Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA THE HEALER [2019]

superkudit

Adik Semprot
Lomba Cerpan
Daftar
5 Jul 2018
Post
149
Like diterima
46
Bimabet
DGybmpC1_o.png



pKRlNt78_o.png


Bias mentari sore menembus kubah kaca mosaik kuil penyembuhan Haelis, membuat sebagian rambut pirangku yang tak tertutup kerudung berkilau keemasan. Tongkat berhias ornamen sayap kupegang tegak, menunjukan bahwa diriku tak gentar dengan dua pria di depanku yang berusaha mendominasi.

“Dengan segala hormat, Lady Theressa… jika anda mau memurnikannya, dunia ini mungkin akan punya sumber energi sihir tak terbatas seperti kristal sihir sang raja iblis!”

Kuremas tongkatku kuat-kuat mendengar kata-kata pria bertubuh bongkok tersebut. Tak bisa lagi kusembunyikan rasa terkejut sekaligus marah atas pengakuannya.

“Tuan Gopher! Sadarkah apa yang anda katakan barusan?! Selama berabad-abad dunia kita diteror dalam ketakutan, apakah kemewahan istana membuatmu lupa akan itu semua?!”

Laki-laki bermantel merah di sebelahnya menatapku tajam, “kau terlalu paranoid, High Priestess! Menggunakan teknologi dari dunia iblis bukan berarti raja iblis akan bangkit kembali, kan?”

“Memang, tapi aku takut ada iblis baru yang tercipta, iblis berwajah manusia dan dibutakan pada keserakahan.”

“Kau menuduhku sebagai iblis, huh?!” geram lelaki itu sambil menarik kerah gaunku.

“Aaah! Tuan Muda Roullard… tolong hentikan, jika anda menyakiti salah satu pahlawan legendaris, istana yang akan kena masalah!” lerai Gopher panik.

“Keputusan saya sudah bulat, Pangeran Roullard. Pada pertemuan besok, proyek anda dihentikan!”

“Sundal… Kau tak punya hak untuk melakukan itu, aku ini adalah pangeran kedua Erexian!! Berani sekali wanita sepertimu menentangku?”

Aku hanya menghela napas sambil melepaskan cengkeraman Roullard. Kubersihkan jubah dan gaun satin putih yang menjadi seragam kebesaran seorang healer tingkat lima. Senyumku mengembang, melihat bocah arogan yang merasa uang dan kekuasaan adalah kekuatan sebenarnya. Aku tahu orang seperti apa dia, aku sudah banyak makan asam garam selama petualanganku bersama Arthan untuk mengalahkan raja iblis sepuluh tahun lalu.

“Maaf jika saya lancang, Pangeran Roullard. Tapi ini adalah Kuil Penyembuhan Haelis, di atas tanah bangunan ini adalah daerah istimewa yang sifatnya netral. Yurisdiksi kerajaan anda berhenti hingga depan pintu gerbang,” terangku, “dan untuk segala hal yang berkaitan dengan dunia iblis, Kuil Penyembuhan memiliki hak veto untuk membatalkan sebuah kebijakan jika dirasa itu mengancam keseimbangan dua semesta.”

“Ck! Gopher, kita kembali!” bentak Roullard sambil mengibaskan mantelnya kasar.

Wajahnya terlihat begitu kesal, malu karena harga dirinya sebagai pangeran kuhancurkan dengan halus. Ketika berbalik, di hadapanku sudah ada sepasang healer pemula. Saudara kembar berambut almond yang menatapku dengan mata berbinar.

CEeTDklr_o.png

“Whoaaa!! Itu tadi keren banget, Lady Theressa!” seru yang perempuan.

Si laki-laki juga tak kalah takjub, “benar, aku gak ngerti apa-apa soal politik, tapi anda seperti melakukan skakmat pada Pangeran Roullard!”

“Ah jadi kalian melihatnya ya, Sister Rachell, Brother Raphael? Malu sekali…” gumamku seraya memegangi pipi, “apa aku terlalu keras padanya? Tadi itu aku termakan emosi.”

“Eee? Tidak… tidak… tidak! Justru orang-orang macam Pangeran Roullard itu harus dikerasin biar kapok!” tampik Rachell dengan gaya bicara cepat khasnya.

“Begitukah?”

Derap langkah memburu menggema dari ujung lorong, melintasi pilar-pilar di lantai paving berukir yang membelah taman.

“Sister Rachell, Brother Raphael! Kalian bolos lagi, ya?!” bentak healer berkacamata tebal dengan rambut disanggul.

Rachell tersentak lalu menarik gaunnya hingga selutut, “Ah sial! Sister Maria marah besar! Ayo Raphael!”

“Lady Theressa, kami kabur dulu!” sambung Raphael enteng.

Keduanya lari sekuat tenaga sambil mengangkat seragam healer yang tentu saja sangat merepotkan. Aku hanya terkekeh melihat dua penyembuh muda yang begitu semangat, menjalani hidup dengan optimis dan gembira.

Benar.

Inilah dunia yang Arthan impikan, sebuah dunia damai dimana orang-orang bisa menjalani hidup tanpa takut akan kegelapan, takut akan monster-monster yang memporak-porakan desa juga kota. Dunia dimana semua anak bisa tumbuh bersama orang tua yang lengkap, dan orang tua yang tak meratapi makam tanpa nama seperti sepuluh tahun lalu.

“Mereka itu… padahal sudah dibaptis menjadi healer, tapi tingkahnya masih kekanak-kanakan!” gerutu Maria sambil membenarkan posisi kacamata bulat besar yang bertengger di hidungnya.

“Jangan terlalu keras pada mereka, Sister Maria… toh era para petualang telah usai.”

“Anda terlalu memanjakan generasi baru, Lady Theressa! Aku hanya ingin mereka bisa jadi healer yang berguna jika dibutuhkan,” gumam Maria sambil mendengus kesal.

Napas terengah kurasakan dari belakang punggung healer tingkat tiga itu, untaian rambut perak dengan bando besar menatanya agar rapi. Gadis itu mengenakan mantel putih yang serupa dengan Maria juga Rachell, mantel seorang healer.

“Uh… La-Lady Theressa… ada surat dari Sister Irma dan Sister Rose…” ujarnya ngos-ngosan.

“Ah akhirnya datang juga… terima kasih sudah mengingatkan, Sister Elizabeth.”

“Apakah laporan tentang logistik untuk kuil di desa Northwell? Mereka sedang sedang mengabdi di sana, kan?” tanya Maria penasaran.

Aku hanya tersenyum lalu berpamitan pada Maria. Elizabeth mengikutiku hingga akhirnya kami sampai di ruang kerjaku.

“Anu… Lady Theressa, kenapa anda tidak mengatakan yang sebenarnya pada Sister Maria?”

“Mungkin terdengar dangkal tapi ini semua tentang kemampuan sihir suci para healer,” terangku, “walau sister Maria selaku healer tingkat tiga juga boleh melakukan praktek eksorsisme, tapi penyelidikannya harus dilakukan oleh healer tingkat karena misi ini sangat berbahaya, oleh karena itu akses informasi tentang penyelidikan hanya bisa diberikan pada tingkat empat keatas.”

“Lalu kenapa anda memberitahu segalanya pada saya, tentang misi Sister Rose dan Sister Irma, bahkan tentang kristal iblis itu, padahal saya hanya healer tingkat dua.”

“Hmm… karena kau spesial, Elizabeth” gumamku sambil terkekeh.

Tentu saja Elizabeth tak puas dengan jawaban yang selalu sama ketika dia menanyakan tentang perlakuan khusus yang kuberikan padanya. Hanya saja sekarang belum saatnya, tapi nanti, ketika momennya tepat dan dirinya telah siap, aku pasti memberi tahu kebenarannya.

Kubuka lembaran surat tanpa nama di hadapanku, alisku mengkerut membaca isinya. Entah kenapa perasaan ini tidak enak.

“Ada apa, Lady Theressa?” tanya Elizabeth.

“Tiga bulan terakhir, informasi yang mereka berikan selalu sama… proyek pemurnian kristal raja iblis mengalami jalan buntu.”

“Ah, jadi itu sebabnya belakangan orang kerajaan datang kepada anda.”

“Yang mencurigakan sebenarnya, enam bulan lalu Gopher dikabarkan pergi ke Blair’s Pandorum.”

“Lady Theressa… apa yang sebenarnya ada di Blair’s Pandorum?”

Aku menoleh ke arah ornamen ukiran di salah satu tembok ruanganku. Sesosok kesatria yang mewakili Arthan melawan sepasukan undead milik raja iblis.

“Necromancer Kastrelus,” bisikku.

“Maksud anda… pengkhianat itu?! Manusia yang jadi pengikut raja iblis?!”

Senyumku mengembang tipis, “tenang saja, aku sudah mengabari Sigmund dari kesatuan Paladin perihal ini.”

“Paladin Sigmund itu, tunangannya Sister Irma kan?” tanya Elizabeth.

“Iya, tahun depan mereka akan menikah dan pensiun lebih dini, setahuku mereka membeli rumah di pinggir kerajaan.”

“Menikah ya… mereka beruntung bisa bertemu di sini ya.”

“Ya… sangat beruntung…” bisikku sambil melirik ke lukisan wajah Arthan.

Langit merah senja yang menemani kami perlahan memudar, berganti dinginnya gelap malam. Aku memutuskan mengikuti Elizabeth membasuh diri di pemandian komunal.

“Apa keberadaanku mengusikmu, Sister Elizabeth?” ujarku ketika kami menanggalkan pakaian di ruang ganti.

“E-eh?! Ti-tidak! Bukan begitu, hanya saja saya sedikit kaget Lady Theressa mau bergabung bersama kami.”

Kami memasuki area pemandian wanita, udara hangat yang tebal dan lembab langsung menerpa wajah diiringi suara beberapa wanita lainnya.

“Sister Rachell jangan berlarian, ini bukan tempat bermain!”

“Eeeh, kau gak asik ah, Sister Maria!” sahut Rachell sambil berlari ke arahku, “Elizabeeeeth…”

“Hyaah!”

Aku menjerit ketika Rachell menampar pantatku keras. Keseimbanganku hampir goyah karenanya, bekas merah berbentuk telapak juga mulai tampak di atas bongkahan daging bulat itu.

“Raaachell! Itu bukan aku!!!” jerit Elizabeth panik.

“Eh?”

Maria dan Rachell kaget bukan kepalang ketika uap memudar dan bisa melihatku dengan jelas.

“Sister Rachell! Minta maaf sekarang!” bentak Maria, “maafkan saya, Lady Theressa… saya telah gagal mendidik Sister Rachell.”

Rachell bersujud padaku sambil memohon maaf berkali-kali. Aku sendiri tak terlalu mempermasalahkannya.

“Hahaha… tidak apa-apa, Maria. Lagipula Sister Rachell masih anak-anak… berapa umurnya? lima belas?”

“Delapan belas tahun.”

“Eh? Anak itu sudah delapan belas tahun?” tanyaku terkejut.

“Sister Rachell dan Brother Raphael segelintir dari mereka yang kehilangan masa kanak-kanaknya karena raja iblis.”

Aku berendam di samping Maria sambil memperhatikan dua gadis muda yang tengah bermain air di ujung kolam. Saat aku berpetualang, kuil penyembuhan banyak menampung orang-orang sakit dan yatim piatu. Beberapa dari mereka memutuskan tetap tinggal dan mengabdi di sini.

Kulirik Maria yang tak melepas pandangannya dari Rachell dan Elizabeth. Wanita ini mungkin tak punya kemampuan penyembuhan yang hebat, tapi semua orang menghormatinya, bahkan bagi healer dengan tingkatan yang lebih tinggi. Karena Maria adalah sosok ibu bagi semua yatim piatu yang pernah dirawat di kuil ini.

“Hey… hey… Elizabeth bilang ingin tahu cara supaya buah dadanya bisa sebesar punya kalian.”

Elizabeth yang panik langsung membungkam mulut sahabatnya itu.

“Si-Sister Rachell!” bentak Maria lalu berdiri, “kau akan dihukum untuk membersihkan toilet selama seminggu jika bertingkah kurang ajar lagi!”

“Hmm… mungkin banyak-banyak makanan bergizi dan selalu diurut sebelum tidur?” jawabku.

“Lady Theressa, tolong jangan ditanggapi!”

“Hahaha… Sister Maria, mau bagaimanapun juga mereka tetaplah wanita, kan? Merawat dan membuat penampilan jadi menarik itu sudah kodratnya.”

Rachell cengengesan, matanya tertuju ke arah perut kami lalu tersenyum sinis.

“Dengarkan kata-kata Lady Theressa… Sister Maria juga paling enggak harus merawat penampilan, jika bulu kemaluanmu dibiarkan lebat begitu bisa-bisa jadi sarang kutu.”

Tak kuasa aku menahan tawa mendengar sindiran Rachell yang begitu blak-blakan dan polos. Wajah Maria memerah, tentu saja darahnya mendidih karena malu dan marah karena kelakuan anak ini.

“Apa tubuh ini mengganggumu, Sister Elizabeth?” tanyaku ketika menyadari gadis berambut perak itu tak berhenti memperhatikan sekujur badanku.

Elizabeth menggeleng panik, tak tahu harus berkata apa. Aku berdiri, tangan ini membelai puting merah jambu di ujung onggokan lemak besar. Mengikuti alur lekuk perut putih merona hingga akhirnya berhenti di gundukan empuk yang kesan, tepat dibawah rambut kemaluan berwarna pirang. Di antara kami, aku memang yang palig berisi dan tinggi, dengan lekuk tubuh yang bagi sebagian besar pria mungkin akan sangat menggoda. Tapi bukan berarti tubuh ini sempurna.

“Jika telanjang begini, semuanya terlihat… setiap sayatan, tusukan, semua bekas luka ini berisi kenangan dan perjuangan kami,” gumamku pelan, “itu yang membuatku tiap malam gemetar dalam rasa takut, ingatan itu juga yang membuatku memperjuangkan dunia yang telah diciptakan Arthan ini.”

Suasana pemandian manjadi hening setelah mereka mendengar kata-kataku. Tak ada lagi tawa dan canda.

“Tuan Arthan itu… orang seperti apa?” tanya Elizabeth.

“Kurang lebih seperti Rachell, hahaha… Apa adanya, blak-blakan, mesum…” terangku, “walau begitu dia adalah seseorang yang setia dan berhati baja.”

Malam itu menjadi renungan bagi kami. Mengingat tragedi yang tak akan pernah bisa dilupakan umat manusia, dan alasan kenapa kami tak boleh bermain-main dengan apapun dari dunia iblis. Sebuah malam yang panjang untuk mengenang apa bayaran untuk kedamaian yang kami rasakan kini.

8jZLf25A_o.png

Riuh terdengar dari seluruh penjuru kuil. Mulai dari dapur, aula tengah, sampai ruang rapat. Semua petugas bersiap untuk menyambut anggota dewan empat kerajaan.

Tiga ketukan pelan terdengar dari pintu ruanganku, “Lady Theressa, Kapten Sigmund dari kesatuan Paladin ingin bertemu.”

“Masuk saja.”

Pintu dibuka, dari pantulan cermin aku bisa melihat seorang pria gagah berzirah putih berjalan di samping Maria.

“Ada apa, Sigmund?” tanyaku sambil menorehkan gincu di bibir.

“Theressa, kita ada masalah!” ujarnya dengan suara berat, “para pengawal bersenjata memaksa masuk ke area kuil.”

Aku berbalik, “kuil adalah tempat suci, jika mereka ingin masuk mereka harus menanggalkan senjatanya! Para Paladin sudah cukup untuk mengawal pertemuan ini.”

“Aku sudah mengatakan hal itu, tapi para pangeran bersikeras.”

“Pangeran? Bukan para raja dan ratu?”

“Perwakilan dewan yang datang secara kebetulan adalah pangeran dari empat kerajaan.”

“Aku takut ini bukan kebetulan… dimana mereka?”

“Sudah di ruang rapat.”

Kuraih tongkatku lalu bergegas keluar. Begitu terburu-buru hingga aku lupa mengenakan kerudung High Priestess yang seharusnya kupakai pada acara resmi seperti ini. Bersama Maria dan Sigmund, aku memasuki ruang rapat. Ruangan berbentuk lingkaran dengan kubah mosaik sebagai atapnya itu sudah dipenuhi beberapa lelaki muda dengan pakaian bagus bersama Gopher, ajudan Roullard.

“Apa maksudnya ini? Dimana raja dan ratu yang dulu menandatangani perjanjian empat kerajaan?” geramku.

“Hahaha, tenanglah Lady High Priestess… ayahku sedang ada urusan penting, jadi aku yang mewakilinya.”

Seorang lelaki gemuk mendaratkan tangannya di pantatku, mengelus-ngelus tubuhku seakan aku pelacur pribadinya. Sungguh kurang ajar, aku ini lebih tua dari mereka, statusku sebagai High Priestess, seorang pemuka agama tertinggi juga diabaikan. Terlebih orang ini melakukannya di hadapan Sigmund, seorang anggota Paladin, kesatria suci kuil. Apa dia cari mati?

Tentu saja Sigmund langsung mencengkeram lengan pria gemuk di sampingku, begitu kuat hingga laki-laki itu tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.

Aku menghela napas, “pangeran Willow dari Kerajaan Deildan, Pangeran Girth dari Kekaisaran Xangian, Pangeran Peston dari Kerajaan Anola, juga Pangeran Roullard dari Kerajaan Erexian… segala pembahasan yang melibatkan dunia iblis hanya boleh dilakukan oleh pemegang, atau pewaris tahta utama untuk mencapai kesepakatan.”

“Tapi kau akan tetap menggunakan hak veto bodohmu untuk mencegah dunia ini maju, bukan?”

Roullard yang sedari tadi duduk dengan kaki di atas meja akhirnya angkat suara. Pemuda itu berjalan sambil menyisir rambut merahnya yang terlihat seperti api membara lalu tersenyum remeh padaku.

“Saya mengerti anda telah mengucurkan banyak dana dan waktu untuk proyek ini, Pangeran Roullard, tapi itu harus berhenti sekarang, sekelompok pangeran yang bahkan bukan pewaris tahta tak bisa berunding di pertemuan ini!”

“Hohoho… kurasa kau salah paham, Theressa… kami kemari bukan untuk berunding,” cibir Roullard diiringi tawa dan cemoohan pangeran lainnya, “lagipula, proyek pemurniannya sudah dimulai.”

“Apa maksud-“

Belum selesai aku bertanya, Roullard menarik pinggul dan langsung mencumbu bibirku. Aku yang tak sempat menghindar hanya melotot ketika lidah orang itu menari dalam rongga mulutku. Maria melihat pemandangan mengejutkan itu terjadi dua kali berturut-turut.

“Hentikan itu anak muda! Apa kau sadar bahwa dia adalah High Priestess?! Lady Theressa adalah pemimpin tertinggi para Healer! Terlebih dia adalah pahlawan yang menyelamatkan anak-anak manja seperti kalian dari ancaman para iblis!” teriak Maria marah, “Tuan Sigmund! Kenapa kau tak melakukan sesuatu?!”

Maria menghampiri Sigmund tapi laki-laki itu mematung, ekspresinya murka seperti ingin menjotos wajah Roullard namun entah kenapa seperti ada yang menghalanginya.

“Tubuh…ku… tak bisa… ber… gerak…” bisik Sigmund berat.

Itu sihir pelumpuh! Aku meronta sekuat tenaga sampai akhirnya mendapatkan celah untuk mengayunkan tongkatku. Roullard melepas bibirnya, benang transparan yang terbuat dari liur menghubungkan bibir kami. Tanpa ba-bi-bu langsung kutampar lelaki busuk itu.

“Sister Maria! Perintahkan semua Paladin untuk menangkap orang-orang sesat ini!”

“Hmpph!”

Ketika aku berbalik kulihat seseorang membekap Maria, jemari berkuku panjang dan kotor menggerayangi tubuhnya, meremas buah dada yang masih berbalut seragam seorang pelayan Dewi Haelis. Aku berusaha berlari ke arah Maria, tapi Roullard kembali menarik perutku.

“Tuan Gopher lepaskan dia!” bentakku marah.

Gopher tersenyum lebar, matanya berubah merah dan kulitnya perlahan mengelupas seperti batang kayu tua, menunjukan wujud asli di balik topeng ajudan setia Pangeran Roullard.

“Ooh Theressa, aku sungguh… sunguh merindukamu!” sahut orang berjubah kumal itu sambil menjilati pipi Maria.

“Kau… Kastrelus si Necromancer? Jadi benar kata informanku, kalian bersekutu dengan pengikut raja iblis…” geramku, “mau sejauh mana kau tenggelam dalam kegelapan, Roullard?!”

“Hey… hey… dia hanya rekan bisnis kami, tidak lebih…” sahut Roullard enteng.

Pangeran Girth di belakang Roullard duduk sambil memainkan cangkirnya, “kami tak berniat membangkitkan raja iblis… kami hanya sekelompok pengusaha yang ingin kekuatannya dunia itu.”

“Bahkan jika kalian menyiksaku, tak akan kumurnikan kristal-kristal itu!” erangku marah.

Suara jeritan dan besi yang beradu membuatku menoleh ke ujung jendela. Biasanya Paladin tak akan kalah dengan prajurit kerajaan biasa, tapi orang-orang ini punya penyihir tingkat tinggi seperti Kastrelus di pihaknya! Teriakan minta tolong gadis dan laki-laki muda bertalu-talu dari arah altar.

Pangeran-pangeran lain tertawa ketika melihatku akhirnya sadar bahwa kuil telah dikuasai. Para Paladin berhasil dilumpuhkan dengan sihir Kastrelus sehingga prajurit lain bisa mengalahkan mereka, healer-healer tingkat satu dan dua dijadikan sandera dan dikumpulkan entah kemana.

“Ah… tenang saja, kami sudah punya metodenya… yang kami butuhkan energi yang lebih kuat dan segar dari yang sebelumnya,” bisik Roullard sambil berusaha menciumku lagi.

Kastrelus mendorong Maria hingga terjerembab di sampingku. Secara refleks langsung kutopang badannya yang gemetaran karena takut.

“Ooooh Lady Theressa, aku yakin kau akan terkejut, takjub akan metode pemurnian yang kutemukan, begitu revolusioner, begitu indah, begitu penuh hasrat!”

Suara penyihir itu mendayu namun memekakan telinga, seolah membaca prosa yang ditujukan padaku. Kastrelus menepuk tangannya hingga bergema, beberapa prajurit merangsek dan menarik dua sosok berkalung rantai layaknya hewan.

“Ouhh… Pangeran Roullard, kami aku sudah tak tahan lagi… ahh!”

“Tolong masukan sesuatu, apapun, aku tak peduli… hnnghh…”

Wanita-wanita melenguh, mendesah sambil mengekspos ketelanjangan, memamerkan kulit kumal dan rambut tubuh tak terurus tanpa menunjukan sedikitpun ekspresi malu. Payudaranya besar secara abnormal dengan areola hitam dan besar yang penuh tindikan. Puting susu salah satu wanita yang sedang hamil bahkan menganga karena sebuah kristal ungu dijejalkan di organ suci seorang ibu itu.

xcXqGCTj_o.png

“Si-Sister Irma… Sister Rose… a-apa yang terjadi?”

Kakiku terasa lemas hingga jatuh bersimpuh, Maria bahkan hingga menutup mulutnya dan berusaha memalingkan wajah, tak ingin mengakui bahwa ini adalah realita. Bahuku gemetar tak percaya melihat dua orang yang begitu kukenal kini datang dengan wujud yang sangat menyedihkan.

“TERKUTUK!!! APA YANG KAU LAKUKAN PADA IRMA!!!” teriak Sigmund yang masih terbelit kutukan pelumpuh di sisi kami.

“Ahhh! Sigmund, maafkan aku karena melanggar janji kita, bahkan hingga hamil seperti ini… apa kau masih ingin menikahiku?”

Irma merangkak ke arah kami. Payudaranya diseret karena terlalu besar, begitu juga perutnya yang hamil tua. Aroma keringat dan pesing begitu menyengat. Seperti tak peduli dengan sekitarnya, Irma langsung melucuti bagian bawah zirah hingga penis Sigmund terlihat.

“Oi… oi… ternyata sundal ini tunangan si kapten Paladin, hahaha! Ironis sekali!” ledek Girth.

“Tahukah, kapten? Pacarmu suka banget ngentot, hingga semua orang di tempat kami bosan padanya. Akhirnya dia melacurkan diri di gang-gang kecil dengan imbalan sekeping uang perak,” terang Pangeran Peston diikuti tawa empat pangeran lainnya.

“Gyahahaha… kami bahkan tak tahu siapa ayah dari anak dalam perutnya!”

Prajurit lain ikut tertawa merendahkan. Sungguh ini penghujahan besar terhadap kuil, dua orang healer terhormat kini tak ada bedanya dengan hewan yang hanya peduli akan seks. Semua karena permainan menjijikan orang-orang busuk ini. Kini terjawab sudah kenapa belakangan tak ada kabar berarti dari mereka, Sister Irma dan Sister Rose sudah tertangkap dan disiksa!

Irma dengan lemah menjilati penis Sigmund hingga berdiri tegak, ukurannya cukup besar setidaknya dari pengetahuanku yang terbatas ini.

“Sigmund, memek dan duburku sudah longgar, tak mungkin bisa memuaskanmu,” ujar Irma lantang, “tapi tenang saja, masih ada satu lubang yang masih perawan, kau bisa memilikinya…”

Ekspresiku berubah ngeri melihat bagian dalam vagina Irma. Bukan hanya kepala bayi yang ada di rahimnya mulai terlihat, tapi juga fakta bahwa perempuan itu sedang mengarahkan kejantanan sang tunangan menuju lubang kencingnya.

“HENTIKAN ITU, IRMA!” jeritku panik, “SESEORANG HENTIKAN DIA, BAYINYA SUDAH MAU LAHIR, SISTER IRMA SEDANG DALAM PROSES MELAHIRKAN!!!”

“Gyahahaa! Hey, panggil yang lain! Kita punya tontonan menarik!”

Otot-ototku terasa lemas, tak ingin percaya dengan apa yang barusan kudengar. Semua terasa bergerak lambat ketika aku menoleh ke belakang. Roullard yang membekapku terlihat begitu bersemangat, begitu juga dengan pangeran-pangeran lain, menyoraki Irma yang tengah berjuang dan seorang kesatria suci di bawahnya yang kini akhirnya menangis.

Pangeran-pangeran ini masih muda, bahkan tak punya pengalaman di medan tempur, apa yang membuat mereka tega melakukan ini? Menonton, menyoraki seseorang dalam tragedi. Aku telah bertarung dengan berbagai macam iblis, tapi tak pernah ada yang sekejam ini.

“Sister Irma, Sister Rose! Sadarlah! Ingatlah jalan Dewi Haelis!” teriak Maria di sampingku, berusaha meronta dan melawan hingga Girth harus menendang perutnya.

“Maria! Kau tidak apa-apa?!”

Wanita berkacamata itu terbaring dengan mulut menganga, matanya terbuka tapi tak menanggapiku.

Peston mendekat dan mengangkat wajah Maria, “hahaha, sister kacamata ini sampai pingsan! Jangan-jangan kau menendangnya tepat di ovarium!”

“Kalian monster… bahkan jauh lebih mengerikan dari iblis!”

Kata-kataku tak terdengar di antara tawa para pangeran yang tak berperasaan, genjotan daging dua insan yang tengah tersiksa dan rintihan seorang kesatria yang menyayat hati. Walau terlihat lemah dan pucat, Irma memaksakan kontol besar Sigmund masuk ke dalam lubang kencingnya sedikit demi sedikit. Wanita itu mengemut pentil payudaranya sendiri untuk menahan rasa sakit sampai akhirnya Pangeran Peston mendekat dan menggenggam bahu Irma lalu menekannya sekuat tenaga.

“Auhhh!!!”

Sigmund dan Irma mengejan hebat, penis sang Paladin amblas masuk ke dalam urethra tunangannya hingga cairan kuning bening berhamburan kemana-mana. Irma langsung jatuh lunglai, tampak begitu kelelahan, begitu kesakitan.

“Bravo! Bravo! Seorang paladin dan healer, saling mengencingi satu sama lain, kuil ini memang terbaik!” seru Peston tanpa rasa bersalah, diikuti tawa pangeran dan prajurit lainnya.

“La… dy…. Theresh… sha…”

Aku menoleh ke arah Irma yang kembali menggenjot penis Sigmund dengan lemah bak orang sekarat. Kencing tak berhenti keluar dari saluran urethra yang kini telah sobek. Air ketubannya juga telah pecah dan mengalami pendarahan.

“Kumohon! Biarkan aku menyembuhkannya, jika dibiarkan Sister Irma bisa mati!” pintaku, tapi Roullard membekap makin keras, memaksaku menonton.

Irma hanya tersenyum, “sebelum… mati… aku ingin… menikah…”

Hatiku hancur, sedari awal Irma sadar bahwa dirinya telah jatuh hingga tak bisa diselamatkan. Irma tak berharap untuk disembuhkan karena dia tahu sudah tak bisa kembali seperti dulu lagi. Ini adalah permintaan terakhirnya. Sigmund yang terbaring kaku juga menatapku yakin.

“Kumohon… jangan berkata demikian,” pintaku, “jangan menyerah pada kehidupan…”

Irma hanya tersenyum, bahkan ketika darah keluar dari hidung dan mulutnya, wanita itu tak berhenti melayani calon suaminya dengan hal spesial yang tersisa darinya.

“Ini… sudah waktuku…” bisik Irma lirih.

Dengan berat hati kuturuti permintaannya, “I-Irma Weinsberg, apa kau bersedia menerima pria ini sebagai suamimu..?”

“Aku… ber… sedia… hnghh!”

Mendadak suasana ruangan menjadi hening ketika aku mengutarakan kalimat perjanjian. Akupun masih tak percaya harus menikahkan dua pasangan dengan kondisi yang sangat tak pantas.

“Sigmund Ford, apa kau bersedia menerima wanita ini sebagai istrimu?”

“A-ku! Ber-sedia!”

“Atas nama dan ijin Dewi Haelis, dengan ini kalian telah diberkati sebagai suami istri,” bisikku, “k-kau… boleh mencium pasanganmu.”

Bersamaan ketika Irma menyentuh pipi Sigmund dan membungkukan badan, kepala bayi yang dikandungnya keluar. Irma telah menahan rasa sakit demi bisa mencapai impiannya untuk menikah dengan Sigmund, bahkan jika harus dalam kondisi mengerikan seperti ini.

Bibir mereka berdua menyatu diikuti sorak sorai semua laki-laki bejat dalam ruangan. Ini pertama kali aku melihat sebuah pernikahan yang dipenuhi duka dan ironi. Hingga akhirnya tangan wanita itu jatuh lunglai di lantai bersamaaan dengan hembusan napas terakhirnya.

Irma akhirnya meninggal di tengah proses persalinan yang mengerikan. Bahkan lubang kencingnya masih tersangkut pada kemaluan sang suami.

“Hahaha! Bayinya juga mati, bagaimana rasanya jadi suami sekaligus ayah hanya dalam beberapa detik, Kapten Sigmund?”

Hinaan-hinaan tak pantas terus keluar dari mulut sampah pangeran-pangeran keji ini.

Rose berdiri di depanku, wajahku sejajar dengan bibir vagina menggelambir dipenuhi tindikan. Wanita itu berjongkok membuatku bisa melihat bagian dalamnya dengan lebih jelas, sesuatu yang berkilau ada di dalam sana, kontras dengan kulit kecoklatan yang dekil.

“Tenang saja Lady Theressa…” bisik Rose.

Bibirnya menunjukan senyum kecil, namun air mata berlinang di pipinya.

“Sister Rose… kumohon, jangan lakukan ini lagi…”

“Jika anda tak bersedia, healer-healer muda itu yang akan memurnikan kristal ini.”

Aku terbelalak melihat Rose mengejan kuat, pelan-pelan benda seperti kaca menyembul keluar dari kemaluannya, dan akhirnya jatuh ke lantai bersama cairan kental berwarna ungu.

Kastrelus lalu mengambil butiran kaca itu, “ini sudah didalam selama dua hari tapi belum matang juga, Pangeran Roullard… sungguh disayangkan memang, sepertinya berkat Haelis dalam tubuh mereka sudah habis, mereka sudah tidak suci lagi.”

cairan ungu gelap yang masih mengalir dari vagina Rose, kristal ungu yang menyembsul dari puting susu Irma. Kini semuanya jelas!

“Metode pemurniannya… jangan-jangan?!”

“Yeah… fragmen kristal raja iblis mentah akan berubah jadi murni di dalam tubuh seorang healer” bisik Roullard sambil mencumbu leherku.

Salah seorang pangeran menarik kristal yang ada di mayat Irma, “yang ini juga setengah matang!”

“Hey, bagaimana kalau sekarang kita gunakan dia saja?” ujar Peston sambil meremas payudara besar Maria yang masih berbalut gaun putih.

Rasa panas bergejolak di jantungku, “jangan coba-coba kau menyentuh healer lainnya!”

Roullard merangkulku, mencengkeram dada kiriku kuat sambil tersenyum mengerikan, “jika kau menuruti permainan kami, mungkin akan kupertimbangkan.”

Pelan-palan aku berdiri, Roullard juga sudah melepas bekapannya walau beberapa prajurit langsung bersiaga. Kulihat sekeliling ruangan ini lalu sekelibat aurora aneh dari kaca jendela. Kuil telah dikelilingi dengan beberapa lapis sihir hitam yang sangat kukenal, mustahil aku melenyapkan sihir ini tanpa ketahuan.

Kastrelus berjalan lunglai ke arahku bak orang mabuk, “Ooh Theressa yang rupawan, tidakkah sihir indahku ini mengingatkanmu pada masa-masa indah kita? Nostalgia yang begitu romantis, bukan?”

“Baiklah, lakukan sesukamu,” bisikku lirih, sadar aku tak bisa melawan mereka.

8jZLf25A_o.png

Aku digiring menuju altar bersama Maria yang masih sempoyongan. Belasan healer-healer muda penghuni kuil menangis dan meronta marah. Yang laki-laki babak belur karena dijadikan samsak bagi puluhan prajurit yang menyandera kami, sementara yang perempuan digerayangi tubuhnya.

Beberapa prajurit bergerombol di salah satu sudut aula, semuanya tertawa dan melontarkan lelucon vulgar. Ketika seorang prajurit keluar dari kerumunan dengan penis menggantung, aku langsung sadar apa yang terjadi. Samar-samar kulihat kilau rambut perak dari celah zirah kelompok itu.

“SISTER ELIZABETH!!!”

Segera aku merangsek ke kerumunan, memukul dan mendorong prajurit-prajurit cabul yang memaksa Elizabeth mengocok kontol mereka. Aku bahkan sampai harus mengayunkan tongkatku berkali-kali agar mereka memberi jarak.

“La-Lady Theressa…” isaknya lirih.

Langsung kupeluk Elizabeth, kutenangkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Healer tingkat dua Elizabeth memang salah satu gadis yang paling cantik di kuil ini. Kulitnya putih bersih dengan rambut perak berkilau, tubuhnya ramping dengan payudara kecil namun pas dengan proporsinya, tentu saja dia langsung menarik mata bagi orang-orang mesum. Gadis itu terbatuk dan memuntahkan sperma yang tertahan di dalam mulut.

“Elizabeth, apa mereka melukaimu? Apa mereka memperkosamu?”

“Mereka memaksaku mengocok dan menghisap kemaluannya…”

“Sungguh hina! Sudah kubilang jangan sentuh healer lainnya, Roullard!!!” jeritku murka.

Roullard mengangkat tangannya tinggi-tinggi, “semuanya hentikan, jangan sentuh ikan-ikan kecil itu karena kita sudah dapat tangkapan besar! Lady High Priestess sendiri yang akan melayani kita!”

“Wooooahh!!!”

Sorakan dan tepuk tangan riuh para prajurit menggema. Eskpresi syok tampak jelas di wajah healer-healer lainnya, begitu juga dengan Elizabeth yang menatapku tak percaya.

“Lady Theressa… tolong jangan lakukan ini…”

“Aku tak punya pilihan, Elizabeth… terkadang kau harus berkorban untuk menyelamatkan apa yang lebih penting.”

“Tarian erotis! Tarian erotis! Tarian erotis!”

Para prajurit mengelu-elukan permintaannya, menginginkan tontonan sensual yang dilakukan oleh seorang kepala kuil yang terhormat.

“Kau dengar itu, Theressa… mereka ingin kau menari,” gumam Roullard.

Tanpa berkata apapun aku berdiri, meninggalkan Elizabeth yang berusaha menarik ujung gaunku agar tak pergi. Pun begitu aku harus melakukan ini, aku tak ingin healer-healer muda ini disiksa dan berakhir seperti Irma dan Rose. Menjaga masa depan dunia ini adalah kewajibanku, itu artinya aku harus membuka masa depan bagi pemuda-pemudi yang ada dalam tanggung jawabku.

Dari atas altar aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku. Altar di aula utama adalah tempat untuk berkhotbah yang biasa kulakukan tiap sabtu pagi. Jemaat akan duduk di kursi-kursi kayu yang telah disediakan, namun kini kursi itu disusun, ditumpuk hingga tingginya setara dengan altar dan membentuk jalan ke arah pintu masuk aula. Tujuannya apa lagi sebagai ekstensi panggung layaknya seorang penari eksotis yang berlenggok ke arah penonton.

“Kami menunggu!” celetuk seseorang dari belakang.

Jujur saja aku tak begitu tahu seperti apa tarian erotis seperti yang mereka lakukan di rumah pelesiran, hal yang paling mendekati mungkin tarian perut pada festival yang kulihat kami berada di kekaisaran Xangian.

Pelan-pelan kugoyangkan pinggul ke belakang, kucondongkan dada lalu menariknya lembut hingga membentuk gerakan gelombang. Sama seperti apa yang dilakukan para penari Xangian. Tongkat emas High Priestess kujadikan titik pusat keseimbangan tubuhku, aku bergelayut, merangkul hingga mengapit tongkat itu di antara payudaraku. Para healer tak berani melihat, semuanya memalingkan wajah karena tak terima sosok pemimpin mereka dilecehkan hingga sejauh ini.

Maria juga kini didorong hingga naik oleh Girth agar bisa menari bersamaku. Sorakan makin keras melihat dua healer senior bertubuh molek di atas panggung. Orang-orang di sisi meja berusaha mengintip ke bawah gaun yang tersingkap seiring lenggokan pinggulku. Satu demi satu, prajurit yang menjaga para sandra mendekati altar.

Pelan-pelan kutarik ujung gaun yang membelah di samping hingga kaki berbalut stoking putih terekspos, semua orang makin bersemangat dan mulai melempari koin perak sebagai saweran. Kuhampiri Maria yang masih takut, bingung dan gemetaran tak tahu harus berbuat apa.

Buah dada kami berhimpitan, sepertinya Maria masih tak percaya aku mau melakukan serendah ini untuk menghibur penyerang kuil. Kupeluk wanita itu, daguku bersandar di bahunya.

Neur Lux Fahr Ocura.”

Maria terbelalak, dia akhirnya menyadari apa yang kulakukan saat mendengar rapalan mantra suci yang kubisikan. Aku hanya mengangguk kecil dengan tatapan mantap. Menyembunyikan jari yang bercahaya karena sedang membentuk lingkaran sihir di antara perut kami, jadi Kastrelus juga semua prajurit tak ada yang menyadarinya karena fokus melihat tarian seksi ini.

“Lady Theressa, apa yang bisa saya bantu?” bisik Maria.

“Aku akan menghancurkan lapisan sihir penghalang pintu utama, buat anak-anak berkumpul di sana!”

“Bagaimana caranya?”

“Kau adalah sister mentor, mereka tumbuh dalam pengawasanmu, mereka pasti mengerti.”

Aku berbalik dengan tangan kanan yang memegang tongkat kusembunyikan di belakang punggung. Kusibakan gaun bagian bawah hingga paha dan celana dalamku terlihat. Sementara Maria melotot ke arah Rachell dan Raphael yang saling berpelukan.

Saudara kembar itu melihat gerak-gerik sang sister mentor dan menangkap pesan Maria. Secara diam-diam, mereka menggiring kawan-kawannya ke arah pintu utama. Elizabeth yang menyadari tindakan si kembar juga ikut membantu.

Beberapa penjaga mendengar suara dari belakang langsung menoleh. Tentu saja Rachell dan lainnya langsung diam. Seperti bermain Red Light, Green Light dimana mereka berjalan ketika orang yang berjaga tak melihat.

“Kita masih kurang menarik perhatian, jika penjaga menyadari Rachell dan lainnya, maka selesai sudah…”

“Saya tak tak tahu caranya menari…”

“Sister Maria, keluarkan payudaraku.”

“Eh? Ta-tapi Lady Maria!”

“Laki-laki itu makhluk yang sederhana, perlihatkan mereka payudara wanita, maka matanya akan terpacak bagai kuda.”

Dengan berat hati, Maria menarik turun bagian atas gaunku yang menopang dada. Sepasang daging lembut perlahan menyembul, berbalut brocade transparan dari kain sutra yang tipis membuat pemandangan ini justru terkesan makin erotis.

Semua pria bersorak sorai melihat areola merah jambu di balik brocade gaun kebesaran High Priestess. Maria memainkan putingku, rasanya geli karena tergesek kain dengan serat yang cukup lebar.

“Indah! Bahkan puting susumu terlihat bak karya seni, wahai sayangku Theressa!” jerit Kastrelus seperti orang mabuk.

Aku menahan rasa malu yang terakumulasi begitu besar saat Maria meremas-remasnya, memberikan tontonan semenarik mungkin bagi buaya kelaparan di bawah kami. Tinggal sedikit lagi sampai segel sihirnya terbentuk sempurna sampai akhirnya bisa kurasakan semua lingkaran sihir tersambung. Maria langsung mundur, memberiku jarak.

Kuputar tongkat dan kuhentakan tepat di depan tubuhku, berdiri sejajar hingga cahaya yang berputar di tanganku menyebar. Membentuk lingkaran berukir cahaya di atas kepalaku. Semua orang berhenti bersorak, termasuk keempat pangeran juga si necromancer Kastrelus. Mereka terkejut melihat lingkaran sihir raksasa yang datang entah dari mana ini.

QUASSO LUMENIS!”

ObqLSJRb_o.png

Cahaya itu berpendar cepat ke arah yang kutuju, memecahkan pelindung sihir tebal seolah itu kaca. Serpihannya jatuh dan membaur bersama angin.

“LARI! SELAMATKAN DIRI KALIAN!”

Para healer langsung mendobrak pintu dan berlarian ke luar. Para penjaga juga langsung mengejar mereka, namun dihalau oleh Raphael yang bersenjatakan tempat lilin.

“Cepat pergi! Serahkan mereka padaku!” teriaknya sok kuat.

Maria yang melihat itu langsung merangsek ke kerumunan, “Raphael! Apa yang kau lakukan?! Pergi dari sini!”

“Kami ga akan pergi tanpa kalian!!” timpal Rachell.

“Tangkap mereka, jika melawan bunuh saja! Jangan sampai ada saksi mata!” perintah Roullard panik.

Dibantu Elizabeth keduanya menahan beberapa prajurit dengan papan kayu. Walau begitu usaha mereka tak lebih hanya demi mengulur waktu, ketiganya akhirnya melarikan diri ke arah belakang diikuti beberapa prajurit yang mengejar mereka.

Roullard naik ke altar, memukul perut lalu menjambak rambutku hingga jatuh berlutut di kakinya.

“Lady Theressa!” pekik Maria.

“Wanita berengsek!” geram lelaki itu gusar, “gara-gara kau rencana kami kacau!”

Sebagai healer, kami tak punya sihir untuk menyakiti manusia, terlebih kemampuan fisik kami juga pasti ada di bawah para prajurit. Satu-satunya harapan adalah Kapten Paladin Sigmund, namun pria itu terkena kutukan pelumpuh.

Keempat pangeran terlihat resah dan panik, saling menyalahkan satu sama lain hingga akhirnya Kastrelus menepuk tangannya ke atas, meminta perhatian pangeran-pangeran licik itu.

“Tenang saja, tuan-tuan sekalian… sihirku ini adalah sihir labirin waktu, sihir dari dunia iblis,” terangnya, “satu hari di dalam sini sebanding dengan satu detik di luar sana, aku yakin Lady Theressa sayangku paham, kan? Karena ini bukan pertamakalinya dia masuk ke labirin waktu.”

Willow yang sudah keringatan mendekati Kastrelus, “a-apa kau dungu?! Setelah semuanya selesai di sini, kita tetap akan jadi penjahat, kita akan dipancung atau jadi orang buangan karena telah menyerang High Pri-“

Darah terciprat ke lantai dan tembok, membentuk pola kerucut begitu luas. Setengah tubuh bagian bawah pangeran Willow masih berdiri, namun dari perut ke atas sudah lenyap entah kemana. Semua tampak bingung, tak ada yang tahu apa yang terjadi, tak ada yang bisa mengikuti betapa cepatnya sesuatu yang melenyapkan. Namun aku tahu betul apa yang dihadapi, sesuatu yang jauh lebih menakutkan dari pangeran-pangeran gila harta ini.

“Jangan ada yang memanggilku dungu, paham?” bisik Kastrelus serius.

Pangeran Girth terjatuh, kakinya gemetaran, “Ka-Kastrelus… kau… yang membunuhnya?”

“Hayah… hayah… maafkan saya untuk yang barusan, tuan-tuan… mari kita memanen kristal raja iblis sambil menikmati wanita-wanita ini selagi bisa, bukan begitu?”

Kastrelus Sang Necromancer, bahkan pada era petualang, namanya begitu ditakuti. Aku dan Arthan berkali-kali berhadapan dengannya, dengan tipu daya dan sihir-sihir mengerikan yang dia pinjam dari raja iblis. Jika seorang healer adalah pengguna sihir yang membawa kehidupan, maka necromancer adalah penyihir yang bermain-main dengan kematian.

Itulah kenapa aku dan Kastrelus sudah seperti musuh bebuyutan. Walaupun pria bermata besar itu selalu memuji dan berusaha menggodaku, tapi aku tahu betul intensi di balik kata-katanya adalah sesuatu yang sadis dan mengerikan.

“Kastrelus… haruskah kita kita masukan sekarang cairannya?” tanya Roullard sambil menjaga jarak.

“Masih banyak waktu… masih banyak waktu… sekarang mari kita biarkan mereka beristirahat, Lady Theressa ku tak boleh sampai kelelahan, hehe.”

8jZLf25A_o.png

Kamar asrama yang sehari-hari ditinggali para healer tingkat satu kini serasa penjara, mungkin lebih ketat. Paling tidak ada dua orang yang berjaga, satu di dalam kamar bersamaku, satu lagi di luar.

Aku dan Maria ditempatkan di kamar terpisah. Mungkin aku tak tahu banyak tentang industri pelacuran, tapi aku bukan orang bodoh. Aku tahu pangeran-pangeran biadab itu melihat kami para healer tak lebih dari seorang pendayang. Seseorang… tidak, sesuatu yang digunakan sebagai pemuas hasrat mereka.

Aku hanya duduk di tempat tidur kayu, merapatkan pahaku layaknya wanita bermartabat karena prajurit yang berjaga terus menatapku dengan penuh nafsu. Pintu akhirnya dibuka, sepasang jari panjang dan bengkok berlumur mencengkeram daun pintu. Pria dengan bola mata bagai buah plum menyeringai lebar ke arahku.

Walau telah berkali-kali bertarung melawannya, walau sejak tadi melihatnya. Berhadapan langsung dengan Kastrelus tak pernah membuatku berhenti merinding. Penjaga yang pertamakali melihatnya datang bahkan sampai jatuh gemetaran lalu merangkak keluar.

“Sudah lama aku tak makan janin selezat itu, hehe,” oceh Kartelis sambil menjilati sela jemari.

Mataku melotot setelah sadar tindakan biadab yang dilakukan penyihir ini, “berengsek! Kau memakan jasad bayi Irma?!”

Sudah meluap darahku hingga ke ubun-ubun. Dengan cepat kuayunkan tongkat ke arahnya, namun penyihir tersebut berhasil menghalaunya, bahkan memukulkan tapaknya di perutku. Aku terjerembab hingga akhirnya berbaring di kasur seiring Kastrelus yang terus mendorong. Tanganya tak lepas dari perutku bahkan ketika berkali-kali kupukul punggungnya.

Uh? Apa ini?

Ketika Kastrelus meracau kata-kata yang bahkan tak bisa diutarakan pita suara manusia, aku merasa sesuatu mengisi organ dalamku. Hangat, makin panas seolah rahimku bagai dipenuhi air mendidih.

“AAARRRHH!! A-APA YANG- GUHHH!!”

Aku mengejan tepat ketika Kastrelus mengangkat tangannya, bagian bawah gaunku basah karena semburan cairan lengket yang kuantitasnya abnormal. Staminaku seperti disedot keluar dari kemaluan, namun aku berusaha berdiri. Meremas erat tongkat emas yang kuarahkan padanya.

Lumens Deus Xillia-“

Sensasi itu kembali muncul tepat ketika lingkaran sihir terbentuk. Cairan kewanitaanku muncrat di sela-sela paha, cukup kuat untuk membuatku jatuh bertekuk lutut di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku orgasme ketika menggunakan sihir? Ini pasti ulah Kastrelus, pria itu menanamkan kutukan dalam tubuhku!

“Jangan begitu Lady Theresa ku sayang, kau bisa mati lemas jika memaksakan diri,” ujar Kastrelus dengan suara melengking khasnya, “tapi kalaupun kau mati, kau akan mati dalam kenikmatan tiada tara.”

“Bedebah… ini kutukan Succubus?!”

“Anda memang cerdas Lady Theressa, saat ini hasrat para healer sama besarnya dengan macan gunung di musim kawin.”

“Jangan bilang kau menanamkan kutukan ini pada yang lainnya?”

“Tentu saja, aku tak tega membiarkan kalian hanya merasakan sakit ketika mengerami kristal raja iblis, aku ingin kalian juga menikmatinya.”

“Menjijikan! Kau sungguh menjijikan!!!”

Kastrelus tersenyum lebar, “aku suka tatapan itu, melihatmu dari kejauhan sambil bermesra-mesraan dengan bocah Arthan itu sungguh membuatku cemburu… aku selalu menyukaimu, Lady Theressa…”

Kuludahi wajahnya, namun orang itu justru menjilat liurku dengan lidah panjang bak bunglon. Tubuhku dibaringkan di atas kasur, Kastrelus memaku bahu dan pahaku dengan badannya hingga tak bisa melawan balik. Tanpa basa-basi, Kastrelus melucuti pakaianku dimulai dari membuka ikatan korset, melepas jubah dan akhirnya menanggalkan gaunku. Kini aku terbaring telanjang bulat, tak sehelai kainpun menutupi lekuk tubuh.

“Tubuhmu bagai lukisan, Lady Theressa… kulit putih penuh goresan yang masing-masing memiliki cerita, sungguh luar biasa!!” teriak Kastrelus histeris, “suatu kehormatan bagi orang-orang yang bisa menyetubuhimu.”

“Sampai mati aku tak sudi menyerahkan tubuh ini pada necromancer sepertimu!” geramku.

“Ahh… tenang saja, saya tak akan berani, lagipula…” bisik Kastrelus seraya membelai rambut kemaluanku, “anda punya berkat dari Dewi Haelis yang begitu besar, tubuh anda sangat cocok untuk mengerami kristal raja iblis.”

“A-apa maksudmu?”

Kastrelus mengeluarkan benda lembek berwarna hitam transparan dari balik jubahnya, “ini adalah kristal mentah yang tersisa dari istana raja iblis dulu, manusia tak bisa memanfaatkan kekuatannya, akan tetapi…”

Perlahan Kastrelus memasukan benda itu ke dalam mulutku, mendorongnya dengan jari panjangnya. Tentu saja aku berusaha melawan, tapi bekapan necromancer itu terlalu kuat. Teksturnya seperti agar-agar yang pecah dan mengeluarkan cairan getir bagai empedu. Aku terbatuk dan berusaha memuntahkan kristal mentah yang kutelan tadi, tapi tak ada yang keluar.

“Apakah anda tahu, Lady Theressa? Bahwa seorang healer bisa dikatakan sebagai kuil berjalan, tubuh mereka memiliki aura suci yang sama dengan kuil ini. Terlebih mereka adalah makhluk hidup, mereka bisa memproduksi banyak sekali sekresi yang masih memiliki kesucian Haelis. Dengan mengkonsumsi itu semua, kristal akan semakin besar dan berharga.

Aku terbelalak tak percaya mendengar penjelasan Kastrelus, “kalian para iblis sungguh menjijikan! Kau mau bilang kalau kristal ini dibuat dari feses seorang healer?!”

“Hahaha, itu tidak salah, pada dasarnya tai mu memang bisa digunakan untuk proses kristalisasi. Maksudku adalah segala yang ada dalam tubuh kalian bisa dijadikan kristal, termasuk daging, darah dan sel-sel lainnya. Tapi itu akan sia-sia bukan? Jika dibunuh hanya bisa membuat satu kristal, jadi lebih baik memanfaatkan apa yang kalian buang.”

“Kau sakit, Kastrelus!” geramku.

“Hweheheh, terimakasih atas pujiannya, Lady Theressa,“ ujar Kastrelus sambil membungkuk.

Laki-laki itu menghampiri pintu dan berbicara sebentar dengan seseorang di sana. Aku masih melihat sekeliling, berusaha mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata membela diri hingga akhirnya suara riuh menarik perhatianku kembali. Kastrelus keluar digantikan empat orang lainnya.

“Lepaskan aku! Tidakkah kalian malu melakukan hal tak senonoh ini di dalam kuil?!”

Itu suara Maria, dia dibawa ke sini?

Sosoknya muncul dari balik pintu bersama tiga pangeran yang tersisa, masih mengenakan pakaian lengkap, namun kini Maria tak memakai tudungnya. Masing-masing melihat kami dengan pandangan penuh birahi, tentu saja secara refleks tanganku bergerak menutupi ketelanjangan ini. Maria yang melihatnya begitu murka.

“Ini sudah kelewatan! Kalian akan bisa dihukum mati karena ini semua!”

Langkah Maria terhenti ketika setetes darah mengalir dari lehernya, kuku tajam jari tengah Roullard diarahkan dekat tenggorokan. Jarinya, urat-urat tangannya, semuanya terlihat abnormal, tak seperti tangan seorang manusia.

Aku terbelalak, “Roullard… tangan itu… jangan bilang?”

Roullard tersenyum sambil menjilat sedikit darah Maria di jarinya, “heheh, ini tangan iblis…”

“Tidakkah kau sadar atas kalau kau tak akan bisa kembali hidup sebagai manusia?!”

Roullard mendorong Maria ke arahku, langsung kutangkap dan peluk wanita berkacamata itu. Maria terisak, mungkinkah dia juga dipaksa menelan kristal mentah itu? Kami hanya melirik ke arah para pangeran dengan wajah marah.

“Theressa, sedari menurutmu apa rencana kami?”

“Awalnya kupikir kau hanya bocah haus pengakuan, bereksperimen dengan kristal raja iblis demi mendapat pengaruh lebih besar di istana,” geramku, “tapi setelah melihat apa yang terjadi di sini… Roullard, kau ingin memiliki kekuatan raja iblis, bukan?”

“A-apa..? Lady Theressa… Apa itu mungkin terjadi?”

“Jika Kastrelus berada di balik semua ini, maka itu mungkin saja…”

“Bukan hanya kekuatannya, jejaknya, warisannya, aku akan jadi raja iblis yang baru!” terang Roullard blak-blakan, “untuk itulah kalian para healer diperlukan, seagai inkubator sumber kekuatan kami!”

“He-hey… Roullard, apa kau yakin kami juga harus melakukannya?” tanya Girth ragu, ekspresi Peston juga jelas terlihat kalau dia sedang ketakutan.

“Sudah terlambat kalau mau ingin mundur sekarang, kalian mau bernasib seperti si bodoh Willow?” ancam Roullard sambil menyerahkan sesuatu pada keduanya.

Girth dan Peston menelan ludah mengingat kehororan yang terjadi di altar. Masing-masing menggenggam kristal ungu seperti apa yang menancap pada puting susu Irma dan vagina Rose. Sambil memejamkan mata keduanya langsung menelan kristal itu.

Sinar ungu memancar dari mulut dan mata keduanya, Peston dan Girth mengerang, urat-urat di wajahnya membesar, begitu juga di leher dan tangannya. Napas keduanya terengah melihat ke arah kami, Peston berjalan pelan lalu menjambak Maria.

“Ahhh! Lepaskan! Lepaskan!”

Wanita itu meronta, akupun berkali-kali berusaha memukul si pangeran, namun kekuatannya jauh di atas kami berdua. Girth dan Roullard juga bergabung ke atas kasur, meraba dan membelai tubuh kami.

“Aku tak tahan lagi!” bisik para pangeran cepat.

Mereka langsung menanggalkan pakaiannya, Girth dan Peston juga melepas seragam healer Maria dengan paksa. Kini di atas kasur kecil itu sudah terbaring lima orang bugil yang siap bersetubuh kapanpun.

“Hentikan! Kumohon!”

Teriakanku tak digubris tiga anak muda itu, saat ini mereka sudah dibutakan nafsu hingga ingin memperkosa wanita yang mungkin sepuluh tahun lebih tua dari ketiganya.

“Heh! Kau tahu apa yang dibutuhkan untuk membuat kristal iblis yang bagus, Lady Theressa?” bisik Roullard, “berkat surga para malaikat yang ada dalam tubuh kalian… dan bibit neraka para iblis dari sperma kami!”

“Hyaahh!” Maria menjerit saat kedua lututnya disingkap oleh Peston.

Girth yang memeganginya dari belakang bersandar di tembok, bersebelahan denganku sambil terus meremas payudaranya. Puting kecoklatan wanita itu terlihat mulai mengeras karena stimulasi erotis dua pangeran bejat ini.

“Heheheh… bahkan seorang healer sepertimu bisa horny juga ya…” goda Peston.

Aku meringis sakit saat Roullard menggigit pentilku, mengulum lalu menyedotnya seperti bayi. Perlahan kepalanya turun sambil terus mengecupi sekujur kulitku yang dipenuhi guratan bekas luka. Mencium bagian bawah payudara, turun hingga ke perut, pusar, hingga akhirnya membenamkan wajahnya di antara pahaku.

“Auhhh!!!” erangku ketika Roullard mengeluarkan kelentit dari kulupnya.

Dua pangeran lain tertawa terbahak-bahak melihat kami menggelinjang seperti cacing. Girth menyangga punggungku dan Maria, kedua tangannya bermain dengan payudara kami dan mulutnya silih berganti mencumbu areola bak ceri di puncak cake putih.

Sedangkan Peston dan Roullard mengobok-obok vagina kami berdua. Bisa kurasakan lidahnya menjilati liang peranakanku, bahkan naik hingga ke arah urethra. Kupegang erat tangan Maria yang tak henti bergelinjang karena Peston mengemut dan menarik ulur kulit labia minor elastis miliknya dengan liar.

“Sister Maria… kau harusnya merawat area kewanitaanmu seperti Lady Theressa, jembutmu ini sudah seperti hutan saja, terlebih aromanya sangat menyegat!”

Ledekan Peston diikuti gelak tawa pangeran lainnya, sementara wajah sister Maria memerah, air mulai menggenang di pelupuk matanya karena pelecehan verbal yang begitu menusuk hati.

“Heheh, sudah saatnya kan?”

Roullard dan Peston membuka paha kami lebar, daging besar dengan urat yang berkedut ditepuk-tepukan di pintu kemaluan kami. Aku dan Maria hanya bisa melotot melihat betapa mengerikannya penis itu. Ukurannya hampir sebesar tanganku!

“Tunggu! Jika kalian memasukan itu, kemaluanku bisa hancur!” jeritku ngeri.

“Kalian ini healer, bukan? Masa memperbaiki memek sendiri tidak bisa?”

“Gyahhhh!”

Teriakan Maria menggema hingga ke lorong, matanya melotot dengan mulut menganga. Napasnya memburu sesekali tertahan karena rasa sakit yang harus diderita.

“Hey, baru segitu saja udah teriak-teriak, kontolku bahkan belum masuk setengahnya!”

Aku ingin merangsek dan mencakar wajah Peston yang menghina penderitaan Maria, tapi Roullard memaku bahuku dengan kuat. Bisa kurasakan sesuatu melejit di dinding vaginaku. Daging dan lemak mengunduk di bawah pusar ini berkedut ketika penis Roullard menyeruak paksa. Kuremas kasur sprei putih yang menjadi alas kami, bahuku bergerak tak pasti.

vTMcsNoa_o.png

Mengerikan.

Sungguh mengerikan!

Rasanya bagai tombak yang perlahan-lahan diputar untuk menembus rahimku.

“Heh?! Apa ini? Sang High Priestess bukanlah seorang perawan?”

“Hahaha, aku yakin ketika dia berpetualang dulu pasti hobi banget ngentot!” timpal Girth sambil memelukku erat.

“Hahaha, kau dengar itu Sister Maria? High Priestess yang kalian agungkan bukanlah wanita baik-baik seperti yang kau kira!”

Maria menatapku tak percaya, sementara aku masih berusaha menahan sakit dari penis Roullard yang menusuk perlahan makin dalam.

Kami tersentak ketika akhirnya penis berukuran besar itu amblas secara penuh. Rasa sakit yang awalnya kurasakan perlahan memudar dan berubah menjadi sensasi geli dan nikmat. Baik Roullard dan Peston mulai menggerakan pinggulnya perlahan, menggenjot vagina kami hingga membuatku dan Maria merasa melayang di surga dunia.

“Kalian menikmatinya, bukan?” bisik Peston.

Maria menggeleng kuat, matanya terpejam menyembunyikan ekspresi nikmat yang penuh hasrat.

“Hahahah! Lihatlah wanita ini, dia menggeleng, bilangnya tak menikmati tapi pantatnya ikut bergerak maju dan mundur!”

Maria terbelalak, “tidak… itu tidak benar! Aku adalah pelayan setia Dewi Haelis, tak mungkin menikmati hal penuh dosa seperti ini!”

Roullard tersenyum puas, “sebelum menjadi healer, kau ini tetaplah wanita biasa, bukan? Bahkan Sang High Priestess meyukai seks, bukan begitu, Theressa? Pasti banyak pria kaya yang sudah menjamah tubuh seksi ini, kan?”

Laki-laki itu membelai pipiku, sekuat tenaga kutahan ekspresi wajahku agar tetap datar dan berwibawa, tak akan termakan oleh hinaan-hinaan kotor para pangeran cabul ini. Walau begitu aku tak bisa mengabaikan mental Maria yang terus menerus dipermalukan oleh mereka.

Kutarik napasku dalam, “ya… aku sudah melakukan hubungan seks beberapa kali sebelumnya, tapi kami terikat dalam niatan yang suci dan murni… kami melakukannya atas dasar cinta!”

“Huh? Jangan berikan aku omong kosong itu!”

“Laki-laki itu jauh lebih baik, jauh lebih bermartabat dan jauh lebih terhormat daripada kalian,” tambahku datar, “kalian semua tak lebih dari sekelompok goblin kotor yang memperkosa wanita-wanita malang, tak layak disamakan dengan Arthan Sang Pahlawan!”

Baik Maria dan tiga pangeran terlihat syok mendengar pengakuanku, Maria mungkin sudah tahu kalau aku memendam rasa pada Arthan, tapi tak tahu jika hubungan kami sudah sejauh itu.

“Inilah kenapa aku benci para petualang… merasa diri mereka spesial dan merendahkan mereka yang tak punya kekuatan!” geram Roullard.

Kurasakan penisnya membengkak, membesar dalam kemaluanku. Tak mampu lagi kupertahankan wajah datar ini sampai akhirnya mataku melotot, berputar karena rasa sakit dan nikmat bercampur menjadi satu sensasi yang tak dapat dijelaskan.

“Hey! Kalian dari tadi bersenang-senang, punyaku nganggur nih!” seru Girth yang mulai bosan memainkan payudara kami.

“Tenang saja Girth, wanita itu punya beberapa lubang yang bisa kau gunakan,” sahut Peston dan menyodorkan pantat Maria.

“Tu-tunggu! Itu untuk membuang hajat! Jika sesuatu sebesar itu dimasukan…”

“Hehehe… kuharap kau sudah cebok dengan benar, Sister Maria…”

Maria menjerit, mengerang kesakitan saat Girth menyodominya. Gas tubuh terus keluar ketika pangeran berkulit hitam itu menarik penisnya. Bagi mereka, mempermalukan harga diri kami adalah sebuah hiburan.

“Dasar wanita tak tahu terima kasih, sudah kuberi kenikmatan malah kentut sembarangan!”

“Maafkan aku… maafkan aku… maafkan aku!”

“Kalau begitu makan ini!”

Sekali ayunan, Girth menanamkan seluruh tongkatnya ke dalam dubur Maria. Healer tingkat tiga itu langsung menengadah, matanya terbelalak karena syok namun tak sedikitpun suara terdengar. Sebagai gantinya mulutnya mulai berbuih, busa berwarna putih keluar bak sabun cucian dan mengalir di pipinya.

“Maria! Kuatkan dirimu!” teriakku panik.

Kupeluk Maria untuk menenangkannya, setidaknya yang kami punya satu sama lain untuk saling berjaga.

“Tidak apa-apa Maria… Yang penting junior kita tak perlu mengalami ini semua… pengorbananmu akan dibalaskan.”

Tampaknya semua ini terlalu berat baginya hingga akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Walau begitu tiga pangeran tak bermoral itu terus memperkosa kami sampai akhirnya kurasakan sesuatu yang hangat memenuhi rahimku, bercampur dengan cairan kewanitaan yang membanjiri selangkangan kami sedari tadi.

“Hahahaha… siapa sangka healer-healer ini memang daging segar berkualitas! Kalian harusnya jadi pendayang kami di istana!”

Roullard mencabut penisnya, diikuti Peston dan Girth. Cairan putih kental mengalir dari lubang bekas persetubuhan kami. Darah segar juga tercampur dari kemaluan Maria, Peston dan Girth telah merengut keperawanan vagina dan analnya.

“Kuharap kalian mengerami kristal-kristal itu dengan baik, kami akan kembali memberi asupan pejuh iblis ini.”

Ketiganya keluar meninggalkan kami, sementara aku sibuk mengorek liang peranakanku dan Maria agar air mani yang bercampur kekuatan dari dunia iblis tak masuk sepenuhnya.

“Lady… Lady Theressa… aku sudah tak pantas menjadi pelayan Dewi Haelis lagi…” isak Maria, “kesucianku… mereka mengotoriku hingga jatuh begitu dalam.”

“Hentikan itu, Maria… kesucian wanita tak hanya diukur dari keperawanannya!”

Aku berusaha menghiburnya seraya mengaliri sihir penyembuhan pada vagina dan anus Maria yang telah sobek dan menganga. Tentu saja kutukan Succubus milik Kastrelus membuat mani mengalir deras dari ovariumku, tapi aku terus bertahan agar lingkaran sihirnya tak pecah, setidaknya sampai kemaluan Maria pulih.

“Tapi tadi itu… tadi itu, tubuhku menikmatinya!”

Maria menangis, menutupi wajahnya karena malu akan apa yang telah diperbuatnya. Aku yang sudah terlalu lelah langsung ambruk di perutnya.

“Lady Theressa! Apa yang terjadi?!”

“Uhh… maafkan aku… Kastrelus menanam kutukan pada tubuhku…” bisikku ngosngosan, “aku tak bisa menggunakan sihir… ahhh!”

Cairan kental muncrat dari selangkanganku, melesat hingga menetes ke lantai yang cukup jauh dari kami.

“Astaga… jangan memaksakan diri lagi, Lady Theressa!”

“Selaput daramu… sudah kembali… itu penting untukmu, bukan? Berikanlah pada laki-laki spesial yang kau cintai dari lubuk hati terdalam, Maria…”

Maria memeluk tubuhku yang telah lunglai, rasanya hangat dan lembut. Kami sudah terlalu lelah bahkan hanya untuk berpikir melarikan diri.

Entah sudah berapa lama kami dikurung, mungkin dua hari. Itu hanya berjalan dua detik di luar kubah sihir Kastrelus, kan? Selama itu pula Roullard dan pangeran lain silih berganti datang untuk menyetubuhi kami. Hari ini kurasa giliran Girth.

Suara hantaman keras membangunkanku dan Maria yang telah terlelap kelelahan. Seseorang memukul pintu kamar kami, sepertinya dengan sebuah benda besi yang keras.

Tapi siapa?

“Kau terlalu berisik, penjaga yang lain bisa mendengar!”

Bisikan dari suara yang familiar bagiku merembes dari tembok batu, seorang perempuan. Gerendel pintu akhirnya patah dan tiga orang berpakaian putih-putih melompat hingga jatuh saling timpa di lantai. Dengan cepat mereka mengambil posisi siaga, seorang gadis berambut perak dan sepasang saudara kembar mengacungkan teflon, wajan dan pisau dapur ke arah kami.

“Lady Theressa, Sister Maria! Kami datang untuk menyelamatkan kalian!”

Hening melanda selama beberapa detik ketika ketiganya melihat kami berpelukan telanjang bulat.

“Waaah!! Raphael tutup mata mu!”

Rachell langsung menghalangi wajah saudaranya dengan wajan, sementara Elizabeth mengambil pakaian kami dan menyodorkannya dengan wajah semerah tomat.

“Apa yang kalian lakukan di sini?!” bentakku marah, “kupikir kalian sudah melarikan diri dari kuil ini!”

“Maafkan kami, Lady Theressa...” ujar Elizabeth lirih.

“Kami tidak bisa diam saja saat kalian diperlakukan seperti tadi!” timpal Rachell.

Aku dan Maria akhirnya selesai mengenakan pakaian, dari senjata yang mereka bawa, sepertinya ketiganya sempat bersembunyi di dapur ketika dikejar para penjaga. Aku mengintip ke lorong, dua prajurit yang berjaga sudah pingsan karena dihajar tiga anak bandel ini. Selebihnya tak terlihat penjaga lain sepanjang lorong.

“Lady Theressa, maaf jika ini sedikit lancang, tapi kenapa kalian telanjang?”

“Raphael!!” seru Rachell dan Elizabeth bersamaan.

Maria menunduk sedih, begitu malu mengakui aib yang baru saja terjadi, tapi informasi ini mungkin akan sangat krusial mengingat Elizabeth dan Rachell juga seorang wanita. Terlebih kami semua adalah healer, jadi bahkan Raphael mungkin tak akan lepas dari ancaman harus mengerami kristal raja iblis.

“Kami diperkosa…” bisikku.

Ketiganya tersentak tak percaya, kujelaskan segalanya dari awal, dari misi yang kuberikan pada Irma dan Rose, tentang proses kristalisasi kristal iblis, hingga rencana Roullard dan Kastrelus. Mereka kini tertunduk galau, tak berani melihat kami karena membayangkan semua kengeriannya.

“Aku tak percaya… hal sejahat itu… hiks…”

Raphael langsung memeluk dan membelai rambut saudarinya yang menangis. Elizabeth juga mulai terisak, tatapan matanya seperti orang yang telah menyerah pada kemanusiaan. Aku dan Maria saling tatap, inilah sebenarnya yang kukatakan pada Maria. Healer-healer muda ini tak tahu seberapa kejamnya manusia di luar sana, mengorbankan tubuh kami demi menyelamatkan generasi muda adalah harga yang pantas, sepertinya Maria mulai menyadari itu. Kami berlima berpelukan di lorong, menghangatkan hati satu sama lain.

“Kita akan keluar dari sini… aku janji…”

8jZLf25A_o.png
 
Terakhir diubah:
Wz5SGbAY_o.png

“I-itu benar! Ada Lady Theressa di sini, beliau adalah salah satu pahlawan yang telah mengalahkan raja iblis!” seru Raphael memberi semangat.

“Walau dibilang begitu aku tak punya kekuatan fisik yang cukup untuk menyerang mereka, sihirku hanya sihir-sihir perlindungan dan penyembuhan... terlebih…”

Kuraba perutku, teringat kutukan Succubus yang ditanamkan Kastrelus.

Maria yang melihatku langsung mengambil alih komando, “kita harus bekerja sama! Keluar sambil bersembunyi, mengendap-endap, kalian ahlinya bukan, Raphael, Rachell?”

“Eh…?”

“Kalian berkali-kali kabur untuk menonton festival di kota walau pintu sudah kuawasi, itu artinya ada jalan keluar rahasia yang bahkan orang lain tak tahu, bukan?”

Rachell mengelus hidungnya, “ada satu… lewat saluran air di belakang gedung lama, tempatnya juga sangat tersembunyi, jadi Lady Theressa bisa merapal mantra untuk memecah sihir necromancer itu dengan tenang.”

Rachell mengeluarkan kertas kusam dari balik gaunnya, sebuah peta buatan sendiri lalu menunjukan di mana jalan keluar itu pada yang lain.

r2sQ1CqI_o.png

“Eh? Tapi menuju sana harus lewat gedung lama kan? Itu artinya kita harus berhadapan dengan itu…”

Kata-kata Elizabeth membuat Rachell dan Raphael kehilangan harapan, aku dan Maria tentu saja penasaran, siapa dia yang dimaksud?

“Ada apa di gedung lama?”

Elizabeth menatap mataku tajam, “ada monster… besar… dengan sayap seperti naga.”

“Itu pasti salah satu iblis yang menjalin kontrak dengan Kastrelus… mereka monster yang berbahaya!” ujarku mengingat kembali memori lama.

Maria mengerutkan kening, “jika itu iblis, kita bisa melakukan ritual pemurnian pada mereka, bukan?”

“Eksorsisme iblis liar berbeda dengan eksorsisme orang kerasukan, mereka lebih buas dan kuat. Kau butuh rekan yang menghalau selagi merapal mantra, terlebih…” aku melirik ke arah tiga healer tingkat satu dan dua di hadapanku, “kalian bertiga belum mempelajari cara melakukan pemurnian iblis kan? Hanya aku dan Maria yang bisa melakukannya!”

“Kalau begitu kami yang akan menghalau iblis itu!” seru Raphael.

Rachel dan Elizabeth mengangguk setuju, tapi aku menggeleng pelan, “kalian tak akan punya kesempatan, setidaknya kita memerlukan seorang ahli pedang berpengalaman.”

“Jadi memang tidak bisa ya…”

Maria tersentak, “tunggu… masih ada Kapten Sigmund dari kesatuan Paladin! Dia juga ada di kuil ini, bukan?!”

Benar juga! Kenapa aku bisa lupa, masih ada Rose dan Sigmund di sini. Tunggu… sebelumnya kami dipisahkan, apa mereka dibunuh?”

“Kapten Sigmund itu yang mana ya?” tanya Rachell bingung.

“Yang biasanya makan siang bersama Sister Irma itu, lho!”

“Eh?! Orang itu seorang paladin?!” seru Rachell dan Raphael bersamaan.

“Memangnya kalian kira apa? Mana mungkin ada orang asing boleh seliweran di belakang kuil kalau bukan healer atau paladin, kan?” cibir Elizabeth sebal.

Aku berdehem untuk mengingatkan prioritas mereka, “Ehm! Apa kalian melihat Sigmund? Apa dia masih hidup?”

“Saat bersembunyi di laci dapur, aku sempat melihatnya, dia tak bergerak tapi masih bisa berteriak pada prajurit-prajurit jahat tadi!” timpal Raphael, “kurasa dia dikurung di toilet belakang!”

“Masih dalam kutukan pelumpuh ya... baiklah artinya sudah jelas rencana kita, kan?” gumamku, “pertama selamatkan Kapten Sigmund dan Sister Rose, lalu melewati iblis di gedung lama, setelah itu keluar melalui jalur rahasia Rachell, semuanya mengerti?”

Mereka berempat mengangguk mantap dan berajnak keluar dari ruangan ini. Raphael dan Rachell yang masing-masing memegang wajan dan pisau dapur berada di depan, Elizabeth dengan teflonnya berada di sisi kiri bersama Maria, sementara aku bersenjatakan tongkat emas High Priestess.

“Hey! Siapa di sana?!”

Seruan dari lorong samping membuatku terkejut, beberapa prajurit berzirah berlari sambil menghunus pedang. Raphael dan Rachell terlihat gentar saat para prajurit makin dekat. Dewi fortuna memang masih berada di pihak kami, secara kebetulan Rachell bisa menangkis ayunan pedang salah seorang prajurit dengan wajan yang hampir sebesar badannya. Tentu saja tubuh mungil Rachell tak bisa menahan dampak hantamannya hingga gadis muda itu tersungkur.

“Rach!”

Dengan sigap Raphael menyayat tangan si prajurit yang tak terlindung zirah, pria bertubuh bongsor itu melepas pedangnya dan langsung diambil oleh Maria.

“Bocah berengsek!”

Tepat ketika laki-laki tersebut mengambil ancang-ancang untuk memukul Raphael, kuangkat tongkatku tinggi-tinggi.

“Tutup mata kalian!!!” teriakku, “LUX OBLITO!”

Cahaya yang sangat terang berpendar dari ujung tongkat, begitu terang hingga seluruh tembok lorong yang gelap seolah berubah warna menjadi putih bersih.

“Ahhh! Mataku! Mataku!” jerit para prajurit yang melihat langsung ke dalam cahaya ini.

Tanpa basa-basi, Maria langsung mengayunkan pedangnya, dibantu Elizabeth dan lainnya mereka berhasil melumpuhkan tiga prajurit tadi. Tapi berkat mantra Blinding Light tadi, kutukan succubus kembali bereaksi. Kakiku gemetaran hingga harus ditopang tongkat hanya untuk berdiri.

“Kita berhasil! Kita berhasil, Lady Theressa!”

Wajah Elizabeth berubah muram ketika cairan bening mengalir deras dan membuat rok gaunku basah. Gadis itu memalingkan wajahnya, pura-pura tak melihat apa yang kulakukan. Maria yang paling tahu situasinya segera memapahku hingga kami bisa melewati lorong hingga sampai di sisi teras kiri kuil yang cukup panjang.

“Hati-hati, cahaya tadi mungkin membuat Kastrelus sadar bahwa kita sudah kabur!” gumamku memperingatkan.

Walau secara teknis berada di luar ruangan, tapi ada tembok tinggi yang membatasi kuil, terlebih pelindung sihir Kastrelus juga membentang bagai kubah raksasa. Kami mengendap-endap di antara pilar raksasa yang menopang atap, tujuan kami adalah bangunan kecil yang ada di samping gudang, kamar mandi dan toilet belakang yang biasa digunakan bagi pengunjung atau tamu.

Maria membentangkan tangannya, memberi isyarat untuk berhenti, “sssh! sembunyi!”

Kami langsung melompat ke rerumputan, beresembunyi di samping kebun sayur dan pondasi beton yang menopang teras. Kabut dingin gunung cukup membantu kami menyembunyikan keberadaan. Napasku tertahan, Elizabeth dan lainnya juga terlihat sangat tegang ketika derap langkah para prajurit melintas di samping kepala.

“Hey! Siapa kau?! Jatuhkan pedangmu!”

Bentakan para prajurit diikuti suara dentingan dua besi beradu, erangan dan teriakan penuh semangat yang begitu kukenal tak kuasa membuatku mengintip di balik pilar putih. Sosok siluet yang familiar, dengan jubah kecil dan model rambut dikuncir pendek. Pendekar misterius itu satu persatu mengalahkan antek-antek Roullard, bahkan undead yang dipanggil Kastrelus juga bukanlah rintangan baginya.

Air mataku mengalir, “Ar…than?”

Lelaki muda itu berjalan ke arahku, senyumnya begitu hangat dengan mata hijau berbinar. Kusentuh pipinya, dia juga menggenggam tanganku. Rasa rindu meluap di hatiku, tanpa peduli apa-apa lagi, langsung kupeluk Arthan.

“Kau… tidak berubah, Arthan…” bisikku.

Mataku terbelalak, terbangun karena mendengar tangisan bayi. Mataku berputar memeriksa kamar sederhana tempatku berbaring. Di sampingku ada seorang laki-laki berambut pirang yang sedang tidur memunggungiku, hanya satu selimut yang menutupi ketelanjangan kami.

“Mimpi buruk lagi, sayang?” bisiknya ketika berbalik.

“Uhh… hu’um…” anggukku, “aku bermimpi jadi seorang High Priestess, lalu Kastrelus menyandera kuil kami.”

Arthan mencubit pipiku gemas, “kamu bisa jadi High Priestess aja udah mimpi buruk buat semua umat, kok!”

Kugembungkan pipiku sebal. Arthan hanya tertawa lepas lalu mengecup pipiku, berlanjut ke bibir penuh kasih sayang.

Tangisan bayi sudut kamar membuat romansa mesra ini terhenti, kami menoleh ke arah tempat tidur bayi itu, sepasang anak kembar menangis sambil mengais-ngais udara.

“Si kecil lapar tuh…”

Aku duduk di samping tempat tidur sambil menggendong bayi-bayiku, rasanya sesak namun penuh kebahagiaan. Begitu lega hingga air mata mengalir pelan di pipi.

“Eh, Theressa? Kenapa kau menangis?”

“Ah… tidak apa-apa, sayang!

Aku tersenyum lalu memangku keduanya, sementara Arthan membantu mengeluarkan payudaraku dari gaun putih yang kukenakan.

“Makanlah, tumbuhlah jadi anak yang sehat… kalian berdua…” bisikku ketika menyusu.

Itu benar, setelah membunuh raja iblis kami hidup bersama di pinggir kerajaan, menikah dan dikaruniai sepasang anak kembar yang lucu-lucu. Arthan meremas perutku, mencumbu tengkuk dan leherku dengan penuh hasrat.

“Hey, aku sedang menyusui… sabarlah, sayang!” godaku.

Laki-laki itu menggigit daun telingaku pelan, “aku mau sekarang, Theressa!”

Kucondongkan badanku hingga sedikit menungging agar Arthan bisa mengakses selangkanganku lebih mudah. Disibaknya rok yang kukenakan, Arthan membuka bongkahan daging pantatku yang montok hingga kemaluan dan anusku terlihat lebih jelas.

“Arthan, geli…” kekehku saat Arthan menjilati duburku.

Walau sesekali memijat dan memainkan daging vaginaku, tapi entah kenapa dirinya begitu fokus dengan lubang anal. Aku tak tahu dia punya fetish seperti itu, tapi biar begitu aku tak peduli, akan akan memberikan apapun dariku untuk memuaskannya.

Kurangkul dan kukecup lehernya, “kau pahlawan yang nakal, tempat itu kotor lho…”

“Tak ada yang kotor dari dirimu, Theressa…”

Aku terkekeh dengan gombalannya yang begitu halus, benar-benar membawa ingatan saat kami berpetualang. Arthan memang orang yang seperti itu, pandai bicara dan membuat hati wanita luluh. Pelan-pelan kugesekan sela-sela bokongku ke gundukan besar di celananya. Dua bayi yang menyedot ASI dari putingku ditambah tekstur kasar kain yang bergesekan dengan bibir vagina membuatku makin terangsang. Arthan mengeluarkan penisnya dan memutar itu di sekitar anusku bak tarian ritual.

“Akan kumasukan sekarang.”

Tangannya mencengkeram kuat pinggulku, ditarik pelan hingga kepala penis Arthan perlahan menelusuk dubur. Kemaluanku berkedup bagai mulut kedua yang megap-megap, penisnya yang bersemayam dalam anus, semua terlihat jelas dari cermin besar yang bertengger di hadapan kami.

“Uh… sakit…” erangku.

“Tenang saja, sakitnya cuma sementara,”

Lenguhan tak pantas keluar dari mulutku saat kejantanan Arthan terpacak habis, aku sendiri tak percaya liang pembuanganku bisa melahap benda sebesar itu. Rasanya seperti buang hajat, mulas dengan sensasi sesak dan melegakan yang datang silih berganti saat Arthan mulai menggoyangkan pinggulnya.

Cairan bening keluar dari liang senggamaku, sesekali muncrat beberapa kaki ke depan. Badanku lemas setelah orgasme dadakan yang terjadi, tak menyangka organ intestinal yang kumiliki ternyata punya stimulus seks yang setara dengan vaginaku, begitu sensitif dan membawa nikmat.

“Ahhh! Uhh… terus, sodomi wanita ini…” erangku.

Dua bayi yang bertengger juga tak mau lepas dan terus menetek, sesekali menggigit putingku. Rasanya seperti disengat listrik hingga ototku lemas, membuat sesuatu seperti merembes dari sela-sela anusku. Mataku melotot ketika melihat batang penis Arthan berubah warna menjadi kekuningan.

Wajahku merah, malu sekali rasanya. Arthan menekan perutku sambil terus memompa pedangnya. Semburan hangat yang deras terasa mengalir, menekan perutku hingga membuncit seolah itu adalah cairan enema.

“A-Arthan… kamu pipis di dalam?”

“Apa itu mengganggumu? Aku mau melihat semua tentangmu, yang di luar juga yang di dalam…”

Aku menggeleng, tersenyum dan menyambut kecupannya saat Arthan menekan perut buncitku. Cairan kuning bercampur kotoran lembek keluar, mendorong penis Arthan hingga tercabut dan membuat semua limbah pencernaanku yang busuk mengalir seperti sungai lumpur dari liang dubur yang menganga.

Ini sangat aneh, bagi orang biasa ini tentu sangat menjijikan, tapi entah kenapa aku dan Arthan tak merasa demikian. Dilihat sedang berak oleh orang yang kucintai entah kenapa membuatku makin terangsang, begitu juga dengan Arthan, kemaluannya kembali berdiri tegang dan siap dimasukan ke dalam anusku, walau aku masih belum menyelesaikan urusan.

Cermin di hadapanku digedor, tapi aku tak peduli. Penis yang dipelumasi tinjaku sendiri terasa lebih nikmat dari sekedar cermin kosong di depanku.

“Lady Theressa… Rachell! Semuanya, sadarlah!!”

Kali ini kudengar suara yang tak asing dari dalam cermin. Sosok perempuan cantik berambut perak memukul-mukul kaca itu dari dalam.

Siapa dia?

Apa aku mengenalnya?

Arthan menarik daguku, mengalihkanku dari cermin, “ada apa, Theressa?”

“Uh? Arthan… entah kenapa aku merasa seperti ada yang terlupa.”

“Itu tidak penting, kan? Yang penting sekarang aku ada di sini.”

“Itu benar, yang penting kau ada di sini, Arthan.”

Suara hantaman kaca kembali terdengar makin keras diikuti suara retakan. Gadis muda itu tampak begitu berusaha keras memecahkan cermin. Mulutnya bergerak meneriakan sesuatu, tapi suaranya tak terdengar.

Arthan..? Sepertinya dia menyebut nama suamiku. Satu hantaman keras akhirnya membuat cermin tersebut pecah.

“ARTHAN SUDAH MATI! INI HANYA ILUSI!”

Air mataku mengalir ketika mimpi indah ini berubah menjadi sesuatu yang begitu menyakitkan. Apa yang terjadi sebelumnya terasa begitu menjijikan, untukku yang buah hajat saat sedang bercinta, wanita macam apa yang melakukan itu?!

Aku menoleh ke arah perutku, kasur empuk yang kotor karena tinjaku telah hilang, bayi kembar juga kini berubah menjadi Rachell dan Raphael yang menetek di dadaku. Kotoranku tak ada, aku tak melakukan hal serendah itu. Itu semua hanya mimpi!

“Bocah berengsek! Kau mengganggu ritualnya!”

Tubuhku didorong hingga tersungkur ke depan, Rachell dan Raphael juga tampaknya belum sadar dari ilusi itu, mereka mengigau dan mengira aku adalah ibu kandungnya. Ketika menoleh ke sosok berkulit hitam di belakangku, orang itu menyeringai.

“Kau punya fantasi seks yang liar dan menjijikan bersama Arthan, huh, Theressa?”

“Girth?! Beraninya kau!” geramku.

Kulihat sekeliling, selain aku dan Elizabeth, semuanya masih terjebak dalam ilusi. Maria diperkosa oleh beberapa penjaga, wajahnya terlihat begitu bahagia saat melontarkan kata-kata kotor. Entah kenapa wanita itu merasa dirinya adalah seorang pelacur murah yang menjajakan tubuhnya di gang-gang sempit.

Ini bukan sihir ilusi biasa, seolah otak kami dicuci untuk sementara, menanam ingatan yang salah, bahkan fetish yang mengerikan demi memuaskan hasratnya. Cahaya ungu yang bersinar di sampingku mengalihkan perhatianku.

“Kristal iblis? Jadi kau menggunakannya untuk ini?!”

“Heh! Hebat sekali bukan, dengan kristal ini bahkan yang tak memiliki kemampuan sihir bisa menggunakan sihir hebat! Sihir yang hanya bisa dimiliki kaum iblis!” bisik Girth, “lihatlah ke bawah perutmu, Theressa… kehidupan bahagiamu itu cuma ilusi, tapi aku yang menyodomi pantatmu ini nyata adanya!”

Girth menggoyangkan pinggulnya, rasanya perih dan sakit, seperti ada umbi besar yang menyumbat anusku.

“Aku ingin melihat pemandangan itu secara nyata, seorang High Priestess yang tanpa malu berak di depan umum.”

Tak bisa lagi kubendung amarahku, bukan hanya karena Girth mempermalukanku seperti ini, atau mencabuli healer-healer muda yang sudah kuanggap saudara sendiri, laki-laki ini telah menodai satu-satunya harta terbesarku, yaitu kenangan bersama Arthan.

Sekuat tenaga kusikut wajah Girth hingga keseimbangannya goyah. Kuputar badanku dan merebut kristal ungu itu dari tangannya. Raphael dan Rachell akhirnya melepaskan gigitan mereka di puting susuku, rasanya sakit namun tak seberapa dibandingkan rasa sakit hati yang kurasakan.

Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, mengarahkan ujung tajam kristal tersebut ke bawah lalu menghujamkannya tepat di dada Girth.

Lelaki itu meraung kesakitan, melempar tubuhku ke tanah. Penisnya yang panjang dan besar tertarik paksa dari duburku, bisa kulihat noda kuning dari tinja yang tersisa dalam ususku menempel di sana.

“Arrhh! Panas!!” jeritnya saat api ungu keluar dari luka tusuk dan pria tersebut.

Para prajurit yang menikmati tubuh Maria dan Elizabeth juga menghampiri atasannya itu, khawatir terjadi sesuatu pada sang pangeran. Girth melotot, matanya berubah merah, urat di leher dan keningnya juga membesar. Sayap layaknya kelelawar menyobek jubah bangsawan yang dikenakan, wajahnya seolah terbelah, kristal ungu membentuk organ baru di sekitar keningnya, menjadi sebuah mata besar bulat berkilau bak berlian.

Daemonima Repellere Deus Lux.”

Tak membuang-buang waktu aku langsung merapal mantra pemurnian iblis tingkat tinggi. Sayap kelelawar adalah ciri organ yang dimiliki semua iblis di dunia ini, kristal murni yang bercampur dengan darah seorang yang begitu jahat akan membuatnya menjadi iblis, setidaknya begitu asumsiku. Pangeran itu meraung dan mencakar pengawalnya, satu persatu prajurit itu tewas dibunuh oleh pangeran yang sedang bertransformasi menjadi makhluk lain.

Lingkaran sihir terbentuk di antara kaki dan kepala Girth, pandanganku mulai kabur karena orgasme besar yang kembali kurasakan. Bahkan tanpa kutukan Kastrelus, sihir pemurnian iblis tingkat tinggi sudah memakan banyak sekali stamina. Napasku ngos-ngosan dan keseimbanganku goyah, lingkaran sihir itu mulai berguncang, aku tak bisa mempertahankan bentuknya!

Sial! Apa kami akan mati di sini?

Rasanya semua menjadi begitu lambat, badanku terasa berat dan kesadaranku menipis hingga akhirnya tubuhku jatuh lemas.

“Jangan menyerah, Theressa!” teriak Maria seraya menopang perutku.

Wanita itu meringis sambil melanjutkan rapalanku, cairan bening juga mengalir deras dari kemaluannya. Ternyata benar, Maria juga mendapat kutukan succubus. Kulihat lingkaran sihir yang jauh lebih kecil dari milikku tadi.

Tak akan cukup, Maria hanya bisa melakukan sihir pemurnian tingkat rendah, tak cukup untuk melenyapkan Girth dalam wujud iblisnya. Dengan tenaga yang tersisa kubentangkan tanganku, rapalan Daemon Repellere kembali kulantunkan hingga lingkaran sihirnya kembali membesar. Sementara Elizabeth, Rachell dan Raphael duduk bersimpuh di belakang kami, terpukau dengan kekuatan besar seorang healer tingkat lima.

Kristal ungu yang menancap di dadanya berubah warna menjadi hitam lalu diserap ke dalam tubuh. Kulitnya mengelupas seorang makhluk baru muncul dari dalam tubuhnya. Girth telah berubah sempurna menjadi iblis, wajahnya bulat dengan mata besar bak serangga. Wujudnya menyerupai lalat dengan aroma busuk yang kuat. Lidahnya yang panjang menggelayut dan mendesis ke arahku.

3GqPmGoS_o.png

“Semoga Dewi Haelis mengampunimu, Girth!” gumamku lirih.

Cahaya dari dua lingkaran sihir bertemu, mengeluarkan bunyi layaknya paduan suara para malaikat dan menghujani Girth hingga tubuhnya menjadi debu.

Seiring abu di sela cahaya yang tersisa berjatuhan, mata ini juga makin terasa berat, tanganku akhirnya jatuh lemas di samping pinggang. Organ kewanitaanku bagai ditusuk-tusuk dari dalam dengan seribu mata tombak.

Maria melihatku dengan heran, “Lady Theressa?”

“Lady Theressa!!”

8jZLf25A_o.png


Mataku terbuka pelan, masih samar dan bias apa yang kulihat, hanya siluet beberapa orang yang bergerak panik. Apa yang mereka katakan? Entahlah, suaranya masih berdengung dan menggema.

“Uhk! Uhk!”

Kubekap mulutku, batuk ini terasa menyobek tenggorokan. Rasa sakit menghantam tubuhku bersamaan dengan memori-memori 24 jam terakhir yang sempat kulupakan. Aku mengerang, berusaha duduk namun ada sensasi tusukan di rahim dan ulu hatiku.

Cumbuan penuh nafsu menyosor langsung ke bibir, aku berontak namun seseorang yang lain memegangiku dari belakang. Perutku terekspos dan beradu dengan perut si penjaga. Organ privat kami menyatu dan terus dipompa kencang. Dinding vaginaku mendapat rangsangan hebat sejak aku pingsan hingga jus vagina mengalir hebat, membuat liang itu licin dan sangat mudah dimasukan sesuatu.

Entah sudah berapa orang memperkosaku, sudah berapa kali aku orgasme. Tapi sepertinya Maria dan lainnya sempat berlindung di ruangan sempit ini. Terlihat dari pintu kayu yang hancur karena dibuka paksa dan beberapa kotak yang dijadikan penahan di dekat pintu.

Aku menoleh ke sekeliling, Maria memeluk sebuah urinal sambil digantet seperti seekor anjing oleh beberapa prajurit. Desahan tak berhenti keluar dari mulutnya, sementara di sampingnya terduduk seorang pria babak belur dan wanita tak sadarkan diri dengan berbagai benda dijejalkan dalam vagina, urethra juga anusnya. Kurasa ada enam prajurit yang menyetubuhi kami di kamar mandi ini.

“Sigmund! Sister Rose!” aku menjerit, merangkak hingga penis si prajurit tercabut.

Dengan tenaga yang tersisa aku menyembuhkan luka-luka Sigmund, tapi tendakan keras mendarat dari arah kiri, menghujam perutku hingga terseok ke bilik-bilik toilet.

“Lacur, siapa yang ngijinin nyembuhin dia?!” teriak seorang prajurit.

Pintu bilik di hadapanku terbuka, kulihat seorang laki-laki jangkung duduk sambil memangku Elizabeth dan Rachell yang kini telah bugil. Lelaki itu menciumi payudara muda dan segar mereka, menjilati puting kecil nan imut hingga berdiri tegang.

“Pangeran Peston! Hentikan, jika kau ingin seks, perkosa aku saja!” teriakku marah.

“Maaf saja, Lady Theressa, tapi tetekmu itu jelek, menggantung seperti pepaya tua, sister satunya yang di sana juga. Beda sekali dengan yang masih muda dan segar begini, kan?” sahut Peston, “gadis remaja, juga lebih enak jepitannya ketimbang tante-tante sepertimu, iya kan? Kalian bilang memek siapa yang lebih sempit? Memek kalian apa punyanya Theressa?”

“Me-memek kami…” Rachell dan Elizabeth terisak ketika dipaksa mengangguk dan menjawab pertanyaan tak senonoh itu.

“Kalian berdua jilat kontolku, tunjukan pada Theressa semangat jiwa muda itu seperti apa!”

“Hentikan, Elizabeth! Rachell! Jangan dituruti!”

Rachell menoleh ke arahku, matanya sembab dan air kesedihan masih mengalir dari kelopaknya. Elizabeth pun bergeming, diam sambil menatap penis Peston yang berdiri tegang.

“Tapi... Lady Theressa… Raphael…” isak Rachell.

Deg!

Jantungku terasa berhenti, dimana Raphael? Aku sudah melihat semua orang, bahkan Sigmund dan Rose, tapi saudara kembar Rachell itu tak tampak batang hidungnya.

“Apa yang terjadi pada Raphael? Peston, kau apakan anak itu?!”

Aku berdiri lalu merangsek untuk memukulnya, tapi beberapa penjaga menahan tubuhku. Aku hanya bisa melihat pangeran berengsek itu tersenyum menikmati kecupan dan jilatan dua healer muda yang menjamah kontolnya.

“Jika kau bersikeras lihatlah sendiri!” gumamnya.

Seorang prajurit membuka bilik di samping singgasana maksiat Peston, kulihat sosok pemuda bertubuh kecil mengangkang dengan kaki terikat di paha seperti kodok. Darah segar mengalir dari mata yang telah hilang dari rongganya. Penisnya bertengger layu namun dari gerakan kecil di perutnya aku bisa pastikan Raphael masih hidup.

“Astaga… astaga… apa yang kalian lakukan… umurnya baru 18 tahun… dia masih remaja…”

“Si bodoh ini mau coba-coba jadi pahlawan, mengorbankan dirinya supaya kalian bisa kabur ke tempat ini, jadi kami memberinya sedikit pelajaran!” seru seorang prajurit.

“Tenang saja, Lady Theressa… kami tahu seorang healer adalah orang-orang suci, healer laki-laki tak boleh melihat tubuh seksi perempuan, kan? Jadi kubantu dia dengan mencongkel matanya,” timpal lainnya disertai gelak tawa.

“Raphael! Raphael jawab aku!”

Aku melepas paksa bekapan para prajurit dan langsung masuk ke dalam bilik toilet Raphael, telapak tanganku mengambang di depan wajahnya. Kerlipan sinar turun pelan dan menutup luka di rongga mata Raphael.

Setidaknya ini yang bisa kulakukan, bahkan berkat Dewi Haelis tak mungkin bisa menumbuhkan organ yang telah hilang, hanya memperbaikinya. Dengan begini pendarahan dan rasa sakit Raphael setidaknya sudah berhenti.

“Lady… Theressa? Kaukah itu?”

“Iya, Raphael, aku di sini… semuanya akan baik-baik saja.”

Suara lenguhan merembes dari tipisnya bilik kayu, secara refleks kututup telinga anak itu agar tak mendengarnya.

“Apa itu? Itu suara Rachell! Apa yang terjadi pada Rachell?!” gumamnya panik, “Rach! Rach! Dimana kamu?!”

“Tidak apa-apa, Raphael, dia akan baik-baik saja, kalaupun terjadi sesuatu aku pasti bisa menyembuhkannya!”

Kupeluk Raphael erat, kemaluannya yang tak seberapa besar menggesek perutku. Bahkan tangannya yang terikat di depan juga tepat meremas buah dadaku.

Raphael sepertinya menyadari itu, dan menekan-nekan payudara ini, “maafkan kami… Lady Theressa… tadi itu, kami tak bermaksud kurang ajar pada anda.”

“Huh?”

“Saat di teras, saya melihat bayangan wanita, entah siapa, tapi aku dan Maria merasa itu ibu kami…” gumamnya, “dan ketika sadar saya ternyata telah menyusu pada anda… itu kurang ajar sekali, kan?”

“Tidak apa-apa Raphael… tidak apa-apa…” bisikku.

Aku tak menyalahkannya, ilusi yang digunakan Girth memakai kristal iblis memang terlalu kuat hingga di titik yang mampu membelokan ingatan kami.

Tapi saat kutusukan kristal itu ke dada Girth, dia justru berubah menjadi iblis seutuhnya. Sebenarnya aku sudah curiga ketika mereka bertiga memperkosaku dan Maria di kamar. Penis Roullard, Peston dan Girth memiliki ukuran yang luar biasa besar dan bentuk yang sedikit berbeda. Mereka bilang itu kekuatan pinjaman kekuatan iblis, tapi kurasa tidak seperti itu yang terjadi. Kristal ini mengubah manusia menjadi iblis, setidaknya Girth telah membuktikannya.

“High Priestess, bukankah kau memeluk anak itu terlalu lama? Apa kau jangan-jangan penyuka berondong, ha?”

Hinaan dan cacian prajurit kuabaikan, fokusku hanya membisikan pesan yang harus diketahui oleh Raphael.

“Kau mengerti, Raphael?”

Anak itu mengangguk, sebagai tanda menangkap pesanku dengan baik. Tepat sebelum seseorang menjambak rambutku, lalu menghujamkan wajahku ke selangkangan healer muda tersebut.

“Auhhh!!!” jerit Raphael saat wajahku menghantam biji zakarnya.

“Kalau kau suka kontol kecil kenapa tidak kau lahap saja itu, High Priestess?”

Sebuah pedang dihunuskan ke arah kami sebagai ancaman. Mengerti maksudnya aku bersimpuh di lantai dan menyentuh kepala penis kecil itu dengan bibirku. Semua prajurit yang melihatnya bertepuk tangan, mengaburkan suara desahan dari bilik sebelah.

“Uhhh! La-Lady Theressa, apa yang anda lakukan!”

Tak kujawab Raphael, lidahku terus menari, memutar batang kemaluannya hingga akhirnya mengeras dan tegang.

“Haaa… sial aku juga tidak tahan cuma menonton!”

Punggungku didorong hingga penis Raphael masuk seutuhnya dalam mulutku. Bongkahan pantatku ditarik lebar dan kurasakan sebuah benda tumpul menelusuk masuk ke dalam vagina.

“Aku tak percaya sedang ngentotin High Priestess,” seru laki-laki yang menyetubuhiku.

Dengan mulut penuh, aku tak bisa menjerit atau memaki. Suara yang keluar hanya lenguhan bak sapi betina. Begitu juga Raphael, anak itu menggelinjang seirama dengan guncangan badanku yang disodok seperti seekor anjing.

“Lady Theressa… ada yang mau keluar… uhhh!”

Semburan lendir hangat memenuhi mulutku, sebagian tertelan sementara sisanya kumuntahkan. Laki-laki yang memperkosaku juga menyemburkan maninya yang sangat banyak. Mereka tertawa dan membantuku berdiri, melihat Raphael yang ngosngosan dengan penis layunya.

“Bagaimana rasanya pejuh seorang healer? Kujamin kau menyukainya, kan? Beruntung sekali kau, bocah!” seru seseorang sambil menepuk kepala Raphael keras.

Aku kini diseret keluar dari bilik. Maria sudah tergeletak lemah, matanya kosong kelelahan tapi beberapa prajurit masih mengantri untuk menjebol kemaluan juga anusnya. Sementara Rachell juga sama, tergeletak lelah bersandar di tembok.

“Heheheh! Kuharap kau punya lebih banyak yang seperti ini, Lady Theressa! Healer ini pelacur berkualitas!”

Aku melotot setelah melihat siapa yang sedang melayani Peston. Elizabeth mengangkang menghadap ke arahku. Penis Peston sudah masuk sepenuhnya hingga darah pertamanya mengalir di sela testis berambut bajingan itu.

0df0CBHn_o.png

“Lady Theressa… maafkan saya…”

Senyum ironi tersungging di bibir Elizabeth, namun air mata kepedihan mengalir deras di pipinya. Hatiku sudah mendidih, gigiku gemeretak lalu merangsek masuk ke bilik Peston. Kudorong bahu Elizabeth ke samping, dan dengan sekuat tenaga kutinju wajah busuk pangeran busuk itu.

Peston menjerit kesakitan, suaranya menggema di bangunan sempit itu. Kutarik Elizabeth hingga kemaluan mereka tercabut. Gadis itu merangkul lenganku kuat, ketakutan dan tak mau melepaskannya.

“Berengsek! Akan kubunuh kau! Akan kubunuh!”

Beberapa penjaga masih kebingungan menyerap informasi apa yang terjadi, sementara Peston berjalan sempoyongan tak sadar pada Rachell mulai mengepalkan tangan. Tanpa ada yang menyangka, Rachell menghantam testis Peston keras lalu menggigit penisnya kuat-kuat.

Air seni dan darah pria itu berhamburan, bersamaan dengan Rachell yang menarik kepalanya kuat. Gadis nekat tersebut memuntahkan seonggok daging yang terkoyak dari badan Peson, lalu bangun dan berlari ke arah Raphael.

Peston meraung-raung, darah mengucur tanpa henti dan prajurit yang melihat itu merasa ngilu. Rachell menggigit putus penis Peston.

“Bunuh anak itu! Bunuh mereka semua!” jerit Peston histeris.

Empat penjaga langsung merangsek ke bilik tempat Raphael diikat, sementara satu orang langsung memberikan kristal ungu pada Peston. Rose yang berada paling dekat dengan bilik Raphael mendorong penjaga yang datang, sepertinya akal sehatnya sudah kembali.

“Binatang berengsek, jangan ikut campur!”

Seorang penjaga menjambak Rose lalu menggorok lehernya dengan cepat.

“Sister Rose!!!” aku, Elizabeth dan Maria berteriak bersamaan melihat bagaimana salah satu healer senior dibunuh demikian mudahnya.

“Kalian sungguh tak tahu diuntung! Jika saja Kastrelus tak membutuhkan kalian untuk mengerami kristal-kristal ini, kalian pasti sudah mati sekarang!”

Aku terkejut melihat luka di selangkangan Peston sudah tertutup, walau kini tak ada apa-apa di sana selain dua bola berbulu, batang penisnya sudah lenyap.

“Bawa mereka ke sini!” teriaknya.

Rachell dan Raphael digotong keluar dengan kaki terangkat. Mengekspos kelamin mereka sejelas-jelasnya.

“Perempuan tengik, bahkan seribu nyawamu tak bisa mengganti kontolku!”

“Bajingan busuk yang kerjanya cuma memperkosa healer seperti kami sudah memang harus dipotong tititnya!” cemooh Rachell, “aku ini membantu pekerjaan para penjaga neraka, lho!”

Prajurit yang memperkosaku tadi membisikan sesuatu ke telinga Peston, membuat pria itu tersenyum licik.

“Lalu bagaimana dengan saudaramu ini? Dia juga berzina dengan orang yang bukan pasangannya, lho… bahkan mungkin lebih besar dosanya?”

“Tidak mungkin Raphael melakukan hal itu!”

“Benarkah? Konon katanya bahkan pejuhnya sampai membuat Lady Theressa menggelinjang, bukan begitu, Raphael?”

“Huh?! A-apa maksudnya?”

“Apa lagi? Raphael menyetubuhi seorang High Priestess, pelayan tertinggi Dewi Haelis, bukankah itu dosa besar?”

“Bohong! Itu semua bohong! Tidak mungkin aku berani kurang ajar begitu!” bantah Raphael keras.

“Hey… hey… pikirmu tadi pejuhmu tadi keluar di mulutnya siapa?” timpal prajurit yang menopangnya, “kau menikmati itu semua, akui saja dosa-dosamu!”

Tanganku mengepal kuat, “kalian… bicara soal dosa… dosa… tahu apa kalian tentang dosa?! Aku melakukan itu atas kemauanku, aku yang menanggung dosa, bukan Brother Raphael! Tapi kalian… menodai kuil yang suci ini, melecehkan pelayan Dewi Haelis, dosa kalian tak akan diampuni!”

“Aku mengerti… Kalian para healer memang ahlinya ilmu agama, kaum-kaum fanatik pada konsep abstrak,” gumam Peston serius, “wahai healer sekalian, katakan padaku, antara memperkosa seorang healer dan berhubungan sedarah, mana yang lebih besar dosanya?”

“I-itu… sama-sama dosa besar menurut aliran Haelis, kan?” bisik Elizabeth gemetar.

Aku yang menyadari apa intensi Peston melotot, “Peston! Jangan berani-berani kau melakukan itu!”

Peston hanya tersenyum, “lalu bagaimana hukumnya jika pelaku hubungan sedarah itu adalah seorang healer?”

Para prajurit saling menghadapkan Rachell dan Raphael satu sama lain. Gadis itu berontak, menjerit dan meronta-ronta hingga butuh tiga orang untuk mengarahkannya, sedangkan Raphael yang kini telah buta dan memang terikat sedari awal tak bisa banyak melawan. Dua prajurit lainnya menghalau kami yang terus berusaha menghentikan aksi amoral itu.

“Hentikan itu! Mereka saudara kandung!” jerit Maria panik.

“Aku tahu, aku menantikan bayi seperti apa yang lahir dari pasangan sedarah kembar,” cibir Peston.

Kaki dua saudara kembar itu ditarik hingga melewati dada dan punggung masing-masing, selangkangan mereka bertemu dan saling bergesekan. Sebuah foreplay yang begitu dipaksakan namun entah kenapa efektif, mengingat penis Raphael perlahan mengalami ereksi. Nektar cinta Rachell juga mengalir pelan dari vagina kecil nan imut yang ditumbuhi bulu tipis.

“Hehehe… Sister Rachell, pentilmu berdiri, lho… jangan bilang kamu terangsang sama kontol saudaramu?” goda prajurit yang mendampingi Rachell.

“Saudarimu itu punya jembut yang tipis ya, Brother Raphael, memeknya kelihatan kecil, pasti sempit dan hangat sekali di dalam sana… sempurna sebagai sarang untuk kontolmu, kan?”

Kalimat-kalimat provokatif terus dilontarkan sampai wajah keduanya merah termakan hasrat birahi. Rachell juga sudah kehabisan tenaga dan tak bisa berontak lagi. Pelan-pelan, Peston mengarahkan ujung penis Raphael masuk ke vagina saudari kembarnya.

Aku dan Maria hanya berpelukan tak tega melihatnya, sementara Elizabeth berjongkok di dekat Sigmund yang sekarat.

“Hey lihatlah sister-sister sekalian, ternyata tanpa dibantupun mereka sudah bisa sendiri!”

Teriakan Peston disambut gelak tawa prajurit lain saat melihat pinggul Rachell bergoyang sendiri saat bersenggama dengan saudaranya. Begitu juga dengan Raphael yang tampak pasrah begitu saja, mereka sudah termakan nafsu.

“Menunduk!”

Saat itu kudengar suara laki-laki yang dipenuhi amarah dari arah belakang. Tanpa perlu peringatan kedua, segera kutarik bahu Maria hingga dada besar kami menggencet lantai.

“Teknik Pembunuh Iblis : Tebasan Bulan Sabit!”

Angin tak bergerak, bahkan tak ada suara, tapi dua kepala prajurit yang menghalau kami kini jatuh di lantai. Ekspresinya begitu datar seolah tak tahu apa yang membunuh mereka. Tapi nama teknik itu, aku sungguh mengenalnya. Salah satu teknik andalan Arthan yang digunakan khusus untuk membunuh musuh yang punya kekuatan fisik jauh lebih besar, tapi tak pernah digunakan pada manusia.

Aku mendongak ke atas, seorang laki-laki menempel di langit-langit menahan gaya sentrifugal dari lajunya saat tebasan pertama. Tubuh Sigmund yang sebelumnya ada di belakangku sudah tak tampak, hanya Elizabeth yang terengah karena menggunakan mantra healing sekuat tenaga.

“Teknik Pembunuh Iblis : Pusaran Pedang!”

Itu juga jurus Arthan! Lelaki tersebut menendang langit-langit langsung ke arah tiga empat penjaga yang mengerubingi Raphael dan Rachell. Pedangnya berputar di tangan lalu dengan sabetan kuat, langsung menebas seorang prajurit secara diagonal.

Dia tak berhenti, ketika setitik ujung kakinya menyentuh lantai, tubuh bagian atasnya berputar dan membuat gerakan bak angin puting beliung tajam yang bisa membunuh para prajurit yang tersisa. Laki-laki itu berdiri, badannya penuh darah dengan mata yang memancarkan aura membunuh begitu kuat.

Kakinya direnggangkan dengan pedang diangkat sebahu, menghunus ke arah Peston yang terpojok di sudut toilet.

“Tu-tunggu… hentikan, jangan bunuh aku! Akan kuberikan segalanya, wanita? Ha-harta?! Kumohon!”

“Teknik Pembunuh Iblis : Penghakiman Dewa!”

Lantai bergetar saat lelaki itu melompat cepat, menusuk Peston tepat di jantung hingga menancap di tembok di belakangnya. Serangannya begitu kuat hingga tembok itu bergetar dan retak membentuk pola lingkaran.

“Semoga Dewi Haelis mengampuni dosa kalian, bisiknya.”

8jZLf25A_o.png

“Eeh?! Kalian dulu rekan seperjalanan?!”

Elizabeth terkejut mendengar keteranganku, Maria dan Rachell yang melepaskan ikatan Raphael juga tak kalah kaget.

“Begitulah, Arthan, Sigmund, aku, dan Wyndell dari negeri Elf berpetualang bersama untuk mengalahkan raja iblis,” terangku sambil mengenakan pakaian.

“Kupikir hanya ada tiga pahlawan, termasuk Nona Wyndell.”

“Sigmund memang tak suka hal-hal seperti itu, terlebih dia ingin hidup tenang ketika semuanya selesai bersama…” kalimatku terhenti, semua orang melirik ke arahku juga Sigmund yang masih mendoakan jenazah Rose.

“Bersama Irma, aku bertemu dengannya di akhir masa petualangan… tak kusangka dirinya harus bernasib mengerikan seperti ini!” geram Sigmund penuh emosi.

Kutepuk bahunya lalu berlutut di hadapan mayat Rose yang tergorok, “maafkan kami karena tak bisa memberi pemakaman yang layak untuk kalian, Irma, Rose… Tapi aku yakin setelah semuanya selesai, akan kami beri penghormatan terbesar atas pengorbanan kalian.”

“Theressa… apa rencana Kastrelus ada kaitannya dengan itu?”

“Aku takut demikian, terutama setelah bagaimana kristal itu bereaksi pada tubuh Girth!”

Elizabeth mendekat dengan wajah bingung, “apa maksudnya? Apa rencana Kastrelus?”

“Mebangkitkan kembali raja iblis!”

“Hah? Tapi bagaimana?!”

Maria membersihkan kacamatanya, “saat di kamar… Pangeran Roullard sempat bilang ingin menjadi raja iblis yang baru, lainnya juga tak berniat membangkitkan raja iblis, beranggapan kristal itu hanya memberi kekuatan sihir yang luar biasa.

Aku menatap Maria serius, “tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada Girth bukan, Maria? Itu bukan sekedar memiliki kekuatan layaknya iblis, Girth benar-benar berubah menjadi iblis!”

Rachell bergabung sambil menuntun saudaranya yang kini mengenakan penutup mata, “tunggu, itu artinya Kastrelus menipu mereka?”

“Tipu daya adalah trik Kastrelus, dia mencapai tujuannya dengan menjadikan orang lain sebagai bidak dan tumbal,” terang Sigmund.

Elizabeth menunduk, “tumbal ya… entah tanpa sengaja atau tak sengaja, kita sudah membunuh manusia lain di kuil ini, walau itu demi membela diri…”

“Eh? Tunggu, itu artinya Roullard dan Kastrelus sudah kehabisan pengawal, kan?!” tanya Raphael kaget, “jika dengan kekuatan Kapten Sigmund, kita pasti bisa menang!”

“Masih ada iblis yang kalian ceritakan, kekuatan iblis tak bisa dibandingkan dengan manusia, bahkan Arthan dan Sigmund butuh koordinasi yang baik dan dukungan dari healer untuk mengalahkan satu iblis!”

“Tapi Lady Theressa, saat mengalahkan Girth-“

“Aku hanya beruntung, kita tak bisa berharap kebetulan seperti itu datang lagi.”

Getaran keras mengguncang bangunan toilet ini hingga membuat lantai dan tembok retak. Gempa itu tak natural dan terulang beberapa kali.

“Eh? Apa ini! Gempa?!”

Tanah mulai terbelah, tangan hitam menjalar dari tiap retakan. Maria berusaha membuka pintu namun sepertinya terhalang oleh sesuatu, hingga akhirnya Sigmund turun tangan dan memotong kayu tebal tersebut.

“Lady Theressa, tongkatnya!” teriak Maria sambil melemparkan tongkat high priestess ke arahku.

Kutangkap dan kuhentakan tiga kali “LUX OBLITO!”

Cahaya berpendar bak gelombang kejut, menghapus tangan bayangan yang menjalar dari celah di tanah. Setidaknya untuk sementara.

Di pintu bangunan utama aku bisa melihat dua orang berdiri. Satunya menari-nari bak orang gila, menjadi pusat kemunculan tangan bayangan.

“Hari panen, hari panen, saatnya mengekstrak intisari daging-daging segarku!” teriaknya hingga menggema.

Entah apa maksudnya, tapi firasatku buruk. Terlebih ketika aku merapal mantra, sensasi kutukan succubus menjalar hingga ke bekas luka tusukan yang dilancarkan raja iblis dulu. Aku bukanlah orang yang percaya akan kebetulan, Kastrelus juga bukan tipe penyihir yang melakukan sesuatu tanpa rencana. Rasa sakit di bekas lukaku adalah sebuah pertanda!

“Elizabeth, Raphael, Rachell, kalian tak ditanamkan kutukan succubus, kan?” tanyaku.

Ketiganya menggeleng.

“Kalian di tengah! Raphael rapalkan mantra perlindungan yang kau mampu di sekitarmu dengan radius tiga meter, kau tak perlu menentukan kordinatnya, cukup di sekitarmu saja, bisa?”

“Aku akan coba!” jawabnya sambil mulai merapal.

“Rachell, Elizabeth, rapalkan Daemon Repellere, jangan sampai terputus!”

Keduanya mengangguk.

“Maria, ambil senjata. Kau, aku dan Sigmund akan menyerang di lapisan luar!”

“Ta-tapi, Lady Theressa, aku tak bisa seni pedang!”

“Bukan masalah, selama ayunkan sekuat tenaga jika bahaya mendekat itu sudah cukup,” timpal Sigmund.

Kami membuat formasi seperti segi tiga dengan tiga orang di luar dan tiga orang di dalam. Beberapa undead yang dibangkitkan Kastrelus mulai mendekat namun kuhalau dengan tongkat. Sigmund dan Maria juga menebas tengkorak-tengkorak itu dan membuka jalan ke arah gedung bangunan lama.

“Elizabeth, Rachell, begitu pintu terbuka arahkan Daemon Repellere pada iblis yang menjaga altar, setelah itu kalian lari ke tujuan kita!”

Semakin kami dekat ke gedung lama, semakin ngilu dan nyeri rasanya jantungku. Seolah luka dan tusukan itu baru saja terjadi. Sigmund menendang pintu kayu yang telah termakan waktu. Elizabeth dan Rachell memiringkan lingkaran sihir yang telah mereka bentuk ke depan, langsung mengarah ke ujung lorong. Sinar terang ditembakan langsung menuju sosok pemilik siluet bersayap besar. Kami bersiap untuk menerobos begitu Daemon Repellere selesai mengeksekusi iblis tersebut.

Huh?

Debu beterbangan tapi tanduk besarnya yang seperti ogre masih terlihat kokoh. Lingkaran sihir hitam mengelilingi di beberapa titik. Cahaya dari sihir Elizabeth dan Rachell juga membuat banyak kilauan ungu di sisi altar.

“Ada pelindung sihir… dia dilindungi perisai sihir!” seru Rachell panik.

Mereka kembali ke posisi semula, tapi aku dan Sigmund yang mengenali betul sosok iblis yang duduk beberapa meter di depan kami terpaku ngeri. Tak percaya dengan apa yang kulihat sebelumnya.

“I-itu… raja iblis…” bisik Sigmund.

Maria dan lainnya terbelalak tak percayah, “mustahil… tapi bukannya dia sudah mati?”

Tak sempat ada yang merespon, Sigmund langsung berbalik dan mengayunkan pedangnya ke sampingku.

Dentingan besi menggema, membuatku dan para healer tersungkur di lantai kayu altar yang telah lapuk. Tatapan tajam Sigmund tak gentar melihat pangeran Roullard mengintimidasinya dengan pedang hitam dari tulang.

“Paladin, kau punya refleks yang bagus…” bisiknya.

“Sigmund! Hati-hati, aku merasakan aura iblis terpancar darinya!”

Kastrelus menepuk tanganya dan muncul dari balik tubuh Roullard, “seperti yang diharapkan dari Lady Theressa, bahkan bisa merasakan potensi iblis dari tubuh manusia!”

Dengan satu ayunan lebar, Roullard berhasil melempar tubuh Sigmund hingga menghancurkan beberapa bangku kayu di dekat tembok.

“Kastrelus, kekuatan ini sungguh luar biasa!” gumam pangeran itu takjub.

“Pangeran Roullard, hentikan ini… kau sudah ditipu Kastrelus! Tidakkah kau tahu siapa makhluk itu?!” tunjukku pada sosok raja iblis yang terbelengu segel sihir.

“Keroco, aku tak peduli dengan iblis rendahan seperti itu, karena aku akan menjadi raja iblis terkuat!”

Tanganku mengepal, “sosok yang kau sebut keroco, adalah raja iblis Agmun.”

Roullard tersentak, dia menoleh ke arah Kastrelus yang tersenyum penuh makna. Menyeringai dan menunjukan giginya yang besar.

“Kastrelus, apa maksudnya ini?! Kau ingin membangkitkan raja iblis Agmun?!” bentak Roullard.

“Oh, tidak tuanku… DNA raja iblis dibutuhkan untuk suksesnya ambisi anda, begitu juga kristal yang menjadi sumber kekuatan raja iblis.”

“Jadi kenapa seluruh tubuh iblis itu ada di sini?”

“Tentu saja untuk membuat anda menjadi iblis terkuat anda harus melebur bersama tubuh yang kuat.”

“Jangan bercanda… melebur katamu? Kau ingin membuat iblis baru yang bahkan bukan aku!”

Pedang Roullard diacungkan ke arah Kastrelus, namun penyihir itu menghentikan pergerakan sang pangeran dengan tangan-tangan bayangan yang muncul dari lantai. Tangan hitam itu juga menggerayangi tubuh kami dan mengikat Sigmund tak berdaya.

“Sudah terlambat untuk mundur, Pangeran… karena ini sudah waktunya untuk memanen.”

Rachell terbatuk, diikuti Maria, Elizabeth, Raphael dan akhirnya diriku. Lendir lengket berwarna ungu keluar dari mulutku. Itu substansi kristal iblis mentah, tapi warnanya sudah berubah. Apa sudah murni?

“Healer-healer sekalian, sudah berapa kali kalian bersetubuh? Kuharap sperma iblis bisa terserap dengan baik dan kalian bisa memproduksi kristal yang besar dan murni.”

Kastrelus menjentikan jarinya, tangan bayangan itu merespon dengan mencabik pakaian kami hingga bugil. Elizabeth dan lainnya menjerit ketakutan, tangan itu tak hanya menanggalkan pakaian, tapi juga meremas payudara dan memainkan liang senggama kami hingga benar-benar horni.

Kami akhirnya dibawa menuju altar, tepat di depan tubuh raja iblis Agmun. Kastrelus membuatku dan Maria menungging dengan tangan dan lutut menopang badan layaknya hewan berkaki empat. Di antara kami Raphael mengangkang dan mengkspos penis serta anusnya. Begitu juga Rachell dan Elizabeth, vagina mereka hanya berjarak beberapa sentimeter dari hidungku.

Dari sela ketiakku bisa kulihat necromancer busuk itu menanggalkan pakaiannya, menunjukan penis hitam dan kotor penuh smegma. Jangan bilang dia juga ingin memperkosa kami?! Aku dan Maria menjerit kecil saat tangan kasar Kastrelus menyentuh pantat kami, jarinya yang panjang dengan kuku pecah-pecah bergerak pelan di sekitar dubur.

“Sudah lama aku tak menikmati kehangatan manusia seperti ini, pada pangeran melakukan tugasnya dengan baik.”

Kejantanan panjang nan kotor milik lelaki itu diarahkan ke anus Raphael.

Orang ini ingin menyodominya? Raphael adalah anak laki-laki, tapi Kastrelus tak memperdulikan itu semua.

“Arrrhhh!!!!”

Raphael menjerit ketika kontol Kastrelus melakukan penetrasi, bisa kulihat gundukan kecil berjalan di perutnya yang rata. Seolah ada ular yang simasukan ke dalam sana, menjalar terus hingga ke susus. Kugenggam tangan Raphael, begitu juga Maria. Kami berdoa, mencoba tegar untuk menghadapi ini semua. Rachell dan Elizabeth turut mencakupkan tangannya dan memohon perlindungan Dewi Haelis bersama kami.

“Luar biasa, para healer asuhanmu ini sungguh hebat! Bahkan saat ngentot gini kalian berdoa! Saya sungguh tersentuh, Lady Theressa!” teriak Kastrelus, “sebagai wujud perasaanku, akan kubuat proses pemanenan ini berkesan bagi kalian bersama!”

Kastrelus langsung menghujamkan tangan kurusnya ke duburku. Mataku melotot, mulutku menganga dan langsung jatuh ke daging empuk di bawah perut Elizabeth.

Sakit… sakit… sakit!!

Sebuah tangan masuk ke dalam saluran pembuanganku begitu cepat, tanpa dilumasi, tanpa pemanasan. Rasanya jantungku seperti mau berhenti, darah segar mengalir dari hidungku karena syok yang teramat sangat. Kulihat Maria yang diperlakukan juga langsung muntah-muntah, mulutnya kembali berbusa sementara Elizabeth dan Rachell menonton dengan ekspresi ngeri.

Air kencing kami mengalir deras, tak bisa kuhentikan walau sangat ingin. Mungkin hingga siku tangan Kastrelus tertanam di liang pembuanganku. Suara gas dan sesuatu yang basah menyeruak dari bokong Maria. Bisa kulihat matanya seperti terbalik, kacamata bulat dan tebal itu tak bisa menutup ekspresi teror penuh siksaan Maria.

“Guhhh!!! Cabut… cabut tanganmu!!” jeritku ketika Kastrelus memutar tangan kurusnya.

Orang itu tak berhenti, dia mengobok-obok tinja dalam dubur kami, seperti mencari sesuatu di dalam sana. Dengan cepat ditariknya tangan itu, kini sudah belepotan kotoran kuning dari dubur Maria dan coklat dari anusku. Kastrelus mengepal sesuatu yang lembek dan berbau busuk lalu melemparkannya ke dada Raphael.

“Bahkan wanita-wanita cantik seperti kalian juga menyimpan tai sebau ini rupanya,” ujar Kastrelus santai, “kristal itu pasti ada di tempat yang lebih dalam. Mungkin aku harus mulai dari yang lebih muda.”

“Hei! Hentikan, lepaskan tangan kotormu!” jerit Rachell murka.

“Ini kotorannya Lady Theressa dan Sister Maria lho, gadis muda… apa kau jijik dengan sesuatu yang keluar dari seorang yang kau puja?”

Kuremas tangan licin Kastrelus yang kini berbau busuk, “jangan sentuh mereka… hanya kami yang mengerami kristal itu, bukan?!”

“Oh astaga, Lady Theressa… apa aku lupa mengatakan? Saat kau terlelap dalam ilusi bersama Tuan Arthan… gadis-gadis muda ini telah kujejalkan substansi kristal mentah dalam tubuhnya, setelah diperkosa prajurit-prajurit itu aku yakin kristalnya sudah matang.”

“Kau… bohong, kan?”

“Untuk apa aku berbohong, ingin buktinya?”

Kastrelus menjentikan jari dan menyeret Roullard sambil melepas pakaian pangeran itu ke arah kami. Memmbuatnya berlutut dan mengarahkan penisnya ke bibir Elizabeth. Gadis itu meronta, namun tangan bayangan Kastrelus mengunci leher dan pipinya, membuat mulutnya terbuka hingga Roullard bisa dengan mudah memperkosa mulut Elizabeth.

“Hnnggh! Hnggh!”

“Arrrgh!”

Keduanya mengejan kuat, Roullard memompa sperma putih dan kental langsung ke tenggorokan Elizabeth sehingga perutnya membuncit karena kepenuhan. Air kencing gadis itu keluar dan membasahi wajahku, tapi bukan itu yang sangat kukhawatirkan. Sesuatu mencuat dari duburnya, sebuah kristal berwarna ungu yang dilapisi kotoran kuning.

“Walah-walah, kalian sepertinya memproduksi kristal sampai terlalu besar, kalau tidak dikeluarkan sekarang kalian bisa mati, lho!”

Begitu selesai dengan Elizabeth, Roullard dipindahkan ke arah Rachell. Laki-laki itu melakukan hal serupa hingga kristal juga muncul di anusnya.

“Nah, healer-healer sekalian apa yang harus kalian lakukan? Haruskah kubedah perutnya?”

Kulihat Rachell dan Elizabeth begitu kesakitan, hidung mereka mimisan dan wajah mereka pucat. Wajah Irma yang tewas ketika melahirkan terbayang dalam ingatanku, aku tak mau itu terjadi lagi. Tak akan kubiarkan ada healer yang mati di depan pengawasanku!

“Sister Maria, kita bantu mengeluarkan benda ini!” seruku cepat.

“Eh?! Ta-tapi?!”

“Lakukan seperti proses persalinan! Sister Elizabeth, Sister Rachell, kalian bisa mendengarku?!”

Keduanya mengangguk pelan sambil menahan nyeri.

“Jangan tegang, rilekskan otot pantat kalian, anggap saja sedang berak!”

Elizabeth dan Rachell melenguh panjang, sementara aku dan Maria menekan perut keduanya dari atas ke bawah, seperti alur mengeluarkan bayi dari dalam rahim ibu hamil.

“Auhh!!!”

“Ada apa? Maria?!”

“Punyaku… juga… mau keluar…” erang wanita berkacamata itu.

Aku juga merasakan sakit seperti gelondongan besar yang keluar perlahan. Keras dan tajam, ini jelas-jelas bukan kotoranku.

Hebat… hebat!!! Lady Theressa, milik anda yang paling murni, yang paling besar! Sungguh tak sia-sia berkat Dewi Haelis yang bersemayam di sana!”

Aku mengejan hebat, tak peduli lagi kencing yang membanjiri altar ini, tapi kristal itu tetap tak mau keluar dari duburku, seperti tersangkut. Maria sepertinya melakukan hal yang sama sambil terus menekan perut Rachell.

“Guhhh!”

Mulutnya mengeluarkan busa bersamaan dengan suara kentut yang begitu keras. Kristal milik Maria sudah keluar setengahnya namun wanita itu langsung pingsan menindih perut Rachell. Tentu saja Rachell berteriak kesakitan menopang beban setengah tubuh Maria.

“Lihat Lady Theressa, dengan usaha sendiri Sister Maria mampu mengeluarkannya!” seru Kastrelus, “yah… walau bukan cuma kristal itu yang keluar, rahim sister Maria sepertinya punya otot yang tak terlalu kuat sampai bisa ambrol begini.”

Kastrelus mencabut kristal sebesar tangan orang dewasa dari pantat Maria lalu menggendongnya. Kotoran kuning berserakan dan tak berhenti keluar dari anusnya yang telah longgar. Maria kini didudukan di penis tubuh raja iblis Agmun.

Aku terbelalak ketika melihat Kastrelus bermain-main dengan daging merah jambu yang menggantung di pintu kemaluan Maria.

Itu rahimnya?! Maria mengalami uterine prolapse karena tekanan besar saat mengeluarkan kristal tersebut. Umumnya uterine prolapse atau rahim yang keluar dari wadahnya bisa kembali secara otomatis, tapi tak kulihat ada reaksi apapun di otot vagina Maria, apalagi rahimnya ambrol terlalu jauh. Itu tak akan bisa kembali… Maria harus hidup seumur hidupnya dengan isian vagina yang menggantung di sela-sela paha!

“Jadi Sister Maria, mari kita perbaiki memekmu.”

Serasa disiram air dingin rasanya ketika tangan-tangan bayangan Kastrelus mengangkat Maria sejajar dengan penis raja iblis.

“Hentikan… kumohon… Maria… bisa mati!”

“Kita belum tahu itu kan? Tak ada salahnya dicoba…”

Kaki Maria yang telah direnggangkan turun perlahan, selangkangannya berada di sudut yang sama dengan penis tegak seukuran anak manusia itu.

“Gauhhh! Ahhh! Ahh! Hentikan!!!” jerit Maria tersadar akan apa yang terjadi.

Rachell, Elizabeth dan Raphael meraung tak terima sosok sister yang bagai ibu mereka sendiri disiksa sedemikian rupa. Darah yang sangat banyak tumpah ketika kontol raksasa itu menyobek liang peranakan Maria.

“SANATIO! SANATIO! SANATIO!”

Aku melempar mantra penyembuhan bertubi-tubi ke arah Maria, namun kemaluannya yang berkali-kali disembuhkan dan hancur pada interval waktu hampir bersamaan justruk menyiksanya. Tak kehabisan akal kuraih tiga healer muda di dekatku.

“Mengejanlah sekuat tenaga! Tahan rasa sakitnya, akan kusembuhkan saat bersamaan!” jeritku panik.

Dengan segenap kekuatan, kutekan perut Rachell dan Elizabeth hingga kristal berikut feses setangah cair mereka menyembur keluar.

“SANATIO!” teriakku lantang, langsung menyembuhkan luka-luka dan pendarahan keduanya.

Rasanya sungguh mengerikan, otot-ototku seperti terkoyak, tulangku seakan temuk. Aku berusaha melepas bekapan tangan bayangan Kastrelus dengan merapal mantra suci untuk melemahkannya. Hingga akhirnya kami bisa membebaskan diri.

Tapi semuanya sudah terlambat, Maria kini tak bergerak. Matanya yang sembab menatap kosong tanpa adanya tanda kehidupan. Perutnya menggunduk karena penis raksasa tertancap begitu saja dalam rongga kelaminnya. Maria sudah tewas.

Aku menggeram, “Raphael… kata-kataku yang sebelumnya…”

“Ba-baik! Rachell, Elizabeth! Kita harus ke tempat Sigmund!”

“Eh? Tapi, Lady Theressa!”

“Sudah, ikuti saja!”

Rachell dan Elizabeth langsung berlari sambil menuntun Raphael. Tubuh kami sudah kotor dengan feses kami sendiri, sebuah metafora yang mewakili keputusanku yang bulat untuk mengotori tangan ini dengan dosa besar.

Kastrelus yang melihat para healer berusaha membebaskan Sigmund langsung meraih sebuah kristal dan berjalan ke arah Roullard. Dia ingin mengubah pangeran itu menjadi iblis, aku sudah membaca gerak-geriknya!

Aku langsung berlari dan menepis tangan Kastrelus sebelum sempat. Sang necromancer tersentak kaget melihatku menghalangi. Kuraih kristal yang setengahnya masih tertancap di duburku, kutarik kuat tanpa peduli bagaimana itu menghancurkan organ ekskresiku dan langsung kutancapkan pada dada Kastrelus. Penyihir itu gelagapan namun berhasil menahan posisinya, dengan tiba-tiba dia memelukku erat hingga kristal yang menancap di dadanya menusukku juga.

Darah segar kumuntahkan, kulempar Kastrelus yang sudah tak bernyawa ke samping. Entah mengapa rasanya begitu panas, seperti ditusuk oleh besi membara. Selagi kesadaranku masih ada, aku berusaha menurunkan Maria, tapi entah kenapa kristal yang menancap di dadaku menyerap tubuh raja iblis Agmun.

Aku menjerit, suaraku menggema hingga perlahan kuil tua ini mulai runtuh. Pilar besar roboh dan menimpa Roullard, membunuhnya seketika. Kulihat kulitku kristal ini mulai masuk dan menutup luka, kulitku yang putih berubah menjadi abu-abu. Kepalaku pening, punggungku sakit, semakin berat seperti ada sesuatu yang tumbuh di sana.

“Lepaskan aku! Lepakan aku! Lady Theressa masih berada di sana!” teriak Elizabeth ketika Sigmund menggendongnya keluar. Rachell juga menangis dan tak berani menatapku, sepertinya Raphael sudah menyampaikan pesannya dengan baik.

Maafkan aku, Elizabeth…

Maaf karena tak sempat mengatakan ramalan ini kepadamu.

Kebangkitan raja iblis baru tak bisa terelakan, bagaimanapun aku berusaha takdir itu akan selalu datang. Tapi bersamaan dengannya, maka seorang pahlawan baru akan datang. Maka untuk itu kau harus selamat.

Kutatap wujud baruku di cermin besar yang ada di belakang altar, sosok wanita bertanduk dan bersayap dengan mata seperti naga. Betapa mengerikan...

764leWPF_o.png

Sungguh ironis bagaimana ini terjadi, aku sudah tak pantas menjadi healer, atau bahkan memuja Dewi Haelis lagi.

Hidupku sebagai Theressa sang high priestess berakhir di sini, tapi perjalananmu masih panjang, Sigmund akan mengajarkanmu teknik berpedang, kau akan menemukan teman-teman baru, era petualang kembali datang.

Ketika hasratku sebagai raja iblis mengambil alih, aku akan menantimu.

Aku yakin kau bisa membunuhku…

Pahlawan dalam ramalan, Elizabeth.

4zJiYCWu_o.png
 
Terakhir diubah:
Wz5SGbAY_o.png

“I-itu benar! Ada Lady Theressa di sini, beliau adalah salah satu pahlawan yang telah mengalahkan raja iblis!” seru Raphael memberi semangat.

“Walau dibilang begitu aku tak punya kekuatan fisik yang cukup untuk menyerang mereka, sihirku hanya sihir-sihir perlindungan dan penyembuhan... terlebih…”

Kuraba perutku, teringat kutukan Succubus yang ditanamkan Kastrelus.

Maria yang melihatku langsung mengambil alih komando, “kita harus bekerja sama! Keluar sambil bersembunyi, mengendap-endap, kalian ahlinya bukan, Raphael, Rachell?”

“Eh…?”

“Kalian berkali-kali kabur untuk menonton festival di kota walau pintu sudah kuawasi, itu artinya ada jalan keluar rahasia yang bahkan orang lain tak tahu, bukan?”

Rachell mengelus hidungnya, “ada satu… lewat saluran air di belakang gedung lama, tempatnya juga sangat tersembunyi, jadi Lady Theressa bisa merapal mantra untuk memecah sihir necromancer itu dengan tenang.”

Rachell mengeluarkan kertas kusam dari balik gaunnya, sebuah peta buatan sendiri lalu menunjukan di mana jalan keluar itu pada yang lain.

r2sQ1CqI_o.png

“Eh? Tapi menuju gedung lama harus lewat gedung lama, kan? Itu artinya kita harus berhadapan dengan itu…”

Kata-kata Elizabeth membuat Rachell dan Raphael kehilangan harapan, aku dan Maria tentu saja penasaran, siapa dia yang dimaksud?

“Ada apa di gedung lama?”

Elizabeth menatap mataku tajam, “ada monster… besar… dengan sayap seperti naga.”

“Itu pasti salah satu iblis yang menjalin kontrak dengan Kastrelus… mereka monster yang berbahaya!” ujarku mengingat kembali memori lama.

Maria mengerutkan kening, “jika itu iblis, kita bisa melakukan ritual pemurnian pada mereka, bukan?”

“Eksorsisme iblis liar berbeda dengan eksorsisme orang kerasukan, mereka lebih buas dan kuat. Kau butuh rekan yang menghalau selagi merapal mantra, terlebih…” aku melirik ke arah tiga healer tingkat satu dan dua di hadapanku, “kalian bertiga belum mempelajari cara melakukan pemurnian iblis kan? Hanya aku dan Maria yang bisa melakukannya!”

“Kalau begitu kami yang akan menghalau iblis itu!” seru Raphael.

Rachel dan Elizabeth mengangguk setuju, tapi aku menggeleng pelan, “kalian tak akan punya kesempatan, setidaknya kita memerlukan seorang ahli pedang berpengalaman.”

“Jadi memang tidak bisa ya…”

Maria tersentak, “tunggu… masih ada Kapten Sigmund dari kesatuan Paladin! Dia juga ada di kuil ini, bukan?!”

Benar juga! Kenapa aku bisa lupa, masih ada Rose dan Sigmund di sini. Tunggu… sebelumnya kami dipisahkan, apa mereka dibunuh?”

“Kapten Sigmund itu yang mana ya?” tanya Rachell bingung.

“Yang biasanya makan siang bersama Sister Irma itu, lho!”

“Eh?! Orang itu seorang paladin?!” seru Rachell dan Raphael bersamaan.

“Memangnya kalian kira apa? Mana mungkin ada orang asing boleh seliweran di belakang kuil kalau bukan healer atau paladin, kan?” cibir Elizabeth sebal.

Aku berdehem untuk mengingatkan prioritas mereka, “Ehm! Apa kalian melihat Sigmund? Apa dia masih hidup?”

“Saat bersembunyi di laci dapur, aku sempat melihatnya, dia tak bergerak tapi masih bisa berteriak pada prajurit-prajurit jahat tadi!” timpal Raphael, “kurasa dia dikurung di toilet belakang!”

“Masih dalam kutukan pelumpuh ya... baiklah artinya sudah jelas rencana kita, kan?” gumamku, “pertama selamatkan Kapten Sigmund dan Sister Rose, lalu melewati iblis banteng di lorong menara, setelah itu keluar melalui jalur rahasia Rachell, semuanya mengerti?”

Mereka berempat mengangguk mantap dan berajnak keluar dari ruangan ini. Raphael dan Rachell yang masing-masing memegang wajan dan pisau dapur berada di depan, Elizabeth dengan teflonnya berada di sisi kiri bersama Maria, sementara aku bersenjatakan tongkat emas High Priestess.

“Hey! Siapa di sana?!”

Seruan dari lorong samping membuatku terkejut, beberapa prajurit berzirah berlari sambil menghunus pedang. Raphael dan Rachell terlihat gentar saat para prajurit makin dekat. Dewi fortuna memang masih berada di pihak kami, secara kebetulan Rachell bisa menangkis ayunan pedang salah seorang prajurit dengan wajan yang hampir sebesar badannya. Tentu saja tubuh mungil Rachell tak bisa menahan dampak hantamannya hingga gadis muda itu tersungkur.

“Rach!”

Dengan sigap Raphael menyayat tangan si prajurit yang tak terlindung zirah, pria bertubuh bongsor itu melepas pedangnya dan langsung diambil oleh Maria.

“Bocah berengsek!”

Tepat ketika laki-laki tersebut mengambil ancang-ancang untuk memukul Raphael, kuangkat tongkatku tinggi-tinggi.

“Tutup mata kalian!!!” teriakku, “LUX OBLITO!”

Cahaya yang sangat terang berpendar dari ujung tongkat, begitu terang hingga seluruh tembok lorong yang gelap seolah berubah warna menjadi putih bersih.

“Ahhh! Mataku! Mataku!” jerit para prajurit yang melihat langsung ke dalam cahaya ini.

Tanpa basa-basi, Maria langsung mengayunkan pedangnya, dibantu Elizabeth dan lainnya mereka berhasil melumpuhkan tiga prajurit tadi. Tapi berkat mantra Blinding Light tadi, kutukan succubus kembali bereaksi. Kakiku gemetaran hingga harus ditopang tongkat hanya untuk berdiri.

“Kita berhasil! Kita berhasil, Lady Theressa!”

Wajah Elizabeth berubah muram ketika cairan bening mengalir deras dan membuat rok gaunku basah. Gadis itu memalingkan wajahnya, pura-pura tak melihat apa yang kulakukan. Maria yang paling tahu situasinya segera memapahku hingga kami bisa melewati lorong hingga sampai di sisi teras kiri kuil yang cukup panjang.

“Hati-hati, cahaya tadi mungkin membuat Kastrelus sadar bahwa kita sudah kabur!” gumamku memperingatkan.

Walau secara teknis berada di luar ruangan, tapi ada tembok tinggi yang membatasi kuil, terlebih pelindung sihir Kastrelus juga membentang bagai kubah raksasa. Kami mengendap-endap di antara pilar raksasa yang menopang atap, tujuan kami adalah bangunan kecil yang ada di samping gudang, kamar mandi dan toilet belakang yang biasa digunakan bagi pengunjung atau tamu.

Maria membentangkan tangannya, memberi isyarat untuk berhenti, “sssh! sembunyi!”

Kami langsung melompat ke rerumputan, beresembunyi di samping kebun sayur dan pondasi beton yang menopang teras. Kabut dingin gunung cukup membantu kami menyembunyikan keberadaan. Napasku tertahan, Elizabeth dan lainnya juga terlihat sangat tegang ketika derap langkah para prajurit melintas di samping kepala.

“Hey! Siapa kau?! Jatuhkan pedangmu!”

Bentakan para prajurit diikuti suara dentingan dua besi beradu, erangan dan teriakan penuh semangat yang begitu kukenal tak kuasa membuatku mengintip di balik pilar putih. Sosok siluet yang familiar, dengan jubah kecil dan model rambut dikuncir pendek. Pendekar misterius itu satu persatu mengalahkan antek-antek Roullard, bahkan undead yang dipanggil Kastrelus juga bukanlah rintangan baginya.

Air mataku mengalir, “Ar…than?”

Lelaki muda itu berjalan ke arahku, senyumnya begitu hangat dengan mata hijau berbinar. Kusentuh pipinya, dia juga menggenggam tanganku. Rasa rindu meluap di hatiku, tanpa peduli apa-apa lagi, langsung kupeluk Arthan.

“Kau… tidak berubah, Arthan…” bisikku.

Mataku terbelalak, terbangun karena mendengar tangisan bayi. Mataku berputar memeriksa kamar sederhana tempatku berbaring. Di sampingku ada seorang laki-laki berambut pirang yang sedang tidur memunggungiku, hanya satu selimut yang menutupi ketelanjangan kami.

“Mimpi buruk lagi, sayang?” bisiknya ketika berbalik.

“Uhh… hu’um…” anggukku, “aku bermimpi jadi seorang High Priestess, lalu Kastrelus menyandera kuil kami.”

Arthan mencubit pipiku gemas, “kamu bisa jadi High Priestess aja udah mimpi buruk buat semua umat, kok!”

Kugembungkan pipiku sebal. Arthan hanya tertawa lepas lalu mengecup pipiku, berlanjut ke bibir penuh kasih sayang.

Tangisan bayi sudut kamar membuat romansa mesra ini terhenti, kami menoleh ke arah tempat tidur bayi itu, sepasang anak kembar menangis sambil mengais-ngais udara.

“Si kecil lapar tuh…”

Aku duduk di samping tempat tidur sambil menggendong bayi-bayiku, rasanya sesak namun penuh kebahagiaan. Begitu lega hingga air mata mengalir pelan di pipi.

“Eh, Theressa? Kenapa kau menangis?”

“Ah… tidak apa-apa, sayang!

Aku tersenyum lalu memangku keduanya, sementara Arthan membantu mengeluarkan payudaraku dari gaun putih yang kukenakan.

“Makanlah, tumbuhlah jadi anak yang sehat… kalian berdua…” bisikku ketika menyusu.

Itu benar, setelah membunuh raja iblis kami hidup bersama di pinggir kerajaan, menikah dan dikaruniai sepasang anak kembar yang lucu-lucu. Arthan meremas perutku, mencumbu tengkuk dan leherku dengan penuh hasrat.

“Hey, aku sedang menyusui… sabarlah, sayang!” godaku.

Laki-laki itu menggigit daun telingaku pelan, “aku mau sekarang, Theressa!”

Kucondongkan badanku hingga sedikit menungging agar Arthan bisa mengakses selangkanganku lebih mudah. Disibaknya rok yang kukenakan, Arthan membuka bongkahan daging pantatku yang montok hingga kemaluan dan anusku terlihat lebih jelas.

“Arthan, geli…” kekehku saat Arthan menjilati duburku.

Walau sesekali memijat dan memainkan daging vaginaku, tapi entah kenapa dirinya begitu fokus dengan lubang anal. Aku tak tahu dia punya fetish seperti itu, tapi biar begitu aku tak peduli, akan akan memberikan apapun dariku untuk memuaskannya.

Kurangkul dan kukecup lehernya, “kau pahlawan yang nakal, tempat itu kotor lho…”

“Tak ada yang kotor dari dirimu, Theressa…”

Aku terkekeh dengan gombalannya yang begitu halus, benar-benar membawa ingatan saat kami berpetualang. Arthan memang orang yang seperti itu, pandai bicara dan membuat hati wanita luluh. Pelan-pelan kugesekan sela-sela bokongku ke gundukan besar di celananya. Dua bayi yang menyedot ASI dari putingku ditambah tekstur kasar kain yang bergesekan dengan bibir vagina membuatku makin terangsang. Arthan mengeluarkan penisnya dan memutar itu di sekitar anusku bak tarian ritual.

“Akan kumasukan sekarang.”

Tangannya mencengkeram kuat pinggulku, ditarik pelan hingga kepala penis Arthan perlahan menelusuk dubur. Kemaluanku berkedup bagai mulut kedua yang megap-megap, penisnya yang bersemayam dalam anus, semua terlihat jelas dari cermin besar yang bertengger di hadapan kami.

“Uh… sakit…” erangku.

“Tenang saja, sakitnya cuma sementara,”

Lenguhan tak pantas keluar dari mulutku saat kejantanan Arthan terpacak habis, aku sendiri tak percaya liang pembuanganku bisa melahap benda sebesar itu. Rasanya seperti buang hajat, mulas dengan sensasi sesak dan melegakan yang datang silih berganti saat Arthan mulai menggoyangkan pinggulnya.

Cairan bening keluar dari liang senggamaku, sesekali muncrat beberapa kaki ke depan. Badanku lemas setelah orgasme dadakan yang terjadi, tak menyangka organ intestinal yang kumiliki ternyata punya stimulus seks yang setara dengan vaginaku, begitu sensitif dan membawa nikmat.

“Ahhh! Uhh… terus, sodomi wanita ini…” erangku.

Dua bayi yang bertengger juga tak mau lepas dan terus menetek, sesekali menggigit putingku. Rasanya seperti disengat listrik hingga ototku lemas, membuat sesuatu seperti merembes dari sela-sela anusku. Mataku melotot ketika melihat batang penis Arthan berubah warna menjadi kekuningan.

Wajahku merah, malu sekali rasanya. Arthan menekan perutku sambil terus memompa pedangnya. Semburan hangat yang deras terasa mengalir, menekan perutku hingga membuncit seolah itu adalah cairan enema.

“A-Arthan… kamu pipis di dalam?”

“Apa itu mengganggumu? Aku mau melihat semua tentangmu, yang di luar juga yang di dalam…”

Aku menggeleng, tersenyum dan menyambut kecupannya saat Arthan menekan perut buncitku. Cairan kuning bercampur kotoran lembek keluar, mendorong penis Arthan hingga tercabut dan membuat semua limbah pencernaanku yang busuk mengalir seperti sungai lumpur dari liang dubur yang menganga.

Ini sangat aneh, bagi orang biasa ini tentu sangat menjijikan, tapi entah kenapa aku dan Arthan tak merasa demikian. Dilihat sedang berak oleh orang yang kucintai entah kenapa membuatku makin terangsang, begitu juga dengan Arthan, kemaluannya kembali berdiri tegang dan siap dimasukan ke dalam anusku, walau aku masih belum menyelesaikan urusan.

Cermin di hadapanku digedor, tapi aku tak peduli. Penis yang dipelumasi tinjaku sendiri terasa lebih nikmat dari sekedar cermin kosong di depanku.

“Lady Theressa… Rachell! Semuanya, sadarlah!!”

Kali ini kudengar suara yang tak asing dari dalam cermin. Sosok perempuan cantik berambut perak memukul-mukul kaca itu dari dalam.

Siapa dia?

Apa aku mengenalnya?

Arthan menarik daguku, mengalihkanku dari cermin, “ada apa, Theressa?”

“Uh? Arthan… entah kenapa aku merasa seperti ada yang terlupa.”

“Itu tidak penting, kan? Yang penting sekarang aku ada di sini.”

“Itu benar, yang penting kau ada di sini, Arthan.”

Suara hantaman kaca kembali terdengar makin keras diikuti suara retakan. Gadis muda itu tampak begitu berusaha keras memecahkan cermin. Mulutnya bergerak meneriakan sesuatu, tapi suaranya tak terdengar.

Arthan..? Sepertinya dia menyebut nama suamiku. Satu hantaman keras akhirnya membuat cermin tersebut pecah.

“ARTHAN SUDAH MATI! INI HANYA ILUSI!”

Air mataku mengalir ketika mimpi indah ini berubah menjadi sesuatu yang begitu menyakitkan. Apa yang terjadi sebelumnya terasa begitu menjijikan, untukku yang buah hajat saat sedang bercinta, wanita macam apa yang melakukan itu?!

Aku menoleh ke arah perutku, kasur empuk yang kotor karena tinjaku telah hilang, bayi kembar juga kini berubah menjadi Rachell dan Raphael yang menetek di dadaku. Kotoranku tak ada, aku tak melakukan hal serendah itu. Itu semua hanya mimpi!

“Bocah berengsek! Kau mengganggu ritualnya!”

Tubuhku didorong hingga tersungkur ke depan, Rachell dan Raphael juga tampaknya belum sadar dari ilusi itu, mereka mengigau dan mengira aku adalah ibu kandungnya. Ketika menoleh ke sosok berkulit hitam di belakangku, orang itu menyeringai.

“Kau punya fantasi seks yang liar dan menjijikan bersama Arthan, huh, Theressa?”

“Girth?! Beraninya kau!” geramku.

Kulihat sekeliling, selain aku dan Elizabeth, semuanya masih terjebak dalam ilusi. Maria diperkosa oleh beberapa penjaga, wajahnya terlihat begitu bahagia saat melontarkan kata-kata kotor. Entah kenapa wanita itu merasa dirinya adalah seorang pelacur murah yang menjajakan tubuhnya di gang-gang sempit.

Ini bukan sihir ilusi biasa, seolah otak kami dicuci untuk sementara, menanam ingatan yang salah, bahkan fetish yang mengerikan demi memuaskan hasratnya. Cahaya ungu yang bersinar di sampingku mengalihkan perhatianku.

“Kristal iblis? Jadi kau menggunakannya untuk ini?!”

“Heh! Hebat sekali bukan, dengan kristal ini bahkan yang tak memiliki kemampuan sihir bisa menggunakan sihir hebat! Sihir yang hanya bisa dimiliki kaum iblis!” bisik Girth, “lihatlah ke bawah perutmu, Theressa… kehidupan bahagiamu itu cuma ilusi, tapi aku yang menyodomi pantatmu ini nyata adanya!”

Girth menggoyangkan pinggulnya, rasanya perih dan sakit, seperti ada umbi besar yang menyumbat anusku.

“Aku ingin melihat pemandangan itu secara nyata, seorang High Priestess yang tanpa malu berak di depan umum.”

Tak bisa lagi kubendung amarahku, bukan hanya karena Girth mempermalukanku seperti ini, atau mencabuli healer-healer muda yang sudah kuanggap saudara sendiri, laki-laki ini telah menodai satu-satunya harta terbesarku, yaitu kenangan bersama Arthan.

Sekuat tenaga kusikut wajah Girth hingga keseimbangannya goyah. Kuputar badanku dan merebut kristal ungu itu dari tangannya. Raphael dan Rachell akhirnya melepaskan gigitan mereka di puting susuku, rasanya sakit namun tak seberapa dibandingkan rasa sakit hati yang kurasakan.

Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, mengarahkan ujung tajam kristal tersebut ke bawah lalu menghujamkannya tepat di dada Girth.

Lelaki itu meraung kesakitan, melempar tubuhku ke tanah. Penisnya yang panjang dan besar tertarik paksa dari duburku, bisa kulihat noda kuning dari tinja yang tersisa dalam ususku menempel di sana.

“Arrhh! Panas!!” jeritnya saat api ungu keluar dari luka tusuk dan pria tersebut.

Para prajurit yang menikmati tubuh Maria dan Elizabeth juga menghampiri atasannya itu, khawatir terjadi sesuatu pada sang pangeran. Girth melotot, matanya berubah merah, urat di leher dan keningnya juga membesar. Sayap layaknya kelelawar menyobek jubah bangsawan yang dikenakan, wajahnya seolah terbelah, kristal ungu membentuk organ baru di sekitar keningnya, menjadi sebuah mata besar bulat berkilau bak berlian.

Daemonima Repellere Deus Lux.”

Tak membuang-buang waktu aku langsung merapal mantra pemurnian iblis tingkat tinggi. Sayap kelelawar adalah ciri organ yang dimiliki semua iblis di dunia ini, kristal murni yang bercampur dengan darah seorang yang begitu jahat akan membuatnya menjadi iblis, setidaknya begitu asumsiku. Pangeran itu meraung dan mencakar pengawalnya, satu persatu prajurit itu tewas dibunuh oleh pangeran yang sedang bertransformasi menjadi makhluk lain.

Lingkaran sihir terbentuk di antara kaki dan kepala Girth, pandanganku mulai kabur karena orgasme besar yang kembali kurasakan. Bahkan tanpa kutukan Kastrelus, sihir pemurnian iblis tingkat tinggi sudah memakan banyak sekali stamina. Napasku ngos-ngosan dan keseimbanganku goyah, lingkaran sihir itu mulai berguncang, aku tak bisa mempertahankan bentuknya!

Sial! Apa kami akan mati di sini?

Rasanya semua menjadi begitu lambat, badanku terasa berat dan kesadaranku menipis hingga akhirnya tubuhku jatuh lemas.

“Jangan menyerah, Theressa!” teriak Maria seraya menopang perutku.

Wanita itu meringis sambil melanjutkan rapalanku, cairan bening juga mengalir deras dari kemaluannya. Ternyata benar, Maria juga mendapat kutukan succubus. Kulihat lingkaran sihir yang jauh lebih kecil dari milikku tadi.

Tak akan cukup, Maria hanya bisa melakukan sihir pemurnian tingkat rendah, tak cukup untuk melenyapkan Girth dalam wujud iblisnya. Dengan tenaga yang tersisa kubentangkan tanganku, rapalan Daemon Repellere kembali kulantunkan hingga lingkaran sihirnya kembali membesar. Sementara Elizabeth, Rachell dan Raphael duduk bersimpuh di belakang kami, terpukau dengan kekuatan besar seorang healer tingkat lima.

Kristal ungu yang menancap di dadanya berubah warna menjadi hitam lalu diserap ke dalam tubuh. Kulitnya mengelupas seorang makhluk baru muncul dari dalam tubuhnya. Girth telah berubah sempurna menjadi iblis, wajahnya bulat dengan mata besar bak serangga. Wujudnya menyerupai lalat dengan aroma busuk yang kuat. Lidahnya yang panjang menggelayut dan mendesis ke arahku.

3GqPmGoS_o.png

“Semoga Dewi Haelis mengampunimu, Girth!” gumamku lirih.

Cahaya dari dua lingkaran sihir bertemu, mengeluarkan bunyi layaknya paduan suara para malaikat dan menghujani Girth hingga tubuhnya menjadi debu.

Seiring abu di sela cahaya yang tersisa berjatuhan, mata ini juga makin terasa berat, tanganku akhirnya jatuh lemas di samping pinggang. Organ kewanitaanku bagai ditusuk-tusuk dari dalam dengan seribu mata tombak.

Maria melihatku dengan heran, “Lady Theressa?”

“Lady Theressa!!”

8jZLf25A_o.png


Mataku terbuka pelan, masih samar dan bias apa yang kulihat, hanya siluet beberapa orang yang bergerak panik. Apa yang mereka katakan? Entahlah, suaranya masih berdengung dan menggema.

“Uhk! Uhk!”

Kubekap mulutku, batuk ini terasa menyobek tenggorokan. Rasa sakit menghantam tubuhku bersamaan dengan memori-memori 24 jam terakhir yang sempat kulupakan. Aku mengerang, berusaha duduk namun ada sensasi tusukan di rahim dan ulu hatiku.

Cumbuan penuh nafsu menyosor langsung ke bibir, aku berontak namun seseorang yang lain memegangiku dari belakang. Perutku terekspos dan beradu dengan perut si penjaga. Organ privat kami menyatu dan terus dipompa kencang. Dinding vaginaku mendapat rangsangan hebat sejak aku pingsan hingga jus vagina mengalir hebat, membuat liang itu licin dan sangat mudah dimasukan sesuatu.

Entah sudah berapa orang memperkosaku, sudah berapa kali aku orgasme. Tapi sepertinya Maria dan lainnya sempat berlindung di ruangan sempit ini. Terlihat dari pintu kayu yang hancur karena dibuka paksa dan beberapa kotak yang dijadikan penahan di dekat pintu.

Aku menoleh ke sekeliling, Maria memeluk sebuah urinal sambil digantet seperti seekor anjing oleh beberapa prajurit. Desahan tak berhenti keluar dari mulutnya, sementara di sampingnya terduduk seorang pria babak belur dan wanita tak sadarkan diri dengan berbagai benda dijejalkan dalam vagina, urethra juga anusnya. Kurasa ada enam prajurit yang menyetubuhi kami di kamar mandi ini.

“Sigmund! Sister Rose!” aku menjerit, merangkak hingga penis si prajurit tercabut.

Dengan tenaga yang tersisa aku menyembuhkan luka-luka Sigmund, tapi tendakan keras mendarat dari arah kiri, menghujam perutku hingga terseok ke bilik-bilik toilet.

“Lacur, siapa yang ngijinin nyembuhin dia?!” teriak seorang prajurit.

Pintu bilik di hadapanku terbuka, kulihat seorang laki-laki jangkung duduk sambil memangku Elizabeth dan Rachell yang kini telah bugil. Lelaki itu menciumi payudara muda dan segar mereka, menjilati puting kecil nan imut hingga berdiri tegang.

“Pangeran Peston! Hentikan, jika kau ingin seks, perkosa aku saja!” teriakku marah.

“Maaf saja, Lady Theressa, tapi tetekmu itu jelek, menggantung seperti pepaya tua, sister satunya yang di sana juga. Beda sekali dengan yang masih muda dan segar begini, kan?” sahut Peston, “gadis remaja, juga lebih enak jepitannya ketimbang tante-tante sepertimu, iya kan? Kalian bilang memek siapa yang lebih sempit? Memek kalian apa punyanya Theressa?”

“Me-memek kami…” Rachell dan Elizabeth terisak ketika dipaksa mengangguk dan menjawab pertanyaan tak senonoh itu.

“Kalian berdua jilat kontolku, tunjukan pada Theressa semangat jiwa muda itu seperti apa!”

“Hentikan, Elizabeth! Rachell! Jangan dituruti!”

Rachell menoleh ke arahku, matanya sembab dan air kesedihan masih mengalir dari kelopaknya. Elizabeth pun bergeming, diam sambil menatap penis Peston yang berdiri tegang.

“Tapi... Lady Theressa… Raphael…” isak Rachell.

Deg!

Jantungku terasa berhenti, dimana Raphael? Aku sudah melihat semua orang, bahkan Sigmund dan Rose, tapi saudara kembar Rachell itu tak tampak batang hidungnya.

“Apa yang terjadi pada Raphael? Peston, kau apakan anak itu?!”

Aku berdiri lalu merangsek untuk memukulnya, tapi beberapa penjaga menahan tubuhku. Aku hanya bisa melihat pangeran berengsek itu tersenyum menikmati kecupan dan jilatan dua healer muda yang menjamah kontolnya.

“Jika kau bersikeras lihatlah sendiri!” gumamnya.

Seorang prajurit membuka bilik di samping singgasana maksiat Peston, kulihat sosok pemuda bertubuh kecil mengangkang dengan kaki terikat di paha seperti kodok. Darah segar mengalir dari mata yang telah hilang dari rongganya. Penisnya bertengger layu namun dari gerakan kecil di perutnya aku bisa pastikan Raphael masih hidup.

“Astaga… astaga… apa yang kalian lakukan… umurnya baru 18 tahun… dia masih remaja…”

“Si bodoh ini mau coba-coba jadi pahlawan, mengorbankan dirinya supaya kalian bisa kabur ke tempat ini, jadi kami memberinya sedikit pelajaran!” seru seorang prajurit.

“Tenang saja, Lady Theressa… kami tahu seorang healer adalah orang-orang suci, healer laki-laki tak boleh melihat tubuh seksi perempuan, kan? Jadi kubantu dia dengan mencongkel matanya,” timpal lainnya disertai gelak tawa.

“Raphael! Raphael jawab aku!”

Aku melepas paksa bekapan para prajurit dan langsung masuk ke dalam bilik toilet Raphael, telapak tanganku mengambang di depan wajahnya. Kerlipan sinar turun pelan dan menutup luka di rongga mata Raphael.

Setidaknya ini yang bisa kulakukan, bahkan berkat Dewi Haelis tak mungkin bisa menumbuhkan organ yang telah hilang, hanya memperbaikinya. Dengan begini pendarahan dan rasa sakit Raphael setidaknya sudah berhenti.

“Lady… Theressa? Kaukah itu?”

“Iya, Raphael, aku di sini… semuanya akan baik-baik saja.”

Suara lenguhan merembes dari tipisnya bilik kayu, secara refleks kututup telinga anak itu agar tak mendengarnya.

“Apa itu? Itu suara Rachell! Apa yang terjadi pada Rachell?!” gumamnya panik, “Rach! Rach! Dimana kamu?!”

“Tidak apa-apa, Raphael, dia akan baik-baik saja, kalaupun terjadi sesuatu aku pasti bisa menyembuhkannya!”

Kupeluk Raphael erat, kemaluannya yang tak seberapa besar menggesek perutku. Bahkan tangannya yang terikat di depan juga tepat meremas buah dadaku.

Raphael sepertinya menyadari itu, dan menekan-nekan payudara ini, “maafkan kami… Lady Theressa… tadi itu, kami tak bermaksud kurang ajar pada anda.”

“Huh?”

“Saat di teras, saya melihat bayangan wanita, entah siapa, tapi aku dan Maria merasa itu ibu kami…” gumamnya, “dan ketika sadar saya ternyata telah menyusu pada anda… itu kurang ajar sekali, kan?”

“Tidak apa-apa Raphael… tidak apa-apa…” bisikku.

Aku tak menyalahkannya, ilusi yang digunakan Girth memakai kristal iblis memang terlalu kuat hingga di titik yang mampu membelokan ingatan kami.

Tapi saat kutusukan kristal itu ke dada Girth, dia justru berubah menjadi iblis seutuhnya. Sebenarnya aku sudah curiga ketika mereka bertiga memperkosaku dan Maria di kamar. Penis Roullard, Peston dan Girth memiliki ukuran yang luar biasa besar dan bentuk yang sedikit berbeda. Mereka bilang itu kekuatan pinjaman kekuatan iblis, tapi kurasa tidak seperti itu yang terjadi. Kristal ini mengubah manusia menjadi iblis, setidaknya Girth telah membuktikannya.

“High Priestess, bukankah kau memeluk anak itu terlalu lama? Apa kau jangan-jangan penyuka berondong, ha?”

Hinaan dan cacian prajurit kuabaikan, fokusku hanya membisikan pesan yang harus diketahui oleh Raphael.

“Kau mengerti, Raphael?”

Anak itu mengangguk, sebagai tanda menangkap pesanku dengan baik. Tepat sebelum seseorang menjambak rambutku, lalu menghujamkan wajahku ke selangkangan healer muda tersebut.

“Auhhh!!!” jerit Raphael saat wajahku menghantam biji zakarnya.

“Kalau kau suka kontol kecil kenapa tidak kau lahap saja itu, High Priestess?”

Sebuah pedang dihunuskan ke arah kami sebagai ancaman. Mengerti maksudnya aku bersimpuh di lantai dan menyentuh kepala penis kecil itu dengan bibirku. Semua prajurit yang melihatnya bertepuk tangan, mengaburkan suara desahan dari bilik sebelah.

“Uhhh! La-Lady Theressa, apa yang anda lakukan!”

Tak kujawab Raphael, lidahku terus menari, memutar batang kemaluannya hingga akhirnya mengeras dan tegang.

“Haaa… sial aku juga tidak tahan cuma menonton!”

Punggungku didorong hingga penis Raphael masuk seutuhnya dalam mulutku. Bongkahan pantatku ditarik lebar dan kurasakan sebuah benda tumpul menelusuk masuk ke dalam vagina.

“Aku tak percaya sedang ngentotin High Priestess,” seru laki-laki yang menyetubuhiku.

Dengan mulut penuh, aku tak bisa menjerit atau memaki. Suara yang keluar hanya lenguhan bak sapi betina. Begitu juga Raphael, anak itu menggelinjang seirama dengan guncangan badanku yang disodok seperti seekor anjing.

“Lady Theressa… ada yang mau keluar… uhhh!”

Semburan lendir hangat memenuhi mulutku, sebagian tertelan sementara sisanya kumuntahkan. Laki-laki yang memperkosaku juga menyemburkan maninya yang sangat banyak. Mereka tertawa dan membantuku berdiri, melihat Raphael yang ngosngosan dengan penis layunya.

“Bagaimana rasanya pejuh seorang healer? Kujamin kau menyukainya, kan? Beruntung sekali kau, bocah!” seru seseorang sambil menepuk kepala Raphael keras.

Aku kini diseret keluar dari bilik. Maria sudah tergeletak lemah, matanya kosong kelelahan tapi beberapa prajurit masih mengantri untuk menjebol kemaluan juga anusnya. Sementara Rachell juga sama, tergeletak lelah bersandar di tembok.

“Heheheh! Kuharap kau punya lebih banyak yang seperti ini, Lady Theressa! Healer ini pelacur berkualitas!”

Aku melotot setelah melihat siapa yang sedang melayani Peston. Elizabeth mengangkang menghadap ke arahku. Penis Peston sudah masuk sepenuhnya hingga darah pertamanya mengalir di sela testis berambut bajingan itu.

0df0CBHn_o.png

“Lady Theressa… maafkan saya…”

Senyum ironi tersungging di bibir Elizabeth, namun air mata kepedihan mengalir deras di pipinya. Hatiku sudah mendidih, gigiku gemeretak lalu merangsek masuk ke bilik Peston. Kudorong bahu Elizabeth ke samping, dan dengan sekuat tenaga kutinju wajah busuk pangeran busuk itu.

Peston menjerit kesakitan, suaranya menggema di bangunan sempit itu. Kutarik Elizabeth hingga kemaluan mereka tercabut. Gadis itu merangkul lenganku kuat, ketakutan dan tak mau melepaskannya.

“Berengsek! Akan kubunuh kau! Akan kubunuh!”

Beberapa penjaga masih kebingungan menyerap informasi apa yang terjadi, sementara Peston berjalan sempoyongan tak sadar pada Rachell mulai mengepalkan tangan. Tanpa ada yang menyangka, Rachell menghantam testis Peston keras lalu menggigit penisnya kuat-kuat.

Air seni dan darah pria itu berhamburan, bersamaan dengan Rachell yang menarik kepalanya kuat. Gadis nekat tersebut memuntahkan seonggok daging yang terkoyak dari badan Peson, lalu bangun dan berlari ke arah Raphael.

Peston meraung-raung, darah mengucur tanpa henti dan prajurit yang melihat itu merasa ngilu. Rachell menggigit putus penis Peston.

“Bunuh anak itu! Bunuh mereka semua!” jerit Peston histeris.

Empat penjaga langsung merangsek ke bilik tempat Raphael diikat, sementara satu orang langsung memberikan kristal ungu pada Peston. Rose yang berada paling dekat dengan bilik Raphael mendorong penjaga yang datang, sepertinya akal sehatnya sudah kembali.

“Binatang berengsek, jangan ikut campur!”

Seorang penjaga menjambak Rose lalu menggorok lehernya dengan cepat.

“Sister Rose!!!” aku, Elizabeth dan Maria berteriak bersamaan melihat bagaimana salah satu healer senior dibunuh demikian mudahnya.

“Kalian sungguh tak tahu diuntung! Jika saja Kastrelus tak membutuhkan kalian untuk mengerami kristal-kristal ini, kalian pasti sudah mati sekarang!”

Aku terkejut melihat luka di selangkangan Peston sudah tertutup, walau kini tak ada apa-apa di sana selain dua bola berbulu, batang penisnya sudah lenyap.

“Bawa mereka ke sini!” teriaknya.

Rachell dan Raphael digotong keluar dengan kaki terangkat. Mengekspos kelamin mereka sejelas-jelasnya.

“Perempuan tengik, bahkan seribu nyawamu tak bisa mengganti kontolku!”

“Bajingan busuk yang kerjanya cuma memperkosa healer seperti kami sudah memang harus dipotong tititnya!” cemooh Rachell, “aku ini membantu pekerjaan para penjaga neraka, lho!”

Prajurit yang memperkosaku tadi membisikan sesuatu ke telinga Peston, membuat pria itu tersenyum licik.

“Lalu bagaimana dengan saudaramu ini? Dia juga berzina dengan orang yang bukan pasangannya, lho… bahkan mungkin lebih besar dosanya?”

“Tidak mungkin Raphael melakukan hal itu!”

“Benarkah? Konon katanya bahkan pejuhnya sampai membuat Lady Theressa menggelinjang, bukan begitu, Raphael?”

“Huh?! A-apa maksudnya?”

“Apa lagi? Raphael menyetubuhi seorang High Priestess, pelayan tertinggi Dewi Haelis, bukankah itu dosa besar?”

“Bohong! Itu semua bohong! Tidak mungkin aku berani kurang ajar begitu!” bantah Raphael keras.

“Hey… hey… pikirmu tadi pejuhmu tadi keluar di mulutnya siapa?” timpal prajurit yang menopangnya, “kau menikmati itu semua, akui saja dosa-dosamu!”

Tanganku mengepal kuat, “kalian… bicara soal dosa… dosa… tahu apa kalian tentang dosa?! Aku melakukan itu atas kemauanku, aku yang menanggung dosa, bukan Brother Raphael! Tapi kalian… menodai kuil yang suci ini, melecehkan pelayan Dewi Haelis, dosa kalian tak akan diampuni!”

“Aku mengerti… Kalian para healer memang ahlinya ilmu agama, kaum-kaum fanatik pada konsep abstrak,” gumam Peston serius, “wahai healer sekalian, katakan padaku, antara memperkosa seorang healer dan berhubungan sedarah, mana yang lebih besar dosanya?”

“I-itu… sama-sama dosa besar menurut aliran Haelis, kan?” bisik Elizabeth gemetar.

Aku yang menyadari apa intensi Peston melotot, “Peston! Jangan berani-berani kau melakukan itu!”

Peston hanya tersenyum, “lalu bagaimana hukumnya jika pelaku hubungan sedarah itu adalah seorang healer?”

Para prajurit saling menghadapkan Rachell dan Raphael satu sama lain. Gadis itu berontak, menjerit dan meronta-ronta hingga butuh tiga orang untuk mengarahkannya, sedangkan Raphael yang kini telah buta dan memang terikat sedari awal tak bisa banyak melawan. Dua prajurit lainnya menghalau kami yang terus berusaha menghentikan aksi amoral itu.

“Hentikan itu! Mereka saudara kandung!” jerit Maria panik.

“Aku tahu, aku menantikan bayi seperti apa yang lahir dari pasangan sedarah kembar,” cibir Peston.

Kaki dua saudara kembar itu ditarik hingga melewati dada dan punggung masing-masing, selangkangan mereka bertemu dan saling bergesekan. Sebuah foreplay yang begitu dipaksakan namun entah kenapa efektif, mengingat penis Raphael perlahan mengalami ereksi. Nektar cinta Rachell juga mengalir pelan dari vagina kecil nan imut yang ditumbuhi bulu tipis.

“Hehehe… Sister Rachell, pentilmu berdiri, lho… jangan bilang kamu terangsang sama kontol saudaramu?” goda prajurit yang mendampingi Rachell.

“Saudarimu itu punya jembut yang tipis ya, Brother Raphael, memeknya kelihatan kecil, pasti sempit dan hangat sekali di dalam sana… sempurna sebagai sarang untuk kontolmu, kan?”

Kalimat-kalimat provokatif terus dilontarkan sampai wajah keduanya merah termakan hasrat birahi. Rachell juga sudah kehabisan tenaga dan tak bisa berontak lagi. Pelan-pelan, Peston mengarahkan ujung penis Raphael masuk ke vagina saudari kembarnya.

Aku dan Maria hanya berpelukan tak tega melihatnya, sementara Elizabeth berjongkok di dekat Sigmund yang sekarat.

“Hey lihatlah sister-sister sekalian, ternyata tanpa dibantupun mereka sudah bisa sendiri!”

Teriakan Peston disambut gelak tawa prajurit lain saat melihat pinggul Rachell bergoyang sendiri saat bersenggama dengan saudaranya. Begitu juga dengan Raphael yang tampak pasrah begitu saja, mereka sudah termakan nafsu.

“Menunduk!”

Saat itu kudengar suara laki-laki yang dipenuhi amarah dari arah belakang. Tanpa perlu peringatan kedua, segera kutarik bahu Maria hingga dada besar kami menggencet lantai.

“Teknik Pembunuh Iblis : Tebasan Bulan Sabit!”

Angin tak bergerak, bahkan tak ada suara, tapi dua kepala prajurit yang menghalau kami kini jatuh di lantai. Ekspresinya begitu datar seolah tak tahu apa yang membunuh mereka. Tapi nama teknik itu, aku sungguh mengenalnya. Salah satu teknik andalan Arthan yang digunakan khusus untuk membunuh musuh yang punya kekuatan fisik jauh lebih besar, tapi tak pernah digunakan pada manusia.

Aku mendongak ke atas, seorang laki-laki menempel di langit-langit menahan gaya sentrifugal dari lajunya saat tebasan pertama. Tubuh Sigmund yang sebelumnya ada di belakangku sudah tak tampak, hanya Elizabeth yang terengah karena menggunakan mantra healing sekuat tenaga.

“Teknik Pembunuh Iblis : Pusaran Pedang!”

Itu juga jurus Arthan! Lelaki tersebut menendang langit-langit langsung ke arah tiga empat penjaga yang mengerubingi Raphael dan Rachell. Pedangnya berputar di tangan lalu dengan sabetan kuat, langsung menebas seorang prajurit secara diagonal.

Dia tak berhenti, ketika setitik ujung kakinya menyentuh lantai, tubuh bagian atasnya berputar dan membuat gerakan bak angin puting beliung tajam yang bisa membunuh para prajurit yang tersisa. Laki-laki itu berdiri, badannya penuh darah dengan mata yang memancarkan aura membunuh begitu kuat.

Kakinya direnggangkan dengan pedang diangkat sebahu, menghunus ke arah Peston yang terpojok di sudut toilet.

“Tu-tunggu… hentikan, jangan bunuh aku! Akan kuberikan segalanya, wanita? Ha-harta?! Kumohon!”

“Teknik Pembunuh Iblis : Penghakiman Dewa!”

Lantai bergetar saat lelaki itu melompat cepat, menusuk Peston tepat di jantung hingga menancap di tembok di belakangnya. Serangannya begitu kuat hingga tembok itu bergetar dan retak membentuk pola lingkaran.

“Semoga Dewi Haelis mengampuni dosa kalian, bisiknya.”

8jZLf25A_o.png

“Eeh?! Kalian dulu rekan seperjalanan?!”

Elizabeth terkejut mendengar keteranganku, Maria dan Rachell yang melepaskan ikatan Raphael juga tak kalah kaget.

“Begitulah, Arthan, Sigmund, aku, dan Wyndell dari negeri Elf berpetualang bersama untuk mengalahkan raja iblis,” terangku sambil mengenakan pakaian.

“Kupikir hanya ada tiga pahlawan, termasuk Nona Wyndell.”

“Sigmund memang tak suka hal-hal seperti itu, terlebih dia ingin hidup tenang ketika semuanya selesai bersama…” kalimatku terhenti, semua orang melirik ke arahku juga Sigmund yang masih mendoakan jenazah Rose.

“Bersama Irma, aku bertemu dengannya di akhir masa petualangan… tak kusangka dirinya harus bernasib mengerikan seperti ini!” geram Sigmund penuh emosi.

Kutepuk bahunya lalu berlutut di hadapan mayat Rose yang tergorok, “maafkan kami karena tak bisa memberi pemakaman yang layak untuk kalian, Irma, Rose… Tapi aku yakin setelah semuanya selesai, akan kami beri penghormatan terbesar atas pengorbanan kalian.”

“Theressa… apa rencana Kastrelus ada kaitannya dengan itu?”

“Aku takut demikian, terutama setelah bagaimana kristal itu bereaksi pada tubuh Girth!”

Elizabeth mendekat dengan wajah bingung, “apa maksudnya? Apa rencana Kastrelus?”

“Mebangkitkan kembali raja iblis!”

“Hah? Tapi bagaimana?!”

Maria membersihkan kacamatanya, “saat di kamar… Pangeran Roullard sempat bilang ingin menjadi raja iblis yang baru, lainnya juga tak berniat membangkitkan raja iblis, beranggapan kristal itu hanya memberi kekuatan sihir yang luar biasa.

Aku menatap Maria serius, “tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada Girth bukan, Maria? Itu bukan sekedar memiliki kekuatan layaknya iblis, Girth benar-benar berubah menjadi iblis!”

Rachell bergabung sambil menuntun saudaranya yang kini mengenakan penutup mata, “tunggu, itu artinya Kastrelus menipu mereka?”

“Tipu daya adalah trik Kastrelus, dia mencapai tujuannya dengan menjadikan orang lain sebagai bidak dan tumbal,” terang Sigmund.

Elizabeth menunduk, “tumbal ya… entah tanpa sengaja atau tak sengaja, kita sudah membunuh manusia lain di kuil ini, walau itu demi membela diri…”

“Eh? Tunggu, itu artinya Roullard dan Kastrelus sudah kehabisan pengawal, kan?!” tanya Raphael kaget, “jika dengan kekuatan Kapten Sigmund, kita pasti bisa menang!”

“Masih ada iblis yang kalian ceritakan, kekuatan iblis tak bisa dibandingkan dengan manusia, bahkan Arthan dan Sigmund butuh koordinasi yang baik dan dukungan dari healer untuk mengalahkan satu iblis!”

“Tapi Lady Theressa, saat mengalahkan Girth-“

“Aku hanya beruntung, kita tak bisa berharap kebetulan seperti itu datang lagi.”

Getaran keras mengguncang bangunan toilet ini hingga membuat lantai dan tembok retak. Gempa itu tak natural dan terulang beberapa kali.

“Eh? Apa ini! Gempa?!”

Tanah mulai terbelah, tangan hitam menjalar dari tiap retakan. Maria berusaha membuka pintu namun sepertinya terhalang oleh sesuatu, hingga akhirnya Sigmund turun tangan dan memotong kayu tebal tersebut.

“Lady Theressa, tongkatnya!” teriak Maria sambil melemparkan tongkat high priestess ke arahku.

Kutangkap dan kuhentakan tiga kali “LUX OBLITO!”

Cahaya berpendar bak gelombang kejut, menghapus tangan bayangan yang menjalar dari celah di tanah. Setidaknya untuk sementara.

Di pintu bangunan utama aku bisa melihat dua orang berdiri. Satunya menari-nari bak orang gila, menjadi pusat kemunculan tangan bayangan.

“Hari panen, hari panen, saatnya mengekstrak intisari daging-daging segarku!” teriaknya hingga menggema.

Entah apa maksudnya, tapi firasatku buruk. Terlebih ketika aku merapal mantra, sensasi kutukan succubus menjalar hingga ke bekas luka tusukan yang dilancarkan raja iblis dulu. Aku bukanlah orang yang percaya akan kebetulan, Kastrelus juga bukan tipe penyihir yang melakukan sesuatu tanpa rencana. Rasa sakit di bekas lukaku adalah sebuah pertanda!

“Elizabeth, Raphael, Rachell, kalian tak ditanamkan kutukan succubus, kan?” tanyaku.

Ketiganya menggeleng.

“Kalian di tengah! Raphael rapalkan mantra perlindungan yang kau mampu di sekitarmu dengan radius tiga meter, kau tak perlu menentukan kordinatnya, cukup di sekitarmu saja, bisa?”

“Aku akan coba!” jawabnya sambil mulai merapal.

“Rachell, Elizabeth, rapalkan Daemon Repellere, jangan sampai terputus!”

Keduanya mengangguk.

“Maria, ambil senjata. Kau, aku dan Sigmund akan menyerang di lapisan luar!”

“Ta-tapi, Lady Theressa, aku tak bisa seni pedang!”

“Bukan masalah, selama ayunkan sekuat tenaga jika bahaya mendekat itu sudah cukup,” timpal Sigmund.

Kami membuat formasi seperti segi tiga dengan tiga orang di luar dan tiga orang di dalam. Beberapa undead yang dibangkitkan Kastrelus mulai mendekat namun kuhalau dengan tongkat. Sigmund dan Maria juga menebas tengkorak-tengkorak itu dan membuka jalan ke arah gedung bangunan lama.

“Elizabeth, Rachell, begitu pintu terbuka arahkan Daemon Repellere pada iblis yang menjaga altar, setelah itu kalian lari ke tujuan kita!”

Semakin kami dekat ke gedung lama, semakin ngilu dan nyeri rasanya jantungku. Seolah luka dan tusukan itu baru saja terjadi. Sigmund menendang pintu kayu yang telah termakan waktu. Elizabeth dan Rachell memiringkan lingkaran sihir yang telah mereka bentuk ke depan, langsung mengarah ke ujung lorong. Sinar terang ditembakan langsung menuju sosok pemilik siluet bersayap besar. Kami bersiap untuk menerobos begitu Daemon Repellere selesai mengeksekusi iblis tersebut.

Huh?

Debu beterbangan tapi tanduk besarnya yang seperti ogre masih terlihat kokoh. Lingkaran sihir hitam mengelilingi di beberapa titik. Cahaya dari sihir Elizabeth dan Rachell juga membuat banyak kilauan ungu di sisi altar.

“Ada pelindung sihir… dia dilindungi perisai sihir!” seru Rachell panik.

Mereka kembali ke posisi semula, tapi aku dan Sigmund yang mengenali betul sosok iblis yang duduk beberapa meter di depan kami terpaku ngeri. Tak percaya dengan apa yang kulihat sebelumnya.

“I-itu… raja iblis…” bisik Sigmund.

Maria dan lainnya terbelalak tak percayah, “mustahil… tapi bukannya dia sudah mati?”

Tak sempat ada yang merespon, Sigmund langsung berbalik dan mengayunkan pedangnya ke sampingku.

Dentingan besi menggema, membuatku dan para healer tersungkur di lantai kayu altar yang telah lapuk. Tatapan tajam Sigmund tak gentar melihat pangeran Roullard mengintimidasinya dengan pedang hitam dari tulang.

“Paladin, kau punya refleks yang bagus…” bisiknya.

“Sigmund! Hati-hati, aku merasakan aura iblis terpancar darinya!”

Kastrelus menepuk tanganya dan muncul dari balik tubuh Roullard, “seperti yang diharapkan dari Lady Theressa, bahkan bisa merasakan potensi iblis dari tubuh manusia!”

Dengan satu ayunan lebar, Roullard berhasil melempar tubuh Sigmund hingga menghancurkan beberapa bangku kayu di dekat tembok.

“Kastrelus, kekuatan ini sungguh luar biasa!” gumam pangeran itu takjub.

“Pangeran Roullard, hentikan ini… kau sudah ditipu Kastrelus! Tidakkah kau tahu siapa makhluk itu?!” tunjukku pada sosok raja iblis yang terbelengu segel sihir.

“Keroco, aku tak peduli dengan iblis rendahan seperti itu, karena aku akan menjadi raja iblis terkuat!”

Tanganku mengepal, “sosok yang kau sebut keroco, adalah raja iblis Agmun.”

Roullard tersentak, dia menoleh ke arah Kastrelus yang tersenyum penuh makna. Menyeringai dan menunjukan giginya yang besar.

“Kastrelus, apa maksudnya ini?! Kau ingin membangkitkan raja iblis Agmun?!” bentak Roullard.

“Oh, tidak tuanku… DNA raja iblis dibutuhkan untuk suksesnya ambisi anda, begitu juga kristal yang menjadi sumber kekuatan raja iblis.”

“Jadi kenapa seluruh tubuh iblis itu ada di sini?”

“Tentu saja untuk membuat anda menjadi iblis terkuat anda harus melebur bersama tubuh yang kuat.”

“Jangan bercanda… melebur katamu? Kau ingin membuat iblis baru yang bahkan bukan aku!”

Pedang Roullard diacungkan ke arah Kastrelus, namun penyihir itu menghentikan pergerakan sang pangeran dengan tangan-tangan bayangan yang muncul dari lantai. Tangan hitam itu juga menggerayangi tubuh kami dan mengikat Sigmund tak berdaya.

“Sudah terlambat untuk mundur, Pangeran… karena ini sudah waktunya untuk memanen.”

Rachell terbatuk, diikuti Maria, Elizabeth, Raphael dan akhirnya diriku. Lendir lengket berwarna ungu keluar dari mulutku. Itu substansi kristal iblis mentah, tapi warnanya sudah berubah. Apa sudah murni?

“Healer-healer sekalian, sudah berapa kali kalian bersetubuh? Kuharap sperma iblis bisa terserap dengan baik dan kalian bisa memproduksi kristal yang besar dan murni.”

Kastrelus menjentikan jarinya, tangan bayangan itu merespon dengan mencabik pakaian kami hingga bugil. Elizabeth dan lainnya menjerit ketakutan, tangan itu tak hanya menanggalkan pakaian, tapi juga meremas payudara dan memainkan liang senggama kami hingga benar-benar horni.

Kami akhirnya dibawa menuju altar, tepat di depan tubuh raja iblis Agmun. Kastrelus membuatku dan Maria menungging dengan tangan dan lutut menopang badan layaknya hewan berkaki empat. Di antara kami Raphael mengangkang dan mengkspos penis serta anusnya. Begitu juga Rachell dan Elizabeth, vagina mereka hanya berjarak beberapa sentimeter dari hidungku.

Dari sela ketiakku bisa kulihat necromancer busuk itu menanggalkan pakaiannya, menunjukan penis hitam dan kotor penuh smegma. Jangan bilang dia juga ingin memperkosa kami?! Aku dan Maria menjerit kecil saat tangan kasar Kastrelus menyentuh pantat kami, jarinya yang panjang dengan kuku pecah-pecah bergerak pelan di sekitar dubur.

“Sudah lama aku tak menikmati kehangatan manusia seperti ini, pada pangeran melakukan tugasnya dengan baik.”

Kejantanan panjang nan kotor milik lelaki itu diarahkan ke anus Raphael.

Orang ini ingin menyodominya? Raphael adalah anak laki-laki, tapi Kastrelus tak memperdulikan itu semua.

“Arrrhhh!!!!”

Raphael menjerit ketika kontol Kastrelus melakukan penetrasi, bisa kulihat gundukan kecil berjalan di perutnya yang rata. Seolah ada ular yang simasukan ke dalam sana, menjalar terus hingga ke susus. Kugenggam tangan Raphael, begitu juga Maria. Kami berdoa, mencoba tegar untuk menghadapi ini semua. Rachell dan Elizabeth turut mencakupkan tangannya dan memohon perlindungan Dewi Haelis bersama kami.

“Luar biasa, para healer asuhanmu ini sungguh hebat! Bahkan saat ngentot gini kalian berdoa! Saya sungguh tersentuh, Lady Theressa!” teriak Kastrelus, “sebagai wujud perasaanku, akan kubuat proses pemanenan ini berkesan bagi kalian bersama!”

Kastrelus langsung menghujamkan tangan kurusnya ke duburku. Mataku melotot, mulutku menganga dan langsung jatuh ke daging empuk di bawah perut Elizabeth.

Sakit… sakit… sakit!!

Sebuah tangan masuk ke dalam saluran pembuanganku begitu cepat, tanpa dilumasi, tanpa pemanasan. Rasanya jantungku seperti mau berhenti, darah segar mengalir dari hidungku karena syok yang teramat sangat. Kulihat Maria yang diperlakukan juga langsung muntah-muntah, mulutnya kembali berbusa sementara Elizabeth dan Maria menonton dengan ekspresi ngeri.

Air kencing kami mengalir deras, tak bisa kuhentikan walau sangat ingin. Mungkin hingga siku tangan Kastrelus tertanam di liang pembuanganku. Suara gas dan sesuatu yang basah menyeruak dari bokong Maria. Bisa kulihat matanya seperti terbalik, kacamata bulat dan tebal itu tak bisa menutup ekspresi teror penuh siksaan Maria.

“Guhhh!!! Cabut… cabut tanganmu!!” jeritku ketika Kastrelus memutar tangan kurusnya.

Orang itu tak berhenti, dia mengobok-obok tinja dalam dubur kami, seperti mencari sesuatu di dalam sana. Dengan cepat ditariknya tangan itu, kini sudah belepotan kotoran kuning dari dubur Maria dan coklat dari anusku. Kastrelus mengepal sesuatu yang lembek dan berbau busuk lalu melemparkannya ke dada Raphael.

“Bahkan wanita-wanita cantik seperti kalian juga menyimpan tai sebau ini rupanya,” ujar Kastrelus santai, “kristal itu pasti ada di tempat yang lebih dalam. Mungkin aku harus mulai dari yang lebih muda.”

“Hei! Hentikan, lepaskan tangan kotormu!” jerit Rachell murka.

“Ini kotorannya Lady Theressa dan Sister Maria lho, gadis muda… apa kau jijik dengan sesuatu yang keluar dari seorang yang kau puja?”

Kuremas tangan licin Kastrelus yang kini berbau busuk, “jangan sentuh mereka… hanya kami yang mengerami kristal itu, bukan?!”

“Oh astaga, Lady Theressa… apa aku lupa mengatakan? Saat kau terlelap dalam ilusi bersama Tuan Arthan… gadis-gadis muda ini telah kujejalkan substansi kristal mentah dalam tubuhnya, setelah diperkosa prajurit-prajurit itu aku yakin kristalnya sudah matang.”

“Kau… bohong, kan?”

“Untuk apa aku berbohong, ingin buktinya?”

Kastrelus menjentikan jari dan menyeret Roullard sambil melepas pakaian pangeran itu ke arah kami. Memmbuatnya berlutut dan mengarahkan penisnya ke bibir Elizabeth. Gadis itu meronta, namun tangan bayangan Kastrelus mengunci leher dan pipinya, membuat mulutnya terbuka hingga Roullard bisa dengan mudah memperkosa mulut Elizabeth.

“Hnnggh! Hnggh!”

“Arrrgh!”

Keduanya mengejan kuat, Roullard memompa sperma putih dan kental langsung ke tenggorokan Elizabeth sehingga perutnya membuncit karena kepenuhan. Air kencing gadis itu keluar dan membasahi wajahku, tapi bukan itu yang sangat kukhawatirkan. Sesuatu mencuat dari duburnya, sebuah kristal berwarna ungu yang dilapisi kotoran kuning.

“Walah-walah, kalian sepertinya memproduksi kristal sampai terlalu besar, kalau tidak dikeluarkan sekarang kalian bisa mati, lho!”

Begitu selesai dengan Elizabeth, Roullard dipindahkan ke arah Rachell. Laki-laki itu melakukan hal serupa hingga kristal juga muncul di anusnya.

“Nah, healer-healer sekalian apa yang harus kalian lakukan? Haruskah kubedah perutnya?”

Kulihat Rachell dan Elizabeth begitu kesakitan, hidung mereka mimisan dan wajah mereka pucat. Wajah Irma yang tewas ketika melahirkan terbayang dalam ingatanku, aku tak mau itu terjadi lagi. Tak akan kubiarkan ada healer yang mati di depan pengawasanku!

“Sister Maria, kita bantu mengeluarkan benda ini!” seruku cepat.

“Eh?! Ta-tapi?!”

“Lakukan seperti proses persalinan! Sister Elizabeth, Sister Rachell, kalian bisa mendengarku?!”

Keduanya mengangguk pelan sambil menahan nyeri.

“Jangan tegang, rilekskan otot pantat kalian, anggap saja sedang berak!”

Elizabeth dan Rachell melenguh panjang, sementara aku dan Maria menekan perut keduanya dari atas ke bawah, seperti alur mengeluarkan bayi dari dalam rahim ibu hamil.

“Auhh!!!”

“Ada apa? Maria?!”

“Punyaku… juga… mau keluar…” erang wanita berkacamata itu.

Aku juga merasakan sakit seperti gelondongan besar yang keluar perlahan. Keras dan tajam, ini jelas-jelas bukan kotoranku.

Hebat… hebat!!! Lady Theressa, milik anda yang paling murni, yang paling besar! Sungguh tak sia-sia berkat Dewi Haelis yang bersemayam di sana!”

Aku mengejan hebat, tak peduli lagi kencing yang membanjiri altar ini, tapi kristal itu tetap tak mau keluar dari duburku, seperti tersangkut. Maria sepertinya melakukan hal yang sama sambil terus menekan perut Rachell.

“Guhhh!”

Mulutnya mengeluarkan busa bersamaan dengan suara kentut yang begitu keras. Kristal milik Maria sudah keluar setengahnya namun wanita itu langsung pingsan menindih perut Rachell. Tentu saja Rachell berteriak kesakitan menopang beban setengah tubuh Maria.

“Lihat Lady Theressa, dengan usaha sendiri Sister Maria mampu mengeluarkannya!” seru Kastrelus, “yah… walau bukan cuma kristal itu yang keluar, rahim sister Maria sepertinya punya otot yang tak terlalu kuat sampai bisa ambrol begini.”

Kastrelus mencabut kristal sebesar tangan orang dewasa dari pantat Maria lalu menggendongnya. Kotoran kuning berserakan dan tak berhenti keluar dari anusnya yang telah longgar. Maria kini didudukan di penis tubuh raja iblis Agmun.

Aku terbelalak ketika melihat Kastrelus bermain-main dengan daging merah jambu yang menggantung di pintu kemaluan Maria.

Itu rahimnya?! Maria mengalami uterine prolapse karena tekanan besar saat mengeluarkan kristal tersebut. Umumnya uterine prolapse atau rahim yang keluar dari wadahnya bisa kembali secara otomatis, tapi tak kulihat ada reaksi apapun di otot vagina Maria, apalagi rahimnya ambrol terlalu jauh. Itu tak akan bisa kembali… Maria harus hidup seumur hidupnya dengan isian vagina yang menggantung di sela-sela paha!

“Jadi Sister Maria, mari kita perbaiki memekmu.”

Serasa disiram air dingin rasanya ketika tangan-tangan bayangan Kastrelus mengangkat Maria sejajar dengan penis raja iblis.

“Hentikan… kumohon… Maria… bisa mati!”

“Kita belum tahu itu kan? Tak ada salahnya dicoba…”

Kaki Maria yang telah direnggangkan turun perlahan, selangkangannya berada di sudut yang sama dengan penis tegak seukuran anak manusia itu.

“Gauhhh! Ahhh! Ahh! Hentikan!!!” jerit Maria tersadar akan apa yang terjadi.

Rachell, Elizabeth dan Raphael meraung tak terima sosok sister yang bagai ibu mereka sendiri disiksa sedemikian rupa. Darah yang sangat banyak tumpah ketika kontol raksasa itu menyobek liang peranakan Maria.

“SANATIO! SANATIO! SANATIO!”

Aku melempar mantra penyembuhan bertubi-tubi ke arah Maria, namun kemaluannya yang berkali-kali disembuhkan dan hancur pada interval waktu hampir bersamaan justruk menyiksanya. Tak kehabisan akal kuraih tiga healer muda di dekatku.

“Mengejanlah sekuat tenaga! Tahan rasa sakitnya, akan kusembuhkan saat bersamaan!” jeritku panik.

Dengan segenap kekuatan, kutekan perut Rachell dan Elizabeth hingga kristal berikut feses setangah cair mereka menyembur keluar.

“SANATIO!” teriakku lantang, langsung menyembuhkan luka-luka dan pendarahan keduanya.

Rasanya sungguh mengerikan, otot-ototku seperti terkoyak, tulangku seakan temuk. Aku berusaha melepas bekapan tangan bayangan Kastrelus dengan merapal mantra suci untuk melemahkannya. Hingga akhirnya kami bisa membebaskan diri.

Tapi semuanya sudah terlambat, Maria kini tak bergerak. Matanya yang sembab menatap kosong tanpa adanya tanda kehidupan. Perutnya menggunduk karena penis raksasa tertancap begitu saja dalam rongga kelaminnya. Maria sudah tewas.

Aku menggeram, “Raphael… kata-kataku yang sebelumnya…”

“Ba-baik! Rachell, Elizabeth! Kita harus ke tempat Sigmund!”

“Eh? Tapi, Lady Theressa!”

“Sudah, ikuti saja!”

Rachell dan Elizabeth langsung berlari sambil menuntun Raphael. Tubuh kami sudah kotor dengan feses kami sendiri, sebuah metafora yang mewakili keputusanku yang bulat untuk mengotori tangan ini dengan dosa besar.

Kastrelus yang melihat para healer berusaha membebaskan Sigmund langsung meraih sebuah kristal dan berjalan ke arah Roullard. Dia ingin mengubah pangeran itu menjadi iblis, aku sudah membaca gerak-geriknya!

Aku langsung berlari dan menepis tangan Kastrelus sebelum sempat. Sang necromancer tersentak kaget melihatku menghalangi. Kuraih kristal yang setengahnya masih tertancap di duburku, kutarik kuat tanpa peduli bagaimana itu menghancurkan organ ekskresiku dan langsung kutancapkan pada dada Kastrelus. Penyihir itu gelagapan namun berhasil menahan posisinya, dengan tiba-tiba dia memelukku erat hingga kristal yang menancap di dadanya menusukku juga.

Darah segar kumuntahkan, kulempar Kastrelus yang sudah tak bernyawa ke samping. Entah mengapa rasanya begitu panas, seperti ditusuk oleh besi membara. Selagi kesadaranku masih ada, aku berusaha menurunkan Maria, tapi entah kenapa kristal yang menancap di dadaku menyerap tubuh raja iblis Agmun.

Aku menjerit, suaraku menggema hingga perlahan kuil tua ini mulai runtuh. Pilar besar roboh dan menimpa Roullard, membunuhnya seketika. Kulihat kulitku kristal ini mulai masuk dan menutup luka, kulitku yang putih berubah menjadi abu-abu. Kepalaku pening, punggungku sakit, semakin berat seperti ada sesuatu yang tumbuh di sana.

“Lepaskan aku! Lepakan aku! Lady Theressa masih berada di sana!” teriak Elizabeth ketika Sigmund menggendongnya keluar. Rachell juga menangis dan tak berani menatapku, sepertinya Raphael sudah menyampaikan pesannya dengan baik.

Maafkan aku, Elizabeth…

Maaf karena tak sempat mengatakan ramalan ini kepadamu.

Kebangkitan raja iblis baru tak bisa terelakan, bagaimanapun aku berusaha takdir itu akan selalu datang. Tapi bersamaan dengannya, maka seorang pahlawan baru akan datang. Maka untuk itu kau harus selamat.

Kutatap wujud baruku di cermin besar yang ada di belakang altar, sosok wanita bertanduk dan bersayap dengan mata seperti naga. Betapa mengerikan...

764leWPF_o.png

Sungguh ironis bagaimana ini terjadi, aku sudah tak pantas menjadi healer, atau bahkan memuja Dewi Haelis lagi.

Hidupku sebagai Theressa sang high priestess berakhir di sini, tapi perjalananmu masih panjang, Roullard akan mengajarkanmu teknik berpedang, kau akan menemukan teman-teman baru, era petualang kembali datang.

Ketika hasratku sebagai raja iblis mengambil alih, aku akan menantimu.

Aku yakin kau bisa membunuhku…

Pahlawan dalam ramalan, Elizabeth.

4zJiYCWu_o.png
Selamat ya gan udah rilis

Anime nya keren dah....coliable :coli: :coli:

Sekali lagi congratz:beer:
 
Yesss. Akhirnya....
Selamat ya gan udah rilis

Anime nya keren dah....coliable :coli: :coli:

Sekali lagi congratz:beer:
Sepertinya ini karya terpanjang sejauh ini :D
Selamat atas karyanya @superkudit di gelaran LKTCP 2019


Selamat Berkarya :beer:
Selamat Suhu, keren ceritanya! Salut.
Akhirnya runner up tahun kemarin hadir juga :mantap::mantap::mantap:

Masang tenda dulu deh, sekilas liat gambarnya sih nggak ada tentakel2 lagi, tapi gatau lagi deh 😏😏😏


Terima kasih suhu2 sekalian, selamat menikmati
 
Luar biasa, brad. Liar dan keren banget serasa film hentai kualitas mantap :jempol:

Scene-scene-nya ngeri tapi ya gw konak juga bacanya :ugh:

Plus, Lady Theresa coliabel banget buat gw, :konak: endingnya memuaskan batin, tapi kok agak 'gantung' ya... sepertinya bakal ada sekuel nih. Petualangan Elizabeth :pandajahat:

( btw, gw suka bgt illustrasinya, keren. Imuuut banget haha terutama bagian mata + ekspresi wajah :konak: . Jadi kepengen bisa gambar nih, tapi coretan gw masih mirip anak TK :bata: )

Wakakaka.... tq Hu.
Iya ini cerita tentang Theressa doank soale, dibikin endingnya kayak "awal untuk cerita baru" gitu sih wkwkwk.


Seru nih mantapp
Mantap awal sampai akhir penuh dan benar2 sadis tu adegan panasnya. Bisa bikin lanjutannya atau cerita sebelumnya nih

Terima kasih suhu2 sekalian.

Btw sori keknya banyak bgt typo karena gak smpet proofread, ntar diedit secara berkala kalo nemu.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd