Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The Amazing Mbak Ana [END]

jrjoker

Semprot Kecil
UG-FR
Daftar
24 Oct 2012
Post
51
Like diterima
517
Bimabet
Cerita ini berdasarkan kejadian nyata tentunya dengan dibumbui di sana-sini agar lebih menarik. Selamat menikmati dan mohon saran serta kritiknya. Trims :Peace:
==========================================

**************************************************
Silakan nikmati juga cerita yang lainnya:
Surprise Surprise! Sebuah Cerita di Hari Ulang Tahun Ratna
Mesin Penghapus Memori

**************************************************

:adek:"The Amazing Mbak Ana part I":adek:

Namaku Richard Tilamaya, biasa dipanggil Richie. Umurku 28 tahun. Aku bekerja dibidang pemerintahan dan sekarang ditugaskan di Pulau Sumatera, tepatnya di kota P. Aku memiliki seorang istri, kami sudah menikah selama tiga tahun namun hingga saat ini belum diberi momongan. Di kota P aku tinggal di rumah mertua, kebetulan dulu mertuaku bekerja juga di Kota P sehingga memiliki rumah di sini. Mertuaku sekarang sudah pensiun dan mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa, menetap di sana menikmati masa tua. Karena sayang untuk dijual dan kebetulan aku bertugas di kota ini, maka mereka menyuruh aku dan istri untuk menjaga dan tinggal di rumahnya. Kamipun setuju itung-itung menghemat biaya kontrak rumah hehehee.
Di rumah aku memiliki seorang pembantu, namanya Mbak Ana. Mbak Ana berumur sekitar 36 tahun dan memiliki tiga orang anak perempuan. Mbak Ana asli dari kota P. Secara fisik tidak ada yang spesial dengan Mbak Ana, rambut pendek sebahu dan badan yang agak kurus. Kulitnya tidak putih namun cukup terang. Mukanya terlihat seperti orang yang kelelahan terlihat lesu, sayu , garis-garis keriput mulai nampak. Namun, sebagai seorang pembantu Mbak Ana masih masuk kategori yang cukup enak dipandang, not bad lah. Mbak Ana tidak menginap di rumahku, dia datang pagi dan pulang setelah pekerjaan rumah selesai. Mbak Ana bekerja di rumahku dari hari Senin sampai Sabtu. Rumahnya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahku, dia biasanya datang ke rumahku dengan berjalan kaki. Mbak Ana tinggal bersama anak-anaknya, sedangkan suaminya bekerja di luar kota. Suaminya pulang sebulan sekali atau terkadang Mbak Ana yang datang ke kota suaminya bekerja. Penghasilan suami Mbak Ana bisa dibilang pas-pasan karenanya untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga Mbak Ana mencari penghasilan tambahan. Sebenarnya aku dan istriku belum terlalu membutuhkan pembantu karena kami masih tinggal berdua selain itu juga istriku tidak bekerja jadi tidak ada masalah dengan pekerjaan rumah, namun karena Mbak Ana sudah lama ikut dengan mertuaku kami jadi tidak enak untuk memberhentikannya.
Aku jarang ngobrol dengan Mbak Ana, karena kami juga jarang bertemu. Kami biasanya hanya bertemu pada hari sabtu atau jika aku sedang sedang libur. Jika bertemu kami hanya saling bertegur sapa saja dan sangat jarang sekali mengobrol. Selama ini Mbak Ana tidak pernah menyita perhatianku dan aku juga tidak pernah berpikir macam-macam dengan Mbak Ana. Namun ternyata hal tak terduga aku alami bersama Mbak Ana.

Pagi hari aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kantor, ketika tiba-tiba kakak iparku menelpon mengabarkan ibu mertuaku masuk rumah sakit. Ibu mertuaku memang sudah lama sakit dan beberapa kali masuk rumah sakit, namun kali ini harus dilakukan tindakan operasi. Aku meyuruh istriku segera mencari tiket untuk pulang ke jawa untuk menjenguk dan memberi suport ibu yang akan melakukan opersi. Karena aku masih banyak pekerjaan kantor yang harus diselesaikan, maka tidak mungkin untuk ikut pulang bersama istriku.

Siangnya aku pulang ke rumah untuk mengantar istriku ke bandara. Waktu itu Mbak Ana masih di rumahku, istriku sedang berpesan ini-itu, urusan rumah spertinya. Setelah selesai berpesan kepada Mbak Ana, istriku menitipkan kunci rumah cadangan ke Mbak Ana sehingga jika aku sedang bekerja dia tetap dapat bersih-bersih rumah dan menyelesaikan pekerjaan lainnya.

Hari ini Sabtu, aku terbangun oleh suara alarm hp-ku. Jam 08:00. Aku sengaja mengeset alarmku supaya tidak bangun kesiangan karena aku ada janji dengan teman kantorku untuk menyelesaiakan laporan kami. Mataku masih berat untuk dibuka, aku matikan alarmku namun aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Baru jam 03.00 pagi tadi aku tidur karena semalam harus lembur, hari ini juga aku seharusnya libur namun terpaksa aku harus ke kantor untuk menyelesaikan laporan karena deadline sudah dekat. Aku masih mencoba mengumpulkan tenaga untuk beranjak dari kasur ketika terdengar ketukan pintu. Siapa pikirku?
"Mas..Mas Richie?"
Aku mendengan suara yang aku kenal, Mbak Ana. Ahhg aku masih malas untuk bangkit. Mbak Ana kembali mengetuk dan memanggil namaku. Biarkan saja pikirku, toh dia bawa kunci cadangan juga. Benar saja setelah beberapa kali mengetuk dan memanggil tanpa ada balasan, terdengar suara kunci pintu dibuka. Mungkin Mbak Ana berpikir aku sedang pergi. Terdengar pintu terbuka.

"Mas Richie?" Mbak Ana masih mencoba memangilku, memastikan aku ada di rumah atau tidak.
Seketika itu juga aku sadar aku tidak menutup pintu kamarku. Aku tidak menutupnya karena semalam listrik padam, AC kamarku mati. Karena gerah, kuputuskan untuk tidur dengan pintu kamar terbuka agar ada sedikit udara segar. Pintu kamarku menghadap ke ruang tengah. Mbak Ana pasti akan melalui kamarku untuk menuju ke dapur dan tempat cuci baju. Tiba-tiba timbul niat isengku. Biar saja Mbak Ana melihatku dalam posisi tidur. Aku biasa tidur hanya mengenakan kaos dan boxer. Aku suka mengenakan boxer kalo di rumah karena si Junior rasanya jadi lebih lega dan kalo tiba-tiba "pengen" tinggal plorotin aja hehehe. Nahh yang bikin aku jadi tambah iseng karena kalo pagi bangun tidur si Junior suka berdiri. Aku keluarkan penisku yang setengah berdiri dengan mengangkat sedikit bagian bawah boxerku sehingga seolah-olah penisku keluar dengan sendirinya ketika aku tidur. Aku penasaran ingin melihat ekspresi Mbak Ana ketika melihatku dalam posisi seperti ini. Kenapa aku jadi exebisionis ya hehehe. Hmmm.. muncul ideku untuk merekam ekspresi Mbak Ana agar aku bisa melihatnya nanti. Dengan cepat aku menyalakan kamera video di hape-ku, aku arahkan ke pintu, dan aku sangga dengan bantal. Mbak Ana tidak akan tahu kalo kamera hape itu menyala, dia pasti akan berpikir hape-nya tergletak biasa saja. Aku lalu kembali ke posisi dan pura-pura masih tidur. Terdengar suara langkah Mbak Ana mendekat dan tiba-tiba berhenti ketika sampai di depan kamarku. Aku tertawa geli dalam tidurku, pura-pura tidur tepatnya hehehee. Sepertinya Mbak Ana kaget melihat aku ada di rumah dan tertidur dengan si Junior mengintip keluar dari boxer ku. Beberapa saat Mbak Ana berhenti kemudian dengan hati-hati dia menjulurkan kepalanya ke dalam kamarku. Dia melihatku masih tidur, sekilas dia melirik penisku dan beranjak pergi.
Setelah Mbak Ana pergi aku tertawa pelan, aku sudah menahan tawa dari tadi. Dari bagian belakang rumah terengar Mbak Ana mulai beraktivitas, sepertinya sedang mencuci baju karena terdengar suara berisik mesin cuci. Aku ambil hapeku dan aku putar rekaman video tadi. Sambil menahan tawa aku melihat video itu. Dalam rekaman video terlihat ketika Mbak Ana sampai di depan kamarku dan langsung kaget melihatku. Sepertinya dia juga menyadari kalo penisku terlihat, dan matanya cukup lama melihat ke arah situ heheehe. Aku memang hanya iseng dan tidak ada niat untuk bertindah lebih jauh.
Aku bangun dan segera menuju kamar mandi, aku masih tetap memakai boxer tapi tentunya si Junior sudah kembai ke sarangnya. Aku pura-pura kaget ketika melihat Mbak Ana.
"Eh.. Mbak Ana, sudah dari tadi mbak?"
"Baa..baru saja kok mas." Mbak Ana terlihar agak gugup, mungkin karena kejadian barusan.
"ohh..maaf mbak aku gak denger Mbak Ana tadi datang." Aku bicara dengan nada santai supaya Mbak Ana tidak gugup.
"Iya Mas Richie, Mbak tadi ketuk pintu enggak ada yang bukain. Mbak kira di rumah gak ada orang. Ehh.. ternyata Mas Richie masih tidur." Mbak Ana sudah bisa mengendalikan dirinya.
"Iya mbak aku gak denger." Aku beralasan. "Baru tidur tadi pagi. Semalam habis lembur."
"Ouww."
"Mbak aku tolong dibikinin mie ya buat sarapan, dah lapar nih."
"iyaa mas tapi bentar lagi ya, tanggung ini mas nyucinya dah mau selesai."
"Okai mbak aku juga mau mandi dulu." Aku berlalu menuju kamar mandi.
Selesai mandi mieku sudah siap. Aku sarapan sambil duduk di depan TV, kunyalakan TV dan mulai menyantap mieku selagi masih hangat. Mbak Ana sedang menyetrika. Tempatnya menyetrika tidak jauh dari tempat aku duduk. Aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol sambil sarapan.
"Anaknya yang gedhe sekarang di mana mbak? Masih sekolah? Atau sudah lulus?" aku membuka obrolan. Aku tau dari istriku kalo anak pertamannya dulu sekolah di akademi kebidanan, aku lupa nama anaknya.
"oh si Rina ya mas, sekarang sudah kerja mas. Baru lulus dua bulan yang lalu tapi alhamdulillah langsung dapat kerjaan," jawabnya agak kaku karena tidak terbiasa mengobrol denganku.
"Kerja di mana mbak?"
"Di Rumah Sakit Merah Putih di Kota PP." Rupanya si Rina kerja di luar kota.
Obrolan mulai berkembang dan suasana menjadi cair. Mbak Ana mulai nyaman ngobrol dengan ku. Dia bercerita kalo dia senang anaknya langsung mendapat kerja sehingga tidak bergantung dengan orang tua lagi. Mbak Ana juga bercerita kalo sekarang usaha tempat suaminya bekerja sedang tidak bagus sehingga sudah empat bulan ini suaminya belum bisa pulang karena belum ada ongkos. Mbak Ana juga tidak bias datang ke sana karena uang yang diperolehnya sudah habis digunakan untuk biaya sekolah anaknya. Anaknya yang nomor dua baru saja masuk SMA. Aku agak simpati juga mendengar cerita Mbak Ana. Aku menyuruhnya bersabar dan menasehatinya untuk tetap semangat bekerja.
"Kalo sudah rejekinya pasti gak akan ke mana mbak." nasehat ku. "Yang penting kita berusaha. Rejeki pasti tiba dengan sendirinya."
Dari obrolan kami aku jadi tahu ternyata selain bekerja di tempatku kalo malam Mbak Ana juga bekerja menjaga warung makan. Selama kami mengobrol aku mendapati Mbak Ana beberapa kali melirik si Junior. Aku cuek saja. Sehabis mandi tadi aku masih menggunakan boxer dan kaos saja. Seperti aku bilang kalo sedang di rumah aku memang biasa seperti ini. Sebelum-sebelumnya Mbak Ana juga sudah biasa melihatku mengenakan boxer kalo sedang di rumah jadi aku cuek saja. Karena mulai merasa biasa denganku Mbak Ana mulai berani menanyakan hal yang agak privat.
"Mas..Mas Richie dan Mbak Anja memang nunda punya momongan ya?" "Eh maaf ya mas..Mbak nanya-nanya.." Mbak Ana sadar kalo pertanyaannya mungkin agak sensitif, dia jadi salah tingkah dan terlihat agak menyesal telah bertanya.
"Gak papa kok mbak." jawabku tersenyum. "Aku sebernya pengen mbak segera punya momongan, apalagi Anja dia kan seneng banget sama anak kecil" tambahku, "Tapi sepertinya masih belum dikasih."
"Sabar ya mas. Nanti juga pasti dapat kok kalo memang sudah rejekinya" Mbak Ana mencoba menghiburku dengan nada keibuan, seperti seorang ibu yang menghibur anaknya yang kalah dalam lomba. Aku menjadi sedikit terharu, terharu dengan diriku sendiri.
"Mbak dulu juga lama kosong kok. Hampir tiga tahun."
"Iyaa ya mbak?" aku baru tahu kalo Mbak Ana ternyata juga lama dapat momongan.
"Mas Richie sudah coba cek ke dokter?" tanya Mbak Ana.
"Sudah sih mbak, tapi kata dokter gak ada masalah baik sama Anja maupun sama aku. Semuanya sehat. Kata dokter sih dicoba terus aja" jawabku "Mungkin bikinnya yang gak bener kali ya mbak heheheehe." aku bercanda tanpa maskud menggoda.
Mbak Ana tersenyum kecil kemudian menjawab dengan nada serius "Sama mas Richie..dulu mbak juga cek ke dokter dan kata dokter suami mbak dan mbak sehat semuanya."
"Ohhh" jawabku singkat.
Aku melahap suapan terakhir mie ku, Mbak Ana terlihat fokus kembali menyetrika. Kami terdiam sejenak.
"Terus akhirnya bisa dapat Rina gimana mbak?" aku memecah keheningan "Kata temenku sih aku disuruh banyak-banyak makan toge, emang bener ya?"
"Kalo toge sih emang bagus buat laki-laki mas," kata Mbak Ana sambil melipat kemeja yang baru selesai disetrika "Katanya dapat meningkatkan kualitas itunya."
"Itunya?" aku memasang muka heran, aku menangkap maksud Mbak Ana adalah bahwa toge dapat meningkatkan kualitas ereksi atau ketahanan penis.
"Bukan anunya mas?" Mbak Ana terkikik, "eee..itu kualitas..ee sperma." sepertinya Mbak Ana agak risih mengucapkan kata sperma.
"Ouww. Kirain hehee..perasaan aku dah banyak makan toge tapi gak ada perubahan kualitas di situ hehehee" Mbak Ana ketawa mendengar komentarku.
"Jadi dulu suami mbak banyak makan toge juga ya?" tanyaku.
"Ya gak banyak juga sih mas biasa aja, kalo mbak kebetulan pas masak sayur toge aja." Mbak Ana kemudian menambahkan, "Mbak dulu ke tukang urut mas."
"Tukang urut?" aku bingung.
"Iya kebetulan nenek mbak dulu tukang urut." Jelas Mbak Ana sambil mengusap keringat dikeningnya, sepertinya hawa panas strika membuat Mbak Ana gerah.
"Waktu itu nenek bilang supaya bisa cepet dapat momongan suami mbak harus diurut karena menurut nenek ada syaraf suami mbak yang bekerja kurang maksimal."
Waktu itu aku masih berpikir kalo 'diurut' yang diceritakan Mbak Ana sepeti diurut pada umunya.
"Mbak sih awalnya gak ngerti tapi karena gak ada ruginya ya kenapa gak dicoba aja. Apalagi yang nyuruh orang tua kalo gak mau malah takut kualat nanti."
Aku menyimak cerita mbak ana dengan serius.
"Jadi ya sudah mbak sama suami berangkat ke rumah nenek di dusun. Kemudian suami mbak diurut, nenek juga mengajari mbak cara ngurutnya. Kata nenek supaya berhasil gak bisa hanya diurut sekali jadi nenek mengajari mbak cara ngurutnya supaya mbak bisa ngurut sendiri nantinya sehingga gak perlu bolak-balik ke rumah nenek yang cukup jauh."
"Percaya gak percaya sih Mas Richie. Dua minggu setelah itu mbak langsung isi." Mbak Ana mengakhiri ceritanya sambil melipat pakai terakhir yang disetrikanya.
Dia menghela nafas lega, setrikaanya sudah selesai semua. Mbak Ana mengusap butir-butir keringat diwajahnya dengan bagian bawah kaosnya. Otomatis kaosnya sedikit terangkat dan terlihat perut Mbak Ana yang putih, perut Mbak Ana ramping namun terlihat kendor. Maklum Mbak Ana kan bukan tante-tante berduit yang rajin fitnes. Mbak Ana waktu itu memakai kaos warna krem yang agak kedodoran dan sudah kusam. Di bagian bawah dia menggunakan legging sebatas lutut warna biru gelap. Meskipun legging jangan bayangkan seperti legging-lengging yang dipakai ABG sehingga terlihat ketat dan sexy. Legging yang dipakai Mbak Ana sepertinya sudah sering dipakai sehingga agak melar. Mbak Anak dalam berpakaian memang seadanya, kaos, legging, celana pendek kolor terkadang dia juga memakai daster dan semua pakaiannya sudah kusam bahkan ada beberapa yang terdapat bagian yang sobek atau bolong. Aku rasa di dunia ini tidak ada wanita yang tidak ingin tampil cantik dan menarik, begitu juga Mbak Ana. Namun keadaan yang memaksanya.
Mbak Ana berjalan ke dapur dan mengambil segelas air minum. Setelah minum dia kembali mengusap keringat di dahi dengan punggung tangannya. Mbak Ana menyisir rambutnya kebelakang dengan jari mengumpulkannya menjadi satu dan mengikatnya dengan karet gelang. Dia berjalan menuju mesin cuci dan mulai mengeluarkan baju yang telah selesai dicuci untuk dijemur. Aku melihat jam dinding, jam 09.00. Sebentar lagi berangkat ke kantor pikirku. Aku berjalan kebelakang untuk menaruh piring kotor ditempat cucian. Tempat cuci piring ada di luar rumah bersebelahan dengan tempat Mbak Ana mejemur. Aku perhatikan Mbak Ana agak kesulitan menjemur selimut, aku datang mendekat membantu Mbak Ana menaruh selimut di tali jemuran. Angin berhembus dan aku mencium aroma yang aneh, bukan, bukan, bukan aroma yang tidak enak tetapi aroma yang khas. Ini bau tubuh Mbak Ana dugaku. AKu seperti sedang terhipnotis, aroma itu masuk melalui hidungku dan langsung membekukan otaku. Aku merasakan sensai yang aneh.
"Makasih Mas." Mbak Ana menyadarkanku.
"Ah..iyaa." Gantian aku yang gugup.
Mbak Ana melanjutkan menjemur sisanya. Aku berdiri bersandar didinding tempat ujung tali jemuran ditambatkan.
"Mbak aku kayaknya tertarik juga urut sama neneknya Mbak Ana, siapa tau berhasil juga." Aku melanjutkan obrolan kami tadi. Aku menunjukkan keantusiasanku.
Mbak Ana menjemur celana jeansku dan kembali mengusap keringat di dahinya, sepertinya dia mulai kelelahan.
"Masalahnya mas," dia kembali mengambil sisa pakaian yang akan dijemur, "nenek mbak dah meninggal satu tahun yang lalu."
"ahh..maaf mbak." aku tidak menduga jawaban Mbak Ana. "Sakit mbak?"
"Yaa memang sakit..tapi juga karena memang sudah umur"
Angin kembali berhembus dan lagi-lagi bau aroma tubuh Mbak Ana mengalir melalui hidungku. Aku kembali blank.
"Kalo nenek masih sehat mungkin aku bisa berhasil juga kali ya mbak?" aku berbicara dengan pandangan kosong. Sebelum Mbak Ana sempat menimpali aku menyadari sesuatu, "ehh..bukannya Mbak Ana pernah diajari cara ngurutnya juga ya?"
Mbak Ana tiba-tiba berhenti bergerak, dia kaget dengan pertanyaanku.
"ee..em..embak gak bisa." Mbak Ana gugup.
"Loh tadi kan mbak cerita, mbak diajari cara ngurutnya supaya mbak bisa ngurut sendiri tanpa harus ke rumah nenek? Suami mbak kan cuma diurut sekali sama nenek, iya kan? Selebihnya Mbak Ana yang ngurut kan? Iya kan mbak?" aku membrondong mbak ana karena merasa ada harapan.
"Bukan gitu mas Richie." Mbak Ana menjawab sambil berjalan masuk rumah. Keringatnya sepertinya semakin menjadi.
Kenapa Mbak Ana panik pikirku? Aku berjalan masuk rumah mengikuti Mbak Ana. Mbak Ana menuju ruang tengah, dan duduk di depan tv.
"Jadi gimana mbak? masa Mbak Ana gak mau nolongin aku?" Aku memohon.
Mbak Ana mengambil sapu sepertinya dia hendak menyapu tapi kemudian dia menghela nafas dan kemudian menarik kursi makan dan duduk memandangku dengan serius. Mbak Ana menarik nafas kemudian mulai berbicara.
"Mbak Ana bukannya gak mau menolong Mas Richie tapi mbak gak bisa." Aku bingung, Mbak Ana kembali menarik nafas dan melanjutkan. "Soalnya.."
"Eee..maksud mbak cara ngurut itu..Ehh..pokoknya mbak gak bisa ngurut Mas Richie."
Aku memandang Mbak Ana, semakin bingung. Mbak Ana menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan kekuatan.
"Mas..Mbak gak bisa membantu Mas Richie karena yang harus diurut itu ada di..syaraf yang harus diurut itu ada di.." Mbak Ana memelankan suaranya, mukanya memerah. "burungnya."
Caaassss. Tubuhku seperti diguyur air es. Akhirnya aku paham kebingungan Mbak Ana. Aku mendadak jadi malu memaksa Mbak Ana untuk mengurutku. Aku melihat Mbak Ana dia menunduk memainkan gagang sapu, mukanya merah padam. Perlahan dia mulai mengakat kepalanya memandangku. Mbak Ana tersenyum, senyum yang terlihat grogi dan kikuk.
"Maaf mbak aku kirain urut badan kayak biasa gitu." Aku menimpali sambil nyengir.
Kami berdua melihat tv tapi sama sekali tidak tahu apa yang kami tonton, pikiran kami melayang entah ke mana. Kami berdua jadi salah tingkah.
"yahh mungkin memang belum waktunya mbak, nanti juga pasti dapat kalo sudah waktunya kan?" ujarku sambil tersenyum getir.
Mata kami berdua masih melihat tv. Aku bangkit dari tempat duduk, "Aku siap-siap dulu ya mbak mau ke kantor ada janji sama temen." Aku menuju kamarku ganti baju.
Aku baru selesai mengganti kaos yang aku kenakan dengan polo shirt ketika tiba-tiba Mbak Ana sudah di depan pintu kamarku yang tidak tertutup.
"Mas Richie.." mukanya menunjukkan raut merasa bersalah.
Aku jadi serba salah, sebenernya aku sudah memahami kondisinya dan maklum.
"Mas Richie...memangnya Mas Richie mau kalo mbak urut?" Duaarr aku jadi bingung sendiri. Aku jadi gak enak sama Mbak Ana, karena dari awal aku sudah salah memahami maksud 'diurut' yang diceritakan Mbak Ana.
"Mbak.." aku duduk di tepi tempat tidurku, "Mbak Ana gak usah merasa bersalah gitu, aku gak papa kok mbak, tadi cuma salah paham."
"Kalo aku tau maksud diurut yang mbak ceritain itu seperti itu aku gak mungkin minta tolong Mbak Ana kan?" aku melannjutkan.
Mbak Ana menunduk, jarinya memainkan ujung kaosnya. "Mbak bukannya gak mau nolong Mas..apalagi Mbak Anja sama Mas Richie sudah baik dan banyak membantu mbak," Memang istriku suka memberi makanan dan uang tambahan untuk Mbak Ana. "Cuma mbak ngerasa gak pantes aja kalo harus ngurut Mas Richie."
Nahhh. Aku paling gak bisa kalo wanita sudah merasa rendah seperti ini.
"Bukan gitu mbak...aku mau aja kok cuma kan.." Aku terdiam berpikir. Aku bukannya gak mau cuma aku gak membayangkan bakal 'diurut' Mbak Ana dan aku berpikir Mbak Ana juga pasti gak bakal mau. Aku jadi bingung.
"Gini aja Mbak Ana, aku sekarang ada janjian sama temen, ada kerjaan kantor. Kalo mbak emang mau gimana kalo nanti malam Mbak Ana ke rumah lagi buat ngurut aku?" jujur aja sejauh ini aku belum berpikir macam-macam. Aku setuju untuk diurut hanya karena gak tega melihat Mbak Ana. Mbak Ana mengangkat kepalanya melihatku, mukanya agak cerah, "Mas Richie yakin?"
"yuupp!" aku menjawab yakin.
"Baik mas ntar mbak coba urut, semoga berhasil juga, supaya Mas Richie dan Mbak Anja cepet punya momongan." Mbak Ana tersenyum ringan namun jauh di dalam matanya aku masih melihat keraguan. Aku tahu Mbak Ana pasti sama bimbangnya denganku.

Jam tujuh malam aku sudah mengendari motorku menuju ke rumah. Aku mampir ke warung untuk makan malam sekalian, karena tidak ada istriku artinya di rumah juga tidak ada makanan. Hari ini sudah seminggu sejak kepulangan istriku ke jawa. Kemarin dia telepon sepertinya masih belum bisa pulang karena masih harus menemani ibu.
Jam setengah delapan aku sudah sampai di rumah. Tepat waktu pikiriku. Sebelumnya aku sudah bilang Mbak Ana untuk ke rumah jam delapan saja. Aku segera mandi dan berganti pakaian, setelah mandi aku tiduran sambil nonton tv di kamar. Tak terasa mataku terpejam. Aku dikagetkan suara ketukan pintu, aku terbangun setengah sadar. Ahh iya Mbak Ana pikirku, aku segera menuju ruang tamu dan membuka pintu. Bener saja Mbak Ana yang datang.
"Mas Richie dah di rumah ya?" Mbak Ana tersenyum menyapaku.
"Iya mbak, ini barusan juga sampainya." Setelah Mbak Ana masuk, aku langsung menutup pintu.
"Sudah makan mbak?" tanyaku.
"Sudah mas."
"ouuw ya udah, soalnya di rumah juga gak ada makanan mbak heheee." Kami duduk di depan tv.
Memang di ruang tengah biasa aku gunakan untuk duduk santai, atau ketika ada keluarga dating biasanya kami mengobrol di sofa yang ada di depan tv. Begitu juga malam ini, rasanya akan terlalu resmi kalo aku mengajak Mbak Ana duduk di ruang tamu, jadi di sinilah kami duduk, di depan tv.
"Ohh Mas Richie belum makan ya?" tanya Mbak Ana.
"Sudah kok mbak, tadi mampir makan sekalain pas pulang."
Kami terdiam sejenak. Terus terang aja aku juga sedikit grogi masalah urut-mengurut ini. Aku bingung harus bagaimana memulainya. Untungnya Mbak Ana yang berinisiatif memulai.
"Mau diurut sekarang mas?" Mbak bertanya sambil menatapku sekilas.
"Boleh mbak, ayuk. Di kamar aja kali ya mbak?" maksudku agar aku bisa sambil tiduran dengan nyaman di tempat tidur.
"Iya mas." Mbak Ana berjalan mengikuti aku ke kamar.
Sampai di kamar aku bingung harus gimana "Gimana nih mbak?"
"Mas Richie ada handbody?"
"Ada mbak." aku segera mengambil handbody lotion istriku di meja rias.
"Mas Richie tidur tengkurap ya mas."
Aku langsung tengkurap masih dengan pakaian lengkap, kaos dan boxer. Detak jantungku mulai berakselerasi. Aku pikir Mbak Ana akan langsung mengurut burungku hehe. Ternyata Mbak Ana memulainya dengan mengurut kakiku. Mbak Ana mengoleskan sedikit lotion ke tangannya dan mulai mengurut telapak kakiku. Dia memijatnya di berapa titik dan kemudian mengurutnya naik dari betis ke paha. Dia melakukan beberapa kali, dimulai dari kaki kiri kemudian kaki kanan.
"Maaf ya mas mbak urut di sini." Mbak Ana lanjut mengurut beberapa titik dipantatku. Dia memijat sebentar dan sepertinya agak bingung karena aku masih mengenakan boxer.
"Mas Richie maaf celananya diturunin dikit ya, mbak agak susah ini ngurutnya."
"Ahh.. iya mbak." Aku menurunkan sedikit boxerku, sehingga setengah pantatku terlihat.
Mbak Ana melanjutkan mengurut pantatku. Tekanan dan urutan Mbak Ana didaerah pantat mulai mempengaruhi si junior. Aku mencoba mengalihkan perhatian supaya penisku tidak menjadi tegang. Tapi lama kelamaan urutan Mbak Ana membuatku merasa nikmat, sehingga aku tidak bisa melawannya. Akibatnya si junior menjadi separuh tegang. Aku hanya bisa memejamkan mata sambil menikmati urutan Mbak Ana. Aku menikmati sensasinya.
"Mas Richie balik badannya."
"ahh..iya." deg deg deg detak jantungku meningkat dengan pasti, telapak tanganku dingin. Dengan kondisi penisku yang sedang tegang dan dengan boxer longgar yang aku pakai, pasti Mbak Ana akan melihatnya. Ahh tp toh nanti dia juga akan mengurutnya pikirku. Aku segera membalikkan badan. Aku melihat Mbak Ana ketika membalikkan badan, dia sama gugupnya denganku, kepalanya menunduk tidak berani menatapku. Setelah aku mendapat posisi nyaman aku kembali memejamkan mata. Mbak Ana meneruskan memijat,kembali memijat kaki ku dan kemudian mengurut dari atas ke bawah dari kaki kiri berganti kaki kanan. Aku berusaha mengendalikan nafasku agar jantungku tidak berdetak terlalu cepat, tapi soal si junior aku tidak bisa mengendalikannya, tekanan darah terus mengalir terpusat. Tangan Mbak Ana beranjak ke memijat pahaku, dia mengurut dari sisi luar mengarah ke pangkal paha.
"Ahh.." aku reflek melenguh pelan, mungkin Mbak Ana tidak mendengarnya. Dia terus mengurut seperti itu berulang-ulang. Penisku semakin tegang, tegang sejadi-jadinya sehingga tampak menonjol dari boxerku. Getaran-getaran kenikmatan mulai kurasakan, gila padahal Mbak Ana sama sekali belum menyentuhnya. Perlahan nafasku memburu. Kurang lebih 10 menit dia mengurut pahaku.
"Mas sekarang perutnya," kata Mbak Ana sambil menyelesaikan urutan terakhir di pahaku.
Tanpa menjawab aku sedikit menarik kaosku ke atas. Aku mencoba mengendalikan diriku kembali. Terasa tangan Mbak Ana menyentuh perutku, pergelangan tangan Mbak Ana sempat menyentuh penisku ketika tangannya menuju perutku. Membuatku bergetar. Mbak Ana mengurut perutku pelan dari atas ke bawah menuju ke penisku. Aku yang sedang mencoba mengandilakn diri kembali memburu. Sensasi kenikmatan kembali kurasakan. Sesekali ketika mengurut ke bawah pergelangan Mbak Ana kembali mengenai ujung penisku yang membuatku merinding menahan nikmat. Aku mulai khawatir tidak dapat menahan kenikmatan dan menyemburkan cairanku, aku rasa diujung penisku mulai keluar lelehan cairan. Aku sungguh menikmati urutan Mbak Ana.
Mbak Ana menghentikan urutannya di perutku, dia tidak mengurutnya selama pahaku tadi.
"Mas sekarang itunya," Detak jantungku meningkat, penisku semakin tegang.
"I..iya mbak," aku membuka mata. Mbak Ana mengusap butiran keringat didahinya, sepertinya dia cukup tenang dan fokus mengurutku.
"Tolong diturunin sedikit mas celananya," Mbak Ana melihatku sekilas kemudian menunduk, suaranya sedikit bergetar, sepertinya tidak setenang yang aku kira.
Perlahan aku menurunkan boxerku, penisku yang sudah tegang meloncat keluar, aku tidak melepas boxerku hanya menurunkan sebatas paha. Terlihat Mbak Ana mengendalikan nafasnya sepertinya dia mencoba untuk tak terlihat grogi. Dia kembali mengusap keringaat di dahinya dan melap tangannya dengan daster yang dikenakannya.
"Maaf ya mas," dia memajukan tangannya ke penisku, aku bersiap-siap.
Sentuhan tangannya mulai terasa di penisku "eghh.." aku menahan nikmat. Mbak Ana diam saja.
Mbak Ana mengurut penisku perlahan dengan sedikit tekanan dari bawah ke atas menggunakan jempolnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia mengurut tanpa menggunakan lotion. Dia mengulangnya kembali dari bawah ke atas. Penisku terasa tegang sekali dan aku merasa kenikmatan yang sangat. Aku melihat Mbak Ana, dia sepertinya menghindari memandang langsung penisku, pandangannya sedikit lebih ke atas ke arah perutku. Karena agak membungkuk ketika mengurut, aku dapat melihat sedikit belahan dada Mbak Ana melalui lubang atas dasternya, membuat sensasi yang kurasakan semakin menjadi. Kami sama-sama diam, entah apa yang dirasakan dan dipikirkan Mbak Ana. Aku? Tak ada pikiran apapun di kepalaku tapi apa yang kurasakan membuatku melayang, seluruh tubuhku dibaluri oleh sensasi kenikmatan, aku tak dapat menahannya. Dan benar saja, aku rasa Mbak Ana baru mengurut penisku lima atau enam kali ketika aku merasakan puncak kenikmatan tiba.
"Akhhhhhhh..Mbaaaak!!," aku mengerang nikmat, memejamkan mata, menegangkan badanku ke atas, tanganku meremas sprei.
Seketika Mbak Ana menghentikan urutannya, dia menekan keras batang penisku dengan jarinya. Aku merasakan denyut berulang dipenisku, ledakan-ledakan kenikmatan menghantamku, orgasme, aku mencapai klimaks.
Terengah-engah, perlahan ketika kenikmatanku mulai mereda aku mulai merasa heran, sepertinya aku tidak mengeluarkan sperma sama sekali ketika orgasme. Aku membuka mataku, tangan Mbak Ana masih menekan batang penisku, kulihat diujung penisku hanya terdapat sedikit lelehan cairan. Perlahan Mbak Ana melepaskan tangannya dari penisku, kulihat dahinya dipenuhi butiran peluh dan terlihat nafasnya sedikit memburu. Dia melap keringat di wajah dan lehernya, aku mengambil tisu yang ada di samping ranjangku dan menyodorkan ke Mbak Ana. Mbak Ana tersenyum mengambilnya. Aku masih terbaring, penisku mulai menyusut, rasa gugupku hilang seketika.
"Mbak kok aneh ya?" aku membuka percakapan. Mbak Ana duduk di sampingku menghadapku.
"Aku tadi kayaknya orgasme deh, tapi kok gak keluar spermanya ya?"
"Iya mas," Mbak Ana maklum dengan keherananku, "tadi pas Mas Richie keluar mbak tekan supaya gak keluar."
Suasana memang sudah lebih cair tapi terlihat Mbak Ana masih belum tenang seperti menahan sesuatu. Aku hanya menerka-nerka sepertinya dia terbawa suasana.
"ohh.. bisa ya seperti itu, aku baru tahu mbak, belum pernah kayak gini, tapi tadi bener-bener enak banget mbak," aku ngomong asal tanpa mempedulikan kondisi Mbak Ana dan sepintas lupa tujuan urut sebenarnya. Begitulah lelaki kalo sudah klimaks, nafsu langsung hilang seketika hehehee. Mbak Ana hanya tersenyum menanggapiku.
"Mbak minum sebentar ya mas, ntar Mbak lanjutkan lagi," Mbak Ana bangkit keluar dari kamar menuju dapur.
Aku tersadar, aku masih dalam prosesi urut, heran bercampur penasaran, dan ternyata ini belum selesai?

-tbc-
 
Terakhir diubah:
"The Amazing Mbak Ana part II"
Mbak Ana hanya tersenyum menanggapiku.
"Mbak minum sebentar ya mas, ntar mbak lanjutkan lagi," Mbak Ana bangkit keluar dari kamar menuju dapur.
Aku tersadar, aku masih dalam prosesi urut, heran bercampur penasaran, dan ternyata ini belum selesai?


Tidak lama Mbak Ana kembali ke kamarku, dia duduk disampingku. Aku mendapati dia melirik si Junior yang sekarang terkulai lemas, sadar aku memperhatikannya Mbak Ana membuang muka pura-pura mencari bodylotion.
"Mbak lanjut urut ya mas," Mbak Ana meneteskan lotion ke tangannya.
"Iya mbak," aku kemudian mengungkapkan rasa penasaranku, "Kirain dah selesai mbak."
"Masak cuma gitu aja mas,"jawabnya sambil tersenyum. "Kata nenek yang tadi itu untuk mengecek apakah syaraf-syarafnya masih normal," tangan Mbak Ana meluncur ke kedua pahaku, kemudian mengurut dari sisi luar ke arah tengah, nyaris mengenai pangkal penisku. Karena aku baru saja mencapai klimaks, maka si junior belum terlalu terpanguruh. Aku merasakan urutan Mbak Ana ini sengaja untuk memperlancar aliran darah ke penisku.
"Jadi punyaku masih normal gak mbak?" aku bertanya, "Tadi aku cepet banget langsung klimaks, padahal biasanya gak gitu. Apa memang karena ada yang salah ya mbak?"
Sesi kedua ini berbeda, rasa gugupku sudah hilang dan aku menjadi lebih santai menghadapi Mbak Ana makanya aku jadi blak-blakan aja ngomong ke Mbak Ana, mungkin karena pengaruh klimaks tadi.
"Bagus dan normal kok mas," kembali Mbak Ana tersenyum, "Memang sengaja diurut pas syarafnya, kalo tidak ada masalah pasti langsung itu mas," terangnya.
"Itu?" aku bingung.
"Itu mas..langsung keluar."
"Ohh.." aku paham.
"Mbak dulu juga kaget, waktu lihat suami diurut nenek, tahu-tahu dia mengerang kayak kesakitan, mbak kira dia kesakitan karena nenek salah urut," dia berbicara sambil terus mengurut pahaku, "ehh ternyata..."
"ternyata keenakan ya mbak hehee," aku menyahut. Geli juga aku membayangkan waktu suami Mbak Ana diurut oleh neneknya yang sudah tua, bisa keluar juga ya hehehee.
Mbak Ana tersenyum. Dia mengambil lotion dan melanjutkan mengurut. Kali ini perutku kembali diurut dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Si junior mulai merespon dan sedikit membengkak.
"Waktu itu suami mbak baru diurut juga langsung keluar ya mbak?" aku iseng bertanya.
"Iya mas baru sebentar, padahal biasanya juga gak secepat itu loh mas," Mbak Ana juga jadi lebih terbuka mungkin terpengaruh olehku.
"Wahh.. biasanya lama ya mbak, enak dong hehehe," aku mulai berani menggoda Mbak Ana.
"Ahh..Mas Richie," Mbak Ana menunduk malu, mukanya memerah.
Aku tersenyum, kembali memejamkan mata, sensai kenikmatan mulai aku rasakan. Penisku semakin membengkak tapi belum sepenuhnya tegang. Kami kembali terdiam.
"Ahh..." aku mengerang halus, tangan Mbak Ana kembali menyentuh penisku.
Mbak Ana mengurut penisku dengan jempolnya, sama seperti tadi tapi kali ini tidak terlalu banyak tekanan lebih seperti mengelus. Penisku perlahan mulai tegang. Aku membuka mata, melihat Mbak Ana. Dia mengurut sambil melihat langsung penisku kali ini. Kulihat ke arah lubang kepala dasternya berharap bisa melihat belahan dada Mbak Ana lagi. Nafsu mulai membuaiku. Aku memperhatikan Mbak Ana, jika diperhatikan baik-baik ternyata Mbak Ana menarik juga, wajahnya menggambarkan dia wanita yang kuat dan juga terlihat manis dihiasai dengan rambut sebahu, meski kulitnya sudah dihiasai kerutan-kerutan. Terlintas di kepalaku gambaran Mbak Ana sedang bersetubuh dengan suaminya, bagaimana ya dia di atas ranjang. Ahh aku sungguh menikmati sensasi ini. Mbak Ana mengangkat tangannya menyisir sebelah rambutnya dengan jari dan menyisipkan ke belakang telinga. Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya melihat ke arahku. Aku tersenyum tipis, memandangnya sayu, menahan kenikmatan yang ku rasa. Mbak Ana kembali menunduk mengetahui aku tidak terpejam, nafasnya sedikit tersengal. Apakah Mbak Ana lelah mengurut atau mulai terangsang, aku tidak tahu tapi melihat Mbak Ana dalam kondisi tersebut malah membuat pikiran liar tentangnya terlintas di kepalaku. Setahuku wanita pada umumnya lebih susah terangsang dari pada laki-laki tapi bersentuhan dengan penis orang lain yang bukan suaminya dan membuatnya terangsang hingga orgasme, apakah hal seperti ini tidak mempengaruhinya? Aku menjadi ingin mengetahuinya, lebih-lebih aku jadi tertarik untuk membuatnya terangsang. Aku ingin Mbak Ana merasakan apa yang ku rasakan. Tapi aku belum kehilangan kendali, akal sehatku masih bekerja jadi aku gak mungkin main tubruk aja, sabar hehee.
Hembusan AC di kamarku menghantarkan aroma tubuh Mbak Ana, sungguh aroma yang khas, membuatku merasa diawang-awang, aku menarik nafas dalam memasukan aroma Mbak Ana ke dalam tubuhku. Urutan Mbak Ana berubah menjadi pijitan-pijitan ringan. Dia menekan beberapa titik di penisku secara bergantian. Rasanya aliran darah di penisku menjadi lancar sehingga membuat penisku mengeras.
"Aghh..Mbak," tiba-tiba Mbak Ana mengurut ujung kepala penisku dengan melingkarkan jempol dan jari telunjuknya.Aku menggelinjang, tanganku secara spontan menepuk dan mencengkram paha Mbak Ana yang duduk bersimpuh disampingku.
"Ahh..ahh..." aku terengah, nikmat sekali.
Setelah aku bias mengendalikan diri aku baru sadar tangan kananku berada di paha Mbak Ana, namun tidak secara langsung bersentuhan dengan kulitnya karena masih tertutup daster. Aku melihat Mbak Ana dia diam saja masih mengurut, tidak ada protes darinya dan tidak ada usaha untuk menyingkirkan tanganku, akupun tidak berniat memindahkan tanganku. Seiring dengan urutan Mbak Ana dan desahan nafasku, aku menggesek-gesekan tanganku ke pahanya, perlahan. Aku melirik ke arah pahanya, dasternya bergerak seiring gesekan tanganku. Muncul ideku untuk menyingkap sedikit dasternya aku melakukannya seolah-olah tidak sengaja hingga sekarang tanganku bersentuhan langsung dengan kulit pahanya, namun baru sedikit di atas lutut belum terlalu masuk ke dalam. Aku mengelusnya pelan, aku tatap Mbak Ana, dia terlihat mencoba mengendalikan nafasnya yang tersengal. Rasanya ingin memasukan tanganku jauh lebih dalam tapi aku masih ragu, aku belum berani berbuat nekat.
Mbak Ana menghentikan urutannya di kepala penisku. "Uhh.." aku melenguh pelan. Aku hentikan gesekan tanganku di pahanya tapi aku tidak memindahkan tanganku. Mbak Ana menarik nafas panjang, mengusap keringatnya, dan sedikit membetulkan dasternya yang tersingkap, tidak berani menatapnya, aku pura-pura menutup mataku. Tanganku masih di pahanya, Mbak Ana hanya sedikit menarik turun dasternya sehingga kini ujung jariku kini sedikit tertutup oleh dasternya.
Mbak Ana melanjutkan, sekarang buah zakarku dipijatnya. Hmmm rasanya seperti aliran sperma berkumpul menjadi satu di situ, buah zakarku mengencang. Aku mulai menggesek-gesekan tangaku kembali. Mungkin sekitar lima menit Mbak Ana memijatnya, rasanya air maniku sudah siap untuk diledakkan.
Mbak Ana kembali mengurut kepala penisku seperti tadi, kali ini dengan tempo yang sedikit lebih cepat.
"Arrrgghh..." aku tidak siap karena aku memejamkan mata. Tanganku mencengkram pahanya.
"Ahh.." aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar Mbak Ana melenguh pelan.
Beberapi kali Mbak Ana mengurut kepala penisku kemudian dia melingkarkan seluruh jarinya dipenisku, penisku ditarik ke atas sehingga sekarang posisinya berdiri 90 derajat. Kemudian dia kembali mengurut pelan naik turun.
"Ahh..ahh..aahh" nafasku memburu. Tanganku terus mengelus dan meremas paha Mbak Ana berusaha semakin masuk ke dalam.
Lama-lama aku rasakan urutan Mbak Ana semakin cepat, ini lebih seperti mengocok.
"Ahh..ahh..Mbak.." diperlakukan seprti itu membuat gerakan tanganku semakin liar, ujung jariku suda menyentuh pinggang Mbak Ana, tanganku sudah masuk cukup dalam.
"Mbak ahh..Mbak Ana" aku menyebut namanya dalam desahanku, nikmat sekali. Aku mencoba menahan klimaksku, aku tidak mau ini cepat berakhir. Aku mencoba mengarahkan tangku supaya dapat masuk ke bagian dalam paha Mbak Ana.
"Ahh.." aku yakin mendengar Mbak Ana melenguh.
"Ma..mas...jangan ditahann" suara Mbak Ana bergetar, seprtinya dia tahu aku menahan klimaksku, "Ini memang harus ahh..dikeluarkan" dia mencoba mengendalikan diri supaya dapat berbicara.
"Harus dikeluarkan mas richie, kalo enggak gak bagus."
Nantinya Mbak Ana bercerita bahwa sebenernya ini memang prosesi terakhir dari proses urut yang sengaja ditujukan untuk mengeluarkan sperma karena sebelumnya sperma ditahan untuk tidak keluar.
Aku masih berusaha mati-matian menahan klimaksku, tangaku menyusup ke bagian dalam paha Mbak Ana, aku ingin meraba...memeknya.
"Aghhh..." Mbak Ana mempercepat kocokannya.
"AGGHHHH...Mbaaaakk..jangan berhentii!!!" aku tidak dapat menahannya lagi, tanganku mencengkram kuat paha Mbak Ana, tangan kiriku meremas sprei.
Crretttt..crett...berkali-kali penisku meledekan sperma, tubuhku menegang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Semburan kenikmatan meluap dari penisku. Mbak Ana tidak berhenti mengocokku. Aku merasakan tumpahan sperma di perutku. Mbak Ana terus mengocokku hingga penisku tidak mengeluarkan sperma lagi.
"Ahh..ahh..." aku masih terengah-engah, aku merasakan Mbak Ana mengusap penisku, membersihkannya.
Aku membuka mata. Kaget aku melihat ternyata sebagaian spermaku mengenai daster Mbak Ana dibagian dada dan sedikit rambutnya juga terkena. Mbak Ana menatapku, nafasnya juga terengah-engah, dia mencoba tersenyum ditengah deru nafasnya. Setelah selesai membersihkan penis dan perutku, dia membersihkan tangannya kemudian memegang dan menarik tanganku dari pahanya. Dia menariknya tanpa bicara dan menatapku. Ada sedikit rasa khawatir padaku, aku takut Mbak Ana marah. Tanpa sedikitpun bicara, setelah meletakkan tanganku dia membersihkan sperma yang ada didasternya. Mbak Ana beranjak bangkit dari duduknya.
"Mbak.." aku meraih handuk kecil dari tangannya.
"Maaf mbak, itu rambutnya juga kena," ucapku sambil meringis dan membersihkan sperma dari rambutnya, sepertinya dia tidak tahu ada sperma dirambutnya.
Mbak Ana hanya diam saja dan beranjak keluar dari kamar setelah aku selesai membersihkannya.
Aku masih terbaring lemah di tempat tidur. Aku berniat untuk mengenakan kembali boxerku namun aku masih penasaran apakah prosesi ini sudah selesai. Jadi aku urungkan niatku dan masih terbaring di kamar tanpa sehelai benangpun.
Mbak Ana kembali ke kamar, alih-alih masuk ke kamar dia hanya berdiri di pintu.
"Mas sudah urutnya..Mbak Pulang dulu ya."
"Eh..iya Mbak," sudah selesai pikirku, aku menyambar boxerku dan memakainya, "terima kasih ya mbak".
Kami berbicara seolah-olah tidak ada hal luar biasa yang terjadi. Hanya pijatan biasa.
"Mbak aku antar aja pulangnya?" aku menawarkan, karena sudah malam aku tidak tega membirakan Mbak Ana pulang jalan kaki.
"Enggak usah mas," dia menolak.
"Enggak papa mbak," aku memaksa, Mbak Ana tidak menjawab. Aku segera bangkit memakai kaos dan mengambil celana pendek. Aku beranjak keluar kamar, Mbak Ana mengikutiku.
"Jadi harus berapa kali diurut Mbak?" aku berharap Mbak Ana mau mengurutku lagi.
"Harus beberapa kali sih mas, tapi tidak boleh terlalu sering. Dua atau tiga hari sekali bagusnya," Mbak Ana menjelaskan.
"Jadi lusa diurut lagi mbak?" aku bertanya lebih seperti memohon.
"Kalo Mas Richie mau?" Mbak Ana menawarkan.
Mau? Bukan mau, tapi aku mengharapkannya. Akhirnya kami menyepakati akan kembali melakukannya besok lusa. Aku sungguh antusias mendengarnya tidak sabar menanti esok lusa.
"Ayo mbak," aku sudah siap di atas motor.
Mbak Ana memboncengku. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tersenyum masih terbayang urutan Mbak Ana. Aku tidak tahu apa yang Mbak Ana pikirkan dalam diamnya.

-tbc-
 
Terakhir diubah:
Ilustrasi Mbak Ana. Tingkat kemiripan 83%. :)


"The Amazing Mbak Ana part III"
"Ayo mbak," aku sudah siap di atas motor.
Mbak Ana memboncengku. Sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tersenyum masih terbayang urutan Mbak Ana. Aku tidak tahu apa yang Mbak Ana pikirkan dalam diamnya.


Senin. Hari yang ku tunggu-tunggu tiba, nanti malam Mbak Ana akan kembali mengurutku. Aku jadi tidak konsen bekerja, ingin segera pulang. Berputar-putar di kepalaku rasa penasaran. Penasaran dengan apa yang Mbak Ana rasa dan pikirkan waktu mengurutku dan penasaran mencari cara bagaimana cara mempengaruhi Mbak Ana karena aku juga ingin melihat, membuatnya terangsang hingga orgasme. Dengan membayangkannya saja membuat si junior sudah berontak. Ahh damn! Aku fokuskan pikiranku kembali untuk menyelesaikan kerjaanku. Bisa gawat kalo nanti malam harus lembur.
Sore hari aku telah menyelesaikan seluruh pekerjaanku. Yup beres semua, aku segera mengemas barang-barangku dan bergegas pulang. Tepat jam setengah enam aku meluncur ke rumah. Di luar mendung sepertinya akan hujan dan benar saja baru separuh perjalanan air mulai menetes dari langit, gerimis.
Sampai rumah aku buru-buru mandi, badanku basah oleh air hujan. Selesai mandi badan jadi segar apalagi sebentar lagi akan diurut Mbak Ana jadi tambah semangat. Rasa capek akibat seharian bekerja sirna sudah. Tepat setelah aku mengenakan baju terdengar ketukan pintu. Mbak Ana pikirku semangat bergegas menuju pintu.
"Masuk mbak," ku bukakan pintu dan mempersilahkannya masuk.
Dia datang berjalan kaki dengan payung yang sudah usang dan reyot. Sebagian kaosnya basah terkena air hujan. Aku tadi sempat berpikir mungkin Mbak Ana tidak akan datang karena hujan atau mungkin mengurungkan niatnya untuk kembali mengurutku. Aku sedikit kecewa dengan pakaian yang dia kenakan petang ini. Mbak Ana mengenakan kaos yang agak kebesaran, bergambar salah satu produk rokok. Warna merah kaosnya sudah pudar. Yang membuatku kecewa adalah Mbak Ana mengenakan celana pendek, ahh ini akan menghambat aktivitas tanganku di area pahanya. Padahal aku membayangkan akan kembali mengajak jemariku menari-nari dipangkuannya seperti sebelumnya. Sial. Apakah Mbak Ana sengaja mengenakannya agar tanganku tidak kembali bergrilya? We'll see..Pejuang pantang menyerah hehehe.
Aku ajak Mbak Ana masuk ke ruang tengah. "Sudah makan mbak?"
"Sudah mas," Mbak Ana sedikit menggigil kedinginan karena air hujan.
"Aku makan dulu bentar ya mbak."
"Oh iya mas tidak pa pa."
Aku menuju dapur mengambil piring. Ketika pulang tadi aku mampir beli makan, aku sudah memperkirakan mungkin Mbak Ana tidak mau aku tawarin makan atau memang dia sudah makan jadi aku membelikan camilan saja untuknya.
"Mbak ini ada pisang goreng masih anget, lumayan biar enggak kedinginan." aku menyodorkan pisang goreng yang tadi aku beli. Ku taruh di meja kecil di samping tempat Mbak Ana duduk.
"Iya terima kasih mas," dia mengambil satu, dan melahapnya.
Aku mengajaknya mengobrol sambil melahap makan malamku. Cepat saja aku sudah menyelesaikan makan malamku.
"Yuk mbak mulai, keburu malam," aku berjalan menuju kamar diikuti Mbak Ana.
Karena di luar gerimis suhu di kamarku jadi dingin sekali. Mbak Ana mengusap lengannya, kedinginan ketika masuk kamarku. Aku meraih remote AC dan menaikan suhunya biar tidak terlalu dingin. Hanbody lotion sudah aku siapkan di atas ranjang.
"Mbak celanaku di buka sekalian aja ya, biar gak kena lotion," aku langsung meurunkan boxerku tanpa menunggu jawabannya. Mbak Ana juga tidak menjawab hanya diam saja sambil meraih lotion.
Aku membaringkan tubuhku diranjang. Mbak Ana duduk di sampingku dan segera mengurutku. Mbak Ana melakukannya sama dengan sebelumnya. Ketika urutan Mbak Ana sudah sampai penisku aku pura-pura mengerang dan mengarahkan tanganku ke pahanya. Memang nikmat sih tetapi aku sedikit overacting agar terkesan pendaratan tanganku ke pahanya terlihat natural hehehee. Berhasil.
Well...kali ini aku memang tidak bisa merasakan halusnya kulit paha Mbak Ana. Dengan celana pendek yang dia pakai, dalam posisi duduk, tidak memberikan celah sedikitpun untuk tanganku dapat masuk ke dalam. Tapi aku aku tidak kehabisan akal, aku tetap mengusap-usap paha Mbak Ana dari luar celananya, menggeser sedikit tanganku ke sisi dalam pahanya dan meluncur menuju pangkal pahanya.
Prosesi urut yang dilakukan Mbak Ana sama persis. Pada sesi kedua aku berusaha mati-matian supaya aku tidak cepat keluar hingga Mbak Ana mengocok penisku dengan RPM tinggi. Bukannya keluar tapi penisku malah jadi sedikit perih dengan kocokan Mbak Ana yang brutal.
"ahh...ahh..." Mbak Ana terengah setelah akhirnya berhasil meledakan penisku.
Aku? lebih-lebih lagi "ahhh...ahh...makasih mbak." aku berterima kasih karena sudah diberikan kenikmatan yang luar biasa.
"ahh...ah..," Mbak Ana masih mengatur nafas, "Mas Richie nakal banget sih...kan mbak sudah bilang jangan ditahan," Mbak Ana sedikit cemberut karena kesusahan mengeluarkan spermaku.
"Ha..habisnya..enak banget mbak," aku ngomong apa adanya, "bener-bener enak banget mbak."
Mbak Ana diam saja, masih agak cemberut. Dia membersihkan ceceran spermaku. Ada sebagian spermaku mengenai celananya. Aku baru sadar tanganku masih berada di paha Mbak Ana, diam, aku tidak berani menggerakkannya. Mbak Ana duduk bersimpuh dengan tangaku di tengahnya. Jariku sudah menyentuh pangkal paha Mbak Ana. Karena bahan celana Mbak Ana tidak terlalu tebal, aku bisa merasakan kelembapan di pangkal pahanya. Mbak Ana juga terangsang? Otakku langsung berputar.
Mbak Ana selesai melap sisa sperma di penis dan perutku, dia beralih membersihkan celananya.
"Duhh...mbak maaf kena celana juga. Jadi basah ya mbak," sambil berkata seperti itu aku mengelus dan sedikit menekan pangkal paha Mbak Ana, sepertinya jariku menyentuh memeknya dari luar, "sampai sini basah juga mbak."
"Arrhh....mass!!" Mbak Ana kaget dan melenguh, dengan cepat dia menarik tanganku.
"Ehh..kenapa mbak??maaf..maaaff," aku pura-pura tidak tahu apa yang aku lakukan, hehehe aku tersenyum dalam hati berhasil mengusili Mbak Ana.
Mbak Ana diam lalu segera keluar setelah selesai membersihkan celananya. Aku bangun mengenakan pakaianku, bersiap mengantar Mbak Ana pulang. Diperjalanan kami tidak banyak bicara. Aku hanya memastikan lusa dia akan kembali mengurutku. "Iya mas," Mbak Ana hanya menjawab pendek.

Seperti biasa ketika hari pengurutan tiba aku selalu antusias hehehe. Tapi kali ini aku dibuat kecewa, Mbak Ana tidak datang. Aku menjadi berpikir, jangan-jangan aku bertindak terlalu jauh. Damn!

Semalaman aku jadi susah tidur, karena kecewa dan sedikit khawatir Mbak Ana marah padaku.
Karena banyaknya pekerjaan, keesokan harinya, aku tidak terlalu memikirkan Mbak Ana. Malamnya badanku terasa lesu dan lelah sekali. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenaga dan pikiran. Setelah mandi aku membaringkan badan di tempat tidur, suhu AC aku set cukup sejuk.
Tok tok tok. Aku mendengar suara pintu diketuk. Dengan malas aku berjalan ke luar kamar untuk membukakan pintu.
"Eh Mbak Ana," aku kaget ternyata yang datang ke rumah adalah Mbak Ana.
"Iya Mas," Mbak Ana menjawab, "hari ini mau diurut lagi mas?"
Deg! Aku masih tertegun dengan kedatangan Mbak Ana. "bo..boleh mbak," aku jadi salah tingkah, "ayo masuk mbak."
Detak jantungku meningkat dan tanganku sedikit dingin. Perasaanku campur aduk antara kaget dan antusias. Aku segera mengarahkan Mbak Ana ke kamar, aku jalan duluan diikuti olehnya. Tanpa banyak bicara setelah sampai kamar aku langsung menyiapkan posisi, Mbak Ana duduk disampingku dan mulai memijat. Aku tidak menanyakan kenapa Mbak Ana kemarin tidak datang dan dia juga tidak membahasnya. Mbak Ana tidak banyak bicara, aku juga hanya diam menikmati pijatannya. Meski diam, Mbak Ana tidak terlihat marah padaku, jadi aku juga tidak mau merusak suasana dengan menanyakannya, kehadirannya malam ini yang tidak terduga sudah cukup membuatku bahagia. Semakin membuatku senang, malam ini dia memakai daster. Artinya tanganku bakal bebas berpetualang hehehee.
Prosesi urut terus berlanjut, aku sudah berhasil mendaratkan tanganku di paha Mbak Ana. Langsung menyentuh kulitnya, menelusup dibalik daster Mbak Ana.
"Ahhhhhh mbaakkk..." aku mencapai orgasmeku yg pertama, tanganku kutekan masuk semakin ke dalam dan meremas paha Mbak Ana. Mbak Ana menekan batang penisku untuk menahan spermaku.
Setelah gelombang orgasmeku mereda Mbak Ana melepaskan jarinya dari penisku. Dia mengangkat tangannya mengusap keringat di wajahnya. Tanganku masih di dalam pahanya, aku merasakan kelembabpan di dalamnya. Mbak Ana melanjutkan mengurutku, aku melanjutkan mengusap pahanya. Ku geser tanganku ke sisi dalam, dengan sedikit tekanan ujung jariku sudah mengenai celana dalamnya. Sangat lembab dan terasa agak basah karena ujung jariku sepertinya tepat di memeknya. Penisku langsung menegang. Aku mendengar deru nafas Mbak Ana. Pelan-pelan aku mengusap memeknya dari luar celana dalamnya.
"Ahh.." aku mendesah Mbak Ana sudah mulai mengurut penisku. Kurasakan celana dalam Mbak Ana sudah basah, aku meningkatkan kecepatan usapanku di memeknya. Ini sudah tidak terlihat natural lagi, jelas-jelas aku sedang merangsangya. Aku menekan-nekan jariku mencoba menemukan belahan memeknya meski masih dari luar celana dalamnya. Kugesek-gesek belahan memeknya yg sudah basah sehingga terasa sampai luar celana dalamnya.
"Ahh..ahh..ahh..." meski pelan aku bisa mendengar desahan Mbak Ana.
Ku arahkan padanganku ke Mbak Ana, dia mengurut penisku sambil menunduk tapi aku bisa melihat raut mukanya yg memerah menahan rangsangan. Berhasil! Aku berteriak dalam hati.
Penisku sudah sangat tegang. Aliran sperma sepertinya sudah sulit untuk dibendung, namun aku masih bisa menahannya untuk tidak meledak karena urutan Mbak Ana mulai tidak konstan, kadang cepat, kadang lambat tapi kalo dia meneruskannya tidak akan lama sampai spermaku meledak.
Aku fokus mengatur nafasku untuk menahan klimaksku sembari meneruskan usapanku di memek Mbak Ana.
"Ahh...aghh...aghh..." desehan Mbak Ana semakin jelas.
Tanpa ku duga Mbak Ana mengambrukan tubuhnya di dadaku. Nafasnya tersengal, samar aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Meskipun tangaku menjadi tertahan oleh badannya tapi jariku masih dapat menggesek-gesek memeknya. Mbak Ana sudah tidak dapat menahan nafsunya. Kendali ditangaku!
"Aghh..aghh..." nafasnya berat, "Mas...Richie...kok nakal sih..."
"Jangan dong mas..." Mbak Ana berbicara dengan nafas yang tidak karuan, "mbak jadi gak bisa ngurut ini."
Meskipun berkata seperti itu tapi dia tidak menyingkirkan tanganku. Mbak Ana tersungkur lemah di atasku.
"Iya mbak...aku selesai dulu ya biar mbak bisa ngurut lagi."
Mbak Ana tidak menjawab, hanya desahan yang ku dengar.
Tanpa melepas tangaku dari memeknya aku sedikit mengangkat badannya untuk aku baringkan disampingku. Begitu sudah kubaringkan Mbak Ana mengangkat tangan kanannya dan menutup mukanya dengan lengangnya. Nafasnya semakin memburu. Pergerakanku jadi semakin mudah.
Aku duduk di samping kanannya, sekarang posisi kami terbalik, aku yang akan mengurut Mbak Ana. Aku sibakkan dasternya ke atas hingga kini aku bisa melihat celana dalamnya dengan jelas. Tidak ada perlawanan.
Tampak bagian tengah celana dalam Mbak Ana sudah sangat basah. Begitu jelas karena celana dalamnya tipis dan sudah usang. Ada beberapa lubang dibagian pinggangnya. Bulu kemaluan Mbak Ana sepertinya cukup lebat karena beberapa terlihat mencuat dari samping celana dalamnya. Aku mengesek-gesek memeknya dari luar semakin kencang.
"ahh...aahh..." Mbak Ana tak berhenti mendesah.
Aku menyelipkan jariku dari samping celana dalamnya, langsung jariku menyentuh bulu kemaluannya yang lebat. Tangaku merayap mencari belahan memeknya. Kini aku bisa merasakan langsung memeknya yang sudah dibasahi dengan cairan cinta. Ujung jari tengahku menyusup lubang memeknya mencari klirotisnya.
"Arggghh...maaass..." Mbak Ana melenguh agak keras ketika jariku menyentuh dan kemudian menggesek klentitnya. Jariku basah sepeuhnya oleh cairan memek Mbak Ana.
Ku usap dengan lembut klirotisnya. Setelah beberapa saat kususupkan jariku masuk ke lubang memeknya lebih dalam.
"Ahh..ahh...ahhh"
Karena pergerakan tanganku terganggu oleh celana dalam aku menariknya lepas dan tentu saja tidak akan ada perlawanan.
Lubang memek Mbak Ana masih terasa cukup ketat, aku menggerakan jariku keluar masuk. Setiap gesekan kupastikan mengenai klirotisnya. Selagi tangan kananku sibuk dengan memeknya, tangan kiriku menyusup melalui bawah daster menuju payudaranya.
"Aghhh..." Mbak Ana kaget dengan remasan tanganku di dadanya. Tangan kirinya menangkap tanganku tapi tidak menariknya. Ku usap dan remas payudaranya dari balik branya. Ku angkat dasternya semakin ke atas sehingga aku bisa melihat langsung payudaranya. Meskipun disangga oleh bra, yang sudah lawas, tidak dapat menyembunyikan bahwa payudara Mbak Ana sudah kendor. Karena bra yang dikenakan Mbak Ana agak kedodoran, dengan mudah aku bisa mengeluarkan payudaranya dari cup branya. Yahh meskipun sudah mengendor tidak menurunkan minatku untuk terus bermain dengan tetek Mbak Ana hehehe. Aku mengusap dan meremas payudara Mbak Ana tapi menghindari menyentuh putingnya, sengaja aku lakukan untuk membangkitkan rasa penasarannya. Putingnya terlihat mengacung menghiasi payudaranya yang menggelambir. Kutaksir ukuran payudara Mbak Ana adalah 32 A. Yup memang tidak terlalu besar. Apa yang kalian harapkan dari wanita yang tidak punya kesempatan untuk merawat dirinya? Tubuh Mbak Ana memang jauh dari sempurna, tetapi tetap memiliki daya tarik tersendiri.
"Aghh...ahh...ahh." Mbak Ana mendesah semakin keras, nafasnya sudah sangat memburu. Kurasakan denyutan-denyutan memeknya dijariku. Sepertinya Mbak Ana medekati orgasmenya. Pergerakan jariku di memeknya semakin ku percepat.
"Crepp...crepp...cepp." Memeknya semakin basah, cairan meleleh keluar dari lubangnya.
Tanpa diketahui Mbak Ana ku dekatkan kepalaku ke payudaranya. Dengan tiba-tiba ku kulum dan ku jilati putingya.
"Argghh...mass..Rii..chiie..eghhh."
Terus ku kulum dan ku jilati puting dan payudara Mbak Ana. Terus ku kocok semakin cepat memeknya.
Tidak lama Mbak Ana mengejang.
"Maaaaaaass...Arrrggggghhhhhh!" badannya membusung ke atas, pahanya mengapit tanganku, tangan kananya meremas bantal, dan tangan kirinya menekan dan meramas kepalaku tapi aku tak menghentikan jilatan dan kocokanku. Ledakan kepuasan melanda Mbak Ana. Tubuhnya mengejang berulang-ulang. "arghh...ahhh...argghh."

Ketika gelombang orgasmenya sudah mereda kuangkat kepalaku dari payudaranya. Perlahan kutarik jariku dari memeknya, jariku sangat basah, kuhirup jariku, aroma memek Mbak Ana sungguh nikmat. Karena fokus memuaskan Mbak Ana aku lupa kalo penisku masih tegang dan belum terpuaskan dengan tuntas hehehe.
Kutatap Mbak Ana. "Ahh...ah..." dia mulai mengendalikan nafasnya. Matanya masih terpejam tapi tangannya sudah diturunkan dari mukanya.
Ini baru permulaan, aku menyeringai, nafsu sepenuhnya sudah menguasaiku. Aku harus segera bertindak sebelum Mbak Ana bisa mengendalikan dirinya. Aku berbaring di samping Mbak Ana dan memeluknya. Tubuh Mbak Ana sedikit bergidik, kaget dengan pelukanku. Tanganku mengusap dari perut ke dadanya dan kuusap dengan lembut pipinya. Ku kecup pipi Mbak Ana. Ku bisikan ditelinganya. "Mbak tolong gantian aku diurut ya."

Ku raih tangan Mbak Ana dan ku arahkan ke penisku.
"Ayo mbak diurut dong."
Tangannya menggenggam penisku dan mulai mengelus pelan. Kumiringkan sedikit muka Mbak Ana, dia masih memejamkan matannya. Ku arahkan mulutku ke mulutnya, kulumat bibir Mbak Ana. Mbak Ana kaget, dia membuka mata, berusaha memalingkan mukanya tapi aku menahannya. Meski Mbak Ana sepertinya menolak untuk ku cium tapi aku terus melumat bibirnya, dengan lidahku aku berusaha membuka mulutnya. Tanganku merayap menyerang dadanya, kembali aku remas payudaranya dan ku pilin-pilin putingnya. Mbak Ana menurunkan perlawanannya. Ketika mulutnya sedikit terbuka langsung kususupkan lidahku. Aroma mulutnya menjalar ke rongga mulutku, aku hisap dan lumat mulutnya, aku mainkan lidahku menyentuh lidahnya. Tak lama dia mulai mengikuti permainanku, Mbak Ana mulai memainkan lidahnya dan kembali memejamkan matanya.
"Mbak jangan berhenti dong." Dia berhenti mengelus penisku karena ciumanku yang tiba-tiba. Kembali dia menggerakan tangannya.
"Ahh...terus mbak...enak..."
Kami masih saling menikmati bibir satu sama lain, lidah kami saling membelai. Tanganku merayap turun ke memeknya. Kembali jemariku bermain di klirotis dan lubang memeknya.
"Argghhh..." Mbak Ana menggelinjang. Aku terus merangsangnya tanpa henti, aku tidak mau Mbak Ana tersadar dan mengubah pikirannya jika rangsangannya mereda. Aku memegang kendali sepenuhnya.
"Cpeekk...cekk...cekk" bunyi jariku dimemeknya yang basah menggema di seluruh sudut kamarku. Mbak Ana mengkombinasikan kocokan dan elusan di penisku. Tanpa disadari tangannya yang satu telah memeluku, kami berusaha saling memuaskan satu sama lain.
"Aghhh...ahhh...ahh...mass..." desahan Mbak Ana semakin keras dan cepat. Aku merasakan kedutan-kedutan di memeknya. Sepertinya dia akan segera mencapai orgasmenya. Sebenarnya aku pun juga sudah mulai merasakan klimaksku tapi aku tidak mau selesai di sini. Aku menunggu waktu yang tepat untuk menghentikannya.
"Maaass...agghh..." hanya beberapa saat sebelum orgasmenya aku menarik jariku dari memeknya. Mbak Ana mengangkat pantatnya tidak mau melepaskan jariku tetapi jariku telah meninggalkan memeknya. Aku tahu dia kecewa dan memang itu yang aku harapkan.
Aku melepaskan kulumanku dari mulutnya. Dengan cepat aku raih kondom yang biasa aku simpan di samping tempat tidur dan segera memakainya sebelum Mbak Ana menyadari. Bagai manapun aku tidak mau terjun bebas.
Aku tarik kedua tangannya pelan dan aku letakkan di samping kepalanya, aku tahan tangannya namun tidak terlalu kuat. Aku mengangkat badanku menindih Mbak Ana, dia membuka matanya. Aku kulum bibirnya sebentar, dan menggeser mulutku ke arah telinganya, aku jilati dengan lembut telinganya. Aku arahkan penisku ke memeknya, aku usapkan kepala penisku ke memeknya.
"Ahh...jaa..ngann mass..." Dia kembali menolaknya namun tidak melakukan perlawanan sama sekali.
"Bantuin aku ya mbak, sebentar aja." aku berbisik pelan di telinganya. Aku lumat telinganya kemudian turun ke arah payudaranya, kujilati dengan gemas putingnya.
"Shhhh...aahh" desahan terus keluar dari mulutnya.
"Ahhh...enak banget memek Mbak Ana" Aku terus memainkan kepala penisku di lubang memeknya, ujung penisku sudah penuh dengan cairan memeknya. Aku menggesek dan terkadang memasukan ujung penisku ke memeknya dengan ritme yang random. Aku ingin Mbak Ana tetap bernafsu tapi aku ingin sedikit menurunkan rangsangan di memeknya sebelum ku amblaskan penisku di sana.
Setelah ku rasa pas, perlahan mulai kumasukan penisku ke memeknya. Aku masukan, aku tarik lagi, perlahan semakin dalam.
"Aghh...ahhh..." Desahan Mbak Ana lebih keras setiap aku tusukan penisku.
"Ahh...Mbak..enak banget kontolku." Aku sengaja bicara vulgar untuk memancing nafsu Mbak Ana. Ketika penisku sudah seluruhnya masuk ke memeknya aku diamkan beberapa saat.
"Ahh...ahh..." Hanya ada suara desahan nafas kami berdua. Aku lepaskan pegangan tanganku dari tangannya. Aku peluk Mbak Ana dan melumat bibirnya.
Setelah beberapa saat aku mulai menggoyangkan pinggulku. Ku lakukan dengan pelan dan kemudian menaikan temponya berlahan. Seiring dengan bertambahnya tempo Mbak Ana juga mulai memainkan pinggulnya mengikuti iramaku.
"Ahhh...aghh...mass...aghh." Mbak Ana tak mengucapkan sepatah katapun dia hanya terus mendesah.
Entah apakah karena tadi aku menghentikan rangsangan ketika dia hampir orgasme, sekarang belum ada tanda-tanda dia akan mencapai klimaks tapi memang terlihat setiap saat Mbak Ana semakin bernafsu.
Aku memeluk Mbak Ana dan menggulingkan badanku tanpa menarik penisku dari memeknya sehingga kini dia berada di atasku. Mbak Ana membuka matanya menatapku.
"Gantian ya mbak."
Mbak Ana tidak menjawab tapi mulai menggerakan pinggulnya.
"Teruss...mbak...ahh." Memek Mbak Ana memang nikmat sekali. Memang memeknya sudah tidak sekencang punya istriku tapi cengkeramanya terasa pas di penisku. Dia mempercepat kocokan memeknya di penisku. Tangannya diletakkan di dadaku dan kemudian dia sedikit mengangkat badannya. Payudaranya yang menggelantung langsung menarik perhatianku. Kedua tanganku langsung meremasnya.
"Arrghh...arghh..." Mbak Ana mendesah dan bergerak liar di atasku. Aku semakin terangsang melihatnya. Ternyata Mbak Ana bisa seliar ini kalo sedang bercinta, aku tersenyum sayu memandangnya. Dia memalingkan mukanya.
Sebenernya aku melakukan kesalahan dengan meminta Mbak Ana di atas sekarang ini. Penisku telah menerima rangsangan cukup lama dan Mbak Ana pegang kendali ritme permainan. Aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Aku di ujung tanduk.
"Teruss Mbak...jangan berhenti...kencengan." Dan gilanya Mbak Ana memenuhi semua ucapanku, dia menggoyangkan pinggulnya semakain cepat. Aku merasakan kedutan-kedutan di memeknya sepertinya dia juga akan segera orgasme. Tapi dengan gerakannya yang seliar itu pertahananku hancur dibuatnya.
"ARRGHHHHH...Mbak ANNAAA...keluaaarr!!" aku menghujamkan penisku dalam ke memeknya. Letupan dahsyat air mani keluar dari penisku. Payudaranya aku remas kuat-kuat. Mbak Ana sama sekali tidak menghentikan kocokan memeknya.
Nikmat yang sangat luar biasa aku alami. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya.
"Aghhh...aghh..." Mbak Ana mengerang sangat liar sedang berusaha mengejar klimaksnya. Tapi sebelum Mbak Ana mencapai klimaks penisku sudah mulai melemah. Dia sepertinya menyadari dan memelankan gerakannya. Kulihat mukanya sungguh kecewa, tapi aku senang sekali melihat raut mukanya saat itu. Sexy. Sangat sexy.
Mbak Ana menarik pingganya sehingga penisku lepas dari memeknya. Entah apa yang akan dilakukannya tapi aku segera menarik badannya jatuh ke tubuhku aku memeluknya.
"Terima kasih ya mbak...enak banget" aku berbicara pelan di telinganya.
"Istirahat bentar ya mbak...habis ini giliran Mbak Ana." Kemudian aku kecup bibirnya dan aku gulingkan Mbak Ana disebelahku. Aku buka kondomku yang penuh dengan sperma, mengikatnya, dan aku lempar di samping tempat tidur.
Mbak Ana hanya diam saja memandang ke langit-langit. Nafasnya masih terengah-engah. Aku ragu apakah dia ingin melanjutkan permainan ini atau tidak.
Aku kembali berbaring di sampingya. Kupeluk dan kukecup pipinya, dia memejamkan mata. Sebenernya aku sudah puas karena baru saja orgasme tapi aku harus menyelesaikan apa yang telah aku perbuat. Aku bangkit dan duduk di antara paha Mbak Ana, aku tundukkan kepalaku dan mulai melumat memeknya. Tidak ada respon dari Mbak Ana, apakah nafsunya telah turun? Tapi aku terus menjilati memeknya karena bagaimanapun memeknya masih terus mengeluarkan cairan.
"Ahh...ahh..." Tak berapa lama desahan kembali keluar dari mulutnya.
Sambil menjilati klirotisnya, aku selusupkan jariku ke lubang memeknya. Nafsu Mbak Ana mulai bangkit lagi. "Eghhh...Ahhh"
"Mass...ehh...pakai itu dong." Aku kaget mendengar Mbak Ana bicara seperti itu. Aku menghentikan jilatanku. Kulihat mukanya merona, sepertinya dia malu tapi nafsu sudah merasukinya.
"Apa mbak?" Aku tidak yakin dengan yang aku dengar.
"Ehh..." Mbak Ana hanya memandangku sayu.
"Ini ya?" Aku tersenyum mengarahkan penisku ke pandangannya.
"Bantuin dong mbak biar keras dulu." Mbak Ana langsung duduk meraih penisku dengan tangannya.
"Mbak diemut dong." Aku ingin merasakan kulumannya. Ku lihat dia agak kaget dengan permintaanku.
Aku turun dari tempat tidur dan berdiri disampingnya. Aku tarik kembali tangan Mbak Ana ke penisku, kemudian ku arahkan kemulutnya. Aku melihat keraguan di mukanya.
"Ayo dong mbak, gantian." bujukku, dan mendorong penisku hingga menyentuh bibirnya.
"Jilat mbak." Meski ragu Mbak Ana mulai menjilat penisku.
"Ahhh...iya mbak gitu."
Beberapa saat dia mulai mengulum kepala penisku.
"Ahhh enak banget mbak." Penisku mulai mengeras.
Setelah penisku cukup keras aku menarik keluar dari mulutnya. Aku mengarahkan Mbak Ana untuk posisi doggy style. Dia sedikit bingung, sepertinya Mbak Ana belum pernah mencoba posisi ini dengan suaminya. Aku tidak lupa mengenakan kondom. Cap is a must.
Aku gesek-gesekan terlebih dahulu penisku ke memeknya sambil kuremas-remas pantatnya. Perlahan mulai ku benamkan penisku ke memeknya. Karena penasaran kutarik belahan pantatnya ke arah berlawanan sehingga terpampang lubang pantatnya yang ditumbuhi bulu halus. Samar tercium aroma lubang pantatnya.
Penisku sudah sepenuhnya masuk dalam memeknya. Mbak Ana sepertinya tidak sabar dia berinisiatif untuk menggerakkan pinggulnya terlebuh dahulu. Dalam hitungan detik kami sudah berpacu dengan RPM tinggi. Mbak dengan penuh semangat mengejar klimaksnya yang tertunda, gerakan menjadi liar.
"Argghh...aghhh...mass..."
"Iyaa mbakk...ahh...memek mbak enak banget." Nafsuku sudah sepenuhnya kembali.
"Kontolku enak gak mbak?"
"Ahhh...ahh..." Mbak Ana tidak menjawab.
Aku memperlambat gerakanku tapi Mbak Ana terus menggerakkan pinggulnya dengan liar. Ku tarik kontolku, Mbak Ana menengok menatapku bingung. Aku rebahkan tubuhnya terlentang dan ku tindih tubuhnya.
"Kontolku gak enak ya mbak?" aku kembali bertanya.
"Mass...jangan gitu ah." mukanya merona merah.
Langsung saja aku hujamkan penisku ke memeknya.
"Arghhhh..." Dia megelinjang. Aku gerakan pinggulku dengan cepat.
"Gimana mbak enak kan?"
Mbak Ana masih tidak mau menjawab, dia hanya mengangguk pelan dengan mata terpejam. Aku tersenyum menatapnya.
Aku sedang bercinta dengan seorang pembantu, dengan penampilan yang biasa aja setiap harinya mungkin bagi beberapa orang dianggap tidak menarik, bahkan dianggap beda kasta, namun dia juga manusia seorang perempuan yang harus diperlakukan dengan layak dan perumpuan ini, jika kamu melihat raut mukanya malam ini, sungguh menawan sekali.
Aku mampu bertahan cukup lama kali ini. Kami berpacu dalam kenikmatan. Aku mengulum bibir Mbak Ana, lidah kami saling menari. Keringat membasahi wajah dan tubuh Mbak Ana, begitu juga tubuhku. Meski kamar ini berAC tetap tidak dapat meredakan panasnya gairah kami.
"Aghh..." Mbak Ana menarik lepas mulutnya dari kulumanku.
"Teruuss maass..." Dia akan segera mencapai klimaks.
"Mbak keluarin bareng yaa." Aku mempercepat gerakanku berusaha meraih kenikmatanku.
"Heeh..ehh..aghh...ahhh" Mbak Ana semakin keras mendesah.
"Tahann mbak.." Kedutan di memeknya mulai kurasakan. Mbak Ana menuruti permintaanku dia berusaha menahan klimaksnya meskipun penisku terus menghujam memeknya.
"Eghghhh...eghhhh...mass.." Dia sudah tidak mampu menahannya.
"Masss EGHHHHHHGAHH." Mbak Ana mendapatkan orgasmenya. Tangannya mencengkeramku kuat sekali. Badannya membusung ke atas. Mengelinjang berulang-ulang.
Aku terus mengocok memeknya dengan penisku.
"Aghhhh...aghhhh..." Gelombang kenikmatan melandanya terus menerus.
"AGHHHHHHH." Giliran ledakan kenikmatan menyerangku, ku amblaskan seluruh penisku ke dalam memeknya. Kami berdua hanyut dalam surga dunia.
"Ahhh...ahhh..." kami berdua masih terengah engah. Aku masih menindih Mbak Ana memeluknya, kubiarkan penisku di dalam memeknya, aku masih bisa merasakan kedutan di memeknya. Malam ini sungguh luar biasa.
Ketika aku mengangkat badanku menatapnya, dari sudut matanya yang terpejam keluar air mata. Ku usap lembut air mata di pipinya dan ku kecup keningnya, kembali ku peluk Mbak Ana. Aku tau mungkin dia kecewa, menyesal, atau marah.
Tanpa bicara sepatah katapun Mbak Ana mendorong badanku, aku menahannya.
"Maaf ya mbak...aku..."
"Sudah mas...sudah malam" Mbak Ana memotongku, suaranya bergetar.
Aku mengangkat tubuhku darinya. Mbak Ana meyaut pakaiannya dan keluar menuju kamar mandi. Aku membersihkan diriku alakadarnya dan mengenakan pakaian kemudian menunggu Mbak Ana keluar dari kamar mandi.
Mbak Ana keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap rambutnya diikat ke belakang, mukanya basah, sepertinya dia habis membasuhnya. Aku mendekatinya dan langsung ku peluk sebelum dia menghindar.
"Mbak maafin aku ya sudah kayak gini sama Mbak Ana. Aku yang salah mbak, mbak boleh marah sama aku, mbak boleh pukul aku sepuasnya." Aku mencoba meredakan apa yang sepertinya disesalinya.
"Tapi bagai manapun, aku juga terima kasih sama mbak. Mbak Ana sungguh luar biasa."
Mbak Ana mendorongku pelan. Meski raut mukanya sedih dia tersenyum simpul.
"Mbak pulang dulu ya mas." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Aku mengantarnya pulang.
Sejak saat itu dalam waktu yang lama aku tidak bertemu dengan Mbak Ana. Beberapa hari kemudian istriku pulang, aku sedikit khawatir. Aku khawatir jika ada perubahan sikap dari Mbak Ana atau lebih parah lagi Mbak Ana bercerita. Tapi aku tidak mendengar cerita apapun dari istriku tentang Mbak Ana.
Sekitar satu bulan kemudian aku bertemu dengan Mbak Ana ketika dia datang ke rumah dan kebetulan aku juga sedang di rumah. Dia menyapaku ramah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku sedikit lega.
-TAMAT-

"Akhirnya berhasil juga saya menyelesaikan cerita ini. Terima kasih yang sangat besar saya ucapkan kepada sahabat semprot sekalian. Terima Kasih atas cacian, komentar, dan dukungannya. Sampai bertemu lagi dicerita berikutnya."
Salam.

:adek:


Silakan nikmati juga cerita yang lainnya:
Surprise Surprise! Sebuah Cerita di Hari Ulang Tahun Ratna
Mesin Penghapus Memori
 
Terakhir diubah:
ninggalin :rose: dl biar ada jejak sambil nunggu lanjutannya
 
nggelar tenda doom sambil masak mie nunggu cerita lanjut. wah awas virus TBC.menular itu.hahaha
 
uhm...aq lmyn pelit comment jujur ajah...tapi cerita ini bikin aq mau ga mau harus kasih komentar ... dan menurut ag; alami..ngalir begitu aja...dan ga maksa ceritanya...two thumbs up
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd