Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tidak Seperti yang Ku Bayangkan

Chapter 2 : Sayur Nangka

Hari – hari Ku lalui dengan sangat bosan. Kapan musim hujan datang. Jika panas begini, halaman rumah pasti berdebu. Jika sudah berdebu, Aku harus membersihkan halaman. Baru pulang sekolah sudah harus bekerja lagi. Tak apalah, daripada bosan. Setelah membersihkan halaman, Aku masuk ke dalam dan sejenak duduk di ruang tamu.

“Ibu mana?” tanya Bapak yang baru masuk ke rumah.

“Pak, bisa kali itu tangan dicuci dulu di depan.”

“Iya, nanti.” jawabnya sambil menuju ke kamar.

Aku segera ke lantai atas untuk mandi, ganti baju dan istirahat. Inginku segera tidur.

Ku lihat di depan cermin ada seorang laki – laki pemalas sedang mengamati dirinya. Lumayan tegap juga gw.

“Dio…!”

“Auch!” segera Ku tutup diriku dengan handuk. Tiba – tiba Ibu memanggilku dari pintu kamar. Kepalanya jelas terlihat masuk. Ibu mengagetkanku.

“Ibu! Kenapa gak ngetok dulu sih?!” protes ku.

“Kamunya yang pintunya gak ditutup. Kamu tuh Nak.. Nak… mandi siang – siang. Mmh, nanti jam empat nanti anterin Tante Mu pulang ya. Bapak gak mau. Bapak langsung balik lagi ke bengkel pas Ibu minta.” pinta Ibu.

“Lah, sejak kapan Tante dateng?”

“Tadi jam sepuluh. Ya ? Jam empat loh.”

“Mau tidur Bu.”

“Eeh…. (terlihat Ibu menatapku tajam). Kamu makan dulu di bawah. Ibu buatin sayur nangka.”

“Okey.” jawabku pasrah.

Aku tak pernah bisa membantah Ibu. Ibu selalu menguasai semuanya. Tapi karena itu, semuanya aman, makanan, belanja, kebutuhan. Aku pun menutup pintu kamar. Tapi, saat Aku menutup pintu jantungku berdegup kencang. Ibu memanggilku dengan hanya mengenakan sarung, itu pun tidak dililitkan, hanya dipegang oleh satu tanganya. Terlihat punggung Ibu. Deg! Sekilas terlihat bagian samping payudaranya. Segera saja Ku tutup pintu.

***​

Sehari setelahnya, Aku kembali mengunjungi rumah Zima. Kami selalu mengobrol tentang banyak film sejak tempo lalu. Zima yang orangnya kalem, ternyata punya hobi sama. Kami pulang menggunakan angkutan umum. Zima sebenarnya memiliki mobil, tapi enggan ia gunakan karena bisa macet dan parkiran di sekolah juga terbatas. Setelah sampai, Kami masih harus berjalan ke dalam perumahan. Ya lumayan.

“Siang, Tante.” sapaku pada Ibunya Zima.

“Eh, Dio. Gimana? Baik?” ramahnya Ibunya Zima ini.

“Baik Tante.”

“Itu, Kalian makan dulu. Tante udah masakin ayam sama sayur nangka kesukaan Zima.” rayu Ibunya Zima.

Sejenak Kami makan, Ku lihat Zima hanya mengambil sedikit sayur nangka.

“Dikit amat Zim sayurnya. Ini kan kesukaan Lo.”

“Nyokap gw yang suka. Semua sayur dibilang kesukaan gw.”

Mendengar jawabanya, Aku pun sama. Kemarin sayur nangka, sekarang? Yah…makan sajalah.

“Ini, tambahin tahu. Ini juga ada sosis. Ini kiriman dari Ayahnya Zima, Dio. Beda ya, sosisnya dengan yang di sini. Ini baru sosis namanya.” jelas Ibunya Zima.

Wah, ini baru pertama kalinya Aku melihat sosis begitu besarnya. Rasanya pun beda. Penuh dan dagingnya terasa sekali.

“Ya, beginilah Dio. Setiap hari cuma makan berdua sama Zima. Kakakya udah tiga tahun lalu gak ada. Papa Zima kerja di luar, pulangnya setahun sekali, kadang dua kali. Itu pun paling lama sebulan, kadang juga dua minggu. Yah, namanya nyari rezeki….”

Sepanjang makan, hanya Ibunya Zima yang berbicara. Aku dan Zima hanya mendengarkan. Dari ceritanya, ayahnya sudah bekerja di luar sejak delapan tahun lalu. Pilihan sulit sebenarnya, tapi profesi dan pendapatan yang ditawarkan tak bisa ditolak. Awalnya Ibunya Zima tidak tenang, tapi lama – lama terbiasa. Kepergian Kakaknya Zima pun tak dapat membuat Ayahnya berubah pikiran.

“….Ya asal Ayahnya selalu rutin ngasih pendapatannya, Tante gak masalah. Rumah, kendaraan, dan sekolahnya Zima nanti aman bisa Tante maklumi. Jajan juga gak masalah.” jelasnya sambil membersihkan piring dan membawanya ke dapur.

Lama juga Aku mengobrol dengan Zima. Ia banyak bercerita tentang film, game, dan lainnya. Zima anaknya hommy , sekolah, pulang, makan, nonton, main game, tidur. Gitu – gitu aja kehidupannya. Sepi.

Sudah jam lima. Aku kemudian pamit kepada Zima. Zima pun segera mengantarkanku ke depan rumah. Zima beberapa kali memanggil Ibunya, tetapi Ibunya tak menyahut.

“Gw anterin Lo ke depan ya. Gw sekalian mau beli makanan di minimarket. Apa Gw anterin ke rumah sekalian?” tawarnya padaku.

“Wah, gak usahlah. Di depan aja.”

“Buku gw udah Lo bawa kan?” tanya Zima memastikan Aku membawa buku yang akan Ku pinjam.

“Bentar (memeriksa di dalam tas). Wah, masih di kamar kayaknya.”

“Yeh, untung Gw nanya. Udah ambil sana di kamar. Gw nyalain mobil sekalian nurunin.”

Segera Aku masuk lagi ke dalam. Dengan langkah agak sungkan Aku berjalan ke kamar Zima dan mengambil buku. Saat akan kembali keluar, Aku melewati kamar Ibunya Zima, pintunya hanya tertutup setengah. Deg! Ku lihat Ibunya baru saja melepaskan handuk dan memakai kimono. Kulitnya terpendar oleh cahaya lampu kamar. Sesaat mengenakan kimono, Ibunya menangkap Aku yang mematung di depan pintu. Awalnya Aku ingin pamit, tapi keadaannya Ibunya baru saja mandi. Aku juga salah, kenapa mematung, bukannya langsung pergi. Aku terpergok dan terperangkap tatapannya.

“Eh, eh…Saya pamit…Tt…Tante (menelan ludah).” jawabku gugup.

Ia hanya tersenyum. “Sini, pamit sama Tante.” panggilnya.

Perlahan Aku masuk dan mencium tangan Ibunya Zima. “Maaf Tante…”

“Hati – hati ya. Temenin Zima, Dia gak ada temannya.”

Kemudian Aku pun pulang dan diantar sebentar oleh Zima. Di dalam mobil Aku tak banyak bicara. Aku pun agak gugup. Bisa mampus gw klo ketahuan. Hal yang membayangiku sepanjang perjalanan pulang adalah senyuman Ibunya Zima yang tersirat banyak makna. Ah....
yaaahh,,,,
 
Chapter 4 : Hantu Zifa

Kejadian tempo lalu membuatku tak tidur tenang. Pertama kalinya Aku menyentuh wanita. Menyentuh langsung di payudaranya. Payudara yang pernah Ku sentuh hanya Ibuku waktu masih menyusu dulu. Tapi, ini beda. Aku benar – benar terangsang. Aku ngaceng kuat. Aku tak tahu apakah Ibunya Zima merasakan saat Joniku ngaceng.

Dio…Dio…”

Seseorang samar memanggilku. Kepalaku terasa berat. Ku lihat seseorang memanggilku. Ah, payudara. Aku melihat payudara. Payudara memanggilku. Oh, Ibunya Zima membangunkanku. Plak!

“Oh, Ibu... kenapa Bu?” ternyata Ibuku yang membangunkanku. Ibu mengeplak dahiku.

“Makan dulu Nak. Kamu, dibangunin Tia gak bangun – bangun.”

“Oh, iya.” Aku pun bangkit dan bergabung bersama dengan keluarga untuk makan malam.

Saat inginku duduk, Ku lihat Tia menatapku geram.

“Apa sih Lo? Orang Gw lagi tidur.”

“Au Ah!” balas Tia.

“Eh, mau makan malah ribut.” sergah Ibu.

Oh tidak. Ibu memakai daster dengan tali tipis. Ku kernyitkan dahiku menatapnya. Ternyata Ibu memakai bra. Uh, untung saja. Jika tidak, pusing kepalaku. Aku pun makan. Ku lihat Tia masih saja menatapku tajam sembari memasukan makanannya ke mulutmya.

***
“Zim, kapan nih nonton LOTR?” sapaku pada Zima yang sedang makan di kantin.

“Oh, liburan aj. Minggu depan kan Kamis libur tuh. Nah, Jum’at kan kejepit, pasti libur. Enak tuh.”

“Nginep? Boleh Zim?” tanyaku.

“Boleh. Sekalian ntar bantuin Gw ngerjain tugas.”

Kami pun melanjutkan obrolan hingga bel masuk kembali berbunyi.

***
Aku sudah berada di depan pintu rumah Zima. Hari Kamis ini Aku mengunjungi Zima. Aku juga membawa beberapa pakaian untuk ganti. Aku memencet bel. Aku gugup sekali. Sejak kejadian itu, pola tidurku tak tentu. Rasa saat menyentuh tubuh wanita pertama kali membuatku takut tapi Aku juga menginginkannya kembali. Keberanian yang pengecut ini menjadi sebuiah rasa penasaran. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan Ku katakan jika berhadapan dengan Ibunya Zima. Aku takut tapi juga ingin memintanya kembali. Ok, Aku akan bersikap biasa saja.

“Masuk bro.”

Aku pun duduk di ruang tamu. Kami mengobrol – ngobrol di sini. Zima menawarkanku untuk makan, tapi Aku tolak karena Aku masih kenyang. Sebelum menonton film, Kami mengerjakan tugas. Tugasnya lumayan banyak. Harusnya di tahap akhir ini Kami sudah tidak perlu lagi mengerjakan tugas. Kami harusnya berkonsentrasi untuk persiapan ke perguruan tinggi. Terlebih tinggal beberapa bulan lagi Kami lulus.

Sepanjang waktu Kami mengerjakan tugas. Sepertinya Ibunya Zima tidak ada. Sedari tadi rumah tampak sepi.

“Nyokap Lo gak ada kayaknya?” tanyaku.

“Iya, Nyokap Gw ke Kota B. Tante Gw lagi sakit dirawat. Semalem dijemput sama Om Gw.” jawabnya.

“Wah, berarti Lo harusnya juga ikut dong?” tanyaku sungkan.

“Oh, ya gaklah. Orang cuma sakit kecapean kerja. Nyokap Gw aja yang cuma pengen ke sana, udah lama juga gak ke sana. Biasanya yang ke sana Gw doang sama sepupu.”

“Oh..” Wah, untungnya Aku tak segera bertemu dengan Ibunya Zima. Entah apa tatapannya padaku jika bertemu dengannya. “Balik malem?” kembali Ku tanya.

“Jum’at malem kemungkinan.”

“Oh.” Sabtu Aku pulang. Apa Aku pulang Jum’at saja ya biar tidak bertemu. Tapi Aku penasaran. Tapi ada Zima di sini. Seandainya hanya Aku dan Ibunya di sini, yang kemarin pasti lebih bahaya.

Selesai mengerjakan tugas, Kami pun menonton film yang sudah lama ditunggu. Kami menonton berjam – jam. Aku pun tak bosan. Zima benar – benar mempersiapkan cemilan. Banyak sekali. Kadang Kami membahas banyak hal di film. Sesekali Aku bertanya pada diriku apakah Zima tahu. Bagaimana jika Ia tahu.

Setelah dua set film, Kami berhenti sejenak. Sepertinya Kami akan melanjutkan esok. Waktu sudah cukup malam. Aku pun tidur di bawah.

“Lo ngapain?” tanyanya.

“Ya tidurlah.”

“Oh ya, lupa Gw. Lo tidur di sana. Di kamar depan.”

“Kamar siapa??” tanyaku heran. Jangan – jangan kamar Ibunya.

“Itu, kamar bekas Kakak Gw.” jelasnya.

What ? Kamar Kakak Lo?!” protesku.

“Napa? Takut Lo?? Biasa aja. Gw kadang juga tidur di sono. Nyokap juga kadang ketiduran di sana. Di sana sekarang buat naro barang, tapi bersih kok. Gw gak mau lo tidur di sini. Tidur tuh di tempat tidur. Gak enak Gw Lo tidur di bawah. Ayo.” Ajaknya.

Aku merebahkan diri di atas kasur. Kasurnya besar. Sejenak Aku cek, tak ada foto Kakaknya. Ah, semoga Aku bisa tidur nyenyak. Tapi, bagaimana jika hantunya di sampingku?

***
Esoknya, sepanjang hari yang Kami lakukan hanya menonton film dan mengerjakan sisa tugas. Waktu ternyata sudah menunjukkan jam lima. Kami pun keluar untuk membeli makan malam.

“Zifa. Nama Kakak Lo Zifa?” tanyaku.

“Loh, kok tahu Lo? Dia ngomong apa aja?”

“Sialan Lo, kampret!” dia pun tertawa. “Nyokap gak Lo jemput?”

“Gak, ntar dianterin Om Gw.” Jawabnya.

Setelah membeli makan Kami pun kembali. Saat berada di seberang jalan komplek, Ku lihat di depan rumah ternyata Ibunya Zima sudah pulang. Ibunya membawa banyak barang. Kami segera menghampirinya.

“Loh, Mah. Cepet nyampenya?” tanya Zima sembari membantu Ibunya.

“Halo Tante.” sapaku.

“Eh, Dio. Ini bantuin Tante masukin barang.” pintanya.

“Iya, Tante.” Aku pun menjinjing kardus ke dalam. Zima sudah masuk. Aku pun masuk bersama Ibunya Zima. Tiba – tiba Ibunya menepuk halus pundakku.

“Lebar ya bahu Kamu Dio. Tegap lagi.” Ibunya mengelus pundakku. Aku diam seribu bahasa. Pasti sesuatu akan terjadi nih. Aku ngaceng dielusnya.

Kami lalu membuka – buka barang – barang yang dibawa Ibunya Zima di ruang tamu. Ibunya sebenarnya hanya ingin berbelanja. Adiknya yang sakit hanya sebagai alasan agar Ibunya bisa belanja banyak. Aku pun diberikan banyak barang. Tapi di dalam kantong yang diberikan padaku terdapat minyak zaitun. Ku pikir ini milik Ibunya Zima. Saat Aku melihat Ibunya, ia mengedipkan matanya. Oh, Tuhan, apa yang akan terjadi. Aku masih belum berpengalaman. Ini bukan seperti yang Ku bayangankan. Ini pertama kalinya Aku dengan wanita. Tapi, bukan wanita seumurku, Ia lebih dewasa. Ibunya temanku.

Setelah membereskan semuanya. Aku dan Zima kembali menonton film. Beberapa jam berlalu Aku pun sepertinya mengantuk berat. Ku lihat Zima sudah terlelap. Aku memanggilnya untuk pamit tidur, tapi Zima sangat lelap. Aku pun kembali ke kamar. Aku pun merebahkan badan dan tidur.

Dio…diooo…”

Sayup – sayup Ku dengar ada yang memanggil. Perlahan Ku lihat siapa yang memanggilku. Aku sedikit takut, jangan – jangan Zifa Kakaknya Zima yang datang. Ternyata yang membangunkanku adalah Ibunya Zima!

Yang lebih kaget, Ia hanya memakai pakaian yang tipis dan dasternya hanya sepaha. Aku bisa melihat pahanya dengan jelas.

“Oh! Tante, maaf Tante. Tante ngapain di sini?” Aku pun kaget gelagapan. Ibunya mendatangiku di saat masih ada Zima di kamarnya.

“Ini, Tante baru pulang agak pegal. Kamu bisa gak bantuin pijitin Tante?” rayunya.


“Tapi, ada Zima. Jangan Tante, takut Saya. Lagian ini sudah malem banget Tante..."

“Tenang, Zima klo tidur itu susah bangun. Apalagi capek. Tante juga udah kunci kamar Tante dan kamar ini. Jadi Zima gak akan bangun. Tante gak bisa tidur klo belum rileks. Mau ya? Bentar aja.”

Aku menelan ludah beberapa kali melihat Ibunya Zima di hadapanku. Aku pun mulai memijatnya. Badannya menghadap ke depan dan Aku memijatnya dari belakang. Oh tidak, Ibunya memakai parfum. Ia wangi. Aku pun ngaceng berat. Oh tidak. Aku lupa. Aku hanya memakai celana pendek tak memakai celana dalam. Ini pasti kena pantatnya. Tidak.

Ibunya kemudian menyandarkan tubuhnya ke badanku. Oh Tuhan, pipi Kami lekat bersentuhan. Tangannya mengarahkanku untuk menyentuh dadanya.

“Tangannya belum Tante..”

“Gak usah, yang ini (sambil memegang tanganku yang telah memegang payudaranya) lebih butuh…ouh…aaah…sshh…uuh….terus…….Dio… trruuss…..yang kuat…ough….mmmmhhm..”

Oh Tuhan, kali ini kembali terjadi. Aku terangsang dibuatnya. Nafasku memburu cepat. Aku nafsu meremasnya. Erangan suaranya membuatku bernafsu. Aku tak peduli Zima mendengar atau tidak. Aku terus meremasnya. Aku sedikit memelintir putingnya.

“Ough…ssshhh…iya…iya…..hmmm..” hidungnya menghadap pipiku. Napasnya benar – benar membuatku bernafsu. Kemudian Ibunya mengarahkan tangan kiriku untuk menyentuh pahanya. Oh my, pahanya mulus. Aku seperti diminta memijat bagian pahanya. Perlahan dengan sedikit gemetar, Aku memijat pahanya.

“Aaah….aah….sini..kurang dalem…”

Deg! Telapak tanganku menyentuh vaginanya. Oh Tuhan, tanganku menyentuhnya. Tanganku gemetar tapi juga nafsu. Ibunya Zima tak memakai celana dalam. Bulunya halus dan sedikit. Pelan tapi pasti jemariku mencari belahan vaginanya. Oh tidak, vaginanya basah. Aku semakin bernafsu. Ku elus – elus bagian bibir vaginanya. Ibunya seperti mengajariku untuk sedikit memutar pijatan pada vaginanya. Gila, Aku ngaceng parah. Tanpa sadar Aku menggerakan batang penisku yang sudah ngaceng parah begesekan dengan dengan pantatnya. Tiba – tiba Ibunya Zima bebalik menghadapku. Aku terkejut. Matanya sayu memandangku. Ia kemudian mendorong badanku untuk rebahan dengan perlahan. Ibunya mencium pipiku.

“Tangan Kamu pasti capek.”

Aku bingung maksudnya apa. Ibunya merebahkan dirinya di sampingku. Lalu perlahan, Ia menurunkan dasternya. Oh Tuhan, Aku sekarang melihat payudaranya dengan jelas. Bentuknya bulat tapi tidak terlalu besar. Putingnya cukup menonjol dan sangat menantang. Jarinya lalu menyentuh bibirku.

“Pakai ini pijatnya (Ia meminta bibirku untuk memijat payudaranya).”

Oh tidak, ini pertama kalinya Aku menyentuh payudara wanita dengan mulutku. Begitu terangsangnya diriku. Aku menyedot payudaranya perlahan. Tangan Ibunya Zima pun mengelus – ngelus rambutku.

“Ooughh… ssshhh…. iya sayang …. begitu caranya… terus…. pelan – pelan ….sedot perlahan… aughh….sshhhh”

Aku seperti dulu yang menyusu pada Ibu, tapi ini lebih tegang dan merangsang. "Mmmhh...."

Mataku kemudian terbelalak. Ibunya Zima telah menggenggam batang penisku. Batang penis yang sedari tadi tegak sempurna. Seperti ingin lepas. Menyadari kulumanku berhenti, Ia membujuk, “Hei…lanjutin…”

“Hmm…(Aku pun melanjutkan lumatanku pada putting payudaranya).”

Genggaman tangan Ibunya Zima benar - benar hangat. Jari telunjuknya menelusuri kepala penisku. Sesekali tangannya mengelus kantung bijiku. Ugh...nikmatnya.

“Uhh… punya Kamu keras sekali Dio. Tegak menjulang lurus. Uuh….(perlahan tanganya mengocok batang penisku)

Napasku semakin memburu dengan kocokan Ibunya Zima. Aku pun tak tinggal diam. Ku cari vaginanya. Ku elus – elus vaginanya yang telah basah. Semakin lama kocokannya semakin kuat. Aku semakin tak kuat. Napas Kami saling beradu cepat.

"Oh...terus Dio...mmhh...terruss...."

Aku semakin liar melumat payudara Ibunya Zima. Aku berusaha menandingi rangsangan tangannya penisku. Aku seperti ingin keluar. Aku tak tahan. Aku benar - benar tak kuat. “Oh…oh…oughhh…..AAHHHHHH!”

Aku muncrat. Muncrat sekuat – kuatnya. Aku seperti kejang tak karuan. Tangan Ibunya Zima masih terus mengurut – ngurut batang penisku. Pelan napasku mereda. Aku menatap atap kamar dengan penuh ketidakpercayaan. Aku baru saja dikocok oleh Ibunya Zima. Aku pun menatap Ibunya Zima. Ia terlihat senyum. Jemari tangannya yang berlumuran spermaku diarahkan ke bibirnya. Ia sedikit menjilatnya.

“Manis.”

Belum aku berkata, Ibunya Zima bangkit. “Muncrat kemana – mana. Kamu bersihin ya. Sepreinya Kamu taruh di dalam mesin cuci, nanti Tante yang nyuci.”

Ibunya Zima pun kembali ke kamarnya. Aku segera bangkit dan membersihkan sisa – sisa cairan sperma. Duh, penisku masih berkedut – kedut. Cairan sperma masih keluar berjatuhan. Spermaku banyak ternyata.

***
Paginya, Aku, Zima , dan Ibunya sarapan pagi. Makanan kali ini adalah oleh – oleh dari Ibunya Zima. Setelah ini Aku harus pulang. Aku sudah janji mengantarkan Ibu ke rumah Tanteku.

“Lo, tidur di depan pintu ya?” tanya Zima tiba – tiba.

“Kagak, tidur di kasur Gw.” Aku pun menatap Ibunya Zima. Ibunya menatapku curiga.

“Oh, mungkin lem yang kemarin Gw taro bocor kali kegenjet pintu. Gw pikir iler Lo.” jelasnya.

Ohok…ohhok (Aku tersedak mendengar perkataannya. Itu sperma kok bisa lolos. Sial. Untung Zima gak nyadar. Nanti Aku cek).”

Setelah makan, Aku pun segera mengecek ke kamar. Spermanya sudah tidak ada. Mungkin Zima yang membersihkan, tapi bisa ketahuan jika itu sperma. Tapi Dia tidak tahu.

Aku pun kemudian pamit pulang. Zima keluar rumah untuk menyalakan dan menurunkan mobil. Saat akan keluar Aku pun berpamitan dengan Ibunya Zima.

“Tante yang ngebersihin. Kamunya sih keluar banyak banget. Udah dibilang.” jelas Ibunya.

“Makasih Tante.” pamitku tersipu malu.

Aku pun mencium tangannya. “Sini, Tante cium dulu pipinya.” Ia pun mencium pipiku lembut. “Makasih ya, udah nemenin Zima…..Makasih udah nemenin Tante juga..cup!”
yaaah ellaah,,,,masaak shy shy cat,,,malu2 uchinkk
 
Chapter 6 : Kentang 4 kg



Bruk!

Ku lempar tasku di atas tempat tidur dan Ku hempaskan tubuhku di atas kasur. Ku rentangkan kedua tanganku sepanjang sisi tempat tidur.

Ah, Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi padaku.

Tatapanku kosong. Langit – langit atap kamarku seperti sebuah lautan yang tenang. Tak ada pesan pada pikiranku. Aku benar – benar tak percaya. Aku menyerahkan semuanya pada wanita paruh baya itu, Ibunya Zima. Aku tak menyangka akan melakukannya dengan Ibunya Zima. Ibunya Zima yang mengambil kejantananku, keperjakaanku. Hah, rasanya aneh. Rasa yang benar - benar aneh. Ternyata rasanya seperti ini. Aku pikir sangat menyenangkan, setidaknya itu yang Ku lihat di setiap film porno yang sering Ku lihat. Ku pikir rasanya sama seperti Aku sedang mengocok – ngocok penisku. Rasanya berbeda, aneh, tapi nikmat, tapi juga tegang. Aku tegang dan juga sangat menikmati.

Beda sekali rasanya. Rasa dinding penis yang diselimuti oleh jemari tangan dengan dinding dalam sebuah vagina wanita. Oh, ternyata begini rasanya. Basah dan bisa meremas – remas. Penisku tak pernah setegang ini jika Aku sedang mengocok, ini tegang dan sangat terangsang. Rasa basahnya yang menyelimuti seluruh batang penisku benar – benar pengalaman yang baru buatku. Hah…hah…

Aku masih tak percaya.

Kepalaku berat. Aku merasa lelah. Temaramnya lampu kamarku semakin redup dalam sela – sela jemariku di balik wajahku. Gila, Aku baru saja mengentot, mengentot dengan Ibu temanku. Hah…

***​

Agh!

Kepalaku berat. Aku tertidur. Tubuhku benar – benar pegal dan kecapaekan. Aku seperti malas bergerak.

Ku pandangi penisku yang masih terbungkus dalam celana. Kau baru saja mengunjungi vagina!

Ku lihat jam dinding. Ia menyapaku dengan tandanya ke angka satu. Sudah jam satu malam. Cukup lama Aku tertidur. Ibu pasti tadi membangunkanku tapi Aku terlalu lelah untuk bangun dan bangkit. Perlahan Aku bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Aku masih termenung diam. Aku malas bangkit, tapi Aku haus.

Ku buka pintu kamarku dan perlahan Ku berjalan menuju ruang makan di bawah. Ku buka kulkas dan mengambil sebotol air untuk Ku tuangkan ke dalam gelas bening yang ada di tanganku.

Glek…glek…ah…

Aku duduk di meja makan dan ku tatap ruang tamu di kejauhan yang masih gelap. Ku malas menyalakan lampu. Aku tak dapat berkata – kata.

Ckrek!

Ku lihat seseorang membuka pintu kamar orang tuaku dari dalam. Samar Ku lihat Ibu yang keluar kamar. Ibu lalu pergi ke kamar mandi.

Setelah beberapa lama Ibu kembali dan membuka kulkas.

Deg!

Aku menelan ludah. Mataku yang sayu lelah berusaha bangkit menentang gravitasi Bumi. Ibu terlihat berkeringat. Hal yang membuatku tertegun adalah Ibu hanya memakai sarung putih tipis. Pendaran cahaya kulkas membuat apa yang ada di balik sarungnya terlihat. Siluet tubuhnya jelas terlihat. Hal yang membuatku salah tingkah adalah bentuk payudaranya yang besar terlihat jelas. Kurang ajar! Kulkas ini seperti membangunkan lamunanku dengan pandangan seperti ini. Tapi kenapa tubuh Ibuku yang harus Kau tunjukkan. Sial. Apalagi terlihat samar – samar tonjolan kecil di dadanya. Tidak! Dia Ibuku. Aku tahu Aku baru saja kehilangan kejantananku.

Aku tiba – tiba ngaceng. Aku ngaceng berat. Tidak!

“Oh! Dio!” Ibu kaget dengan kehadiranku di meja makan.

Aku hanya diam mematung melihat Ibu.

“Kamu, bukan nyalain lampu. Bikin kaget Ibu saja. Hmm..”

“Iya, baru turun mau minum…” jelasku.

Ibu lalu duduk di seberang meja makan. Jelas sekali Ibu masih berkeringat. Herannya Aku. Bukankah AC di dalam kamar terus menyala. Mengapa Ibu berkeringat. Apalagi ini malam hari. Senam?

Tubuhnya yang hanya dibalut oleh sarung putih tipis harusnya tak membuatnya keringat. Aneh sekali Ibuku ini.

“Ibu sakit?” tanyaku heran.

“Oh, gak Nak. Ini…uhm..ini tadi tidur selimutan. Pas bangun udah keringetan. Kamu gak ganti baju? Tadi Ibu bangunin gak bangun – bangun Nak. Dikunci lagi kamarnya. Capek?”

“Oh, Iya Bu…capek banyak tugas tadi (Bohong! Aku baru saja begituan Bu! Kejantananku hilang!).” jelasku.

Aku pun bangkit untuk kembali ke kamar. Terus terang Aku merasa tak nyaman duduk di sini. Ibu masih duduk di meja makan dan Aku pun berlalu pergi ke kamar.

***​

“Dor!!”

Aku dibuat kaget oleh seseorang dari belakang. Ku lihat Azrul mengagetkanku dari belakang.

“Apaan sih Lo?!” protesku.

“Elo, dipanggilin kagak nyaut.”

“Oh..” Aku masih terngiang dengan apa yang telah Ku lakukan beberapa tempo hari. Hah…sudah empat hari sejak penisku akhirnya menyerah untuk tergoda oleh vagina wanita. Rasanya masih terasa hingga sekarang.

“Ntar, abis bel maen futsal di lapangan, mao?” ajak Azrul.

“Sama siapa ja?” tanyaku.

“Lawan junior kelas bawah.” jelasnya.

“Boleh.”

Setelah beberapa jam, akhirnya bel pun berbunyi. Aku pun tak langsung pulang.

Drtt…drrt…

Ada WA masuk. Oh, ternyata Ibu yang WA. Ibu memintaku untuk berbelanja beberapa barang kebutuhan di pasar dekat sekolah. Ah, kenapa harus sekarang sih??

Aku pun menyusul Azrul yang sedang menuju ke lapangan. Aku bilang padanya jika Aku tak dapat bermain futsal di lapangan dikarenakan Aku harus memenuhi permintaan Ibuku. Ia pun tak apa – apa saat Aku katakan alasanku. Jumlah pemain di lapangan masih banyak. Aku pun segera pulang dan menuju pasar. Aku pun naik angkot dan menuju pasar.

Di dalam pasar Aku tak menemukan beberapa barang yang diinginkan Ibu. Beberapa barang habis. Yah, apa boleh buat Aku pergi ke pasar di tengah hari begini pasti habis barangnya. Ke pasar siang – siang mana panas lagi. Aku mengirim pesan ke Ibu untuk menanyakan jika barang yang diminta tak ada.

“Centang satu. Ibu pasti tidur nih. Ke mana lagi ya? Ke supermarket di dekat terminal angkot mungkin ada.”

Supermarket di dekat terminal angkot sejalan dengan arah pulangku, mudah – mudahan ada di sana.

***​

Aku menyusuri koridor – koridor di dalam supermarket. Banyak sekali barang di sini. Aku kemudian menemukan barang yang diminta Ibu. Ternyata barang – barang ini lengkap di sini hanya harganya sedikit mahal. Semoga Ibu mau mangganti uang lebihnya. Ibu agak cerewet jika harga barang sedikit mahal. Yah, mau bagaimana lagi.

Aku pun sedikit terkejut dengan apa yang Ku lihat di ujung koridor. Ibunya Zima!

Ibunya Zima sedang asyik memilih – milih beberapa barang. Ibunya Zima tampak sendirian sepertinya. Tak ada Zima juga. Apa Zima les ya? Apa harus Ku hampiri Ibunya Zima? Tapi Aku harus pulang membawa titipan Ibu.

“Sini Tante, Saya ambilin.”

Sial! Otak kecilku yang ada di kepala penisku menang berdebat dengan otak besar yang ada di kepalaku. Dia curang, sambil berdebat dia mengajak kakiku melangkah mendekati Ibunya Zima. Aku pun mengambilkan barang yang agak tinggi dan menyerahkan kepada Ibunya Zima.

Ibunya Zima melihatku dan tak ada kata yang terucap selain senyumannya yang hangat. Ia cukup lama tersenyum.

“Kamu, belanja juga?”

“Oh, ini Tante. Ibu pesen sesuatu. Barangnya ternyata ada di sini.”

“Oh, ya.” jawab Tante.

“Belanja bulanan Tante? Sini Tante saya yang dorongin.” sial, Aku benar – benar modus.

“Oh, boleh. Makasih ya, Kamu bantuin belanja Tante. Biasanya Tante sama Zima kalau belanja, tapi Zima lagi les, jadi Tante aja yang pergi. Hmm…untung ada Kamu jadi Tante terbantu…”

Aku pada akhirnya menemani Ibunya Zima berbelanja. Cukup banyak yang dibeli Ibunya Zima, sebagian besar adalah sayuran dan buah – buahan. Yang paling banyak kentang empat kilo dan tomat dua kilo.

Setelah selesai Kami menuju kasir dan membayar belanjaan. Ibunya Zima pun menawariku untuk juga membayar belanjaan yang Aku beli. Aku menolak, tetapi Ibunya Zima tetap saja memaksa membayarkan belanjaanku. Sebagai anak sekolah yang pas – pasan, Aku pun mengiyakan saja.

“Sini Tante, Saya bantuin angkat. Saya bantuin sampai rumah ya Tante?” bujukku.

“Oh, gapapa?”

“Iya, Tante..” benar – benar modus.

Kami pun bergegas pulang. Pulang ke rumah Zima. rumah yang mungkin akan kembali terjadi. Hal ini benar – benar mendukung apa yang ada di kepala penis kecilku. Kurang ajar!

Sepanjang jalan tak banyak yang dibahas kecuali adalah hal – hal tentang masakan. Ibunya Zima ini suka sekali memasak. Zima hanya akan memesan makanan jika Ibunya tak ada di rumah. Ibunya selalu memasak di rumah. Aku pun juga tak mengungkit – ngungkit tentang bagaimana Kami pernah berhubungan sex pertama kalinya empat hari lalu. Aku masih ingat bagaimana penisku memasuki vagina Ibunya Zima saat itu. Sekarang Ibunya Zima ada di dekatku dan kesempatan itu kembali datang. Tentunya hal ini akan lebih mudah.

Sesampainya di rumah Aku membantu memasukkan barang belanjaan ke dalam rumah. Saat Aku selesai Ibunya Zima menawariku untuk makan terlebih dahulu. Sebenarnya Aku ingin segera pamit, tapi ajakannya itu yang menghentikan kemauanku.

“Ini, Kamu potong – potongin kentang, potong dadu sedikit panjang ya.” pintanya.

Ku pandangi cara Ibunya Zima memasak. Ku lihat kulitnya putih terawat. Pakaiannya pun sederhana tapi berkelas. Aku pun tersenyum melihat jemarinya yang sedang memasak. Jemari yang pernah mengocok – ngocok penisku. Ah, Aku tak dapat berkonsentrasi.

Setengah jam lamanya Kami memasak, akhirnya sudah matang. Aku pun akan makan siang di sini. Makan ditemani Ibunya Zima.

Beberapa lama Aku makan, Ku perhatikan Ibunya Zima tak kunjung makan.

“Loh, Tante gak makan?” tanyaku dengan masih mengunyah makanan.

“Gak ah, nanti aja. Kamu makan aja. Enak kan masakan Tante?” senyumnya.

“Hmm….the best Tante. Makasih Tante.”

“Ya udah Kamu terusin, Tante mau ganti baju dulu.”

Ibunya Zima pun berlalu pergi dari meja makan. Aku melihatnya tak berkedip. Ku pandangi kepergian Ibunya Zima menuju kamar. Saat Akan memasuki kamar, Ibunya Zima sedikit menengok ke belakangku.

Oh Tuhan, apakah ini kode atau Ia melihat hal lain. Aku yakin Ia menoleh kepadaku. Tapi Aku sedang makan. Apa yang harus Ku lakukan?

Aku melangkah pelan meninggalkan sisa – sisa makanan yang ada di meja makan. Aku berlalu menuju depan kamar Ibunya Zima. Agar tak terlalu ketahuan modusku, Aku pun berniat pergi ke kamar mandi yang ada di seberang kamar Ibunya. Saat Aku ke depan kamar mandi Aku berbalik melihat kamar Ibunya yang terbuka setengah. Jelas Aku melihat Ibunya sedang menggerai rambutnya dan mengikatnya. Tangannya berusaha menjangkau resleting belakang dress-nya. Ia sedikit kesulitan menariknya. Lalu tarikan resletingnya berhenti. Ibunya menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya, yaitu Aku di seberang pintu.

Aku hanya diam mematung. Ku lihat Ibunya menoleh ke belakang dan memandangiku. Ibunya Zima hanya tersenyum dan kemudian kembali membalikan tubuhnya. Apa ini kode ya? Punggungnya seperti memanggilku untuk membantunya membuka resletingnya.

Aku pun pelan berjalan masuk ke dalam kamar Ibunya. Beberapa kali Aku menelan ludah dan gugup. Hingga kini Aku juga tak mengerti mengapa Aku begitu gugup. Padahal Kami pernah berhubungan sex, ini tanda, mengapa Aku harus gugup?

Saat Aku mendekat, nafas berat nafsuku menyapa Ibunya Zima dari belakang. Ibunya kembali menoleh dan senyum. Dengan refleks tanganku Ku arahkan untuk membuka resleting belakangnya. Aku seperti sengaja melakukannya perlahan. Kulit punggungya yang begitu putih terawat benar – benar meningkatkan gairahku. Aku dibuat ngaceng parah. Penisku sesak di dalam celana dalamku. Inginku segera melepaskannya dan kembali melakukannya kembali.

Ibunya Zima pun kemudian melepaskan pakaiannya di depanku. Oh, bokongnya padat dan seksi. Senam yang selama ini selalu dilakukannya benar – benar membuat siapa pun yang melihatnya langsung akan terkesima dan menahan ludah. Hal yang membuatnya seksi adalah warna pakaian dalamnya yang gelap, warna biru gelap. Branya tidak bertali. Aku tak tahu jika ada bra yang tak bertali. Celana dalamnya pun juga tak berbentuk segitiga seperti yang Ku bayangkan, bagian belakangnya tipis dan masuk ke dalam belahan bokongnya. Hal ini membuat lekukan sisi bokongnya benar – benar seksi dan padat.

Ibunya pun meminta membukakan kait belakang branya. Oh, gila. Aku diminta Ibunya Zima membuka branya dari belakang. Aku membukanya dengan sedikit susah, bingung antara ke kiri atau ke kanan. Akhirnya terbuka.

Ibunya membalikan tubuhnya menghadapku. Jelas terlihat payudaranya yang telah lepas dari branya. Bentukya bulat sedikit besar dan putingnya merah menonjol. Aku benar – benar ngaceng melihatnya. Aku ingin kembali mengemutnya dan menjilatnya. Nafasku benar – benar berat dan nafsuku sudah berada di puncak ubun – ubun.

“Kamu mau melakukannya lagi dengan Tante?”

Perkataannya benar – benar memenangkan nafsuku. Pertemuan tak sengaja di supermarket membuatku ingin kembali bersetubuh dengan Ibunya Zima saat ini. Penisku sudah ngaceng berat.

Aku pun segera memeluknya. Aku mencium – cium tengkuknya yang harum. Tanganku pun aktif menjelajah setiap inci bagian tubuhnya. Punggungnya halus dan wangi. Pelan dan nekat Aku meremas pelan bokong padantya.

“Ough…” lenguh Ibunya Zima.

Entah apa maksudku mencium – cium tak jelas. Aku benar – benar bernafsu. Penisku selalu menghentak – hentak tubuhnya. Padahal Aku masih berpakaian lengkap. Tak sadar Aku pun mendorongnya hingga Kami terjatuh di atas tempat tidur. Aku pun seperti tak peduli. Aku terus saja mencium – ciumi Ibunya Zima.

“Ough..pelan Dio…pelan.” dengan tiba – tiba tangannya memegang wajahku. Ibunya menatapku tajam.

Menyadari hal itu, Aku pun tersadar dan tertunduk malu. Aku malu karena sangat bernafsu. Nafsu terhadap wanita. Pertama kalinya Aku merasakan hal ini dan semuanya sudah terambil oleh Ibunya Zima.

Genggaman tangannya pada wajahku melunak. Tangannya menggiringku untuk mendekati bibir mungilnya. Ia memintaku menciumku untuk menghiburku. Aku pun dengan tegang mendekati dan menciumnya. Rasanya lunak dan juga kenyal. Ibunya Zima menuntunku berciuman. Bibir bawahku sesekali digigitnya.

Semakin lama nafasku semakin cepat dan nafsuku semakin menjadi – jadi. Ciuman Kami pun semakin panas dan saling menjelajahi. Sambil Kami berciuman, tangan Ibunya Zima begitu cekatannya melepaskan pakaianku dan Aku pun sama, Aku tetap menjelajahi bagian tubuhnya. Kini Aku hanya meninggalkan celana dalam, sama seperti Ibunya Zima yang juga hanya mengenakan celana dalamnya. Tiba – tiba Ibunya Zima mendorong dadaku menjauh.

“Hah…hah…(nafasku memburu cepat).”

Ibunya Zima lalu bangkit dan mendorongku ke atas tempat tidur. Aku pun terduduk di tepi ranjang. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ibunya Zima. Ia pun terlihat senyum padaku. Ia berlutut di depanku. Oh tidak! Apakah ini benar akan terjadi seperti yang pernah Ku lihat di film pono?

“Mmh…Kamu pernah seperti ini?”

Ibunya Zima pun menarik celana dalamku yang dari tadi memenjarakan penisku. Pasti penisku senang dilepasnya. Penisku lepas! Penisku tegang dan tegak menjulang. Kerasnya ngacengku sudah parah. Rasanya seperti kayu yang keras.

Perlahan bibir mungil Ibunya Zima mendekati penisku. Pelan, Ibunya Zima mengecup kepala penisku. Pelan dan pelan. Lalu, dengan mataku yang semakin membuka lebar semakin Ku lihat pelan mulutnya terbuka. Mulutnya perlahan masuk ke dalam kepala penisku.

“OH!...” hanya lenguhan yang bisa Ku utarakan.

Mulutnya berhenti menyembunyikan kepala penisku. Aku benar – benar tak percaya. Aku di-blowjob. Aku disepong! Ini pertama kalinya Aku disepong. Selama ini Aku benar – benar penasaran mengapa laki – laki sangat menginginkannya. Dan Ibunya Zima ada di depanku sedang melakukannya.

Lama kepala penisku didiamkan oleh Ibunya Zima, kemudian mulutnya bergerak menuruni batang penisku perlahan hingga seluruhnya tenggelam.

“OUGHH!!” nikmat rasanya.

Lalu mulut Ibunya Zima dikeluarkan dari penisku. “Mm..Ccc…Ahhh..”

Lalu kembali Ibunya Zima membuka mulutnya dan mengulum penisku. Ini benar – benar perasaan yang aneh. Ini pertama kalinya. Rasanya geli tapi nagih. Rasa maju mundur di sekitar batang penisku benar – benar unik, basah menjalar di sekitar penisku. Oh ternyata ini rasanya.

Aku hanya dapat memandanginya. Ibunya Zima mengulum penisku dengan penuh perhatian. Ia terlihat terpejam saat mengulum batang penisku. Aku benar – benar dibuat tak berdaya. Aneh, rasanya seperti kemarin, tapi ini di dalam mulut. Sama – sama basah tapi berbeda rasanya. Nikmatnya juga berbeda. Oh, gila.

“Ah….” Ibunya Zima lalu bangkit. Ia memandangiku. Kemudian dengan perlahan tangannya mendorong dadaku hingga tubuhku terlentang di atas kasur. Pelan Ibunya Zima berjalan merangkak di atasku. Bibirku diciumnya dengan nafsu. Nafsu dari seorang wanita matang keibuan sedang berhubungan sex denganku saat ini.

Ia kemudian duduk di atasku. Ia tersenyum dan lalu sedikit mengangkat bokongnya. Ibunya Zima masih memakai celana dalamnya. Dengan sedikit congkelan jarinya, Ibunya Zima membuka bagian bawah celana dalamnya. Ia memperlihatkan vaginanya yang dari tadi tertutup oleh celana dalam seksinya. Warnanya merah dan terlihat sedikit basah di bagian bibirnya.

Pelan..pelan…Ibunya Zima menggenggam batang tegang penisku dan mengarahkannya untuk memasuki vaginanya.

“Ough….” Aku dibuatnya nikmat. Lalu…bless….

“Ughh…Sshhhhh…Dioo….” Ibunya Zima melenguh.

Pelan batang penisku memasuki vagina Ibunya Zima. Oh Tuhan, penisku kembali memasukinya. Rasanya sangat nikmat. Nikmat luar biasa. Basah dan begitu terangsang. Aku seperti kegelian dibuatnya.

Perlahan vaginanya memasuk keluarkan dari batang penisku. Rasanya luar biasa nikmat. Aku berhubungan seks. Aku pun berusaha mengimbangi goyangan Ibunya Zima yang terus memasuk – keluarkan vaginanya.

“Sssh…Ahhh….Ushh….terus Dioo….Dioshhh.”

Payudaranya bergoyang – goyang saat berada di atasku. Dengan refleks tanganku menggenggam kedua payudaranya.

“Ough!”

Ibunya Zima terperanjat saat Aku tiba – tiba memegang kedua payudaranya.

Aku semakin bernafsu menggenjot vagina Ibunya Zima. Mulutku juga tak mau kalah. Aku ingin mengemut dan menjilat puting payudaranya. Aku bangkit dan duduk berhadapan dengan tubuh Ibunya Zima. Ibunya membuka matanya dan menatap mataku. Ibunya lalu kembali memejamkan matanya dan membiarkanku jika Aku akan melumat kedua puting payudaranya. Aku pun melumat kedua puting payudaranya dengan penuh nafsu.

Kami benar – benar sangat menikmati hal ini. Nafas Kami saling bergantian membalas satu sama lain. Aku yang paling bernafsu. Aku ingin menindihnya tapi Aku tergantung pada Ibunya Zima. Aku takut jika Aku yang memulai akan mengubah mood-nya. Tapi Aku tak tahan penisku sudah sangat terangsang dan nikmat dibuatnya. Aku akan …

Cklek!

Mata Kami tiba – tiba terbelalak. Ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Nafas nafsuku membuatku tuli, tak menyadari ada yang datang.

“Zima!” Kami sama – sama mengatakan hal yang sama.

Dengan gelapannya Aku kaget dan bingung. Kami sama – sama diam. Ibunya lalu memintaku untuk diam dan jangan mengeluarkan suara apa pun.

“Ssstt….Kamu diam! Zima pulang. Kamu di sini saja dulu. Tante yang akan keluar.”

Ia pun memintaku untuk tetap di dalam kamar. Aku tak menyadari jika Zima pulang. Bodoh! Bagaimana jika ketahuan. Celaka Aku. Habis sudah.

“Ma….mama…”

Ibunya Zima pun berpakian dengan cepat dan menyapa Zima dari dalam kamar.

“Iya, sayang..sebentar.”

Ibunya pun keluar kamar dan menyambut Zima yang baru pulang. Sedangkan Aku termenung dengan keadaan masih telanjang. Aku bingung. Aku bangkit dan mengambil pakaianku. Duh! Penisku masih tegang. Sial! Aku belum mencapai puncak. Aku belum keluar. Duh, rasanya pusing dan nyut – nyutan.

Perlahan Aku mendekat ke pintu kamar dan samar – samar Ku dengar Ibunya Zima sedang mengobrol dengan Zima.

“Dio ke sini?” Ku dengar Zima bertanya.

Sial! Zima tahu Aku di sini. Sepatu di depan rumah dan tas di ruang tamu. Celaka!

“Iya, Mama tadi ketemu Dio di supermarket. Lama kalau nunggu Kamu pulang, Mama berangkat sendiri aja barusan, eh ketemu Dio. Sekalian aja Mama minta dibantuin bawain barang belanjaan. Lumayan.” jelasnya .

“Ma, kalau bisa jangan ngrepotin orang Ma. Apalagi temenku. Mama nih. Dio nya kemana? Di kamar Aku gak ada.”

“Dio, keluar tadi. Katanya ke warung mau beli sesuatu, gak tahu apa. Tadinya mau pulang, tapi Mama bilang nanti aj nunggu Kamu pulang Zim, sekalian Kamu anter nanti. Kamu cepet pulangnya?”

“Iya, Cuma satu pelajaran. Guru lesnya yang satu lagi gak masuk. Ya udah pulang aja.”

Suara pun hening lama. Aku tak tahu harus berbuat apa di dalam kamar Ibunya Zima. Aku juga sudah berpakaian.

Pintu pun tiba – tiba terbuka.

“Dio! Sini! Kamu, ini! Bawa beberapa barang di plastik. Sekarang Kamu keluar rumah pake sendal apa aja. Ntar balik lagi ke sini. Si Zima sedang mandi. Bilang nanti Kamu abis dari warung ya.”

Aku pun mengangguk dengan gugup dan tegang. Aku bergegas keluar rumah membawa kantung dan kembali lagi dalam beberapa menit.

Setelah beberapa lama Aku kembali memasuki rumah Zima. Sial, semoga Aku tak ketahuan. Aku pun mengelap keringat, berusaha tenang.

“Woi, Dio. Dari mana Lo?” sapa Zima menyambutku saat masuk.

“Oh Zim, baru balik Lo. Dari tadi Gw tungguin.” Aku membalasnya dengan beralasan.

“Beli apaan Lo?” tanyanya.

“Oh, gak. Beli biasa di warung.” jawabku asal.

“Oh, katanya mau balik Lo. Ayok Gw anterin sekalian Gw mau beli chager hp. Charger hp Gw udah putus. Ayo, mumpung mobil masih anget.”

“Oh, ok…(selamat, Aku selamat).”

Aku pun mengambil tas dan memasukkan pesanan Ibuku ke dalamnya. Zima sudah ada di depan sedang menurunkan mobil. Aku pun berlalu meninggalkan rumah Zima. Aku menoleh ke belakang ke arah ruang tamu. Ku lihat Ibunya Zima duduk dengan pakaian lengkapnya. Ibunya Zima memandangku kasihan sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Ibunya melambaikan salam pisah dengan jemarinya di kejauhan. Ia seperti kasihan padaku. Aku pun juga demikian. Kami berada di tengah – tengah kenikmatan hingga akhirnya buyar. Mana penisku masih nyut – nyutan.

“Woi! Ayo!” panggil Zima.

“Iya Zim.”
cakepppp diooo,,,
 
Chapter 7 : Tahan!

“Terus….terus….Dio…ter….ssshhhahh”

Hah, benar – benar luar biasa. Aku benar – benar merasakan bagaimana nikmatnya berhubungan seks. Seluruh tubuhku gemetar saat – saat hal itu terjadi. Aku tak mengira bisa sangat merinding dibuatnya. Benar – benar berpengalamannya seorang wanita dalam melakukan hubungan seks. Ibunya Zima memberiku banyak hal. Ibunya tak mengatakan apa pun, hanya lenguhan dan banyak irama membuat kontolku terus bergejolak ingin menyodok – nyodok. Aku tak keberatan keperjakaanku hilang di pelukan seorang wanita paruh baya. Wanita itu tak banyak kata tapi kenikmatan yang diberikannya luar biasa. Mungkin akan sangat canggung jika harus sama – sama kehilangan kesucian di antara sesama sebaya, yang ada hanya kikuk dan bingung. Penisku pasti akan menghinaku dengan kata – kata kasar karena Aku masih amatir. Tapi di tangan Ibunnya Zima, penisku luluh.

Padahal kemarin tinggal sedikit lagi. Guru les sialan, bisa – bisanya Dia tak masuk. Padahal hanya beberapa menit lagi Aku keluar. Aku sedang nikmat – nikmatnya menyodok – nyodok vagina Ibunya Zima dan meremas – remas payudaranya, semuanya buyar. Ah, geram!

Plak!

“Aduh! Apaan sih?!”

Tia tiba – tiba mengeplak kepalaku dengan penggaris. Tia membuyarkan lamunanku.

“Itu, pensilnya jangan diremes – remes! Bisa patah tau!” protesnya.

Aku hanya memandanginya dengan merengut.

“Ini! Udah belom?” tanyanya.

“Hah?” Aku bertanya balik heran.

“Iiih, Ini (sambil menunjuk nomor yang dimaskud dengan jari tengahnya)!”

Plak!

“Aduh! Iiih…kok dikeplak sih, Mas?”

“Sengaja Lo ya?! Ngehina Gw Lo!” protesku. Dia menghinaku dengan cara licik. Sial, awas saja nanti.

“Lagian, dari tadi disautin nggak nyaut, malah bengong.”

“Iya, sekarang nomor berapa yang belom?” tanyaku.

“Ini, gimana cara ngitungnya. Tinggal ini doang. Bingung caranya. Tadi udah coba dibuat persamaannya tapi gak dapet…”

Ku lihat pertanyaan yang dimaksud. Ya, pertanyaan itu belum Ku jawab memang. Lagian adikku ini pintar sebenarnya, untuk apa juga Dia bertanya padaku yang biasa saja. Yah, memang sih pertanyaannya biasa saja.

“Friend fries…”

“Iya Mas, jadi berapa yang harus dibayar? Kalo diubah jadi 𝑥 nanti persamaannya berubah, tapi saus tomatnya jadi naik, gak sampe buat dapetin keuntungan maksimumnya..”

“Udah Ah! Lo tanya sama temen Lo aja di WA. Gw capek mau tidur dulu. Susah ini (Sial, kenapa Gw harus ngurusin kentang adek Gw. Kentang Gw aja gak keurus!).”

“Ih! Gitu amat sih.”

Tia pun membereskan buku – bukunya. Aku pun beralasan tak dapat membantu untuk nomor terakhir. Aku hanya sedang tidak mood.

Plak!

Ia membereskan bukunya dan berpamitan keluar kamar sambil menamparkan bukunya ke mukaku. Sial, awas nanti Tia. Kau akan Ku cabik – cabik nanti.

“Weee….” ledeknya dengan menjulurkan lidahnya.

Bruk!

Tubuh Ku jatuhkan di hamparan kasur empuk. Hah, benar – benar tanggung. Dari tadi Aku dibuat termenung dengan kejadian yang tak tuntas.

“Sabar ya Jon, Kau belum beruntung. Nanti Kita cari cara lagi untuk mempertemukanmu dengan singgasanamu nanti (Ku remas – remas si Joni, penisku).”

***
“Ssshhaah…..ugh….ssshhh… terrus….teruss…sayanggaaaaaagh…..”

“Hmm….hmmm….gini Tante? Sshh…gini? Hmmm…hmmm?” tanyaku sambil menghentak – hentakan penisku dari belakang. Rasanya sungguh nikmat dan sempit.

“Gimana kalo gini hah?” Aku pun meremas – remas payudaranya dari belakang.

“Ough! Sssh…Dio….terus….Tante suka…remas terus…. yang kenceng nyodoknya.. …ugh…. sshhhh…ahh…”

Bek bek bek….plk plk…plok plok plok

“Ugh! Shhh…enak Tante…”

Plok plok plok

Penisku Ku maju mundurkan dengan cepat. Rasa mengentot dari belakang ini begitu nikmat. Apalagi Kami melakukannya di bawah guyuran air shower hangat. Ugh, nikmatnya tiada tara. Air hangat dan cairan vagina Ibunya Zima bersatu dengan hangatnya menyelimuti seluruh batang penisku yang dari tadi menyodok – nyodok vaginanya dari belakang.

Aku sangat menyukai payudara wanita. Mereka adalah saudara kembar yang pas dan berjodoh dengan kedua telapak tanganku. Kadang mereka begitu genitnya hingga Ku harus memelintirnya. Aku benar – benar terangsang meremas payudara Ibunya Zima dari belakang.

Aku begitu mengagumi kulit puith halus Ibunya Zima. Bahkan air pun tak mampu melunturkan kulitnya yang bercahaya. Ibunya Zima benar – benar merawat dirinya. Luar biasa.

“Ugh…”

Aku memeluk Ibunya Zima dari belakang dengan masih meremas kedua payudaranya.

“Ahh…ssh….enak Dio sayang?” tanyanya dengan melenguh kenikmatan.

“Hmmm? Enak banget Tante…

“Haha…lagi sayang…Tante nikmat banget disodok dari belakang.”

“Ugh!” Ku sodok kembali vagina Ibunya Zima. Dadaku dan punggungnya Ibunya Zima berhimpitan nikmat. Ku dekatkan pipiku ke pipinya. Ku rasakan setiap nafas dan air hangat yang mengalir. Ku turunkan tangan kiriku untuk menjelajahi perut dan menurun menyentuh vaginanya.

“Ough!” Ibunya Zima melenguh kencang saat disentuh vaginanya.

Ku goyang – goyangkan jemariku di bagian klitnya. Ugh, nikmat dan merangsang. Tangan kiri Ibunya Zima pun bergabung di belakang punggung tangan kiriku. Ia menuntun setiap putaran jemariku di vaginanya. Oh, sungguh nikmat.

“Terus sayang…terussshhh…”

“Hmm? Enak Tante? Hmm? Ugh…enak Tante. Ugh…enakkk…”

“Hmm? Enak Dio Sayang?” lenguh Ibunya Zima.

“Ugh….ugh…shhh…ahhh. Ughh….(Aku merasakan seluruh batang penisku menjadi terangsang parah. Aku akan keluar)….Ugh….uuuughhh… hmmmmmm….”

“Keluarin sayang…keluarin….”

“Ugh….sshhh..ugh….mmmmmm…AHHHHHHH!!!!!”

Aku keluar. Nikmat sekali rasanya. Penisku berkedut – kedut sembari mengeluarkan sperma. Rasanya…

Dok Dok Dok!

Terdengar suara seseorang menggedor pintu kamar mandi. Aku menjadi panik. Aku menjadi takut. Seseorang memanggilku dari luar.

“Dio….dio…”

“Ibu?!!”

Brak!

Aku kaget. Aku syok. Aku bingung. Rasanya aneh, tapi rasanya seperti nyata. Aku melamun memandangi langi – langit kamarku. Aku bengong. Aku terdiam. Aku tak tahu ingin mengatakan apa.

Aku bermimpi.

Ah, mimpi yang sungguh nikmat. Aneh juga, rasanya seperti benar – benar terjadi. Bisa juga ya mimpi seks. Rasanya mirip. Tapi akan segera hilang sesaat setelah bangun. Untung saja keluar tadi. Ku pikir Ibu benar – benar tahu Aku berhubungan seks dengan Ibunya Zima hingga menggedor kamar mandi. Aneh juga tadi. Gila, ahh.

Dok dok!

Suara pintu diketuk. Ternyata benar! Suara itu ada! Ibu yang membangunkanku!

“Ya, Bu…” Aku pun menyambut ketukan kamar oleh Ibu dari dalam.

“Katanya mau berangkat pagi – pagi. Dari tadi digedor gak bangun – bangun Kamu Nak.”

“Iya, sebentar.” Jawabku yang masih kliyengan.

“Segera mandi. Ibu sudah siapin sarapan di meja.”

“Iya, Bu.”

Aku pun bangkit dari tempat tidur untuk segera mandi. Hari ini Kami diminta datang pagi – pagi karena akan diadakan Try Out di sekolah.

Deg!

Apa ini?

“Aku mimpi basah!”

Ku lihat celanaku basah oleh sperma. Iuh! Baunya! Sperma ini yang sejak kemarin meronta – ronta ingin segera keluar. Akhirnya mereka keluar dibantu dengan mimpi. Kurang ajar! Mereka tak mengajakku menikmati kenikmatan secara nyata di dunia nyata. Mereka keluar tanpa izin.

Segera Ku buka pakaianku dan membawanya bersamaku ke kamar mandi. Ku taruh pakaian kotorku di bak dekat mesin cuci. Aku akan segera mencucinya setelah mandi nanti.

Setelah beberapa lama, Aku pun segera berpakaian untuk siap – siap menuju sekolah. Hari ini adalah Try Out. Aku butuh pikiran segar. Untung juga Aku mimpi basah, jadi Aku pun tak lagi pusing. Malah setelah mandi, Aku merasakan kesegaran kembali. Saat akan menuju meja makan, Aku lupa jika pakaian bekas spermaku belum Ku cuci dengan air. Aku pun menyiapkan ember berisi air dan sedikit detergen. Saat akan memasukkan pakaian, Ku lihat pakaian kotorku tak ada!

Apa Ibu tahu ya?

“Buuu, baju yang di ember biru Ibu ambil?” Aku menanyakannya dari atas.

“Iya, sekalian Ibu rendem Nak.”

Sial! Semoga Ibu tak tahu jika Aku mimpi basah. Spermanya cukup kental membekas di balik celana. Siapa pun yang melihat pasti yakin jika celana basah itu bukan karena terkena air. Lengketnya terlihat jelas walaupun dari balik celana. Tapi Aku yakin sudah melipat celanaku sehingga tak terlihat.

“….manis?”

“Hah?!” (manis?!)

“Iya, Kamu mau dibuatin teh manis?” tanya Ibu.

“Oh, Iya iya.”

Gila, Ku pikir Ibu juga tahu rasa spermaku yang dikatakan Ibunya Zima manis. Ah, macam – macam saja pikiranku. Sejak mengenal seks, pikiranku jadi mesum begini. Ah, Jon Jon.

Aku pun turun menuju meja makan.

***
Selama Try Out yang dilangsungkan oleh sekolah, Aku benar – benar fokus. Aku tak banyak berkegiatan di luar dari kegiatan yang mendukung akan Try Out di sekolah. Aku memang tak les, tapi Aku yakin dengan usahaku, Aku mampu lolos. Try Out ini sebagai tolak ukur bagiku berbandingan dengan anak – anak yang mengikuti les di luar sana.

Aku juga jarang mengobrol dengan banyak teman, terutama Zima. Kejadian kemarin hampir saja membuatku akan dipecat jadi teman. Jika Aku ketahuan mencuri DVD-nya sih tidak masalah, tapi yang Ku curi adalah Ibunya. Tapi Ibunya terlalu seksi untuk tak dinikmati, apalagi secara eksklusif Aku dapat berhubungan seks dengan Ibunya Zima.

Setelah beberapa hari dari Try Out, Aku masih saja tak berani menegur Zima. Ini Aneh. Hanya Aku teman sekolahnya yang mengunjungi Zima, tapi Aku juga yang sekarang jarang mengaaknya gobrol, kecuali membahas tentang film – film yang sedang beredar di bioskop. Aku masih takut dengan Zima kalau – kalau Dia mengetahui suatu saat nanti Aku pernah dan sering berhubungan seks dengan Ibunya, yah, saat ini satu setengah kali. Satu kali saat pertama. Kedua, setengah, karena tanggung. Yah, apa boleh buat, sekali tercebur Aku begitu menikmatinya.

Entahlah, Aku masih ingin sekali yang meneruskan yang kemarin. Memang Aku sudah keluar, tapi itu melalui mimpi. Aku ingin merasakan kembali bagaimana spermaku keluar dan menjalar di dalam vagina Ibunya Zima. Aku tak ingin merasakan kenikmatan semu, harus nyata dan real.

Selama beberapa waktu dalam obrolan Aku dengan teman – teman, Aku berusaha mencari tahu tentang kesibukan les Zima melalui teman – temannya yang satu tempat les dengannya. Aku tak ingin menanyakan secara langsung walaupun di sela – sela obrolanku dengan Zima. Hal itu hanya akan menambah risikoku jika suatu saat nanti ketahuan olehnya. Yah, tiga hari awal sering pulang sore karena les, tapi Selasa adalah hari di mana Zima sering pulang sore sekali. Yang jelas hari ini sudah lewat. Ahh…Aku bingung.


***
Aku benar – benar nekat!

Aku kembali mengunjungi rumah Zima. Aku tahu Zima sedang les. Aku tahu setidaknya Zima pulang sore. Aku tahu hari ini Zima akan pulang jam berapa kira – kira. Aku tahu Aku akan apa hari ini. Aku laki – laki. Badanku tegap. Aku harus berani. Aku ingin kembali merasakan nikmatnya berhubungan seks. Aku harus menuntaskan yang kemarin. Aku tak ingin kembali menggantung.

Aku sampai. Kini Aku telah berada di depan rumah Zima. aku pun dengan gemetar nekatnya memencet bel rumah Zima. Aku berharap Ibunya Zima keluar menyambutku.

Tidak! Bagaimana jika Ibunya Zima tak ada. Bodoh! Ngapain juga Aku datang?

Ckrek

Oh Tuhan, seseorang membuka pintu. Aku deg degan. Aku tak tahu kenapa Aku benar – benar tegang begini. Gila, bocah cilik nekat!

Terlihat Ibunya Zima yang membuka pintu. Ibunya menyambutku dengan setengah tubuhnya. Terlihat Ibunya seperti bangun dari tidur. Sial, Aku datang di waktu yang salah. Harusnya Aku tak datang.

Seperti biasa Ibunya Zima memakai dress panjang tipis dengan tali bahu tipis. Oh, kulitnya putih halus. Aku ingin kembali menikmatinya. Ibunya Zima memandangku dalam. Aku gugup. Tatapanku padanya tak fokus. Aku seperti malu tapi tegang bersamaan. Aku benar – benar nekat. Aku tak tahu apakah Ibunya mengerti jika Aku menginginkannya kembali.

“Eh, Eh, Zima ada Tante?” tanyaku gugup.

Ibunya menatapku sesaat, “Zima lagi les. Pulangnya nanti sore.”

“Oh…” Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Kalimat Ibunya seperti menjadi penutup kedatanganku.

Ibunya kemudian terlihat menoleh ke dalam rumah lalu kembali menatapku. “Kamu mau nunggu?”

Tak ada kata terucap. Lidahku kelu. Sialnya, kakiku perlahan bergerak mengatak iya pada Ibunya Zima. melihat hal ini, Ibunya Zima membuka pintu dan mengizinkanku masuk ke dalam rumah. Aku pun masukd dengan gugup dan sedikit berkeringat. Entah apa yang tersirat di benak Ibunya Zima mengetahui Aku datang mengunjungi Zima tanpa Zima.

Aku masuk ke dalam. Ku ikuti Ibunya Zima dari belakang menuju ke arah ruang TV di belakang. Saat akan memasuki kamar Ibunya Zima, Ibunya Zima menoleh sedikit kepadaku. Ibunya Zima lalu masuk ke kamar. Aku melihat bagaimana Ibunya Zima berjalan. Ibunya Zima berjalan dengan penuh kesederhaan dan berkelas.

Ibunya masuk ke kamar. Sedangkan Aku berjalan melewati kamar tanpa menoleh ke kamar dan duduk di ruang TV. Aku duduk. Aku duduk. Ya, Aku hanya duduk diam di ruang TV. Suasananya sangat hening dan tenang. Aku juga bingung. Jika Aku hanya duduk di sini menunggu Zima jelas bukan rencanaku. Jika Aku ingin main, Zima pasti tahu. Jelas Aku ingin Zima tak mengetahui kedatanganku.
Sudah lima belas menit, suasana masih hening tak ada suara, baik itu dariku maupun dari Ibunya Zima. Duh, bagaimana caranya?

Setelah detak jantungku sedikit mereda dan keringatku mulai kering oleh dinginnya AC, Aku mulai tenang. Tak mungkin juga Aku memanggil Ibunya Zima. Aku tahu kamarnya tak ditutup tadi.

Aku pun bangkit. Ku letakkan tasku di bawah. Perlahan Ku langkahkan kakiku menuju depan pintu kamar Ibunya Zima yang tak ditutup. Pelan dan pelan. Hingga mataku menatap ke dalam kamar. Saat Aku diam mematung di depan kamar, Ibunya Zima sedang tiduran menyamping, kemudian menolehkan kepalanya melihatku. Ibunya Zima lama menatapku, lalu kepalanya kembali ditidurkan.

Aku benar – benar gugup.

Dengan nekat Aku langkahkan kakiku mendekati Ibunya Zima di tepi ranjang. Aku diam.

Ibunya Zima lalu kembali menoleh padaku.

Aku sudah nekat. Aku tak peduli jika Ibunya Zima marah mendapatiku lancang masuk ke kamar tanpa izin. Tapi Aku ingin. Aku juga seakan tak ingin mempercayai Ibunya Zima akan memarahiku. Kami pernah berhubungan seks.

Ibunya Zima menatapku dalam dan memutar tubuhnya menghadapku. Ibunya Zima lalu tersenyum.

Tangannya menarik tanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun lalu merendahkan tubuhku dan berpangku pada lututku menghadap tatapan Ibunya Zima. Dengan telapak tangannya, Ibunya Zima mengusap lembut pipi kiriku.

“Yang kemarin ya?” tanyanya serak.

Tangannya seperti menarik pipiku untuk mendekati wajahnya. Wajahku datang mendekati wajah Ibunya Zima.

“Kamu kangen?” tanya Ibunya Zima lembut.

Aku hanya diam dan sedikit tersenyum. Hari ini Aku yakin akan kembali terjadi.

“Mccchhhmm….”

Ibunya Zima mencium bibirku lembut dan dalam. Aku pun menyambutnya dengan ciuman yang lekat dan sangat kangen. Lama Kami berciuman, Aku menjadi sangat bernafsu mencium Ibunya Zima. Aku benar – benar kangen dengan Ibunya Zima. Wanita inilah yang mengenaliku dengan arti nikmatnya seks. Ia begitu lembut dalam menuntunku. Hal yang selama ini terkenang dalam imajinasiku menjadi nyata di pelukannya.

Aku mencium tengkuknya dengan penuh nafsu.

“Ahh….sshhh…ahh….mmmh.” lenguh Ibunya Zima.

Semua bagian tubuhnya yang terlihat Ku ciumi. Tangan Ibunya Zima hanya meraba – raba bagian punggungku dan mengelus – elus rambutku.

“Uh…shhh….mmmh….susssah….Sussah Dio…”

Aku tahu Ibunya Zima ingin membuka pakaianku. Tiba – tiba Ia mendorong kepalaku yang masih asyik menciumi tubuhnya. Ibunya Zima lalu pelan membuka kancing – kancing pakaianku. Aku sudah benar – benar tak tahan. Aku kemudian berdiri dan mencopot semua pakaianku. Selama Aku mencopot pakaian, Ibunya memperhatikanku dengan senyum seperti meledekku. Ia tahu kemarin Aku yang paling rugi. Sekarang Ia tahu Aku ingin berhubungan seks dengannya. Semua Ku copot hanya meninggalkan celana dalam. Ibunya Zima menatapku dengan tanda tanya. Bola matanya memintaku untuk juga mencopot semuanya. Oh Tuhan, Ibunya begitu nakalnya di pikiranku. Aku pun tersipu malu diminta untuk bertelanjang di depannya.

Penisku begitu tegang menjulang. Sangat keras. Uh!

Aku merangkak mendekati Ibunya Zima hingga berada di atasnya. Aku mencium tubuhnya. Aku penasaran, Aku pun mencium payudaranya. Ku singkap daster atasnya hingga seluruh payudaranya terbuka. Aku begitu mengaggumi kedua payudara ini. Aku pun melumatnya dan menghisap – hisapnya.

“Ough….ssshhh…..” lenguh Ibunya Zima.

Ibunya Zima benar – benar membuatku gila. Begitu seksinya Dia. Ibunya hanya melenguh dengan kelakuan seorang remaja yang baru mengenal seks. Sesekali Ibunya Zima tertawa dengan kelakuanku. Aku tak peduli, yang jelas Aku menginginkannya kembali.

Penisku sudah benar – benar tegang. Aku ingin segera memasukannya ke dalam vagina Ibunya Zima. Pelan dan pasti Aku pun membuka paha Ibunya Zima. Aku pun bangkit menghadap Ibunya Zima yang terlentang.

Aku tak menyangka, Ibunya Zima benar – benar tak memakai pakaian dalam, hanya daster tipis. Terlihat jelas vagina Ibunya Zima di mataku. Pikiranku semakin tak karuan. Aku pun mengarahkan penisku untuk memasuki vaginanya. Saat berada di depan vaginanya…

“Pelan…” pinta Ibunya Zima.

Aku pun memathui perkataannya untuk memasukinya perlahan. Ah, gila sudah sangat ingin, Aku diminta memasukinya pelan. Penisku pun Ku dorong masuk ke dalam vagina Ibunya Zima.

“Haaaa….” Lenguhnya dengan mulut terbuka.

Oh Tuhan, Aku benar – benar kembali merasakannya. Dinding penisku terasa geli, nikmat, dan terangsang. Gila. Rasanya begitu nagih. Aku pun memaju mundurkan penisku di dalam vagina Ibunya Zima.

“Mmmhh….mmmh….” lenguhku berat merasakan nikmatnya berhubungan seks.

“Sshhhh…terus Dio….dorong terussshhh….. mmmhhh….”

Aku mendorong kuat keluar masuk penisku di dalam. Urat – urat leherku benar – benar tegang dengan penuh nafsu. Joni, Kau beruntung. Kau kembali ke singgasanamu. Nikmati semuanya Joni.

Aku menggenjotnya hingga tubuhku merebah menindih tubuh Ibunya Zima. Nafas Kami saling bersahutan. Nafas yang sama – sama penuh nafsu dan nikmat.

Ibunya Zima kemudian mendorong putar tubuhku. Aku kaget. Ibunya Zima lalu berbalik. Aku yang terlentang dan Ibunnya Zima yang berada di atasku. Ibunya lalu mencium bibirku. Aku pun membalasnya penuh nafsu. Kemudian, bibirnya menelusuri tengkuk leherku, menelusuri dada bidangku, hingga kemudian bibirnya terhenti di atas kepala penisku.

Oh Tuhan, Aku akan kembali merasakan rasanya dikulum. Dikulum oleh bibir mungilnya.

“Aahhhhh…..” Aku melenguh dengan nikmat bagaimana mulut dan lidah Ibunya Zima mengulum penisku. Mulutnya dimaju mundurkan. Gila, nikmat sekali. Rasanya kali ini lebih dahsyat, lebih merangsang, lebih geli.

“Ough…..”

Aku benar – benar dibuat nikmat oleh kuluman Ibunya Zima. Entah, Aku merasa seperti lebih nikmat dikulum dengan mulutnya daripada vaginanya. Tapi Aku tak ingin menolak keduanya. Keduanya membuatku nikmat. Gila, lama Ibunya Zima mengulum penisku, Aku seperti sudah di ujung jalan. Aku akan keluar. Aku benar – benar tak tahan. Ough! Aku….Aku…akan…

“Mmccc…ah!”

Tiba – tiba Ibunya Zima menghentikan kulumannya dan segera menekan kepala penisku dengan sedikit tekanan. Ibu jarinya menekan bagian tengah lubang penisku.

“Hhaaa.....ahh!” Aku seperti dibuat kaget dan bingung. Aku yang tadinya seperti akan keluar sekarang menjadi tertahan akibat sentuhan Ibu jarinya di kepala penisku. Aku tak jadi keluar.

“Tahan ya….”

Dengan senyumnya yang khas, Ibunya Zima memintaku menahan Aku untuk keluar. Bagaimana Ia tahu Aku akan keluar?

Ibunya Zima lalu duduk di atas panggulku. Ia membuka pahanya dan akan memasukkan vaginanya ke penisku dari atas. Pelan dan pelan penisku hilang ditelan vagina Ibunya Zima. Ough!

“Sshhh….mmmmmmh…..Dio…ugh…..dorong….”

Aku mendorong kuat masuk ke vaginanya. Ibunya Zima menggoyang – goyangkan pinggulnya. Uh, penisku begitu nikmat. Seluruh dinding penisku seperti diremas – remas. Sangat nikmat dan begitu merangsang. Gila! Rasanya lebih nikmat dari yang kemarin.

“Sssh…terussss….Dioooh….Diosssssshhhh”

Suara lenguhan Ibunya Zima benar – benar membuatku semakin kuat menyodok – nyodok vaginanya. Aku benar – benar tak kuat. Aku akan keluar. Aku akan keluar. Aku kellluuuuarrrrrr!

“AAAAHHHHHHHH!”

Aku akhirnya keluar. Spermaku mengalir ke dalam Ibunya Zima. Aku merasakan banyak yang keluar. Aku dapat merasakannya. Gila rasanya sangat nikmat. Nikmat dengan penuh keringat yang selalu berusaha dikeringkan oleh dinginnya AC kamar.

Nafasku benar – benar berat tapi lega. Ibunya Zima jatuh merebah di atas tubuhku. Nafasnya pun sama seperti nafasku yang terengah – engah.

Kepalaku plong dan terasa ringan.

***
Sudah setengah empat. Aku tak mengira seks bisa melupakan jalannya waktu. Setengah jam lagi adalah kepulangan Zima. Ada perasaan lega tapi juga bahaya. Seks benar – benar membutakan pikiranku. Jika saja lewat, kejadiannya pasti seperti kemarin. Jika itu terjadi, Zima pasti sudah curiga.

“Kamu gak nunggu Zima?”

Ibunya bertanya saat Aku sudah berpakaian lengkap dan duduk di dekatnya. Ibunya Zima juga sudah berpakaian lengkap walaupun hanya daster.

Tangannya Ibunya Zima pun menyentuh pipiku.

“Maaf ya yang kemarin. Gak tuntas. Kamu pasti kebayang – bayang ya?”

Pertanyaannya membuatku tak berkutik jika kedatangan nekatku hanya untuk kembali menuntaskan seks yang kemarin. Aku benar – benar kurang ajar. Aku seharusnya berterima kasih kepada Ibunya Zima. Aku tak tahu balas budi. Wanita inilah yang mengajariku segalanya. Sekarang Aku seperti manusia yang penuh nafsu.

“Mm..maa…maf Tantee….Saya benar – benar minta maaf. Saya….”

“Sssst. Gapapa, Tante tahu Kamu masih muda. Tante juga yang membuat Kamu mengenal semua ini.”

“Iya, Tante. Saya benar – benar minta maaf. Saya seperti ketagihan. Saya tidak tahu. Saya tidak akan datang lagi untuk hal ini. Saya minta maaf karena nekat.” Jelasku maaf.

Ibunya Zima menatapku senyum. “Hei, it’s okay.”

Ibunya Zima pun memintaku untuk segera pulang. Ibunya Zima khawatir jika Aku tetap di sini akan membuat Zima curiga.

Dengan perasaan bersalah, Aku pun pamit untuk pulang. Aku seperti begitu kurang ajarnya datang hanya untuk berhubungan seks. Dalam benak, Aku bertekad untuk tak lagi berbuat hal ini lagi. Aku akan hanya berteman dengan Zima tanpa mencari kesempatan berhubungan seks dengan Ibunya. Aku ingin menjadi teman yang baik bagi Zima. Aku tak ingin merusak dan selalu mengambil celah.

“Hey, lain kali Kamu beritahu Tante ya jika ingin datang.” Imbuhnya sembari memberikan secarik kertas di tanganku.

Tak ada apapun yang tertera kecuali sebuah nomor, nomor handphone.
mayanlaah dio
..
 
Chapter 10 : Slrrruppp

Four and a half.

"Palace slave."

"Nocturnal activities."

I'm a "conceited ape"?

"I'll tell you in the morning."

I can't believe it.

He's not coming.

She's not coming.

She's not coming.

I can't believe I'm not going.

……..

This is one night
you'll never forget!

Yeah, malam ini benar – benar tak bisa Ku lupakan.


Entah kenapa Aku tak dapat menikmati setiap aksi di depan mataku. Seberapa kuat dan berdarah – darahnya para aktor menarik minatku, Aku tetap saja tak tertarik kali ini. Aku benar – benar nekat. Gila.

Yah, beberapa kudapan yang mampu menarik minatku hanya sekedar menutupi kegugupan yang terjadi sepanjang menit berlalu dari sejak awal film diputar. Sesekali Ku lirik Zima dan Dia begitu fokus dan menikmatinya setiap alur cerita. Satu kali, dua kali, hingga kini sudah beberapa kali, Aku masih saja mendapati Zima seperti tak tahu apa – apa. Dia anak baik, tapi di belakangnya, Aku bermain dengan Ibunya. Dan saat ini, Aku benar – benar bermain di belakang Ayahnya, suami Ibunya Zima.

Sebenarnya langkahku selalu berat saat mengunjungi rumah ini. Tapi apa daya, Aku selalu luluh. Aku tahu jika sepijak saja kakiku menyentuh lantai dalam rumah ini, akan selalu ada hal yang terjadi antara Aku dan Ibunya Zima. Bahkan Aku tak menyangka detik waktu yang bagiku seorang remaja tak pernah berarti, bisa menjadi begitu menegangkan dan menyenangkan. Pria yang selama ini jauh dan lama kembali ke pelukan Ibunya, harus juga Aku berselimut dalam celah waktu di antara pertemuan mereka. Aku selingkuh, Aku kotor, dan Aku kurang ajar.

Ku pikir perlu menjadi karakter yang nakal dan berlagak player seperti yang Ku lihat di kelas untuk menjadi seseorang yang bisa menikmati sex dengan liar. Jika melihatku di depan cermin di kamar ini, Aku jelas kalah. Setiap orang punya kesempatan. Gila. Bangga sekali Aku. Tidak perlu tampan dan mentereng untuk dapat menikmati kenikmatan sex. Hanya perlu kesempatan.

“Ough!!”

Aku kaget dengan reaksi Zima saat menonton adegan di depan layar. Aku pun juga akhirnya tersadar dari lamunanku walaupun mataku daritadi tetap menatap layar. Aku pun kembali menikmati film ini. Samar – samar di antara dialog dan adegan yang terjadi di depan mata Kami, terdengar seperti suara orang berdebat. Tidak ada orang lain di rumah ini selain Kami dan orang tua Zima. suara tetangga pun juga tidak. Ini benar – benar suara kedua orang tua Zima yang sedang bertengkar. Aku pun yang mendengarnya pura – pura saja tak tahu. Atau Aku bisa saja salah. Baru saja makan tadi dan obrolannya hangat, masa terjadi ribut. Yah, pertengkaran bisa saja terjadi.

Suara – suara itu masih saja samar terdengar dan tak berhenti. Aku pun seperti tersadar jika tak ada lagi dari reaksi Kami berdua saat menonton film. Sepertinya Zima juga menyadarinya. Aku pun melirik Zima dan Zima pun melirik padaku.

“Itu…?”Aku pun bertanya pada Zima.

“Hmmm…” itu saja jawabannya.

“Hmm, gapapa kan?” kembali Aku bertanya.

“Uhm, bentar. Lo terusin aja.”

Zima pun bangkit dan mencoba mengecek apa yang terjadi di antar kedua orang tuanya. Perlahan Ia melewatiku dan membuka perlahan pintu kamar. Ia pun mulai menghilang dari pandanganku.

Shit!

Jangan – jangan Ayahnya tahu jika Aku dengan Ibunya Zima! Oh tidak! Benarkah?! Tidaaak! Bagaimana jika pertengkaran yang terjadi di antara mereka karena Ayahnya tahu tentang diriku?


Tiba – tiba entah darimana Aku seperti menduga jika pertengkaran yang terjadi di antara kedua orang tua Zima karena mereka mengetahui hubungan terlarangku. Aku tiba – tiba panik. Aku menjadi bertanya – tanya dan Aku menjadi gugup. Suara – suara dalam kepalaku mengalahkan setiap teriakan dan tembakan dalam adegan di layar. Air yang telah kering oleh AC dari kulitku, kembali muncul. AC pun berusaha mengeringkannya kembali tapi tak dapat mengeringkan keringat yang muncul dalam kulit dadaku. Aku duduk, Aku panik, Aku bingung, Aku di kamar, dan Aku terperangkap.

Tidaak!

Ku coba melupakan pikiran – pikiran panikku. Ku gapai beberapa genggam kudapan dalam tangaku. Mencoba melupakan dan menikmati kembali adegan di layar. Walaupun masih terasa sedikit gugup.

Samar namun pasti, suara – suara itu mulai menghilang dan senyap. Hanya suara – suara di layar yang melingkupi kedua daun telingaku saat ini. Pertengkaran itu telah berakhir. Apakah ini karena Zima yang menengahinya? Tapi jika Zima yang menengahinya, Zima jadi tahu jika benar – benar yang dibahas dalam pertengkaranku adalah hubunganku dengan Ibunya Zima. aku tak dapat membayangkan jika yang membuka pintu adalah Zima dan berbegas menghampiriku lalu memukulku. Habis sudah.

Ckrek!

Ah!


Aku kaget dan menatap Zima yang tiba – tiba membuka pintu. Aku membisu sembari menatapnya gugup. Tanganku bersiap – siap jika Ia akan memukulku. Aku pun menunggu aksinya. Aku siap.

Ia pun menutup pintu dan melewatiku di antara layar. Ia kemudian duduk. Duduk dengan tenang. Aku menduga sepertinya Aku selamat. Tapi Aku masih belum tahu tentang hal apa yang menjadi pertengkaran di antara kedua orang tuanya. Aku lebih memperdulikan akan apa yang Zima katakan daripada teriakan atau ledakan di dalam layar. Aku sudah tak peduli.

“Ok..?” Aku pun bertanya halus dan sedikit gugup.

“Hmmm?” Zima pun menoleh padaku. Ia lalu mengambil kudapan dan menyantapnya pelan. Zima pun menolehkan kembali pandangannya ke layar.

“Anjir, lewat Gw adegannya..”

Perkataannya membuatku lebih bersiap – siap kalau kalau Ia akan memukulku. Aku masih penasaran.

“Gapapa kan?” Aku pun masih penasaran.

“Hmm? Oh, itu. Udah beres. Gw pikir apaan.”

Aku yang mendengar jawabannya seperti disiram sedikit air es di kepalaku. Sepertinya pertengkaran antara Ibunya dan Ayahnya bukan karena hubunganku dengan Ibunya selama ini.

“Biasa, nyokap sama bokap kalau lama ngobrol pasti aj ada debatnya. Kalau debat ya gitu, kuat banget adu argumennya.”

“Ohh..” Aku pun masih penasaran. Jawaban Zima masih abu – abu. Jelas – jelas tadi ada pertengkaran.

“Biasa, lagi ngomongin Gw sama rumah. Nyokap pengen tetep di sini sampai Gw lulus.”

“Bagus dong. Kan dikit lagi lulus.” Tambahku.

“Hmm..(kudapan yang dimakan Zima berjatuhan). Bukan, sampe Gw lulus kuliah maksudnya. Bokap pengennya Gw kuliah di luar. Jadi ya gitu, debat aja terus.”

Cssshhh…

Air es pun tumpah ke kepalaku. Teryata Aku aman. Penjelasannya membuat keringatku berhenti keluar dan kegugupanku pun hilang. Gila, apa harus Ku hentikan saja ya hubunganku dengan Ibunya Zima. Aku khawatir akan ketahuan nanti pada akhirnya. Dan tentu saja akhir ceritanya akan sangat horor bagiku. Apalagi jika pukulan Zima menghantam wajahku sebanyak hantaman hubunganku dengan Ibunya Zima. Bisa tak dikenali wajahku nanti.

Wah, penentuan akan nasib sang anak setelah lulus sekolah ini bisa ya membuat orang tua bisa bertengkar hingga terdengar ke kamar lain. Yah, memang sih, pertemuan antara Ibunya Zima dan Ayahnya hanya beberapa kali saja. Sekalinya bertemu, tumpah semua, sekalian diobrolin. Untung saja Bapakku dan Ibuku tak seperti itu. Jika iya, Aku juga ikut diajak debat pasti. Tapi, jika Aku jadi Zima mungkin Aku akan menuruti perkataan Ayahnya. Kapan lagi bisa kuliah di luar negeri, Eropa lagi. Wuih, pasti sangat menyenangkan, apalagi ketemu dengan orang – orang bule. Wanita – wanitanya kan cantik – cantik. Sayang sekali Zima jika tak menerima ajakan Ayahnya. Tapi sulit juga jika Ibunya menolak.

……

Oh...

Very funny.

Very funny.


……..

Hmm, sangat lucu. Kepanikanku pun ternyata bukan hal yang benar – benar terjadi.

Aah, akhirnya selesai. Terus terang Aku hanya menikmati film ini di sepertiga akhir saja. Yah, walaupun ini film lama, tapi masih bisa dinikmati sampai sekarang. Aku menoleh ke Zima dan Ku lihat Zima tertidur. Ia nyenyak sekali sepertinya. Efek habis makan dan menonton film membuat rasa kantuk cepat datang dan hinggap.

Sudah malam rupanya. Aku ingin segera pulang. Lagi pula Aku hanya mampir saja hari ini. Tapi karena bertemu dengan Ayahnya Zima , jadi lama waktunya. Aku kebelet kencing. Aku pun keluar kamar dan menuju kamar mandi.

“Ough…mmmhh…..ough…mmmmm.”

Samar – samar Ku dengar suara erangan dan lenguhan. Suara itu berasal dari kamar orang tuanya Zima. Ya, itu suara lenguhan, seperti suara yang Ibunya Zima keluarkan saat Aku berhubungan sex dengannya.

Bukannya kedua orang tuanya sedang bertengkar tadi? Ini kok malah seperti sedang berhubungan sex? Aku bingung. Sebenarnya yang Ku dengar tadi itu orang bertengkar atau ini? Terus, Zima juga mengecek kedua orang tuanya. Apa tadi Zima juga mendengar suara ini? Tapi katanya ribut, meributkan tentang nasib Zima setelah lulus. Ini beda. Ini suara orang sedang berhubungan sex. Wah, bisa ya, habis bertengkar begitu kemudian berhubungan sex. Memang sih sepertinya wajar, tapi kan tidak juga setelah bertengkar. Ini benar – benar bertengkar lalu ngesex.

Perlahan Ku langkahkan kaki ke arah kamar Ibunya Zima. Air seni yang dari tadi menggedor lubang penisku pun Ku tahan untuk sekedar memastikan apakah suara yang Ku dengar adalah benar.

Mmh…terus Ma…goyang teruss…”

“Oh…ahhhh!”

Shit!


Benar! Mereka sedang berhubungan sex!

Apa – apaan ini?! Tadi Aku sex hampir ketahuan, terus mereka bertengkar, lalu sekarang mereka sedang berhubungan sex?? Aku tak habis pikir, bagaimana bisa?

Aku pun tak melanjutkan pendengaran ini. Aku segera ke kamar mandi dan kembali masuk ke dalam kamar Zima.

Zima masih tertidur. Waktunya sudah malam. Aku ingin pamit pulang. Tapi susah juga pamitnya. Jika Ku bangunkan Zima, Zima pun akan malu jika Kami melewati kamar orang tuanya yang saat ini mereka masih berhubungan sex. Begitu pun Aku, Zima pun malu jika temannya mendengar sex orang tuanya. Ah, serba salah. Aku duduk dan membuka majalah film di rak. Aku bermaksud menunggu beberapa menit hingga Ku perkirakan hubungan sex orang tuanya Zima selesai. Jadi Aku lebih nyaman jika harus membangunkan Zima untuk berpamitan. Memang sih dari kamar suara orang tuanya yang sedang berhubungan sex tak terdengar. Berbeda dengan suara pertengkaran tadi. Tapi, jadinya Aku juga tak tahu kapan mereka selesai berhubungan sex. Jika lama, Aku nanti ditanya Bapak kalau pulang terlalu malam. Untungya bengkel sedang ramai.

Lumayan lama Aku menunggu. Hampir setengah jam dan Ku rasa cukup bagiku untuk membangunkan Zima. aku tak enak sebenarnya untuk membangunkan Zima, tapi apa boleh buat. Masa mengetuk pintu kamar Ibunya Zima. yang benar saja. Hmm..Aku mencoba cara agar bisa berpamitan. Aku tak mungkin berpamitan tanpa tuan rumah. Bisa dikira tak punya etika Aku. Pamit tak tampak punggungya.

Ku lihat piring – piring kudapan yang berantakan. Aku berpikir akan merapikannya dan mengembalikan piring – piring ini ke ruang makan sambil memastikan apakah kegiatan orang tuanya Zima telah berakhir. Seharusnya sih sudah selesai. Tapi tak tahu juga, Ibunya Zima kan sudah lama tak bertemu dengan suaminya.

Aku keluar kamar sambil membawa piring. Ku taruh di atas meja makan. Sambil menaruhnya, Ku buat telingaku sensitif terhadap suara yang datang dari kamar Ibunya Zima. Suara itu sudah tak ada. Benar – benar hening. Mereka telah selesai berhubungan sex. Mungkin sekarang mereka tertidur karena lelah, terutama Ibunya Zima. Ibunya yang banyak berkegiatan hari ini, termasuk saat awal siang tadi Kami berhubungan sex di meja makan ini. Aku bisa membangunkan Zima sekarang.

Ckrekk!

Aku kaget. Pintu kamar Ibunya Zima terbuka. Aku seperti pura – pura tak menyadarinya. Ibunya Zima menghampiriku dan membuka kulkas. Dengan lembutnya tangannya mengambil sebuah botol minuman dan menenggaknya.

Deg!

Aku tertegun melihat Ibunya Zima. Kulitnya bercahaya terkena pantulan cahaya lampu dalam kulkas. Keringatnya masih melekat dan jelas dalam pandanganku. Aku hanya diam melihatnya.

“Kamu mau pulang?”

Ibunya sepertinya tahu akan maksudku keluar untuk berpamitan. Yah, karena sudah bertemu dengan Ibunya Zima, walaupun baru saja Ibunya Zima selesai berhubungan sex, tetap saja Aku harus berpamitan.

“Ah, I, Iya Tante. Saya pamit pulang.”

“Hmm, Ok. Nanti Tante minta Zima anterin Kamu ya?”

“Oh, gak usah Tante, Saya pulang sendiri aj. Zima juga lagi tidur.” Jelasku bermaksud pulang sendiri karena tak enak dengan Zima.

“Oh, ya sudah.”

Aku pun mengambil tasku di dalam kamar Zima dan berpamitan pada Zima tanpa membangunkannya. Aku keluar dan Ku lihat Ibunya Zima sudah menungguku di depan pintu. Aku mencium tangan Ibunya Zima dan berpamitan padanya.

“Saya pulang Tante.”

“Mmh? Ayo.”

“Hah?”

“Iya, Ayo. Tante anterin pulang ya. Sekalian ada yang mau dibeli.”

“Ah..”

Aku tak bisa menolak permintaannya. Akhirnya Ibunya Zima yang mengantarkanku ke depan. Biasanya Zima yang mengantarkanku, kali ini Ibunya. Ini pertama kalinya Aku berada satu mobil dengan Ibunya Zima.

***
“Maaf ya, Tante minta Kamu temenin sebentar mau beli sesuatu.”

“Iya, Tante..”

Aku pun diajak ke supermarket besar di sini. Biasanya Aku hanya diantar di depan perumahan dan lanjut naik angkot. Tapi Ibunya Zima memintaku menemaninya hingga Ibunya Zima selesai membeli sesuatu. Aku pun juga entah mengapa tak bisa menolak.

Kami masuk dan menuju parkiran di belakang supermarket.

“Hah…” Ibunya Zima menundukkan kepalanya ke atas setir. Ia terlihat capek. Aku hanya diam saja.

Lalu terdengar isak tangis dari Ibunya Zima. Aku kaget dan bertanya – tanya apa yang membuat Ibunya Zima mendadak seperti menangis. Aku dibuatnya bingung harus berbuat apa. Aku mencoba mencari tisu tapi tak ada.

Ibunya bangkit dan menengadahkan kepalanya.

“Hssh….. Maaf ya. Tante mungkin capek. Gak ada tisu ya?”

“Eh, iya Tante.”

“Ini, tolong ya. Tisu dengan minuman, Kamu juga.”

Ibunya Zima memintaku untuk membeli tisu dan minuman di dalam. Sepertinya akan lama ini Aku pulang. Tapi, Aku juga tak bisa meninggalkan Ibunya Zima yang terlihat sedih sekarang. Yah, Aku pun mengiyakan permintaannya.

***
Aku kembali dengan membawa tisu dan beberapa minuman ringan. Saat Ku buka pintu mobil, tak Ku dapati Ibunya Zima di dalam.

“Hei, di sini.”

Ibunya Zima ternyata sedang duduk di tengah. Aku pun membuka pintu tengah dan duduk di sampingnya.

“Makasih ya.”

Aku hanya diam dan menemaninya di sampingnya.

“Kamu pasti dengar ya tadi?” Ibunya menanyakan padaku tentang pertengkaran tadi.

“Oh, gak Tante. Gak kedengeran juga kok.”

“Bukan. Bukan yang itu. Yang setelahnya. Kamu pasti denger kan?”

“Ah.” Ibunya Zima seperti tahu jika Aku juga mendengarkan saat mereka sedang berhubungan sex.

“Hihihi…maaf, bercanda. Tante pikir Kamu dengar.”

Yah, sebenarnya Aku juga mendengarnya Tante.

“Maaf ya, tadi Tante sempet nangis. Mungkin Tante capek. Kamu, trus sempet debat sama Ayahnya Zima, trus terakhir tadi. Yah, senang, sedih, marah, keluarnya bisa sama, nangis.”

“Oh, iya Tante..”

“Ayahnya Zima pengen Zima kuliah di Jerman. Kalau Zima ke sana mau gak mau Tante juga ikut. Tadi ….”

Ibunya Zima menjelaskan tentang keinginan – keinginan kuat Ayahnya yang ingin membawa Zima dan Ibunya tinggal di Eropa. Ayahnya merasa Zima akan betah dan bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik jika belajar di Eropa. Tetapi Ibunya Zima menginginkan agar Zima berkuliah dulu di sini, setidaknya untuk lulus sarjana. Pertengkaran yang Ku dengar tadi hanya puncak dari sekian obrolan lewat telepon atau email antara Ibunya Zima dan Ayahnya. Yah, walaupun pertengkaran itu diakhiri dengan sex. Untung saja happy ending.

Tanpa sadar Kami sudah saling bersender satu sama lain. Suara Ibunya Zima pun mulai terasa pelan dan berat di telingaku. Aku pun menjadi lupa jika Aku harus pulang.

“Mmmcccuah….mmmh…”

Ibunya Zima mulai menciumi pipiku. Aku yang sebenarnya sudah berhubungan sex dengannya pun masih saja canggung dibeginikan.

“Maaf ya Dio, Kamu jadi pulangnya lama.” Ibunya Zima memegang daguku dan Kami saling berpandangan.

“Mmmmhh…mmcccchhhhh….aahhhh”

Kami berciuman. Berciuman. Dalam dan dalam. Kali ini Aku merasa ciumannya berbeda. Terasa dalam dan seperti penuh perasaan. Aku pun tak kuasa menolaknya. Aku membalasnya dengan penuh mesra dan menikmatinya. Lidah Kami terus menyapa, bertemu, dan saling menyayangi. Lidah Ibunya Zima penuh energi dan sensual. Membuat gairah seksualku bangkit kembali dan bergelora.

“Mmmccahh…. Duhh, harusnya Kamu pulang..”

Aku hanya dapat menatapnya dan mencerna perkataannya agar Aku segera pulang. Aku sudah tak peduli lagi dengan perkataannya.

"Maaf ya, harusnya Tante yang angkat telepon Kamu, Tante gak saddd..mmmmmcccahhhh..."

Aku kembali mencium Ibunya Zima dan mencumbuinya. Aku tak mempedulikan tentang tak diangkatnya deringan teleponku. Dengan ini, sudah dua kali Aku menyetubuhi Ibunya Zima. Aku peluk erat pinggangnya agar rapat dalam dadaku.

“Mmmccchhh…”

Ku geluti tubuhnya dengan penuh gelora. Ku buka kancing dasternya yang hanya dua buah. Ku raih payudaranya di tanganku.

Pelan dan pelan Ku julurkan lidahku ke putingnya. Ku tiup – tiup kecil putingnya dan pelan ujung lidahku menyentuh putingnya. Slruppp…

“AAHHhh…..! Ibunya Zima melenguh.

Ku ciumi putting payudaranya dan menjilati bagian aerolanya yang mungil. Sesekali Ku sedot dan Ku tarik putingnya. Tanganku pun menggapai bagian pahanya hingga kedua pahanya terbuka. Ku raba – raba pahanya membuatku nafsu untuk terus menciuminya. Saat Ku raih pantat Ibunya Zima, Ku ketahui jika Ibunya Zima tak memakai dalam. Ibunya Zima hanya memakai daster tanpa bra dan celana dalam. Benar – benar membuat Aku semakin beringas menciumi dirinya.

Turun dan turun Ku cumbu perutnya lalu Ku singkap kedua paha Ibunya Zima. Aku terdiam dalam menahan gelora ini. Samar dalam gelap dapat Ku amati bahwa vagina Ibunya Zima terlihat mengkilap basah. Ke dekatkan kepalaku di hadapannya. Jelas Ku lihat vaginanya yang bercahaya karena basahnya lendir dari dalam. Liangnya kemudian mengatup dan membuka seiring desahan nafas Ibunya Zima. hal ini membuatku penasaran. Aku seperti ingin merasakannya. Aku ingin menjilatnya dan mencumbui vagina Ibunya Zima.

Ku lihat wajahnya yang sudah memerah dan matanya yang sayu menatapku. Aku pun dengan perlahan mendekati liang vaginanya.

“Mmhhh…slrrruppp….mmmshhchh…ahh…”

“AHHH……!”

Lenguhannya memanjang dan menghentak. Tangan Ibunya Zima pun memegang kepalaku. Mendapatinya seperti itu membuatku semakin ingin menjilatinya.

Rasanya berbeda. Rasanya aneh tapi Aku begitu bernafsu menjilatinya. Ini pertama kalinya Aku menjilati vagina seorang wanita. Tidak harum seperti parfum tapi membuat penisku tegang sejadi – jadinya.

“Basah banget ya?” tanyanya di sela – sela kenikmatan yang Ibunya rasakan dan masih sempat bertanya. “Masukin Dio…..”

Aku pun membuka resleting celanaku. Dan benar saja, penisku benar – benar kembali tegang. Aku tak mengira akan melakukan sex dua kali dalam satu hari. Luar biasa.

Pelan dan pelan Ku dekati kepala penisku ke liang vagina Ibunya Zima. ku gesek – gesekkan kepala penisku di sekitar mulut vagiananya.

“Oughh!!! Ssshh…..Masukkk…”

Blesss….

Kumasukkan penisku. Rasanya basah dan sedikit hangat. Begitu basah hingga sangat leluasa keluar masuk di dalam vaginannya. Dapat Ku rasakan basahnya menyelimuti seluruh batang penisku yang tegang. Ku rasakan sedikit remasan di dalamnya dan membuat saraf di seluruh batang penisku begitu terangsang. “Oughh…shhhh…Tanteeee…”

“Terusss…teruss…Diooosssh….ahhh….”

Plok…plok….cplok…..plok……

Gila Aku menggenjotnya. Benar – benar nikmat. Rasanya enak banget.

Aku pun menggenjot Ibunya Zima dengan penuh nafsu. Kami terus saling mencumbu dan Aku pun mencumbu tengkuknya, bibirnya, dan payudaranya. Aku benar – benar merasakan nikmat. Tiap lenguhan dan desahan yang keluar dari bibir Ibunya Zima benar – benar membuatku tak tahan. Ibunya Zima benar – benar hot.

“OHHH…AHHHH…SHHHHHH…Tante……Tann….Ak…Akkkku…..Kellllluuuuarrrrr……”

“IyaaHHHH…Sayyyanggg…terrusssss…….terusss….keluarrrinnn……mmmmhHHHH….TantteeaaaAHHHH….juggggaHHHHHH…….”

“AAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!

Aku keluar. Keluar banyak sekali. Rasanya sangat nikmat dan enak. Aku tak menyangka spermaku masih banyak. Aku kembali takluk. Takluk oleh jepitan vagina Ibunya Zima.

“Mmccchhuah”

Ibunya Zima mencium lembut bibirku.

***
“Sudah sampai.”

“Iya Tante. Makasih sudah jauh dianterin ke sini. Saya gak enak.” Maafku pada Ibunya Zima.

“Hey, Tante yang minta maaf. Maaf karena Kamu harusnya bisa lebih cepat pulang.”

“Mmmccchhhuah.”

Ibunya Zima pun menciumku. Aku keluar dan berpamitan pada Ibunya Zima yang dengan sukarela memintaku untuk mengizinkannya mengantarkanku ke rumah. Yah, walau tak sampai di rumah, hanya sampai di sekitar wilayah saja, Aku berterima kasih. Aku mencoba untuk tak membuatnya benar – benar mengantarkanku agar Aku juga aman untuk tak diketahui orang.

Berlalu. Mobilnya telah berlalu menjauh hilang dalam jangkauan pandanganku.

Sudah malam. Aku pasti ditanya oleh Ibu kenapa pulang larut. Yah, bisa saja beralasan banyak. Aku pun membuka pintu pagar rumah dan membuka sela kunci.

“Mas! Dari mana?”

“Ah?! Tia?!”

Tia tiba - tiba menepuk pundakku. Dia datang dari arah Aku datang.

"Siapa itu tadi?"

"Ah? Hmm? Eh.."
hrsnya ajk dio juga ke jerman,,,pasti lbh sippp,,,
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd