu sudah punya pacar atau pacarmu sudah hamil! Paham??!!"


Setelah mengucapkan kalimat tersebut, sambungan telfon itu pun langsung diputuskan oleh perempuan tersebut, Calya.

Pram menatap heran ponselnya sambil menggelengkan kepala. Sama halnya denganku, terheran-heran dengan apa yang baru saja aku dengarkan sambil menatap ponselnya.

“Mbak Aya ngeri banget.” gumanku.

Pram hanya menghela nafas panjang, lalu mengajakku kembali bergabung bersama teman-teman lainnya. Ia tetap menggengam jemariku dengan erat dan melepaskannya saat kami telah berkumpul dengan yang lainnya.

“Semester ini, Galang harus tetap kuliah. Kita bantu dia.” kata Pram.

“Aku bantu bayar uang kuliahnya semester ini.” sambung Nina.

“Kita sama-sama, kita semua, bukan hanya Nina.” timpal Deva.

Selanjutnya, aku hanya bisa ikut mendengarkan diskusi mereka tentang nominal uang sebagai biaya perkuliahan semester akhir, dan mereka pun nampak antusias dalam usahanya membantu salah satu sahabat mereka.

“Mbak juga pengen ikut bantu Galang, boleh?” tanyaku pada mereka.

“Ya boleh dong mbak. Silahkan..” sahut Rita.

“Sekarang kita ke kost Galang. Hari ini batas akhir registrasi ulang, dia harus tetap kuliah.” kata Nina penuh semangat.

Rita dan Nina ikut bersamaku dan Pram menggunakan mobil, sedangkan Topan dan Deva menggunakan sepeda motor.

“Kalian kalo naik mobil duduknya emang berjauhan gitu ya?” tanya Rita dari belakang.

“Maksudnya gimana sih Rit?” tanyaku bingung.

“Ya jauhan kayak gitu..harusnya kan nempel kayak perangko.”

Nina tertawa pelan, ia mengerti bahwa keusilan Rita telah dimulai.

“Ini kan lagi dimobil Ritaaaaa… gak mungkin juga mbak mbak duduk dipangkuan Pram kan??” protesku.

“Ya bisa dong, mbak dipangku Pram, sambil nyetir.”

Pram menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Kumat.” gumannya pelan kemudian.

“Enakan dipangku kalo udah dirumah, disofa, sambil telanjang.” balasku.

“Haaaahhhh????” sahut Rita terkejut.

“Waaaaaa…. Pasti asikkkk.. apalagi sambil di…”

“Sssttoopppppp…. Udaaahhhh… !” potong Nina cepat.

“Bentar lagi mau nyampe kost Galang, jangan ngomongin jorok dulu, kita bantuin teman kita dulu.”

Pram kembali tersenyum.

“Sukuriinn” guman Pram pelan.

“Iyaaaa kakakkuuuuuu sayang..” balas Rita sambil bermanja-manja dipundak Nina.”

Sesampainya di tempat tujuan kami, Nina segera keluar dari mobil dan mengajak kami memasuki pekarangan kost tersebut. Kami mendapati Galang tengah bersiap-siap untuk pergi entah kemana, dengan tas ransel dipunggungnya.

“Galang..” sapa Nina dari kejauhan. Galang pun menoleh ke arah kami dan memandangi kami satu persatu dengan penuh keheranan.

“Mau kemana?” tanya Nina lagi.

“Mau ke kampus.” jawab Galang singkat.

“Duduk dulu yuk..” kataku kemudian.

Galang segera membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan kami untuk masuk. Tak berapa lama kemudian, Topan dan Deva pun datang.

“Mbak Rin aja yang ngomong.” kata Nina.

Semua mata tertuju padaku, dan aku tak punya pilihan lain selain harus memulai pembicaraan hasil diskusi kami tadi. Galang pun menatapku dengan penuh tanda tanya.

Akhirnya, aku menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara pada Galang, sebuah pengalaman unik pertama untukku.

Galang dan teman-teman lain ikut mendengarkan apa yang aku ucapkan, mereka semua terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dijelaskan.

“Terima kasih teman-teman.” kata Galang setelah aku selesai berbicara.

“Kalian memang teman-teman yang sangat baik. Tapi saya terpaksa menolak bantuan kalian.

“Kenapaaa??” tanya Nina.

Galang menundukkan wajah, raut sedih terlukis jelas di wajahnya.

“Keluarga saya membutuhkan saya. Saya tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja hanya karena kuliah ini.”

Aku beralih tempat, dan duduk disamping Galang.

“Iya, kami paham kok. Tapi menurut mbak, rasanya sayang banget kalo semester akhir ini harus tertunda. Ini tahap akhir, ini fase terpenting.” kataku sambil memegang pundaknya.

“Keluarga saya butuh saya mbak. Bapak saya lagi sakit. Selama ini, dia adalah tulang punggung keluarga.”

“Dengan menyelesaikan semester ini, kamu bisa wisuda. Bisa lulus, dan mencari pekerjaan yang lebih baik untuk membantu keluargamu. Jadi kamu harus tetap melanjutkan kuliah.”

Galang menghela nafas. Aku yakin ia memahami apa aku sampaikan.

“Lo jangan khawatir tentang keluarga lo, kita semua siap membantu.” kata Topan.

“Iya bang, kita kan udah kayak saudara, udah saling kenal sejak masuk kuliah, jadi kita sama-sama cari jalan keluar yang terbaik.” timpal Rita.

“Tetap melanjutkan kuliah sih opsi jangka panjang yang terbaik.” sambungnya.

“Jangan khawatir bro, kita semua siap membantu.” sahut Deva.

Dengan lembut aku memegamg pundak Galang. Ia tertunduk lesu dan tak mampu berkata-kata. Aku yakin Galang sedang dalam kebimbamgan untuk mengambil keputusan.

“Jangan khawatir soal uang.” guman Pram yang sedari tadi hanya berdiam diri.

“Saya yang akan bertanggung jawab terhadap keluargamu.” sambungnya.

“Gue juga.” timpal topan.

“Tuh bang.. denger tuh..dan bukan cuman Pram sama Topan aja. Aku sama Nina sama Deva juga siap membantu kok.” sambung Rita.

Galang masih tertunduk lesu, raut wajah sedih masih terlukis disana.

“Biaya hidup keluarga. Biaya kuliah, skripsi. Jumlahnya terlalu banyak.” gumannya pelan.

“Iya, mbak tahu kok, mbak ngerti. Tapi kami semua siap membantu. Jadi jangan khawatirkan soal uang.” kataku untuk meyakinkannya.

“Aku berhutang budi sama kamu Lang. Kalo gak kenal kamu, mungkin aku sudah gak kuliah, udah gak punya masa depan. Nah sekarang aku mau membantu semampuku, mau membalas kebaikanmu dulu.” kata Nina.

Galang mengangkat wajahnya dan menatap Nina sambil menggelengkan kepala.

“Ini ada duit empat juta dari gue sama Deva. Lo pakai buat registrasi kuliah semester ini.” kata Topan sambil meletakkan setumpuk uang dihadapan Galang.

“Besok, lo harus tetap kuliah.” sambungnya.

“Untuk keluargamu, nanti saya yang atur tentang keuangannya. Jangan khawatir.” kata Pram kemudian.

Sekilas, kulihat mata Galang memerah. Aku yakin ia sangat tersentuh dan terharu dengan kepedulian teman-temannya.

“Udah, buruan ke kampus buat registrasi ulang, mumpung belum tutup.” kata Deva.

“Ayo, aku temenin, kata Nina sambil melingkarkan tangan di lengan Galang.

Sudut matanya memerah, aku yakin, galang sangat tersentuh dan terharu dengan kepedulian teman-temannya.

= = =

Jika saja kita selalu memiliki kepedulian terhadap sesama, sekecil apapun, tentu saja akan membuat irama kehidupan tetap terjaga, atau setidaknya mengurangi beban penderitaan orang lain.

Pram dan teman-temannya telah menunjukkan hal tersebut, melakukan sesuatu yang sangat berarti untuk seorang teman yang mereka kenal.

Pertemanan yang terbentuk pun pun bukan hanya sekedar jalinan dalam keadaan senang, namun ikut memikul dan merasakan rasa hati. Dalam susah dan senang, saling menjaga satu sama lain agar harmoni kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya, itulah esensi persahabatan yang sesungguhnya.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.

Terima kasih :rose:
 
RINDIANI The Series – Seri 11
Dream Come True



Rindiani


Part 1


Waktu terasa cepat berlalu, dan tibalah hari rabu, hari dimana kami harus mengantarkan Nova pulang ke rumahku karena esok, Pram harus melakukan registrasi ulang sebelum perkuliahan semester baru dimulai.

Sedih, berat rasanya harus kembali hidup terpisah dengan buah hatiku. Hal yang sama pun dirasakan oleh lelakiku, Pram. Sepanjang malam ia tidur disisi Nova, memanjakannya dengan usapan-usapan lembut hingga putriku terlelap.

Perhatian penuh ia pusatkan pada Nova, membuatku merasa senang dan bahagia. Aku kagum pada sifat dan sikapnya, penerimaannya terhadap kehadiran Nova ditengah hubungan kami.

Sedikit banyak, ia lebih memperhatikan Nova, memanjakannya, daripada terhadapku. Ia benar-benar mencoba untuk membahagian Nova dan aku memahaminya, memakluminya. Pram bahkan tidak mengajakku untuk bercinta, atau sekedar menggodaku.

Percintaan terakhir kami terjadi hari senin, dan selanjutnya tidak ada kegiatan seks diantara kami, hingga saat ini. Sesekali aku mencoba menggodanya, namun Pram hanya tersenyum lalu kembali mencurahkan perhatiannya pada Nova. Pram benar-benar lelaki idamanku.

Sepulang kerja, aku dan Pram langsung berangkat, dan hampir jam empat sore, kami tiba dirumah kedua orangtuaku.

Senyum sumringah terlampir diwajah mereka ketika melihat Nova dalam gendonganku. Mereka sangat merindukan sang cucu, yang selama beberapa waktu belakangan telah menemani dan menghibur mereka.

Sepertinya Nova pun merindukan kedua orangtuaku, karena saat melihat keduanya, Nova mengulurkan tangannya, meminta ibuku untuk menggendongnya. Tentu saja ibuku langsung menyambut uluran tangan mungilnya.

“Pak, bu, kami gak bisa berlama-lama disini. Soalnya bu rindi belum istirahat. Tadi pulang kerja langsung berangkat kesini.” kata Pram setelah meletakkan tas berisi pakaian Nova di ruang tengah.

“Kalian gak makan malam dulu? Atau paling enggak, minum dulu, baru pulang.” jawab ibuku.

“Iya, duduk dulu sebentar. Istirahat.” sambung bapak.

Merasa tak enak hati dengan tawaran kedua orangtuaku, akhirnya Pram dan aku duduk sejenak diruang tengah, ditemani bapak dan ibu, serta Nova yang masih menikmati dekap hangat ibuku.

“Pram mau minum apa?” tanyaku.

“Air putih aja bu.”

Kutinggalkan mereka sejenak, melangkah menuju ke dapur. Diatas meja makan, tergeletak beberapa sisir buah pisang yang hampir menguning, sementara diatas meja dapur, beragam sayuran segar berjejer rapi.

Setelah meraih sebotol air mineral dingin dan gelas, aku kembali ke ruang tengah.

“Sayurannya masih segar. Ibu tadi belanja?” tanyaku.

“Itu dikasih tetangga nak. Mereka panen hari ini, dan kita dikasih.” jawab ibu.

“Pisangnya juga?”

“Itu pisang dari kebun kita sendiri. Tadi bapak kesana, kebetulan pisangnya sudah matang, jadi bapak bawa pulang.” jawab bapak.

Kutuangkan air putih kedalam gelas dan menyerahkannya pada Pram.

“Pak, nanti saya minta pisangnya ya, saya bawa pulang.”

“Dibawa pulang aja, dikebun masih ada satu tandan lagi yang mungkin minggu depan sudah matang.” jawab bapak.

Nova masih larut dalam dunianya bersama ibuku, sehingga tak begitu memperdulikan kami. Sesekali kukecup pipinya dengan gemes hingga membuatnya risih dan berusaha menjauhkan wajahku darinya.

Hampir jam empat sore, aku dan Pram meninggalkan rumah bapak ibuku, dengan membawa beragam sayur mayur dan pisang.

“Pram sukanya makan buah apa?” tanyaku sambil mengupas pisang.

“Saya suka rambutan bu.”

“Pas banget, dikebun bapak ada pohon rambutan yang buahnya manis banget.”

“Kalo yang dihalaman rumah itu, gak terlalu manis sih.” sambungku.

Kuserahkan pisang yang telah kukupas pada Pram, lalu kembali mengupas lagi untuk diriku sendiri.

“Enak.. manis banget” gumannya setelah mencicipinya.

Aku mengangguk, setelah ikut mencicipinya.

Tak banyak yang kami bicarakan selama perjalanan pulang, sehingga akhirnya aku tertidur karena tubuhku terasa lelah. Pram merendahkan sandaran jok yang kududuki dan membiarkanku beristirahat.

Cukup lama aku tertidur hingga kurasakan sebuah ciuman dibibirku. Pram melumat bibirku dengan lembut, satu tapak tangannya menempel erat di pipiku. Perlahan, kubuka mataku dan mendapati wajah lelakiku dihadapanku.

“Kita sudah sampai rumah.” gumannya lembut sambil mengusap pipiku.

Kuusap pipinya dengan lembut, dan Pram kembali melumat bibirku. Aku hanya berdiam diri, memejamkan mataku dan menikmati ciumannya. Tak sedikitpun aku balas melumatnya, aku hanya sekedar ingin menikmati ciumannya.

Setelah beberapa saat, ciuman itu terhenti dan Pram menjauhkan wajahnya dari hadapanku.

“Ibu lanjutin istirahat dikamar aja ya.” katanya.

Waktu menunjukkan pukul enam sore saat aku kembali merebahkan tubuh diatas kasur. Sekaali lagi, Pram melumat bibirku, lalu mengecup keningku dengan mesra. Ditutupinya tubuhku dengan selimut, lalu meninggalkan kamar tidur, memberiku waktu untuk beristirahat.

Pram benar-benar membuatku KO setelah menyetubuhiku pagi tadi. Ditambah harus bekerja dan menempuh perjalanan untuk mengantarkan Nova pulang, aku benar-benar merasa kelelahan.

Namun, aku cukup beruntung, karena Pram sangat mengerti keadaanku. Ia memberiku waktu, membiarkanku beristirahat sepuasku.

Hampir tengah malam, akhirnya aku terjaga dari tidurku. Pram telah tertidur pulas disampingku. Aku tersenyum bahagia melihat lelakiku terlelap begitu damai disampingku. Dengan gerakan perlahan, aku turun dari ranjangku, lalu beranjak ke sisi ranjangku yang lain dimana Pram berbaring.

Kubenahi selimut yang menutupi tubuhnya lalu mengecup pipinya dengan lembut.

Aku sedang mengusap tubuhku dengan sabun ketika Pram menyusulku ke kamar mandi. Ia telah melucuti seluruh pakaiannya dan langsung memelukku dari arah belakang.

“Kok bangun sih sayang?” tanyaku sambil menjulurkan kedua tangan ke arah belakang dan menapakkan kedua tangan dipantatnya, merapatkan himpitan tubuh kami.

“Saya juga belum mandi bu.”

“Ibu kok udah bangun? Saya kira tidurnya sampai pagi.” sambungnya sambil mengusap perutku hingga kebagian paha serta kemaluanku.

“Ibu laper.. jadi kebangun.”

“Rencananya mau masak, makan, habis itu tidur lagi.”

Pram mengecup pipiku sambil meremas lembut payudaraku.

“Gak usah masak bu. Kelamaan. Nanti kita beli makan diluar aja. Saya juga lapar.” jawabnya.

“Lhoo.. sayang juga belum makan?” tanyaku lagi.

“Belum bu. Gak enak mau makan sendiri. Mau makan sama-sama ibu aja biar asik, biar enak.”

Mendengar jawabannya, aku langsung memutar tubuh, menghadap ke arahnya dan melingkarkan tangan di lehernya. Kulumat bibirnya dengan lembut dan penuh rasa.

“Ya udah, kita mandi dulu, habis itu beli makan” jawabku kemudian.

Pram mengangguk, lalu membantuku mengusap seluruh bagian tubuh dengan sabun. Setelah selesai, giliranku menyabuni tubuhnya. Sesekali aku menggodanya dengan mengocok batang penisnya yang mengeras dan Pram lelakiku hanya tersenyum, lalu membalasnya dengan mencubit putingku.

Pelukan dan ciuman silih berganti menghiasi moment kebersamaan kami dikamar mandi. Hanya sekedar candaan dan ungkapan rasa hati, bukan aksi panas mengumbar birahi.

“Sayang kan masih muda, kira-kira ini masih bisa tambah gede lagi gak sih?” tanyaku sambil berlutut disampingnya dan mengocok penisnya.

“Gak tau bu.” jawabnya singkat.

“Emang kurang gede ya?” tanyanya.

“Ini udah gede banget lhoo.. panjang lagi.. kayak di film-film porno.”

Pram tertawa, lalu menuntunku untuk berdiri dan melumat bibirku. Satu tangannya mengusap lembut kemaluanku, membuatku merinding sekaligus terangsang.

“Ibu udah sering ngerasain, tapi tetap aja gak bosen kok.” gumanku setelah tautan bibir kami terlepas.

Dikamar tidurku, aku kembali memperhatikan tubuh telanjang lelakiku. Sambil duduk ditepian ranjang, aku tersenyum memandangi Pram yang tengah asik memilih pakaian untuk ia kenakan dilemari pakaian kami.

“Kok senyum-senyum?” tanyanya heran ketika mendapati aku tengah tersenyum sambil memperhatikan tubuhnya.

“Gapapa sayang..” jawabku singkat lalu berdiri dan menghampirinya.

“Senang aja lihat sayang."

Pram kembali memeluk erat tubuhku. Berkali-kali keningku dihadiahinya dengan kecupan mesra.

“Sekarang pakai baju, trus kita keluar beli makan.”

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu kembali memeluknya dengan erat.

Kunikmati setiap detik yang berlalu dengan merasakan hangat tubuh telanjangnya, membiarkannya mengusap punggungku dengan penuh kasih sayang.

“Kalo malam ibu keluar gak pakai jilbab, boleh?” tanyaku sambil melihat-lihat koleksi pakaian dalam lemari.

“Kenapa gak pakai jilbab?” tanyanya heran.

“Gapapa sih sayang, pengen nyoba aja. Ibu belum pernah nyoba keluar gak pakai jilbab.”

“Ibu yakin?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk mantap.

“Kalo ibu yakin dan nyaman, boleh aja.”

Tak butuh waktu lama bagiku untuk memilih pakaian yang akan kupakai. Pilihanku jatuh pada sehelai short dress yang terselip diantara pakaian rumahan lain karena hampir tak pernah kugunakan pasca melahirkan.

“Kalo ibu gak pakai daleman juga gapapa??” tanyaku lagi.

Pram tertawa pelan, lalu merentangkan kedua tangannya ke arahku. Segera kudekati lelakiku yang tengah duduk ditepian ranjang itu dan disambut oleh pelukannya.

“Bolehhhh.. gapapa kok bu. Tapi dengan satu syarat.” katanya sambil meremas lembut kedua belah pantatku.

“Syaratnya apa??”

“Syaratnya.. ibu gak boleh godain cowok diluar sana. Saya gak mau ibu digangguin laki-laki lain karena penampilan ibu.”

Aku mengangguk setuju, lantas mengecup keningnya.

“Ibu udah punya sayang. Ibu gak mau yang lain.” balasku sambil memeluk erat tubuhnya.

Akhirnya, Short dress tanpa lengan menutupi tubuh telanjangku, dan Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala ketika melihat kegilaanku, dimana tak ada pakaian dalam yang menutupi organ intimku.


“Ibu makin nakal..” gumannya pelan saat kami telah memasuki mobil.

Aku hanya tersenyum lalu mencubit pinggang Pram.

Hampir sepuluh menit kemudian, kami sampai di sebuah warung makan tepi jalan yang biasa kami lalui setiap hari.

Warung makan tersebut relatif sepi karena letaknya yang jauh dari pusat kota pelajar.

“Kita makan disini aja Pram.” kataku padanya sambil menengok keadaan warung tersebut dari jendela mobil.

Pram mengangguk lalu menepikan mobil dan berhenti tepat didepan warung tersebut. Tak banyak menu yang tersisa karena waktu telah larut malam.

“Mas, nasi goreng dua. Minumnya es teh sama es jeruk ya.” kata Pram pada seorang pria yang berjaga diwarung tersebut.

Saat Pram memesan makanan untuk kami, aku langsung menuju ke meja yang tersedia disana. Tak ada seorang pun pengunjung di warung itu, karena daerah pinggiran seperti ini relatif sepi jika waktu telah larut.

Pram memilih duduk tepat dihadapanku, sambil melihat-lihat lembaran daftar menu yang tersedia dihadapan kami.

“Sayang, tissuenya gak ada.” kataku pada Pram saat melihat wadah tissue dihadapan kami telah kosong isinya.

“Ibu tunggu sebentar. Saya ambil di mobil."

Tepat saat Pram keluar dari warung, sorang pengunjung lain datang dan memasuki warung tersebut. Saat ia melihatku, matanya langsung tertuju pada belahan payudaraku. Dan saat aku memergokinya, pria itu mengalihkan pandangannya.

Baju yang kukenakan memamg sedikit terbuka di bagian dada, sehingga memamerkan hampir sebagian besar payudaraku, apalagi aku tak mengenakan bra, maupun celana dalam.

Aku tak memperdulikan tatapan jalang mata lelaki itu, justru aku merasa sedikit terangsang akibat kenakalan mata lelaki itu.

“Sendirian aja mbak?” tanya lelaki itu sambil berdiri dihadapanku, tatapan matanya kembali menikmati pemandangan payudaraku.

“Enggak.. tuh, sama suami saya.” jawabku sambil menunjuk le arah depan saat Pram kembali berjalan ke arahku.

Pria itu tersenyum lalu mengangguk dan beralih. Ia duduk tepat dibelakangku.

“Siapa?” tanya Pram kemudian sambil duduk disampingku.

“Ibu gak kenal. Dia dateng trus nanya ibu sendirian apa enggak.”

Pram tertawa pelan sambil melirik ke arah belahan payudaraku. “Dia tergoda lihat belahan dada ibu.” bisiknya pelan.

"Kayaknya sih iya.. tadi pas berdiri didepan ibu, matanya melirik ke nenen ibu. Pas ibu bilang ibu kesini sama suami ibu, dia langsung pergi."

Sejenak aku kembali melihat kearah dadaku, dan memang kuakui, belahan payudaraku terpampang jelas karena pakaian yang kukenakan terbilang cukup seksi karena bagian dada yang terbuka lebar.

Ujung pakaian yang kukenakan pun hanya mampu menutupi setengah bagian paha, sehingga menjadi santapan mata lelaki.

“Ini terakhir kali ibu keluar gak pakai jilbab, lain kali gak boleh.” kata Pram.

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum padanya.

“Iya, ibu janji ini terakhir kalinya.” balasku sambil menggengam erat jemarinya.

"Ibu emang istri idaman banget." bisiknya.

"Jagoan di dapur, pinter di ranjang." sambungnya.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar pujiannya.

Tak lama kemudian, pesanan makanan kami pun tiba, dan seperti kejadian tadi, mata lelaki penjaga warung tersebut pun menikmati pemandangan payudaraku.

Entah mengapa, tatapan liar lelaki pada tubuhku membuatku bergairah dan terangsang. Kedua putingku pun perlahan mengeras dan tercetak jelas dibalik baju.

“Basah..” bisikku pelan pada lelakiku.

Pram mennatapku dengan penuh keheranan sambil mengunyah makanannya.

“Memek ibu basah. Ibu horni..” bisikku lagi.

Pram menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Sekarang ibu makan dulu. Nanti pulang baru bersihkan memeknya.” bisiknya lagi.

Aku berhenti mengunyah makananku dan menatapnya sejenak. Pram, lelakiku semakin bingung dengan tingkahku.

“Disini tempat terbuka, gak mungkin ibu bersiin disini.” jawabnya.

Aku tetap saja diam membisu dan menatapnya.

“Kalo cuman dibersiin aja ibu gak mau.” bisikku.

Pram tertawa, sepertinya ia mengerti, paham dengan keinginanku.

“Sampai dirumah, bersihkan, trus kita istirahat. Besok ibu kerja dan sekarang sudah larut malam.” jawabnya.

Aku menggelengkan kepala, menjauhkan piring berisi makanan milikku.

“Gak mau..” balasku sambil merajuk manja.

“Ya udah, sekarang ibu lanjutin makannya, nanti sampai rumah ibu saya perkosa.”

Aku tertawa pelan mendengar jawaban nakalnya.

“Iya.. diperkosa sampe lemes” balasku.

Pram lantas mendekatkan piring makanku, memintaku untuk melanjutkan menyantap nasi goreng yang telah kami pesan.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menghabiskan makanan tersebut, karena waktu telah larut malam. Saat hendak beranjak dari meja makan, tiba-tiba hujan pun turun dengan derasnya.

Kilatan petir sambung menyambung menghiasi langit kota pelajar. Angin kencang dan suara gemuruh guntur menggelegar.

“Ibu tunggu disini, saya ambil payung.” kata Pram, lalu bangit berdiri dan berlari ke arah mobil.

“Itu suaminya ya mbak?” tanya si penjaga warung saat aku membayar makanan yang telah kami santap.

“Iya..” jawabku singkat.

“Laki-laki yang beruntung.” gumannya.

“Maksud mas, beruntung gimana?” tanyaku.

“beruntung banget dapet istri seperti mbak. Cantik, seksi, montok.” jawabnya sambil melirik ke arah payudaraku.

Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya.

“Yuk.. pulang..” kataku pada Pram yang telah datang dan berdiri disampingku.

“Mari mas. Terima kasih.” kataku sambil melangkah pergi.

Kami saling merangkul pinggang, merapatkan tubuh demi menghindari titik hujan yang turun.

“Masnya dapet rejeki gratis.” kata Pram sambil memegang payung.

“Rejeki apa?”

“Itu puting ibu nyeplak banget.” jawabnya.

Aku tertawa sambil memandangi payudaraku. Pram benar, kedua putingku tercetak jelas dibajuku karena telah mengeras sejak tadi.

“Ibu yang nyetir.” kataku saat kami tiba di mobil.

Hujan yang turun dengan deras membuat jalan raya sangat sepi. Hampir tak ada kendaraan yang terlihat dijalan raya yang kami lalui.

“sepi banget.” gumanku sambil memperhatikan jalan raya didepan.

“Udah larut malam bu, hujan deres lagi. Orang-orang udah pada tidur.”

“Tapi kita masih kelayapan.” balasku lalu tertawa.

“Kelayapan karena kelaparan. Gapapa, lagian baru kali ini kita keluar larut malam. Sesekali pacaran tengah malam diluar rumah.” kata Pram sambil melirik ke arah pahaku.

Dress yang kukenakan sedikit tertarik keatas saat duduk, sehingga Pram nyaris melihat kemaluanku.

“Sayang, tolong ambilin tissue.”

Pram mengangguk, lalu membuka laci dashboard dihadapannya dan meraih beberapa lembar tissue lalu menyodorkannya padaku.

“Sayang, ibu kan lagi nyetir..” protesku manja.

Pram kembali tertawa dan mendekatkan tubuhnya ke arahku.

Sambil mengendalikan stir, aku berusaha menyingkap dress yang menutupi pinggul, dan hanya dalam sekejab, ujung dress itu terangkat hingga ke bagian pinggangku.

Kubuka lebar pahaku dan membiarkan lelakiku memandangi vaginaku yang nampak basah.

“Sayang yang bersiin..” kataku lagi.

Sambil menundukkan wajah, Pram mengusap vaginaku, membersihkan cairan kental yang berada disekitar belahan kemaluanku. Sambil menyetir, aku tersenyum geli melihat lelakiku yang begitu penurut, memenuhi keinginanku.

“Lain kali ibu gak boleh keluar rumah tanpa jilbab.” kata Pram, sambil menyeka cairan lubrikasi di kemaluanku.

“Iya sayang. Ibu janji.”

“Saya gak suka badan ibu dilihatin laki-laki lain seperti tadi.”

Aku menunduk, mengecup kepala lelakiku.

Aku sadar, penampilanku sekarang terlalu mengumbar tubuh, sehingga Pram berkata seperti itu. Pram berniat baik, bermaksud menjagaku, melindungiku dari hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat kegilaanku.

“Sayang gak marah kan?” tanyaku.

Pram menggeleng, lalu menjauhkan kepala dari tubuhku karena telah selesai membersihkan kemaluanku. Dengan lembut ia mengecup pipiku.

“Saya gak marah kok bu, dan gak bermaksud mengatur cara hidup ibu.”

“Iya, ibu ngerti kok. Makasih sayang..”

Pram sedang menjalankan perannya sebagai penanggung jawab terhadap diriku. Perannya sebagai pelindung, sebagai pendamping hidupku, dan aku tak sedikitpun keberatan dengan hal tersebut.

Hujan deras yang turun sejak beberapa menit yang lalu menimbulkan banyak genangan air disepanjang jalan yang kami lalui, bahkan dibeberapa titik, genangan air tersebut menutupi badan jalan, bak sungai.

“Sayang aja yang nyetir, ibu takut.” kataku sambil menepikan mobil setelah melihat jalan didepan kami tertutupi oleh genangan air.

Pram keluar dari mobil dan memeriksa jalan tersebut sementara aku tetap berada didalam mobil. Dan ketika ia kembali, ia menggelengkan kepalanya.

“Hujannya deres banget bu. Kita harus cepat pulang, siapa tau dirumah kita juga banjir.”

Dengan perlahan, Pram menerobos genangan air tersebut dan ketika kami telah melewatinya, Pram melaju kencang menembus hujan agar segera tiba dirumah.

Jalan yang sepi membuat perjalanan kami semakin mudah, dan hanya dalam beberapa menit, kami telah tiba dirumah.

“Kalo hujan deres kayak gini sampai pagi, bisa-bisa rumah kita kebanjiran bu.” katanya setelah melihat halaman rumah telah tergenang air hujan.

“Mudahan aja hujannya cepat berhenti.” gumanku sambil memasuki rumah.

“Sayang gak ganti baju?” tanyaku sambil melucuti pakaianku.

Pram pun melucuti pakaian dan meletakkannya di keranjang pakaian bekas di sudut kamar sementara aku langsung naik keatas ranjang dan menutupi tubuh telanjangku dengan selimut. Pram tersenyum sambil menggelengkan kepala melihatku.

“Ibu gak dingin?” tanyanya sambil membuka lemari pakaian.

Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Pram menutup kembali pintu lemari lantas menyusul naik keatas ranjang dan berbaring disampingku. Aku menatapnya lantas beringsut naik keatas tubuh telanjang lelakiku.




“Gak bakal kedinginan kalo ada sayang.” bisikku nakal sambil menggoyang pinggulku dengan pelan seolah sedang bersetubuh.

Pram membalas dengan melumat bibirku. Satu tangannya menyelinap diantara himpitan tubuh kami, mengusap dan membelai vaginaku.

Sementara ciuman kami berlanjut, Pram berguling sehingga posisi tubuh kami pun berubah. Lelakiku menindih tubuhku, sementara ciumannya terus berlanjut kebagian leher dan pundak.

Dengan cepat, nafsu birahi menguasaiku, merangsangku untuk membalasnya dengan menjilati dan menciumi lehernya.

Sejenak, tubuh lelakiku menggelinjang akibat permainan lidahku, dan disaat itulah kami kembali berguling. Speri, selimut, bantal dan guling berserakan diatas ranjangku, dan kami tak memperdulikannya.

Kini, giliranku menindihnya, mencumbui sekujur dadanya, sementara tapak tangan Pram meremas kedua belah pantatku dengan sedikit keras.

Sapuan lidahku terus bergerak liar, menelusuri dada hingga perutnya, ssementara satu tanganku meraih penisnya, meremasnya, mengocoknya dengan pelan.

Pram mendesah, pinggulnya bergerak-gerak akibat rangsanganku. Aku senang dan puas melihat lelakiku terbuai kenikmatan yang kuberikan. Aku ingin memuaskannya, menuntaskan dahaga birahinya dengan tubuhku, karena aku sangat menyayanginya.

Tak sabar dengan Permainanku, Pram menuntuk kepalaku ke arah pangkal paha, satu tangannya yang lain memegang penisnya dan menuntunya kearah mulutku. Pram ingin merasakan permainan mulutku di kemaluannya.

Baru saja aku menikmati penis itu itu dengan ujung lidahku, tiba-tiba suara petir menggelegar di udara. Listrik pun padam, sementara angin kencang terus bertiup, menimbulkan suara gaduh ditengah derasnya hujan.

Pram menuntun kepalaku untuk menjauhi penisnya.

“Sebentar..” kata Pram, lalu mengecup keningku.

Suasana gelap gulita membuatku sedikit khawatir, apalagi hujan deras disertai angin kencang masih saja terjadi diluar rumahku. Pram beringsut menjauh, meninggalkanku diatas ranjang seorang diri.

“Sayang mau kemana?”

“Mau nyalain lilin bu, biar gak terlalu gelap.”

Tak berapa lama kemudian, Pram menyalakan lilin dan meletakkannya diatas meja riasku lalu kembali ke tepian ranjang.

“Sekarang ibu pakai pakaiannya ya. Tunggu saya disini. Saya mau ngecek keadaan diluar.”

Pram meraih pakaianku dan menyerahkan padaku, ia pun segera mengenakan pakaiannya.

“Ibu ikut.” kataku saat Pram hendak membuka pintu kamarku.

Dengan segera aku turun dari kasur. Dinginnya lantai rumah terasa hingga ke tulang membuat suasana semakin mencekam. Aku mengikuti langkah Pram menuju ke ruang tamu.

Sejenak ia mengintip keadaan diluar melalui celah gorden jendela, sekedar memastikan keadaan diluar rumah. Selanjutnya kami menuju ke dapur, dan memastikan semua pintu dan jendela telah terkunci sebelum akhirnya kembali ke kamar tidur.

“Untung aja ada sayang disini.” kataku saat kami kembali berbaring diranjangku.

Pram kembali menutupi tubuh kami dengan selimut, lalu mengecup keningku.

“Sekarang kita istirahat.” bisiknya, lalu memelukku dengan sangat erat.

Jauh sebelum aku menikah, aku pernah membayangkan akan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Aku memimpikan sosok suami yang mampu dan mau membahagiakanku seumur hidup.

Aku pernah menjalani kehidupan seperti impianku tersebut, namun hanya seumur jagung karena pada akhirnya, suamiku mengkhianati pernikahan kami dengan berselingkuh.

Marah, sedih, stres, frustasi, sempat menghampiriku selama beberapa waktu, hingga akhirnya sosok laki-laki lain muncul dan menuntunku ke lembaran baru hidupku.

Aku sadar, Pram bukanlah laki-laki sempurna. Namun sosoknya benar-benar seperti laki-laki yang pernah kuimpikan untuk menjadi pendamping hidupku.

Luka akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh suamiku perlahan sembuh, berganti dengan tawa bahagia.

Mungkin saja Pram tidak mencintaiku sebesar cintaku padanya, dan aku memaklumi hal itu karena aku sadar dengan keadaanku.

Jika pada akhirnya aku harus kehilangan tempat dalam kehidupannya, aku akan sangat rela untuk melepaskannya karena Pram adalah sosok yang telah membantuku umtuk bangkit dan menata kehidupanku lagi. Ia adalah penolongku.

Cepat atau lambat, apa yang kami jalani sekarang pasti akan berakhir, dan bagaimana nasib kami nantinya, biarkan waktu yang akan menjawabnya.

Sebelum memejamkan mata, kusempatkan untuk mengecup dada lelakiku yang telah memelukku dengan erat. Dan dalam hati aku berayukur karena dipertemukan dengannya.

Surara ritik hujan dan hembusan angin menghantarkan kami untuk beristirahat, memejamkan mata sejenak sebelum menjalani hari yang baru, lagi.

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.
Terima kasih :rose:
ajibbb suhu sistaaa.... makasihhh updatenya
 
Duuuh.. Part 2 ini jd ingat saat kuliah juga.. Sama persis kejadian nya ama teman saya.. Dan kami semua lulus bersama.. Luaar biasa..
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd