Part 2
Rindiani
Hujan semalaman menyisakan genangan air disepanjang jalan yang kami lalui saat hendak menuju ke kampus Pram. Keadaan dirumahku pun sama parahnya, karena ketinggian air telah mencapai garasi dan menggenangi lantainya.
Dan ketika surut, yang tersisa hanyalah genangan lumpur yang terserak di lantai.
“Nanti setelah selesai registrasi, saya pulang dulu, bersihkan garasi.” kata Pram dibelakang stir mobil.
“Untung aja hujannya berhenti, kalo gak airnya bisa masuk ke rumah.” balasku.
Aku sedang memperhatikan suasana disepanjang jalan yang kami lalui ketika ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal tertera dilayar ponselku. Suara sapa ramah seorang wanita terdengar di ujung telpon. Wanita memperkenalkan diri dan menyampaikan informasi bahwa hari ini aku diundang untuk melakukan wawancara kerja jam sembilan pagi ini. Wanita tersebut pun memberikan alamat kantornya padaku sebelum akhirnya mengakhiri percakapan.
“Akhirnya… ibu mulai dapet kerjaan yang sesungguhnya.” guman Pram.
“Iya.. moga aja ibu bisa ngerjain pekerjaan itu.”
“Untuk posisi apa bu?”
“tadi katanya sekretaris.” jawabku.
“Ooo.. itu sih mudah kok bu, apalagi kalo bosnya gak rewel.”
Sedikit banyak, aku mengetahui profil perusahaan yang mengundangku untuk melakukan wawancara tersebut. Si pemilik perusahaan tersebut merupakan salah satu orang kaya di negri ini. Ia memiliki beberapa perusahaan yang tersebar di berbagai daerah di negara ini. Dan di kota pelajar ini, ia memiliki usaha perhotelan.
“Nanti ibu mau ke warung dulu, mau ijin buat hari ini.” kataku lagi.
Pram mengangguk, sambil tersenyum ke arahku.
“Pasti ibu bakalan sibuk banget.” gumannya.
“Iya, tapi pasti pulang kerumah juga kan? Pasti tetap ketemu sayang juga.”
Tak terasa, akhirnya kami sampai di kampus Pram. Suasana mulai terlihat ramai, karena hari ini adalah hari terakhir resgistrasi ulang untuk seluruh mahasiswa sebelum memulai semester baru, walaupun wajah-wajah familiar belum nampak sama sekali.
Sesampainya di warung, aku langsung meminta ijin pada ibu si pemilik warung, dan ia dengan senang hati memberiku waktu untuk memenuhi panggilan wawancara tersebut.
“Semoga sukses mbak Rindi..” kata si ibu sebelum aku beranjak pergi.
“Amiinnn.. makasih doanya bu.”
Saat kembali berjalan menuju ke parkiran, aku bertemu dengan lelakiku dan Topan, mereka sedang bercakap-cakap ketika aku menghampiri.
“Topan.. apa kabar?”
“Baik mbak, sehat. Mbak gimana?”
“Sehat juga. Yang lain belum pada dateng?” tanyaku.
“Kayaknya sih udah pada pulang dari mudik, cuman belum ke kampus. Paling bentar lagi pada nongol.” jawab Topan.
Sejenak aku melirik jam yang melingkar di tangan Pram. “Ya udah, ibu tinggal dulu ya Pram. Nanti ibu jemput kalo ibu udah selesai.” kataku pada Pram.
Pram mengangguk pelan.
“Mbak Rin mau kemana?” tanya Topan.
“Ada panggilan wawancara kerja.”
“Wah wah.. moga sukses mbak Rin.”
“Aminnn.. makasih Topan..”
“Ya udah mbak tinggal dulu ya. Pram, ibu tinggal dulu yaa.. doain ibu.”
Pram tersenyum dan mengangguk.
Hampir setengah jam kemudian, aku telah berada di lobi hotel, tempat untuk melangsungkan wawancara pekerjaan. Seorang wanita muda berparas cantik menyambut kedatanganku.
“Mbak Rindi ya?” sapanya ramah.
“Iya mbak.”
“Ya udah, langsung masuk aja mbak, mas Bayu yang mau wawancara mbak udah ada di ruangannya.”
Wanita itu mengantarkanku memasuki hotel tersebut hingga kedepan sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Setelah mengetuk pintu dan mendengar jawaban dari dalam ruangan, kami memasuki ruangan tersebut.
Bayu, kepala bagian HRD menyambut kedatanganku dengan berdiri dibelakang meja kerjanya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku.
Kusambut uluran tangannya dengan senyum dan kami pun berjabat tangan dengan erat.
“Saya tinggal dulu pak.” kata wanita yang berdiri disampingku.
Setelah mempersilahkanku untuk duduk, Bayu membuka file lamaran pekerjaan yang pernah kukirimkan.
“Sudah berkeluarga.” gumannya pelan sambil meneliti berkas lamaranku.
“Kalo semisal harus kerja ekstra time, bisa?” tanyanya.
“Bisa pak..”
“Suami dan anak gimana? Suami gak keberatan??” tanyanya lagi.
Akhirnya aku berterus terang dengan keadaan keluargaku, aku berkata sejujurnya tentang keadaanku saat ini dan Bayu mendengarkan kisahku dengan seksama.
“Saya turut prihatin.” katanya sambil menutup file lamaran pekerjaanku.
Selanjutnya Bayu menjelaskan tentang detail pekerjaanku dan dibagian akhir menyebutkan nominal gaji yang akan aku terima. Aku sama sekali tak keberatan semua hal itu karena aku membutuhkan pekerjaan tersebut.
“Kita ke ruangan kerja mbak. Biar mbak bisa lihat secara langsung.”
Bayu mengantarkanku ke sebuah ruangan lain yang berada di lantai satu. Saat Bayu membuka pintu ruangan tersebut, pemandangan didalamnya membuatku terkagum-kagum karena sangat rapi dan memiliki fasilitas yang lengkap.
“Ini meja mbak Rindi.” kata Bayu sambil melangkah ke meja kerja yang ia tunjuk.
“Yang ini meja ibu bos.” katanya lagi sambil kembali melangkah ke arah meja kerja di ujung ruangan tersebut.
“Bos kita jarang ada disini. Selalu berpergian keluar kota, ngecek usaha-usaha lain yang masih berada dibawah kendalinya. Jadi, biasanya mbak Rin kerja disini sendirian. Teorinya, mbak Rin sekretaris, tapi dalam kenyataannya, mbak Rin adalah penanggung jawab jalannya pekerjaan disini, karena semua instruksi, pesan, semua arus kegiatan pekerjaan disini kami laporkan ke mbak Rin, lalu mbak Rin laporkan ke beliau. Singkatnya, mbak Rin berperan sebagai sekretaris merangkap wakil beliau.”
Aku mengangguk dan memahami apa yang Bayu katakan. Sebuah tanggung jawab yang besar bagiku, apalagi sebelumnya aku belum prrnah bekerja, miskin pengalaman dalam dunia kerja.
“Nah, ini kamar mandinya.” kata bayu lagi sambil menunjukkan sebuah ruangan lain. Aku menggelengkan kepala setelah melihat kamar mandi tersebut. Sebuah bath-up berukuran sedang berada disana, benar-benar sebuah kemewahan bagiku.
“Khusus untuk mbak dan bu bos, kalo mau sarapan atau makan, di café yang terletak di rooftop. Atau bisa juga di food counter lantai dasar. Terserah. Bebas aja mau pilih makan dimana.” katanya lagi.
“Untuk seragam gimana pak?” tanyaku.
“Nanti diatur oleh Irma. Mungkin minggu depan baru bisa mbak Rin dapatkan.”
Sambil berjalan menuju ke lobi hotel, Bayu memperkenalkanku pada beberapa karyawan dan karyawati yang juga bekerja disana.
“Kita ngobrol sebentar, mumpung pekerjaan saya sudah selesai. Mbak ada waktu?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan sambil mengikuti langkahnya menuju ke deretan sofa yang tersedia di lobi.
“Posisi yang mbak duduki sekarang sudah agak lama kosong. Ada beberapa calon pengganti yang sudah mencoba mengisi posisi ini, tapi belum ada yang cocok dengan ritme kerja bos kita.”
“Dua hari yang lalu ibu menelpon saya dan meminta untuk menghubungi mbak Rin. Nama mbak Rin terpilih atas saran dari pak Sandi. Pasti ibu kenal dengan pak Sandi.”
Mendengar penuturan Bayu, tentu saja aku terkejut, ternyata Sandi memiliki andil yang cukup besar untuk pekerjaan yang akan kujalani.
“Iya, saya kenal mas Sandi.”
“Pak Sandi itu, dulu teman kuliah bos kita. Saya masuk kerja disini juga atas rekomendasi pak Sandi kok mbak.”
“Dan ibu bos biasanya meminta pertimbangan dari orang-orang yang ia kenal sebelum merekrut seorang karyawan. Salah satunya mas Sandi.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan mendengar cerita Bayu.
“Bos kita ini wanita workaholic, jadi mbak harus kuat. Harus siap mental. Sekretaris yang dulu bertaham cukup lama, dan berhenti bekerja setelah menikah.”
“Bos kita galak pak?” tanyaku pelan.
Bayu tertawa pelan, lalu menengok ke sekeliling kami.
“Banyak yang bilang galak, judes, keras, aneh, dan istilah-istilah lainnya. Tapi kalo menurut saya pribadi, beliau orang yang profesional dan punya kemampuan leadership yang mumpuni. Lagipula, wajar saja jika banyak yang gak suka dengannya, karena beliau hanya ingin agar usaha ini semakin maju dan berkembang. Disiplin, tanggung jawab, loyalitas. Itu kuncinya mbak.”
“Jangan khawatir mbak Rin, kerja disini enak kok. Emang sih, kadang pasti ada rasa bosan, jenuh, capek, tapi itulah seninya bekerja. Yang penting berusaha semaksimal mungkin agar semua pekerjaan kita beres.”
“Iya pak.” jawabku singkat.
“Kalo tentang jam kerja, jam kerja mbak kebanyakan lebih panjang. Lembur, apalagi saat musim liburan.”
“Kalo bos kita lembur, kadang ya gak pulang kerumah. Dia tidur dikantor, disofa.”
“Benar-benar workaholic.” gumanku.
Bayu mengangguk pelan.
“Oh iya, kadang ada meeting dengan klien yang harus mbak lakukan kalo bu bos gak ada disini. Tapi jarang banget. Sesekali aja.”
“Kalo saya kerja pakai jilbab gapapa pak?” tanyaku.
“Gapapa mbak, yang penting pakaian formal dan layak untuk bekerja. Seragamnya nanti ada dua macam juga, yang jilbab dan yang biasa. Terserah mbak mau pilih yang mana.”
“Mungkin nanti saya pilih yang jilbab pak, gapapa?”
“Iya, gapapa mbak. Disini ada beberapa teman yang pakai jilbab juga, dan gak masalah kok.”
“Oh iya, ngomong-ngomong, mas Sandi kok tahu saya kirim lamaran kesini?” tanyaku.
“Kalo tentang itu, sepertinya ibu bos yang terlebih dahulu menghubungi mas Sandi dan menanyakan tentang sosok mbak Rindi, karena dalam resume tertera alamat rumah mbak, yang sepertinya masih satu wilayah dengan mas Sandi.”
“Ooo gitu.. ngomong-ngomong bapak udah lama kerja disini?”
“Lumayan mbak, dan masih betah kerja disini.”
“Sudah lama saya gak ketemu mas Sandi. Gimana kabarnya beliau? Maaih ngajar dikampus?”
“Beliau masih ngajar pak. Dan masih betah ngajar dikampus.”
Bayu tertawa mendengar jawabanku. “Okelah.. Saya harus kembali bekerja. Sekarang mbak boleh pulang dan beristirahat untuk mempersiapkan diri. Salam buat mas Sandi kalo mbak ketemu beliau.”
“Iya pak. Saya juga mengucapkan terima kasih karena diberi kesempatan untuk bekerja disini.” balasku.
“Saya hanya menjalankan tugas kok mbak, ibu bos yang memutuskan memanggil mbak untuk mengisi posisi tersebut.”
Aku mengangguk pelan sebelum akhirnya Bayu pamit undur diri.
Dalam perjalanan pulang menuju ke kampus, masih ada satu pertanyaan yang menggantung dalam pikiranku, yaitu bagaimana mungkin aku yang terpilih untuk mengisi posisi prestisius seperti itu padahal aku belum memiliki pengalaman apapun. Apakah karena keberuntunganku? Atau karena peran Sandi? Entahlah. Semuanya terasa janggal dan tidak masuk akal bagiku.
Namun, apapun itu, aku memang sangat membutuhkan pekerjaan itu, dan seberat apapun tanggung jawab yang akan kupikul, harus kujalani dengan kesungguhan hati.
Impian untuk bekerja, memiliki penghasilan sendiri hampir menjadi kenyataan, walaupun hal ini merupakan imbas dari keretakan rumah tanggaku. Aku tak punya pilihan lain selain harus hidup mandiri, demi hidupku dan demi buah hatiku, Nova.
Sesampainya dikampus, aku tak menemukan satupun wajah-wajah yang kukenal diantara kerumunan para mahasiswa yang kembali dari masa libur. Mungkin mereka tengah disibukkan dengan urusan kampus sebelum perkuliahan dimulai.
Aku melanjutkan langkah menuju ke warung, dan ketika sampai disana, aku sempatkan diri untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada ibu pemilik warung karena telah menerimaku bekerja disana.
Terasa sedih karena walaupun belum genap sebulan bekerja, tempat itu adalah sebuah batu loncatan bagiku dari keterpurukan.
“Ibu doakan mbak Rindi sukses diluar sana.” guman si ibu sambil tersenyum.
“Iya bu, terima kasih. Dan maaf gak bisa bantu ibu lagi.”
“Gapapa mbak, ibu ngerti kok.”
Si ibu menyerahkan sebuah amplop sambil menyalami tanganku.
“Ini gaji mbak.” gumannya.
Aku berusaha menolak pemberian si ibu, namun ia bersikeras dan langsung memasukkannya kedalam tas yang terselip dipinggangku.
“Kalo ada waktu, sering-sering mampir kesini mbak.” kata si ibu saat aku hendak melangkah pergi.
“Iya bu, saya pasti mampir kok, pasti masih sering main kesini.” balasku, lalu melangkah pergi.
Satu langkah telah telah kulalui dengan baik, batu pijakan yang akhirnya mengantarkanku ke langkah berikutnya. Semua karena Pram, lelaki muda yang sejauh ini berperan sebagai sosok pembuka jalan dalam lembaran hidupku yang baru.
Tepat saat melewati lorong dalam gedung kampus, aku bertemu dengan Sandi, sosok yang telah membantuku untuk mendapatkan pekerjaan.
Dari kejauhan, ia tersenyum sambil terus melangkah ke arahku.
“Siang mbak Rindi.” sapanya dengan ramah.
“Siang mas.”
“Oh iya, makasih atas rekomendasinya. Saya bisa bekerja mulai besok. Dan mas Sandi dapat salam dari pak Bayu.”
“Oh, jadi sudah interview?”
“Sudah mas, pagi ini. Dan besok mulai masuk lerja.”
“Sebenarnya saya gak tahu kalo mbak Rin melamar kerja di hotel itu. Ibu Carina yang menelfon saya. Beliau pikir saya mengenal mbak Rin karena kita tinggal di wilayah yang sama.”
“Oh iya mas, makaaih banyak ya mas.” kataku lagi.
“Saya juga gak tahu kalo posisi sekretaris disana lagi kosong. Kalo saya tahu, pasti saya rekomendasikan ke mbak Rin.”
Aku mengangguk pelan sambil mengawasi sejumlah mahasiswa disekitarku.
“Semoga sukses dengan pekerjaannya mbak.” kata Sandi lagi sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Amiinnn.. mas Sandi juga. Semoga sukses jadi pengajar dan bisa jadi rektor.” balasku.
Sandi tertawa sambil menggelengkan kepala lalu melangkah pergi, menuju ke ruang kerjanya.
Dari kejauhan, dua wanita yang sangat kukenali melambaikan tangan sambil berlari pelan ke arahku. Kulangkahkan kaki menuju ke arah mereka sambil tersenyum.
Nina dan Rita, dua wanita teman sekampus Pram merentangkan tangan sambil terus melangkah ke arahku.
“mbaaakkkkkkkkkk Riinnnnnn Kanggeeeeeennnnn.” kata Rita sambil memelukku dengan erat.
“Kangen banget…” timpal Nina sambil ikut memelukku.
“Iya.. mbak juga kangen kalian…” balasku sambil berusaha memeluk kedua wanita tersebut.
Selanjutnya, kehebohan diantara kami membuat suasana lorong kampus menjadi semakin ramai. Benerapa pasang mata memperhatikan tingkah kami, namun Rita dan Nina tampak cuek dan tak memperdulikannya.
“Kalian sehat? Gimana liburannya??” tanyaku sambil melangkah diantara mereka menuju ke bagian depan kampus.
“Sehat kok mbak, cuman ya itu.. liburnya kurang lama.” sahut Rita.
“Kurang lama? Tadi katanya kangen sama mbak, berarti kan liburnya udah lama dong.” jawabku.
“Kurang lama buat enak-enak sama cowoknya tuh mbak Rin.” balas Nina.
Aku tertawa keras mendengan celoteh Nina sementara Rita tersenyum malu.
“Maklumlah Nin.. namanya juga LDR..” balas Rita.
“Paling enggak, udah sempet ketemu kan?” tanyaku.
“Ya udah dong mbaaakkkk..” jawab Rita cepat.
Dari arah belakang, Pram, Topan dan Deva menyapa kami.
“Praaammmmmmm… aku kangeennnnn..” teriak Rita saat melihat Pram telah berdiri dibelakang kami dan langsung memeluk tubuh lelakiku.
Pram sedikit terkejut dan tak mampu menghindar. Ia hanya berdiri mematung dengan tatapn keheranan terhadap kami.
“Udah udah… lo kangen apa horni sih? Meluknya gitu amat.” protes Topan.
“Boooodddoooooo aaammaatttt… sirik aja lo celengan bambu.” balas Rita sambil terus memeluk Pram.
Dan seperti yang sudah-sudah, gelak tawa pun akhirnya pecah dan membuat suasana semakin ramai.
“Rit.. mbak Rindi aja gak meluk Pram lhooo.. kok malah kamu yang jadi manja sama Pram?” tanyaku.
“Namanya juga kangen.. benerapa hari gak ketemu. Kalo mbak Rindi kan ketemu tiap hari, kelonan tiap malam.” jawabnya dengan suara sedikit keras sehingga terdengar oleh beberapa mahasiswa lain yang kebetulan berkumpul tak jauh dari tempat kami berkumpul.
Tanpa banyak kata, aku langsung mencubit pinggangnya dengan sedikit keras karena gemes dengan tingkahnya.
“Kamu ini yaaahhhh.. emang paling usiilllll.” gumanku sambil mencubit pipinya.
Rita menjerit dan berusaha membebaskan pipinya dari cubitanku sementara yang lain tertawa melihat tingkah kami.
“Eh, ngomong-ngomong, Galang belum balik dari liburan??” tanya Topan.
“Kayaknya sih belum, biasanya kan kita selalu ngumpul semua kalo habis liburan.” sahut Rita sambil melepaskan pelukannya pada tubuh lelakiku.
“Dia mau cuti semester ini. Ada masalah keluarga katanya.” timpal Nina.
“Masalah apa Nin? Kok harus sampai cuti??” tanya Pram.
“Ayahnya sakit, jadi dia harus bekerja untuk menghidupi keluarganya.”
Pram menggelengkan kepala, sementara Topan dan Deva nampak sedikit terkejut dengan apa yang Nina katakan.
“Padahal semester ini kan tinggal skripsi aja.” sambungku.
“Sekarang Galang dimana?” tanya Topan.
“Di kost.”
“Padahal aku pengen kita lulus bareng, wisuda bareng.” guman Nina.
Kami terdiam sejenak, dan bagiku, aku bisa merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung oleh Galang. Ia bahkan harus merelakan kuliahnya tertunda demi keluarga.
“Pram, dan teman-teman semua. Gimana kalo kita bantuin Galang?” kataku, memecah keheningan.
“Aku juga pengennya begitu mbak, tapi belum sempet ngomong sama Galang. Aku bener-bener pengen nolongin dia. Aku berhitang budi sama Galang.” kata Nina kemudian.
Pram dan Deva menatapku, seakan menanti kelanjutan ide yang telah kuberikan.
“Kalo kalian gak keberatan, kita bantuin Galang dengan cara ngumpulin duit semampu kita, buat bantuin keluarganya.” kataku.
Mereka nampak setuju dengan usulku karena menganggukan kepala.
“Ok. Gue setuju.” kata Topan semangat.
“Iya, aku juga.” sambung Nina.
Rita dan Deva hanya mengacungkan jempol sebagai tanda setuju dari mereka.
“Kita harus lulus bersama-sama, wisuda sama-sama.” guman Pram sambil menatap Nina.
Sekali lagi kami menganggukan kepala.
Pram mengeluarkan ponsel dari saku celana sambil melangkah menjauh dari kami, Pram sedang menghubungi seseorang dan terlihat begitu serius dalam pecakapannya.
Karena penasaran, akhirnya aku menyusul lelakiku dan berdiri disampingnya. Pram menggengam jemariku saat melihatku ada disisinya sambil terus mendengarkan suara di ujung telpon.
Ia lantas menggunakan pengeras suara agar aku pun bisa mendengarkan percakapan mereka.
“Mbak sudah percaya sama kamu, jadi kamu bebas mau pakai uang itu untuk keperluanmu, untuk apapun kebutuhanmu. Ingat satu hal, lain kali telpon mbak kalo urusannya darurat atau sangat penting! Mbak lagi sibuk, jadi jangan telpon kalo cuman urusan begini doang! Telpon mbak kalo kamu sudah punya pacar atau pacarmu sudah hamil! Paham??!!"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, sambungan telfon itu pun langsung diputuskan oleh perempuan tersebut, Calya.
Pram menatap heran ponselnya sambil menggelengkan kepala. Sama halnya denganku, terheran-heran dengan apa yang baru saja aku dengarkan sambil menatap ponselnya.
“Mbak Aya ngeri banget.” gumanku.
Pram hanya menghela nafas panjang, lalu mengajakku kembali bergabung bersama teman-teman lainnya. Ia tetap menggengam jemariku dengan erat dan melepaskannya saat kami telah berkumpul dengan yang lainnya.
“Semester ini, Galang harus tetap kuliah. Kita bantu dia.” kata Pram.
“Aku bantu bayar uang kuliahnya semester ini.” sambung Nina.
“Kita sama-sama, kita semua, bukan hanya Nina.” timpal Deva.
Selanjutnya, aku hanya bisa ikut mendengarkan diskusi mereka tentang nominal uang sebagai biaya perkuliahan semester akhir, dan mereka pun nampak antusias dalam usahanya membantu salah satu sahabat mereka.
“Mbak juga pengen ikut bantu Galang, boleh?” tanyaku pada mereka.
“Ya boleh dong mbak. Silahkan..” sahut Rita.
“Sekarang kita ke kost Galang. Hari ini batas akhir registrasi ulang, dia harus tetap kuliah.” kata Nina penuh semangat.
Rita dan Nina ikut bersamaku dan Pram menggunakan mobil, sedangkan Topan dan Deva menggunakan sepeda motor.
“Kalian kalo naik mobil duduknya emang berjauhan gitu ya?” tanya Rita dari belakang.
“Maksudnya gimana sih Rit?” tanyaku bingung.
“Ya jauhan kayak gitu..harusnya kan nempel kayak perangko.”
Nina tertawa pelan, ia mengerti bahwa keusilan Rita telah dimulai.
“Ini kan lagi dimobil Ritaaaaa… gak mungkin juga mbak mbak duduk dipangkuan Pram kan??” protesku.
“Ya bisa dong, mbak dipangku Pram, sambil nyetir.”
Pram menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Kumat.” gumannya pelan kemudian.
“Enakan dipangku kalo udah dirumah, disofa, sambil telanjang.” balasku.
“Haaaahhhh????” sahut Rita terkejut.
“Waaaaaa…. Pasti asikkkk.. apalagi sambil di…”
“Sssttoopppppp…. Udaaahhhh… !” potong Nina cepat.
“Bentar lagi mau nyampe kost Galang, jangan ngomongin jorok dulu, kita bantuin teman kita dulu.”
Pram kembali tersenyum.
“Sukuriinn” guman Pram pelan.
“Iyaaaa kakakkuuuuuu sayang..” balas Rita sambil bermanja-manja dipundak Nina.”
Sesampainya di tempat tujuan kami, Nina segera keluar dari mobil dan mengajak kami memasuki pekarangan kost tersebut. Kami mendapati Galang tengah bersiap-siap untuk pergi entah kemana, dengan tas ransel dipunggungnya.
“Galang..” sapa Nina dari kejauhan. Galang pun menoleh ke arah kami dan memandangi kami satu persatu dengan penuh keheranan.
“Mau kemana?” tanya Nina lagi.
“Mau ke kampus.” jawab Galang singkat.
“Duduk dulu yuk..” kataku kemudian.
Galang segera membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan kami untuk masuk. Tak berapa lama kemudian, Topan dan Deva pun datang.
“Mbak Rin aja yang ngomong.” kata Nina.
Semua mata tertuju padaku, dan aku tak punya pilihan lain selain harus memulai pembicaraan hasil diskusi kami tadi. Galang pun menatapku dengan penuh tanda tanya.
Akhirnya, aku menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara pada Galang, sebuah pengalaman unik pertama untukku.
Galang dan teman-teman lain ikut mendengarkan apa yang aku ucapkan, mereka semua terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dijelaskan.
“Terima kasih teman-teman.” kata Galang setelah aku selesai berbicara.
“Kalian memang teman-teman yang sangat baik. Tapi saya terpaksa menolak bantuan kalian.
“Kenapaaa??” tanya Nina.
Galang menundukkan wajah, raut sedih terlukis jelas di wajahnya.
“Keluarga saya membutuhkan saya. Saya tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja hanya karena kuliah ini.”
Aku beralih tempat, dan duduk disamping Galang.
“Iya, kami paham kok. Tapi menurut mbak, rasanya sayang banget kalo semester akhir ini harus tertunda. Ini tahap akhir, ini fase terpenting.” kataku sambil memegang pundaknya.
“Keluarga saya butuh saya mbak. Bapak saya lagi sakit. Selama ini, dia adalah tulang punggung keluarga.”
“Dengan menyelesaikan semester ini, kamu bisa wisuda. Bisa lulus, dan mencari pekerjaan yang lebih baik untuk membantu keluargamu. Jadi kamu harus tetap melanjutkan kuliah.”
Galang menghela nafas. Aku yakin ia memahami apa aku sampaikan.
“Lo jangan khawatir tentang keluarga lo, kita semua siap membantu.” kata Topan.
“Iya bang, kita kan udah kayak saudara, udah saling kenal sejak masuk kuliah, jadi kita sama-sama cari jalan keluar yang terbaik.” timpal Rita.
“Tetap melanjutkan kuliah sih opsi jangka panjang yang terbaik.” sambungnya.
“Jangan khawatir bro, kita semua siap membantu.” sahut Deva.
Dengan lembut aku memegamg pundak Galang. Ia tertunduk lesu dan tak mampu berkata-kata. Aku yakin Galang sedang dalam kebimbamgan untuk mengambil keputusan.
“Jangan khawatir soal uang.” guman Pram yang sedari tadi hanya berdiam diri.
“Saya yang akan bertanggung jawab terhadap keluargamu.” sambungnya.
“Gue juga.” timpal topan.
“Tuh bang.. denger tuh..dan bukan cuman Pram sama Topan aja. Aku sama Nina sama Deva juga siap membantu kok.” sambung Rita.
Galang masih tertunduk lesu, raut wajah sedih masih terlukis disana.
“Biaya hidup keluarga. Biaya kuliah, skripsi. Jumlahnya terlalu banyak.” gumannya pelan.
“Iya, mbak tahu kok, mbak ngerti. Tapi kami semua siap membantu. Jadi jangan khawatirkan soal uang.” kataku untuk meyakinkannya.
“Aku berhutang budi sama kamu Lang. Kalo gak kenal kamu, mungkin aku sudah gak kuliah, udah gak punya masa depan. Nah sekarang aku mau membantu semampuku, mau membalas kebaikanmu dulu.” kata Nina.
Galang mengangkat wajahnya dan menatap Nina sambil menggelengkan kepala.
“Ini ada duit empat juta dari gue sama Deva. Lo pakai buat registrasi kuliah semester ini.” kata Topan sambil meletakkan setumpuk uang dihadapan Galang.
“Besok, lo harus tetap kuliah.” sambungnya.
“Untuk keluargamu, nanti saya yang atur tentang keuangannya. Jangan khawatir.” kata Pram kemudian.
Sekilas, kulihat mata Galang memerah. Aku yakin ia sangat tersentuh dan terharu dengan kepedulian teman-temannya.
“Udah, buruan ke kampus buat registrasi ulang, mumpung belum tutup.” kata Deva.
“Ayo, aku temenin, kata Nina sambil melingkarkan tangan di lengan Galang.
Sudut matanya memerah, aku yakin, galang sangat tersentuh dan terharu dengan kepedulian teman-temannya.
= = =
Jika saja kita selalu memiliki kepedulian terhadap sesama, sekecil apapun, tentu saja akan membuat irama kehidupan tetap terjaga, atau setidaknya mengurangi beban penderitaan orang lain.
Pram dan teman-temannya telah menunjukkan hal tersebut, melakukan sesuatu yang sangat berarti untuk seorang teman yang mereka kenal.
Pertemanan yang terbentuk pun pun bukan hanya sekedar jalinan dalam keadaan senang, namun ikut memikul dan merasakan rasa hati. Dalam susah dan senang, saling menjaga satu sama lain agar harmoni kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya, itulah esensi persahabatan yang sesungguhnya.
♡♡♡ bersambung ♡♡♡
Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.
Terima kasih