Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Senja di Sebuah Desa (Closed)

Status
Please reply by conversation.
Post 4

Semenjak ditinggal oleh ibu dan kakaknya, Nima tinggal bersama kakeknya di rumah. Seperti hari yang lalu, biasanya mereka hanya semalam saja meninggalkan rumah dan akan pulang saat pagi hari. Malam itu angin gunung berhembus kencang lagi membuat hawa dingin menusuk sampai ke tulang.

Nima malam itu nampak tengah berbaring di ruang depan, sedangkan mbah Sargo duduk di dekatnya sambil menghisap sebatang rokok kesukaannya. Ruangan rumah sangat sederhana itu diterangi lampu minyak yang cahayanya tak seberapa. Tapi buat mereka itu sudah lebih daripada tak bisa melihat apa-apa.

“Nduk.. kamu ndak ada keinginan ke kota? Siapa tahu kamu mendapat kehidupan yang layak di sana” ucap mbah Sargo bertanya pada cucunya.

“Ndak mbah.. aku takut mau kekota, katanya orangnya jahat-jahat” balas Nima yang tengah berbaring dengan tubuh hanya terbalut selembar kain batik saja.

“Lhoh, ya ndak semua orang itu jahat nduk, masih banyak orang yang baik”

“Ahh, aku enak hidup di desa saja mbah...”

“Nanti ndak berguna kamu sekolah sampai SMA, ijazahmu itu buat apa?” tanya mbah Sargo lagi sambil terus menghisap rokok di mulutnya.

“Pokoknya aku mau terus bersama ibu dan kakak di sini saja mbah..”

“Hemm.. begitu.. tapi kalau mereka harus pindah ke tempat lain, apa kamu mau ikut juga?”

“ya jelas aku ikut mbah.. apapun yang terjadi kita harus tetap bersama” ujar Nima dengan serius.

Tanpa Nima ketahui, mbah Sargo kemudian mengeluarkan biji merica dari wadah tembakaunya. Sambil dipegangnya, biji merica itu diberikan mantra lalu mulai dipelintir-pelintir. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyerang Nima.

“Kok panas ya mbah? padahal anginnya kencang...” tanya Nima saat tubuhnya merasa kepanasan.

“Hehe.. mungkin kain kembenmu tebal itu Nduk”

“Ini kain yang biasanya Nima pakai kok.. “

Mbah Sargo terus memelintir biji merica itu tanpa henti. Begitu juga dengan Nima yang tubuhnya terus merasa kepanasan. Darahnya mengalir deras dan jantungnya berdetak kencang. Ditambah lagi dengan celah kemaluannya mulai gatal dan berdenyut-denyut enak. Baru kali itu Nima merasakan gejala seperti itu di tubuhnya.

“Ahhhh... eeemmmhhh...” desah Nima saat tubuhnya mulai menggeliat karena rasa gatal dan geli yang menjalar di tubuhnya. Rasa panas juga masih terus dia rasakan, terutama pada kulit yang bersentuhan dengan kain kembennya.

“Kalau ndak tahan panasnya lepaskan saja kembenmu itu nduk..” ujar mbah Sargo kemudian.

“Aahhh.. i-iiya mbah...”

Nima sudah tak lagi bisa berpikir jernih. Rasa gatal dan geli nikmat yang menjalar di permukaan tubuhnya membuatnya jadi gelap mata. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka satu-satunya kain yang menutupi tubuhnya. Kini telanjanglah dia di hadapan kakeknya.

“Kamu merasa gatal disebelah mana nduk?” tanya mbah Sargo sambil melihat kemolekan tubuh telanjang cucunya itu.

“Di sini dan di sini mbah...aaahhh...” Nima menunjuk pada payudara dan pangkal pahanya.

“ya sudah.. kamu usap-usap saja, siapa tahu nanti hilang gatalnya” kata mbah Sargo memberi saran.

“Hemmm.. iya mbah... aahhhhh”

Kedua tangan gadis cantik itupun langsung mengusap-usap kedua payudaranya bersamaan. Namun semakin diusap semakin bertambah rasa gatal dan geli nikmatnya. Lama kelamaan gerakan tangan Nima bukan lagi mengusap tapi berubah menjadi remasan-remasan di kedua buah dadanya, terutama puting susunya yang bila dipelintir jadi berlipat-lipat rasa enaknya.

“Ahhhh... kenapa aku ini.. aahhh.... enakkkk....” jerit Nima saat tangannya menyentuh celah kemaluannya.

“Teruskan saja nduk.. biar gatalnya hilang” ucap mbah Sargo menimpali, tangannya ternyata masih terus memelintir biji merica yang diberi mantra tadi.

“Iyaa mbah.. aahhh.... kenapa enak di sini.. ahhh... ini.. aahhh...” desah Nima yang tangan kirinya mulai mengusap celah vaginanya. Sedangkan tangan kanannya masih meremasi payudaranya sendiri.

Tubuh telanjang Nima terus menggelinjang hebat disertai dengan sentakan-sentakan tak terkendali. Seakan-akan tubuhnya telah dirasuki sesuatu yang membuat setiap jengkal tubuhnya merasa nikmat. Tangannya sibuk mengusap celah vagina miliknya yang berhias bulu-bulu halus itu, sedangkan tangan satunya terus memelintir puting susunya kiri dan kanan bergantian.

“Aahhhh.. aku gak kuat... aahhhh.. ini.. eennaaakkkk...!!”

Tiba-tiba tubuh Nima tersentak ke atas seperti hendak meloncat. Badannya melengkung seakan dirinya tengah melepaskan sesuatu yang menguasainya sejak tadi.

“Aaaaaaaahhhhhhhkkkkkk......” jerit Nima lagi.

Tubuhnya yang melengkung ke atas membuat payudaranya yang montok membusung itu semakin tegak menantang. Apalagi belahan vaginanya yang mengayun-ayun ke atas dan ke bawah terlihat seakan mencari sesuatu yang bisa menggaruk celahnya.

“Haaaahhhhhhhh..... aaaahhhh.... aahhhh....”

Tiba-tiba tubuh Nima terjatuh kembali di atas pembaringannya tadi. Diikuti dengan lelehan cairan putih encer dari celah kemaluannya. Cairan itu sangat banyak sampai-sampai membasahi kedua pahanya yang mulus tanpa cela.

“Gimana nduk? Apa sudah hilang rasa gatalnya?” tanya mbah Sargo sambil tersenyum bahagia.

“Haahhhh... iya.. mbah.. sudah hilang.. haahhh... hahh...”

“Ya sudah, aku mau pergi keluar dulu, ndak lama.. kamu tidur saja ya nduk..”

“Hehmmm.. iya mbah.. iyaa.. aahh...” jawab Nima sambil nafasnya terengah-engah dan kedua kakinya masih gemataran. Mungkin dia belum tahu kalau dia baru saja mengalami orgasme pertama dalam hidupnya.

***

Keesokan paginya Tirasih dan Lingga pulang ke rumah. Mereka berdua nampak gembira dan mesra. Seakan mereka adalah pasangan baru yang kembali bersama setelah bertahun-tahun lamanya. Namun untuk Nima pemandangan itu sangat aneh baginya, bagaimana mungkin seorang ibu dan anak laki-lakinya bisa berciuman bibir tanpa malu-malu di depannya.

“Kakekmu kemana Nima?” tanya Tirasih begitu masuk ke dapur menemui anak gadisnya.

“Katanya cari rumput untuk makanan kambing bu...”

“Ohh iya sudah.. kamu sudah makan?”

“Belum kok bu.. nasinya baru matang ini”

“Kalau begitu biar ibu pergi ke pasar, beli tempe buat lauk kita” ucap Tirasih kemudian.

“Ayo bu aku antar.. kamu di rumah sendirian ndak apa-apa ya dek?” Lingga menyela obrolan mereka.

“Iya mas.. ndak apa-apa...pergi saja”

Setelahnya Lingga dan Tirasih pergi meninggalkan Nima. Dalam hati gadis cantik itu semakin bertanya-tanya, kenapa kakak dan ibunya tiba-tiba jadi begitu mesra seperti itu. Bahkan baru kali itu Nima melihat kakaknya dengan gembira mengantar ibunya ke pasar, padahal biasanya dia tak mau sama sekali.

Siang harinya, udara kembali terasa panas. Matahari bersinar dengan terik, membuat angin yang berhembus sepoi-sepoi jadi berharga sekali. Terlihat Nima tengah duduk di serambi sampir rumahnya sambil kedua tangannya sibuk memperbaiki beberapa bajunya yang terlepas benang jahitannya. Kakak dan ibunya entah pergi ke mana, sedangkan kakeknya tengah tidur di serambi belakang rumah.

“Nima.. “ suara seorang pemuda menyapa.

“Eh, Danur.. kamu dari mana?”

“Dari ladang, aku tadi mau pulang tapi ingin mampir dulu menemui kamu”

“Loh, memang ada apa Nur kok mau menemuiku?”tanya Nima keheranan.

“Ndak ada apa-apa Nim, cuma... cuma..”

“Cuma apa Nur?”

“cuma kangen saja Nim..” ujar Danur sambil tertunduk malu.

“Hihihi.. kangen?? Sama siapa? Aku?” tanya Nima sambil tersenyum manis.

“Iya sama kamu lah... ndak mungkin aku kangen sama kakakmu, hehehe...”

“Ada-ada saja kamu ini Nur.. eh sini, duduk dulu sini... panas di luar”

Danur kemudian mengikuti ajakan Nima, dia mendekati gadis cantik lalu duduk di sebelahnya. Meski pemuda itu berusaha tenang namun dadanya masih berdegub kencang, baru kali ini dia duduk bersanding berdua dengan gadis pujaan hatinya.

“Kamu sendirian saja Nim?”

“Iya, ibu dan mas Lingga pergi.. tapi kakekku ada di belakang”

“Ohh iya sudah.. gimana keadaan mas Lingga? Lukanya sudah sembuh ya?”

“Sudah.. sudah sembuh, bahkan sepertinya kulitnya itu kembali seperti semula, seperti tak pernah ada luka..” ujar Nima penasaran juga.

“Wahh, syukur kalau begitu.. tapi aku dengar keluargamu ada masalah ya sama pak Bardan?”

“Iya Nur.. makanya mending kamu ndak usah ikut campur urusan itu, nanti bapakmu marah lho..”

“Ndak apa-apa kalau bapak marah, asal aku bisa melindungi orang yang aku sayangi”

Tiba-tiba semuanya mendadak diam. Danur sudah merasa terlanjur mengungkapkan perasaannya. Sebaliknya Nima juga kaget mendengar ucapan Danur, baru kali itu dia mendengar seorang pemuda menyatakan rasa sayang padanya.

“Aku sungguh-sungguh Nima.. aku... mencintaimu..” ucap Danur lagi.

“Nur..Danur... aku ini anak orang miskin, ndak punya derajat seperti keluargamu, jangankan menikah.. pacaran saja pasti banyak yang menentang hubungan kita” ucap Nima lembut tapi penuh keseriusan.

“Kamu ndak usah mikir yang tidak-tidak Nima, asalkan kamu mau menerima cintaku saja sudah membuatku bahagia”

“Baiklah.. tapi mungkin kamu akan kecewa padaku nantinya”

“Tidak.. apapun yang terjadi aku tetap mencintaimu, bahkan aku siap melepas semua isi kehidupanku untuk bersama kamu Nima...”

“Kamu janji !?”

“Aku berani bersumpah Nima”

“Danur.. aku terima sumpahmu dan cintamu”

Setelah Danur puas bertemu dengan pujaan hatinya, dia lalu berpamitan pada Nima dan kemudian meneruskan perjalanannya pulang ke rumah. Dalam hati pemuda tampan itu sangat gembira karena cintanya tak lagi bertepuk sebelah tangan. Akhirnya Nima menerima cinta dari Danur yang telah mengejarnya sejak di bangku sekolah dulu.

“Kamu tadi bicara apa nduk? Sudah kamu pikir betul-betul apa yang kamu ucapkan tadi?” tiba-tiba mbah Sargo keluar dari balik pintu menemui Nima yang masih duduk menjahit pakaiannya.

“Ohh, tadi Danur mengatakan kalau dia cinta padaku, akupun menerimanya” jawab Nima, sepertinya dia tak menganggap perkataannya tadi penting.

“Dia itu anak kepala desa lho nduk.. apa kata penduduk desa kalau mengetahuinya..”

“Biarlah mbah.. dia berani berkata harus berani tanggung jawab”

“Hemmm... ya sudah nduk, sepertinya memang takdir anak itu ada bersama kita” Setelah berucap begitu, mbah Sargo kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

“Aku mau ke rumah Yadi dulu, nanti kalau ibu dan kakakmu datang kamu beri tahu mereka ya nduk..”

“Iya mbah.. memang ada urusan apa kesana?”

“Ada yang sakit, mbah diminta melihatnya”

“Emm.. baiklah mbah, nanti Nima kasih tahu ke ibu dan mas Lingga”

Selepas mbah Sargo pergi, Nima masuk kedalam dan menutup pintu samping rumahnya. Suasana rumah yang tak ada siapa-siapa selain dirinya membuat Nima tak punya hal lain untuk dikerjakan. Gadis cantik itupun menuju ke kamarnya yang letaknya di bagian depan rumah. Seperti biasanya Nima segera terlelap dalam tidur siangnya.

Lain Nima lain pula dua orang yang ada di belakang rumah. Dua orang lain jenis itu seakan sedang dimabuk asmara. Pasangan ibu dan anak itu sepertinya tak henti-hentinya memuaskan birahi setelah persetubuhan mereka yang pertama kali saat di dalam goa.

“Ahhh... ayo terus Linggaa... hisap yang kuat... aahhh...” ujar Tirasih yang tengah terbaring pasrah dengan tubuh sudah telanjang bulat.

“Hemmpphh... hemmphh... memek ibu memang enak.. ahhh.. gurih..” balas Lingga sambil menyeruput celah vagina Tirasih yang juga jalan lahirnya 21 tahun lalu itu.

Keduanya saling menikmati getaran birahi dan nafsu syahwat pada diri mereka. Sudah tak ada lagi batas anak dan orang tua yang seharusnya ada diantara dua orang berlainan jenis itu. Tubuh bugil mereka saling menyentuh, saling bergesek dan saling menekan untuk memberi rangsangan yang membawa rasa nikmat.

“Ahhhhhkkkk... itu... itu... aahhhhh...” jerit Tirasih tertahan saat celah kemaluannya kembali mengeluarkan cairan bening pertanda orgasmenya datang. Lingga tanpa ragu langsung menyedot cairan itu sampai tak tersisa, tinggal permukaan vagina Tirasih saja yang terlihat basah.

“Uuhhhhhh.. kamu hebat banget nak... “ puji Tirasih pada anak laki-lakinya.

Lingga tak menjawab pujian padanya, dia langsung menekuk kedua kaki ibunya lalu menahannya hingga mengangkang. Setelah itu dia dekatkan ujung kejantanannya pada bibir kemaluan ibunya dan dengan pasti dia lesakkan batang itu masuk menerobos liang senggama Tirasih.

“Aahhhhkkkk..” Tirasih kembali menjerit saat secara tiba-tiba liang vaginanya terisi oleh batang penis anaknya.

Bentuk batang penis milik Lingga yang bengkok ke atas membuat sensasi nikmat yang dirasakan oleh Tirasih semakin berlipat. Saat pemuda tampan itu mengayunkan penisnya keluar masuk celah vaginanya, mulut rahimnya seperti disundul-sundul oleh benda tumpul yang hangat.

Tanpa mereka sadari sesosok perempuan tengah melihat perbuatan ibu dan anak itu. Ya, rupanya Nima telah bangun dari tidurnya dan matanya sekarang menyaksikan ibu dan kakak laki-lakinya tengah bersenggama dengan liar di belakang rumah. Meski Nima saat itu ingin menangis tapi mulutnya hanya ternganga dan matanya malah terus melihat kegilaan mereka. Dia hanya berdiri mematung seperti sedang kehilangan jiwanya.

“Aaaahhhhh.. terus Lingga.. sodok yang kuat.. aahhh.. iyaa..” desahan dan racauan Tirasih masih terdengar dengan jelas. Dia tak khawatir suaranya akan didengarkan tetangga karena jarak rumah mereka lumayan jauh.

“Iya bu.. aahh.. ini.. aahh.. nikmaaatt.. aaaahh..” balas Lingga tak kalah meracaunya.

Pinggul Lingga dengan cepat mengayun ke depan dan ke belakang bersamaan dengan keluar masuknya penis pemuda tampan itu pada celah kewanitaan ibunya. Sedangkan Tirasih yang terbaring dan kakinya mengangkang hanya bisa pasrah pada perlakuan anak laki-lakinya yang perkasa itu. Namun begitu keduanya merasa sedang dimabuk rasa, rasa nikmat dan getaran birahi yang membara.

“Aahhhh.. aku keluar lagi Lingga.. aahhh...” sekali lagi tubuh Tirasih bergetar hebat dan kelojotan sebentar mengiringi gelombang orgasme yang menerpanya.

“Aaahh... enak kan Bu? Nikmat kan? Aahhh.. aku juga ini Bu...”

“Ayo nak... aku mau itu... di sini” ucap Tirasih dengan jari menunjuk pada mulutnya.

Lingga terus menggenjot liang senggama Tirasih dengan cepat. Kedua tubuh anak beranak itu terlonjak-lonjak karena hentakan dan pompaan yang dilakukan Lingga. Dia terus dengan cepat mengocok vagina Tirasih sampai beberapa lama kemudian Lingga mencabut penisnya.

“Ini bu.. aahhh... ini...”

Crott... Crott.. Crottt...

Semburan demi semburan cairan putih kental keluar dari ujung kemaluan Lingga. Cairan itu langsung tertampung pada rongga mulut Tirasih yang memang sengaja dibuka lebar untuk menyambutnya.

“Eemmmmmh.. enak banget pejuhmu le...segar rasanya... heemmmhh...” Tirasih tanpa jijik sedikitpun langsung menelan cairan putih kental itu tanpa sisa.

“Haaaahhhhh.... gimana Bu?? Enak kan miliknya Lingga?”

“Hihihi.. memang anak ibu perkasa banget, bisa bikin ibunya lemas dan puas..”

Nima yang tanpas sengaja menyaksikan perbuatan bejat mereka hanya bisa termenung dan mematung. Dia tak percaya pada semua yang dilihatnya, mungkin baginya itu adalah mimpi buruk yang harus segera bangun tidur untuk melenyapkannya. Tapi ternyata semuanya nyata.

“Nduk.. kamu jangan marah, nanti mbah yang menjelaskan semuanya” tiba-tiba saja mbah Sargo sudah berdiri di belakang Nima sambil memegang pundaknya.

“Eh, i-iiya.. mbah...” balas Nima yang kini tertunduk lesu. Tubuhnya bergetar tak jelas, ada rasa kecewa, ada rasa marah, namun juga ada birahi yang mulai meracuni pikirannya.

“Kalian segera siapkan ubo rampe yang diperlukan, kita ketemu di dalam goa saja” ucap mbah Sargo pada Tirasih dan Lingga yang sedang terbaring lemas.

“Iya pak....” jawab Tirasih sambil tersenyum bangga.

“Nima... siapkan bekalmu, kita akan melakukan perjalanan jauh”

“Kemana kita mbah?” tanya Nima penuh tanda tanya.

“Menjalani takdir keluarga kita” ucap mbah Sargo sambil memeluk pundak cucu perempuanya.

***

Malamnya, kembali Tirasih dan Lingga berada di dalam goa panewu. Namun kali itu mereka tak hanya berdua, ada mbah Sargo dan Nima juga. Suasana dalam ruangan goa temaram cahaya obor yang menyala. Meski begitu semua yang ada di goa itu masih bisa melihat dengan jelas orang di sebelahnya. Itulah kenapa Nima jadi kaget saat menyadari dirinya tengah berada diantara ketiga anggota keluarga yang mengelilinginya. Dan mereka dalam kondisi telanjang bulat semua.

Kedua mata Nima bisa melihat dengan jelas payudara ibunya yang montok menggantung tanpa penghalang dan celah vaginanya yang penuh dengan bulu kemaluan. Saat dia melihat ke arah Lingga, dia langsung melihat batang penis kakaknya itu tengah tegak mengeras menunjukkan keperkasaannya. Sama seperti yang lain, mbah Sargo juga tak memakai apa-apa lagi, terlihat batang penisnya masih lemas menggantung. Meski begitu Nima bisa memperkirakan ukurannya pasti besar.

“Nduk.. kamu harus mendengar kata-kata kami.. keselamatan kita terancam oleh penduduk desa, meski sekarang kita masih aman tapi mereka sudah berencanan melenyapkan kita” ujar Tirasih menatap Nima dengan serius.

“Maksud ibu apa? Dan ini... ini ritual apa?” balas Nima.

“Dek.. kamu jangan banyak tanya, yang penting kamu ikuti saja apa yang kita lakukan” sambung Lingga.

“Nduk.. kita akan pindah ke tempat yang lebih indah, lebih aman dan lebih baik daripada dunia ini..” ucap mbah Sargo menambahi.

“Maksudnya mati mbah?”

“Bukan.. nanti pasti kamu tahu dengan sendirinya, sekarang bersiaplah untuk menerima ilmu yang sudah diperoleh keluarga kita”

Lingga kemudian dengan cekatan mengikat kedua kaki dan tangan Nima dengan tali yang biasanya digunakan mengikat sapi atau kerbau. Tangan kiri gadis cantik itu diikat lalu di tambatkan pada batu sebelah kiri, demikian pula tangan sebelah kanan ditambatkan pada batu sebelah kanannya juga. Nima yang dipaksa menungging seperti hewan ternak hanya bisa pasrah tanpa perlawanan apa-apa.

“Pak.. apa harus begini caranya?” tanya Tirasih yang tak tega pada keadaan putrinya.

“Menurut perhitunganku memang harus begini Sih.. anakmu itu masih perawan, pasti dia mempunyai tenaga yang besar, bahkan bisa mengalahkan kamu dan Lingga” jawab mbah Sargo dengan yakin.

“Baiklah, aku ikut maunya bapak..” balas Tirasih pasrah.

“Kita mulai saja Sih..”

Mbah Sargo kemudian duduk bersila di samping Nima yang tangan dan kakinya terikat tali. Tak lupa bunga bermacam warna dan dupa sudah tersedia. Mulut lelaki tua itupun komat-kamit membaca mantra sampai pada suatu ketika semilir angin menerpa mereka berempat.

“Ahhh... aduhhh... tubuhku panas lagi mbah.. aahh..” rengek Nima yang merasa kepanasan

“Lingga, lepaskan kembennya..” perintah mbah Sargo pada cucunya.

Dengan cekatan Lingga menarik tali simpul pada ujung kemben yang melilit tubuh Nima. Hanya dengan satu tarikan saja kain batik yang dipakai gadis itu lepas dari tubuhnya.

“Uhhgh.. tubuhmu sangat mempesona dek, rasanya aku ingin segera menikmatinya” ungkap Lingga setelah dirinya berhasil menelanjangi Nima.

Lingga kembali ke tempatnya semula. Kini mbah Sargo, Tirasih dan Lingga berdiri mengitari Nima yang terikat dan menungging pasrah.

“Ahhhh... tubuhku... panas... gatal juga.. aduuhh...” rengek Nima lagi.

“Sepertinya dia sudah siap, Lingga kamu bagian belakang..” ujar mbah Sargo seraya mendekati Nima bersamaan dengan Lingga juga.

“Adduuhhh.. mass.. kamu apakan aku??” jerit Nima tiba-tiba saat lidah kakaknya mulai menyapu belahan vaginanya.

“Nduk.. kamu nikmati saja, kakakmu ndak bakalan membuatmu celaka kok, hihihi..” Tirasih meyakinkan Nima, kemudian dia berbaring di bawah anak perempuannya dan mulai menghisap puting susu Nima.

“Haaahhhh... Buuu.. aku diapakan?? Aaahhhh....” Nima menjerit lagi, bukan jeritan sakit namun karena rasa geli dan gatal enak sedang menjalar di tubuhnya.

Dalam sekejap tubuh Nima tengah dinimati oleh dua orang sekaligus. Lingga di bagian vaginanya sedangkan Tirasih di bagian payudaranya. Gadis cantik itu menggelinjang dan terlonjak-lonjak saat merasakan rangsangan yang hebat dari kedua bagian tubuhnya yang merupakan titik bangkit birahinya.

“Aaaahhhkkkkk....!!” teriakan Nima kembali menggema, kali ini diikuti menyemprotnya cairan putih encer dari celah kemaluannya. Rupanya gadis itu telah mencapai orgasmenya.

Mengetahui adiknya telah mencapai puncak kenikmatan, Lingga kemudian bergeser ke depan dan mbah Sargo menggantikan tempatnya. Lelaki tua itu ternyata mendekati Nima dengan batang penis yang sudah tegak mengeras.

“Dengan ini kamu akan mendapatkan kehidupan baru nduk...” ujar mbah Sargo kemudian mulai menusukkan penis besarnya pada celah kemaluan Nima.

“Aahhhh.. sakiiittttt... aaahhhhhhh....”

Teriakan Nima kembali menggema memenuhi ruangan dalam goa itu. Jeritannya begitu keras mengiringi lesakan penis mbah Sargo masuk kedalam vaginanya. Penis kakeknya itu terasa sangat besar dan membuat gesekan dengan dinding vaginanya sangat terasa. Belum lagi saat ujung penis mbah Sargo menabrak selaput daranya kemudian dengan paksa menjebolnya, membuat Nima semakin meraung-raung dalam rasa sakit pada celah kewanitaannya.

“Aaddduhh mbah... ampuunn... aahhhh... aduuuhhh... ampunn...” Nima mulai menangis akibat rasa sakit yang di deritanya. Vaginanya terasa panas dan perih, juga terasa penuh sesak. Dia baru menyadari kalau penis kakeknya sudah bersarang dalam lobang senggamanya secara keseluruhan.

“Kamu tahan sakitnya nduk.. ini adalah lelaku yang harus kamu jalani” mbah Sargo langsung menarik dengan cepat batang penisnya dari jepitan vagina Nima.

“Haaaahhhhh...!!!” Nima menjerit lagi .

Penis mbah Sargo yang tercabut dari jepitan celah vagina Nima tampak penuh dengan lendir dan darah segar. Dia kemudian mengambil sebuah bunga kantil dan mengoleskan darah perawan Nima itu pada bunganya. Setelahnya mbah Sargo dengan tergopoh-gopoh mengantarkan bunga yang berlumuran darah itu pada sebuah batu yang berbentuk payung di ujung goa.

“Lingga, berikan adikmu itu sari-sari tubuhmu dulu..” ucap mbah Sargo yang telah kembali mendekati mereka bertiga.

“Baik mbah..”

Dengan senang hati Lingga mulai mendekati pantat Nima yang masih menungging. Pemuda tampan itu kemudian menyiapkan batang penisnya pada liang senggama Nima dan dengan tekanan yang kuat dia mendorong hingga amblas seluruhnya.

“Aahhhhkkkkkhh... !!” pekik Nima lagi.

Lingga tak peduli pada jeritan dan teriakan kesakitan dari Nima. Setelah penisnya bersarang dalam liang senggama adiknya itu dia langsung menggoyang pinggulnya. Alhasil penisnya ikut mengayun keluar masuk celah kewanitaan Nima.

“Aahhh.. dekk.. akhirnya aku mendapat tubuhmu... memang enak sekali..” Lingga mulai meracau.

“Aahhh.. mass.. aduhhh..“ mulut Nima juga mulai mendesah namun masih ada rasa sakit yang tersisa.

“Enak banget memekmu ini dek... sempit.. aahhh.. bisa cepat keluar aku... ahh..”

Lingga terus mengayunkan pinggulnya maju mundur seirama dengan kocokan penisnya pada celah kewanitaan Nima. Dia sudah merasa dinding vagina adiknya itu menyesuaikan dengan batang penis yang memasukinya. Apalagi dengan adanya sisa cairan orgasme Nima tadi membuat rasa nikmat yang dialami Lingga semakin berlipat-lipat.

“Nduk.. ayo goda kakakmu.. berikan dia semangat supaya lebih nikmat..” ujar Tirasih pada Nima. Tangan perempuan itu juga masih terus mengusap-usap puting susu Nima dan sesekali memelintirnya.

“Iya Bu.. aahhh.. ayo mas.. yang keras.. aahh.. ayo...” ucap Nima kemudian.

Rasa sakit dan perih yang Nima derita berangsur-angsur mulai hilang. Sekarang yang dia rasakan hanya nikmat tiap kali batang penis Lingga bergerak menggesek dinding vaginanya. Gadis cantik itu semakin bergairah dan semakin terbakar dalam birahinya.

“Ahhh.. Bu.. memek adek bisa mijit kontolku.. aahh.. mantab banget.. ahh..” racau Lingga yang sudah tenggelam dalam nikmat persetubuhannya.

“Teruskan Lingga.. bikin adekmu juga enak.. ayo terus.. yang keras..” ujar Tirasih juga ikut membakar birahi Lingga dan Nima.

“Uhhhh... kontolmu mas.. aahhh... nabrak rahimku rasanya...ahhh...”

“Iya dek.. ini kakak.. sudah ndak tahan... aduuhh.... ini.. ini...”

Tiba-tiba tubuh Lingga yang menggenjot vagina Nima dari belakang kelojotan seperti hendak melepaskan sesuatu. Bola matanya naik ke atas menyisakan warna putih saja, persis orang yang sedang kesurupan. Namun begitu pinggulnya terus menyentak ke depan saat penisnya menyemburkan benih-benih keturunannya ke dalam rahim Nima.

“Aaahhhhhkkkkkkkk.... !!!” jerit Lingga kemudian tubuhnya ambruk ke lantai goa.

“Lihat Sih... anak laki-lakimu saja dibikin tak berdaya oleh Nima..” ucap mbah Sargo sambil melihat tubuh Lingga yang masih kejang-kejang.

“Iya pak... memang kehebatan anak perempuanku tak perlu diragukan lagi” balas Tirasih.

“Sudah nduk... siapkan dirimu menerima ilmu itu..” mbah Sargo kembali mendekati Nima yang masih menungging dan tangan serta kakinya terikat pada bebatuan goa.

“Aku siap mbah... lakukan”

Mbah Sargo kemudian mendekatkan ujung penisnya pada celah kewanitaan Nima. Celah itu sudah mulai terbuka namun tak terlalu lebar. Beda dengan awal mula saat Nima masih perawan tadi. Mbah Sargo kemudian mulai mendorong penisnya masuk ke dalam liang senggama Nima. Pelan tapi pasti batang itu masuk dan akhirnya amblas seluruhnya.

“Aahhhhhh...” kini mulut Nima hanya mendesah saja, tak ada jeritan seperti awal-awal tadi.

“Enak kan nduk? Kita nikmati bersama ya...” ucap mbah Sargo mengiringi dimulainya ayunan penis besarnya itu keluar masuk celah vagina Nima.

“Iya mbah.. geli, gatal tapi enak mbah, hihihi....” ujar Nima, kini dia bisa tertawa centil menggoda.

Dalam waktu singkat, kedua manusia berlainan jenis itu sudah mengarungi irama kenikmatan bersama. Tubuh Nima tersentak-sentak ke depan saat pinggul mbah Sargo membentur bongkahan pantatnya. Permainan kakeknya itu terasa begitu lembut namun bertenaga, beda dengan tusukan Lingga yang kasar dan terburu-buru. Itulah kenapa Nima sekarang sudah larut dalam persenggamaan sedarah itu. Dalam pikirannya sudah tak ada lagi hubungan keluarga, yang ada hanyalah dua orang lain jenis yang sedang memberikan kenikmatan.

“Aaaaahhhhhhkkkk....!!” dari dalam vagina Nima kembali menyembur cairan putih dan encer. Mungkin sudah keempat kalinya gadis cantik itu mendapatkan orgasmenya.

“Buat mbah puas dulu ya nduk.. nanti kamu pasti merasa lebih nikmat lagi” ujar mbah Sargo yang terus mengayunkan penisnya keluar masuk vagina Nima.

Gadis cantik itu terus menggelinjang dalam kenikmatan saat penis kakeknya itu menonjok-nonjok pintu rahimnya. Meski tadi sempat disiram oleh sperma kakaknya namun cairan itu seperti terhisap ke dalam tubuhnya hingga tak ada setetes pun yang keluar dari vaginanya. Mungkin aneh tapi itu nyata terjadi pada Nima.

“Siapkan dirimu nduk.. ini... ini mbah kasih semuanya..”

Mulut mbah Sargo kembali komat-kamit membaca mantra. Pinggulnya terus bergoyang maju-mundur seakan tak ada hentinya. Meski umurnya sudah tak lagi muda tapi tenaganya sungguh perkasa.

“Iya mbah.. ahhh.. itu.. kontolnya mbah... aahhh.. bisa mengembang.. aahhh”

“Ini nduk... terima.. terima.. aahhhhhhhhh....”

Semburan demi semburan sperma mbah Sargo menyembur ke dalam vagina Nima. Gadis itu tiba-tiba ikut menggelinjang dan tubuhnya mengejang dengan hebat. Kedua tangan mbah Sargo kemudian memeluk tubuh Nima dengan erat seperti tak mau melepaskannya.

“Inilah saatnya....”

“Iya bu.. aku ikut gembira...”


***

Eh, bersambung lagi ya Gaes ^_^
Marathon dulu
 
Post 6

Desas-desus tentang hilangnya tiga pemuda desa sebelah yang tanpa jejak akhirnya sampai juga ke telinga penduduk desa dimana Tirasih dan keluarganya tinggal. Kepala desa semakin meningkatkan penjagaan di tepi hutan yang berbatasan langsung dengan desa, terutama di waktu malam. Orang-orang yang berjaga juga membawa senjata tajam yang bisa digunakan saat ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.

Siang itu Lingga dan Nima sedang bekerja di ladang mereka. Tanaman berupa sayuran harus segera dipanen supaya tidak membusuk. Rupanya sejak kejadian Lingga bersama Tirasih di dalam goa dulu, dia tak lagi mengurusi ladanganya. Pemuda itu rupanya terlena dengan nikmatnya persetubuhan dengan lawan jenisnya.

“Dek, sudah siang ini, waktunya kita pulang..” ujar Lingga sambil membersihkan cangkulnya.

“Iya mas.. ini juga sudah selesai, tinggal nanti sore kang Yadi ambil..” ucap Nima yang mengumpulkan kacang panjang dan terong dalam satu keranjang besar di depannya.

Kedua kakak beradik itupun akhirnya berjalan menjauhi ladang mereka. Cuaca yang panas tak lagi mereka rasakan, sepertinya setelah mereka menerima ilmu itu keduanya jadi tak begitu terpengaruh oleh panas atau dingin cuaca. Mereka terus berjalan sampai pada satu belokan jalan yang sepi kembali kakak beradik itu menemui halangan.

“Berhenti..!!”

“Kalian siapa? Jangan katakan kalau kalian orangnya Bardan juga, aku sudah muak..!!” balas Lingga lalu maju kedepan berusaha melindungi adiknya.

“Hahaha.. kalau memang kami berdua adalah orangnya juragan Bardan kamu mau apa?” tanya salah satu laki-laki dengan tubuh gempal dan memakai ikat kepala.

“Kamu bisa mengalahkan Kasmo dan Wardi, tapi jangan harap bisa pulang hidup-hidup kalau mengahadapi kami... hahaha...” ujar lelaki lainnya dengan jumawa.

Kali ini Lingga menghadapi dua orang suruhan Bardan, namun mereka sekarang membawa senjata tajam berupa parang dan pedang. Melihatnya Lingga jadi berpikir dua kali untuk menyerang mereka duluan. Sesaat kemudian pemuda tampan itu membaca mantra lalu muncullah angin kencang yang membawa debu halus yang menerpa mereka semua.

“Ahhhh... apa ini kang? Kenapa tiba-tiba angin bertiup kencang?” ujar salah satu laki-laki musuh Lingga dengan menutupi matanya.

“Ndak tau aku.. sepertinya ini adalah perbuatan makhluk ghaib...” balas lelaki lainnya juga menutupi mukanya.

Tiba-tiba Lingga dengan gerakan yang gesit langsung meloncat mendekati mereka. Pemuda itu mulai menggigit tangan merka satu persatu, gigi taring yang tumbuh memanjang membuat gigitannya sangat dalam dan mengerluarkan darah bercucuran.

“Aaakkkkhhhh...!!” kedua lelaki bertubuh gempal itu berteriak kesakitan. Mereka langsung melepas senjata yang mereka bawa dan ganti memegangi tangan yang mengerluarkan darah segar.

“Sudah.. sudah.. kita menyingkir dulu...” akhirnya dengan tangan yang terluka kedua lelaki yang mencegat Lingga dan Nima itu lari tunggang langgang. Seiring dengan berlarinya mereka, angin kencang yang menerpa ikut reda juga.

“Mas.. kenapa kamu biarkan mereka lari?” tanya Nima sambil memegang dengan lembut tangan Lingga.

“Biar mereka cerita ke Bardan kalau kita ndak boleh disepelekan.. aku juga sudah memberi mantra pada gigitanku tadi..” jawab Lingga sambil mulai melangkahkan kakinya lagi.

“Waahh...nanti kalau mereka cerita hal-hal aneh gimana mas?”

“Sudahlah jangan khawatir.. mungkin mereka tak akan selamat.. daya mantra yang kuberikan tadi itu sangat kuat dek”

Lingga dan Nima kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah mereka. Langkah mereka biasa saja, tak menyiratkan kalau mereka baru saja diancam akan dibunuh oleh orang suruhan Bardan.

***

Kedua orang berbadan kekar itu tengah berjalan sempoyongan sambil memegangi tangannya. Luka yang mereka derita meski tak terlalu besar namun darahnya mengalir keluar terus.

“Juragan... eeehhhkkk.. juragan Bardan..” ucap lelaki bertubuh gempal bernama Suro itu.

“Heh!? Ada apa ini? Ada apa dengan kalian?” tanya Bardan tergopoh-gopoh mendekati kedua anak buahnya yang datang ke kandang sapinya.

“I-iitu.. tadi kami kembali mencegat pemuda itu... ini perbuatannya” ucap Suro lagi.

“Kurang ajar.. anak itu tambah berani denganku... akan kubuat perhitungan..” kata Bardan dengan geram.

“Kami... aduhhh.. sudah ndak kuat juragan.. tolong kami..”

“Hah!?? Iya.. iya... Karman... Karman....”

“Iya juragan..” datanglah pesuruh Bardan yang bernama Karman itu.

“Kamu ke rumah ki Sarpin.. minta dia datang kemari..”

Anak buah Bardan yang bertubuh kurus itupun kemudian berlari menuju arah pojok desa sebelah selatan. Saat orang yang bernama Karman tadi menemui Ki Sarpin, rupanya dua lelaki bertubuh gempal yang terluka tadi nyawanya sudah tak tertolong lagi. Mereka mati mengenaskan dengan tubuh kaku dan membiru. Bardan yang tak bisa berbuat apa-apa hanya menatap tubu kaku kedua anak buahnya yang telah meregang nyawa.

“Bardan.... apa yang terjadi??” teriak ki Sarpin saat matanya melihat Bardan berdiri di samping kedua anak buahnya yang terbujur kaku.

“Ki.. kita kecolongan Ki...”

“Apa maksudmu?”

“Aku tadi menyuruh mereka mencelakai cucunya Sargo, tapi mereka malah pulang dengan luka seperti ini.. dan mereka kini mati Ki...” ujar Bardan dengan bergetar bibirnya.

Dukun bernama Sarpin itu kemudian mendekati tubuh salah satu anak buah Bardan yang mati. Diamatinya tanda-tanda di tubuh mereka, terutama luka pada tangan-tangan mereka. Kemudian Ki Sarpin menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.

“Gawat ini..”

“Maksudmu apa Ki?”

“Ini adalah mantra racun yang dipunyai penunggu Goa panewu, aku sudah lama sekali tak melihat mantra ini digunakan... dan luka gigitan ini bukan gigi manusia tapi seekor macan...” ujar Ki Sarpin dengan mata menatap Bardan tajam.

“Macan!? Bukannya mereka tadi mencegat cucunya Sargo itu.. kenapa bisa lukanya digigit macan Ki?” Bardan tambah bingung dibuatnya.

“Bardan.. aku ingatkan sekali lagi, Sargo itu bukan orang sembarangan.. mungkin bagimu terlihat seperti orang biasa tapi sebenarnya dia itu telah menyerap ilmu ratu siluman... apalagi sekarang ilmu itu dia turunkan pada cucu-cucunya..” ungkap ki Sarpin dengan wajah khawatir.

“Lalu...apa yang harus kita lakukan Ki?”

“Sekarang kuburkan saja kedua orang ini.. katakan pada penduduk desa kalau mereka mati digigit ular..”

“Baik Ki...”

“Sementara ini kamu jangan gegabah menyerang keluarga Sargo... jangan ketemu juga dengan mereka.. bisa-bisa nyawamu melayang duluan”

“Iya... Iya Ki...”

***

Siang itu setelah Nima pulang dari ladang dia nampak beristirahat di sebuah kursi panjang dari bambu di dalam rumah. Lingga dan Tirasih pergi entah kemana, tapi Nima sudah tahu kalau kakak dan ibunya itu sedang memadu asmara penuh birahi entah di suatu tempat. Saat itu dia hanya ditemani oleh kakeknya yang terlihat sedang duduk menikmati kepulan asap dari rokoknya.

“Nima, kamu kemarin malam apa pergi keluar?”

“Iya mbah.. aku dapat perintah dari Bunda Ratu untuk mencari tumbal”

“Hemm.. berarti pemuda desa sebelah yang hilang itu kamu pelakunya?” tanya mbah Sargo lagi, gadis cantik itu hanya tersenyum sambil menggembungkan pipinya.

“Tapi setelah itu jadi aneh tubuhku mbah.. rasanya anuku basah terus.. jadi enak kalu di elus-elus, hihi...” ucap Nima kemudian.

“Hehehe.. nduk.. itu namanya kamu sedang birahi.. makanya ibumu itu selalu bersama kakakmu untuk memuaskan birahinya, kalau tidak dipuaskan bakalan gila lho nduk...” ucap mbah Sargo serius.

“Ohhh.. begitu ya mbah..”

“Iya.. apalagi setelah kalian bisa merubah wujud, nafsu kalian akan cepat naik berlipat-lipat.. makanya kamu kalau bisa cepat cari pasangan..”

“Hemmm.. baiklah mbah.. tapi gimana kalu sekarang aku minta tolong sama mbah saja, hihi..”

“Waaahhh.. bisa saja kamu ini.. ayo kalau begitu..” mbah Sargo setuju.

Nima tanpa basa-basi langsung melepas kain batik yang melilit tubuhnya. Setelah kain itu terlepas nampaklah tubuh mulusnya sudah telanjang bulat. Memang Nima sekarang tak menyukai memakai pakaian apapun selain kain kemben saja. Dalam kondisi telanjang bulat dia kemudian menungging di depan kakeknya itu dan mengarahkan belahan vaginanya pada muka mbah Sargo.

“Hemmm... memang birahimu sedang tinggi..” ujar lelaki tua itu setelah mencium celah vagina Nima.

“Iya mbah.. rasanya gatel dan basah banget.. disentuh sedikit saja sudah enak...” selepas liang kemaluannya dibaui oleh mbah Sargo, gadis itu kemudian memutar tubuhnya lagi kembali menghadap kakeknya.

“Ini nduk.. ayo dibangunkan dulu punya simbah...”

Nima yang mendapati kakeknya sudah ikut bugil dengannya, langsung menggapai penis lelaki tua itu dan mengemutnya. Sangat rakus sekali gadis cantik berpayudara montok itu mengemut dan menjilati penis kakeknya. Seakan dia sangat merindukan sekali batang kejantanan lelaki pasangannya.

“Kemampuanmu semakin meningkat nduk... kamu betul-betul seorang betina yang binal dan mempesona..” puji mbah Sargo pada cucunya.

“Hihihi.. apa iya sih mbah?” balas Nima dengan senyum manisnya.

Gadis cantik itu menungging dengan mulut menyelomoti batang kejantanan kakeknya. Kedua payudaranya yang montok itu nampak bergelantungan dengan bebasnya. Rasa-rasanya semakin hari ukuran payudara Nima semakin membesar. Belum lagi celah vaginanya yang rapat dan berhias bulu-bulu halus di pinggirnya, celah itu terlihat basah hingga semakin membuat pria manapun ingin mencicipinya.

“Ayo mbah... kita jangan kalah sama Ibu dan mas Lingga...” ucap Nima lalu memutar posisi badannya dan menghadapkan belahan vaginanya pada kakeknya.

“Hehehe.. kamu memang binal Nima.. suatu saat kamu pasti menurunkan anak-anak yang hebat pula...” ujar mbah Sargo. Lelaki tua itupun memposisikan ujung kejantanannya pada belahan vagina Nima, lalu mendorongnya dengan hentakan yang pelan tapi kuat.

“Aaaahhhkkkk....!!!” Nima menjerit tertahan begitu batang penis mbah Sargo yang lumayan besar itu menerobos celah kemaluannya.

“Sudah ndak sakit kan nduk?”

“Uhhh.. iya mbah... enak.. langsung genjot saja.. ahhh.. ayo mbah...”

Mbah Sargo tak menunggu lama. Pinggulnya mulai berayun maju mundur dengan pelan. Lelaki tua itu seakan-akan menjadi seorang lelaki perkasa yang tengah menyetubuhi wanitanya. Ayunan pinggulnya menghentak, seakan menggedor-gedor pintu rahim Nima yang tengah disenggamainya.

“Addduhhhh... enak mbahh... aahhh.. iyaa... teruss.. aahhh...” mulut Nima mulai meracau merasakan nikmat yang menjalar di setiap jengkal tubuhnya. Gadis itu memang terlahir binal, hanya lingkungan sekitarnya saja yang selama ini mengekangnya.

“Aahhh.. tempikmu tipis tapi rapet nduk.. jepitannya kuat.. ndak seperti punya ibumu.. aahhh..” puji mbah Sargo lagi.

“Ohhh.. iya mbah.. kontol mbah juga mantebb.. bisa nyundul rahimku rasanya.. aahhh.. ”

Plok... plok... plokk... plokk.. suara benturan pangkal paha mbah Sargo dengan bongkahan pantat Nima bergema, meramaikan suasana rumah mereka.

Di siang yang panas itu, seorang kakek dan cucu perempuannya tengah memadu kasih dan birahi di dalam rumah mereka tanpa ada orang lain yang mengetahui. Keduanya bebas melakuan posisi apa saja yang mereka anggap semakin membuat rasa nikmat. Kali ini Nima tampak membungkuk dengan kedua tangan berpegangan pada jendela, sedangkan mbah Sargo yang ada di belakangnya masih mengocok vaginanya dengan buas.

Tubuh mbah Sargo dan Nima semakin lama semakin penuh dengan keringat. Keduanya tak henti-hentinya saling memuaskan dan saling memberi rasa nikmat. Sudah beberapa kali mbah Sargo membuat liang kewanitaan Nima harus muncrat cairan orgasmenya. Namun lelaki tua itu belum menunjukkan tanda-tanda mencapai puncak kenikmatannya.

“Permisi... Nima.. Nimaa.....” tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda memanggil Nima.

Mbah Sargo dan Nima yang masih terus berpacu dalam nikmatnya persenggamaan akhirnya dengan berat hati harus mengentikan sementara perbuatan mereka. Nima kemudian melongokkan kepalanya keluar jendela.

“Adap apa Nur?” jawab Nima yang hanya terlihat kepalanya.

“Ehh.. Nima.. kamu sedang apa?” Danur tertegun dengan penampilan Nima siang itu, wajahnya penuh keringat dan rambut panjangnya sudah tak karuan bentuknya.

“Ohh.. baru bangun tidur.. sshhhhh... ada apa ya Nur?” balas Nima sekenanya. Sementara mbah Sargo di belakangnya masih terus menggoyangkan penisnya keluar masuk vagina Nima tapi perlahan-lahan.

“Gini.. nanti malam kita keluar.. jalan-jalan.. kamu mau ndak?”

“Iya.. aku..aahhhh... mau kok..” jawab Nima sambil mendesah.

“Kamu kenapa Nima? Kok seperti mendesah begitu..” tanya Danur mulai curiga.

“Endak.. ini tadi aku digigit.. aahh... semutt...” jawab Nima beralasan, padahal sebenarnya desahannya karena celah kemaluannya terus mendapat kocokan dari penis kakeknya.

“Ya sudah.. nanti malam aku kesini menjemput kamu..” kata Danur, pemuda tampan itupun lalu berjalan menjauh dari rumah Nima.

“Temanmu sudah pergi ya?” tanya mbah Sargo kemudian sambil mencium tengkuk Nima.

“Ahh.. sudah mbah.. nanti malam dia ngajak aku jalan-jalan...”

“Hehe.. pasti kamu berencana menjadikan dia pasanganmu ya nduk?”

“Lho kok mbah sudah tahu.. hihi... iya mbah.. aku suka sama dia” jawab Nima polos mengakui perasaannya.

“ya sudah.. ndak apa-apa.. asalkan kamu bahagia nduk..”

“Iya mbah.. tapi sekarang mbah tolong Nima supaya merasa enak dulu, aaahh....”

Mbah Sargo langsung mengangkat tubuh Nima. Lelaki tua itu kemudian membaringkan cucunya itu di lantai rumah. Meski lantai rumah itu berupa batu-bata tapi diatasnya ada papan kayu sebagai pelapis supaya tidak kotor kalau ada yang duduk di atasnya. Nima nampak terbaring dengan pasrah menerima segala kelakuan mbah Sargo padanya.

“Euummphhh... uuumphhh...clup.. cuppp... cuup.. aahhh..” puting payudara Nima yang berwarna kemerahan menjadi bulan-bulanan jilatan dan hisapan mbah Sargo. Lelaki tua itu dengan rakus menyesap dan menyedot puting mungil itu seperti bayi yang kelaparan.

“Aahhhhh... aahhhh.. terus mbahh.. aahh.... aduuhh... enaakkk... aahh..” Nima terus menjerit-jerit kala mbah Sargo mengerjai puting susunya berbarengan dengan batang penis yang masih keluar masuk celah vaginanya juga.

Mbah Sargo terus mengerjai tubuh Nima dengan liar. Tubuh gadis cantik itu sudah bolak-balik berubah posisi demi menuruti birahi kakeknya. Keduanya seperti tak punya rasa lelah, penis mbah Sargo terus dan terus keluar masuk liang senggama Nima.

“Aaaaaahhhhhhhhhhhh.......sedaapppp....”

Teriakan panjang dari mulut Nima mengiringi menyemprotnya cairan bening dari celah vaginanya. Tubuhnya kembali bergetar dan kelojotan menerima getaran orgasme yang mengguncang syaraf-syaraf tubuhnya. Dalam getaran pada tubuhnya, dinding vagina gadis itu ikut berkedut-kedut mencengkram dan menjepit lebih kuat pada batang penis mbah Sargo.

“Adduhhhh.. aku kalahh.... aaaahhhh...”

Crott... Crottt.. Crott..... sperma lelaki tua itu akhirnya menyembur di dalam liang senggama Nima.

“Hahhhh... haaahhh... tempikmu memang enak banget nduk.. yang jadi pasanganmu akan beruntung sekali..” puji mbah Sargo.

“Hihi.. iya mbah..” balas Nima tersenyum genit.

“Sudah.. sudah.. kita istirahat dulu.. mumpung belum terlalu sore..”

Akhirnya kakek dan cucunya itu tergeletak di atas papan lantai rumah tanpa menutupi tubuh mereka lagi. Keduanya nampak kelelahan, tubuh mereka basah oleh keringat dan cairan orgasme Nima bercampur sperma yang menyengat. Mereka sudah tak peduli apa-apa lagi. Keduanya pun tertidur dengan wajah penuh kepuasan.

***

Danur pulang dari rumah Nima dengan wajah berseri-seri. Keinginannya untuk mengajak gadis yang dicintainya itu sekedar jalan-jalan membuat perasaannya sangat bahagia. Namun dalam langkahnya yang penuh riang gembira itu dia teringat perintah bapaknya untuk memeriksa kembali pohon di tepi hutan yang besok akan di tebang. Danur kemudian membelokkan langkahnya menuju kearah hutan, meski dia saat itu sendirian.

Danur menyadari kini dirinya sudah terlalu masuk kedalam hutan. Tiba-tiba saja dia menyadari lingkungan sekitarnya jadi sunyi dan menakutkan. Bulu kuduknya juga berdiri tanpa sebab yang pasti. Dari arah samping Danur melihat kelebatan hewan buas, sepertinya itu adalah seekor macan. Kemudian dari belakangnya juga dia merasa tengah diawasi oleh sesuatu. Pemuda itupun hendak berlari menjauh dari tempat itu.

“Danur.. kamu sedang apa di sini nak?” tanya Tirasih yang tiba-tiba saja berada di belakang Danur.

“Eh.. anu... anu..” mulut pemuda tampan itu tercekat seakan berhenti bergerak. Matanya menatap penuh heran pada Tirasih yang berdiri di depannya, wanita itu tengah telanjang bulat memamerkan permukaan tubuhnya yang mempesona.

“Hati-hari Nur... kalau ke hutan jangan sendirian..” ucap suara dari samping kanannya yang tak lain adalah Lingga.

Danur tak habis pikir pada apa yang dilihatnya saat itu. Lingga dan Tirasih tak memakai apa-apa untuk menutupi tubuh mereka. Apalagi tempatnya di hutan, sedang apa mereka? Sejuta pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Danur, sampai dia tak menyadari Tirasih sudah berada di depannya.

“Bu Tirasih.. anu.. itu...” Danur masih kebingungan.

“Kamu apa benar menyukai anak perempuanku Nur?”

“Ehh...itu.. itu..” balas Danur semakin bingung.

“Ayo jawab Nur...” timpal Lingga.

“Iya.. aku suka dengan Nima..” jawab Danur kemudian, pemuda itu mengumpulkan keberaniannya.

“Baiklah.. kalau kamu memang suka anakku.. maka aku akan mengajakmu mengikuti keluarga kami...bagaimana Danur?” tanya Tirasih dengan wajah yang serius.

“Iya bu.. aku siap.. demi Nima aku akan melakukan apa saja”

“Hemm.. kalu begitu siapkan dirimu baik-baik Danur....”

***

Bersambung lagi ya Gaes ^_^
waduh tambah keluarga baru nih
 
Post 8 (End)

Lingga terus berlari menggendong tubuh Bardan. Gerakan pemuda itu terbalut dalam gelapnya malam hingga tak satupun manusia yang bisa melihatnya. Belum lagi kekuatan yang diperolehnya dari ilmu itu membuat tenaganya jadi kuat dan larinya pun cepat. Tak ayal dalam waktu yang singkat pemuda berwajah tampan itu telah sampai pada mulut goa. Dia lalu memasukinya dengan langkah yang pasti.

Di dalam goa sudah ada nyala obor yang telah dipersiapkan oleh Tirasih. Wanita bertubuh sintal itu rupanya telah datang mendahului Lingga yang membawa Bardan.

“Lepaskan..!! Lepaskan aku..!! kamu mau apa Tirasih??” teriak Bardan yang telah siuman dan menyadari dirinya tengah diikat pada bebatuan dinding goa.

“Hehehe.. tenang saja juragan.. ndak akan lama lagi... kamu pasti ndak bisa melihat kita lagi..” ucap Lingga sambil tertawa melihat Bardan yang terikat. Tubuh lelaki setengah baya itu pun belum memakai apa-apa setelah mengerjai Tirasih di kandangnya tadi.

“Apa maksud kamu? Jangan... ampuni aku...tolong..” rengek Bardan setelah mengetahui kalau dirinya tak bisa berbuat apa-apa lagi.

“Sudahlah kang.. ikhlaskan saja.. pada akhirnya semua manusia bakal mati juga kok..” ujar Tirasih dengan nada lembut, meski begitu ucapan wanita cantik itu bagai ancaman kematian bagi Bardan.

“Omong apa kamu ini Sih.. aku masih belum mau mati.. lepaskan aku.. lepaskan..” rengek Bardan yang nyalinya jadi menciut.

“Lingga.. kita pulang dulu.. kita jemput mbah Sargo dan adikmu”

“Iya bu.. ayo kita pulang” balas Lingga pada perkataan ibunya.

“Hah!?? Kalian mau kemana? Jangan tinggalkan aku disini...ampuunn...” rengek Bardan lagi setelah tahu dia akan ditinggalkan.

“Sudahlah kang.. kamu disini saja dulu, tempat ini aman dari hewan yang makan daging.. hanya saja di sini banyak ularnya..” balas Tirasih.

“Ehh!? Lepaskan aku Sih.. lepaskan.. aku ndak mau mati Sih...lepaskan” Bardan terus meronta-ronta supaya dia dilepaskan dari ikatan tali yang menahan tubuhnya. Namun begitu Lingga dan Tirasih tak peduli, mereka langsung keluar dari dalam goa dan berjalan pulang ke rumah mereka.

***

Pada waktu yang bersamaan, di desa telah geger oleh kematian dua orang anak buah Bardan dengan luka gigitan harimau di leher mereka. Masyarakat desa tengah bingung dan takut kalau macan yang menggigit dua orang itu akan kembali masuk ke dalam desa.

“Saudara-saudara tolong tenang... kita sudah mempersiapkan senjata dan jebakan kalau hewan itu masuk ke dalam desa” ujar kepala desa berusaha menenangkan penduduknya yang berkerumun di sekita dua mayat anak buah Bardan.

“Pak.. ini bukan hewan biasa.. ini macan kumbang jadi-jadian” ucap Ki Sarpin yang sudah datang dan mengamati mayat yang tertutup kain batik itu.

“Apa maksudmu Ki?” balas kepala desa tak mengerti.

“Sekilas kalau dilihat ini adalah gigitan hewan biasa, tapi kalau kita melihat dengan teliti.. tidak ada daging yang hilang.. artinya hewan itu tak memakan daging manusia”

“Jadi hewan itu hanya membunuhnya saja..” balas kepala desa mulai faham.

“Betul.. hewan biasa akan membunuh mangsanya untuk mencari makan, tidak sekedar membunuh terus ditinggalkan.. jadi kesimpulan saya adalah, yang menggigit dua orang ini adalah macan siluman...” ujar Ki Sarpin dengan yakin.

Mendengar penjelasan yang dikemukakan oleh Ki Sarpin membuat orang-orang yang datang mulai kasak-kusuk membicarakan semua kemungkinan yang ada. Mereka jadi semakin ketakutan, karena dalam sejarah desa itu pernah juga terjadi siluman mencari tumbal seperti itu. Bahkan sampai membuat hampir sepertiga jumlah penduduk desa meninggal dunia.

“Tenang.. tenang saudara-saudara semua.. kita jangan gegabah” ujar kepala desa kembali menenangkan kegelisahan masyarakatnya.

“Pak kepala desa.. kita harus mencari pelaku ilmu hitam itu... kita harus menyingkirkannya dari desa kita” ucap salah satu laki-laki yang hadir di tempat itu.

“Iya betul pak.. kalau perlu kita harus membunuhnya duluan” ujar lelaki lainnya.

“Tunggu!! Kalian mau menyingkirkan pelaku ilmu hitam itu... lalu apa kalian sudah mengetahui siapa yang melakukannya?” tanya kepala desa, semua jadi terdiam.

“Saya tahu siapa yang melakukannya...” ucap Ki Sarpin dengan yakin.

“Siapa Ki? Bicarakan saja di sini” kata kepala desa.

“Pelakunya tak lain tak bukan adalah saudara seperguruanku... mbah Sargo” ucapan Ki Sarpin disambut riuh suara orang-orang mulai kasak-kusuk tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Jangan ngawur kamu Ki.. mbah Sargo itu orangnya baik, dari kecil sampai sekarang aku mengenal mbah Sargo itu tak pernah mencelakai orang lain.. malah dia sering membantu masyarakat yang sakit” balas kepala desa.

“baik luarnya belum tentu baik dalamnya juga pak... mungkin benar dia sering menolong, tapi apa ndak mungkin kalau ilmu yang dipakainya itu didapat dari ratu siluman..” ujar Ki Sarpin lagi.

“Sudah.. sudah... kita jangan gegabah, sebelum ada bukti yang nyata aku minta jangan ada yang berbuat macam-macam di desa ini... sekarang baiknya kita kebumikan dulu jasad mereka ini”

Orang-orang yang datang berkumpul di tempat itu mulai membubarkan diri. Beberapa orang kemudian menggotong dua jenazah yang telah tertutup kain batik itu. mereka membawa masing-masih jenazah itu ke rumah masing-masing untuk dilaksanakan upacara pemakaman.

“Ki.. juragan Bardan dibawa oleh mereka” bisik seorang lelaki bertubuh tegap dengan kepala pelontos.

“Maksudmu mereka itu siapa? Sargo?” tanya Ki Sarpin balik.

“Bukan.. sebelum kejadian mereka mati, tadi sore juragan Bardan membawa Tirasih ke kandang sapi, mereka memperkosa wanita itu..”

“Hemm.. benar firasatku, Bardan ndak bisa menahan nafsunya... beginilah akhirnya” ujar dukun desa itu sambil mulai menyalakan rokok kreteknya.

“Setelah juragan Bardan, Wardi dan Kasmo memperkosa perempuan itu.. tiba-tiba muncul macan kumbang menyerang mereka semua..” lanjut lelaki pelontos itu berkata.

“Ahh.. kamu tahu darimana?” ucap Ki Sarpin penasaran.

“Eh, saya melihat kejadian itu.. tapi dari jauh.. setelah macan kumbang itu masuk ke dalam tempat menyimpan pakan sapi, saya langsung lari.. takut Ki....” terangnya.

“Berarti macan kumbangnya ada dua... hemm.. siluman itu telah menurunkan ilmunya rupanya..”

“Ma-maksudnya bagaimana ya Ki?”

“Sudah, kamu ndak perlu tahu secara jelas.. sekarang kamu pergi ke rumah mbah Sargo.. lihat kalau macan itu masuk ke dalam rumahnya kamu langsung menemuiku”

“Iya Ki.. saya kesana..”

***

Seperti dugaan Ki Sarpin, dua ekor macan kumbang berwarna hitam legam itupun kembali masuk kedalam rumah mbah Sargo. Dua hewan itu adalah perwujudan Tirasih dan anak laki-lakinya, mereka baru pulang dari goa panewu tempat mereka menyembunyikan Bardan. Tak seperti hewan pada umumnya, kedua macan kumbang itu lebih memilih melewati pintu belakang rumah yang malam itu masih terbuka lebar.

Tanpa ada yang tahu, seseorang tengah mengamati dengan seksama kedua macan itu masuk ke dalam rumah mbah Sargo. Kecurigaan masyarakat desa kalau macan sosok hewan itu adalah hewan jadi-jadian semakin terbukti. Mata-mata itupun langsung berlari menjauh dari tempat persembunyiannya.

“Ibu dan mas Lingga darimana saja? Tadi mbah Sargo mencari-cari..” ucap Nima yang melihat kedua macan itu berubah wujud lagi menjadi ibu dan kakaknya.

“Dari goa.. kami tadi menyerbu tempatnya juragan Bardan..” jawab Lingga yang tak menyembunyikan tubuhnya yang telanjang itu di hadapan adik perempuannya.

“Iya.. sudah beres sekarang.. dia kami ikat di dalam goa” sambung Tirasih yang juga masih tanpa busana.

“Ohh.. lalu juragan Bardan mau diapakan Bu?”

“Ndak tau aku.. nanti kalau mbahmu sudah datang kita tanya saja” balas Tirasih pada Nima yang terlihat mulai berdiri mengimbangi datangnya ibu dan kakaknya.

“Iya bener Bu.. lalu mbah Sargo kemana dek?” tanya Lingga yang duduk tepat di samping Nima.

“Masih keluar, katanya ada keperluan dengan Kiyai Jamal.. ndak tau aku apa urusannya” balas Nima. Gadis cantik itu sepertinya mulai merasakan sesuatu di dekatnya, sesuatu yang membuat nafsunya tiba-tiba timbul.

“Eh, ada apa dek? Mas bau ya? Hehe.. belum mandi seharian ini aku” ucap Lingga yang merasa diperhatikan oleh adiknya.

“Heemmm.. ndak juga mas.. baunya eemm.. enak.. bau apa ini mas?” Nima mendekatkan mukanya pada wajah Lingga, hidungnya mengendus bau disekitaran wajah tampan kakak laki-lakinya itu.

“Bau apa ya dek... ndak ingat aku..” balas Lingga.

“Pokoknya bau ini membuatku jadi tambah birahi mas... emm...surrppp...suurrrppp...”

Tiba-tiba Nima yang mendekati wajah Lingga langsung menjilati dengan rakus seputaran mulut kakaknya itu. sepertinya sisa-sisa aroma darah manusia yang masih melekat pada muka Lingga telah diketahui oleh penciuman Nima, dan sekarang dia berusaha menikmatinya.

“Ahhh.. bau ini sungguh enak mas.. ahhh... aduuh... tempikku kok jadi basah ya!?” ujar Nima yang terang-terangan menyatakan kondisi vaginanya sudah mulai membasah.

“Hehehe.. kalau begitu mas harus melayanimu dek..” balas Lingga. Pemuda berkumis tipis itu langsung melepaskan kain kemben yang menutupi tubuh Nima. Setelah kain itu lepas, seketika itu juga termpampanglah tubuh langsing nan menawan milik Nima.

“Aku ndak bisa nahan nafsu ini mas.. eemmhhh... baunya enak banget..” Nima terus menjilati muka Lingga, meski tubuhnya ditelanjangi oleh kakaknya namun gadis itu tak melawan, dia sudah pasrah pada kebutuhan duniawinya.

“Iya dek.. jangan kamu tahan.. ayo tumpahkan bareng kakakmu ini..” ujar Lingga meladeni naiknya birahi Nima.

“Duhhh.. yang lagi kasmaran.. sampai ibunya ndak dihiraukan.. tapi kalian lanjutkan saja.. hihi” ucap Tirasih yang tengah memperhatikan kedua anaknya yang telanjang bulat saling bercumbu dengan hebat.

“Gapapa Bu.. ayo sini gabung.. kita nikmati malam ini bersama..” ajak Lingga pada Tirasih. Wanita cantik bertubuh semok yang sudah telanjang itupun mengikuti ajakan anaknya.

Laksana seorang raja dengan selir-selirnya, Lingga diapit oleh Nima dan Tirasih di kanan kirinya. Oleh kedua perempuan itu, tangan Lingga diarahkan untuk merangkul bahu mereka. Dengan binal keduanya mulai menciumi leher Lingga, membuat pemuda beruntung itu kegelian. Ditambah lagi gesekan empuk bulatan susu montok milik Nima dan ibunya, beserta puting mereka yang sudah menegang di kanan-kiri dada Lingga. Tangan mereka membimbing tangan Lingga yang sedang merangkul mereka untuk meremas payudara keduanya yang tidak sedang menempel di dada Lingga.

Puas mencumbui leher Lingga, kemudian Nima dan Tirasih bergantian mencium mesra bibir Lingga, mengajak pemuda tampan itu melakukan cumbuan yang panas. Saat Tirasih mencium bibir Lingga, Nima turun mencumbui dada kakaknya. Kontolnya tak disentuh sama sekali, tapi perlakuan kedua perempuan di bagian tubuh lainnya cukup untuk membuat kenjantanan Lingga tegak mengacung dan mengeras, siap untuk ditusukkan pada liang vagina pasangannya.

“Haduuhhh... Mas Lingga, bau tubuhmu bisa membuatku gila ini.. hmmmhh.. cuupphh...” ungkap Nima disela-sela cumbuannya.

Tentu ada alasannya kontol Lingga tidak disentuh oleh Tirasih sama sekali. Karena benda yang mereka puja itu adalah jatahnya Nima sekarang. Lingga tidak percaya ketika melihat Nima dengan binalnya merangkak ke arah selangkangannya. Mata Nima tampak tak berkedip memandangi kejantanan Lingga yang terhunus tegak. Begitu sampai pada sasarannya, Nima langsung membenamkan kepalanya di selangkangan Lingga. Gadis bertubuh langsing dengan buah dada montok itu kemudian menggesekkan wajahnya di batang Lingga, persis seperti kucing yang merajuk minta makan dengan cara menggesekkan kepalanya di kaki majikannya.

Hembusan nafas Nima begitu terasa di kulit penis Lingga yang mendadak jadi peka pada rangsangan, membuat Lingga semakin geli-geli nikmat. Dan itu belum seberapa, karena kemudian Nima mulai menjilati kedua biji peler kakaknya itu dengan lidahnya yang lembut, basah dan hangat. Jilatan Nima pada kulit kantung peler Lingga yang tipis itu terasa begitu nikmat, lalu gadis itu semakin naik, dari pangkal kontol, ke bagian tengah, hingga ke ujung. Dirangsang seperti itu, Lingga ingin meracau menyuarakan kenikmatannya, tapi tak bisa karena sekarang Tirasih sedang menyumpal mulut Lingga dengan payudaranya. Pemuda bertubuh kekar itu pun hanya bisa pasrah menyusu bergantian kanan-kiri pada dada ibunya.

“Sluuurrrpp...sluuurrppp...Phuaahh!” Nima akhirnya melepas mulutnya dari batang penis Lingga, nampak air liur menetes-netes dari sudut bibirnya, bercampur dengan beberapa helai jembut Lingga yang tercabut karena saking buasnya gerakan mulut Nima.

“Ahhhh.. rasanya nusuk sampai tenggorokanku ini mas...” ucap Nima sambil mengusap-ngusap lehernya. Batang penis milik Lingga memang panjang namun bengkok di ujungnya, membuatnya bisa masuk lebih dalam daripada batang penis milik laki-laki lain. Setelah dirasa cukup, gadis cantik itu lalu berdiri dan menaikkan tubuhnya ke pangkuan Lingga.

“Ayo Nima.. rengkuh kenikmatan itu bersama kakakmu..” ujar Tirasih menyemangati Nima yang sudah bernafsu ingin segera disetubuhi oleh Lingga.

“Ahhh... Henngghhh..” lenguhnya saat kepala kontol Lingga menyentuh bibir vaginanya. Nima kemudian mengerang sambil memejamkan mata ketika batang penis Lingga mulai melesak masuk ke dalam vaginanya yang sempit itu.

“Oooohhhh...Oohhhh.. baru masuk saja sudah enak banget” racaunya sambil gemetar, Nima mendesah lega ketika kontol Lingga sudah amblas seluruhnya.

Batang penis Lingga sedang dijepit oleh dinding kemaluan Nima dengan rasa nikmat yang setengah mati, sementara bagian atasnya pun tak kalah nikmatnya. Dua puting susu milik Tirasih bergantian masuk kedalam mulut Lingga kanan-kiri. Bila salah satunya masuk di mulut, satunya pasti dioles-oleskan pada pipi pemuda tampan itu. Diserang gencar seperti itu akhirnya akal sehatnya sudah ditendang jauh-jauh oleh nafsu syahwatnya sendiri. Tangan Lingga yang tadinya diam, mulai bergerak. Mulanya dia mengelus-elus punggung Nima yang membuat gadis itu menggelinjang. Lalu turun ke bawah meremas pantat empuk Tirasih juga, tak lupa tangannya menepuk-nepuk buntalan lemak menggiurkan itu. Dan tangan Lingga semakin turun, hingga akhirnya sukses mencucuk memek ibunya dengan jarinya.

“Ahhh...” Tirasih mengerang ketika jari Lingga menembus belahan vaginanya yang sudah sangat basah.

“Tempikmu basah banget bu.. pasti enak ini.. aahh...” ujar Lingga sambil mencium bibir Tirasih.

“Aahhh.. iyaa.. aahh.. jangan dulu.. puaskan adikmu nak...aaahh..” balas Tirasih disela-sela racauannya akibat jari Lingga terus mengocok belahan vaginanya.

“Iiyaahhh...Ahhh...ayo masss... puaskan tempikku dulu.. aayooohhh...” timpal Nima.

Tanpa menunggu lama, Nima mulai menggerakkan tubuh langsingnya di atas kontol Lingga. Naik-turun, maju-mundur, diputar, digoyang, dikocok semuanya dia kerahkan. Dengan vagina sempitnya gerakan apapun terhadap kontol Lingga memberi Nima kenikmatan tiada tara. Bahkan dengan hanya diam pun, desakan ujung penis Lingga yang sampai menyentuh bibir rahimnya sudah terasa nikmat.

Nima ingin lebih dan lebih. Gerakan tubuhnya yang liar membuat buah dadanya yang ukurannya semakin hari semakin besar itu terlihat memantul-mantul tak terkendali. Keringatpun mengalir deras di tubuhnya walau cuaca mulai dingin di malam itu. Suasana malam yang damai itu pun sekarang dipenuhi suara kecipak dari vagina Nima yang sangat banjir. Nima malam itu sedang menggesek kontol Lingga, diiringi lenguhan, erangan, desahan, dan pekikan nikmat dari gadis cantik dengan buah dada montok itu. Nima terus mengejar kenikmatannya hingga akhirnya tubuh langsingnya tersentak, matanya terpejam dengan erangan nikmat keluar dari mulutnya.

“Hhaahhhhhh.. Aaahhhhh!” erangnya sambil trubuhnya mengejang hebat di atas pangkuan Lingga.

Lingga sukses mengantar gadis cantik yang tak lain adalah adik kandungnya itu ke puncak kenikmatannya, tapi hebatnya gempuran dahsyat dari kemaluan Nima tidak cukup untuk membuatnya muncrat melepaskan spermanya. Nima kemudian menarik tubuhnya, melepaskan liang senggama hangatnya yang banjir cairan orgasme dari kontol Lingga yang masih sangat keras. Masih ngos-ngosan, dia kemudaian menurunkan tubuhnya dan menungging di atas lantai rumah sambil menggumam tak jelas.

“Ahhhh...!!” Nima memekik ketika liang kemaluannya kembali tertusuk benda keras nan panjang milik Lingga.

PLAK! PLAK!

Lingga lalu menampar pantat putih dan montok milik Nima, gadis cantik yang terlihat pendiam tapi sebenarnya super binal itu. Kali ini pemuda tampan itu bermain kasar pada genjotannya. Lingga ingin melihat sebinal apa adik perempuannya itu. Nima hanya menjerit-jerit nikmat ketika Lingga semakin gencar menggenjot vaginanya. Suara kecipak dari kemaluan Nima yang basah dan terus ditusuk oleh kontol Lingga mengiringi jeritannya.

Sibuk menikmati jepitan vagina Nima, rupanya Lingga melupakan Tirasih yang tadi ikut dirangsangnya. Tapi Tirasih tak keberatan, karena dia sekarang sedang merayap di bawah tubuh Nima dan disuguhi pemandangan penuh kenikmatan. Tepat di depan mukanya, dia bisa melihat dari dekat kontol Lingga yang keluar masuk celah kemaluan rapat milik Nima. Cairan cinta Nima yang melimpah memercik di setiap tusukan kontol Lingga, membasahi wajah cantik Tirasih seperti hujan. Dengan lahap Tirasih langsung menjilat dan menelan setiap percikan cairan kemaluan Nima yang kebetulan hinggap di mulutnya. Lalu Tirasih mendongakkan kepalanya dan mengulurkan lidahnya sepanjang mungkin, hingga mencapai kelentit anak perempuannya. Sehingga Nima semakin meraung-raung dalam kenikmatan saat merasakan kelentitnya dijilati ibunya, padahal liang kawinnya sendiri sedang digenjot kontol Lingga.

Nima yang kuwalahan menerima kenikmatan pada tubuhnya akhirnya ambruk menindih tubuh Tirasih yang ada di bawahnya. Tapi Lingga tidak memberinya ampun. Dia ingin menaklukkan Nima sekali lagi sebelum gadis itu bisa membalas dengan kekuatan kedutan dinding vaginanya. Lingga terus menghantam kemaluan Nima dari belakang. Sesekali dia menepuk, menampar, meremas, dan mempermainkan pantat empuk adik perempuannya itu hingga yang tadinya putih mulus menjadi kemerahan.

“Ngghhhahhhhh.. Mas Linggaa... aahhh..” Nima melenguh setelah berhasil mengangkat kepalanya.

Tiba-tiba .....

“Dicari-cari malah enak-enak kenthu di rumah...” suara seorang laki-laki mengagetkan mereka.

“Ahhh.. ternyata bapak.. iya pak ini Nima lagi birahi katanya.. sudah lama ndak dimasuki kontolnya Linga, hihihi...” balas Tirasih dengan entengnya.

“Ya sudah, teruskan saja.. lha terus kamu dari tadi cuma nonton saja Sih?”

“Iya pak... tapi aku seneng kok lihat cara mereka mendapat kepuasan, liar dan binal..”

“Hemm.. kalau begitu sini kamu Sih.. nikmati dulu punya bapak..” ujar mbah Sargo sambil memelorotkan celananya dan kemudian nampaklah penis besarnya di hadapan Tirasih.

“Ihhh bapak... kok ndak dari tadi sih datangnya..”

Tirasih dengan girang langsung mendekati mbah Sargo yang duduk di dekatnya. Dia kemudian berjongkok di depan lelaki tua itu sambil menggerakkan mulutnya mendekati batang penis bapaknya itu.

“Hemmmppphhh... aahhhh.. heemmm....aaaahh.. besar banget punya bapak ini.. aahh..” ujar Tirasih sabil terus mengulum penis mbah Sargo dengan rakusnya.

Sesaat kemudian Nima kembali memekik ketika Lingga menarik pinggangnya dengan tiba-tiba. Pemuda berkumis tipis itu membawa gadis yang liang senggamanya masih menancap di kontolnya itu agak jauh dari Tirasih dan mbah Sargo. Dia lalu merebahkan Nima dengan posisi miring, rupanya Lingga ingin mencoba posisi baru yang belum pernah dicobanya pada adiknya itu. Lingga tanpa menunggu lama lalu mulai menggerakkan pinggulnya untuk kembali menggenjot kemaluan adiknya. Tangannya memeluk Nima erat sambil meremas bulatan payudara milik gadis itu.

Disetubuhi sambil dipeluk erat seperti itu, insting alami Nima sebagai betina mendadak bangkit. Kenikmatan tiada tara didapatnya justru saat dia dalam posisi tak berdaya. Apapun yang pejantannya akan lakukan, Nima akan terima. Karena dia adalah wanita, yang ingin disetubuhi dan dibuahi. Lingga juga saat itu sudah dikuasai oleh instingnya sebagai seorang pejantan dengan tujuan yang utama adalah memberi Nima benih-benih keturunannya.

Lingga menggagahi Nima dalam posisi menyamping cukup lama, sebelum dia kembali mengganti posisi. Keringat Nima terlihat bercucuran saat Lingga menyeret tubuhnya yang sudah lemas bangun. Kali ini Lingga bersimpuh dengan Nima juga ikut bersimpuh di depannya dalam posisi membelakangi Lingga. Tubuh Nima miring ke depan sehingga Lingga dengan bebas merojok lubang kemaluan adiknya itu dari belakang. Agar tak jatuh ke depan, tubuh Nima ditahan tangan Lingga yang sedang mencengkeram kedua payudaranya. Nampaknya Lingga ingin menyetubuhi Nima dari belakang dengan kasar kali ini, setelah sebelumnya mereka saling berhadapan dan bercinta dengan mesra.

Nima yang sudah digenjot dari tadi mulai kewalahan. Kulit tubuh dan wajahnya yang biasanya kuning langsat kini tampak memerah akibat gerakan bersetubuh dan rangsangan seksual pada bagian intim tubuhnya. Wajah teduhnya nampak kusut, rambutnya sudah acak-acakan dan lepek oleh keringat. Keringat yang mengucur ditubuhnya tidak usah ditanya lagi berapa banyaknya, namun begitu Lingga tak peduli. Dia mulai menggenjot kemaluan Nima dengan kasar sementara tangannya meremas-remas bukit susu adik perempuannya itu. Nima mengerang pasrah, merasakan kenikmatan yang terkumpul dalam dirinya. Sesaat lagi, kenikmatan itu akan meledak dahsyat, melemparakannya ke langit ke tujuh. Vagina Nima mulai berkedut tanpa kendali, pikirannya sudah buyar sehingga dia tidak bisa mengendalikan kemampuan khususnya yaitu mengempotkan dinding vaginanya.

“Ahhh..!! Mas Lingga... Mas Lingga... Mas Linggaaaaa!!” Nima berteriak-teriak merasakan getaran di tubuhnya yang semakin hebat dan Lingga pun paham. Seperti tadi, Lingga mengganti tusukan-tusukan cepat tapi dangkalnya dengan tusukan panjang dengan hentakan kuat. Dan di ujung hentakan kontol Lingga itu, akhirnya Nima pun meledak.

“Ahhhhhrrgghhhhhhhhhhhhhhhh!” Nima menjerit kencang, tubuhnya tersentak-sentak. Otaknya serasa kosong. Cahaya menyilaukan seolah menutupi semuanya. Nima pun merasakan dirinya begitu damai dalam orgasmenya.

Lingga yang mengejar kenikmatannya sendiri tak peduli. Dia terus menggenjot liang senggama Nima saat gadis itu masih menggelinjang memekik-mekik nikmat selepas orgasmenya. Terus menusuk-nusuk vagina Nima tanpa ampun sambil menindih tubuh gadis itu, yang membuat puting susu Nima menggesek-gesek dada Lingga. Tak lama kemudian Lingga merasa tubuhnya mulai menghangat, sesuatu menjalar dari tulang belakang ke seluruh tubuhnya, dan rasa nikmat luar biasa memenuhi kontolnya yang terbenam dalam kemaluan Nima. Rasa nikmat itu mengalir ke semua bagian tubuh yang lain, mengisi kepala Lingga dengan rangsangan puncak yang hanya bisa diperolehnya dengan bersetubuh bersama betinanya.

Crott... Crott.. Crottt.. !!

“Henggghkkkk!” Lingga menggeram, diiringi jeritan kecil dari Nima. Gadis itu masih bergetar dalam orgasmenya saat Lingga menyemprot rahimnya dengan cairan kental hangat, membuat sisa-sisa orgasme gadis itu semakin menjadi-jadi enaknya.

Lingga tidak menyadari apa yang tengah dialami adiknya itu. Karena dia masih tenggelam dalam sisa kenikmatan orgasmenya. Setelah rasa itu hilang dan nafasnya mulai tenang dia mencabut kontolnya dari liang senggama Nima. Tubuh gadis itu masih tersentak-sentak saat lubang nikmatnya sudah tak disumbat kontol Lingga lagi. Lingga kembali duduk dan bersandar pada dinding sambil memandang sekelilingnya.

Di sebelah Nima dan Lingga nampak Tirasih sedang duduk di pangkuan mbah Sargo. Tubuh keduanya sudah sama-sama telanjang bulat siap untuk menapaki persetubuhan mereka.

“Ahh.. pakk.. lihat mereka sudah selesai..” ujar Tirasih.

“Biarkan saja mereka istirahat.. sebentar lagi pasti mereka mulai lagi, hehe..” balas mbah Sargo sebelum mencaplok payudara Tirasih dan mengenyotnya kuat-kuat. Wanita cantik itu kembali melenguh dibuatnya.

“Mmmhhh... ini susu.. mmmpphh... enak ya pakk..” racau Rirasih diantara kenyotan mulut mbah Sargo.

Setelah beberapa saat lamanya lelaki tua itu menikmati buah dada Tirasih yang bulat menggantung itu, dia kemudian menggendong anak perempuannya itu dan memaksanya menungging tepat di depannya. Tirasih memekik ketika tiba-tiba bapaknya dengan kasar menusukkan batang penisnya dan mendorongnya dengan kuat. Wanita cantik itu menggigit bibirnya ketika dia merasa kontol besar mbah Sargo menyeruak dengan paksa belahan vaginanya. Untungnya liang senggama wanita itu sudah basah, hingga rasa sakit yang dideritanya tak terlalu menyiksa.

“Aaaaahhhkkk..!!” Tirasih harus memekik kencang ketika batang keras itu menembus masuk vaginanya dengan sekali hentakan. Lubang nikmatnya serasa sangat penuh, dengan kepala kontol bapaknya mentok menyundul rahimnya.

Lingga dan Nima menyaksikan pemandangan itu dengan seksama. Tanpa disadari, tangan Nima mulai bergerak sendiri meremas-remas payudara dan putingnya. Di bawah sana, cairan bening mulai mengalir dari selangkangannya bercampur dengan sperma Lingga.

Mbah Sargo menarik kontolnya pelan-pelan hingga tinggal seperempatnya. Lalu dimasukkannya kembali dengan sekali hentak, membuat Tirasih menjerit dan tubuhnya tersentak ke depan. Diulanginya pola itu beberapa kali, rupanya lelaki tua itu menikmati pemandangan tubuh bugil wanita cantik yang tersentak kencang di setiap sodokannya. Hingga setelah puas menyiksa Tirasih, lelaki tua itu mulai mengocok vagina Tirasih dengan tusukan-tusukan pendek tanpa henti. Tirasih hanya bisa pasrah menikmati siksaan nafsunya dengan lenguhan dan desahan penuh birahi di setiap genjotan mbah Sargo.

“Aahhhh... enak banget tempikmu Sih... Ahh.. legit dan nikmat” racau mbah Sargo sambil mengulurkan tangannya untuk meremas payudara Tirasih yang terlihat menggelantung terayun-ayun.

“Aaahhh Paakkk... a-aku mau...keluaaarrr... paaakkk!” pekik Tirasih merasakan gelombang dahsyat orgasme hendak menerpa dirinya.

Alih-alih berhenti, lelaki tua itu malah semakin gencar menggenjot liang senggama Tirasih dan meremas payudara wanita berbadan semok itu keras-keras, sambil mencubit puting susunya yang sudah tegang meruncing. Tirasih pun harus menjerit keras dan menggelinjang dalam puncak kenikmatannya, meski vaginanya masih terus dirojok kontol besar milik bapaknya sendiri tanpa ampun.

“P-paakkk... tunggu... ahh.. ini... Ak-ku.. Ahhhhhh!” Tirasih menjerit dan memohon agar mbah Sargo berhenti, karena genjotan lelaki tua itu membuanya terus dilanda badai kenikmatan. Tapi segala usahanya sia-sia, malah dia mendapat hadiah tamparan di pantat mulusnya.

“Sama orangtua jangan melawan kamu nduk, hehehe.. nikmati saja” ujar mbah Sargo.

“Aaahh... iya pak.. aduuhhh.. rasanya penuh pak tempikku... aahh..” rintih Tirasih kemudian.

Mbah Sargo tak peduli lagi pada rengekan anak perempuannya tadi. Dia terus mengayunkan batang kejantanannya keluar masuk liang senggama Tirasih. Sungguh hebat tenaga lelaki tua itu, setelah menaklukkan Tirasih dalam puncak kenikmatannya, dia masih saja punya tenaga untuk terus menyetubuhi wanita cantik bertubuh sintal itu. Perlahan mbah Sargo mulai menaikkan kecepatan genjotannya, membuat kenikmatan akibat gesekan kedua kelamin mereka semakin bertambah.

“Aaahhh... Ak-aku... Ahhh Paaaakkkk!” jerit Tirasih sebelum kelojotan dan mengejang untuk kedua kalinya.

Tak mempedulikan hentakan badan Tirasih dan juga kontraksi vaginanya di bawah sana, mbah Sargo terus menggenjot liang senggama anaknya itu.

“Uuggh, bisa ngempot juga ternyata tempikmu Sih.. ahhh.. ndak kalah sama punya anakmu... semoga kamu hamil dengan benihku Sih.. haaahhh...” racau mbah Sargo lagi.

Tirasih tak bisa menimpali kata-kata dari bapaknya, dia hanya bisa mengerang semakin kencang ketika Mbah Sargo menggenjotnya dengan tusukan-tusukan dalam dan panjang.

Crott... Crott.. Crottt.. !!

“Haaaaahhhh...!!” Tirasih menjerit melengking sambil menengadah. Tubuhnya mengejang hebat dalam pelukan bapaknya yang juga terpejam menikmati puncak kenikmatannya. Hingga akhirnya rasa itu reda, mbah Sargo masih memeluk erat tubuh Tirasih.

Mereka berempat masih tergolek lemah dengan tubuh telanjang penuh keringat. Mereka tak menyadari bahaya telah datang mendekati mereka. Dari kejauhan nampak berbondong-bondong masyarakat desa dengan membawa senjata seadanya dan obor sebagai penerangan. Rupanya mereka tengah mendatangi rumah mbah Sargo untuk mengusir lelaki tua itu beserta keluarganya dari desa karena telah melakukan ilmu hitam.

“Sargo!! Keluar!!” suara seorang lelaki bertubuh kekar dengan kepala botak. Orang itu tak lain adalah anak buah Bardan yang tadi jadi mata-mata untuk Ki Sarpin.

“Keluar..!!”

“Keluar kalian..!!” orang-orang terus berteriak menyuruh penghuni rumah untuk keluar.

Mbah Sargo yang ada dalam rumah sudah tanggap pada bahaya yang mendatangi keluarganya. Dia kemudian menyiapkan Tirasih, Lingga dan Nima untuk segera pergi dari rumah itu.

“Kalian pergilah.. keluar dari rumah ini sebelum terlambat.. pergi saja ke dalam goa, aku akan menyusul nanti..” ucap mbah Sargo dengan tatapan tajam.

“Mbah.. aku disini saja, ndak bisa aku membiarkan mbah menghadapi mereka sendirian..” Lingga mendekati mbah Sargo.

“Jangan, kamu antar ibu dan adikmu sampai selamat masuk kedalam goa panewu”

“Baiklah mbah...”

“Bapak...jangan memaksa melawan mereka.. kita semua pergi saja sekarang” Tirasih ikut bicara.

“Ndak bisa.. aku ada urusan yang harus aku selesaikan sekarang.. sebelum kita meninggalkan dunia manusia Sih.. kali ini ikuti ucapanku, pergilah..” kata mbah Sargo lagi.

“Baiklah... ayo anak-anakku.. sudah saatnya kita meninggalkan rumah ini”

Akhirnya Tirasih, Lingga dan Nima meninggalkan mbah Sargo sendirian menghadapi orang-orang yang tengah menyerbu rumahnya. Setelah tinggal sendirian, mbah Sargo kemudian bersemedi di dalam rumah.

“Keluar Sargo..!! aku tahu kamu di rumah.. kalau tidak keluar akan kami bakar rumahmu..” teriak Ki Sarpin berusaha mengancam saudara seperguruannya itu. namun begitu tak ada satupun jawaban dari mbah Sargo yang ada di dalam rumah.

“Bagaimana Ki?” tanya salah satu penduduk desa.

“Kita bakar saja rumahnya.. sudah jelas kalau mbah Sargo melakukan ilmu hitam... ilmu siluman” ujar Ki Sarpin.

“Bakar..!!”

“Bakar..!!”

“Bakar..!!”

Berpuluh-puluh obor dilemparkan pada rumah mbah Sargo. Dalam sekejap saja rumah yang terbuat dari kayu itu mulai terbakar api. Mbah Sargo yang masih dalam rumah masih semedi, sampai pada akhirnya lelaki tua itu berdiri dan mulai bicara.

“Dengarkan wahai orang-orang desa... kalian bisa membakar tubuhku.. tapi kalian tak akan bisa membakar sumpahku.. kalian yang sekarang berusaha membunuhku, saat bulan purnama macan kumbang akan selalu datang menuntut balas..” ujar mbah Sargo dari dalam rumah dengan lantang.

“Bagaimana ini ki?”

“Iya.. kita hanya ikut Ki Sarpin saja..” ujar lelaki lainnya.

“Tenang, kalian tenang saja.. aku yang tanggung jawab” balas Ki Sarpin sok berani, padahal dalam hatinya juga takut pada sumpah itu.

Rumah yang terbuat dari kayu milik mbah Sargo itu semakin lama semakin berkorbar dilalap api. Mbah Sargo setelah mengucap sumpahnya tadi langsung merubah dirinya menjadi macan kumbang lalu segera melarikan diri dari tempat itu tepat sebelum rumahnya roboh rata dengan tanah.

“Ayo..kita bubar.. pulang semua...”

“Ayo.. bubar.. bubar !!”

Penduduk desa yang telah yakin mbah Sargo sudah terbunuh dalam kobaran api yang melalap rumahnya malam itu akhirnya membubarkan diri. Meski ada rasa penyesalan dalam hati mereka namun karena Ki Sarpin sebagai sesepuh desa sudah mengatakan siap tanggung jawab maka mereka sedikit lega. Dalam hati Ki Sarpin sendiri ternyata dipenuhi rasa was-was pada sumpah yang telah diucapkan mbah Sargo, bahwa para siluman macan kumbang akan menuntut balas. Namun begitu, Ki Sarpin merasa lega karena saingan dirinya sebagai sesepuh desa sudah berhasil dia singkirkan.

***

Gelapnya goa panewu membuat siapa saja yang mendekat ke dalamnya pasti akan bergidik ketakutan. Konon katanya tempat itu adalah gerbang menuju alam ghaib yang berisi istana megah. Penghuninya berupa lelembut yang ganas dan kejam, namun mereka dipimpin oleh seorang ratu yang cantik jelita berjuluk Dyah Pralampita atau ada juga orang yang menyebutnya Nyai Dewi wisa.

Malam itu nampak sesosok manusia sedang terikat pada dinding goa dengan tubuh yang terus melemah karena merasa ketakutan. Dia adalah Bardan, seorang juragan hewan ternak yang terkenal di desa karena harta benda yang dimilikinya. Sore tadi dia dibawa ke dalam goa oleh Lingga dan Tirasih. Kini dia hanya bisa pasrah pada takdir yang akan menimpanya.

Tiga ekor macan kumbang tiba-tiba berlarian masuk ke dalam goa. Karena warna bulu mereka yang hitam tak ada satupun mata manusia yang bisa mengetahui kedatangan merena, termasuk Bardan yang ada di dalam goa. Sejenak kemudian dua buah obor menyala.

“Kalian siapa? Tolong aku... tolong..!!” teriak Bardan menyadari ada yang datang masuk ke dalam goa.

“Hehehe.. ini kami juragan.. bukan siapa-siapa” jawab Lingga dengan nada yang mengejek.

“Aahh... bangsat kalian.. kalau aku bisa bebas akan aku habisi kalian semua, dasar siluman !!” ucap Bardan masih penuh kesombongan.

“Lhoh.. katanya kang Bardan mau bersamaku.. padahal aku juga sudah mulai suka pada kontol kang Bardan ini, Hihihi..” ujar Tirasih yang kemudian mendekati lelaki setengah baya itu dan membelai batang penisnya.

“Cuihh..!! ndak mau aku Sih.. kamu sudah jadi pengabdi siluman... sesat kalian !!” umpat Bardan.

“Kalian sudah berkumpul semua?” tiba-tiba suara mbah Sargo terdengar mendekat.

“Eh, bapak.. bagaimana keadaannya pak?”

“Sudah.. rumah kita sudah hilang, memang takdir kita bukan di tempat itu lagi.. ayo sekarang kita laksanakan semedi pamungkas..”

“trus kang Bardan ini bagaimana pak?” tanya Tirasih lagi.

“Lepaskan saja dia.. mungkin belum saatnya dia mati” ujar mbah Sargo.

Kemudian tanpa ada bantahan lagi Lingga membuka ikatan tali pada lengan dan kedua kaki Bardan yang ditambatkan pada bebatuan dinding goa. Nima yang sedari tadi hanya diam saja sekarang ikut membatu kakaknya. Namun karena dia lengah, Bardan menggunakan kesempatan itu untuk merangkul Nima kemudian mengancamnya.

“Kurang ajar kalian!! Aku ndak terima kalian permalukan seperti ini” ujar Bardan yang tengah memegang erat tubuh Nima sambil tangan kanannya membawa batu yang diarahkan pada kepala Nima.

“Bangsat!! Sudah dikasih hati malah ndak punya terimakasih... lepaskan adikku!!” ujar Lingga.

“Hahaha.. siluman seperti kalian sudah seharusnya lenyap dari muka bumi..!!”

Bardan hendak mengayunkan batu yang dipegangnya mengarah pada kepala Nima, namun sebelum tangan kanannya sempat bergerak rupanya Nima telah berhasil menggigit tangan kiri Bardan.

“Aaahhhhhhh......” lepaslah kuncian tangan Bardan pada leher Nima. Gadis cantik itu langsung balik badan dan ganti menyerang.

Tiba-tiba saja Lingga yang sudah merubah wujudnya menjadi seekor macan ikut menerkam tubuh Bardan. Lelaki setengah baya itu sekarang jadi bulan-bulanan gigitan dua ekor macan kumbang yang ganas.

“Aaaaaahhhkkkkkkkkkkhhhh.....!!!” sebuah gigitan pada leher Bardan membuat teriakannya berhenti. Darah segar mengucur deras dari pembuluh darah di lehernya yang putus. Pada akhirnya Bardan harus meregang nyawa akibat ulah jumawanya sendiri.

“Sudah.. sudah.. cukup.. hentikan !!” ujar mbah Sargo mehentikan keganasan dua ekor macan kumbang yang mencabik-cabik tubuh Bardan.

Tanpa mereka duga, dinding goa mulai bergetar seperti terkena gempa bumi yang hebat. Setelah itu dua buah batu yang berada di pojok ruangan goa tiba-tiba bergeser menjauh satu dengan lainnya. Ternyata dua buah batu itu adalah pintu gerbang menuju alam lain yang dibicarakan orang-orang selama ini.

“Selamat datang anak-anakku.. sekarang sudah waktunya kalian ikut denganku, kalian sudah memenuhi persyaratan terakhir, yaitu mengorbankan orang yang paling membenci kalian” ujar sang Ratu yang menampakkan dirinya keluar dari gerbang ghaib itu.

“Hamba menghaturkan terimakasih yang sangat besar pada kanjeng Ratu” ucap mbah Sargo sambil menyembah.

“Lekas masuklah kalian.. waktunya hampir habis..” ujar sang Ratu kemudian.

Tanpa menunggu lama lagi, mbah Sargo, Tirasih, Lingga dan Nima langsung merubah wujud mereka menjadi macann kumbang lagi. Mereka berempat melangkah pelan memasuki celah batu yang terbuka dan penuh dengan sinar menyilaukan mata.

Akhirnya pintu batu itu kembali tertutup. Cahaya yang bersinar terang kini sudah sirna, hanya menyisakan kegelapan yang pekat dalam ruang goa. Sudah tak nampak lagi keluarga Tirasih, semuanya sudah berpindah alam mengikuti Ratu siluman sesembahan mereka. Dalam goa itu hanya tinggal mayat Bardan yang terkoyak-koyak penuh darah berceceran. Mungkin itulah hukuman yang pantas baginya, orang yang sombong dan menggunakan kuasa yang dimilikinya untuk mengumbar nafsunya.

***

Di tempat lain, kepala desa sedang meminta pendapat dari Kiyai Jamal. Tentu saja dia bingung pada apa saja yang telah terjadi di desanya. Nampak pula di situ Danur yang malam itu mengantar bapaknya.

“Pa Kiyai.. jadi apa yang harus saya perbuat?” tanya kepala desa.

“Ndak ada pak.. semuanya sudah takdir.. harusnya kita yang sekarang mulai bertaubat” balas Kiyai Jamal.

“Tapi apa benar mereka memang melakukan ilmu siluman itu Kiyai?” tanya Danur dengan rasa penasaran.

“Kalau bagiku iya.. mereka memang melakukan ilmu hitam.. ilmunya para siluman.. tapi...”

“tapi apa Kiyai?” tanya kepala desa.

“Tapi kita yang salah sebenarnya... harusnya kalau ada orang yang tersesat kita wajib membantunya mengarahkan pada jalan yang benar, bukan malah memusuhinya, atau membencinya.. bagaimana kita mau menolong kalau kita sudah lebih dulu memusuhinya?” jelas Kiyai Jamal.

“Iya Kiyai.. saya paham..” kata kepala desa kemudian.

“Ya sudah.. ini merupakan pelajaran berharga buat kita semua. Jangan menganggap remeh semua orang, meski mereka terlihat biasa saja tapi di mata Tuhan kita sebenarnya sama. Kita harus bisa saling mengingatkan dalam jalan kebenaran.. sudah.. mari kita doakan semoga semua penduduk desa diberikan kesehatan dan keselamatan”

“Aamiin”

***

Tamat

***

Terimakasih yang sebesar-besarnya pada semua yang telah membaca. Saya tak bisa membalas pesan suhu-suhu semua satu persatu. Bagi yang kecewa pada hasil karya ini, saya meminta maaf yang seluas-luasnya.
Sehat, Selamat dan Sukses selalu semoga menyertai kita semua.
huh haahh cape marathon
...akhirnya end juga..mksh suhu
 
Bimabet
Ceritanya Bagus banget .... Mengalir dengan lancar. Semoga akan muncul lagi karya barunya ....
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd