Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RIWAYAT SESAT

Status
Please reply by conversation.

Jaka_Balung

Pendekar Semprot
Daftar
10 Feb 2017
Post
1.883
Like diterima
2.818
Bimabet
Permisi, numpang bercerita para Suhu Semproters :Peace:
Semoga berkenan, bisa mengisi waktu iseng bagi yang sedang lokdon atau WFH. Salam hormat selalu.
BAGIAN 1

BAGIAN II - PAGE 12
https://www.semprot.com/threads/riwayat-sesat.1373317/page-12

BAGIAN III - PAGE 19
https://www.semprot.com/threads/riwayat-sesat.1373317/page-19#post-1903342363

BAGIAN IV - PAGE 27
https://www.semprot.com/threads/riwayat-sesat.1373317/page-27

-----

“Ahhhkh!” erang Bu Atikah, tubuhnya mengejang sesaat, Ketika satu hentakan dalam penis Ano menyodok sedalam-dalamnya ke lubang vaginanya. Jari-jari perempuan setengah baya itu mencengkram sekuat-kuatnya paha Ano yang tengah memangkunya. Dan Ano sendiri mencengkram kuat dua bongkah besar nan kenyal dalam pelukan erat tubuh montok yang dipangkunya tersebut selain itu, dia juga menggigit erat pundak Bu Atikah yang masih terbalut kerudung lebarnya. Dua semburan dahsyat bercampur di dalam vagina yang terus berdenyut-denyut memeras cairan orgasme keduanya. Tubuh Bu Atikah bersandar lemas ke tubuh Ano yang tertahan dinding pos jaga itu.

Di depan dua sosok yang masih terbuai surga kenikmatan birahi tersebut, hujan angin disertai petir dan gelegar Guntur terus mengamuk.

Samar-samar terdengar isak perlahan dari bibir Bu Atikah Ketika kesadarannya mulai normal Kembali. Dengan cepat, ia mengangkat pantatnya yang besar dan padat itu dari pangkuan Ano.

‘Plop!’

Terdengar bunyi pelan Ketika penis Ano terlepas dari jepitan vagina tebal Bu Atikah yang segera menggigit bibirnya menahan keluhan aneh yang hampir saja keluar dari mulutnya. Perempuan itu dengan cepat menurunkan roknya yang tersingkap. Dengan mata nanar bersimbah air mata, ia menatap celana dalamnya yang dirobek paksa oleh Ano dan dilemparkan ke halaman pos. celana dalam tersebut terayun-ayun oleh genangan air hujan terbawa perlahan kemudian tersangkut dialang-alang yang tumbuh subur di halaman pos jaga yang memang tidak terawat tersebut.

Dengan tuubh sedikit terhuyung-huyung, Bu Atikah melangkah menjauhi Ano yang juga sudah pulih kesadarannya setelah sebelumnya dibutakan oleh amukan birahinya. Ano terlihat gugup, kikuk dan takut.kepalanya tertunduk sambal membetulkan celana trainingnya, pemuda itu masih terduduk di balai pos jaga. Kebingungan hendak melakukan apa-apa.

Bu Atikah bersandar ke salah satu tiang kayu pos, matanya menatap kabut air dari derasnya hujan yang turun. Ke motor Beat yang terparkir sembarangan di pinggir jalan akibat tadi terburu-buru menuju Pos Jaga untuk berteduh yang memang letaknya agak ke dalam menyeberangi sebuah selokan lebar. Dengan pikiran kosong dan kusut, perempuan setengah baya itu tanpa sadar melangkahkan kakinya menembus derasnya hujan menuju ke jalan.

“Bb-bu … ma-mau ke-mana? Masih hujan?” seru Ano ragu-ragu.

“Pulang!” terdengar jawaban dari Bu Atikah.

Dalam kebingungannya, Ano segera bangkit dan berlari menyusul. Meraih tangan perempuan itu dan menariknya.

“Masih hujan, Bu. Nn-nanti … nanti saya mengantarkan ibu. Masih …”

“Lepas!” Bu Atikah melotot. Menarik Kembali tangannya dari pegangan Ano, “Pergi kamu! Pergiii!” jeritnya sambal menangis.

Di saat Tarik-tarikan itu, kaki Bu Atikah terpeleset lumpur tanah yang licin oleh hujan. Tubuhnya hamper terjatuh kalau saja Ano tidak sigap merangkulnya.

“Lepas! Lepaskan aku, Bajingan!” Bu Atikah meronta-ronta. Ano tidak kuat menahan bobot tubuh montok itu, karena dia pun terpeleset oleh licinnya tanah berlumpur. Keduanya ambruk tumpang tindih. Dengan posisi tubuh Ano di bawah. Bu Atikah seperti mendapatkan jalan untuk melepaskan rasa sesal dan amarahnya. Kedua tangannya kalang-kabut mencakar, menjambak dan menghantam setiap bagian tubuh pemuda yang samasekali tidak melawan atau pun sekedar menangkis. Ano pasrah sepasrah-pasrahnya. Bahkan seandainya diludahi atau bahkan dibunuh pun, dia merasa sangat layak mengingat apa yang telah diperbuatnya terhadap perempuan yang sesungguhnya sangat dihormatinya itu.

Saat Bu Atikah mulai kehabisan tenaga, emosinya mulai mereda. Sedikit terhenyak hatinya melihat hasil pelampiasan amarahnya itu. Wajah pemuda itu baret-baret dan berdarah bercampur lumpur. Kaos putih yang dikenakannya koyak-koyak. Seorang perempuan apabila tengah mengamuk, hasilnya tentu tidak setengah-setengah.

Dengan napas tersengal-sengal, Bu Atikah bangkit terduduk, dan … Kembali menangis tersedu-sedu.

Ano ikut bangkit, derasnya air hujan sedikitnya telah melunturkan lumpur dari rambut dan wajahnya. Pemuda itu terduduk kebingungan dan ketakutan. Setelah beberapa saat dimana yang ada hanya suara gelegar Guntur, Bu Atikah bangun.

“Antarkan aku pulang!” terdengar suara perempuan itu, begitu kaku dan tanpa menoleh sedikit pun. Kemudian melangkah sedikit terhuyung-huyung menuju jalan dimana motor terparkir.

Bu Atikah diboncengan tiada berkata-kata sedikit pun, bahkan duduknya pun begitu renggang seakan pemuda di depannya itu najis yang harus djauhinya. Kadang terdengar isaknya perlahan.

Dapat dibayangkan campur aduknya hati Ano selama mengendarai motor. Rasa takut, bingung dan marah kepada dirinya sendiri berkecamuk.

Membayangan sesampainya di rumah perempuan itu yang kemudian mengadu ke Pak haji Sobirin, suaminya. Bukan saja Pak Haji Sobirin, tentulah Ustadz Raihan dan Rizky akan membantainya habis-habisan.

“Matilah aku!” keluhnya dalam hati.

Tapi Ano memang bukan sejenis pengecut bernyali tikus. Resiko yang sudah dibayangkannya memang sudah seharusnya dia terima. “Anak seorang bajingan tetaplah bajingan!” kutuknya dalam hati. Rasa marahnya dilampiaskan dengan menyumpahi bapaknya yang memang berprofesi preman terminal.

Hujan tak jua reda.

Sekuat-kuatnya mental seseorang, begitu sampai ke tempat tujuan dengan penuh ketakutan tetap saja gemetaran. Begitu juga dengan Ano.

Tiba di depan rumah Bu Atikah, hujan masih turun walau pun tidak sedaras tadi.

Pak Haji Sobirin, suaminya Bu Atikah, yang kebetulan sedang duduk di depan toko grosirnya sampai melompat kaget melihat Ano yang babak belur dengan baju terkoyak, apalagi sampai melihat istrinya yang basah kuyup dengan baju kotor berlumpur.

“Astagfirullahal’adziiim! Kalian kenapa?” seru Pak Haji sambal berseru memanggil orang rumah. “Rizky! Raihan!”

Pucatlah wajah Ano, hatinya berdebar cemas. Kalua menurut kata hatinya, ingin sekali segera melesat kabur mumpung Bu Atikah belum laporan apa-apa.

“Kalian kenapa?” ulang Pak Haji dengan kening berkerut.

“Jatuh dari motor!” sahut Bu Atikah pendek. Jawaban yang hampir tak dipercayai pendengaran Ano. Mulutnya ternganga tanpa sadar.

“Innalillahi … di mana dan kenapa bisa begitu?” berondong Pak Haji.

Sementara dari dalam rumah muncul kedua anaknya, Raihan dan Rizky yang terbengong-bengong melihat ibunya kuyup oleh air hujan dan lumpur.

“Umi jatuh dari motor di mana?” kata keduanya hampir bersamaan.

“Kamu Ano, jangan memaksakan kalau hujan, kan bisa berhenti dulu, neduh!” Omel Pak Haji ke Ano yang masih kebingungan dengan kejadian yang tidak diduganya ini.

“A … anu, Pak Haji. Kirain tidak lansung deras. Sss-saya pikir bisa … bisa sampai di rumah. Tapi ternyata ….!” Gagap Ano menjawab, matanya sekilas memandang Bu Atikah yang masuk ke dalam rumah sedikit terpincang-pincang tanpa sedikit pun menoleh.

“Lu ngebut, No!” potong Rizky, putra kedua Bu Atikah, yang memang sebaya dengan Ano.

“I-iya, Ky!” Ano mengangguk sambal menyeringai merasakan perih dari luka-luka akibat cakaran Bu Atikah.

“Ya sudahlah. Lain kali hati-hati. Apalagi yang luka kamu, No?” tanya Pak Haji memandang penuh perhatian ke seluruh tubuh Ano.

“Cuma lecet-lecet sedikit, Pak Haji. Tidak apa-apa!” sahut Ano terharu dan malu. Betapa baiknya keluarga itu kepadanya. Padahal dia anak seorang preman biang kerok. Tapi apa yang diperbuatnya tadi kepada salah satu anggota keluarga terhormat itu. Kalau saja di situ tidak ada orang lain. Mungkin dia sudah memukuli dirinya sendiri habis-habisan untuk menunjukkan betapa menyesalnya dia.

“Trus Umi apa yang luka, No?” tanya Rizky.

“Umi ga kenapa-napa. Tolong panggilin Mbok Yem, Ky. Habis mandi Umi mau diurut!” terdengar seruan dari dalam rumah.

“Ya sudah. Sana bersihin badanmu, No. trus obatin yang baret-baret. Baju mah pinjem aja punya Rizky!” kata Pak Haji kemudian.

“Tidak usah, Pak Haji. Saya pulang saja, bersih-bersih di rumah. Kalua boleh, saya minta ijin untuk tidak jaga gorsiran hari ini,” kata Ano menundukkan wajahnya.

“Iya, tidak apa-apa. Istirahat saja lah. Grosir ada Mang Soleh sama Rizky yang jagain. Lagian hujan deras begini siapa pula yang dating belanja. Pulanglah, istirahat!” kata Pak haji manggut-manggut.

“Jatuh, kok motor ga kenapa-napa, No?” kata Rizky mengerutkan kening, melihat-lihat motor.

“Jatuhnya langsung ke lumpur, Ky. Gue yang kelempar ke selokan,” jawab Ano spontan sambal mengangsurkan kunci motor.

“Ooo, pantes, yaudah sono pulang dah. Toko mah biar gue yang jaga!”

“Saya pamit, Pak Haji. Assalamu’alaikum!” kata Ano dengan hati yang luar biasa leganya.

“Wa’alaikumsalam,” sahut Pak Haji sambil masuk ke dalam rumah ingin memastikan istrinya baik-baik saja.

“Lha, koku mi malah masih di sini?” kata Pak Haji bingung.

“Tadi belum terasa sakit-sakitnya badan, Abi. Masih kaget mungkin. Begitu masuk baru terasa banget,” sahut Bu Atikah memberi alas an. Padahal ia sengaja berada di situ biar tahu percakapan antara suaminya dan Ano. Biar nanti satu cerita saat ia ditanya-tanya lebih jauh lagi tentang ‘kecelakaannya’.

“Harusnya Umi jitak aja helmnya Si Ano kalau ngebut, Mi!” kata Rizky yang ikut masuk ke dalam rumah dengan maksud mengambil rokok buat teman jaga toko. Matanya sedkit menyipit dengan hati berdebar tak karuan Ketika melihat uminya itu berjalan digandeng abinya menuju ke kamar mandi. Dengan gamis rapat mencetak tubuh, jelas terlihat, dua bongkahan padat dari pinggul itu, bahkan sempat-sempatnya matanya melihat bukit membusung tercetak rapat.

“Sinting!” kutuk Rizky tanpa sadar menggaplok jidatnya.

“Kenapa kamu, Ky?” tanya seseorang yang baru muncul dari dalam kamar, yang bukan lain adalah Zahra, kakak iparnya, istri dari Raihan.

“Laler!” sahut Rizky pendek dan kaku. Mengambil bungkusan rokok di meja kemudian Kembali melangkah keluar tanpa melihat ke iparnya itu.

Zahra jelas menyadari nada kaku adik iparnya itu. Ia menghela napas. Tahu benar sebab dari sikap pemuda itu terhadapnya.

“Aihhh, kenapa kamu belum juga memaafkan aku, Iky!” kata Zahra dalam hati dengan sedih.

----

Hujan telah reda, menyisakan gerimis ketika Ano tiba di depan rumah kontrakannya yang terletak jauh di dalam gang yang ruwetnya lebih rumit dari peta harta karun paling njelimet, gang yang terletak di belantara kotak-kotak tak beraturan Jakarta Utara. Dia memang tidak mempunyai motor, berangkat ke toko grosir Pak Haji Sobirin pun biasa berjalan kaki. Setibanya di rumah kontrakan yang berderet-deret sepanjang gang, waktu masih menunjukkan jam lima sore. Hanya dikarenakan cuaca buruk saja keadaan remang-remang seperti lewat maghrib. Dan itu bukan kebiasaannya pulang sore-sore. Biasanya dia pulang lewat jam 10 malam. Toko grosir yang dijaganya tutup jam 8, tapi jarang sekali dia langsung pulang. Biasanya menemani Rizky kalau tidak kuliah, atau kalau sendiri dia biasanya nongkrong dengan anak-anak muda pengangguran di lingkungannya.

Dengan tubuh menggigil kedinginan, Ano sampai di depan pintu dengan hati heran. Sementara deretan kontrakan yang lain telah menyala lampu terasnya, rumahnya malah masih gelap, walau pun di sela-sela jendela, cahaya lampu di dalam rumah sudah menyala.

“Ketidurankah emak?” katanya dalam hati. Mengambil kunci rumah dari saku celananya.

‘Krerrrt’

Engsel pintu berkarat terdengar berderit ketika pintu terbuka.

Di pintu yang sudah terbuka, Ano berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

Di dalam, di atas sofa. Dua sosok tubuh tampak kalangkabut dengan wajah masing-masing pucat tanda kaget.

Emaknya yang terlihat paling panik, menarik dasternya untuk menutupi dada dan selangkangannya. Namun Ano sempat juga sekilas melihat payudara emaknya yang menggelembung besar berkilat oleh keringat. Ah, tiba-tiba dia jadi teringat payudara Bu Atikah yang pernah diremasnya.

“Sialan. Gue kira siapa lu, No!” bentak sosok lain yang dikenal Ano sebagai Bang Jawir, teman satu komplotan bapaknya, sesama preman terminal. Usinya tidak terpaut jauh dari Ano. Tampak sibuk menarik celana pendeknya, Penis hitamnya masih mengacung, badannya yang telanjang penuh tato tak karuan, tampak berkeringat.

“Mesum pada sembarangan aja, gimana kalo babe yang dateng ….” Gerutu Ano sambil membanting pintu, kemudian melangkah menuju kamar mandi.

“Ini justru buat bayar utang babe lu, No. daripada gue rugi ….” Kata Jawir sambil nyengir.

“Kamu kenapa, No? berantem?” tanya emaknya dengan muka khawatir ketika melihat baju anaknya yang kuyup berlumpur dan compang-camping.

“Jatoh dari motor!” sahut Ano pendek sambil menutup pintu kamar mandi.

Sambil mandi membersihkan tubuh, pikiran Ano melayang ke kejadian tadi. Penisnya terasa menegang. dia menunduk dan tangannya tanpa sadar mengelus-elus batangnya. Terasa geli dan ngilu. Umurnya sudah Sembilan belas tahun. Kali pertamai itulah dia merasakan penisnya menikmati vagina walau pun tanpa direncanakan hanya karena kekhilafan semata. Khilaf yang telah membuatnya menjadi pria dewasa. Kemarin-kemarin biasanya dia hanya bisa mengkhayalkan persenggamaan melalui film-film biru yang ditontonnya kemudian menuntaskannya dengan beronani. Membayangkan Kembali kenikmatan penisnya dijepit dan mengaduk vagina tebal Bu Atikah, napasnya makin sesak. Birahi mudanya Kembali menggelegak.

Ingatannya menelusuri setiap detil dari kejadian tadi. Kejadian yang tidak akan pernah dia lupakan. Kejadian dimana dia melepas bujangannya di dalam vagina panas Bu Atikah! Perempuan setengah baya yang sangat dihormatinya. Yang telah mempercayainya bekerja di toko grosir milik suami istri baik hati itu. Jangankan menyetubuhinya. Membayangkannya saja dia tidak pernah. Karena yang sering dikhayalkannya adalah perawan-perawan muda untuk menemani hobi onaninya.

Ketika berteduh di pos jaga di BKT waktu kehujanan tadi. Desakan para pengendara motor yang turut berteduh, membuat dirinya begitu rapat dengan posisi dia di belakang Bu Atikah. Tergencet antara dinding dan tangga pos. bongkah padat dari gamis basah, menekan selangkangannya. Rasa dingin dan desakan empuk kenyal itu tanpa dapat ditahannya membuat penisnya menggeliat dan mengembang. Dia yakin Bu Atikah merasakan ada yang mengganjal keras di belahan pantatnya. Namun ia tak kuasa menghindar dengan desakan dari orang-orang didepannya yang saling rapat.

Dan semua itu dimulai saat ketika petir menyambar, kilatnya yang menyilaukan mata di susul gelegar Guntur, membuat orang-orang yang berteduh serempak membungkukkan tubuh masing-masing sambil berseru menyebut nama Yang Kuasa. Tak terkecuali Bu Atikah. Tubuh montok yang tercetak dalam gamis basah itu tanpa sadar bergelung ke Ano. Gerakan mendadak tersebut jelas membuat Ano reflek merangkul.

Tubuh-tubuh yang membungkuk itu begitu rapat seperti tumpang tindih.

Kilat petir dan gelegar Guntur yang memekakkan telinga itu seperti juga mengagetkan hujan yang turun deras, mendadak berhenti menyisakan sedikit rintik. Kesempatan tersebut, dimanfaatkan hampir oleh semua yang berteduh. Mereka berhamburan ke tempat motor-motor mereka terparkir. Kecuali … Ano dan Bu Atikah.

Perempuan berumur hampir lima puluh tahun itu masih meringkuk dengan wajah pucat, terkesima oleh petir dan Guntur. Ia merasa nyaman dalam pelukan hangat Ano yang birahinya mendadak meledak, menggelegak gila-gilaan. Apalagi jari-jarinya yang tadi tidak sengaja merangkul malah tepat menggenggam sebongkah gumpalan empuk nan kenyal.

Petir kedua berkelebat yang Kembali disertai Guntur. Hujan sangat deras dengan angin luar biasa kencangnya menyadarkan perempuan itu. Kesadaran yang terlambat. Sangat terlambat.

Angin kencang yang membawa kabut air mengusap tubuh bagian bawahnya. Ketika menunduk, tersadarlah bahwa gamis bagian bawahnya telah tersingkap sampai ke pinggul!

“Ano!” Bu Atikah berseru kaget. Merasakan satu batang pejal yang panas dan berdenyut-denyut tengah mendesak di belahan kedua pangkal pahanya. Bu Atikah meronta. Namun satu kuncian mati dari tangan pemuda yang nafsunya tengah dibantu oleh tujuh puluh setan itu telah membuatnya mati kutu.

Anooo! Sadarrr, Naaak! Tolooong!” teriaknya ketakutan. Matanya membeliak lebar, mencari-cari orang-orang yang tadi berdesak-desakan tapi ternyata tidak ada.

Perempuan itu terus meronta sia-sia. Tenaga seorang pemuda yang tengah dalam puncak nafsu birahi mana ada lawannya.

Diteriakkan, disuruh eling dan istighfar, tidak mempan samasekali. Ano tak bergeming. Untunglah, celana dalam yang sudah melorot setengah paha, bantu menahan desakan kaki pemuda itu yang memaksa untuk merenggang. Namun itu tidak bertahan lama. Sambil menggeram, satu tangan yang tadi meremas-remas payudara gemuk perempuan itu, turun ke bawah.

“Bret! Bret!” dalam dua hentakan. Celana dalam itu telah robek besar kemudian melayang disambut tabir kabut air.

Hilang sudah satu benteng terakhirnya.

Kepala batang pejal itu telah menyentuh belahan vaginanya. Menyundul dan menyodok kuat-kuat. Hanya karena vagina Bu Atikah masih keringlah yang membuat penis Ano belum bisa membobol masuk.

Pemuda itu tidak memperdulikan jeritan dan lolongan Bu Atikah. Dia telah tuli dan buta hati.

Satu tangannya yang terbebas meluncur ke selangkangan perempuan itu, jari-jarinya membelah bibir gemuk vaginanya. Jari tengahnya mencari-cari sesuatu.

Satu lubang segera ditemukan jari tersebut. Menuntun kepala penisnya ke sana.

Ano semakin beringas. Tubuh montok yang tak hneti meronta itu ditekannya ke arah bawah sementara pantatnya menekan ke atas.

‘Prrrt’

“Anooo! Shaaa-khiiiit!”

Tubuh montok Bu Atikah mengejang. Perutnya terasa kram. Ketika kepala penis itu merangsek buas ke dalam vaginanya yang masih kering.

Pemuda itu semakin beringas. Terus mendorong penisnya tanpa belas kasihan ketika perempuan yang dirudapaksanya meraung kesakitan.

“Hosssh! Hoshhh! Hosssh!”

Terdengar dengusan keras dari Ano, menghembus panas ke kuping Bu Atikah. Dia diam sejenak. Entah tengah menikmati keberhasilannya membobol lubang vagina itu atau tengah mengumpulkan tenaga. Karena sesaat kemudian, dengan hentakan-hentakan kuat bertenaga. Dia dengan buas terus menggenjot dari belakang.

Sadar atau tidak, ditahan atau tidak ditahan. Cairan pelumas vagina Bu Atikah mulai merembes. Lubang yang tadinya sangat seret dan perlu tenaga besar untuk menarik dan mendesak, kini sedikit demi sedikit menjadi mudah dan licin.

Bu Atikah mencoba bertahan agar tidak terpancing, menahan sensasi asing yang aneh. Rasa perih dan pegal terasa di dinding-dinding vaginanya yang diaduk-aduk satu batang besar yang menggaruk-garuk tanpa belas kasihan. Perlahan-lahan berganti rasa geli dan gatal. Perempuan it uterus mempertahankan kesadarannya, namun sensasi asing itu terus menggelitik dan mengodanya. Napasnya mulai memburu oleh tenaganya yang terkuras karena meronta dan menjerit tiada henti. Namun bagaimana pun, usia memang tidak bisa berbohong. Staminanya telah turun hampir menyentuh ke level pasrah.

Rasa geli dan gatal itu terus menggodanya. Deru napasnya mulai tak teratur dan tak karuan. Birahinya kini memberontak, merayap naik sampai ke otak.

“Heshhh! Hesssh!” napas Ano menderu. Rasa nikmat yang teramat sangat membuat kepalanya seperti menggelembung besar dipompa gejolak kenikmatan. Penisnya yang tadi lancar menyodok-nyodok kini Kembali terasa seret. Dinding-dinding kenyal itu seperti menghimpit dan menghisap penisnya. Terasa berkedut-kedut. Meremas dan memijat. Sensasi nikmatnya tak terbayangkan yang hampir membuatnya sinting.

Ano merasakan desakan panas di penisnya.

Vagina Bu Atikah seperti tidak mengijinkan penisnya untuk ditarik kembali. Meremasnya kuat-kuat.

Dua tubuh itu mengejang bersamaan.

satu cairan dahsyat menyembur ke dinding kamar mandi dan Ano pun terkulai lemas di samping bak mandi. Baru kali ini dia beronani senikmat itu.

----

Setelah menuntaskan hasratnya di kamar mandi kemudian dia membersihkan diri. Ketika dia keluar kamar mandi, di ruang tengah sudah sepi, emaknya dan Bang Jawir mungkin sudah pindah ke kamar. Ano menghela napas, mencoba untuk tidak peduli. Membiasakan dirinya untuk menganggap hal yang biasa kejadian tabu tersebut. Kesesatan dan kebejatan, memang seperti sudah menjadi hal yang lumrah di belantara beton metropolitan ini. Sementara di daerah masih menjadi hal yang tabu, yang apabila umum tahu tentu akan menjadi ramai dan aib. Namun tidak di kota metropolitan ini. Paling banter hanya akan menjadi bisik-bisik panas di tukang sayur.



Di deretan kontrakan tempat Ano mengontrak pun, Sebagian besar pengontrak justru wanita-wanita penjaja tubuh. Jadi bukan hal yang aneh kalau ada lelaki asing hilir mudik, keluar masuk kamar-kamar kontrakan tersebut. Apparat-aparat tutup mata, asal pemasukan mereka lancar, bahkan sesekali, mereka bisa turut menuntaskan Hasrat. Edan memang. Tapi itulah kenyataan yang terjadi.



Ibu Ano memang bukan pelacur atau wanita nakal, walau pun memiliki suami preman terminal. Seingat Ano, hanya tiga kali emaknya bersetubuh dengan lelaki lain selain dengan suaminya. Dia tahu karena dia pernah mengintip dan memergoki. Pertama kali ketika dia masih SMP, pulang ke rumah kaget dengan suara-suara aneh di dalam kamar. Ketika mengintip, ternyata emaknya tengah dinaiki oleh pria asing. Sebagai anak yang berbakti, dia segera memberitahu bapaknya. Bukan main kehebohan yang ditimbulkannya. Si pria asing itu habis diinjak-injak bapaknya, digebukin pula ramai-ramai. Yang lebih ajaib, sama emaknya, Sang Bapak hanya ngomel-ngomel sedikit mengancam. Ternyata singa galak di luar kandang, begitu di dalam kandang ternyata berubah menjadi kucing imut yang penurut. Yang ke dua kali saat dia SMA. Emaknya disetubuhi Pak Siagian, pemilik kontrakan. Itu terjadi ketika bapaknya di penjara karena memukuli supir kopaja sampai masuk rumah sakit. Tanpa penghasilan, tentulah bayaran kontrakan pun bermasalah. Hanya sekali saja sama Pak Siagian, karena emaknya ternyata pintar. Dengan satu ancaman akan melaporkan ke istri Pak Siagian bahwa mereka pernah seranjang. Bayaran kontrakan pun bebas. Cerdas! Dan yang ke tiga, ya saat ini. Entah benar atau tidak, bisa jadi alasan saja bahwa Bang Jawir menyetubuhi emaknya karena utang bapaknya.



Emaknya memang manis. Tubuhnya montok menggoda laki-laki mana pun yang melihatnya. Padahal usianya sudah 44 tahun. Pakaian yang dikenakannya sehari-hari pun, hanya pakaian biasa, namun aura atau sex appealnya begitu kuat. Dari sisi mana pun dilihat, mampu membuatnya di lirik banyak mata nakal. Bahkan dia sebagai anaknya, sering menjadikan tubuh emaknya itu sebagai bahan fantasi beronani.



Ketika Ano masuk ke dalam kamarnya, di kamar sebelah sedikit berisik. Tentu persetubuhan emaknya dan Bang Jawir tengah berlangsung. Suara-suara itu makin jelas saat dia merebahkan tubuhnya di kasur. Sambil berbaring Ano membayangkan tubuh montok emaknya dalam keadaan telanjang berkilat oleh keringat ditunggangi tubuh bertato Bang Jawir.



“Sialan!” Ano uring-uringan sendiri. Walau pun ingin, namun dia tahu tidak bisa mengintip. Emaknya kalau bersetubuh tidak pernah suka dengan lampu menyala, paling banter remang-remang itu pun kalau siang. Kalau malam, cuma khayalan yang ada.



“Enghhh! Jangan di dalam!” terdengar ibunya berseru. Diikuti suara derit ranjang. Mungkin emaknya bergerak mendadak.



“Uhhh! Enak banget, Mpok! Nikmaaat!” terdengar erangan Bang Jawir. Sudah klimak sepertinya.

“Malah ditumpahin di tetek gue! … Mmmmhh!” kata-kata emaknya terpotong. Mungkin mereka berciuman.



Penis Ano Kembali menegang membayangkan kejadian di kamar sebelah. Tangannya menyelusuk ke balik celana pendeknya, mengelus dan mengocok. Membayangkan dua tubuh montok yang sudah matang menggoda. Tubuh emaknya dan Bu Atikah.

----

BERSAMBUNG



Mohon maaf sebelumnya. Postingan selanjutnya kemungkinan 2 minggu sekali rutinnya. Semoga bisa sampai selesai. Salam Semprot.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd