Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 1
BUNGA HATI




Takkan layu bunga terkasihku,
yang tumbuh berseri, indah di taman hatiku.
Takkan layu, bunga pujaanku.
walaupun sang waktu datang dan berlalu.

Oh, bunga hatiku…
Jangan pernah kau layu...


- Bunga Hati, Naif





Khoirunnisa Ramadhanti
memasuk-masukkan beberapa ikat sayur yang sudah dikemas ke dalam dua tas belanjaan yang ia bawa kemana-mana. Kedua tas belanjaan itu berwarna hijau dengan logo ramah lingkungan di luarnya. Dengan teliti ia menghitung, memeriksa, dan memastikan semua yang ia beli sudah masuk ke dalam. Ibu muda berparas manis, bertubuh mungil, dan mengenakan kerudung itu terlihat sumringah saat melihat lengkapnya belanja kali ini. Untung dia memutuskan datang lebih pagi ke warung sayurnya Bi Jum, sehingga banyak barang yang ia cari masih tersedia lengkap.

“Mau bikin apa sih, Kak Nisa? Tumben banyak amat yang dibeli.”

Amira Nursyifa alias Amy melirik dan mengomentari belanjaan Nisa yang menggunung. Demikian juga Shinta Sri Astari yang tengah menggendong bayinya. Keduanya melongok ke dalam tas-tas Nisa. Kedua tetangga Nisa itu berdecak kagum.

“Wah ini sih belanjaan buat seminggu, bukan cuma sehari dua hari,” giliran Shinta yang komentar sambil tertawa yang langsung diikuti tawa renyah sang bayi yang ikut-ikutan tertawa, “Eh ngikut ketawa aja ini si bayik.”

Mereka bertiga memang sangat akrab dan sudah seperti kakak beradik. Bukan kebetulan kalau ketiganya sama-sama menarik dan memiliki paras yang teramat cantik. Bisa dibilang mereka bertiga adalah kembangnya di cluster perumahan yang gerbangnya ada tepat di depan warung sayur.

Cluster itu namanya cluster Kembang Arum Asri.

Kembang Arum Asri adalah sebuah cluster perumahan kecil yang memiliki sekitar 20 hunian, terletak di pinggiran kota dan berbatasan langsung dengan beberapa perkampungan yang sudah terlebih dahulu ada sejak puluhan tahun lamanya, membentuk satu kawasan yang dinamakan Kembang Arum.

Ada di bawah lereng Gunung Mandiri membuat kawasan Kembang Arum hijau dan asri, suasananya sejuk dan hawanya nyaman. Pemandangan indah Gunung Mandiri menaungi di atas, pemandangan indah kota dapat terlihat terlihat kerlap-kerlipnya dari kejauhan ketika malam tiba. Tempat yang indah untuk bertempat tinggal.

Di luar komplek cluster dan berbatasan langsung dengan dua kampung lain, terdapat warung sayur Bi Jum yang setiap pagi selalu ramai didatangi pelanggan. Baik dari kampung Growol di sebelah kiri, kampung Bawukan di sebelah kanan, maupun dari cluster Kembang Arum Asri.

Di sanalah saat ini Nisa, Amy, dan Shinta berada.

“Biasa, Dek. Ini si Abi kan besok ulang tahun. Pengen bikinin masakan spesial kesukaan si Abi,” jawab Nisa penuh senyum. “Rencananya bikin balado terong ayam bakar, sambel goreng ati, balado terong…”

“Lah lah lah, kok lengkap bener. Pasti bakal jadi kado yang spesial selain yang sangat-sangat spesial nih ya,” Amy menyenggol-nyenggol lengan Nisa dengan siku tangannya. “Apalagi besok malam jumat. Aduduh. Asyiknya Mama Abay.”

“Hihihi. Ditunggu kabar gembiranya ya. Ihir,” timpal Shinta kemudian.

“Ih, apaan sih, kalian berdua.” Wajah Nisa memerah. Ketiga wanita yang bertetangga dan bersahabat itu memang sering saling menggoda mengenai urusan ‘dapur’. Walaupun dalam batas-batas yang wajar bahkan cenderung naif, karena mereka sebenarnya berasal dari keluarga baik-baik yang sopan dan sederhana.

Shinta yang menggendong dan menggoyang-goyang anaknya memberikan klarifikasi, “Ya, kan Abi ulang tahun… pasti Kak Nisa sudah menyiapkan kado yang spesial. Siapa tahu beberapa minggu lagi kita bakal denger kabar kalau si Abay dapet adek baru. Hihihi.”

“Idih. Dua aja sudah repot banget ini, Dek. Masa iya nambah lagi sih… belum lah. Belum urusan-urusan dapur yang lain. Aduh, nggak dulu deh. Hihihi. Masih repot banget.”

“Hihihi. Ah masa repot sih, Kak? Kalau Kak Nisa kan beda sama aku, orangnya teliti dan bisa multitasking. Udah gitu tetap memperhatikan estetika pula di setiap pekerjaannya. Memang luar biasa kakakku yang satu ini.” Senyum merekah Amy adalah senyum bidadari yang turun dari khayangan. Sungguh indah dipandang dengan gigi putih berjajar rapi membuat setiap pria pasti luluh lantak hatinya. Seperti halnya Nisa yang sudah memiliki dua orang buah hati, atau Shinta yang baru saja memiliki momongan, Amy adalah seorang ibu muda jelita dengan seorang putra yang masih balita.

“Hahaha. Bisa aja ih. Udah, kalian dulu aja yang nambah lagi satu. Jaraknya sudah jauh kan?”

“Sudah jauh gimana sih, Kak. Lha ini si bayik masih nyusu begini,” protes Shinta yang langsung disambut tawa Nisa dan Amy.

“Hahahah. Aku juga belum sih kayaknya, Kak. Masih repot banget sama kerjaan rumah. Akhir-akhir ini banyak pesanan online yang masuk, jadi waktu juga terpotong terus.”

Meski mereka bertiga ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja secara formal, tapi baik Nisa, Shinta, ataupun Amy sama-sama memiliki kegiatan usaha online yang mereka jalankan. Dengan cara begitu, tidak saja mereka punya kesibukan selain mengurus anak-anak tapi juga bisa membantu sang suami dan menata keuangan supaya bisa membayar berbagai macam kebutuhan.

Nisa yang memiliki hobi membuat masakan berjualan kue dan cemilan. Karena dagangannya laris manis, ia bahkan sampai membuka satu kios kecil di pasar modern yang lokasinya sekitar dua kilometer dari cluster rumah mereka, usaha itu sekarang dijalankan oleh keponakan Nisa. Sedangkan Amy dan Shinta bekerjasama dalam hal penjualan baju dan kerudung, saat ini keduanya belum membuka toko sendiri karena lebih memilih dropshipping.

“Selamat pagi Ibu-ibu. Belanja nih ya?” suara serak yang tiba-tiba menyeruak itu berasal dari belakang Amy, Shinta, dan Nisa yang otomatis menengok ke belakang.

Di belakang ketiga bidadari berkerudung yang pagi itu mencerahkan suasana warung sayur, berdirilah seorang pria bertubuh gemuk, berkulit hitam, berkumis kotak seperti Jojon, memiliki mata yang mblolok di balik kacamata tebal yang desainnya sudah teramat sangat ketinggalan jaman. Pria yang cengengesan itu juga berambut tipis jarang-jarang cenderung botak dan mengenakan peci hitam buluk nyempil di atas kepala yang terlihat hanya sebagai aksesoris tanpa makna.

“Eh, Pak RT. Iya nih, Pak. Bapak mau belanja juga?” Nisa menyapa sang ketua RT.

“Mari, Pak. Belanja yuk.” Amy pun turut menyapa.

“Pak RT.” Shinta mengangguk sopan.

“Wah ini ibu-ibu muda cantik ini pagi-pagi sudah bikin seger warung sayur Bi Jum. Wahahahaha. Kalau tahu kalian bertiga di sini, tadi saya sempatkan untuk belanja. Wahahahah.”

Lelucon yang tidak lucu. Tidak ada yang tertawa.

“Ehem. Uhuk. Nggak kok saya tidak mau belanja, ini kebetulan saja lewat. Saya mau ke Kampung Growol sana, mau mendata penduduk yang belum kebagian bansos pandemi, mumpung masih pagi, banyak yang belum berangkat kerja,” senyum lebar Pak RT yang giginya menghitam tidak nyaman dipandang. Tapi ketiga bidadari yang disapa sama-sama membalas senyumnya dengan sopan. Pak RT pun melanjutkan sambil menggerak-gerakkan tangan. Maksudnya sih gerakan tangan untuk pidato tapi lebih mirip tukang sulap, “Nanti kalau tidak didata, diprotes warga. Dibilang kita tidak bekerja dengan baik. Kerjanya tidak becus, dan seterusnya dan seterusnya… ya lebih baik saya data saja. Lak ya betul begitu ya Ibu-ibu…?”

Pak RT bertanya pada semua ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur, termasuk pada Bi Jum sang penjual sayur dan para pelanggannya.

Nggih, Pak. Leres. Betul, Pak.”

“Betul itu, Pak.”

“Pak RT selalu mantap kerjanya.”

“Nah begitu baru RT yang bener.”

“Pak RT memang joss kotos-kotossss.”

“Mantap, Pak.”

“Lanjut, Paaak.”

Pak RT tersenyum lebar. Warganya memang hebat dan manut-manut, semua penurut.

Nama Pak RT itu Sukirman, biasa dipanggil Pak RT atau Pak Man, beliau tidak suka dipanggil Sukir. Kemungkinan karena di keluarga mereka setiap anak laki-laki memiliki nama berawalan Sukir.

Pak Man membawahi banyak rumah tangga baik di cluster Kembang Arum Asri, Kampung Growol, ataupun Kampung Bawukan yang merupakan tempat tinggal beliau. Tiga area menjadi wilayah di bawah pimpinan pria yang saat ini berdiri di hadapan Amy, Shinta, dan Nisa.

“Oh iya mumpung ketemu... Bu Amy sepertinya belum mengirimkan fotokopi KK ke saya ya? Kemarin kan KK-nya sudah diperbaharui karena ada kesalahan pencatatan tanggal lahir si Dedek sama tempat kelahiran Ibu. Terus kemarin saya ketemu Bapak katanya KK yang baru sudah diterbitkan sama dukcapil, dan sudah diambil. Bagaimana, mau dikirim kapan ke saya? Ini terkait dengan bansos pandemi juga ini, Bu. Harus segera didaftarkan paling lambat hari ini.”

Amy mengerutkan kening, lho apakah belum dikirim oleh suaminya? Ia menengok ke arah Nisa dan beberapa pengunjung warung sayur yang diam-diam memperhatikan percakapan ketiga bidadari itu dengan Pak RT.

Amy merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian walaupun sebenarnya arah bicara mereka wajar-wajar saja. “Oh, eh… ehm… ya udah kalau begitu nanti saya saja yang kirim, Pak. Kebetulan suami saya sedang dinas keluar kota hari ini. Bisa pakai scan saja kan? Nanti saya kirim lewat WhatsApp, Pak.”

Yo sudah tentu bisa lah. Wes gampang kalau gitu, nanti tolong kirimkan ke nomer saya, ya. Sudah tahu nomer saya belum?”

“Ehm… boleh dicek lagi, Pak?” Amy buru-buru mencari nama Pak Man di daftar kontak dan menyorongkan ponselnya untuk memperlihatkan nomer Pak RT yang tersimpan di dalam smartphone-nya. “Betul masih yang ini, Pak?”

“Iyak. Leres. Betul sekali. Itu nomer saya, Mbak cantik. Wah, senangnya nomor saya disimpan sama orang cantik. Berasa gimana gitu.”

Dari Bu menjadi Mbak, ditambahkan dengan cantik. Bisa-bisaan aja Pak RT ini memang.

Pandangan pria tua yang sudah hampir botak itu terlihat jelas tengah jelalatan menatap keindahan di depan matanya bagaikan hendak menyantap ketiga ibu muda jelita itu bulat-bulat. Siapa yang tidak ngiler melihat kecantikan Amy, Shinta dan Nisa? Siapa yang tidak ingin dekat dengan mereka? Mau bagaimanapun Pak RT adalah manusia biasa.

“Baik, Pak. Nanti saya kirim.” Amy menjanjikan.

“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu. Mari Ibu-ibu semua…”

“Mari… Mari…”

Ketika Pak RT sudah menjauh, Shinta memasukkan-masukkan belanjaannya ke dalam kantong plastik, begitu pula Amy. Nisa yang sudah membayar dan menyelesaikan belanjaannya bertanya pada Amy, “Kok tumben administrasi begitu kelupaan, Dek?”

“Ga tau deh, Kak. Biasanya kan yang begituan sudah dikirim sama mas Ge. Dia kan orangnya gercep.” Ge yang dimaksud adalah Ghema Mahardika, suami Amy.

“Coba nanti dipastiin lagi, Kak Amy. Kali-kali aja itu ide isengnya si Pak RT. Tau sendiri kan dia orangnya kayak apaan.”

“Hus, tidak boleh berprasangka buruk begitu ah,” Nisa mencoba mengingatkan. “Tujuan beliau kan baik, untuk mendata bansos bagi semua warganya. Mungkin saja memang si Ge yang lupa kirim, atau berkasnya terselip di Pak RT. Setidaknya kita bisa mengulang mengirimkan data, tidak ada salahnya. Toh hanya KK ini, Dek.”

Shinta dan Amy sama-sama mengangguk. Benar juga ya.

Seorang wanita berkerudung yang mengenakan masker tiba-tiba saja menyeruak dari dalam warung Bi Jum, ia keluar dengan tergesa-gesa. “Mari Ibu-ibu. Mari Mbak Shinta.”

Shinta baru menyadari siapa dia setelah sekian lama berbelanja. Mungkin karena mengenakan masker sehingga Shinta tak mengenalinya. Baru setelah ia menyapa dan membuka suara Shinta paham siapa yang sedang mengenakan masker itu.

“Intan.”

Intan Aryanti melangkah dengan cepat meninggalkan warung.

Amy bertanya-tanya. “Itu Intan yang sering di…”

Shinta mengangguk, “Nyebelin. Cantik tapi nyebelin bebalnya. Bisa-bisanya ngrepotin Bang Ardian terus. Maunya apa sih cewek itu? Mana Bang Ardian juga mau lagi. Gimana ga syebel. Tuh kan, mood-ku langsung rusak kalau ada dia. Syebel.”

“Kamu sebel apa cemburu, Dek?” tanya Nisa sambil menyenggol lengan Amy yang kemudian tertawa. “Kalau cantiknya seperti Intan, aku juga rela melakukan apa yang dilakukan suamimu.”

“Eh eh eh… jangan gitu dong, Kak. Hiks hiks hiks… aku sama Arga dikemanain entar…” Shinta memasang mimik menangis dan memelas.

Nisa dan Amy pun tertawa.

Belanja mereka sudah usai pagi ini. Setelah membayar ke Bi Jum, ketiganya pulang.

Shinta dengan Amy dan Nisa masuk ke cluster Kembang Arum Asri, sementara Intan ke arah yang berlawanan ke Kampung Growol, tempat ia tinggal.

“Jangan galak-galak kenapa sih, Shin…” Nisa berusaha menutup mulutnya karena geli melihat tingkah laku Shinta yang langsung berubah semenjak ada kehadiran Intan di warung sayur. Bahkan ketika Intan berjalan pulang pun Shinta seperti terus mengikuti wanita cantik itu dengan sebal. “Dia juga takut kali lihat kamu tadi.”

“Haaaaah, habisnya syebel banget, Kak,” Shinta tertawa renyah sembari melepaskan penatnya, “Tiap hari maunya nebeng Bang Ardian terus. Apa dia ga modal ya? Ya tau sih satu kantor sama suamiku. Tapi ya tidak setiap hari kan. Syebel aja. Emang suami dia kemana? Bukannya sudah nikah juga ya?”

“Kata Bang Ardian gimana?” tanya Nisa lagi.

“Katanya sih suaminya sedang sakit. Tapi masa iya sakitnya lama banget… sakit apa coba.”

“Setiap manusia memiliki masalah sendiri-sendiri. Mungkin ada hal-hal yang tidak kita tahu yang membuat Intan harus nebeng Mas Ardian terus kalau berangkat ke kantor. Selama suamimu tidak macam-macam, mudah-mudahan perbuatan ini tergolong perbuatan baik. Berbaik sangka saja, Dek,” kata Nisa setelah mengamati Intan yang selama berjalan terus menerus menunduk seakan-akan tidak ingin bertemu dengan siapapun.

Shinta terus menerus melirik ke arah Intan yang jalannya semakin menjauh.

“Lho… Dek, tas belanjaanmu mana?” tanya Nisa pada Amy yang lantas terbengong-bengong.

“Huuaaaaa! Ketinggalan.” Amy buru-buru balik ke warung sayur Bi Jum.

Nisa dan Shinta pun tertawa.

Amy memang kadang ceroboh kalau sudah banyak yang dipikirkan.





.::..::..::..::.



MEIA7YZ_t.png


Assalamualaikum, Umi.”

Walaikumsalam, Halo Abi.” Khoirunnisa Ramadhanti meletakkan ponsel di antara pipi dan bahunya, ia menerima panggilan telpon sang suami sembari membersihkan sayuran dengan air mengalir. “Kok tumben telpon pagi-pagi begini?”

Tumben bagaimana. Biasanya kan juga telpon.” Suara Haris Revano terdengar sedikit kabur, ada distorsi dan noise yang mengganggu.

“Hihihi. Iya juga ya,” Nisa tertawa renyah. Suaranya yang serak-serak basah membuat sang suami menikmati seksinya suara Nisa. Hanya dengan mendengar suara istrinya saja sudah bisa membuat hatinya adem kembali setelah beberapa hari mengikuti simposium. Nisa memperhatikan sayur yang ia cuci dan menyisihkan yang sudah dibersihkan “Sori Abi, aku lagi fokus bikin masakan ini, jadi pikiran kemana-mana deh. Ini baru nyuci sayuran. Biar siap dimasak hari ini dan besok.”

Pantes ada suara air. Wah, pasti bakal masak enak kita besok. Umi kan jagonya masak. Pokoknya Abi pengen lihat makanan favorit Abi di meja makan. Hahahaha.”

“Siap, komandan.”

“Hahahaha. Eh, gimana anak-anak?

“Anak-anak sehat, alhamdulillah. Yang gede baru main sama anaknya Mas Agung tetangga depan rumah.”

Diawasin lho. Si Ceny itu anak cewek tapi tomboy banget.”

“Mainnya di kebun belakang kita ini, Bi. Ini juga sedang aku liatin dari sini. Beginilah untungnya punya halaman luas dibelakang yang tertutup, bisa digunakan untuk rekreasi anak-anak. Lagipula ada Mbak Yuna istrinya Mas Agung yang menemani mereka. Aman kok.”

Oh ya sudah. Si bocil ikut main juga?

“Hahaha, kalau dia mah udah nggelepar, tidur dengan suksesnya di depan TV.”

Hahaha, dasar si Abay.”

Terdengar lantunan lagu lembut, sepertinya suami Nisa sedang melihat-lihat lagu di Youtube di kamar hotelnya. Dendang lagu kesukaan mereka berdua terdengar mengalun. Ibu muda jelita itu pun tersenyum, teringat masa-masa dahulu saat mereka berdua berpacaran.

“Belum mulai acaranya hari ini, Bi?”

Tadi pagi udah mulai pembukaan ala kadarnya untuk hari terakhir. Ini sedang break. Mungkin sejam lagi turun ke ruang pertemuan lagi untuk memulai acara yang beneran.”

“Oh gitu.”

Umi…”

“Ya?”

Nyanyi dong. Abi kangen banget dengerin suara merdu Umi.

“Hah? Ngapain minta Umi nyanyi? Nah kalau ini beneran tumben. Biasanya kalau Umi lagi nyanyi Abi selalu cuek-cuek aja,” Nisa terkekeh ringan. “Memangnya kenapa sih, Bi?”

Sendirian di hotel begini tidak enak. Maunya meluk-meluk Umi aja, apalagi sambil dengerin lagu kesayangan kita begini. Duh… pengen sesegera mungkin pulang ke rumah. Pengennya cepet malem biar besok pagi sudah ketemu Umi lagi. Meluk tubuh indah Umi, cium bibir Umi, ngelus-ngelus dada Umi, masukin punya Abi ke…”

“Eh! Kok larinya jadi ke situ ya? Hihihi… sabar sebentar kenapa sih, Bi, besok juga kita bakal ketemu. Ini sudah hari terakhir kan?” Meski seakan-akan sok jual mahal, tapi degup dada Nisa tetap berdetak kencang karena ia pun juga merindukan sang suami. Sudah agak lama sejak terakhir kali mereka bermain cinta. “Ya udah, nanti seabis masak Umi kirimin voice note Umi lagi nyanyi. Abi janji sabar ya. Jangan aneh-aneh di sana. Cewek Manado kan cakep-cakep.”

Apaan sih Umi, sayangnya Abi kan cuma sama Umi. Tapi Umi janji ya…”

“Janji apa dulu.”

Mau Abi sayang-sayang nanti pas Abi pulang.”

“Idih.”

Mau tidak?

Nisa tersenyum dan wajahnya memerah malu meski tidak ada seorang pun di dekatnya, “Ya mauuu lah, Bi. Kan Abi suamiku, masa ya ditolak. Tapi awas aja kalau permintaannya aneh-aneh kayak tempo hari. Aku ga bakal mau. Ada-ada aja Abi ini.”

Tenang saja ga bakal aneh-aneh kok. Oh iya, Mang Juki udah datang belum, Mi?

“Mang Juki?” Nisa meneguk ludah. Ngapain lagi suaminya ada urusan dengan Mang Juki? “Belum itu, Bi. Memangnya kenapa? Apa Abi ada janjian sama Mang Juki?”

Nah iya. Benernya hari ini Abi udah terlanjur ngatur janji sama Mang Juki, tapi Umi tahu sendiri Abi tiba-tiba ada jadwal mendadak harus ikut simposium menggantikan Pak Dekan. Itu lho… pengatur otomatis di tandon air kan mati, sudah waktunya ganti. Kita kan repot tuh bolak-balik matiin pompa air kalau torennya penuh. Nanti biar otomatisnya diganti sama Mang Juki. Uangnya nanti tanyain aja berapa habisnya, Abi transfer ke Umi.”

“Oh gitu…” Nisa terdiam sejenak, suaranya lemas. Suara air menjadi terdengar lebih jelas karena Nisa lantas tak mengatakan apa-apa. Hal itu tentu disadari Haris.

Mi?

“Hmm?”

Umi kenapa? Kok kayaknya jadi tidak semangat gitu? Apa gara-gara Abi manggil Mang Juki?

“Ah, nggak. Ga kenapa-kenapa kok,” suara Nisa terkesan mengambang. Tapi sejenak kemudian ia memutuskan untuk menahan diri bercerita pada sang suami, “Bisa tidak sih Mang Juki-nya benerinnya mundur dulu sampai Abi pulang? Ga enak aja gitu, Bi. Di sini kan cuma ada aku sama anak-anak. Yuna sama anaknya sudah pasti sebentar lagi pulang. Lagipula Abi kan pulangnya besok, apa iya tidak bisa diundur jadwalnya sehari aja?”

Lho? Memangnya ada apa? Kita kan sudah sering minta bantuan Mang Juki. Dia tukang yang sangat diandalkan di RT kita, Mi. Benerin otomatis di tandon air juga cuma sebentar kok, tidak akan makan banyak waktu. Nanti tinggal ditunjukkin aja tempat Abi nyimpen tangga kita supaya Mang Juki bisa naik ke atas.”

Nisa mendesah sembari menghembuskan napas panjang, “Ya udah iya, Bi.”

Nisa tidak akan pernah bisa cerita ke sang suami tentang apa yang terjadi terakhir kali saat Mang Juki datang ke rumah mereka. Sebelum kepergian Haris ke simposium, Mang Juki memang sempat datang unuk membenahi talang air yang bocor.

Sip. Makasih ya, Mi. Ya udah begitu dulu. Salam buat anak-anak. Abi mau siap-siap untuk jadwal selanjutnya. Jangan lupa kirimin voice-note Umi ya.”

“Iyaaa. Ngadi-ngadi emang ini si Abi…”

Hihihilove Umi. Bye.”

Love Abi. Bye juga.”

Air terus mengalir membasahi sayuran sementara pikiran Nisa jauh melayang entah kemana. Akankah dia mengijinkan Mang Juki masuk ke rumahnya yang saat ini tanpa suami? Kemarin pas masih ada mas Haris aja begitu. Apalagi sekarang.

Ibu muda jelita itu meneguk ludahnya.

Entah kenapa dia tiba-tiba merasa merinding. Kemana ingatan Ibu muda itu melayang? Tepatnya ke beberapa hari yang lalu.

Saat itu Mang Juki sedang membenahi talang air yang bocor di atas kamar anak-anak. Haris, Ceny, dan Abay berkumpul di ruang tengah menonton tayangan anak-anak di salah satu channel Youtube sementara Nisa mandi. Seperti biasa, Nisa mandi tanpa pernah curiga akan ada sesuatu yang terjadi. Tentu saja ia tidak pernah berburuk sangka pada siapapun. Kamar mandi itu berada di lantai dua, di antara kamar anak-anak dan kamarnya.

Hari itu dia baru sadar.

Dia harus berburuk sangka pada siapapun.

Usai mandi, Nisa melakukan hal seperti biasa, melingkarkan handuk untuk membungkus tubuh mungilnya yang indah. Kulit putih mulusnya terasa segar dan mengkilap usai disabun dengan bersih seperti biasa. Harum wangi tubuh Nisa menyeruak ke seluruh penjuru ruangan. Ia juga menggunakan satu handuk kecil untuk membersihkan rambut panjang sebahunya yang baru dikeramas. Keluar dari kamar mandi, Nisa fokus membersihkan rambutnya.

“Indahnya pemandangan ini. Molek banget tubuh Ibu.”

Nisa terkesiap dan terbelalak saat melihat tepat di depannya berdiri Mang Juki yang berdiri dengan kaki menyilang dan tangan bersidekap. Pria berkulit legam itu menyeringai sembari berdecak mengagumi keindahan tubuh Nisa.

Mang Juki tersenyum dan menjilat bibirnya. Luar biasa tubuh yang terbiasa mengenakan gamis dan kerudung itu, ternyata menyimpan harta karun yang luar biasa molek. Gejolak lelakinya menggelegak melihat paha mulus indah itu tak terlindungi oleh apapun. Sungguh surga di bumi.

“Ma-Mang Juki!?” Nisa hampir berteriak karena pertemuan yang tak disengaja itu.

Mang Juki cengengesan melihat Nisa terkejut. Pria berkulit legam bertubuh tegap dengan dada bidang itu hanya mengenakan kaos basket merah bergambar banteng yang memperlihatkan kulit legam yang keling dan celana pendek abu-abu dengan bercak cat.

Marzuki Suleman nama lengkapnya, bertubuh perkasa meski terkesan kerempeng dengan satu mata jereng, kulit legam keling di sekujur tubuh tapi punya otot kencang berkeliling, rambut gondrong keriting Ronaldinho yang diikat seadanya dengan karet gelang, topi hijau bertuliskan Celtics yang dikenakan terbalik memperlihatkan dahi jenong yang lapang, kumis tipis terbelah yang semrawut menambah unik penampilannya yang tidak bisa dibilang tampan.

Pria itulah yang sekarang tengah menikmati keindahan tubuh Nisa yang hanya mengenakan handuk.

Karena panik ibu muda itu pun buru-buru berbalik ke kamar mandi. Sayang Nisa jadi lupa kalau antara lantai koridor dan kamar mandi ada perbedaan tinggi lantai. Ia memijakkan kaki yang salah dan ia pun terselip, Nisa terjerembab ke lantai kamar mandi.

Brkkghh!

“Aduuuuuuuuuh!”

Nisa menjerit lirih, tapi karena pintu kamar mandi langsung tertutup, suaranya tidak akan terdengar sampai ke lantai bawah. Nisa mengernyit kesakitan. Pergelangan kakinya terasa sakit. Handuknya sudah terlepas sehingga dia terbaring di lantai kamar mandi dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam saja.

“Esssst… aduh… aduh… aduh…” Nisa memejamkan mata sembari mencoba berguling untuk berdiri, tapi rasanya sakit sekali di pergelangan kakinya.

“Sst… Ibu diam dulu saja. Biar saya benahi.”

Nisa terbelalak kaget! A-apa!? Suara itu!?

Mang Juki meraih kaki Nisa, sementara ia bersimpuh, ia meletakkan kaki mulus Nisa di lututnya, lalu mulai memijat bagian pergelangan kaki sang ibu muda. Nisa jelas memberontak!

“MANG JUKI!! Apa yang Mang Juki… aaaaaaaaah!!”

Mang Juki dengan santai melanjutkan memijat kaki Nisa, ibu muda itu terbanting ke belakang saat sentuhan-sentuhan jemari tangan berkulit tebal milik sang tukang menekan-nekan bagian lembut betisnya yang bersih dan lembut. Rasa sakitnya luar biasa, kakinya yang terpeleset ternyata cidera.

“Ahaaaaaaaakkghh!!”

Nisa memejamkan mata, ia menelungkupkan kedua lengan untuk menutup wajahnya, dan menahan rasa nyeri supaya tidak berteriak kencang, ia bahkan sampai mengigit handuk supaya tidak berteriak. Rambutnya yang masih basah tergerai di lantai kamar mandi. Ia sudah lupa kalau saat ini dia setengah telanjang di depan laki-laki yang seharusnya tidak boleh menyentuh tubuhnya.

“Tenang saja, Bu. Setelah ini pasti baik-baik saja,” suara tenang Mang Juki dan pijatannya di betis sang Ibu muda membuat Nisa sedikit merasa nyaman, meski tidak mungkin sepenuhnya merasa aman. “Begini-begini saya juga sering dipanggil buat pijat orang. Sekali waktu pernah dipanggil buat pijat tim sepakbola, kali lain tim bola voli yang sedang pelatnas. Saya kerja kan serabutan, apa saja dikerjakan asal dapat cuan. Kebetulan punya banyak keahlian.”

Dia tidak bohong. Kaki Nisa perlahan-lahan mulai membaik. Nyeri itu mulai hilang.

Mang Juki menatap wajah cantik Nisa yang menatapnya balik dengan kebingungan. Pria tua itu menyeringai, “Ibu ternyata cantik banget kalau tidak berkerudung ya. Rambutnya indah. Tubuhnya juga seksi. Kulitnya putih mulus banget. Beruntungnya pak Haris punya istri seperti Ibu.”

Nisa sadar meski terlambat. Laki-laki ini bukan suaminya! Buru-buru ia menutup tubuh indahnya dengan handuk yang tergeletak begitu saja di lantai kamar mandi. Terasa basah, tapi setidaknya jauh lebih sopan dari seharusnya.

“Ja-jangan kurang ajar, Mang! Saya teriak nih!”

“Ya teriak saja. Saya kan cuma mijat, tidak kurang tidak lebih. Lagipula tadi saya dari bawah sudah pamit sama Bapak memang mau cek atap mana saja yang bocor karena talang air. Kebetulan saja saya dapat bonus pemandangan yang luar biasa indah,” Mang Juki mengedipkan sebelah matanya yang jereng.

Nisa terdiam seribu bahasa, wajahnya memerah. Ia berusaha mengatupkan kedua kakinya. Tapi Mang Juki masih tetap cengengesan sembari melihat paha mulus sang Ibu Muda. Tangannya memang memijat, tapi sesekali mengelus kaki mulus Nisa yang bersih tanpa bercak itu.

“Seandainya saja saya punya istri yang pahanya semulus punya Ibu, pasti sudah saya gauli setiap hari istri saya. Tapi dapetnya yang begitu deh… ibu tahu sendiri istri saya kayak apa. Beda sekali dengan Ibu yang seperti bidadari surga.”

Ya. Nisa tahu seperti apa istri Mang Juki. Gemuk dan berisi. Mungkin Teh Winda dulunya cantik, tapi sekarang lemaknya sudah menelan kecantikan istri Mang Juki, dagunya berlipat-lipat, dan makannya tidak pernah satu piring. Meski begitu sisa-sisa kecantikan Teh Winda masih tetap terlihat.

“Teh Winda kan cantik, Mang…” suara Nisa sekarang terdengar lebih normal. Dia mulai merasa biasa dalam situasi yang tidak biasa-biasa saja.

Mang Juki tersenyum. “Dulu iya. Dia kembang desa. Sekarang? Sekarang dia lebih suka deket-deket sama berondong dan saya lebih suka memijat sebenar-benarnya bidadari yang sedang turun ke bumi. Tidak hanya cantik fisik, tapi juga cantik hatinya. Bagaimana mungkin saya membandingkan wanita dengan tubuh indah dan wajah secantik Ibu dibandingkan dengan istri saya yang sudah lupa bagaimana merawat tubuh?”

“Tidak boleh begitu. Yang penting kan hati dan cintanya buat Mang Juki.”

“Heheheh. Apa iya?” Mang Juki menjulurkan lidah. Matanya masih terus jelalatan menelusuri tubuh Nisa. Benar-benar molek istri Pak Haris ini. Buah dadanya memang tidak jumbo, tapi cukup setangkupan tangan. Andai saja dia bisa meremas-remas buah dada molek itu dan mengulum pentilnya yang nyeplak di balik beha tipis yang sekarang dikenakan. “Saya dan Winda sudah lama pisah ranjang. Suami istri hanyalah status saja, kami tidak mau cerai karena memikirkan masa depan si Rano yang sebentar lagi lulus SMA. Winda kan selingkuh sama si Lan yang jualan buah di ujung gang Bawukan.”

Rano adalah putra tunggal Mang Juki dan Teh Winda.

Sedangkan Lan atau Sukirlan si pemuda berondong adalah penjual buah-buahan yang sering cari muka di hadapan ibu-ibu kompleks. Dia memang bisa dibilang punya wajah yang lumayan. Sayangnya dia memanfaatkan wajahnya itu untuk mengelabui dan menghamili gadis-gadis muda kampung Bawukan ataupun kampung Growol. Sukirlan bebas tanpa pernah dibui karena dia adalah adik kandung Sukirman alias Pak Man, sang kepala RT.

Nisa kembali terdiam.

“Nah sudah.” Dengan lembut Mang Juki meletakkan kaki Nisa ke lantai. Perlahan-lahan sekali seakan-akan kaki indah Nisa itu akan hancur berkeping-keping kalau diletakkan secara asal. Dengan iseng ia mengelus-elus betis sang ibu muda. Wajah Nisa memerah saat menarik kakinya. “Kakinya saja cantik, apalagi yang lainnya.”

Wajah Nisa memerah. Apa maksudnya yang lainnya? Jangan-jangan Mang Juki berpikiran jorok!

“Coba dipakai berdiri.”

Nisa mencoba berdiri perlahan-lahan. Masih terasa aneh. “Auh!”

Ketika hampir terjatuh, tangan Mang Juki langsung menjaga tubuh Nisa agar tidak benar-benar sampai roboh. Otomatis ibu muda itu pun mengalungkan tangannya di bahu sang tukang. Bau rokok tercium dari tubuh sang pria tua.

“Pelan-pelan saja, bidadari surga. Jangan buru-buru.”

Wajah Nisa memerah saat Mang Juki memanggilnya dengan sebutan bidadari surga. Ingin rasanya protes, tapi dia terlalu sibuk dengan situasinya. Nisa mencoba mencari keseimbangan. Satu tangan merangkul Mang Juki, tangan lain memegang erat handuknya. “Te-terima kasih.”

“Bidadari surgaku ini wangi sekali…”

Nisa buru-buru melepas rangkulannya dan mencoba berdiri dengan tegap. Ajaibnya dia bisa dan tak terasa sakit apapun!

“Nah. Sudah kan?” Mang Juki berkacak pinggang, “Saya bilang juga apa.”

Nisa mengangguk, wajahnya malunya sudah teramat merah seperti tomat. “Terima kasih.”

“Sama-sama, bidadariku,” Mang Juki membimbing Nisa keluar dari kamar mandi dengan memegang tangannya yang lentik.

Nisa meninggalkan Mang Juki. Ia melangkah berhati-hati supaya kakinya tidak terlampau sakit.

“Bu?”

Nisa menengok ke belakang. Apa lagi yang diinginkan pria tua itu?

“Pantatnya molek banget. Boleh pegang tidak?” Mang Juki mengedipkan mata sembari menjilat bibirnya.

Nisa terbelalak. Ia baru sadar kalau handuknya tersingkap tepat di atas bokong, memamerkan pantatnya yang meskipun mengenakan celana dalam tapi cukup membuat jakun laki-laki berkulit legam di belakangnya naik turun.

Meski komen sang pria tua kurang ajar, tapi kali ini memang kesalahannya, bukan Mang Juki. Nisa tidak bisa marah-marah karena kesalahan itu. Dia pun membenahi handuknya dan buru-buru kabur dan masuk ke kamar. Begitu masuk, Nisa langsung bersandar di pintu dan menutupnya. Ia memejamkan mata dan menggenggamkan tangan di dada.

Degup jantungnya terasa sangat cepat. Napasnya memburu.

Untuk pertama kalinya sejak menikah, Nisa disentuh oleh laki-laki selain suaminya… dan rasa bersalah itu mengungkungnya bersama dengan rasa yang tak bisa dideskripsikan. Rasa yang ternyata mampu menafikan rasa tak bersalahnya.

Lupakan… lupakan…

Nisa hanya ingin melupakan kejadian itu secepatnya.


MEIAAWQ_t.jpg



.::..::..::..::.



MEIA7YW_t.png


“Masih lama simposiumnya, Mas?”

Amira Nursyifah menelan roti sus kecil yang tadi dia beli di warung sayur Bi Jum. Dia sedang rebahan di sofa di depan televisi yang sedang memutar drama korea. Amy tidak konsen karena sedang video call-an dengan sang suami yang sedang menghadiri simposium yang sama dengan suami Nisa. Mas Haris suami Nisa dan Ghema Mahardika suami Amy adalah dosen di perguruan tinggi swasta yang sama.

Masih. Ini juga baru istirahat sebentar. Asli bosen banget di kamar hotel begini sendirian, sayang. Tadinya mau jualan tahu bulat yang digoreng dadakan, tapi takut kalau tidak ada yang tahu, adanya tempe.” Lawakan garing khas bapack-bapack.

“Bersih-bersih lantai kek, cuci-cuci seprei, laundry gorden. Siapa tahu menghasilkan, Mas. Yang penting kan produktif.” Kekeh Amy sembari bercanda. “Pokoknya aku nitip oleh-oleh ya, Mas. Apapun itu asal bukan cewek lokal.”

Sayang… aku mau minta sesuatu yang nackal boleh kali yah? Sekali ini saja.

“Hmmm… mau minta apa emang? Aku kok jadi curiga.”

Foto selfie kamu cuma pakai daleman. Aku kangen banget sama kamu, sayang.”

“Yish! Nggak mau ah! Apaan sih aneh-aneh aja.” Amy menggeleng dan menolak. Ini bukan pertama kalinya sang suami meminta foto seperti ini, dan dia pernah menuruti permintaan si Ge. Tapi tetap saja Amy canggung melakukannya.

Ayolah, sayang…

“Nggak ah! Enak aja. Lagian buat apa sih, Mas? Permintaaanmu itu mbok yang normal-normal saja toh. Kenapa harus yang beginian? Mau buat apa? Buat coli ya? Yish! Olahraga aja sana!”

Sayangpleaseee…”

“Nggak ah! Aku udah rebahan. Males berdiri lagi.”

Dulu sewaktu kita pacaran aku minta foto telanjang kamu mau-mau aja. Sekarang kta udah nikah masa foto cuma pakai daleman aja ga mau, sayang? Ayolaaah. Sekali ini saja. Biar aku semangat simposium hari terakhirnya. Please sayang… please please please seribu kali please…”

“Nggak mau! Mau sejuta kali juga jawabannya tetap nggak! Mintanya udah kayak si Kevin minta permen aja kamu, Mas.”

Ayolaaaaah, ini yang minta kan suami kamu.”

“Lha terus kenapa? Kalau permintaan suaminya aneh-aneh masa iya aku lakuin? Kan nggak. Ya ampun, Mas. Mbok ya cari permintaan lain kenapa sih? Nanti kalau fotonya tidak sengaja kesebar gimana? Kalau ada temen pinjem HP gimana? Kalau kesimpen di cloud yang bisa di-share orang gimana? Udah mikir sampai sejauh itu belum?”

Ya masa aku tidak hati-hati sih. Ponselku selalu di kantong, mana ada yang pinjem ponsel pribadi.” Si Ge pun mendesah kecewa, “Kamu beneran ga mau, sayang? Kamu tega membiarkan aku cari-cari pelampiasan lain?

“Ya ampuuuuun, Mas! Mikir kali, Mas! Aku tuh khawatir karena sudah banyak kejadian gara-gara hal kecil begini. Di tempat kamu aja banyak hacker, gimana nanti kalau ponselmu ternyata di-hack orang? Gimana kalau nanti fotonya nyebar? Gimana kalau nyebarnya di kantor kamu? Reputasimu kan jadi hancur. Aku malunya udah kayak apaan tahu. Udah ah, lupakan aja. Ada-ada aja sih kamu, Mas.”

Aku tidak pernah membiarkan siapapun mendekati ponselku. Tidak akan ada yang berani hack. Sekali ini ajaaaaa. Ya sayang ya? Ini mumpung masih di kamar nih, bentar lagi bakal masuk ke acara pemberian materi seharian.

“Hadeeeeeh. Ya udah iya. Bentar, aku selfie dulu.”

Hehehe… asyik… kerudungnya tetap dipakai ya sayang. Itu bagian dari asyiknya.

“Dih. Udah mintanya aneh-aneh, ngelunjak pula.”

Amy yang masih berkerudung melepas semua baju yang ia kenakan, sampai hanya meninggalkan pakaian dalam saja. Ia lalu mengambil foto beberapa kali di depan cermin. Dengan sengaja Amy tidak secara jelas menampilkan wajahnya supaya tidak bisa diperkarakan kelak. Dari beberapa foto, ada yang secara jelas menampakkan parasnya. Foto yang seperti itu tidak dia kirimkan pada sang suami karena dia khawatir.

Foto-foto yang sudah dipilah dan dipilih dikirimkan pada sang suami. Ada sekitar lima foto yang ia kirimkan. Dengan sengaja Amy berpose seksi, seperti menekuk lengannya sehingga buah dadanya jadi terliha lebih besar dari seharusnya, gaya mengelus buah dada dengan wajah menggoda dari samping meski wajahnya ia tutup dengan jemari, dan beberapa foto dengan pose seksi lain. Amy tahu pasti, pose-pose seksi dan menggoda itulah yang diinginkan sang suami.

Edaaaaaan, istriku memang cantik banget! Seksi banget! Mantap bangeeeet! Nilainya sepuluh per sepuluh. Perfecto magnifico.” komentar Ge melalui WhatsApp tak lama kemudian setelah foto-foto itu dikirim.

“Guombaaal. Ya udah. Sudah puas kan? Aku mau tidur dulu! Ngantuk!” balas Amy dengan ketikan cepatnya. Dia tidak bohong, dia memang benar-benar mengantuk. Tanpa mengenakan baju, Amy rebahan kembali di sofa. Dia menguap berulang-ulang kali. Rasa kantuk hebat menerpanya.

Ding ding ding.

Notifikasi ponselnya menyalak. Mau apalagi nih suaminya? Amy melirik ke ponsel yang sebelumnya sudah diletakkan di atas meja. Lho? Dari Pak RT? Amy pun membuka aplikasi WhatsApp untuk membalas pesan singkat dari sang pimpinan wilayah itu.

Siang Mbak cantik.”

“Siang, Pak.”

Amy membiarkan saja ketika Pak RT memanggilnya dengan nama sebutan ‘Mbak cantik’. Toh dia tidak dirugikan dan panggilan itu rasanya tidak terkesan kurang ajar. Dia terlalu ngantuk untuk protes.

Saya mau minta foto KK-nya boleh? Apa bisa dikirim sekarang? Kebetulan saya sedang jalan ke kantor, nomor-nomor NIK, tanggal lahir, dan tempat lahir kalian yang sudah diperbaiki nanti saya catat di sana.

“Oh boleh, Pak. Saya kirim ya.” Amy pun mencari-cari foto yang dimaksud dalam ponselnya. Beruntung dia tadi sudah mengambil gambar dari Kartu Keluarga yang diinginkan, jadi sekarang hanya tinggal kirim saja. Amy kembali menguap.

Foto sudah di-send. Aman.

Amy pun meletakkan ponselnya dan rebahan di sofa yang ada di depan televisi. Hari ini sepertinya dia ingin tidur-tiduran saja, dia hanya ingin bermalas-malasan dengan Kevin kalau bocilnya itu sudah bangun nanti, dia hanya akan memasak seadanya dan menonton drama Korea sepanjang hari. Toh suaminya baru pulang esok hari.

Hmm. Mas Ge lagi apa ya? Jangan-jangan sedang coli? Hihihi. Selamat memenuhi nafsumu deh, Mas. Besok baru kita ketemu lagi.

Percakapan mesum dengan suaminya tadi sedikit banyak membuat gejolak birahi Amy juga menggelora. Aah, ingin sekali rasanya dia bisa memeluk Mas Ge, membuka bajunya, mengulum kemaluannya, dan membiarkan batang kejantanannya berkuasa di liang cinta miliknya.

Mmhh… pasti enak sekali rasanya bermain cinta di siang yang panas seperti ini.

Amy pun berbaring. Tangan kanannya menyentuh, meremas, dan memilin-milin buah dada, sementara tangan kirinya menelusup memasuki celana dalamnya. Jari jemari lentik Amy pun mulai bermain di bibir liang cintanya.

“Aaaah… Mas Geee… kapan pulang sih… aku kangeeeen…” desis ibu muda itu sembari mencoba memuaskan dirinya sendiri. “Aku dipanggil Mbak cantik sama Pak RT, Maaaas… Masa iyaaaa kamu rela aku digodain Pak RT tua mesum itu? Mas Geee… ayo pulaaaaang…”

Ding ding ding.

Terdengar suara notifikasi masuk. Mungkin balasan dari Pak Man. Amy malas banget membalasnya. Ia hanya mendesah-desah melanjutkan aksinya. Karena hanya mengenakan bra dan celana dalam, mudah sekali bagi Amy untuk memuaskan dirinya sendiri.

“Mas Geeee… ayo pulaaaang. Selamatkan aku dari Pak RT tua mesuuuum… aah ahhh ahhhhh…” jari lentik tangan kanan Amy mulai nakal memainkan ujung kenikmatan di atas bibir liang cintanya. Tubuh Amy yang tadinya berbaring melejit seperti busur, bagian pantat didorong ke atas supaya liang cintanya siap menerima sodokan jari jemari yang kian berkuasa. “Mas Geeeee… masa kamu rela aku disentuh laki-laki lain? Aaaaahh ahhh ahhh ahhhh… selamatkan akuuuu… aaaaahhh aahhh ahh…”

Drrrt.

Fokus Amy terpecah saat melihat ponselnya bergetar. Ish! Ganggu aja! Siapa sih yang menelponnya? Dengan napas yang terengah-engah Amy terpaksa menyudahi aksinya. Ia mengambil tissue untuk membersihkan jemari dan meraih ponsel yang ia letakkan di meja.

Siapa sih yang telpon? Suaminya atau… Lho? Kok Pak RT telpon? Kenapa ya? Apa masih ada yang salah dengan kartu keluarganya? Telpon itu terhenti. Saat itulah Amy membaca pesan notifikasi yang muncul di layar.

Nah nah… habis apa hayo, Mbak cantik? Kok kirim fotonya yang beginian? Kan saya jadi seneng banget. Sering-sering aja kirim foto seperti ini ya. Wahahahaha. Mantep bener body-nya. Saya jadi ngiler siang-siang nih, Mbak. Omong-omong Mbak cantik sedang ada di rumah tidak ya? Jadi kepengen mampir.”

Haaaah!? Ngomong apalagi sih si tua bangka ini?

Body?

Kok body?

Amy mengerutkan kening saat melihat layar ponselnya. Dia masih belum membuka aplikasi WhatsApp dan hanya memperhatikan notifikasi dari screensaver. Apa sih yang dimaksud bapak-bapak mesum ini? Bukannya dia minta dikirimin foto Kartu Keluarga yang baru? Kan sudah dikirim. Kok malah jadi ngomongin bod

Eh… sebentar… sebentar…

Penasaran, Amy pun membuka kembali chat-nya dengan Pak RT di media WhatsApp.

Astaghfirulaaaaahhh!!

Gilaaaaaaaak!!


Alih-alih foto Kartu Keluarga, Amy justru mengirimkan foto selfie-nya yang hanya mengenakan bra dan celana dalam saja! Dia mengirimkan foto yang secara jelas menampilkan parasnya ke Pak RT! Foto yang tidak dikirim ke sang suami malah dikirim ke Pak RT! Dia mengirimkan foto setengah telanjangnya dengan wajah yang terlihat jelas ke Pak Man yang mesumnya selangit!

Celaka.

Amy benar-benar terkejut dan menyesal dengan keteledorannya. Apa yang baru saja ia lakukan?! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sekali lagi dia ceroboh dan kali ini kecerobohannya bisa jadi tak akan termaafkan. Aduuuuuh. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bilang apa dia sama Mas Ge? Pasti diamuk tidak karuan. Aduh bagaimana ini, harus bagaimana ini sekarang?

Buru-buru Amy menghapus foto yang baru saja ia kirim ke Pak RT.

Aduh… aduh… aduh… mau ditaruh di mana mukanya sekarang? Harus bagaimana dia jika bertemu dengan Pak RT? Aduuuuh, kenapa sih dia dilahirkan sebagai orang yang ceroboh?

Cepat-cepat ia membalas rangkaian kata dari Pak Man. “Maaf, Pak. Saya salah kirim.”

Balasan muncul dengan cepat, “Boleh saya mampir?

Amy membenamkan wajahnya ke dalam tangkupan tangan.

Celaka.


MEIAAWO_t.jpg



.::..::..::..::.



MEIA7YX_t.png


Intan Aryanti memasukkan laptop ke dalam tas jinjingnya. Charger dan semua peralatan lain menyusul. Wanita cantik jelita berparas dewi khayangan yang murah senyum itu memastikan tidak ada yang tertinggal karena jarak antara kantor dan rumahnya cukup jauh. Akan sangat merepotkan jika nanti ada barang yang kelupaan dia bawa.

“Sudah semuanya, Nduk?”

Suara sang Ibu mertua menyadarkan Intan dari konsentrasinya. “Eh Ibu, iya sudah semua. Nanti Intan pulangnya agak sore tidak apa-apa ya, Bu? Kemungkinan ada rapat dengan dewan pimpinan sebentar.”

“Terus kamu pulangnya gimana? Tidak bareng sama Mas Ardian?”

“Kemungkinan sih nggak.”

“Oh gitu…” terdengar nada khawatir dari suara sang Ibu mertua.

Intan tersenyum. Ia mendekati ibu mertuanya dan duduk bersama di tepi pembaringan kamar yang sederhana. “Intan kan tidak bisa terus menerus mengandalkan bantuan dari Mas Ardian, Bu. Tidak apa-apa. Dengan begini Intan bisa mandiri. Nanti Intan naik ojek online saja, aman kok.”

“Ibu tahu, Nduk…” Bu Indri sang mertua mendesah panjang, “Ibu sejujurnya tidak tega kamu pergi pagi pulang malam demi mengais rejeki untuk kami semua begini. Kalau saja Hendro tidak sakit, mungkin semua akan baik-baik saja.”

“Sudah… tidak perlu diperbincangkan lagi, Bu. Yang sudah ya sudah. Saya titip Mas Hendro, Kakak, sama Adek ke Ibu dan Bapak ya.”

“Iya, Nduk. Jangan khawatir.”

Intan melirik ke jam dinding. “Sebentar lagi Mas Ardian jemput. Saya pamit dulu sama Mas Hendro ya, Bu…”

Bu Indri mengangguk lemas. “Biar Ibu mencari anak-anak. Entah kemana mereka pergi main.”

Intan tersenyum dan memeluk ibu mertuanya. Keduanya terdiam saat berpelukan sebelum akhirnya terlepas dan pergi ke arah masing-masing. Rumah tempat tinggal Bu Indri termasuk luas untuk ukuran rumah di perkampungan yang terletak di pinggiran kota. Mereka bahkan punya kebun, tambak, dan peternakan sendiri meski bangunan utama, gudang, kandang, dan lain-lain hanyalah rumah yang sederhana.

Sebelum kecelakaan menimpa Mas Hendro yang kini hanya bisa tergeletak di tempat tidur, Intan dan suaminya sempat berangan-angan untuk membeli rumah di cluster Kembang Arum Asri. Sayang keinginan hanya sekedar menjadi keinginan.

Intan mengambil gelas berisi air minum dari meja makan, sepiring jajan pasar yang ia beli dari warung sayur pagi tadi, dan membawanya ke kamar sang suami.

“Pagi, sayang… eh, sudah bangun ya?”

Intan membuka pintu dan tersenyum cerah. Suaminya ternyata sudah bangun, jendela kamarnya terbuka dengan pemandangan sawah dan ladang. Suasana yang asri dan menenangkan.

Hendro Pratomo duduk di pembaringan sembari membuka laptopnya.

Semenjak sakit, Hendro dan Intan memang tidak tidur seranjang. Intan tidur menemani Adnan dan Zafira, kedua buah hati mereka sementara Hendro tidur sendiri di kamar samping.

“Pagi, istriku. Wuidih cantiknya kamu hari ini. Kok sudah cakep banget? Sudah mau berangkat kerja? Kamu itu kerja di kantoran atau jadi model sih kok cakep banget?”

“Ih, Mas.” Wajah Intan memerah dipuji seperti itu oleh suaminya. “Dari tadi kan aku sudah ribut-ribut di luar, persiapan mau kerja.”

“Ruangan ini seperti kedap suara, aku tidak bisa mendengar apapun yang terjadi di luar,” Hendro sumringah menatap sang istri yang terlihat cantik jelita dengan hijab rapi dan pakaian kerja kasual. “Sumpah, sayang. Setiap hari aku selalu jatuh cinta lagi kalau melihat kecantikanmu.”

“Aih, masih aja bisa ngegombal,” Intan tertawa kecil sembari meletakkan minum dan jajan pasar di meja yang ada di samping pembaringan. Intan melihat satu baskom air dan handuk kecil di bawah pembaringan, “Mas sudah mandi?”

Mandi yang dimaksud tentunya bebersih seadanya, seperti menyeka badan, punggung, dan kaki, lalu cuci muka dan gosok gigi. Hendro hanya akan mandi besar ketika sore nanti Intan pulang dan mereka mandi bersama.

“Sudah barusan.”

Tiba-tiba saja layar monitor laptop Hendro padam. Pria itu menatap sang istri dan tersenyum, “Mungkin memang diminta istirahat. Panas sedikit langsung mati.”

Intan lantas duduk di dekat kaki Hendro yang hingga kini belum bisa digerakkan secara normal. Ibu muda itu dengan penuh perhatian memijat-mijat kaki sang suami, “Aku berangkat dulu ya, Mas. Nanti sampai di kantor aku pinjam uang koperasi untuk beli laptop baru supaya Mas bisa meneruskan project membuat aplikasi perusahaan yang sudah pesan online. Pokoknya semangat terus.”

“Iya… terima kasih banyak ya. Maaf aku hanya bisa bekerja seperti ini dulu untuk sementara. Tidak tahu bagaimana bisa membantu kamu…”

“Tuh kan mikirin yang aneh-aneh lagi. Kan sudah dibilang terus setiap hari, Tidak apa-apa, aku ikhlas kok. Pokoknya Mas tidak usah berpikiran macam-macam. Selama aku bisa, aku yang akan menggantikan Mas mencari nafkah,” Intan memeluk sang suami yang mulai bergetar karena sedih. Lirih suara Intan berbisik, “tugas Mas hanya satu… berusaha sembuh dan sembuh dan sembuh. Setelah itu kita akan beli rumah di cluster sebelah untuk kita berdua, kakak, dan adek.”

Hendro mengangguk sembari memeluk sang istri erat-erat. “Jangan pernah tinggalkan aku ya, sayang… aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu…”

Intan menghela napas panjang. Selalu saja begini setiap pagi, dia harus membangkitkan semangat sang suami yang tak stabil dan naik turun. Wajar saja karena apa yang menimpanya memang menimbulkan trauma berkepanjangan.

“Tidak akan pernah,” tegas Intan. Ia melepaskan pelukan Hendro dan menatap wajah suaminya dalam-dalam, “Aku tidak akan pernah meninggalkan suami dan anak-anakku. Aku cinta dan sayang kamu, Mas.”

Intan membuka mulut dan memejamkan mata. Ia pun mencium bibir Hendro dan mengulumnya, memagutnya, menangkupnya, mengelusnya. Mereka berdua berciuman dengan penuh rasa dan emosi yang tertahan.

Hendro yang pertama kali melepaskan. “Eh, sudah jam berapa ini? Kamu berangkat bareng Mas Ardian?”

“Eh iya…” Intan melirik ke jam tangan dan ia pun mengangguk. Ibu muda itu segera berdiri dan bercermin, memastikan lipstiknya tidak coret moret.

“Sampaikan salamku ya. Dia benar-benar orang baik.”

“Akan kusampaikan,” senyum Intan ceria. “Sampai nanti, Masku sayang…”

“Sampai nanti, Istriku…”

Intan melambaikan tangan dan lenyap di balik pintu kamar.

Ibu muda itu kembali ke dapur untuk mengambil tas laptop dan semua perlengkapan yang akan ia bawa. Dari jendela dapur ia bisa melihat Bu Indri tengah bermain-main di pekarangan bersama kedua anaknya. Sungguh pemandangan berharga yang membuatnya tetap semangat menghadapi hari-hari sulit meskipun deraan cobaan silih berganti menimpanya.

Mudah-mudahan kami sekeluarga bisa bertahan dan akhirnya kelak bisa menikmati mimpi-mimpi yang telah sejak lama dicanangkan. Mimpi yang sederhana, punya rumah di Kembang Arum Asri.

Suara batin Intan memberikan semangat dalam hati.

Ia memejamkan mata hendak berdoa ketika tiba-tiba saja terasa sesuatu yang… bokongnya sedang diremas-remas!!

“JANGA….! Hmmmppphhhh!”

Mulut Intan dibekap oleh satu tangan kuat dan tubuhnya dipeluk dari belakang. Satu tangan lagi dengan bebasnya meremas-remas pantat sang Ibu Muda. Intan mencoba meronta tapi percuma karena tangan yang menguncinya sangat kokoh.

Lepaskan! Lepaskan! Lepaskaaaaan!

Intan hanya bisa berteriak dalam hati. Ia mencoba menjerit dan berteriak tapi tak ada daya. Sampai akhirnya, Intan hanya bisa berhenti meronta dan membiarkan tangan jahanam itu meremas-remas pantatnya yang bulat.

“Kenapa sih harus teriak? Kamu suka juga kan, cah ayu? Duh, pantatmu ini kok ya bulat banget. Bikin aku terangsang terus setiap hari.”

Enak saja! bedebah! Bajingaaaaan! Lepaskaaaaaan!

“Aku suka memelukmu dari belakang pagi-pagi begini, Intan,” suara sang penyerang terdengar parau karena penuh birahi, “Tubuhmu wangi. Ingin rasanya menelanjangimu sekarang juga tapi itu tidak mungkin. Suasana masih terlalu ramai dan tidak aman. Aku akan mencarimu jika sudah aman. Selama ini kamu selalu menghindariku, tapi akan tiba saatnya nanti, kita berdua menikmati biduk cinta kita. Kamu mau kan, cah ayu?”

Bedebaaaaaah! Lepaskan jari kotormu dari tubuhkuuuuu!!

Intan mencoba menggeleng dan kembali meronta. Air mata mulai tersusun di pelupuk matanya. Terdengar bunyi klakson mobil di depan rumah. Mobil yang menjemput Intan sudah datang.

Sang durjana melepaskan kunciannya pada tubuh Intan.

Ibu muda dua anak itu langsung tertatih ke depan. Ia membalikkan badan dan menatap dengan penuh kemarahan ke arah pria tua yang berdiri sambil menyeringai kepadanya.

Pria tua itu mencibir sembari menghina, “Pergi kerja sana. Cari duit yang banyak. Dasar pelacur.”

Intan geram sekali mendengar hinaan itu, ia mengayunkan tangannya.

Plaaaak!

Pipi sang pria ditampar.

Air mata Intan mengalir. Ibu muda itu terengah-engah, emosinya berantakan diperlakukan serendah itu. “Ku-kurang ajar. Selama ini saya selalu menganggap Bapak sebagai ayah mertua saya. Pengganti mendiang ayah saya. Begitu juga dengan Ibu, yang saya anggap pengganti mendiang ibu saya. Tapi ini sudah yang kedua kalinya Bapak melecehkan saya! Ini sudah yang kedua kalinya Bapak meremas-remas pantat saya! Bapak pikir saya ini apa!? Saya ini menantu Bapak! Istri dari anak Bapak! Ibu dari cucu-cucu Bapak! Pantaskah Bapak memperlakukan saya serendah itu!? Saya mohon maaf sebesar-besarnya telah berdosa besar dengan menampar Bapak… tapi semua ada batasnya!”

Sukirno alias Pak No berdiri dengan berkacak pinggang di hadapan wanita yang tengah memaki-makinya. Kakak kandung dari Pak RT Sukirman dan si penjual buah Sukirlan itu terkekeh perlahan, pria itu mendekati Intan dan mendesis, “Aku tidak pernah mengakuimu sebagai menantu. Anakku tidak membutuhkan pelacur sepertimu sebagai istri. Pulang pergi diantar suami orang, kamu pikir warga kampung kita tidak nyinyir membicarakan kedekatan kalian berdua? Memang dasar kamu pelacur yang tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Anakku lumpuh kamu malah selingkuh! Ibu macam apa kamu?”

Plaaaak!

“Ja-jaga mulut Bapak! Saya ini bekerja mati-matian demi Hendro dan anak-anak saya, bukan menjual diri ke kota! Ikut saya dan akan saya tunjukkan seperti apa kerjaan saya! Bapak boleh menghina saya, boleh memperlakukan saya seperti sampah, tapi jangan pernah bawa-bawa nama suami dan anak-anak saya!”

Pak No menyeringai. “Tidak perlu.”

Intan kehabisan kata-kata.

“Dalam waktu dekat justru aku yang akan membuktikan wanita semacam apa kamu ini, cah ayu. Kamu tidak lebih dari seorang pelacur yang akan membuka kaki lebar-lebar untuk laki-laki lain. Aku tahu kamu haus belaian dan butuh kehangatan… aku tahu setiap malam kamu pergi ke kamar mandi dan masturbasi,” Pak No menarik handphone dari dalam saku celananya dan memainkan satu rekaman. Suara itu tidak terdengar jelas, karena ada suara air keran yang mengalir. Tapi di sela-sela suara air, terdengar desahan seorang wanita yang jelas-jelas adalah suara Intan.

Mmmmhhh… aaahhh… Mas Hendro… terussss… aaaakkkkhhh… masukin terusss Mass… aaahhh… Ahh… enak bangeeet… aaahhh… masukin maaaas…

Intan terbelalak. Kapan orang tua bedebah ini merekam suaranya di kamar mandi? Celaka. “Ku-kurang ajar! Hapus rekaman itu!”

“Kekekeke. Kasihan sekali ya…? Jablay banget ya? Jangan khawatir, Nduk cah ayu. Aku akan menghapus rekaman itu dan memberikan apa yang kamu minta,” Pak No tiba-tiba saja membuka celananya, membuat belalai panjangnya yang menegak terlihat jelas di depan mata Intan. “Kenapa harus bermasturbasi jika kamu bisa menikmati ini seutuhnya, cah ayu? Bagaimana? Meski aku sudah tua, tapi kontolku masih perkasa.”

“BAPAK! APA-APAAN SIH! Menjijikkan! Pakai celananya, Pak! Bagaimana kalau ibu nanti masuk!?”

“Biar saja. Makanya buruan dipegang sini.”

“Tidak mau! Enak saja! Ka-kalau tidak dihapus rekamannya, aku akan melaporkan semua pelecehan ini pada Ibu!”

“Mau taruhan siapa yang bakal lebih dipercaya Ibu? Suami yang sudah dinikahi puluhan tahun ataukah menantu yang tiap hari diantar jemput suami orang dan meninggalkan anaknya yang sudah lumpuh demi laki-laki lain?”

Intan bergetar hebat, emosinya sudah sangat luar biasa.

Belum sempat Intan membalas, Pak No sudah melanjutkan intimidasinya.

“Kamu akan menjadi budakku, cah ayu. Kamu akan menjadi lonteku. Setiap malam kontolku akan menjajah memekmu dan kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya, kamu akan menceraikan anakku yang cacat dan menikah denganku. Lalu kita berdualah yang akan tinggal di cluster Kembang Arum Asri. Bagaimana? Asyik kan? Coba perhatikan baik-baik kontolku ini. Masa iya kamu tidak kepengen mencicipinya? Kamu kan sudah rindu di-kenthu.”

Intan yang terengah-engah tidak ingin melihat kemaluan mertuanya. Sungguh dia tidak ingin. Dia tidak mau. Dia benar-benar tidak mau. Tapi ketika seseorang dipaksa tidak ingin melihat, rasa penasaran justru membuatnya ingin melihat.

Intan melihatnya.

Suara klakson mobil terdengar lagi.

Intan yang tak tahan buru-buru bergegas ke depan sembari berderai air mata yang mengucur deras, meninggalkan mertuanya yang masih memamerkan burung di tengah dapur.

Pak No tertawa-tawa sambil membenahi celananya.

Kena kamu, cah ayu.


MEIAAWN_t.jpg



.::..::..::..::.



MEIA7Z0_t.png


Shinta Sri Astari memasang mainan bayi di atas keranjang bayi Arga. Bayinya mendongak dan tertawa-tawa senang melihat mainan itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan bunyi gemerincing yang menggugah indera pendengarannya.

“Tuh kan si Arga seneng banget. Gimana menurutmu, Bang?”

Ardian Syahputra yang tengah mengenakan baju seragamnya melirik ke arah istri dan putranya yang tengah bersenda gurau dan tersenyum, “Iya ya. Ternyata dia suka banget. Sudah bilang terima kasih ke Kak Nisa belum? Beruntung banget Arga dibagi mainan-nya Ceny waktu bayi.”

“Sudah dong.”

Ardian melirik ke arah istrinya yang hanya mengenakan daster. Dari atas ke bawah, Shinta adalah sosok dewi yang turun dari khayangan. Rambut panjang sepunggungnya dicepol ke atas memperlihatkan bagian belakang leher yang putih mulus. Wajah cantik tanpa cela yang mungil dan indah membuatnya bangga menjadi suami seorang bidadari. Belum lagi tubuh indah dengan buah dada yang setangkupan tangan itu, tidak terlampau besar, tapi cukup montok untuk ukuran tubuhnya yang mungil dan seksi. Sungguh menggairahkan! Semua keindahan itu adalah miliknya!

Dia bangga berhasil meminang Shinta dan menjadikannya ibu dari anaknya.

Tapi…

Tapi… kok ada sesuatu yang kurang dari kehidupannya bersama Shinta dan Arga. Ada sesuatu yang hilang dari kehidupannya yang rasa-rasanya membuatnya menjalani hari-hari dengan membosankan. Ardian menarik napas panjang dan kembali memandang dirinya kembali dalam cermin, ia memasang dasinya sendiri dengan wajah gamang.

“Ga boleh begitu ah,” Shinta datang dan merapikan dasi Ardian, “Suamiku harus berangkat ke kantor dengan ganteng. Tidak boleh asal-asalan, tidak boleh kelihatan acak-acakan. Dari ujung rambut sampai ujung sepatu semua harus rapi.”

“Terima kasih, Ma.”

“Duh gantengnya suamiku. Abang ingat baik-baik ya, kalau di kantor tidak boleh ganjen. Di rumah sekarang sudah ada anak istri menunggu,” Shinta berseloroh sembari membenahi dasi sang suami. Ia menepuk dada Ardian kala dasinya telah rapi.

“Yaelah. Istriku sudah secantik dewi khayangan, mau cari yang seperti apa lagi.” Ardian mengecup dahi Shinta. “Terima kasih, sayang.”

“Abang mau sarapan dulu?”

Ardian melirik jam dinding di kamar mereka, lalu menggeleng. “Kayaknya nggak deh. Aku mesti jemput dulu si Intan terus berangkat.”

“Intan lagi Intan lagi. Lama-lama aku jadi cemburu nih. Memangnya tidak bisa ya dia berangkat sendiri? Kakinya dicor semen atau gimana gitu jadi ga bisa berangkat ke kantor sendiri?” Shinta bersidekap dan cemberut. Ia mendengus sembari meninggalkan Ardian. “Bisa tidak sih sehari saja Abang tidak menyebutkan nama Intan? Jangan-jangan selama ini kalian sudah ngapa-ngapain di belakangku.”

“Mamaaaa. Kan aku sudah sering bilang, antara aku sama Intan itu tidak mungkin ada apa-apa. Hanya kebetulan saja kami kerja di tempat yang sama dan bisa berangkat bareng. Di kantor kami juga tidak bekerja di divisi yang sama. Aku hanya kasihan melihat kondisi suaminya yang sampai sekarang masih sakit sementara dia harus mengurus banyak hal di rumah dan kantor.”

“Tapi Abang sering kan makan siang bareng sama si Intan?”

“Ya sesekali makan siang bareng kan biasa. Itu juga bareng sama teman-teman kerja yang lain. Dia itu rekan kerja, Ma. Rekan kerja.”

Shinta mencibir. “Rekan kerja atau rekan di ranjang?”

Ardian tertawa. Dia memeluk sang istri dan dengan tiba-tiba menghujaninya dengan ciuman. Bibir mereka bertemu. Keduanya saling menangkupkan bibir di atas bibir yang lain, bergantian. Berciuman dengan Shinta adalah keindahan dan kenyamanan tergabung dalam satu kebahagiaan. Bibir mungilnya nan indah rasanya memang diciptakan untuk dicium oleh laki-laki yang mengaguminya.

Saat ciuman itu terlepas, ada tautan cair yang menjadi jembatan antar keduanya. Shinta mengecup bibir suaminya sekali lagi.

“Kamulah satu-satunya untukku, Shinta Sri Astari. Kamulah venusku. Padamu kuserahkan hidupku.”

“Pret. Pokoknya awas aja kalau Abang berani-beraninya melakukan hal yang sama ke Intan. Cuma boleh cium aku aja.”

“Gak mungkin lah, Maaa.”

“Ga mungkin gimana? Intan itu cantik banget. Masih muda. Lebih muda dari aku malah. Memang sih dia juga sudah punya dua momongan, tapi yang namanya laki-laki kan tidak peduli gebetannya sudah menikah atau belum. Sudah punya anak atau belum. Yang namanya barang bening ya digenjot aja.”

“Capek ah ngomongin ini terus.”

Shinta kembali mencibir. “Syebel. Pokoknya pulangnya jangan malem-malem. Nanti aku curiga.”

“Iyaaa, Ma.”

Ardian menunduk. Omong-omong soal cemburu…

Bagaimana ya… apakah dia akan menanyakan hal itu ke istrinya? Ardian melirik ke arah istrinya yang kembali duduk di samping keranjang pembaringan Arga. Tubuh indah Shinta yang hanya mengenakan daster membuat Ardian meneguk ludah. Daster itu menerawang diterpa sinar matahari, memperlihatkan lekuk tubuh indah Shinta.

Tubuh indah Shinta… yang hanya bisa dinikmati olehnya seorang.

Tubuh indah Shinta… apakah benar hanya akan bisa dinikmati olehnya seorang?

Bagaimana seandainya tubuh indah Shinta dinikmati oleh orang yang tidak berhak?

Bagaimana jika… tubuh indah dan wajah cantik Shinta dinikmati oleh orang yang tidak dikenal? Seorang tukang becak? Seorang pemulung? Seorang pengemis? Bagaimana jika… Shinta diperkosa oleh seseorang yang menjijikkan? Apa yang akan terjadi ketika kaki putih mulus Shinta harus merenggang lebar ketika memeknya dijajah oleh kontol hitam dan penuh urat milik seorang laki-laki tua yang tidak pantas?

Ardian meneguk ludah.

Itu akan menjadi pemandangan yang…

Pemandangan yang… sangat sangat menggairahkan.

Kemaluan Ardian membesar.

Shyt!!

Apa sih yang dia pikirkan!? Bodoh! Laki-laki mana yang punya pikiran sejorok itu tentang istrinya sendiri!? Bagaimana mungkin ia menempatkan Shinta di posisi yang seperti itu? Shinta yang mungil, naif, dan tak berdosa itu. Istrinya, ibu dari anaknya, wanita yang jelita, wanita yang begitu mencintainya itu… bagaimana bisa ia membayangkan hal-hal buruk terjadi padanya?

Ardian menyesal dia memiliki ketergantungan terhadap tontonan porno. Hal itu membuatnya punya pikiran yang tak normal. Dia sering membayangkan bagaimana jika seorang wanita jelita dan bermartabat seperti Shinta harus melayani nafsu seks pria tua buruk rupa yang menjijikkan.

Ardian tidak tertarik threesome, dia tidak tertarik swing, dia tidak tertarik changing partner, dia hanya ingin melihat reaksi wajah Shinta yang terpaksa melayani laki-laki lain secara terpaksa. Itu membuatnya tersiksa secara batin karena bayangan itu membuatnya tak bisa bercinta dengan normal dengan sang istri. Ardian menjadi tidak terpuaskan meski seminggu sekali menggauli istrinya yang molek dan menawan.

Shyt!!

“Aku berangkat dulu ya, sayang.” Ardian memeluk sang istri dari belakang dan mengecup pipi mulusnya. “Aku sayang banget sama Mama. Jangan pernah berubah ya.”

“Aku juga sayang banget sama Abang.” Shinta tersenyum dan membalas kecupan di pipinya dengan satu endusan di pipi sang suami, “jangan malam-malam pulangnya ya. Kalau tepat waktu, aku masakin spaghetti nanti. Kalau pulangnya telat, aku celupin mie gelas.”

“Hahhah. Siaaap.” Ardian melangkah keluar dari rumah. Shinta tidak menemani karena tidak mengenakan kerudung. Pria itu menuju ke mobil SUV-nya yang diparkir di garasi. Ardian selalu cek dan ricek mobilnya sebelum berangkat kerja. Hari ini pun sama. Dia memeriksa semua kesiapan sekali lagi.

“Selamat pagi, Mas Ardian.”

Ardian yang tengah memeriksa ban, mendongak dan bertatapan dengan seorang laki-laki tua yang berdiri di depan rumahnya yang berpagar tinggi. Orang tua itu pun hanya bisa melongok-longok ke dalam.

“Eh, selamat pagi juga, Pak Hasbi.”

“Hehehe… Pagi, Mas. Mau nanya nih.”

Buru-buru Ardian bangkit dan membuka pintu garasi, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Pria yang ada di depan rumah Ardian adalah seorang laki-laki tua yang bertubuh kerempeng dengan kulit sawo matang, meski bertubuh kurus tapi terlihat kalau sosok Pak Hasbi terlihat masih kokoh dan gagah atau setidaknya terlihat sisa-sisa kegagahannya. Usia Pak Hasbi pasti sudah lebih dari enampuluh tahun, kacamatanya tebal, rambut sudah memutih, kumis baplangnya sudah memutih, dan kulitnya sudah hampir semuanya keriput.

“Waaah, pagi Mas Ardian. Apakah sudah mau berangkat?”

“Iya nih, Pak. Gimana? Apa ada yang bisa saya bantu?”

Ardian teringat saat pertama kali berkenalan dengan Pak Hasbi di pertemuan RT beberapa bulan setelah kepindahannya ke cluster Kembang Arum Asri. Rumah pria tua ini ada di desa Bawukan, desa yang sama dengan Pak RT dan Sukirlan si penjual buah. Saat ia, Shinta, dan Arga diperkenalkan di pertemuan RT saat itu, Pak Hasbi tak henti-hentinya memandangi Shinta seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat. Ia bahkan selalu berusaha mengantarkan makanan dan minuman pada mereka bertiga, duduk mendekati Shinta, ataupun mencari perhatiannya.

Tentu saja saat itu Shinta hanya menganggapnya sebagai laki-laki tua yang ramah.

Tapi Ardian adalah seorang laki-laki. Dia tahu apa maksud Pak Hasbi. Dia head over heels dengan penampilan Shinta yang mungil, cantik, dan seksi meskipun mengenakan kerudung. Apalagi kemudian Ardian tahu sendiri beberapa kali Pak Hasbi membenahi posisi kemaluannya di acara yang sama hari itu. Dia pasti benar-benar terpesona oleh Shinta – sesuatu hal yang wajar. Bukan berniat menyombongkan kemolekan istrinya, tapi siapa laki-laki normal yang tidak terpesona oleh Shinta?

“Begini Mas Ardian… ini saya mau merepotkan. Punggung saya pagi ini tiba-tiba saja sakit sekali. Kira-kira bisa tidak ya kalau saya nebeng sampai ke Puskesmas? Nanti saya pulang sendiri tidak apa-apa.”

Ardian manggut-manggut. Dia tahu kalau selama ini Pak Hasbi berjualan terang bulan atau martabak manis mini di depan SD Negeri yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal mereka ini, sekitar enam sampai tujuh kilo mungkin. Tiap hari dia melihat Pak Hasbi mengayuh sepedanya untuk sampai di lokasi.

Meski saat ini mengaku sedang sakit, pria enampuluh tahun itu terlihat sangat kokoh. Tumben sekali dia minta diantarkan sampai ke puskesmas. Kalau tidak terdesak sekali pasti dia tidak mau.

Saat itulah sebuah ide terbersit di benak Ardian.

Ide gila.

“Bisa, Pak. Tunggu sebentar ya.” Ardian pun berdiri di depan pintu rumahnya, ia membuka pintu dan memanggil sang istri. “Maaa. Mamaaaa… bisa ke sini sebentar?”

Tergopoh-gopoh Shinta yang hanya mengenakan daster terusan muncul di teras rumah. Karena hanya di rumah sendiri, dia tentu saja tidak mengenakan kerudung dan bahkan tak mengenakan bra. Shinta hanya mengenakan celana dalam saja di balik dasternya. Daster itu pun terbuka di bagian atasnya sehingga bagian pundak dan sebagian belahan dadanya terlihat.

Dia sama sekali tak menduga pagi itu sudah ada tamu.

“Iyaaaa. Ada apa sih? Abang kok teriak-ter… Eh!?” betapa terkejutnya Shinta melihat kehadiran Pak Hasbi di depan garasi rumah mereka.

Bingung karena tak mengenakan bra dan kerudung, Shinta pun menyilangkan tangan di depan dadanya. Shinta pun berbisik ketus pada sang suami yang berdiri di sebelahnya, “Abang! Abang sudah gila ya!? Itu ada Pak Has kenapa panggil-panggil aku ke depan!? Abang gimana sih? Abang kan tahu kalau di rumah aku ga pernah pakai kerudung atau bra!”

“Cuma sebentar ini, kenapa sih? Tenang aja kali, Ma,” balas Ardian yang dalam hatinya berteriak gembira melihat Shinta kebingungan menghadapi situasi. Coba dia tingkatkan level kesulitannya.

Pak Hasbi sendiri hanya nyengir-nyengir bahagia sembari menatap belahan dada yang gagal disembunyikan oleh Shinta. Luar biasa. Ini namanya keberuntungan di tengah rasa sakit. Lagi sakit begini disuguhi pemandangan indah susu Bu Shinta yang meskipun tidak besar tapi cukup menggiurkan. Mana body indahnya ternyata putih mulus begitu. Wih, pasti sedap banget tubuh si ibu muda satu ini.

Shinta memang molek. Susu ibu muda yang masih menyusui pasti ranum dan wangi. Dari belahan susu Shinta kelihatannya ukurannya cukup lumayan. Tidak terlalu besar dan tidak teramat kecil. Pasti enak dikremus-kremus pakai gigi. Pasti enak diremas-remas. Duh payudaramu itu lho Shinta… batin Pak Hasbi sambil menyeringai. Aku harus mencicipi buah dada si Shinta ini

“Hari ini kan Pak Hasbi sakit, tidak bisa bekerja. Rencananya beliau mau nebeng ke Puskesmas.” Ardian menjelaskan asal muasal perkara kenapa Pak Has ada di garasi mereka tiba-tiba. Pak Hasbi menganggukkan kepala dengan sopan.

“Oh begitu…” Shinta turut menganggukkan kepala dan tersenyum dengan terpaksa. Ia mencoba menutup bagian atas tubuhnya namun tak berhasil.

“Bu Syu… syu… su… maksud saya… Bu Shinta,” Pak Hasbi yang berlagak gagap mencoba ramah pada Shinta. Meski ramah, tapi pandangannya tak lepas dari buah dada ranum sang ibu muda. Shinta pun makin gelisah karena tahu apa yang sedang dilihat si pria tua. Senyum Pak Hasbi mengembang mesum. “Maaf ini pagi-pagi mau merepotkan Bapak. Punggung saya sakit sekali.”

Shinta hanya bisa tersenyum demi basa-basi, masa iya dia harus memasang wajah masam?

“Iya. Tidak apa-apa, Pak. Semoga cepat sembuh ya, Pak.”

Tiba-tiba saja Ardian membuka percakapan yang tidak diinginkan sama sekali oleh sang istri, “Bukannya hari ini kamu ada jadwal ke Puskesmas juga? Itu lho, untuk kontrol rutin si Arga?”

Shinta mengernyitkan dahi sambil menatap galak ke arah suaminya yang makin tidak jelas apa maunya. Apa-apaan nih si Abang? Terus? Kalau dia nganterin Arga kontrol rutin ada hubungan apa sama Pak Hasbi?

Shinta berbisik galak bahkan sampai menginjak kaki Ardian, “Bang? Mau kamu apa sih?”

Shinta melirik ke arah Pak Hasbi yang senyumnya kian melebar saat melihat kemolekan Shinta tanpa berkedip. Terkena pendar sinar matahari, lekuk tubuh Shinta tercetak jelas di daster tipis yang menerawang. Ia bisa melihat benjolan mungil di dada sang ibu muda yang juga mungil.

Molek banget istri Ardian ini, tubuhnya memang mungil tapi proporsional. Bagaimana ya rasanya kalau ditunggangi? Pasti enaknya bukan main. Baru anak satu… Masih rapet lah. Pasti enak sekali dientotin sambil nyusu… batin Pak Hasbi cabul. Ia menjilat bibirnya sendiri.

Apa yang kemudian diucapkan sang suami pada sang pria tua justru mengagetkan Shinta. “Pak Hasbi nanti pulangnya tungguin istri saya saja ya. Biar bisa bareng ke sini. Shinta sama Arga paling sejam lagi berangkat naik taksi online. Pak Hasbi nanti sekalian saja pulangnya bareng mereka. Ditunggu sebentar tidak apa-apa ya.”

“Lho? Wah, saya tidak enak, Pak. Kasihan ibu kalau saya repotkan nanti…” Pak Has pura-pura basa-basi. Dasar durjana tua busuk. “Biar saya pulang sendiri saja nanti. Saya naik angkot terus naik ke sini pakai ojek pangkalan.”

“Ah jangan, Pak. Punggung Pak Hasbi kan sedang sakit, masa naik ojek? Sudah. Biar nanti sekalian saja. Saya yang bayar, Pak.”

Kebetulan banget! Hehehe… punggungku sakit karena semalam suntuk aku ngentotin si Imah janda jablay kampung Bawukan. Dia menggeliat-geliat liar di bawah sodokan kemaluanku yang terlalu besar. Kontolku ternyata menyakiti memeknya yang sempit, heheh. Tidak percuma di masa muda aku dijuluki Hasbi si Kuda Jantan dengan ukuran kontolku yang jumbo. Sayang saat sudah tua begini, tidak ada yang tahu siapa aku dan bagaimana reputasiku dulu. Tapi tidak apa-apa… lebih enak begini karena siapapun tidak akan bisa menduga senjata macam apa yang aku miliki, batin Pak Hasbi sambil menyeringai senang. Shinta… kamu punya tubuh yang sangat indah … sudah selayaknya kamu menjadi penunggang sang Kuda Jantan.

“Bang! Abang apa-apaan sih!? Aku sudah repot sama Arga kok malah ditambah lagi mesti ngurusin…” Shinta tentu saja tidak ingin berantem dan menunjukkan wajah tidak sukanya di depan Pak Hasbi. Dia masih punya tata krama terhadap orang tua itu.

Dia heran kenapa sang suami tidak mengindahkan bisikan marahnya, kenapa justru Ardian menyuruhnya dekat orang tua yang jelas-jelas ingin dekat-dekat dengan Shinta itu.

“Bang! Abang kan tahu kalau Pak Hasbi itu…”

“Aduuuuh…” Pak Hasbi membungkuk. Entah karena beneran sakit ataukah akting.

“Eh, sudah sakit sekali ya, Pak? Ya sudah, yuk berangkat sekarang. Kita mampir ke Growol sebentar ya, Pak. Saya harus mampir ke tempat Intan sebentar baru kita berangkat.”

“Iya tidak apa-apa, Mas.” Pak Hasbi mengikuti Ardian masuk ke mobil. Ia melirik ke arah Shinta yang cemberut. “Mari, Bu. Maaf merepotkan. Nanti saya tunggu ya, Bu…”

“I-iya… mari, Pak…” Shinta hanya mampu menghela napas panjang.

Mau bagaimana lagi? Dia juga tidak tega membiarkan pria tua itu kesakitan.

Hingga mobil itu meninggalkan garasi, Pak Hasbi tidak pernah melepaskan pandangan dari buah dada Shinta. Hal yang terus diperhatikan oleh Ardian meski tidak sekalipun berkomentar. Kemaluan pria itu bahkan sampai menegang melihat istrinya begitu diinginkan oleh seorang laki-laki tua seperti Pak Hasbi.

Siang nanti bagaimana ya saat Shinta pulang bareng Pak Hasbi?

Dia tahu Pak Hasbi sesungguhnya menyimpan hasrat birahi yang teramat besar pada Shinta. Apa yang akan dilakukan pria tua itu pada Shinta nanti? Ataukah dia hanya akan diam saja memendam perasaan? Ataukah Pak Hasbi akan mencoba speak-speak iblis ke istrinya?

Apakah akan ada sesuatu yang terjadi?

Shyt. Kenapa dia baru bisa pulang sore?

Sumpah, Ardian penasaran!

MEIAAWM_t.jpg




BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd