Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN STAND BY YOUR SIDE

Rico Logan

Semprot Holic
Daftar
10 Feb 2016
Post
317
Like diterima
123
Bimabet
"Kamu lelaki yang baik David. Sangat baik. Evi sangatlah beruntung. Aku ucapkan selamat..."

Kau mengucapkannya dengan suara yang begitu indah. Matamu teduh, menggerayangi wajahku dengan lekatnya. Dan bibirmu yang terbuka seakan menikmati kata demi kata yang kau ucapkan ketika memujiku.


Aku terpesona, terhipnotis dengan mudahnya. Tak bisa bergerak, terkunci oleh tatapanmu yang membara. Kau kembali memikatku dengan sadis.

"Aku benar-benar iri padanya. Gadis beruntung yang akan kau nikahi, wanita yang akan mengandung anakmu. Tidur di ranjang yang sama denganmu, dan menikmati hari-harinya bersamamu. Aku sangat iri."

Aku ingin menghapus air mata yang mengalir dari kelopak matamu yang terpejam, aku ingin mengulurkan tangan, mengalungkan lenganku di tubuhmu, lalu mendekap tubuhmu yang berguncang karena menahan tangis dan jerit kesedihan. Betapa aku sangat menginginkannya saat ini.

"Aku ingin bertemu denganmu di detik terakhir aku bisa berpura-pura masih bisa memilikimu."


"Stefany.."

"Yah, David... Setelah ini aku tidak bisa lagi bersandar padamu... Aku sudah terlalu terlambat,"

Aku mengepalkan tangan, memandangi lantai marmer yang berpola rumit.

"Kau masih bisa mengandalkanku, kau memilikiku."

Aku ingin menggapaimu. Aku ingin menjangkaumu. Mengapa begitu sulit? Seakan jarak semakin melebar tiap kali aku merasa semakin dekat denganmu.

"Kita bersahabat, Stefany.. Ingat?"

"Terima kasih, David. Aku ingat, tapi tetap saja aku menginginkan lebih.... Walau aku sudah tidak berhak... Ak..."

Kau terhenti di tengah jalan. Melihatku dengan harapan agar aku bisa mengurangi rasa sakitmu. Dadaku berdenyut.

"Maafkan aku."

Aku tidak berdaya. Sendunya gurat wajahmu, mengalahkan mendungnya langit yang paling gelap sekalipun. Aku ingin menghapusnya, aku ingin menghilangkannya, kesenduan bukanlah kepingan yang cocok untuk bersanding dengan kecantikkanmu.


"Maafkan aku."

Aku tidak mampu. Tangismu membanjiri hatiku dengan rintikan yang deras, menyakiti jiwaku pada tiap kejatuhannya yang lepas. Aku ingin meniadakannya, aku ingin melenyapkannya. Derai tangis tidak pantas bersemayam di wajahmu yang begitu memesona. Oh, ini sangat menyakitkan. Ketidakmampuanku untuk mengembalikan rona bahagia di wajahmu.

"Aku, aku minta maaf, Stefany"

"Tidak David. Bukan kamu yang seharusnya meminta maaf, Semua ini adalah kesalahan aku sendiri."

Aku ingin menyangkal. Agar perasaanmu yang hancur membaik, tapi aku tak bisa. Aku tak pandai berbohong, dan kau paham itu.

"Itu tidak..."

"Kau tak perlu membelaku."

"Stefany!"

"Kau sudah berkorban terlalu banyak. Dan aku tetap buta dan bodoh."

Suaramu menyayatku, rintihan yang berbalut tangis, dan airmatamu kembali meleleh, menghiasi jalur pipimu.

"Kumohon, jangan menangis."

Aku tidak bisa bernafas. Udara mengikis, leherku seolah tercekik pada hampanya udara yang mengumpul. Membebani paru-paru dan bahuku. Aku lemah terhadapmu. Apa lagi pada airmatamu.


"Jangan menangis, kumohon. Itu menyakitiku."

"David... Tuhan! Kau benar-benar pria yang baik. Aku sangat menyesal. Sangat... Sangat menyesal, aku ingin membalik waktu. Aku ingin memilihmu. Aku sangat menyesal."

Kau membuka luka itu lagi. Luka yang mati-matian kututupi. Luka itu masih ada, tidak membaik. Dan tidak akan pernah sembuh, luka itu akan tetap menjadi benalu dalam kehidupanku.

Denyut-denyut sakit kembali mendatangiku. Aku mencengkram dadaku. Detakkan yang hebat, semakin bertalu cepat, semakin terasa menyakitkan. Kegelapan membutakanku. Aku diingatkan lagi pada kepedihan seumur hidup.


Aku yang selalu menatap punggungmu. Aku yang selalu menopang tubuhmu. Aku yang selalu, selalu berada di belakangmu. Yang selalu berharap jika suatu saat kau akan mendengar bisikan cintaku dan berbalik untuk menyambutku, tapi tidak, yang kuperoleh dari mencintaimu hanya kehampaan serta kepahitan dari penolakan, Kau tetap memilihnya yang selalu menyakitimu.

Aku yang menghapus airmatamu. Aku yang mendekap tubuhmu. Aku yang membelai punggungmu, Dan tetap saja aku tidak bisa berada di depanmu. Aku selalu di belakang, tidak terlihat, tidak berarti. Kau tetap memilihnya.


"Semua sudah terjadi," Kataku lirih.

"Yah, itu semua karena kebodohanku, aku tidak tahu mengapa dan kenapa. Aku tidak mengerti, kau lebih segala-galanya dari dia, kau sempurna untukku. Dia tidak ada apa-apanya sama sekali. Tapi aku tetap memilihnya dibandingmu. Kenapa? Aku..."

"Kau mencintainya." Selaku pelan.


Kudengar tarikan nafasmu yang tercekat. Aku mendongak, dan kau memandangku seperti baru saja ditampar oleh tanganku. Aku mengalihkan mata.

"Yah, kau benar. Aku mencintainya, dulu."

"Kau tergila-gila padanya."

"Yah..."


"Kau memujanya..."

Aku mendengar hikupanmu, isak tertahanmu.

"Stefany.."

"Kau benar...."

Kau mengulurkan tanganmu yang bergetar, dan aku memiliki dorongan kuat untuk menyambutnya. Dorongan yang memaksa tanganku bergerak mengikuti lintasan buram ke arahmu. Aku...

"Tidak bisa..." Aku mengucapnya lirih dan menarik kembali tanganku yang hampir menyentuhmu.

"Aku ti-"

"Aku mencintaimu." Katamu menyela dan menghampas duniaku.

Tuhan!! Itu kalimat yang paling ingin kudengar darimu sejak dulu. Aku mengharapkannya seperti seorang psyco yang terobsesi. Aku mendambakannya lebih dari hidupku sendiri. Mengapa baru sekarang kau mengucapkannya, kenapa ketika aku tidak bisa menyambutnya? Aku tidak tahu lagi, "Kau kejam..." Kataku...

"Kau tahu seperti apa perasaanku padamu. Mengapa kau begitu tega mengatakan kalimat itu disaat.... Ini."

Disaat aku tidak memiliki kuasa untuk menerimanya dan bersuka cita akannya.

"Maaf, maafkan aku, David." Kau mulai terisak kencang, "tapi aku ternyata tidak sanggup, aku menginginkanmu. Ternyata aku tidak ingin menyerah. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu."

Kau merobek hatiku dengan pisau tumpul, hingga sayatannya merembeskan setitik darah yang mengotori tubuhku. Aku menjerit dalam diam. Rasanya amat tak tergambarkan.

"Stefany..." Nafasku tersendat. Susah payah aku mencoba memasukkan udara ke paru-paru.

"Kau juga mencintaiku... Tidak bisakah kau mencob-"

"Tidak!"

Kataku begitu tegas hingga mengagetkanmu dan diriku sendiri. Aku tidak menyangka aku masih mempunyai tenaga sebesar itu, suaraku bergema.

"David..."

"Tidak Stefany. Aku tidak bisa. Jangan..."

"Tapi..." Kau menangis.

"Tapi kita saling mencintai,"


Aku ingin tertawa. Dan aku juga ingin menangis sepertimu.

"Cinta saja tidak cukup. Sudah terlambat untuk membuka lembar kisah kita Stefany, sudah terlalu terlambat. Aku akan menikah. Beberapa minggu lagi. "

"Tidak! Kau bisa membatalkannya. Kau bisa."

Aku menahan nafas. Aku merasakan ngilu yang mengerikan di dadaku. Begitu mudahnya kau mengatakan kalimat itu. Aku mencintai wanita yang begitu egois.

"Aku bukanlah pria yang sekejam itu, Stefany." Kataku, berharap kau sekali ini bisa memahaminya.

"Aku tidak bisa menyakiti Evi dengan bersikap egois dan tidak tahu malu seperti itu."

"Kau tidak mencintainya, kau mencintaiku." Katamu keras, tak mau mengalah, tak mau mengerti.

Aku menggeleng. Semakin merasa terhimpit antara nurani serta tanggung jawabku dan godaan untuk mengabulkan keegoisan hatiku, dan keegoisanmu.


"Maafkan aku, Stefany. Sebaiknya kau pergi."

Aku memberanikan diri menatap wajahmu, hatiku terenyuh. Aku tidak menyangka akan melihat wajah seterluka itu darimu.

Aku menggigit bibirku untuk meredam teriakan yang ingin keluar karena berhasrat ingin menarik kembali kata-kataku.

Aku mencintaimu. Sejak dulu hingga sekarang. Namun, kau tidak menyambutnya ketika aku menutup diri, menunggumu yang bertahan mencintai dia.

Kau mengabaikanku, kau tidak menganggap cintaku. Aku seperti pengemis yang berharap akan receh yang tak mungkin jatuh. Aku mengiba pada kehampaan.

Kita tidak di takdirkan untuk bersama. Kita tak pernah sejalan. Selalu bersimpangan. Itu jelas sebagai tanda takdir kita diperuntukkan berpasangan dengan orang lain. Saat itu kau menyakitiku, saat ini aku lah yang menyakitimu. Kita membutuhkan orang lain.

"Maafkan aku..."


Aku memalingkan wajah, kau menangis keras. Berteriak seakan kau baru saja melihat kematian.

"David... David... please..."

Kau ditinggalkan. Dikhianati setelah kau begitu tulus mencintainya, aku mengobatimu, aku merawatmu tapi

aku kau abaikan, aku tetap di sisimu. Aku kau acuhkan setelah aku begitu tulus mencintaimu, aku tetap menopangmu.

Lalu aku lelah. Aku menerima uluran orang lain. Aku mencoba untuk mencintainya.


Kita jelas tidak ditakdirkan untuk bisa bersama. Walau perasaan kita sekarang saling bersambut.

"Tapi semua sudah terlambat." Aku berbisik pada diriku sendiri. Mengingatkan diri jika keputusan yang kubuat tak salah.


"Aku mencintaimu, perasaan itu tak akan pernah berubah. Namun jelas kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan..."

Aku menutup mata, menutup telinga. Samar kudengar tangisan menyayatmu, dan kepergian tergesamu yang membawa kehampaan serta separuh hatiku.

"Ini keputusan yang benar." . .

"Apa yang diinginkannya?"

"Hanya mengucapkan selamat."

Kegetiran dalam suaraku terdengar jelas. Aku yakin dia tidak terkecoh,

****


"Jangan berbohong, David. Aku melihat semuanya. Aku hanya tak mendengar. Jadi apa yang dia inginkan?"

Aku mendongak. Tanganku saling mengait di atas meja. Stefany baru saja pergi. Meninggalkan kekosongan yang terperikan. Tanpa sadar tanganku mengapit sangat keras. Memucatkan warnanya, menghambat aliran darah yang mengalir.

"Cih, aku tahu. Dari melihat seberapa pucat dan menderitanya kau. Dia mengemis cintamu. Jadi kapan kau akan memberitahu Evi kalau kau akan membatalkan pernikahan kalian?"

Kepalaku tersentak. Kalimat itu sangat mengiris ketika pihak ketiga mengatakannya. Ada tangan yang meremas jantungku. Sesak dan sakit.

Ternyata banyak pihak yang tidak mempercayaiku. Yah, ku akui aku sendiri tidak mempercayai diriku. Aku berpegang dan menyandarkan diri pada nuraniku.

"Tidak ada pembatalan pernikahan!"

Aku mendengar calon kakak iparku itu terkesiap.

"Tidak ada?" Tanyanya, wajahnya diliputi ketidakpercayaan yang begitu kental.


Dia tidak memiliki keyakinan padaku. Tidak mengherankan karena dia sahabat baikku, dia mengenalku dan tahu betapa menyedihkannya aku mencintai Stefany

"Tidak ada, Tomas. Pernikahanku dan Evi akan tetap berjalan sebagaimana mestinya."


"Tapi, kau mencintai Stefany Ini kesempatanmu."

Aku menggelengkan kepala. Mengusap wajahku dengan telapak tangan dan memandangi mata kecoklatan Tomas.


"Cinta bukan satu-satunya hal yang penting dalam sebuah pernikahan."

"Aku tahu, namun tetap aku tidak mengerti. Aku memang kakak Evi, tapi aku mengerti kau meminangnya karena dia memaksamu. Aku tahu adikku terobsesi padamu."


"Kau salah." Selaku, aku ingin membela tunanganku.

"Dia tidak memaksaku. Selama ini kau salah mengerti."

"Benarkah?"

"Evi adalah wanita yang baik. Adikmu itu wanita yang sempurna. Kenyataannya aku sama sekali tidak pantas untuknya, tapi aku sangat beruntung karena dia memilih mencintaiku."

"Walau kau tidak mencintainya?"


Aku merenung sesaat, senyum tulusku yang sejak tadi menghilang akhirnya kembali datang, menghiasi wajahku ketika memikirkan calon pengantinku. Dia selalu bisa memberiku kesejukkan dari penatnya himpitan perasaanku, bahkan hanya dengan memikirkannya.

"Aku mencoba Tomas. Aku mencintai Stefany, selamanya dia akan selalu mengisi sebagian hatiku. Tapi ada benih cinta untuk Evi yang tidak bisa kuabaikan. Aku ingin merawat dan mengembangkannya. Hingga tak ada ruang lagi yang bisa mengisinya dengan benih lain. Aku yakin perlahan cinta untuk Stefany akan mengecil dan akhirnya dia akan menjadi sebuah kenangan yang mengajariku banyak hal. Aku memiliki keyakinan yang kuat pada Evi. Aku akan bahagia bersamanya, pasti. Aku menginginkannya."

"Kau yakin? Jika kau cuma merasa tak enak padaku, aku benar-benar mengerti perasaanmu."

Aku mengangguk. Bukan hanya untuk meyakinkan Tomas tapi juga diriku sendiri. Sekarang terasa sangat jelas. Keputusanku sudah benar. Tak ada kesalahan.


"Aku yakin. Aku pasti bahagia dengan Evi. Aku hanya membutuhkan waktu dan kesabarannya agar dia bisa menerima haknya untuk memperoleh perasaan cintaku secara utuh. Dia berjanji, akan menunggu. Evi benar-benar gadis yang baik."

"Wanita yang baik sangat berbeda dengan wanita yang di cintai David. Kau tidak bisa menyamakannya."


"Kau benar."

"Bertahun-tahun kau mencintai Stefany dan dia mengabaikanmu. Sekarang setelah dia tahu mantan cowolnya yang sangat mempesona itu hanya memanfaatkannya, dia mencintaimu. Maafkan aku jika aku menjelaskan dia seperti wanita tak tahu malu, karena itu memang pendapatku tentangnya. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanmu. Aku tahu kau mencintainya dan masih menantikannya, hanya waktunya saja yang salah, dia mengharapkanmu beberapa minggu sebelum acara pernikahanmu. Aku mencoba mengerti. Itu yang ingin kujelaskan padamu. Sebagai sahabat aku ingin kau bahagia, David. Aku tak pernah melihatmu bahagia.."

Aku sangat tersentuh mendengarnya. Air mataku menitik.


"Terima kasih Bro. Kau yang terbaik”

Dia terkekeh. "Aku tahu, sobat."

Tomas menepuk-nepuk punggungku, Aku menarik tubuhku. Kemudian menarik nafas. Dan semua kini tampak jelas. Bening, sangat jernih.


"Aku akan bahagia." Kataku tegas.

"Tapi kau mencintai-"

"Aku tahu, Tomas, dan aku tahu apa yang kuinginkan. Seperti kataku cinta saja tidak cukup. Cinta tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Aku ingin meraih kebahagiaanku dengan cara lain. Kau percaya padaku?"

"Tentu saja."

Aku tersenyum.

"Baguslah. Lagipula aku bukanlah pria egois. Aku tidak mungkin bisa menyakiti Evi dengan membiarkan diriku buta karena cinta. Itu sangatlah kejam. Dia tidak pantas menerima perlakuan seperti itu setelah apa yang dia lakukan untukku. Ketika aku sibuk mengobati luka Stefany, dia mengobati lukaku. Ketika aku sibuk menyokong Stefany dia menyokongku. Ketika aku sibuk mencintai Stefany, dia mencintaiku. Dia wanita yang luar biasa. Aku ingin mencintainya. Aku pasti bisa mencintainya, Tomas. Dia yang kubutuhkan. Bukan cinta yang mengingatkanku akan rasa sakit yang menyengsarakan."

"David..."

"Aku tidak akan lupa pada cinta Evi yang menyembuhkanku. Aku tidak akan lupa bagaimana dia tetap bertahan di sisiku walau aku telah mematahkan perasaannya. Aku tidak akan meninggalkannya hanya karena cinta di depan mataku yang selalu menjadi mimpi terbesarku akhirnya bisa kugenggam, lalu kemudian seperti manusia rendahan yang tak memiliki perasaan aku semena-mena melepasnya yang sudah mati-matian menungguku. Aku bisa melihat diriku di dalam dirinya. Aku tahu rasanya. Dan kami pasti memiliki pengertian yang tanpa batas. Aku akan mencintainya dengan segenap hatiku. Suatu saat...."

"Aku paham, David."


Aku menahan nafas.

"Walau beberapa menit lalu aku sempat ragu. Ketika melihat wajah Stefany dan mendengar suaranya. Karena terlalu lama mendambakannya tubuhku secara naluriah ingin membahagiakannya. Aku sempat tergoda untuk meraihnya. Jika saja wajah Evi tidak membayangiku, aku pasti tidak bisa berpikir dengan akal sehatku. Bayangkan jika aku memilih bersikap egois. Betapa Evi akan terluka. Dia akan menanggung luka dan penderitaan itu seumur hidupnya. Rasa sakit, pengkhianatan, dibuang, ditinggalkan serta rasa malu. Aku tidak mau melakukan hal keji seperti itu. Dia pantas mendapatkan yang jauh lebih baik. Aku ingin membuatnya bahagia... Tomas." Kataku Tegas

Aku mengerjapkan mata. Nafasku terasa ringan. Seperti ada beban yang sangat berat baru saja terangkat dari bahuku ketika aku selesai menjelaskan diri pada Tomas. Tubuhku terasa melayang. Aku merasa bisa terbang. Ini sungguh melegakan. Aku menarik senyum dan rasanya sangat menyenangkan.

***


"Ehem! Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi apa yang sedang kalian lakukan?" Suara merdu itu menggelitik hatiku, aku berbalik menghadapi pemilik suara itu.

Aku tersenyum sangat lebar dan melihat calon pengantinku berdiri di ambang pintu dengan tas-tas belanjaan menggantung di kedua lengannya dengan wajah memerah.


"Oh Tuhan David, apa kamu mencoba membunuhku dengan senyumanmu itu." Katanya terengah, Evi menjatuhkan belanjaannya perlahan dan mengelus dadanya.

"Sudah berapa kali kau melakukan itu padaku. Aku bisa mati muda."


Aku tersenyum semakin lebar. Kudengar dia merutuk. Terkekeh kecil aku mulai berjalan ke arahnya dengan lengan terangkat, bersiap menyambutnya dalam dekapanku.

"David..."


Aku meraih tangannya dan menariknya ke dalam pelukanku. Aroma shampo Evi yang manis seperti candu. Aku menghidunya.

"Oke, sekarang aku bingung. Apa yang terjadi?"

"Memangnya apa yang terjadi?" Tanyaku, sembari semakin menempelkan hidungku di rambutnya.

"Kau tidak menempel seperti ini David. Kau biasanya tenang, dan kau mendekapku terlalu erat, bukannya aku tidak suka. Tapi oh demi Tuhan, ada penonton jelek yang menatapku dengan senyum mengerikannya di sana."

"Senyumku tidak mengerikan!" Protes Tomas, geli.

"Oh Bullshit!! Kau sangat jelek ketika kau tersenyum Tomas, hingga terlihat begitu mengerikan, akui saja!"


"Aku kakakmu, Evi. Aku tidak mungkin jelek."

"Hanya karena aku terlahir cantik, tidak berarti kau juga terlahir tampan. Kau prodak gagal. Akui saja."

Kudengar Tomas menggerutu, dan suara kursi ditarik,

"David..." Mulainya dengan nada malas. Dia duduk dengan kasar.

"Lebih baik kau memikirkan ulang rencana pernikahanmu dengan Evi.... sebelum kau menyesal."

"Apa maksudmu?" Suara Evi melengking marah.

Aku menahan tawaku melihat interaksi mereka berdua.

"Jangan terpancing." Kataku, berbisik di telinganya. Aku mengeratkan pelukanku.

Rasanya sangat nyaman dan tenang. Di sinilah tempatku. Sudah tak ada keraguan yang tertinggal, aku sangat yakin. Kehangatan yang mengaliri tubuhku, tak ada yang bisa menandinginya. Di tempatku sekarang ini, aku tidak mungkin merasakan kedinginan yang mencapai ketulang-tulang dan persendianku. Di tempatku ini hanya ada kehangatan. Kebahagiaan murni ini bisa memberikan gambaran jelas sebesar apa kebahagiaan yang menantiku di depan. Aku merasa bebas. Tak ada tarikan nafas yang terbebani. Tak ada himpitan di dada yang menyesakkan. Tak ada air mata yang bersembunyi.

"David pastilah seorang malaikat karena mau menikahimu. Entah apa yang dia lihat darimu."

"Apa katamu?"

"Apa?" Suara Tomas menantang.


Aku tahu dia merasa puas berhasil memancing emosi Evi. Aku benar-benar ingin tertawa. Perasaan seperti ini, entah sudah berapa lama aku tak merasakannya. Bebas, lepas, hingga aku merasa bisa terbang.

"Dasar jelek, pergi kau dari sini. Untuk apa kau kemari?"

"Untuk bertemu David, memang kau pikir aku mau bertemu denganmu!"

"Aku juga tidak sudi bertemu denganmu. Sekarang pergi dari sini!!!"

"Tidak mau. Aku masih ingin berbincang dengan David."

"UGH! Dinosaurus jelek."

"Rubah licik!"

Aku pun tertawa lepas.

"David...?"

"Oh, Evi... Aku bahagia... Aku sangat bahagia." . .


END
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd