Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tujuh Hari Tanpa Mentari [LKTCP 2021]

Niels_Bohr

Suka Semprot
Daftar
25 Aug 2020
Post
13
Like diterima
171
Bimabet
Tujuh Hari Tanpa Mentari

5ef208a301376.jpg

H -1

Di sebuah pulau, di penghujung Indonesia, tinggal seorang Marlena. Bersama seribu penduduknya, pulau itu sungguh jauh dari kota. Hanya sekali dalam sebulan kapal singgah di pulau itu dari Sumatra membawa obat, makanan, serta pakaian. Untuk listriknya, pulau itu mengandalkan pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang di masing-masing atap rumah. Tidak seberapa, tapi cukup untuk menerangi malam-malam gulita.

“Lena, datanglah ke rumah,” panggil seorang lelaki dari pintu rumahnya. “Abah dapat ikan banyak pagi ini. Bolehlah kau ambil untuk dimasak di rumah nanti.”

“Iya, Rif,” jawab Lena. “Akan kutaruh dulu belanjaanku di rumah.”

Lena mempercepat langkahnya. Sudah tidak sabar ia untuk membawa ikan yang Arif tawarkan. Jarang ia memakan ikan. Apalagi sejak ayahnya menghilang di laut setahun silam. Jika ada kelebihan uang, ia biasanya akan sisihkan untuk ongkos pergi dari pulau ini. Sehari-hari ia hanya memakan nasi dan sayur. Baju yang ia kenakan pun umurnya sudah di atas tiga tahun.

Sesampainya di rumah, tas belanja yang terbuat dari rotan itu segera Lena letakkan. Tak ia pedulikan isinya yang tumpah ke lantai, ia segera pergi menuju rumah Arif. Seakan kalau ia terlambat semenit saja, ikan-ikan itu kembali berenang ke laut.

“Arif?” sapa Lena dari balik pintu rumah Arif yang tertutup.

“Iya?” Arif datang membukakan pintu. “Masuk, silakan. Ikannya ada di peti belakang.”

Lena masuk setelah melepas sandalnya. Ia menyapa Abah Awi yang sedang makan di ruang tengah. Setengah menunduk, ia melanjutkan berjalan menuju belakang rumah. Arif menemani di sampingnya.

“Ambilkan plastik, Rif,” tegur Abah. “Masak Lena kamu biarkan bawa ikannya pakai tangan.”

Lena tersenyum sungkan melihat Arif masuk ke dalam dapur.

“Sehat, Len?” tanya Abah.

“Sehat kok, Bah.”

“Kau jadi merantau ke Sumatra?”

“Jadi, Abah. Uangnya sudah ada. Lena naik kapal laut yang datang bulan depan.”

“Kau sudah pikirkan biaya hidup untuk di sana kelak?”

“Sudah. Lagi pula di sana nanti ada Imah. Lena bisa tinggal dahulu di rumah Imah dan suaminya.”

“Ah, berandal kecil itu,” gumam Abah.

Sebelum Lena menanyakan kata-kata Abah yang kurang terdengar, Arif datang membawa plastik berwarna hitam. Menggunakan kail, ia melubangi plastik itu dengan tujuan supaya tidak ada air yang menggenang di dalam plastik.

“Kau ambilah itu ikan banyak-banyak. Anggap saja hadiah perpisahan dariku. Tak banyak yang bisa aku berikan. Aku harap aku bisa membantumu selepas Maruli wafat. Tapi apalah dayaku yang miskin ini.”

“Terima kasih, Abah.”

Lena berjongkok demi bisa menggapai peti berisi ikan yang tergeletak di lantai. Ia membetulkan sejenak kain yang ia lilitkan sebagai rok. Tubuhnya yang kurus membuat kain yang ia pakai sering terlepas seandainya tak rajin ia betulkan lilitannya.

Sejenak Lena berpikir untuk mengambil lima ekor ikan, tapi setelah dipikir baik-baik, ia hanya mengambil tiga. Ia lalu bangkit setelah memasukkan ikan-ikan tersebut ke dalam plastik. Namun, sesuatu tersangkut ke pinggangnya. Kain yang ia pakai pun merosot ke lantai.

“Ups,” ujar Arif terkejut.

Lena cepat-cepat berjongkok. Dengan terburu-buru, ia kembali membalutkan kainnya ke pinggang. Sekilas ia melihat Arif memperhatikan pantatnya yang hanya berbalut celana dalam berwarna putih.

“Maaf, aku tak sengaja,” kata Arif seraya menjamah pinggang Lena, berusaha membantu Lena mengikatkan kainnya.

“Tidak apa-apa,” kata Lena sembari bergeser menjauh, berusaha mengikatkan kainnya sendiri.

Setelah berpamitan dan berterima kasih pada Abah Awi, Lena pulang. Pikirannya kosong selama dalam perjalanan. Ia masih merasa malu akan kejadian tadi. Langkahnya ia percepat, sehingga tak sampai lima menit, ia sudah sampai di rumah.

Malam menjelang bersama datangnya angin timur. Bertiup, melambaikan nyiur yang daunnya bernyanyi diiringi deburan ombak. Angin itu menggiring aroma ikan yang sedang dibakar di emperan rumah Lena. Ia membawa aroma rempah hasil direndamnya ikan-ikan itu selama enam jam. Dua ikan lagi masih terlihat di dalam ember penuh kunyit.

“Ra, mau ikan bakar?” tegur Lena kepada Rara, tetangganya yang baru saja lewat di depan rumahnya.

“Bisa kau bungkus? Aku baru makan tadi,” jawab Rara dengan senyumnya yang lebar.

“Kalau dibungkus, kau bayar lah.” Lena dan Rara sama-sama tertawa.

Pada akhirnya, Rara ikut membakar ikan bersama Lena. Mereka duduk memandangi bara api yang redup terang secara bergantian. Di atas bara itu, ikan yang Lena bakar mulai menghitam kulitnya.

“Kau tetap akan pergi dari sini, Len?” tanya Rara yang sedang memutar-mutar ikan supaya matang di seluruh bagian.

Lena tidak langsung menjawab. Ia menyendok nasi dari periuk menuju piring. Setelah piring itu terisi penuh, barulah ia menjawab, “Aku tetap akan pergi.”

“Tak maukah kau tetap tinggal di sini demi aku, Len?”

“Sudah tidak ada apa-apa lagi di sini, Ra.”

“Bagaimana denganku, Len? Aku kan sahabatmu juga selain Imah.”

“Ikutlah denganku kalau kau mau, Ra, tapi aku tetap akan pergi. Aku tidak akan mundur sekarang, Ra. Aku telah mengumpulkan uang sejak ayahku masih hidup. Ayahlah satu-satunya alasanku masih di sini. Tak tega aku meninggalkannya setelah kepergian Ibu.”

Rara mengangkat ikan menuju piring berisi nasi. Ia menghindari tatapan Lena, tapi Lena tahu, mata Rara mulai berair. Bukan karena perih terbakar bara.

“Tekadmu selalu kuat, Len. Kau lebih berani dariku.” Rara menunjuk ke arah pantai timur. “Ingat saat kita masih SD dulu? Kau, aku, dan Imah melempari rumah Pak Guru dengan ketam sebesar anak kambing. Begitu Pak Guru datang memarahi, kaulah yang maju untuk menerima hukuman. Aku dan Imah kau suruh untuk berlindung.”

“Ingatkan aku kenapa Pak Guru marah,” ujar Lena.

“Selangkangannya kena cubit.”

Lena dan Rara tertawa terbahak-bahak mengingat kenakalan mereka. Lena lalu mengambil lagi satu piring nasi untuk diberikan kepada Rara.

“Aku dengar kakakmu, Malik, pulang,” ujar Lena mengalihkan pembicaraan.

“Iya, pabrik tempat ia kerja di Karawang sudah tutup.”

“Menganggur jadinya kakakmu sekarang?”

“Sekarang Kakak membantu Abah memanen kelapa. Uangnya sudah habis, Kakak mulai stres. Ibu juga mulai sakit-sakitan, tapi Abah cuma bisa berikan panadol.”

“Ikutlah denganku, Ra, kalau begitu. Kita cari kerja sama-sama di Sumatra. Kau bisa memberikan uangmu pada Abah kelak.”

“Siapa yang nanti mengurus Abah dan Ibu apabila aku pergi?”

“Kakakmu kan ada.”

Rara memendam tawanya.

“Begundal macam ia tak bisa kuharapkan mengurus Abah dan Ibu.”

Lena yang mengetahui bagaimana kelakuan kakak Rara, tidak berkomentar banyak. Mereka berdua akhirnya sibuk menghabiskan nasi dan ikan bakar. Rara pun pulang setelahnya, meninggalkan Lena yang langsung tertidur pulas di dalam rumah.



H 0

Lena terbangun setelah mendengar suara gemuruh. Tidak ada yang aneh dengan suara gemuruh di pagi hari. Angin bulan Februari biasa membawa awan-awan pekat dari utara. Awan itu bisa bergemuruh di pagi dan malam hari. Namun, sekarang bulan Juli. Ia perhatikan lewat sela-sela jendela, tak ada awan. Ia pun bangkit dari kasurnya, lalu keluar rumah.

Di luar, ia menemukan bukan hanya dirinya yang terheran-heran dengan suara gemuruh yang datang tadi. Di sekitarnya, ada tiga orang yang sudah keluar dari rumah untuk mengamati langit yang masih berupa lautan nila. Dilihatnya ke timur, cakrawala dihias cekungan putih dari mentari baru.

“Di sana,” ujar seorang wanita berkerudung merah, sembari menunjuk ke arah selatan.

Lena melirik ke arah yang dimaksud. Tak pernah ia melihat yang seperti ini sepanjang hidupnya. Langit memerah, seakan ada dua matahari. Dari sinar kemerahan itu, teriring asap tebal yang terbang tinggi, jauh menggapai bintang. Perlahan tapi pasti, ia bisa rasakan asap itu memenuhi penjuru langit. Merayap, merambat di dalam sebuah tangkupan, asap itu tak bisa lolos menuju angkasa.

“Lena?” panggil Rara yang tiba-tiba lewat di hadapannya.

“Iya, Ra?”

“Itu ada apa, ya?”

“Entahlah, Ra. Aku takut ada sesuatu yang buruk.”

Suara gemuruh yang mewarnai kemunculan asap dari selatan tadi tak jua usai. Lena mulai terbiasa. Tak seperti tadi pagi, di mana ia senantiasa dalam kekalutan, Lena kini mulai mengerjakan tugas hariannya. Ia menyapu, memasak nasi, mencuci, bahkan menjemur.

Lena menjemur, meski ia sadari tiada sinar. Selayaknya bulan Februari, mentari sembunyi. Namun, tidak seperti bulan Februari, tiada badai yang menyapu dari arah laut. Awan-awan di langit itu pun bukanlah awan putih yang akan menghujaninya. Awan yang menyembunyikan mentari itu berwarna kelabu. Pekat di angkasa, memberi suasana mencekam. Datang dari selatan bersama suara guntur yang tidak terlihat.

Petang datang, dan Lena menemukan ia salah. Awan kelabu itu rupanya menghujaninya. Bukan dengan air, tapi dengan debu putih yang menghias halaman dan jemurannya seperti salju. Pakaian yang sedari pagi ia cuci, kini kotor lagi. Padahal pakaian itu belum juga kering.

Debu-debu putih itu membuat Lena kesulitan bernapas. Ia pun segera masuk kembali ke dalam rumahnya setelah menurunkan pakaian dari tali jemuran. Namun, debu itu tak lama kemudian juga masuk ke dalam rumahnya. Ia pun mengakali dengan menutup ventilasi rumahnya menggunakan pakaiannya yang masih basah itu. Ia bisa bernapas, tapi kali ini rumahnya jadi gelap.

Tidak ada lampu yang dapat ia nyalakan. Tidak ada mentari, tidak ada listrik datang. Lena bisa saja menyalakan lampu minyak. Namun, dengan ventilasi yang tertutup, rumahnya akan semakin pengap.

H +1

Lena memberanikan diri keluar rumah. Bersamanya, ia bawa ember berisi ikan yang masih berlumur kunyit. Ia lapar. Ia bertekad untuk membakar ikan itu demi mengisi perutnya. Diambilnya pula segenggam beras dan periuk yang telah ia isi air.

Di luar, rupanya bukan hanya Lena yang berpikir demikian. Dalam keremangan, tetangganya terlihat sudah menyalakan api. Wajah mereka disinari jingga dari kayu-kayu yang membara. Periuk di atas perapian. Di dalamnya terlihat segenggam beras dimasak dalam segayung air.

Sebelum ikut menyalakan perapian, Lena melirik ke langit. Warnanya putih. Hujan abu masih berlangsung. Di selatan, seakan ikut disinari api, merah membara. Tak berani berlama-lama, Lena pun menyalakan api. Bersama nasi yang perlahan mendidih, ia merebus ikan. Sesaat setelah air di periuknya habis, ia pun membawa kembali periuknya ke dalam rumah.

“Lena?” panggil suara yang tak asing sebelum Lena memasukkan makanan ke mulutnya.

“Arif?” Lena coba memastikan.

“Iya.”

“Ada apa?” tanya Lena tanpa membuka pintu.

“Abah menyuruhku membawakan makanan untuk kau.”

“Tidak perlu, Rif. Aku baru saja memasak. Kau coba berikanlah makanan itu pada Rara.”

Arif terdiam sejenak. Lena mengira Arif sudah pergi.

“Abah marah nanti,” ujar Arif, mengagetkan Lena.

“Marah kenapa?”

“Abah tidak pernah suka pada kalian bertiga. Kalian bertiga berandal katanya. Tak akan pernah berubah saat sudah dewasa. Ia baik kepadamu hanya karena ia bersahabat dengan ayahmu.”

“Baiklah, biar aku yang berikan kepada Rara nanti.”

Dari dalam rumahnya, Lena mendengar sesuatu diletakkan di depan pintunya. Setelah ia memastikan Arif pergi, ia pun mengambil bungkusan plastik yang ternyata berisi sebutir ubi dan ikan bakar.

Setelah menghabiskan makanan yang ia masak tadi, Lena memberanikan diri lagi untuk keluar rumah. Kali ini ia bertekad membawa makanan pemberian Arif kepada Rara. Sembari menutup hidungnya, ia mempercepat langkahnya menuju langit yang berwarna merah.

“Rara?” sapa Lena seraya mengetuk pintu.

Rara membuka pintu. Wajahnya terlihat sembab. Pakaiannya berantakan. Ia memeluk Lena erat, sampai-sampai bungkusan yang Lena bawa terlepas dari tangan.

“Kamu kenapa, Ra?” tanya Lena cemas.

Rara tidak menjawab. Ia meneteskan air matanya.

“Ayahmu meninggal?” tanya Lena sambil mengecilkan suaranya.

Rara menggelengkan kepalanya. Lena melirik ke bawah, terpaku pada suatu titik yang terlihat basah pada kain Rara.

“Mana kakakmu?!” tanya Lena lagi.

Rara hanya menggelengkan kepalanya. Tangisnya makin kencang. Ia terjatuh memeluk Lena.

“Kamu bertahanlah di sini. Jagalah ayahmu. Akan kucari dan kubunuh kakakmu bila aku menemukannya.”

Lena memaksa bungkusan berisi makanan pada tangan Rara. Dengan penuh amarah, ia berjalan sembari menutupi hidungnya dengan kain. Tak tahu ke mana ia menuju, ia tetap berjalan.

Lena mencari setiap ujung pulau tempatnya tinggal. Ia pastikan tidak ada celah sempit dan gelap yang dapat menjadi tempat kakaknya Rara untuk bersembunyi. Hanya petang yang dapat menghentikannya. Tahu malam gelap akan tiba, Lena pun pulang.

H+2

Matahari sudah tidak lagi bersinar. Batas antara siang dan malam semakin samar. Penanda pergantian hari kini hanya tinggal rasa lapar. Lena tahu hari berganti, karena perutnya sudah tak lagi berisi.

Lena memandang keluar jendela. Tak dilihatnya lagi awan-awan putih yang sebelumnya senantiasa menggantung di langit. Hanya ada satu arti di balik gelapnya awan. Yakni sinar mentari tak sampai lagi pada awan yang terdekat dengan bumi. Di atas awan itu masih ada awan lagi yang mungkin saja lebih tebal. Satu pertanyaan yang menggantung di benak Lena, “kapan awan itu menurunkan hujannya?”

Rasa lapar yang semakin menjadi, membuat Lena bertekad untuk memasak. Sayang, gentong tempat ia menyimpan makanan sudah kosong. Hanya ada lima butir beras di situ. Salah satu butirnya bahkan hanya tersisa setengah. Entah terbelah saat Pak Tani menggiling berasnya atau saat beras itu ia tuang ke dalam gentong.

Dengan menaruh satu harapan, Lena membuka pintu. Disinarinya bagian teras rumah dengan cahaya obor. Harapan itu terkabul. Ada sebungkus makanan tergeletak di depan rumahnya. Ia pun berbisik mengucapkan terima kasih kepada Arif yang tak lagi terlihat.

“Sama-sama,” jawab suara yang mengagetkannya.

“Maaf,” ujar Lena tersipu.

“Tidak perlu meminta maaf, Len.”

“Tapi aku sungguh minta maaf, Rif. Aku tidak bisa membalas kebaikanmu dan Abah.”

“Abah ada persediaan beras untuk seminggu. Tiap masak, ia selalu teringat kepadamu. Makanya ia selalu menyuruhku untuk mengirimkan sebagian makanan kita. Semoga ini cukup buatmu.”

“Ini lebih dari cukup kok, Rif. Kalau-kalau ada yang bisa aku lakukan untuk membalasnya, akan aku lakukan.”

“Kamu bisa membalasnya kok, Len.”

“Bagaimana caranya?” Alis Lena terangkat. Ia menanti balasan apa yang diharapkan Arif. Namun, ia sungguh terkejut saat Arif mendadak memeluk lehernya dan melumat bibirnya.

Lena mendorong Arif menjauh. Namun, karena Arif tak juga melepasnya, ia pun menampar Arif. Pipi tempat tamparan itu nampak sebagai bekas kemerahan di antara sinar kuning dari obor yang Lena pegang di tangan kirinya. Selayaknya terbakar bersama api yang tak henti membara di atas tongkat.

Secepatnya Lena melempar pintu rumahnya hingga tertutup di depan wajah Arif. Ia tinggalkan begitu saja makanan yang semenit lalu ia harapkan keberadaannya. dimatikannya obor, lalu berbaring. Di antara kegelapan itu ia tahan rasa lapar dan juga air matanya. Tak lama kemudian, ia pun tertidur di antara usahanya melupakan kejadian tadi.

H+3

Perlahan pintu rumah Lena terbuka. Sebuah tangan menjulur keluar dari pintu, meraba-raba lantai teras. Terdengar suara plastik, lalu tangan itu pun hilang dari pintu. Perlahan pintu itu tertutup lagi.

Tanpa menunggu lama, Lena membuka plastik itu. Diendus oleh Lena makanan di dalamnya. Jaga-jaga kalau makanan itu sudah basi. Setelah ia pastikan tidak ada bau, bungkus makanan itu pun ia buka. Dari yang Lena raba, di dalamnya ada nasi berisi ikan goreng yang penuh minyak. Dengan lahap, ia santap makanan itu sampai habis tak bersisa.

Lena melempar begitu saja bungkus makanan kosong beserta plastiknya ke luar jendela. Ia merasa malu atas dirinya sendiri. Padahal sejam yang lalu ia berjanji tidak akan memakan makanan pemberian Arif itu. Ia merasa ternoda.

Entah karena perutnya yang kenyang atau ada sesuatu dalam makanan yang ia makan, Lena mengantuk. Matanya berat, tak dapat lagi ia buka. Lagipula, percuma ia buka matanya, toh tidak ada yang dapat dilihat di antara hilangnya mentari. Lena pun menyerah. Ia tertidur tanpa sempat pergi ke kasur.

“Lena!” panggil seorang perempuan.

“Rara?”

Mata Rara semakin sembab dari yang Lena ingat saat terakhir bertemu.

“Kamu nangis lagi?”

Rara hanya mengangguk kecil.

“Kakakmu sudah pulang?” Lena menyingsingkan lengan bajunya. Tangannya terkepal sembari melihat sekeliling.

“Jangan pergi lagi, Len,” ujar Rara sesenggukan.

“Aku tetap di sini kok, Ra.” Lena ganti memeluk Rara. Namun, saat tangannya perlahan turun ke pinggang, Rara tersentak. Lena lalu mengajak Rara untuk duduk.

“Sakit di sini, Ra?” tanya Lena penasaran.

Rara tak menjawab. Matanya tak memandang balik mata Lena. Hanya air matanya yang menjawab. Tangannya agak menepis tangan Lena yang berusaha menyentuh selangkangannya. Sayangnya, tangan Lena begitu cepat menurunkan celana Rara.

Wajah Lena memerah. Bukan karena malu, tapi karena marah. Tampak jelas di mata Lena, bercak darah yang melingkupi vagina Rara. Namun, sebelum ia berhasil menarik tangannya lagi, Rara menggenggamnya agar tidak pergi. Tangan itu didekatkan Rara kembali ke vaginanya. Lena hanya terdiam, ia biarkan tangannya itu dikendalikan.

“Maaf aku tidak bisa menjagamu, Ra.”

“Kamu selalu menjagaku, Len.”

Rara mendekatkan wajahnya ke wajah Lena. Bibirnya semakin mendekat dan semakin tak berjarak. Tak terasa, bibir mereka sudah saling memagut. Lena membalas ciuman Rara dengan lembut. Jarinya mulai memainkan belahan vagina Rara yang basah dan licin. Rara menggeliat, bajunya turun saking tak bisa ia berhenti bergerak. Melesak keluarlah payudara Rara dengan puting berwarna cokelatnya.

Giliran tangan Rara ikut menjelajah. Payudara Lena jadi korban keusilan tangan Rara. Menggunakan dua jarinya, Rara mengelus-elus puting Lena yang sudah mengeras. Bibir mereka masih bertautan, tapi tak lama lagi. Tubuh Rara menegang. Elusan jarinya pada puting Lena, berubah menjadi remasan.

“Aaaaaaaaaaaaah, Lena.” Rara menjerit sekuat tenaga. Tangannya yang satu, melepas remasannya, lalu menekan dalam-dalam tangan Lena ke kemaluannya. Sementara tangannya yang satu lagi masih memerah payudara Lena, seakan berharap ada susu yang bisa keluar dari sana.

“Bo – bolehkah aku membalasnya, Len?” tanya Rara.

Lena tak menjawab. Tatapannya terfokus pada jarinya yang kini penuh lendir.

Rara tak menunggu lagi. Ia membaringkan tubuh Lena. Dengan penuh nafsu, ia menciumi memek Lena yang sudah sama basahnya dengan jari Lena. Ia buka lebar-lebar selangkangan Lena, agar memeknya terbuka pula.

“Eeemmmmmh emmmmm,” Lena mendesah. Ia rasakan lidah Rara mulai menelusup ke lubang memeknya. Sesekali ia terlonjak saat lidah Rara menyentuh klitorisnya.

“Raraaaaaaaaaaaa! Stoooop!” jerit Lena saat ia rasakan dirinya mencapai puncak kenikmatan. Kakinya melengkung, mengitari tubuh Rara. Memeknya terasa meledak-ledak, apalagi saat Rara malah menyedotnya kuat-kuat.

H+4

Lena terbangun dengan tubuh lemas. Tenaganya terkuras, seakan ia sudah berjalan sejauh 10 km. Keadaan sekitarnya masih sama gelap seperti hari kemarin. Ia merasakan ada yang ganjil di bawah sana. Tangannya pun menelusup ke dalam celana dalam, lalu ia dapati celana dalamnya basah.

“Hanya mimpi?” gumam Lena.

Tangan Lena keluar dari celana dalamnya, lalu diarahkan tangan itu ke hidung. Diciuminya lendir yang masih menempel di celana dalamnya. Puas menciumi aromanya, Lena lalu menjilatnya. Rasa lapar membuatnya semakin bernafsu. Tak terasa, lendir di memeknya pun habis ia jilati.

Setelah dirasa cukup, Lena merangkak menuju kamar mandi. Dirabanya lantai dan benda-benda sekitar rumahnya yang ia hapal letaknya. Di sana, di samping rak piring, ia akhirnya sampai juga di kamar mandi.

Menggunakan air sisa yang tidak sampai lima gayung, Lena mandi. Tak ia sadari, air di ember sudah begitu dingin. Selesai mandi, tubuh Lena menggigil hebat. Untungnya, ada handuk yang ia temukan tergantung di paku dinding kamar mandi. Setelah mencari-cari lagi, ia temukan satu handuk lagi di tumpukan pakaian yang belum ia cuci. Jadilah Lena melapisi dirinya dengan dua lapis handuk. Satu ia balutkan dari pundak sampai dada. Satu lagi dibalutnya dari pinggang sampai ke lutut. Merasa masih menggigil, Lena membalut lagi tubuhnya dengan selimut yang ia pakai untuk tidur kemarin.

Di luar rumahnya, terdengar suara angin bergemuruh. Mereka menerjang atap, pohon kelapa, dan ketam-ketam yang sedang makan di pohon kelapa itu. Atap rumbia rumah Lena terdengar merana. Meraung-raung tak ingin berpisah dari dinding yang kokoh tertanam di tanah. Untungnya, Maruli, ayah Lena, mengikat atap itu dengan begitu teliti. Sudah diperhitungkan oleh Maruli angin laut dan darat yang rutin menerjang.

Sejam Lena berbaring di kasur. Ia baru bangkit lagi saat mendengar suara plastik yang beradu dengan kayu pintu rumahnya. Perlahan ia membuka pintu, lalu mengintip-intip. Dilihatnya ada plastik tergantung pada daun pintu. Setelah Lena lihat makanan di dalamnya, dibawa masuklah plastik itu ke dalam rumah.

Awalnya Lena ragu, mengingat apa yang terjadi kemarin setelah ia makan makanan pemberian Arif. Namun akhirnya rasa lapar mengalahkan ragunya itu. Dimakan oleh Lena nasi dan lauk dalam plastik itu dengan lahap. Sambil berjaga agar ia tidak tidur, Lena memutuskan untuk duduk walau tubuhnya berbalut selimut.

Sejam berlalu. Tidak ada yang terjadi. Lena tetap terjaga, bahkan matanya lebih awas dari biasanya. Ia pun memutuskan untuk keluar rumah sejenak demi membuang plastik kosong sisa makanannya. Dalam pikirannya, mungkin Arif akan mengira makanan itu dimakan oleh orang lain. Dengan demikian martabatnya dapat terjaga.

Masih berbalut dua selimutnya, Lena merangkak. Ia mencari tanda-tanda pintu rumahnya, yaitu gentong tempat ia biasa menyimpan beras.

“Aduh!” jerit Lena saat merasakan ada sesuatu yang menimpa punggungnya.

Lena memberontak saat merasakan punggungnya ditekan oleh dua tangan yang kasar. Namun, akibat terus bergerak, handuk yang ia kenakan pun terlepas. Dibantu satu tangan orang yang menahan tubuhnya itu, kedua handuknya kini tergeletak menghampar di bawah tubuh telanjang Lena.

“Lepaaas!” perintah Lena terhadap penyerangnya.

Tentu saja orang itu tidak melepas Lena. Orang itu kini menginjak Lena di punggung, sementara tangannya memaksa tangan Lena untuk merentang ke atas.

“TOLOOONGHHHH!” jerit Lena yang mulai kehabisan nafas karena dadanya menahan berat sang penyerang.

Kaki orang itu bergeser ke pinggang Lena. Walau begitu, Lena tetap tidak bisa berdiri karena kalah tenaganya dengan orang yang ia duga seorang pria. Dugaan Lena tidak sembarangan. Di antara perempuan di pulau, tenaga Lena termasuk paling besar. Ia pernah terlihat membawa dua karung beras dari pasar menuju rumah.

“TOLONG! Tolong!” Lena kini hanya dapat menjerit pelan.

Pria itu mulai meraba dan memainkan memek Lena. Digesek-geseknya memek Lena menggunakan jari telunjuknya yang sudah ia basahi ludah.

“Jangan! Tolong jangan apa-apakan saya!” pinta Lena sebagai jalan terakhir.

Jari-jari itu malah makin mengganas. Bahkan, ia mulai berani masuk ke dalam lubang. Jarinya berputar di tepi lubang memeknya. Berkali-kali menggesek titik sensitif kewanitaan Lena. Tak dapat ditahan, memek Lena pun merembes hingga membasahi handuk.

“Hiks, tolong hentikan.” Lena meneteskan air matanya. Namun, satu jari orang itu malah ikut memainkan klitorisnya.

“Aaaaaaah aaaaaaaaah aahhh.” Pinggang Lena menggeliat. Ia berusaha sekuat tenaga agar jari itu berhenti memainkan klitorisnya. Namun, tak sampai sepuluh menit, pinggangnya kini mengejang. Ia bisa merasakan ada cairan lagi yang mengalir dari lubang memeknya.

Seketika, penyerangnya menghilang. Pinggangnya kini bebas dari kaki pria itu. Lena bisa bangun. Seketika itu pula Lena berdiri. Tangannya memukul-mukul ke segala arah. Namun, serangannya itu sia-sia belaka. Orang itu telah benar-benar menghilang.

Sesenggukkan, Lena buru-buru memakai handuk dan selimutnya lagi. Ia baringkan tubuhnya di kasur. Kelelahan, tak lama kemudian Lena tertidur.

H+5

Entah matahari sudah terbit atau belum, tapi Lena sudah terbangun. Ia bangun dengan kepala yang terasa berat. Rasanya seperti sudah tidur sekian tahun. Namun, matanya langsung terbuka lebar saat ia merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya.

Kaki dan tangan Lena terikat kuat satu sama lain. Tubuh Lena dalam posisi telentang, tanpa memakai sehelai pun benang. Tangannya mengganjal di antara badan Lena dan kasurnya. Ia berusaha untuk duduk agar tangannya yang terikat bisa ia pindahkan ke depan. Namun, belum lagi ia duduk, sepasang tangan mendorong tubuhnya untuk kembali telentang.

Kedua tangan itu mengelus-elus dada Lena. Tak lama kemudian, sebuah wajah pemilik tangan itu mendekat ke dada Lena, menghisap kuat-kuat puting Lena.

“AAAAAAAAHHH!” jerit Lena saat merasakan gigi orang itu menggigit kecil putingnya.

“Lepaskan aku! Aku mohon.” Lena terus mengiba, meski tidak ada kemungkinan orang itu mau melepasnya.

Sepuluh menit sudah berlalu saat Lena pun mulai tenang dan tidak banyak memberontak. Bibir orang itu melepas hisapannya dari puting Lena. Berikutnya Lena kembali memberontak hebat.

“Jangan! Jangan! Tolong jangan.” Lena terus memohon sembari meneteskan air mata.

Orang itu sudah naik ke atas badan Lena. Lena sendiri bisa merasakan dua biji yang menggelantung, menempel di perutnya. Orang itu lalu turun, sehingga ia duduk di paha Lena. Jarinya kembali masuk ke lubang memek Lena, memutarnya di dalam sana, hingga keluar cairan yang kemarin membasahi handuk.

Tiba-tiba, dari luar pintu rumah, terdengar suara ketukan. Keduanya kini terdiam membeku. Ketukan itu semakin kuat dan cepat.

“Lena? Lena?! Ada apa denganmu, Len?!” panggil suara itu.

“ARIF! TOLONG! MMFFFH!”

Pria itu membekap mulut Lena. Sementara suara ketukan semakin keras, diiringi panggilan nama Lena. Pria itu membeku, seperti tengah fokus mendengar suara itu. Lena terus bergerak, berusaha membebaskan mulutnya dari dekapan sang pria.

Suara ketukan pintu Lena hilang. Tidak ada lagi suara Arif yang tadi memanggil. Tersisa suara deru angin yang pelan-pelan membelai rumahnya.

“Semoga Arif memanggil warga sekitar. Semoga Arif memanggil Abah. Semoga Arif membawa bantuan.” Lena berharap di dalam hatinya.

Mengejutkannya, pria itu tidak berhenti mencabuli Lena. Ia bahkan sudah melumuri batangnya dengan cairan kewanitaan Lena. Berikutnya, pria itu menindih seluruh tubuh Lena, lalu menyelipkan batangnya pada selangkangan Lena. Tidak masuk, tapi digesek-gesekkannya batang itu pada bibir memek Lena. Sesekali batang itu terlepas, lalu menggesek klitoris Lena. Membuat Lena melonjak seperti kena setrum.

“MMMMMFFFH! Mmmmhhh!” Diantara bekapan mulutnya, tak jelas apakah Lena berusaha menjerit atau malah mendesah seirama dengan gesekkan batang pria itu. Yang jelas memek Lena semakin panas. Sesekali sang pria mengisi ulang pelumasnya dengan memasukkan jarinya lagi ke lubang memek Lena.

Sepuluh menit pria itu menggenjot selangkangan Lena. Sepuluh menit yang buat Lena, terasa seperti sepuluh jam. Pria itu pun semakin memburu nafasnya. Genjotannya melambat, lalu batangnya tertanam dalam-dalam. Sambil memeluk tubuh Lena dengan erat, pria itu mengerang. Cairan hangat terasa mengalir di sela-sela pantat Lena. Lama-lama, cairan itu sampai pula pada tangannya yang tak kunjung terlepas dari ikatannya.

“Cepatlah, cepat datang, Arif.” Harap Lena terus menerus.

Namun, Arif tak kunjung tiba. Pria yang mencabuli Lena bahkan tertidur pulas di samping Lena. Suara dengkurannya terdengar memecah keheningan rumah Lena. Kaki dan tangan Lena masih terikat, tapi kini Lena berhasil memindahkan tangannya ke depan. Menggunakan giginya, ia mencoba melepaskan ikatan di tangannya terlebih dahulu. Setelah terlepas, ia membuka ikatan di kakinya.

BRUK!

Pria itu terjatuh. Lena terdiam. Setelah memastikan dengkuran pria itu terdengar kembali, Lena merangkak perlahan menuju pintu rumahnya. Tidak sulit baginya, karena ia ingat letak pintu rumahnya hanya lurus belok sedikit dari kasur. Perlahan dibukanya pintu rumah, lalu Lena berhasil keluar. Untungnya di luar sama gelap seperti di dalam rumah, karena ia tidak berani mengambil pakaian di lemari. Takut pria itu terbangun.

Mendadak dari arah barat, ada cahaya terang yang berjalan mendekat. Lena segera mendekap tubuhnya agar setidaknya payudaranya tertutup.

“Lena?” panggil suara yang Lena kenal.

“Rara, tolong aku. Ada seorang pria di dalam rumah. Dia coba perkosa aku, Ra.” Lena segera memeluk Rara. Tangisnya pecah.

“Aku tadi diberi tahu Arif. Ia curiga ada sesuatu yang terjadi terhadap kamu.”

“Aku sempat mengira pria itu adalah Arif.”

Rara tidak bertanya lagi. Ia segera memapah tubuh telanjang Lena. Ditutupi sedikit tubuhnya menggunakan selendang yang ia kenakan. Rara menawarkan agar Lena memakai roknya, tapi Lena berkeras menolak. Ia tak tega membiarkan Rara berjalan hanya dengan celana dalam.

Sesampainya di rumah, Rara menyalakan lampu petromaks sebelum memberikan Lena baju. Cahayanya menyilaukan Lena yang sudah tiga hari berada dalam kegelapan. Tampak wajah Rara yang kini lebih ceria dibanding terakhir Lena bertemu.

“Kakakmu bagaimana, Ra?”

“Sebentar lagi mungkin pulang.” Rara tersenyum kecil. Ia kembali dari lemari, membawa kaus tipis berwarna merah muda beserta celana panjang berbahan kaus juga. “Maaf, hanya tinggal ini. Bajuku yang lain sudah kotor.”

“Tidak apa-apa kok, Ra.”

Lena segera memakai baju pemberian Rara tersebut. Tubuhnya masih menggigil, tapi ia tahan karena merasa tak enak merepotkan temannya itu.

“Maksudmu apa, Ra? Kakakmu sudah pulang sebelumnya?”

“Sudah.”

Lena tidak bertanya lagi, karena Rara menghidangkan makanan untuknya. Meski hanya nasi bertabur kedelai, Lena makan dengan lahap. Rara hanya duduk di kasurnya, memandangi Lena.

“Kamu sudah makan, Ra?” tanya Lena yang penasaran dengan cara Rara menatapnya.

“Sudah kok, Len. Kamu makanlah yang banyak. Sudah lama kan kamu tidak makan.”

“Dari mana kamu tahu, Ra?”

Lena tak sempat mendengar jawaban Rara, karena matanya mendadak berat. Ia pun jatuh tertidur di lantai. Piringnya terjatuh di kakinya. Nasinya tidak banyak yang tercecer, karena sudah habis lebih dari setengahnya.

H+6

“Apa-apaan sih ini, Ra?! Lepas!” perintah Lena begitu terbangun dibawah remang-remang cahaya lampu bohlam. Kaki dan tangannya kembali terikat, kali ini pada pohon kelapa.

Tidak ada yang melepas ikatan Lena. Tidak ada seorang pun di sana. Lena sendirian di bawah pohon kelapa di samping rumah Rara. Ia masih memakai kaus dan celana pemberian Rara. Suara yang menemaninya hanyalah suara generator tua yang memberi tenaga untuk rumah Rara dan lampu bohlam yang menerangi Lena.

Awan mulai mengamuk di atas kepala Lena. Gemuruh petir sesekali menyambar-nyambar di langit. Ia menerangi lapisan-lapisan kelabu yang belum mengizinkan sinar mentari tuk menembusnya. Bergelombang-gelombang, layaknya laut yang ia naungi. Berarak, layaknya dedaunan yang dihembuskan angin laut.

Dari dalam rumah, keluar Rara beserta Malik, kakaknya. Rara memimpin di depan, berjalan layaknya model sembari menggandeng tangan kakaknya. Mereka berdua berhenti di depan Lena, ikut diterangi lampu bohlam berwarna jingga itu.

“Lena, berapa kali aku bilang, aku tidak ingin kehilangan kamu,” ujar Rara dengan nada lembut.

“Lepasin, Ra! Kamu sudah kehilangan otak?” Lena terus menggeliat, berusaha melepaskan ikatannya.

“Kamu harus janji dulu, Len. Janji untuk tidak pergi meninggalkan aku.”

Lena meludah ke kaki Rara.

“Aku sudah tidak mau berada di sini lagi, Ra. Sudah gila kamu semua. Aku tidak sudi bertemu kalian lagi.”

“Aku baru akan melepaskan kamu kalau kamu berjanji tidak akan pergi. Aku juga tidak akan berhenti sampai kamu berjanji, Len!”

“Berhenti dari apa? Dari kegilaan ini?”

Rara tidak menjawab. Ia merentangkan tangannya ke atas. Saat itulah Malik memeluk Rara dari belakang. Tangannya menjamah dada adiknya dari balik baju. Lanjut turun hingga tangan itu bermain di area kewanitaannya. Rara tidak berusaha menghentikan, melainkan hanya mendesah manja.

“Mau apa kamu, Ra?! HENTIKAN!” perintah Lena yang mulai muak.

Bukannya berhenti, Malik melanjutkannya dengan melepas pakaian Rara. Dimulai dengan baju Rara, BH, lalu celana. Ia lalu berhenti untuk kembali meremas payudara adiknya. Dari belakang ia menjilati dan menghisap puting Rara. Sesekali ia mencium pipi dan bibir adiknya yang mulai basah.

“Aaaaaah aaaah aaah lanjut, Kak. Jangan berhenti. Jangan berhenti sampai Lena tidak jadi pergi.”

Lena menutup matanya, tapi ia tidak bisa menutup telinganya dari mendengar desahan Rara yang semakin lama semakin panas.

“Lena! Tolongin aku, Len. Aku mau diperawani Kakakku sendiri!” goda Rara yang telah berbaring di tanah dengan tubuh telanjangnya. Malik sendiri bersiap dengan melepas celana dan celana dalamnya.

“UDAH GILA KAMU RA!”

“Kamu tetap mau pergi, Len?”

Lena tidak menjawab.

“AAAAAAHHH!” jerit Rara. “Pelan-pelan, Kak. Pelan-pelan. Sakit.”

Malik terlihat sudah memasukkan kepala batangnya ke lubang memek adiknya. Ia memainkan terlebih dahulu payudara Rara sampai ia tenang. Rara meneteskan air matanya.

“Jahat kamu, Len,” ujar Rara yang rupanya benar-benar menangis. Ia sesenggukan sambil sesekali mengelap air matanya.

“AAAAAAWWWW!” jerit Rara lagi saat kakaknya melesakkan sisa batangnya ke dalam memek Rara.

Malik menarik kontolnya lagi. Lena yang penasaran akhirnya membuka matanya. Benar ada bercak darah di sana. Ia pun melihat akhirnya melihat Rara yang sudah berkaca-kaca matanya. Tak dapat ditahan, Lena pun ikut menangis.

“Kenapa sih, Ra? Kenapa harus sampai begini.”

“Lena jahat!” ujar Rara.

“Jahat kamu, Lena!” ujar Malik, ikutan menyoraki.

Malik lanjut menggenjot adiknya. Rara tidak nampak menikmati disetubuhi oleh kakaknya sendiri. Ia tidak mendesah lagi, tapi ia tetap memeluk kakaknya erat.

Langit semakin bergemuruh. Tak lama kemudian hujan turun membasahi mereka bertiga. Suaranya meredam suara generator tua yang setia menyala. Hujan pula membuat baju Lena basah. Nampaklah payudara dan memeknya yang terceplak dari balik kaus dan celana.

“Lena, kamu mau kakakku keluar di dalam apa di luar?” tanya Rara dari balik gemuruh hujan.

“Apa?!” Lena tak dapat mendengarnya.

Rara berbisik sekilas kepada kakaknya. Malik lalu berdiri sambil menggendong Rara tanpa melepas kontolnya dari memek Rara. Mereka berdua mendekat kepada Lena.

“Kamu mau kakakku keluar di dalam apa di luar?”

“UDAH GILA KAMU!”

Rara tidak mempedulikan cercaan Lena. Ia tetap saja berayun pada tubuh kakaknya.

“Aku udah tidak tahan, Len. Cepat jawab atau adikku hamil.” Malik ganti menggoda Lena.

“JANGAAAN!” Lena tak tahan mendengar kata hamil.

Meski sudah menjawab jangan, tapi tubuh Malik menegang. Rara memeluk kakaknya erat. Memeknya pun semakin dalam ditembus. Keduanya menjerit kecil bersamaan. Keduanya mencapai puncaknya.

“Huff, telat kamu, Len.” Rara terengah-engah. Ia lalu memanjat tubuh kakaknya sampai pantatnya sejajar dengan wajah kakaknya. Kakinya dipautkan pada bahu kakaknya. Ia lalu menungging, menunjukkan memeknya ke arah Lena, agar Lena bisa melihat lelehan sperma kakaknya yang masih mengalir dari dalam memeknya.

Rara meluruskan badannya lagi. Ia biarkan agar kakaknya bisa menjilati memeknya. Sembari meremas-remas dada Lena yang kini terlihat dari balik kaus, Malik menjilati memek Rara. Sampai Rara orgasme lagi untuk yang kedua kalinya.

Rara dan Malik lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Lena yang masih terikat di pohon kelapa sendirian.

H+7

Hujan masih turun. Lena masih terikat di batang pohon. Sementara generator tua itu tak lagi menyala. Lena mendengar saat-saat generator itu kehabisan bahan bakar. Cahaya yang menemaninya meredup dan akhirnya mati. Meninggalkan Lena sendirian, kehujanan, dan kedinginan.

Tubuh Lena menggigil hebat. Tidak hanya seharian kehujanan, tapi juga seharian penuh ia tidak makan. Tubuhnya tidak bisa lagi menghasilkan panas. Ajaib ia masih hidup sampai sekarang.

Dari arah rumah, Lena mendengar suara pintu terbuka. Malik datang melepaskan ikatannya. Ia sangat ingin menghajar Malik dengan tangan dan kakinya yang telah bebas, tapi ia sudah tidak punya tenaga. Lena hanya bisa pasrah saat Malik membopongnya masuk ke dalam rumah. Ia bahkan tak bisa apa-apa saat Malik berkata akan mengganti bajunya.

“Kak, ingat perjanjian kita. Jangan apa-apakan dia.” Rara menegur kakaknya yang wajahnya terlihat mesum saat melepas baju Lena yang basah.

“Kau bisa apa seandainya aku mau apa-apakan dia?” tanya Malik dengan setengah menantang.

“Aku sudah berikan perawanku untuk kau! Giliran kau untuk penuhi janji, Kak.”

Lena yang tengah telentang dengan tubuh yang menggigil dan telanjang tiba-tiba mengangkat tangannya ke arah Malik. Ia memberi isyarat agar Malik mendekat.

“Iya sayangku? Ada apa?” tanya Malik mengejek.

“Aku kedinginan,” jawab Lena di antara giginya yang bergemeletuk saling beradu.

“Aku bisa hangatkan kamu kok, Sayang.”

Rara mencoba bangkit. Selangkangannya masih sakit dan tubuhnya masih lemas akibat orgasme dua kali yang ia capai semalam. Tangannya berhasil memegangi kaki Malik yang mulai mendekati Lena.

“Tak bisakah kau mendengarnya, Ra? Lena kedinginan,” ejek Malik lagi.

“Aku mohon jangan, Kak,” pinta Rara. “Cukup sudah.”

Malik berhasil melepaskan kakinya dari tangan Rara, tapi yang mengejutkan ialah bukan Malik yang mendekati Lena, melainkan Lena sendiri yang datang memeluk Malik dengan badan gemetar.

“Len? Kamu mau apa?” tanya Rara yang sudah tak sanggup berdiri.

“Aku mau kamu tiduran, Lik,” perintah Lena.

Malik menurutinya. Ia telentang di hadapan Lena. Pakaian yang ia kenakan sudah lepas semua. Tidak ada yang menghalangi tubuhnya dengan tubuh Lena sekarang.

“Jangan, Len,” pinta Rara.

Lena tidak memperhatikan permintaan Rara tersebut. Ia memanjat menduduki tubuh Malik. Dipeluknya pria itu, lalu diciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Memeknya digesek-gesek pada batang Malik.

“Hangat kan? Aku bilang juga apa.”

“Iya, tubuhku jadi panas.” Lena melirik Rara yang mulai menangis di ujung sana. Belum merasa puas melihat Rara menangis, Lena melanjutkan dengan menegakkan kontol milik Malik. Ia gesekkan batang itu pada bibir memeknya untuk menemukan lubang senggama. Begitu ketemu, tanpa ragu Lena menancapkan memeknya hingga kontol Malik menghilang dari pandangan.

“OOOOOOWWWHHHH.” Lena meringis kesakitan, tapi bisa ia tahan.

“Waduh, dapat dua perawan berturut-turut.” Malik tertawa girang.

Lena menaik turunkan pantatnya. Tangannya ia letakkan di atas kepala. Payudaranya jadi bebas menggantung dan bergoyang seirama, sebelum akhirnya Malik menerkamnya dan meremas-remasnya.

“Aaaaaaah aaah sedikit lagi aaaahhhh aaah.”

“Tunggu tunggu, aku juga mau keluar, Len.”

Lena memeluk tubuh Malik erat saat ia merasakan dirinya akan mencapai puncak. Ia terlonjak saat merasakan secara bersamaan ada cairan hangat yang mengalir ke dalam vaginanya. Ia yang tidak jadi oragasme, buru-buru mencabut memeknya dari kontol Malik, lalu berdiri. Ia tahan lubang memeknya menggunakan jarinya sambil ia berjalan menuju Rara. Di sana, di atas wajah Rara yang kini penuh air mata, Lena melepaskan orgasmenya dan menumpahkan lelehan sperma Malik beserta cairan orgasmenya. Wajah Lena penuh kemenangan.

Puas, Lena mencari-cari ke dalam lemari. Setelah Lena temukan baju yang kering, ia pun memakainya. Berjalan ia menuju pintu, meninggalkan Malik yang sudah lemas kontolnya dan Rara yang masih terisak. Dibukanya pintu rumah, lalu ia temukan secercah cahaya mentari di antara awan yang sudah menipis. Berjalan ia menuju mentari itu, lalu menghilang di seberang lautan.

TAMAT
 
EPILOG
Arif terbangun di ruang yang begitu gelap dan dingin. Ia bisa melihat secercah cahaya dari lubang-lubang ruangan tersebut. Namun, matanya masih tidak mau kompromi. Ia masih ingin terpejam. Arif pun menyerah.

Saat matanya terbuka lagi, sudah tidak ada cahaya yang tadi ia saksikan. Berganti gelap, cahaya itu seakan masuk ke dalam ruangan tempat Arif berada. Sebuah lampu berwarna putih menyilaukan mata Arif. Menampakkan seisi ruangan yang hampir kosong, kecuali seonggok tubuh tanpa busana.

Arif kemudian baru tersadar, kalau dirinya juga sama-sama tak mengenakan busana. Ia pun refleks menutup kemaluannya. Meski tubuh di ujung sana tidak dalam keadaan sadar, tapi ia takut jikalau dianggap tidak sopan.

"Arif? Kamu sudah sadar, Rif?" panggil suara dari tubuh itu.

"Rara?"

"Maafkan aku karena telah menyebabkan semua ini, Rif."

"Jadi kamu yang waktu itu membius aku?" tanya Arif yang masih tidak percaya akan apa yang terjadi.

"Iya."

Arif menjauh sebisa mungkin dari Rara. Ia melihat Rara dengan penuh rasa jijik. Ia tidak menyangka, orang seperti inilah yang ingin Lena tolong.

"Kamu harus bebaskan kita dari sini, Rif. Aku sudah tidak sanggup lagi."

"Memangnya siapa..."

Sebelum Arif selesai bertanya, jawaban itu datang dalam bentuk gema tes speaker yang Arif sadari ada di pojok-pojok ruangan. Setelah Arif amati, baru ia tersadar kalau ia ada di dalam gudang tua yang dulu biasa dipakai menyimpan ikan bersama es.

"Tes, tes, satu dua."

"Heh! Lepaskan aku dari sini," jerit Arif untuk membalas suara tes tersebut.

"Boleh, aku akan lepaskan kalian berdua. Tapi ada syaratnya."

Arif terdiam sejenak, berusaha mengenali suara tersebut.

"Malik?"

"Selamat! Anda berhasil menebak! Kau boleh dapat piring cantik." Suara tepuk tangan mengiringi.

"Lepaskan kami, Lik. Kamu sudah gila mengurung adikmu sendiri?"

Tanpa mempedulikan perkataan Arif, Malik melanjutkan, "Syarat untuk keluar dari sini, kalian berdua harus bersenggama. Tidak perlu saling cinta, yang terpenting ada batang yang masuk ke dalam memek. Keduanya juga harus sampai puncak, tidak boleh salah satu saja."

"Kau pikir aku mau menurutimu, Lik?"

Arif mencari-cari jalan keluarnya sendiri. Dicobanya pintu besi yang ia lihat, tapi terkunci. Dicarinya jendela, tapi jelas tak ada. Lubang yang ada pun terlalu tinggi untuk ia raih.

"Seperti yang kau tahu, tak ada yang memakai gudang ini lagi. Hanya aku yang memiliki kuncinya. Kalian menuruti aku, atau kalian akan terjebak selamanya."

Arif masih mencoba. Ia menggedor-gedor pintu besi, berharap ada yang mendengar. Namun, setelah sejam lamanya ia menggedor, ia pun menyerah.

"Sudah lelah?"

"Apa yang kamu mau sih, Lik?"

"Aku sudah sebut apa yang aku mau. Kamu entot adikku, kalau tidak, aku tak akan bukakan pintu."

"Otakmu ke mana, Lik? Ini adik kamu!"

"Memangnya aku peduli?"

Arif tampak sedikit ragu, tapi akhirnya ia menghampiri Rara. Ia sedikit menunggingkan badannya agar terlihat memeknya dari belakang.

"Nah, begitu dong. Ayo cepat! Aku tidak mau lama-lama."

"Ra, maafkan aku." Arif mengarahkan kontolnya hingga tepat di depan memek Rara yang tidak memberikan perlawanan.

"JANGAN RIF. Jangan, aku mohon!"

Arif memejamkan matanya sebelum akhirnya menancapkan kontolnya sedalam-dalamnya ke memek Rara. Suara jeritan Rara mengiringi tiap genjotan Arif.

"Ariiiiiif aaaaah jangan aaaaaaaahhhhh jangan aku mohon."

Arif terus menggenjot, hingga akhirnya ia rasakan kontolnya berkedut lima belas menit kemudian.

"Sudah! Cepat bukakan pintunya!"

"Kau bodoh atau gimana? Kan aku bilang kalian berdua harus ngecrot."

Arif membalik badan Rara. Jarinya ia masukkan ke lubang memek Rara, sementara tangan yang satu lagi meremas dadanya.

"Arif, tolong jangan. Hentikan, Rif." Rara terus mengiba.

"Sekali lagi maafkan aku, Ra."

"Aaaaaahhh aaahhh aaaaaaawwaaahh." Rara mendesah saat Arif mulai mengobok-obok memeknya. Namun, karena sudah lama dirangsang, tak lama kemudian akhirnya Rara mencapai puncaknya.

"Sudah! Aku sudah lakukan apa yang kamu mau!"

Tidak ada jawaban, hanya ada suara tawa yang semakin lama semakin mengecil dan menjauh.​
 
Semoga beruntung suhu
Terimakasih sudah berbagi cerita
:beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd