Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUHAN, IJINKAN AKU JADI PELACUR

Status
Please reply by conversation.

satria73

Calon Suhu Semprot
Daftar
12 Nov 2017
Post
2.563
Like diterima
6.746
Bimabet
Sebuah Prolog


Cerita ini terinspirasi dari buku, TUHAN, IJINKAN AKU JADI PELACUR, karya Muhidin M. Dahlan.

Penulis merubahnya dengan berbagai adegan mesum, karena ini adalah cerita panas. Maka, tanpa adegan mesum cerita ini akan menja(i hambar. Hanya di bagian prolog, cerita ini nyaris 80% persen sama dengan novel aslinya. Semoga bisa menghibur para pembaca.

SEBUAH KISAH :

Suatu hari para pemuka agama dan para tokoh masyarakat, menjatuhkan hukuman kepada seorang wanita yang dianggap berzina, walaupun wanita itu sebetulnya pelacur. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak main main: rajam atau hukuman mati dengan cara dilempari batu sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Tidak hanya para pemuka agama dan tokoh masyarakat, tetapi anak-anak kecil, mereka yang tidak tahu apa itu dosa, pelacuran dan zina turut ambil bagian dalam aksi pembunuhan seorang wanita yang dianggap "tuna susila" oleh masyarakat yang menganggap dirinya "cukup susila".

Tubuh wanita itu sudah berlumuran darah, ia menjerit kesakitan, dan orang orang semakin bersemangat melemparinya batu. Jerit kesakitan, membuat mereka semakin bersemangat menjatuhkan hukuman yang mereka anggap pantas.. Tiba-tiba dari salah satu sudut jalan muncul sosok pria kurus, tinggi, berjubah putih.

"Berhenti, apa yang sedang kalian lakukan? " seru pria yang baru datang itu. Tanpa memperdulikan keselamatannya, Ia mendekati wanita
malang yang sedang dilempari batu itu. Memeluknya dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melimdungi wanita itu dari terjangan batu. Mata-Nya merah, bibir Nya gemetaran, namun suaranya berapi api bagaikan suara petir di tengah hari:

"Kalian melempari batu kepada wanita yang sudah tidak berdaya, ini. Kalian yang ingin membunuh wanita ini? kenapa kalian ingin membunuh dia Karena ia seorang pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah salah satu di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya?
Kalau ada, biarkan dia yang melemparkan batu pertama. Kalian
semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini." Kata orang itu, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa.

(Dikutip dari Anand Krishna,)


Pop : Penulis.


Memerkarakan Tuhan, Tubuh, dan Tabu



DUA TAHUN JELANG PERGANTIAN ALIF

Di Sebuah tempat, saat kita duduk di bangku sebuah taman. Bercengkrama menikmati udara sore yang sejuk, sambil berdiskusi banyak hal. Senyum dan tawamu begitu lepas, membelai jiwaku yang memendam rindu. Kutahu , tak mungkin bisa merengkuhmu dalam dekapan cinta yang tersimpan bisu di lubuk hatiku. Aku hanya bisa menikmati, bibirmu yang indah bergerak lincah meluncurkan kata demi kata yang membuatku bahagia. Walau kadang, aku tidak bisa mencerna apa yang sedang kau bicarakan, karena telingaku hanya bisa mendengar suaramu tanpa mampu mencerna kalimatmu. Kau seperti bidadari yang dijanjikan para syuhada, yang berjuang menegakkan ajaran agama. Bagiku, kau mahluk paling suci yang hanya bisa kupandang tanpa kusentuh.

"Kenaoa kau memandangku seperti, itu? Jagalah matamu dari perbuatan zuna yang dilaknat, Allah..! " serumu pelan, menyentakkan jiwaku.

"Tidak, aku sedang mengagumi keindahan ciptaan Allah yang berada tepat di hadapanku. " jawabku, membela diri.

"Bohong, kamu sedang memanjakan syahwatmu.! " katamu, mematahkan argumenku. Kau segera memakai masker yang sejak tadi hanya kau pegang, menutupi kecantikan wajahnya yang bermahkotakan jilbab besar menjuntai menyentuh perut. Tapi, masker yang kau kenakan tidak mampu menyembunyikan matamu yang bulat, bercahaya bagai bintang kejora, menatapku tajam dan menusuk. Jiwaku terpesona oleh pemandangan yang kau suguhkan, membuat mulutku terkunci tak mampu menyanggah argumenmu. Dan setelah itu, kau pergi meninggalkanku yang terpaku menatap kepergianmu, membawa sebagian jiwaku dalam dunia yang indah dan sunyi.

Kau menghilang tanpa kabar dan aku setia menunggumu di tempat yang sama saat kita berpisah.

Setelah sekian lama, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, kau datang kembalu menemuiku di temoat yang sama, mengajakku bercengkrama sambil menikmati suasana sore yang hiruk pikuk. Angin yang nakal, mempermainkan jilbabmu yang lebar, membawa harum tubuhmu memenuhi paru paruku dan mengobati semua kerinduan yang hampir membekukan jiwaku. Jiwaku bersorak, mataku menatap takjub keindahan yang tersaji di hadapanku. Nikmat mana lagi yang bisa aku ingkari?

"Aku sedang jatuh cinta, kau dengar aku? " tanyamu membuatku kaget.

"Ka, kamu sedang jatuh cinta?" tanyaku, gugup. Mataku terpaku pada bibirmu yang tipis dan merah alami tanpa polesan lipstik, bergerak lincah membuatku terpesona. Matamu yang bulat, berbinar indah. Ah, nikmat apa lagi yang bisa aku ingkari dengan memandang wajahmu yang cantik dan bercahaya seperti bidadari yang sengaja datang menemuiku menawarkan syahwat yang membuat Nabi Adam terbuang dari surga.

"Ya, aku sedang jatuh cinta. Belum pernah aku sebahagia ini. " jawabmu dan tersenyum, senyum terindah yang pernah kau perlihatkan padaku. Entah, untuk siapa senyummu itu, yang pasti bukan untukku. Hatiku perih, tertusuk sembilu.

"Tidak !" gumamku keras, membuat senyummu hilang. Matamu menatapku heran, tajam menusuk jiwaku yang terluka. Aku berpaling dari tatapanmu, lukaku sudah tidak bisa lagi aku sembunyikan darinya. Dka bisa melihat lukaku, menganga dan mengeluarkan darah.

"Apanya yang, tidak? " tanyamu pelan, namun mampu mengalahkan suara jeritan anak kecil yang menangis meminta balon.

"Tidak, apa apa." jawabku pelan.

"Kamu tidak suka, aku jatuh cinta? " tanyamu lirih, kulihat, matamu yang indah terlihat kecewa. Bibirmu yang sensual terkatup rapat, hilang sudah senyummu yang menawan dan sempat menghipnotisku. Tanpa banyak bicara, kau pergi meninggalkanku.

Ah, wanita selalu jadi misteri dan aku terlalu bodoh untuk bisa memahaminya.

EMPAT TAHUN SETELAH TAHUN ALIF BERGANTI

Di sebuah tempat, tepatnya di lantai buku Gramedia, Kita kembali bertemu. Kau tersenyum kepadaku di antara deretan buku baru yang dipajang kau begitu asik membukai helai demi helai buku kisah terbunuhnya Syekh Siti Jenar. Aku kaget bercampur takjub. Setelah waktu berlalu, aku kembali berjumpa denganmu. Apa aku sedang bermimpi? Dan untuk memastikannya, kucubit pergelangan tanganku hingga terluka.

"Satria..! Aku tidak sedang bermimoi, kan? " tanyamu menghampiriku.

"Kiran..! Kupikir, aku yang sedang bermimpi. "gumamku, takjub.

"ya, ini aku. "jawabmu tersenyum, dan aku melihat senyummu penuh luka. Mataku tidak bisa kau bohongi. Hatiku bisa merasakan luka yang tersimpan di dalam Senyummu.

Yang paling menyolok adalah, penampilanmu jauh berubah. Di mana semua jubah raksasa yang kau kenakan dulu, juga jilbabmu yang super besar itu? Dan wajahmu yang selalu tersenyum penuh percaya diri, semuanya lenyap tak berbekas. Wajahmu, mengapa tak bercahaya lagi.

"Kau tidak berubah, masuh s3perti dahulu terakhir kita bertemu. " katamu memecah keheningan yang sempat tercipta, menyadarkanku dari lamunan yang sempat membawaku ke masa lalu.

"Kamu juga tidak berubah, masuh tetap cantik seperti dahulu. "jawabku, kaku.

Aku tidak berani menanyakan

Aku tidak berani menanyakan penampilan yang jauh berunah, walau masih ada jilbab yang menutupi mahkotamu. Tapi bukan lagi jilbab raksasa yang menutupi dadamu dan juga jubah super besarmu sudah berganti dengan t'shirt tangan panjang yang tidak mampu menyembunyikan payudaramu dari pandangan pria oenuh hasrat. Pun dengan celana jeans yang kah kenakan, ke mana Kiran yang pernah aku kenal. Semua pertanyaan itu, aku simpan dalam hati.

"Jangan bertanya sekarang, nanti akan aku ceritakan. " katamu, tanpa basa basi, kau langsung menarik tanganku ke luar toko, menuju sebuah tampan yang terletak tidak jauh dari toko buku. Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengikuti langkahmu yang ringan meloncati anak tangga. Dan di sana, tiba tiba saja kau berkata tentang Tuhan, tubuh, dan tabu!

"Aku wanita jalang, aku wanita hina dina sudah banyak lelaki yang mencicipi tubuhku." katamu, menghantam jiwaku yang tidak mengerti apa yang baru saja dikatakannya. Aku msnataomu, msnyelami matamu yang kelam kehilangan cahaya yang selama ini aku lihat dari matamu.

Atau dia hanya sedang bercanda, dan aku berusaha mengabaikan apa yang kau katakan. Tapi, kata-katamu yang lirih, kata-katamu yang menusuk, kata katamu yang tefluka memaksaku percaya dan mendengarkanmu hingga tuntas.

"Aku hina...!" gumammu, lirih. Aku tidak bicara, menatap wajah cantikmu yang kehilangan cahaya. Tidak ada lagi kecantikan seperti bidadari dengan pesonanya yang mampu membuatku lupa. Aku terpaku, lidahku kelu. Kerinduanku perlahan berubah menjadi luka, harapan sudah mengkhianatiku.

"Aku harus pergi, maukah kau menemuiku esok di tempat ini, pada jam yang sama? " tanyamu lirih, matamu menatapku penuh harap.

Aku hanya mengangguk, menatapmu yang tersenyum dan pergi meninggalkanku tanpa bicara.

Keesokan harinya, kita kembali bertemu di tempat ini.

"Aku ingin kau membuat sebuah novel untuk kisahku, ini. " katamu, membuatku terhenyak.

"Nivel? " tanyaku untuk memastikan, apa yang baru saja aku dengar.

"Ya...! " jawabmu, pasti.

Dan ceritapun dimulai, selama berjam jam, kau terus bercerita hingga menjelang sore, terlewati tanpa kita beranjak dari tempat duduk kita. Hingga azan isya berkumandang, tidak juga membuat kita terusik untuk bersujud di hamparan sajaddah. Aku merekam kisahmu hingga akhirnya kita berpisah. Tidak ada lagi senyum di bibir indahmu, matamu kehilangan cahaya.

Sebuah kisah yang membuatku tertunduk. Sebab yang kau katakan dengan kalimat yang lurus, mantap, dan pilu, telah menusuk jiwaku, menusuk kaumku. Termasuk juga imanku. Kau tak lagi percaya dengan agama, ibadah dan iman, termasuk konsep cinta, nikah, dan lelaki. Lantaran kau pernah dikecewakan oleh semuanya. Hingga Tuhan pun, tak kau sembah lagi. Kau datang untuk mengabaikan semua luka dan mentertawakan ketidak adilan yang kau anggap sudah menjerumuskan hidupmu.

Hal yang selama ini kau yakini dari semua aturan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, sudah kau buang jauh ke dalam bak sampah. Di antara tawamu yang pahit, sebenarnya aku ingin menyanggah semua yang dipikirkanmu. Semua argumenmu yang menurutku salah. Tapi semuanya kusimpan rapat dalam lubuk hatiku. Satu satunya yang membuatku kagum adalah, kejujuranmu. Jujur mengatakan semua kekecewaanmu.

Karena kejujuranmu itulah maka ketika kau membentak bentak Tuhan, menghakiminya, mencelanya, aku tak marah. Karena itu hakmu. Aku amat sadar, bahwa Tuhan yang kau benci adalah Tuhanmu sendiri. Dan aku tak punya hak secuil pun untuk mengurus Tuhan yang kau hakimi itu, juga tak ingin membela keimananmu kelak. Sebab menyembah kepada Tuhan tak sama dengan rombongan orang yang berjalan dalam karnaval atau kerumunan besar yang mirip pasar malam (kau pernah baca buku Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam?). Penyembahan itu adalah hak pribadi ia ada dalam setiap hati manusia yang merdeka. Tapi kau beragama Islam, berarti kau menghina Tuhan Islam? Tidak, bukan Tuhan Islam yang kau hakimi maumu itu, tapi Tuhan terkasihmu sendiri.

Kalaupun Tuhan Islam, toh Tuhan dalam Islam tidak mesti harus seragam dan sama bentuk karena Ia berakar dari tafsir yang berbeda. Kita boleh sama membaca Quran dan Sunnah, tapi gambaran di dalam kepala kita bisa jadi berwarna banyak. Kau telah melahirkan keraguan dari rahim tragedi imanmu. Iman yang tidak seindah seperti yang kau bayangkan selama ini, yang kau dengar dari surau-surau, dari langgar-langgar, dari masjid masjid, dari tivi, dan dari kitab. Imanmu adalah iman yang hitam, yang kelam, yang absurd, entah berasal dari mana.

"Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya ada keseimbangan informasi." katamu membuatku, terkejut.
Sarkas betul pikiranmu itu yang tentu saja tak gampang diterima oleh pikiran dan kearifan yang pas pasan.

Aku jadi teringat dengan hikayat Zu al Nun, seorang sufi, yang diceritakan kembali oleh Al-Hujwiri dalam Kashf al Mahjub: Risalah Sufisme Tertua Persia

(Pustaka Sufi, 2003):
Suatu hari berlayarlah Zu al Nun dengan serombongan muridnya dengan sebuah kapal di sungai Nil (berlayar sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mesir ketika mereka ingin bertamasya). Tak lama kemudian sebuah perahu mendekat, dipenuhi dengan orang-orang yang sedang berpesta dan mabuk mabukan, melihat perbuatan mereka membuat semua murid Zu Al Nun murka dan mereka meminta Sang Mursyid agar berdoa kepada Allah untuk menenggelamkan perahu itu.

Zu Al Nun mengabulkan permintaan para muridnya dan mengangkat ke dua tangannya untuk berdoa. "Ya Allah, karena Engkau memberi orang-orang ini kesenangan hidup di dunia ini, berikan juga mereka kesenangan hidup di akhirat kelak!"

Mendengar doa sang mursyid agung, membuat para murid terkejut, mereka tidak menyangka Sang mursyid mendoakan hal yang baik. Mestinya doa kutukan yang diserukan, tapi malahan doa keselamatan. Suasana di hati murid-murid sang sufi bercampur
aduk atas apa yang baru saja dilakukan guru agung mereka. Ketika kapal tersebut semakin dekat, para pemabuk dan tukang maksiat itu melihat Zu al Nun, tiba-tiba saja mereka menangis dan menyesali perbuatan dan kekhilafannya, merek membuang barang- barang hasil rampasannya dan bertaubat kepada Allah.

Zu al-Nun melihat kepada murid muridnya yang belum sepenuhnya bisa menghapus kebingungannya dan berkata: "Kehidupan yang nikmat di akhirat kelak adalah pertaubatan di dunia ini. Kalian dan mereka semuanya pergi dengan tanpa menyakiti siapa pun."

Demikianlah sang sufi berbuat dengan landasan belas kasih yang mendalam kepada sesama Muslim, mengikuti teladan Rasul, yang meskipun mendapat perlakuan buruk dari orang-orang kafir, tidak pernah berhenti untuk mengatakan:

"Ya Allah! Berilah petunjuk kepada kaumku. Dia memperlakukanku seperti ini hanya disebabkan karena
mereka belum tahu." Luar biasa kearifan Zu al Nun itu. Aku juga berusaha sekuat-kuatnya bisa berbuat arif sepertinya. Tapi karena kearifan dan ilmu agamaku pas pasan dan sedikit, maka yang bisa kulakukan untuk memahami imanmu "yang lain" itu adalah sekadar menggumam bahwa mungkin ada iman dalam dunia lain, dunia yang bisa kau pahami dan orang lain tidak akan bisa memahaminya.

SETELAH mendengarkan khotbah khotbah gelap mu yang kurekam atas persetujuanmu, tiba-tiba saja aku teringat dengan istilah yang diperkenalkan psiko analis masyhur asal Jerman, Erich Fromm, yakni:

"Tuhan Alam" dan "Tuhan Sejarah". "Tuhan Alam" adalah Tuhan yang berada di tempat yang siapa pun tak bisa menjangkaunya atau bahkan kau dan aku sama sekali belum pernah memikirkannya sama sekali. Sementara "Tuhan Sejarah" adalah Tuhan yang nyata, Tuhan yang realis, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia. Dan "Tuhan Sejarah" inilah Tuhan yang kau dan aku lihat realitasnya sehari hari, yakni Tuhan yang berdarah, Tuhan yang kerap melahirkan pertikaian, perang dan sengketa yang tak ada putus putusnya. Fenomena "Tuhan Sejarah" muncul secara random di hampir semua negeri. Termasuk di negeri ini; sejarah beragama di sini tak luput dari sengketa memerebutkan akta pembenaran atas nama "Tuhan" (Sejarah). Dan kutahu, kau dan jemaahmu tepat berada di jantung sengketa itu.

Lalu tatkala imanmu tentang "Tuhan Sejarah" dilukai oleh zaman dengan luka yang teramat sakit, luka susulan lain yang datang dibawa oleh seorang lelaki. Ya, lelaki datang menyempurnakan lukamu dengan menikam tubuhmu dengan sebilah nista. Kau diperkosa atas nama sepotong kata cinta. Pemerkosaan itu lalu membangkitkan rasa muak pada diri sendiri, rasa muak yang membisukan sakit. Eranganmu mirip Nacy Venable Raine dalam After Silence. Dan sebagaimana Raine, kau memang tidak menangis dan merintih karena luka di tubuhmu itu, tapi kau mendendam.

"Semua lelaki itu bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa Tuhan dan agama. Nantikan kutukanku, Lelaki!" gumammu dengan tangan terkepal. Gigimu terkatup keras sehingga aku bisa mendengar suaranya.


KONSEKUENSI dari semua luka yang menderamu, kau pun memerkarakan banyak hal dalam hidupmu: palsunya cinta, anehnya nikah, menipunya intelektualitas, bobroknya moralitas, kuasanya lelaki, termasuk praktik iman dan tubuh. Kau tak lagi mengimani karena katamu dalam iman ada kelemahan. Iman artinya percaya. Sementara "percaya" lebih rendah tingkatannya dengan "pem- buktian". Karena rendah, maka kau tidak beriman sebab kau menghindari status kebanyakan orang yang karena iman mereka biarkan jidatnya kejeduk lantai yang beralaskan sajadah di ruang yang sempit yang mereka ciptakan sendiri. Orang beriman seperti itu tidak bisa lagi lepas. Tak lagi bisa keluar. Dan kau berusaha sekuat tenaga yang kau bisa, keluar dari kerangka iman yang mengurung itu. Dengan apa? Dengan campuran dua hal: keberanian dan kenekadan. Kau berani memertanyakan iman, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan ibadah yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kau memang berani. Juga tentu saja nekad. Kau mesti tahu bahwa pendapatmu yang sudah kau tuturkan kepadaku dalam buku ini mengusik banyak orang, yakni mereka yang selama ini mengklaim dirinya sebagai kaum beriman. Dan tahukah kau, akulah yang selalu mengaku-ngaku orang beriman itu. Tapi tersakitikah aku? Tidak. Aku sama sekali tidak tersakiti. itu lantaran empatiku atas iman hitammu lebih besar ketimbang rasa amarah dan berangku.

DAN kau juga menyoal tubuh. Sepengetahuanku, perkara tubuh dalam agama yang kuanut memang menyimpan paradoks. Begitu banyak tatacara yang diterapkan oleh titah sakral untuk menjerang- jerang tubuh seakan akan bagian manusia ini selamanya menimbulkan rasa was was dan karena itu patut diwaspadai. Tak jarang ia menjadi titik pertikaian seperti layaknya pertikaian yang memerebutkan mandat kepercayaan dari "Tuhan Sejarah". Karena tubuh adalah titik pertikaian adalah titik najis, maka ia mati matian ditolak atau mungkin dikuasai.

Keputusanmu untuk menyerahkan tubuhmu dalam santapan gelap adalah sebuah langkah menerobos tabu. Sebab tubuh, sebagaimana kredo agama yang kuanut, hanya digariskan untuk melakukan hal hal yang terang yang putih dan bukan yang abu abu yang pekat. Karena kau mengorkestrasi tubuhmu pada sisi pekat yang gelap, maka kau dicap melanggar tabu. Dan yang disesalkan ialah betapa jarang oran memeriksa kembali bahwa sesungguhnya tabu sengaja diciptakan untuk memegang kendali referensi proses ideologi dalam mendefinisikan fenomena.

Barangkali kau pernah menonton film yang judulnya diambil dari nama pemainnya sendiri, Malena? Film yang dibintangi oleh Monica Belucci (Malena) itu menampilkan bagaimana tubuh disumpah serapahi, diseret, dan dicakar cakar warga kota, tapi secara diam diam mata mereka menatap tubuh Malena oenuh, nafsu. Warga kota, khususnya kaum istri, merasa berhak menghakimi sang pemilik tubuh karena tubuh itu dituduh sebagai biang perusak harmoni keluarga. Nyata sekali bahwa di situ ada kecemburuan. Dan tiap kali berbicara tentang kecemburuan, kita mesti berbicara tentang penguasaan dan pemilikan tubuh. Ketika kekuasaan sudah berbicara, apa yang tak boleh dilakukan? Termasuk melukai dan mencabik cabik tubuh indah Malena dan mencampakkannya di pinggiran jalan. Kecantikan paras (tubuh) Malena yang membuat gila remaja ting-ting, Renato Amoroso, akhirnya hams tercabik-terluka sebab kecantikannya berarti dosa. Tapi dari lukanya itu di singkapkan ragam kemunafikan manusia.

Terang kukatakan, kisahmu dan lirih gumammu menjadi pelacur membuat aku sebagai lelaki tertampar dan sebagai orang yang beragama baik baik, darahku mendidih. Itu zina, itu dosa. Tapi kau menampikku dengan sepotong kata yang mirip puisi Subagio Sastro Wardoyo: melalui dosa kita bisa dewasa. Dosa telah membuatmu begitu matang dan radikal melihat kehidupan yang makin lama makin gelap kini. Dosa telah mengantarmu untuk mereguk nyinyir dan pahitnya iman. Sungguh, dosa telah mengantarmu untuk mencobai segala yang sebaliknya yang dipahami para pemanggul kitab suci. Atas pengakuanmu itu aku jadi teringat sepotong andaian Dinar, sang pelayan Odin yang juga salah satu Valkyrie dalam Ode untuk Leopold van Sacher Masoch karya Dinar Rahayu: "Mungkin akulah yang membelah bumi menjadi utara dan selatan, timur dan barat, atas dan bawah, dan mencucup sperma laki laki. Aku indah. Bukankah pekerjaan ijajil yang membuat terlarang menjadi indah " Lalu Odin menambahkan, "Kalau memang aku agama neraka, masih mendinglah, ada tempat untuk kembali. Itu berarti aku berkesempatan ke akhirat."

DAN di atas semua itu, kuucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepadamu karena dari kisahmu terkuak juga segala yang tersembunyi yang sebelumnya tak tersentuh pikiranku; bahwa betapa baik dan bajingan, amat tipis hijabnya dalam kode sosial masyarakat. Kau memberitahuku untuk jangan terlalu percaya atas status sosial yang diberikan masyarakat. Terimakasih kuucapkan kepadamu yang telah mengizinkan aku untuk masuk dan mengupingi jalan hidupmu lalu membiarkanku secara bebas merekamnya, mentranskripnya, mengulur kalimat, menciptakan kata baru yang tak kalah serunya dengan jalan hidupmu. Aku hanya pengantar dari memoar lukamu. Aku hanya menuliskan kembali. Dasar cerita sepenuh-penuhnya didasarkan pada liku perih hidupmu yang bercadas cadas, kering, dan penuh lubang luka. Kaulah yang menciptakan alur dan plot dan aku... aku hanya menggurat dan memoles dan menyambung nyambung retak-retak kisahmu menjadi cerita "utuh" yang kemudian kuberi judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka
Seorang Muslimah. Namun demikian, walaupun isi buku ini merupakan
rekaman atas kisahmu, tapi tanggung jawab penulisan mutlak dan sepenuhnya berada di tanganku. Terima kasih. Terimakasih.

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Barlah aku hidup dalam gelimang api dosa, sebab terkadang melalui dosa yang dihikmati, seorang manusia
bisa belajar dewasa"

INDEKS :
 
Mantap, nostalgia! ane masih nyimpen bukunya gan.
 
Ditanggapi dengan hati-hati kerana nasib Nyai Nur dan kokom masih belum diketahui.
 
Sebuah Prolog


Cerita ini terinspirasi dari buku, TUHAN, IJINKAN AKU JADI PELACUR, karya Muhidin M. Dahlan.

Penulis merubahnya dengan berbagai adegan mesum, karena ini adalah cerita panas. Maka, tanpa adegan mesum cerita ini akan menja(i hambar. Hanya di bagian prolog, cerita ini nyaris 80% persen sama dengan novel aslinya. Semoga bisa menghibur para pembaca.

SEBUAH KISAH :

Suatu hari para pemuka agama dan para tokoh masyarakat, menjatuhkan hukuman kepada seorang wanita yang dianggap berzina, walaupun wanita itu sebetulnya pelacur. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak main main: rajam atau hukuman mati dengan cara dilempari batu sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Tidak hanya para pemuka agama dan tokoh masyarakat, tetapi anak-anak kecil, mereka yang tidak tahu apa itu dosa, pelacuran dan zina turut ambil bagian dalam aksi pembunuhan seorang wanita yang dianggap "tuna susila" oleh masyarakat yang menganggap dirinya "cukup susila".

Tubuh wanita itu sudah berlumuran darah, ia menjerit kesakitan, dan orang orang semakin bersemangat melemparinya batu. Jerit kesakitan, membuat mereka semakin bersemangat menjatuhkan hukuman yang mereka anggap pantas.. Tiba-tiba dari salah satu sudut jalan muncul sosok pria kurus, tinggi, berjubah putih.

"Berhenti, apa yang sedang kalian lakukan? " seru pria yang baru datang itu. Tanpa memperdulikan keselamatannya, Ia mendekati wanita
malang yang sedang dilempari batu itu. Memeluknya dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melimdungi wanita itu dari terjangan batu. Mata-Nya merah, bibir Nya gemetaran, namun suaranya berapi api bagaikan suara petir di tengah hari:

"Kalian melempari batu kepada wanita yang sudah tidak berdaya, ini. Kalian yang ingin membunuh wanita ini? kenapa kalian ingin membunuh dia Karena ia seorang pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah salah satu di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya?
Kalau ada, biarkan dia yang melemparkan batu pertama. Kalian
semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini." Kata orang itu, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa.

(Dikutip dari Anand Krishna,)


Pop : Penulis.


Memerkarakan Tuhan, Tubuh, dan Tabu



DUA TAHUN JELANG PERGANTIAN ALIF

Di Sebuah tempat, saat kita duduk di bangku sebuah taman. Bercengkrama menikmati udara sore yang sejuk, sambil berdiskusi banyak hal. Senyum dan tawamu begitu lepas, membelai jiwaku yang memendam rindu. Kutahu , tak mungkin bisa merengkuhmu dalam dekapan cinta yang tersimpan bisu di lubuk hatiku. Aku hanya bisa menikmati, bibirmu yang indah bergerak lincah meluncurkan kata demi kata yang membuatku bahagia. Walau kadang, aku tidak bisa mencerna apa yang sedang kau bicarakan, karena telingaku hanya bisa mendengar suaramu tanpa mampu mencerna kalimatmu. Kau seperti bidadari yang dijanjikan para syuhada, yang berjuang menegakkan ajaran agama. Bagiku, kau mahluk paling suci yang hanya bisa kupandang tanpa kusentuh.

"Kenaoa kau memandangku seperti, itu? Jagalah matamu dari perbuatan zuna yang dilaknat, Allah..! " serumu pelan, menyentakkan jiwaku.

"Tidak, aku sedang mengagumi keindahan ciptaan Allah yang berada tepat di hadapanku. " jawabku, membela diri.

"Bohong, kamu sedang memanjakan syahwatmu.! " katamu, mematahkan argumenku. Kau segera memakai masker yang sejak tadi hanya kau pegang, menutupi kecantikan wajahnya yang bermahkotakan jilbab besar menjuntai menyentuh perut. Tapi, masker yang kau kenakan tidak mampu menyembunyikan matamu yang bulat, bercahaya bagai bintang kejora, menatapku tajam dan menusuk. Jiwaku terpesona oleh pemandangan yang kau suguhkan, membuat mulutku terkunci tak mampu menyanggah argumenmu. Dan setelah itu, kau pergi meninggalkanku yang terpaku menatap kepergianmu, membawa sebagian jiwaku dalam dunia yang indah dan sunyi.

Kau menghilang tanpa kabar dan aku setia menunggumu di tempat yang sama saat kita berpisah.

Setelah sekian lama, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, kau datang kembalu menemuiku di temoat yang sama, mengajakku bercengkrama sambil menikmati suasana sore yang hiruk pikuk. Angin yang nakal, mempermainkan jilbabmu yang lebar, membawa harum tubuhmu memenuhi paru paruku dan mengobati semua kerinduan yang hampir membekukan jiwaku. Jiwaku bersorak, mataku menatap takjub keindahan yang tersaji di hadapanku. Nikmat mana lagi yang bisa aku ingkari?

"Aku sedang jatuh cinta, kau dengar aku? " tanyamu membuatku kaget.

"Ka, kamu sedang jatuh cinta?" tanyaku, gugup. Mataku terpaku pada bibirmu yang tipis dan merah alami tanpa polesan lipstik, bergerak lincah membuatku terpesona. Matamu yang bulat, berbinar indah. Ah, nikmat apa lagi yang bisa aku ingkari dengan memandang wajahmu yang cantik dan bercahaya seperti bidadari yang sengaja datang menemuiku menawarkan syahwat yang membuat Nabi Adam terbuang dari surga.

"Ya, aku sedang jatuh cinta. Belum pernah aku sebahagia ini. " jawabmu dan tersenyum, senyum terindah yang pernah kau perlihatkan padaku. Entah, untuk siapa senyummu itu, yang pasti bukan untukku. Hatiku perih, tertusuk sembilu.

"Tidak !" gumamku keras, membuat senyummu hilang. Matamu menatapku heran, tajam menusuk jiwaku yang terluka. Aku berpaling dari tatapanmu, lukaku sudah tidak bisa lagi aku sembunyikan darinya. Dka bisa melihat lukaku, menganga dan mengeluarkan darah.

"Apanya yang, tidak? " tanyamu pelan, namun mampu mengalahkan suara jeritan anak kecil yang menangis meminta balon.

"Tidak, apa apa." jawabku pelan.

"Kamu tidak suka, aku jatuh cinta? " tanyamu lirih, kulihat, matamu yang indah terlihat kecewa. Bibirmu yang sensual terkatup rapat, hilang sudah senyummu yang menawan dan sempat menghipnotisku. Tanpa banyak bicara, kau pergi meninggalkanku.

Ah, wanita selalu jadi misteri dan aku terlalu bodoh untuk bisa memahaminya.

EMPAT TAHUN SETELAH TAHUN ALIF BERGANTI

Di sebuah tempat, tepatnya di lantai buku Gramedia, Kita kembali bertemu. Kau tersenyum kepadaku di antara deretan buku baru yang dipajang kau begitu asik membukai helai demi helai buku kisah terbunuhnya Syekh Siti Jenar. Aku kaget bercampur takjub. Setelah waktu berlalu, aku kembali berjumpa denganmu. Apa aku sedang bermimpi? Dan untuk memastikannya, kucubit pergelangan tanganku hingga terluka.

"Satria..! Aku tidak sedang bermimoi, kan? " tanyamu menghampiriku.

"Kiran..! Kupikir, aku yang sedang bermimpi. "gumamku, takjub.

"ya, ini aku. "jawabmu tersenyum, dan aku melihat senyummu penuh luka. Mataku tidak bisa kau bohongi. Hatiku bisa merasakan luka yang tersimpan di dalam Senyummu.

Yang paling menyolok adalah, penampilanmu jauh berubah. Di mana semua jubah raksasa yang kau kenakan dulu, juga jilbabmu yang super besar itu? Dan wajahmu yang selalu tersenyum penuh percaya diri, semuanya lenyap tak berbekas. Wajahmu, mengapa tak bercahaya lagi.

"Kau tidak berubah, masuh s3perti dahulu terakhir kita bertemu. " katamu memecah keheningan yang sempat tercipta, menyadarkanku dari lamunan yang sempat membawaku ke masa lalu.

"Kamu juga tidak berubah, masuh tetap cantik seperti dahulu. "jawabku, kaku.

Aku tidak berani menanyakan

Aku tidak berani menanyakan penampilan yang jauh berunah, walau masih ada jilbab yang menutupi mahkotamu. Tapi bukan lagi jilbab raksasa yang menutupi dadamu dan juga jubah super besarmu sudah berganti dengan t'shirt tangan panjang yang tidak mampu menyembunyikan payudaramu dari pandangan pria oenuh hasrat. Pun dengan celana jeans yang kah kenakan, ke mana Kiran yang pernah aku kenal. Semua pertanyaan itu, aku simpan dalam hati.

"Jangan bertanya sekarang, nanti akan aku ceritakan. " katamu, tanpa basa basi, kau langsung menarik tanganku ke luar toko, menuju sebuah tampan yang terletak tidak jauh dari toko buku. Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengikuti langkahmu yang ringan meloncati anak tangga. Dan di sana, tiba tiba saja kau berkata tentang Tuhan, tubuh, dan tabu!

"Aku wanita jalang, aku wanita hina dina sudah banyak lelaki yang mencicipi tubuhku." katamu, menghantam jiwaku yang tidak mengerti apa yang baru saja dikatakannya. Aku msnataomu, msnyelami matamu yang kelam kehilangan cahaya yang selama ini aku lihat dari matamu.

Atau dia hanya sedang bercanda, dan aku berusaha mengabaikan apa yang kau katakan. Tapi, kata-katamu yang lirih, kata-katamu yang menusuk, kata katamu yang tefluka memaksaku percaya dan mendengarkanmu hingga tuntas.

"Aku hina...!" gumammu, lirih. Aku tidak bicara, menatap wajah cantikmu yang kehilangan cahaya. Tidak ada lagi kecantikan seperti bidadari dengan pesonanya yang mampu membuatku lupa. Aku terpaku, lidahku kelu. Kerinduanku perlahan berubah menjadi luka, harapan sudah mengkhianatiku.

"Aku harus pergi, maukah kau menemuiku esok di tempat ini, pada jam yang sama? " tanyamu lirih, matamu menatapku penuh harap.

Aku hanya mengangguk, menatapmu yang tersenyum dan pergi meninggalkanku tanpa bicara.

Keesokan harinya, kita kembali bertemu di tempat ini.

"Aku ingin kau membuat sebuah novel untuk kisahku, ini. " katamu, membuatku terhenyak.

"Nivel? " tanyaku untuk memastikan, apa yang baru saja aku dengar.

"Ya...! " jawabmu, pasti.

Dan ceritapun dimulai, selama berjam jam, kau terus bercerita hingga menjelang sore, terlewati tanpa kita beranjak dari tempat duduk kita. Hingga azan isya berkumandang, tidak juga membuat kita terusik untuk bersujud di hamparan sajaddah. Aku merekam kisahmu hingga akhirnya kita berpisah. Tidak ada lagi senyum di bibir indahmu, matamu kehilangan cahaya.

Sebuah kisah yang membuatku tertunduk. Sebab yang kau katakan dengan kalimat yang lurus, mantap, dan pilu, telah menusuk jiwaku, menusuk kaumku. Termasuk juga imanku. Kau tak lagi percaya dengan agama, ibadah dan iman, termasuk konsep cinta, nikah, dan lelaki. Lantaran kau pernah dikecewakan oleh semuanya. Hingga Tuhan pun, tak kau sembah lagi. Kau datang untuk mengabaikan semua luka dan mentertawakan ketidak adilan yang kau anggap sudah menjerumuskan hidupmu.

Hal yang selama ini kau yakini dari semua aturan yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, sudah kau buang jauh ke dalam bak sampah. Di antara tawamu yang pahit, sebenarnya aku ingin menyanggah semua yang dipikirkanmu. Semua argumenmu yang menurutku salah. Tapi semuanya kusimpan rapat dalam lubuk hatiku. Satu satunya yang membuatku kagum adalah, kejujuranmu. Jujur mengatakan semua kekecewaanmu.

Karena kejujuranmu itulah maka ketika kau membentak bentak Tuhan, menghakiminya, mencelanya, aku tak marah. Karena itu hakmu. Aku amat sadar, bahwa Tuhan yang kau benci adalah Tuhanmu sendiri. Dan aku tak punya hak secuil pun untuk mengurus Tuhan yang kau hakimi itu, juga tak ingin membela keimananmu kelak. Sebab menyembah kepada Tuhan tak sama dengan rombongan orang yang berjalan dalam karnaval atau kerumunan besar yang mirip pasar malam (kau pernah baca buku Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam?). Penyembahan itu adalah hak pribadi ia ada dalam setiap hati manusia yang merdeka. Tapi kau beragama Islam, berarti kau menghina Tuhan Islam? Tidak, bukan Tuhan Islam yang kau hakimi maumu itu, tapi Tuhan terkasihmu sendiri.

Kalaupun Tuhan Islam, toh Tuhan dalam Islam tidak mesti harus seragam dan sama bentuk karena Ia berakar dari tafsir yang berbeda. Kita boleh sama membaca Quran dan Sunnah, tapi gambaran di dalam kepala kita bisa jadi berwarna banyak. Kau telah melahirkan keraguan dari rahim tragedi imanmu. Iman yang tidak seindah seperti yang kau bayangkan selama ini, yang kau dengar dari surau-surau, dari langgar-langgar, dari masjid masjid, dari tivi, dan dari kitab. Imanmu adalah iman yang hitam, yang kelam, yang absurd, entah berasal dari mana.

"Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya ada keseimbangan informasi." katamu membuatku, terkejut.
Sarkas betul pikiranmu itu yang tentu saja tak gampang diterima oleh pikiran dan kearifan yang pas pasan.

Aku jadi teringat dengan hikayat Zu al Nun, seorang sufi, yang diceritakan kembali oleh Al-Hujwiri dalam Kashf al Mahjub: Risalah Sufisme Tertua Persia

(Pustaka Sufi, 2003):
Suatu hari berlayarlah Zu al Nun dengan serombongan muridnya dengan sebuah kapal di sungai Nil (berlayar sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mesir ketika mereka ingin bertamasya). Tak lama kemudian sebuah perahu mendekat, dipenuhi dengan orang-orang yang sedang berpesta dan mabuk mabukan, melihat perbuatan mereka membuat semua murid Zu Al Nun murka dan mereka meminta Sang Mursyid agar berdoa kepada Allah untuk menenggelamkan perahu itu.

Zu Al Nun mengabulkan permintaan para muridnya dan mengangkat ke dua tangannya untuk berdoa. "Ya Allah, karena Engkau memberi orang-orang ini kesenangan hidup di dunia ini, berikan juga mereka kesenangan hidup di akhirat kelak!"

Mendengar doa sang mursyid agung, membuat para murid terkejut, mereka tidak menyangka Sang mursyid mendoakan hal yang baik. Mestinya doa kutukan yang diserukan, tapi malahan doa keselamatan. Suasana di hati murid-murid sang sufi bercampur
aduk atas apa yang baru saja dilakukan guru agung mereka. Ketika kapal tersebut semakin dekat, para pemabuk dan tukang maksiat itu melihat Zu al Nun, tiba-tiba saja mereka menangis dan menyesali perbuatan dan kekhilafannya, merek membuang barang- barang hasil rampasannya dan bertaubat kepada Allah.

Zu al-Nun melihat kepada murid muridnya yang belum sepenuhnya bisa menghapus kebingungannya dan berkata: "Kehidupan yang nikmat di akhirat kelak adalah pertaubatan di dunia ini. Kalian dan mereka semuanya pergi dengan tanpa menyakiti siapa pun."

Demikianlah sang sufi berbuat dengan landasan belas kasih yang mendalam kepada sesama Muslim, mengikuti teladan Rasul, yang meskipun mendapat perlakuan buruk dari orang-orang kafir, tidak pernah berhenti untuk mengatakan:

"Ya Allah! Berilah petunjuk kepada kaumku. Dia memperlakukanku seperti ini hanya disebabkan karena
mereka belum tahu." Luar biasa kearifan Zu al Nun itu. Aku juga berusaha sekuat-kuatnya bisa berbuat arif sepertinya. Tapi karena kearifan dan ilmu agamaku pas pasan dan sedikit, maka yang bisa kulakukan untuk memahami imanmu "yang lain" itu adalah sekadar menggumam bahwa mungkin ada iman dalam dunia lain, dunia yang bisa kau pahami dan orang lain tidak akan bisa memahaminya.

SETELAH mendengarkan khotbah khotbah gelap mu yang kurekam atas persetujuanmu, tiba-tiba saja aku teringat dengan istilah yang diperkenalkan psiko analis masyhur asal Jerman, Erich Fromm, yakni:

"Tuhan Alam" dan "Tuhan Sejarah". "Tuhan Alam" adalah Tuhan yang berada di tempat yang siapa pun tak bisa menjangkaunya atau bahkan kau dan aku sama sekali belum pernah memikirkannya sama sekali. Sementara "Tuhan Sejarah" adalah Tuhan yang nyata, Tuhan yang realis, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia. Dan "Tuhan Sejarah" inilah Tuhan yang kau dan aku lihat realitasnya sehari hari, yakni Tuhan yang berdarah, Tuhan yang kerap melahirkan pertikaian, perang dan sengketa yang tak ada putus putusnya. Fenomena "Tuhan Sejarah" muncul secara random di hampir semua negeri. Termasuk di negeri ini; sejarah beragama di sini tak luput dari sengketa memerebutkan akta pembenaran atas nama "Tuhan" (Sejarah). Dan kutahu, kau dan jemaahmu tepat berada di jantung sengketa itu.

Lalu tatkala imanmu tentang "Tuhan Sejarah" dilukai oleh zaman dengan luka yang teramat sakit, luka susulan lain yang datang dibawa oleh seorang lelaki. Ya, lelaki datang menyempurnakan lukamu dengan menikam tubuhmu dengan sebilah nista. Kau diperkosa atas nama sepotong kata cinta. Pemerkosaan itu lalu membangkitkan rasa muak pada diri sendiri, rasa muak yang membisukan sakit. Eranganmu mirip Nacy Venable Raine dalam After Silence. Dan sebagaimana Raine, kau memang tidak menangis dan merintih karena luka di tubuhmu itu, tapi kau mendendam.

"Semua lelaki itu bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa Tuhan dan agama. Nantikan kutukanku, Lelaki!" gumammu dengan tangan terkepal. Gigimu terkatup keras sehingga aku bisa mendengar suaranya.


KONSEKUENSI dari semua luka yang menderamu, kau pun memerkarakan banyak hal dalam hidupmu: palsunya cinta, anehnya nikah, menipunya intelektualitas, bobroknya moralitas, kuasanya lelaki, termasuk praktik iman dan tubuh. Kau tak lagi mengimani karena katamu dalam iman ada kelemahan. Iman artinya percaya. Sementara "percaya" lebih rendah tingkatannya dengan "pem- buktian". Karena rendah, maka kau tidak beriman sebab kau menghindari status kebanyakan orang yang karena iman mereka biarkan jidatnya kejeduk lantai yang beralaskan sajadah di ruang yang sempit yang mereka ciptakan sendiri. Orang beriman seperti itu tidak bisa lagi lepas. Tak lagi bisa keluar. Dan kau berusaha sekuat tenaga yang kau bisa, keluar dari kerangka iman yang mengurung itu. Dengan apa? Dengan campuran dua hal: keberanian dan kenekadan. Kau berani memertanyakan iman, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan ibadah yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kau memang berani. Juga tentu saja nekad. Kau mesti tahu bahwa pendapatmu yang sudah kau tuturkan kepadaku dalam buku ini mengusik banyak orang, yakni mereka yang selama ini mengklaim dirinya sebagai kaum beriman. Dan tahukah kau, akulah yang selalu mengaku-ngaku orang beriman itu. Tapi tersakitikah aku? Tidak. Aku sama sekali tidak tersakiti. itu lantaran empatiku atas iman hitammu lebih besar ketimbang rasa amarah dan berangku.

DAN kau juga menyoal tubuh. Sepengetahuanku, perkara tubuh dalam agama yang kuanut memang menyimpan paradoks. Begitu banyak tatacara yang diterapkan oleh titah sakral untuk menjerang- jerang tubuh seakan akan bagian manusia ini selamanya menimbulkan rasa was was dan karena itu patut diwaspadai. Tak jarang ia menjadi titik pertikaian seperti layaknya pertikaian yang memerebutkan mandat kepercayaan dari "Tuhan Sejarah". Karena tubuh adalah titik pertikaian adalah titik najis, maka ia mati matian ditolak atau mungkin dikuasai.

Keputusanmu untuk menyerahkan tubuhmu dalam santapan gelap adalah sebuah langkah menerobos tabu. Sebab tubuh, sebagaimana kredo agama yang kuanut, hanya digariskan untuk melakukan hal hal yang terang yang putih dan bukan yang abu abu yang pekat. Karena kau mengorkestrasi tubuhmu pada sisi pekat yang gelap, maka kau dicap melanggar tabu. Dan yang disesalkan ialah betapa jarang oran memeriksa kembali bahwa sesungguhnya tabu sengaja diciptakan untuk memegang kendali referensi proses ideologi dalam mendefinisikan fenomena.

Barangkali kau pernah menonton film yang judulnya diambil dari nama pemainnya sendiri, Malena? Film yang dibintangi oleh Monica Belucci (Malena) itu menampilkan bagaimana tubuh disumpah serapahi, diseret, dan dicakar cakar warga kota, tapi secara diam diam mata mereka menatap tubuh Malena oenuh, nafsu. Warga kota, khususnya kaum istri, merasa berhak menghakimi sang pemilik tubuh karena tubuh itu dituduh sebagai biang perusak harmoni keluarga. Nyata sekali bahwa di situ ada kecemburuan. Dan tiap kali berbicara tentang kecemburuan, kita mesti berbicara tentang penguasaan dan pemilikan tubuh. Ketika kekuasaan sudah berbicara, apa yang tak boleh dilakukan? Termasuk melukai dan mencabik cabik tubuh indah Malena dan mencampakkannya di pinggiran jalan. Kecantikan paras (tubuh) Malena yang membuat gila remaja ting-ting, Renato Amoroso, akhirnya hams tercabik-terluka sebab kecantikannya berarti dosa. Tapi dari lukanya itu di singkapkan ragam kemunafikan manusia.

Terang kukatakan, kisahmu dan lirih gumammu menjadi pelacur membuat aku sebagai lelaki tertampar dan sebagai orang yang beragama baik baik, darahku mendidih. Itu zina, itu dosa. Tapi kau menampikku dengan sepotong kata yang mirip puisi Subagio Sastro Wardoyo: melalui dosa kita bisa dewasa. Dosa telah membuatmu begitu matang dan radikal melihat kehidupan yang makin lama makin gelap kini. Dosa telah mengantarmu untuk mereguk nyinyir dan pahitnya iman. Sungguh, dosa telah mengantarmu untuk mencobai segala yang sebaliknya yang dipahami para pemanggul kitab suci. Atas pengakuanmu itu aku jadi teringat sepotong andaian Dinar, sang pelayan Odin yang juga salah satu Valkyrie dalam Ode untuk Leopold van Sacher Masoch karya Dinar Rahayu: "Mungkin akulah yang membelah bumi menjadi utara dan selatan, timur dan barat, atas dan bawah, dan mencucup sperma laki laki. Aku indah. Bukankah pekerjaan ijajil yang membuat terlarang menjadi indah " Lalu Odin menambahkan, "Kalau memang aku agama neraka, masih mendinglah, ada tempat untuk kembali. Itu berarti aku berkesempatan ke akhirat."

DAN di atas semua itu, kuucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepadamu karena dari kisahmu terkuak juga segala yang tersembunyi yang sebelumnya tak tersentuh pikiranku; bahwa betapa baik dan bajingan, amat tipis hijabnya dalam kode sosial masyarakat. Kau memberitahuku untuk jangan terlalu percaya atas status sosial yang diberikan masyarakat. Terimakasih kuucapkan kepadamu yang telah mengizinkan aku untuk masuk dan mengupingi jalan hidupmu lalu membiarkanku secara bebas merekamnya, mentranskripnya, mengulur kalimat, menciptakan kata baru yang tak kalah serunya dengan jalan hidupmu. Aku hanya pengantar dari memoar lukamu. Aku hanya menuliskan kembali. Dasar cerita sepenuh-penuhnya didasarkan pada liku perih hidupmu yang bercadas cadas, kering, dan penuh lubang luka. Kaulah yang menciptakan alur dan plot dan aku... aku hanya menggurat dan memoles dan menyambung nyambung retak-retak kisahmu menjadi cerita "utuh" yang kemudian kuberi judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka
Seorang Muslimah. Namun demikian, walaupun isi buku ini merupakan
rekaman atas kisahmu, tapi tanggung jawab penulisan mutlak dan sepenuhnya berada di tanganku. Terima kasih. Terimakasih.

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Barlah aku hidup dalam gelimang api dosa, sebab terkadang melalui dosa yang dihikmati, seorang manusia
bisa belajar dewasa"

INDEKS :
Wih,cerita baru nih om,semoga smpe tamat om @satria73
Tp cerita sblomnya gimana nasibnya om??
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd