Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Vivi: Jurnal Perselingkuhanku [CGU]

Siapakah fucking hero CGU favorit kalian?


  • Total voters
    67
Naughty Nephews Again


Untuk melewati liburan Natal tahun ini, ciciku di Jakarta mengajak liburan sekeluarga bareng anak-anak kami ke Australia. Setelah membicarakan lewat WA group, memilih hari dan lain-lain, akhirnya aku (setelah bicara dengan suami) dan koko pertamaku (dan keluarga) memutuskan ikut, sedangkan koko keduaku berhalangan karena bentrok dengan acara keluarga, juga orang tua kami karena papa sudah tua dan tidak kuat jalan jauh, maka mama pun menemani papa mengikuti acara di rumah koko keduaku. Tiba hari keberangkatan, rombongan keluarga kami yang terdiri dari sebelas orang (enam dewasa dan lima anak-anak) berkumpul di bandara Soekarno-Hatta dan dengan penerbangan Garuda yang akan mengantarkan kami ke Australia. Kami tiba di Sydney besok paginya dan langsung check-in lalu istirahat di hotel. Selama empat hari ke depan kami bersenang-senang melepaskan diri dari kepenatan sehari-hari dengan berkunjung ke berbagai objek wisata, belanja dan wisata kuliner. Anak-anak sangat menikmati liburan keluarga ini, terlihat dari senyum bahagia di wajah mereka. Demikian pula aku dan Martin semakin mendekatkan diri seperti berbulan madu lagi, kami memanfaatkan sebaik-baiknya momen liburan ini untuk saling bermesraan lagi. Pada hari kelima kami berkemas untuk berangkat ke destinasi kami berikutnya, Perth, kota besar di ujung barat benua ini dengan pesawat. Sesampai di bandara, kami dijemput oleh dua putra ciciku yang kuliah di sini, Darren dan Boby. Memang salah satu tujuan ciciku selain berlibur adalah mengunjungi kedua putranya ini. Hal ini membuatku berdebar-debar sejak awal keberangkatan kami, apalagi ketika melihat keduanya di gerbang kedatangan. Bagaimana tidak, kurang setahun sebelumnya, ketika Imlek, aku terlibat hubungan seks sedarah dengan dua keponakanku itu (baca: Antologi Imlek Caligula Universe). Mereka menyambut hangat kedatangan kami, setelah cipika-cipiki dan berpelukan dengan kedua orang tua mereka, Darren menyalami suamiku lalu menuju padaku bersalaman. Tangannya meremas lembut tanganku dan mata kami bertatapan penuh arti seolah melepas rindu, demikian juga adiknya, Boby. Di depan keluarga besar, kami bersikap wajar sebagaimana layaknya tante dan keponakan, walau kuakui aku sedikit salah tingkah dan darah di tubuhku berdesir lebih cepat. Rombongan kami menuju hotel dengan mobil carteran.
“Udah mau sampai ma!” sahut Darren pada ciciku, “itu flat kita sekarang yang gedung warna krem itu! Cuma dua blok dari hotel” seraya menunjuk ke sebuah gedung.
Sekitar lima menitan, kami pun tiba di hotel berbintang empat, tempat kami menginap.
“Sini ayi! Biar saya aja!” sahut Boby muncul di sampingku ketika menurunkan barang-barang dari bagasi, tangannya sengaja memegang tanganku yang baru meraih travel bag, membuat bulu-bulu di tubuhku merinding.
“Ayi, saya kangen sama ayi sejak sinciah itu” kata pemuda itu pelan dekat telingaku.
“Jangan nggak-nggak ah, ini lagi liburan, semua ada di sini tau” balasku dengan suara pelan.
“Kita bisa cari kesempatan, empat hari di sini banyak waktu kan?”
Terus-terang aku sendiri juga rindu mengulangi threesome saat imlek itu,rindu jamahan tangan mereka dan darah muda mereka yang menggelegak saat menyetubuhiku. Namun aku tetap menjaga sikap di depan keluargaku. Setelah check-in kami diantar ke kamar masing-masing, tiga kamar besar di lantai lima sudah dibooking untuk kami tiga keluarga ini. Kamarnya bagus dengan pemandangan yang indah. Hari pertama di Perth berlalu cukup mengasyikkan, Darren dan Boby menjadi guide bagi kami mengajak ke berbagai tempat. Aku banyak di dekat suami dan anak-anakku sehingga kedua keponakku itu pun menjaga jarak. Sampai di hotel setelah mandi, ngobrol-ngobrol sebentar di kamar kokoku yang paling luas, aku pun akhirnya tidur sambil memeluk Martin.

Keesokan harinya setelah sarapan, kami berenang di kolam renang hotel. Kami berenang bersama di kolam yang besar itu sambil mengambil foto dengan smartphone. Ciciku dan suaminya hanya berenang sebentar, lalu mereka naik dan berbaring di kursi santai sambil mengobrol dengan Darren yang baru tiba. Aku dapat merasakan dan melihat, keponakanku itu mencuri-curi pandang padaku yang saat itu memakai swimsuit one piece berwarna biru yang tentunya memamerkan lekuk tubuhku yang masih bagus, terutama belahan dada agak rendah. Tak lama ciciku pamitan, ia dan suaminya mau spa, mereka pun meninggalkan kami.
“Ayo sayang! Kaki dua kali... tangan... ambil nafas!” aku mengajari Jeni dan Jena berenang.
“Ya! Bagus! Sekarang balik ke seberang! Baru boleh main!” aku memberi semangat setelah kedua buah hatiku berhasil mencapai tepi seberang.
Tiga sepupu mereka yang lebih besar juga turut menyoraki memberi semangat.
“Eehh!” karena terlalu fokus memperhatikan anak-anak sambil berenang bercampur berjalan di air, aku tidak sadar menabrak Martin.
Suamiku memberi senyum lembut dan mendekap tubuhku. Semua bersorak ketika kedua kembarku mencapai tepi kolam.
“Wah! Jeni Jena hebat euy!” Darren memberi tepuk tangan pada si kembar, “ayo... ayo potret dulu dong!” katanya sambil menyiapkan smartphone.
Setelah memotret kedua anakku, Darren meminta kami merapat agar bisa difoto bareng di kolam hotel. Istri kokoku meminta Darren menunggu dan naik ke tepi untuk minta dipotret dengan smartphonenya, aku juga berpikir sama dan mengambil smartphoneku di meja.
“Ayi saya abis ini mau ke kamar mama, kalau ayi mau ditunggu!” kata Darren pelan ketika aku membuka password smartphone.
“Ini waktunya liburan keluarga yah, jangan aneh-aneh!” kataku tanpa memandangnya.
Kami pun berpose di kolam dan Darren mengabadikannya. Setelahnya kami kembali bersenang-senang di kolam renang. Lima belas menit berlalu, anak-anak agaknya masih betah di kolam, mereka sedang bermain bola. Martin dan kokoku sedang ngobrol di pinggir sambil memperhatikan mereka, aku sendiri ngobrol dengan kakak iparku hingga anaknya yang paling kecil mau ditemani BAB ke belakang. Aku yang tinggal sendiri menoleh ke arah jendela kamar ciciku di atas, kudapati Darren sedang memperhatikan kami di jendela, ia melambai ketika aku melihat ke arahnya. Aku segera memalingkan muka dan berenang ke seberang. Ooohh... darahku berdesir, aku merasa gatal pada vaginaku, merindukan sentuhan erotis keponakanku itu. Aku tidak mampu menepis hasrat liar itu walau berusaha mengalihkannya dengan berenang. Saat tiba kembali ke seberang, kudekati Martin.
“Tin, gua ke toilet dulu yah! liatin anak-anak!” kataku
Martin hanya mengangguk saja asyik mengobrol tentang bisnis dengan kokoku. Aku naik ke atas menghanduki tubuh dan rambutku lalu kupakai kimono putih dari hotel.

Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan terjadi ke depan. Ting! Lift tiba di lantai lima, aku melangkah ke kamar ciciku, setiap langkahku terasa berat. Tanpa kusadari aku telah berdiri di pintu kamarnya dan kutekan bel.
“Aaahh... ayi Vivi! Saya kira gak bakal datang!” Darren tersenyum membukakan pintu, “ayo masuk!”
“Kamu gila yah... semua keluarga kan lagi disini!” aku menepis tangannya ketika meraih lenganku.
“Justru di situ serunya ayi” katanya sambil memepet tubuhku ke tembok dekat pintu, “kan memicu adrenalin” wajah kami sudah kurang dari sejengkal.
“Papa mama kamu? kalau mereka balik sini gimana?”
“Barusan saya telepon ke bawah, katanya masih setengah jam lagi” mulutnya menyosor ke mulutku namun aku membuang wajah.
“Boby mana?” tanyaku lagi
“Boby hari ini part time di toko, sore baru balik, ayi kangen yah!” jawabnya sambil menarik lepas tali pinggang kimonoku.
“Kamu ini... eemmhhh!” kali ini aku menerima pagutannya, bibir kami pun berpagutan.
Aku pasrah saat keponakanku itu menyedot lidahku. Tangannya mulai menyusup ke belahan dada swimsuitku dan meremas payudaraku.
“Nngghh!!” aku mendesah tertahan di tengah percumbuan kami yang bergairah.
Birahi yang melanda diriku mendorong tanganku membelai selangkangan Darren, kurasakan penisnya sudah mengeras di balik celana boxernya. Darren melucuti kimonoku hingga jatuh di bawah kaki, kemudian disibaknya kedua tali bahu yang menyangga swimsuitku dan ia turunkan hingga ke bawah dada. Dengan rakus ia segera melumat payudara kananku.
“Ooohh.... “ desahku merasakan putingku dihisap dan digigit kecil olehnya.
Tangannya merambat ke bawah menjamahi selangkanganku dari luar swimsuit. Jemarinya menyusup ke pinggiran swimsuitku dan mulai mengelus-elus area kewanitaanku.
“Uuh... Darren... yeah terus... jangan berenti.... enakkh!” racauku mendesah keenakan dengan rangsangan pada titik sensitif, kewanitaan dan payudaraku.
Darren mengulum payudaraku dengan rakusnya bergantian kiri kanan bergerak ke leher dan pundak. Aku sungguh tak dapat menahan gairah terlarang ini. Aku mendesah-desah sambil tanganku mendekap erat kepala keponakanku itu. Aku merasakan kian mendekati klimaks, permainan jarinya di bibir vagina dan klitorisku sungguh membuatku tak tahan, tubuhku pun bergetar nikmat.
“Uuhhh... Ren.... ayi mau orgasme nih, aaahh!!” desahku.
Keponakanku itu terus melumat kedua payudaraku, hisapannya semakin terasa.
“Ooohh... yaahh... aaahh!!” akhirnya puncak kenikmatan itu kugapai, aku mendesah tak karuan, vaginaku menyemprotkan cairan hangat yang membasahi tangan keponakanku itu.
Darren terus mencucuk-cucukkan jarinya pada vaginaku seakan mengais keluar semua cairanku, ia membiarkanku mendekapnya sangat erat sambil memelukku dengan belaian hangatnya. Selesai aku orgasme sekitar 30 detik, Darren menarik tangannya dari selangkanganku.
“Basah banget yi!” katanya memamerkan telapak tangannya yang belepotan cairan kewanitaanku.
Ia menjilati cairanku di jarinya, lalu menempelkan dua jari di bibirku yang lalu kukulum, kurasakan cairan vaginaku sendiri.
“Waktu kita gak banyak, ayo langsung aja!” kataku.

Darren tersenyum, “hehehe... of course ayi, ayo!”
Ia melucuti swimsuitku yang sudah setengah terbuka sehingga aku pun telanjang di hadapannya. Kemudian dibalikkannya tubuhku menghadap tembok, dengan sendirinya aku menunggingkan pinggulku dan bertumpu pada kedua siku di tembok. Ia hanya membuka celananya lalu sebentar kemudian....
“Aaahhh!!” kurasakan kepala penisnya melesak ke vaginaku, ia juga melenguh pada saat berbarengan.
Oh... disetubuhi anak muda benar-benar membuatku serasa lebih muda dan bergairah. Tak sekadar menggenjot vaginaku, Darren juga meremasi payudaraku dan terkadang menampar pantatku. Kepala penisnya berkali-kali menghantam dasar rahimku sehingga mataku membeliak-beliak dan mulutku menceracau tak karuan saking nikmatnya.
"Emang ayi masih enak gitu, aahhh... kalian kayanya nafsuan ke ayi?" tanyaku lirih
"Enak pake banget ayi... aahh... perempuan dewasa cantik kaya ayi saya paling demen" sahut Darren sambil terus menggenjot vaginaku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Darren sudah di ambang klimaksnya, hal yang sama juga terjadi padaku.
"Yi... lepasin di mana? Saya udah mau muncrat nih!" tanya Darren terengah-engah.
"Dalam aja.... aahh... ayo terussh.... aahhh!!"
Spontan Darren mempercepat ayunan penisnya... makin cepat... makin cepat dan akhirnya ia medesakkannya kuat-kuat... disusul dengan tembakan-tembakan cairan kental hangatnya membanjiri liang senggamaku. Sekitar semenit setelahnya, aku juga menyusulnya ke puncak kenikmatan. Tubuhku mengejang akibat terpaan gelombang orgasme yang melanda tubuhku bersamaan keluarnya cairanku. Tanpa terkendali aku pun mengerang keras, untung kamar ini kedap suara. Kami masih saling memicu tubuh selama beberapa saat dengan tempo makin menurun. Setelah gelombang nikmat itu mereda, kami kembali berpelukan dan berciuman meresapi sisa-sisa kenikmatan tadi.
“Udah yah!” ucapku lemas melepas pagutan, “ayi harus balik ke kolam” lalu kupungut kimono dan swimsuitku di lantai.
Aku masuk ke toilet untuk menyemprot selangkanganku yang belepotan cairan kewanitaan dan sperma pemuda itu lalu kembali memakai swimsuit dan kimono.
“Ayi turun dulu yah!” pamitku setelah membenahi diri.
Darren sudah memakai lagi celananya dan bicara dengan seseorang dengan bahasa Inggris di smartphonenya sehingga ia hanya melambai. Segera aku pun turun ke bawah melanjutkan acara renang bersama keluarga yang tertunda. Acara hari itu berlangsung lancar dan ceria, kami mengunjungi tempat wisata, belanja, lalu terakhir makan malam. Baik aku dan dua keponakanku itu mampu menjaga sikap sepanjang hari.

Hari berikutnya, seperti biasa kami sarapan di hotel, sebagian dari kami berenang sementara aku sendiri dan suamiku fitness. Darren dan Boby tidak nampak pagi itu, mereka baru datang jam sebelasan untuk makan siang bersama lalu lanjut ke sebuah mall. Di sanalah aku terlibat cekcok dengan Martin masalah belanja, aku tidak setuju tapi ia ingin tetap membeli. Gara-gara itu, aku menjauhi suamiku, tidak mau bicara dengannya dan lebih dekat ke anak-anak dan ke yang lain, namun tetap menjaga jarak dari Darren dan Boby karena risih di depan keluarga sendiri. Di kendaraan pun aku menyuruh Jeni duduk di sebelah suamiku dan aku sendiri duduk dengan Jena.
“Kenapa ayi? Lagi marahan yah?” tanya Boby di lorong mini bus setelah mengambil air mineral di belakang.
“Ya gitulah, udahlah urusan suami istri” jawabku sambil membelai rambut Jena yang tertidur di pangkuanku.
“Abis ini kita turun di flat, kalau ayi masih BT ke tempat kita aja, kita di kamar 3013” katanya lalu kembali ke kursinya.
Aku terhenyak, anak muda jaman sekarang memang berani soal ginian, aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Tak lama kemudian, Darren meminta pak sopir berhenti di gedung flat mereka. Kedua keponakanku itu pun pamitan pada kami dan turun dari mini bus, mereka melambai pada kami di luar. Aku bisa merasakan tatapan mata mereka yang memandang padaku, tatapan yang mengandung ajakan nakal. Sampai di hotel, aku masih marah pada suamiku walau ia sedikit melunak, aku menepis tangannya yang memegang tanganku.
“Kalian main di hotel aja yah! mama mau jalan-jalan dulu!” kataku pada dua anakku.
Aku juga titip mereka pada kokoku dan istrinya karena anak-anak mereka pasti main bareng. Lalu aku keluar dari hotel berjalan-jalan di sekitar situ menikmati kota ini di waktu sore. Di sini memang tidak seramai di Indonesia atau negara-negara Asia, jam-jam segini suasana sudah agak lenggang. Aku sempat membeli beberapa suvenir dan snack di beberapa toko kecil. Pandanganku lalu tertuju gedung warna krem, flat kedua keponakanku itu, sudah tidak jauh dari sini. Dengan berdebar-debar kakiku melangkah ke gedung itu. Oohh... haruskah aku melakukannya lagi di tengah liburan keluarga ini? Sekitar lima menitan, tak terasa aku pun tiba di gedung itu dan melangkah masuk ke dalam. Agaknya flat ini memang banyak ditinggali pelajar asing, di dalam lift aku bersama tiga pemuda berbicara bahasa Mandarin, sepertinya mereka dari China atau Taiwan. Aku keluar di lantai tiga menyusuri lorong mencari kamar 3013. Dalam hatiku bergumul hebat... to be or not to be. Itu dia di depan, sesuatu yang kurindukan itu telah di depan mata. Aku menggerakkan tangan menekan knop bel dan sebentar kemudian....
“Ayi Vivi! Datang juga nih!” sapa Darren, “ayo... ayo masuk!”
“Eh... ayi Vivi!” sapa Boby yang sedang menghanduki rambutnya yang masih basah karena baru selesai mandi.
Flat mereka cukup rapi juga untuk ukuran anak laki-laki, di sana terdapat dapur mini lengkap dengan kompor, microwave kulkas, dan mesin cuci di bawah bak cuci piring, sebuah ruang tamu dengan meja belajar kecil, sofa dan televisi. Sebuah lemari pakaian yang tinggi berfungsi sebagai sekat antara ruang tamu dengan dua buah ranjang di sebelahnya. Tergolong kelas menengah dan nyaman ditempati. Sebenarnya mereka bisa saja mendapat akomodasi yang lebih dari ini, tapi ciciku dan suaminya itu walau kaya namun pelit dan tidak mau terlalu memanjakan anak-anaknya. Mereka ingin dua anak laki-lakinya itu merasakan hidup mandiri dan mencari uang saku tambahan dengan kerja part time

“Aah, jadi ini yah tempat kalian” kataku memandangi sekeliling, “bagus juga, di sini banyak mahasiswa luar ya keliatannya?” aku menjatuhkan pantatku ke sofa.
“Iya, kan ga jauh emang ada dua uni tuh, di sini orang China, Korea, sama Indo banyaknya” kata Boby
“Emang agak jauh dari kampus, jalan kaki ada sepuluh menitan, tapi lumayan murah terus kemana-mana enak dari sini” timpal kakaknya.
Kami ngobrol biasa sehingga suasana akrab selama beberapa saat. Kuperhatikan selama ngobrol mereka menatap diriku dalam dan tajam seolah-olah hendak menelanjangiku, terutama paha karena aku saat itu memakai tank top dan celana pendek. Aku juga merasakan tubuh Boby yang duduk di sebelahku makin menempel padaku.
“Ayi masih BT?” tanya Boby
“Kayanya nggak ya, soalnya udah gak cemberut lagi hehehe” timpal Darren
“Berarti kita berhasil ngehibur ayi dong!” kata Boby lagi.
“Ahh... kalian apaan sih?” kataku mengelus paha Boby, “orang udah gak apa-apa juga”
“Ayi... boleh saya cium tante, saya cuma mau ngehibur ayi” tiba-tiba Boby menggenggam tanganku dengan menatapku.
Aku sedikit terkejut, kutatap wajah tampannya sekian detik, lalu memandang Darren yang tersenyum hingga akhirnya menganggukan kepala sambil tersenyum, ini bukan yang pertama dan memang inilah yang kuinginkan. Detik berikutnya bibir kami sudah berpagutan, lidahnya menyeruak masuk ke mulutku dan menggelitik lidahku, kubalas memainkan lidahnya dan diselingi dengan menyedot sehingga ludah kami berbaur menambah nikmatnya birahi terlarang kami. Boby menyingkap tanktopku yang kurespon dengan menyingkap kaosnya. Akhirnya atasku hanya memakai bra putih tanpa tali bahu dan Boby telanjang dada. Aku hampir lupa di sini ada Darren juga, kukira dia akan bergabung, tapi ia malah berdiri dan menuju balik lemari pembatas ruangan ini. Saat itu Boby sedang melucuti celana pendekku sehingga aku tinggal mengenakan pakaian dalam saja.
“Ayo sini aja! Threesome di sofa kecil gitu mana enak!” panggil Darren.
“Kita ke ranjang aja ayi!” ajak Boby.
Kami pun menuju ke belakang lemari dimana kedua ranjang mereka telah dipepet jadi satu sehingga memberi ruang yang lumayan untuk bertiga.
“Saya juga mau ngehibur ayi supaya gak BT lagi hehehe!” kata Darren sambil membuka pakaiannya hingga telanjang, penisnya yang tak bersunat segera mengacung tegang begitu celananya dibuka.
Kami pun berbaring di ranjang, kedua keponakanku mengapit tubuhku di kanan dan kiri. Darren melepas kait bra-ku sehingga payudaraku terekspos, tangannya langsung meremas yang sebelah kiri dan mempermainkan putingku. Kecupan dua bibir mereka hinggap di pipi, kelopak mata, telinga dan bibirku, juga dibarengi belaian-belaian tangan di sekujur tubuhku. Tidak hanya pasif, aku menggenggam penis Darren yang sedang mengenyot payudaraku dan mengocoknya lembut. Pada saat yang sama aku juga ber-french kiss dengan Boby. Tangan Boby yang menggerayangi tubuhku mulai menyusup masuk ke celana dalamku menyisir bulu-bulu kewanitaanku yang lebat dengan jemarinya.

“Eeemmhh!!” desahku di sela percumbuan dengan Boby ketika ujung jarinya menyentil klitorisku dan menggesek-geseknya
Sementara mulut Darren yang tadi melumat payudaraku juga mulai bergerak ke pundak, leher, telinga. Aku memalingkan wajahku ke samping, melepaskan diri dari pagutan Boby beralih ke kakaknya. Nafasku makin memburu dan lidahku pun semakin liar beradu dengan lidah Darren yang tangannya kini memilin-milin putingku. Birahi yang menggelegak membuat tubuhku menggeliat, mendesah dan membuka lebih lebar pahaku membuat dua keponakanku ini makin bersemangat. Boby melepaskan celana dalamku dan membalik tubuhnya sehingga selangkangannya kini di sebelah kanan kepalaku. Dan kembali rintihan tak terkendali keluar dari bibirku manakala di sebelah bawah kurasakan kedua pahaku dilebarkan dan jilatan-jilatan rakus mengusap seluruh permukaan vaginaku, dan membuat pinggulku bergerak kanan-kiri ketika lidah itu ditajamkan dan mencoba menusuk-nusuk belahan vaginaku. Tanganku meraih penis Boby dan mengocoknya lembut.
“Yi, sepongin yah!” pinta Darren melepas pagutannya, aku hanya mengangguk.
Darren bangkit berlutut di sebelah kepalaku dan mendekatkan penisnya ke mulutku. Tanpa menghentikan kocokan terhadap penis adiknya di kanan, tangan kiriku meraih batang penis itu dan langsung kujilati dari kepala hingga zakarnya. Kemudian kumasukkan benda itu ke mulutku dan kuemut-emut, terkadang lidahku menjilati seluruh kepala penisnya.
“Oooohhh… enak yihh... ooohhh!!” Darren mendesah keenakan merasakan layanan oral seksku pada penisnya sambil tangannya meremasi payudaraku.
Sementara di bawah sana aku merasakan vaginaku semakin basah dan berdenyut-denyut akibat permainan mulut, lidah dan jari Boby di sana. Sensasi yang ditimbulkannya membuatku semakin bernafsu mengoral penis Darren.
"Eeemmm... eemmhh.... nngghh!!” desahku tertahan tanpa berhenti mengulum penis Darren sewaktu Boby memasukkan jarinya ke vaginanya dan menggesek klitorisku, lidahnya yang panas itu menjilati permukaan bibir vaginaku
Tubuhku menggeliat-geliat ketika Boby menggigit-gigit klitorisku. Akhirnya tak lama kemudian, pertahananku bobol juga, tubuhku mengejang.
"Bboobbb... aadduuhh.. ayi udah ga tahaaannn... aahhh!!” aku mendesah tak karuan
Ssluurrpp... sssllrrp.... Boby melahap cairanku yang membanjir dengan lahap.
“Jangan diabisin sendiri bro! Gua juga pengen cairannya ayi!” sahut Darren.
“Yup... nih!” Boby mengangkat wajahnya dari selangkanganku.
Darren langsung menundukkan badan ke selangkanganku dan langsung melumatnya, ia hisap setiap tetes cairan yang mengalir dari vaginaku.
“Daarrreenn... geliii... aaahh!!” desahku menggeliat sambil terus mengocok penisnya yang masih di genggamanku.

Mereka berhasil membuatku melayang hingga terhempas kembali hingga lemas dengan nafas terengah-engah. Keduanya membiarkanku menikmati sisa-sisa kenikmatan dan memulihkan tenaga. Darren mengambilkan segelas air dan menyodorkannya padaku. Aku langsung meminumnya menyegarkan tenggorokanku.
"Kalian pasti sering ngelakuin kayak begini ya?" tanyanya sambil memandang keduanya.
“Gak sering-sering amat, kadang lah, kalau pas dapet yang mau", jawab Darren.
“Namanya juga darah muda yi, apalagi jauh dari orang tua!” timpal Boby
“Dasar yah! harusnya ayi bilangin ke mama kalian, tapi nyatanya ayi juga ikut nikmatin!” kataku memandang tajam pada mereka, “ayi cuma bisa bilang aja, hati-hati, jangan main PSK, ntar penyakit kelamin loh!”
“Nggak lah yi! PSK kita gak pernah!” kata Boby
“Bro, lu duluan gih!” kata Darren setelah kami ngobrol sambil memulihkan tenagaku.
“Oke, yi... woman on top yuk! Di Bandung dulu belum sempat coba!” ajak Boby lalu membaringkan tubuh di sampingku.
Aku mengangkat tubuhku dan naik ke selangkangan keponakanku itu. Kugenggam penisnya yang sudah ereksi, lalu kugesek sejenak kepalanya ke vaginaku yang sudah basah sebelum menurunkan tubuhku.
“Aaaahh!!” aku mendesah merasakan penis keponakanku itu melesak masuk ke vaginaku.
“Uuugghh... sip banget ayi!” lenguh Boby
Dengan binalnya aku memperagakan kemahiranku bermain dalam posisi WOT ini. Kedua tangan keponakanku itu menangkap payudaraku yang bergoncang-goncang dan meremasnya. Kurasakan kepalaku didekap dari sebelah, Darren melumat bibirku dan kami bermain lidah lagi. Aku makin bergairah memacu pinggulku naik turun dan meliuk-liuk, sehingga penis Boby terasa seperti dipilin-pilin oleh daging empuk yang hangat dan bergerinjal-gerinjal. Tangan-tangan mereka menggerayangi sekujur lekuk tubuhku memberi sensasi nikmat dari persetubuhan bertiga ini. Suara kecipak beradunya kelamin kami makin nyaring terdengar. Boby dengan tenaga mudanya sesekali menghentak pinggulnya ke atas sehingga penisnya menusuk dalam-dalam liang vaginaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat, tanganku meremas rambut Darren yang sedang mengenyot payudaraku. Tak lama kemudian, Boby melenguh semakin keras dan kurasakan hentakan-hentakan keras dengan interval pendek dan kemudian ditahan.
“Aakkhh... keluarrr yyiiihh!!” erang Boby disusul semburan-semburan cairan panas mengisi rongga vaginaku
Aku terus memicu tubuhku hingga kurasakan penis keponakanku itu menyusut di vaginaku.
“Uuhh... ayi mantep, goyangannya luar biasa!” kata Boby terengah-engah.
Aku tersenyum menindih tubuhnya dan memberinya sebuah kecupan mesra di bibir
“Tapi ayi masih belum puas, kamu bilang mau muasin ayi biar gak BT lagi!” kataku
“Ronde berikut yi, saya break kumpul tenaga dulu” katanya.
“Kan masih ada saya yi, sekarang pasti puas deh!” sahut Darren menarik lenganku dan memelukku.
Kelaminku dan Boby pun terpisah lalu aku berbaring telentang di sebelahnya.

Kubuka pahaku lebih lebar seolah meminta keponakanku itu segera menusukkan penisnya untuk meneruskan pekerjaan adiknya yang belum tuntas. Dengan leluasa Darren membenamkan batang penisnya sekali dorong saja masuk ke vaginaku yang sudah sangat basah. Ia langsung menggerakkan pinggulnya menggenjot vaginaku, terasa moncong penisnya menyundul-nyundul dasar liang senggamaku yang menimbulkan rasa nikmat bagiku. Darren menindihku dan menjilati leherku.
“Jangan... jangan cupang.... aahh... ntar ada bekas!” aku mendorong kepalanya saat ia mulai menghisap leherku, aku takut bekas merah itu terlihat oleh yang lain terutama suamiku.
Darren mengerti dan melepaskan leherku, sebagai gantinya ia memagut bibirku, untuk kesekian kalinya kami kembali ber-french kiss dengan penuh gairah. Kulingkarkan tanganku ke tubuh keponakanku itu dan memeluknya erat. Kulihat Boby bangkit dan turun dari ranjang meninggalkan kami, entah minum atau ke toilet, peduli amat... aku sedang fokus bergumul dengan kakaknya.
Hembusan panas nafasnya mendera wajahku, lenguhannya berpadu dengan rintihan dari mulutku. Desakan-desakan batang penisnya dalam liang vaginaku menimbulkan suara becek yang membuat suasana semakin panas menggairahkan. Jilatan-jilatan lidahnya di telingaku menambah kepuasan biologis pada segenap jiwa dan ragaku.
”Nnngghhh...” aku merintih dan mengejang ketika merasakan orgasme yang kian mendekat.
Darren terus bergerak bagai piston seakan-akan ingin meremukan tubuhku yang kini basah oleh keringat kami berdua
“Ren... lebih cepat! Ayi hampir keluar.. ” desahku
“Tahan yi, kita bareng yah keluarnya” kata Darren terengah-engah tanpa menghentikan genjotannya.
Sebentar kemudian, kurasakan cairan hangat menyembur deras dalam vaginaku yang mengantarku mencapai orgasme yang lebih dahsyat dari yang pertama tadi. Kami mendesah saling berpelukan erat dan menikmati puncak gairah itu bersamaan.
“Tadi itu enak banget... “ desahku tertahan sambil mengelus rambut keponakanku yang sudah berantakan itu.
“Ayi juga... seru banget main sama ayi!” katanya terengah.
Plok...plok.. plok... Boby yang duduk di pinggir ranjang bertepuk tangan menonton pergumulan kami.
“Lagi ga yi? Saya udah reload nih!” tanyanya sambil menggenggam penisnya yang sudah berdiri lagi.
Aku mengangguk, “terakhir yah, udah jam segini, ntar anak-anak nyariin” kataku yang masih menginginkan kepuasan lagi.
Kali ini aku menungging, tangan Boby memegang pinggangku dan tangan satunya mengarahkan penisnya ke vaginaku. Sejenak kemudian kembali benda tumpul keras melesak masuk ke rongga vaginaku. Masih belum mereda aku terbuai orgasme barusan, kembali tubuhku terguncang-guncang hebat. Aku mengocoki penis Darren yang selonjoran di depanku, kurasakan penis itu mulai mengeras lagi di tanganku. Setelah genjotan Boby stabil, aku mulai menjilati penis itu dan mengulumnya, kurasakan aroma cairan orgasmeku sendiri dan spermanya pada benda itu.

Dari pinggang dan pantatku, tangan Boby merambat ke kedua payudaraku dan meremasi serta memainkan putingnya. Aku pun semakin bergairah sehingga hisapanku terhadap penis Darren makin dahsyat dan membuat keponakanku itu melenguh-lenguh nikmat. Suara desahan dan tumbukan alat kelamin sahut-menyahut memenuhi kamar ini. Boby memompa penisnya dengan semangat dan semakin cepat membuat tubuhku bergoncang. Aku juga menggerakkan pantatku untuk mengimbangi keponakanku itu. Cukup lama aku digarap dari belakang sambil mengoral penis Darren sampai kemudian kembali sebuah hentakan dalam-dalam dan tertahan terjadi, diikuti sensasi rasa hangat dari semburan deras yang segera kembali memacu orgasmeku. Aku dan keponakanku itu menceracau tak karuan dengan tubuh bergetar. Boby menekan penisnya dalam-dalam dan berkali-kali cairan kental itu berhamburan mengisi liang rahimku yang licin dan basah, membuatnya makin lengket dan semakin penuh saja. Semua itu bercampur dengan cairan vaginaku yang juga mengucur begitu banyaknya hingga sebagian mengalir keluar melewati celah antara alat kelamin kami yang masih bertaut erat. Boby terus menggerakkan penisnya pelan-pelan seriring orgasme yang makin surut. Kulanjutkan kulumanku terhadap penis Darren ditambah kocokan tanganku.
“Ooh terus yi... ya dikit lagi... isep... aahh!!” tak lama kemudian Darren pun melenguh dan memuncratkan spermanya selagi penisnya masih di mulutku.
Aku langsung menghisap dan melahap cairan itu, tidak terlalu banyak karena sebagian besar sudah keluar pada orgasme sebelumnya. Aku baru melepaskan penisnya setelah benda itu menyusut, demikian pula Boby akhirnya melepas penisnya dari vaginaku. Akhirnya kami bertiga terbaring lemas, tubuh telanjangku telentang antara dua keponakanku itu yang mendekapku. Sungguh ini adalah pertempuran yang paling sengit selama masa liburan ini, begitu melelahkan dan membuat tubuh mandi keringat. Di luar langit sudah mulai gelap.
“Ayi masih BT?” tanya Boby sambil mengelus payudaraku, aku menggeleng sambil tersenyum lemas padanya.
“Kalau masih ayi nginep sini aja” kata Darren lalu mengecup pundakku.
“Itu sih gila namanya, ketahuan kalian pasti dipulangin” kataku.
Setelah ngobrol ringan memulihkan tenaga, aku pun mengangkat tubuhku dan ke kamar mandi, tidak mandi, hanya membersihkan diri seperlunya karena aku harus kembali ke hotel, sudah terlalu lama di sini.
“Yi saya udah panggilin taksi, biar gak usah jalan lagi!” kata Boby ketika aku sedang memakai pakaianku di ruang tengah.
“Oh, thank you Bob!” kataku.
Aku tiba di hotel kami tak lama kemudian dan disambut anak-anak yang senang menerima mainan dan snack yang kubeli tadi. Aku masih belum bicara dengan Martin ketika makan malam. Ia baru minta maaf malamnya setelah anak-anak tidur, ketika aku berendam di bathtub. Martin masuk ke kamar mandi untuk minta maaf dan mengajakku bicara. Aku pun luluh dan kami bercinta di bathtub, tapi sebentar saja karena sudah lelah, apalagi aku baru threesome tadi. Malam itu, guilty pleasure karena bercinta dengan keponakan sendiri menderaku, namun di lain sisi aku merasa sangat puas dan tidur dengan nyenyak di sebelah Martin.

Esoknya adalah hari terakhir liburan, sebelum berangkat dengan pesawat malam ke Jakarta kami menyempatkan diri belanja dulu di mall lain yang menurut dua keponakanku lebih murah. Di tempat ini aku dan Bobby terlibat quickie ketika makan siang. Aku awalnya hendak cuci tangan setelah makan, tak kusangka Boby menyusulku dan mengajakku masuk ke toilet disabilitas di situ.
“Nggak ah... bahaya tau!” tolakku sambil memandang sekeliling yang memang suasana sedang lenggang.
“Sebentar aja yi, kita main cepet!” kata keponakanku itu seraya menarik tanganku masuk ke toilet disabilitas.
Aku hanya meronta setengah tenaga sehingga tidak dapat menahan tarikannya. Begitu mengunci pintu, Boby langsung memepetku ke tempok, menyibak rambutku dan mencium leherku. Tanpa berlama-lama, disingkapnya kaosku lalu dipelorotinya celana pendek beserta celana dalam yang kupakai.
“Oohh Booobb!!” desahku tertahan agar tidak keras ketika keponakanku itu menempelkan wajahnya ke vaginaku, lidah dan jemarinya langsung menggarap kewanitaanku.
Kaki kiriku ia naikkan ke bibir kloset sehingga ia lebih leluasa menjilat dan menghisapi vaginaku.
“Uuhh... jangan lama-lama, aahh... takut ketahuan!!” kataku lirih sambil mendorong kepalanya.
“Oke yi, sekarang aja!” ia bangkit dan membuka celananya sendiri memperlihatkan penisnya yang sudah tegang.
Kami kembali berpelukan, demikian juga bibir kami menyatu lagi saling memberikan energi dan gairah. Tangan Boby meremas bongkahan pantatku, sementara tanganku meraih penisnya dan kuarahkan ke vaginaku. Ia mulai menekan penisnya hingga masuk ke liang senggamaku
“Eeennggghh!!” aku mengeluh pelan sambil menggigit bibir bawah, wajahku merah menahan gejolak nafsu.
Di ruangan toilet yang rentan dipergoki ini, kami benar-benar memanfaatkan situasi dan waktu yang sempit pula yang memicu adrenalin kami. Tanpa buang waktu lagi, Boby mengayun pinggulnya menggenjotiku
"Bob... oohh... oogghh..." aku meracau pelan di telinga keponakanku.
Ia mengayun batang penisnya lebih cepat dan keras sehingga aku merasakan jelasnya gesekan liang kemaluanku dengan batang penisnya. Aku melingkarkan tangaku semakin erat mendekapan keponakanku itu
“Boob… cepetin… ayohh... takut ada orang” aku sesekali melihat ke arah pintu khawatir ada yang mengintip atau melabrak masuk.
“Iii…iya dikit lagi yi…”
Akhirnya dengan sodokan-sodokan kencangnya, kami berhasil mencapai titik yang kami inginkan. Liang vaginaku berkedut-kedut berbarengan dengan penis Boby memuncratkan isinya di dalam sana. Kami berpagutan erat untuk meredam erangan orgasme kami. Setelah Boby mencabut penisnya dari vaginaku, aku segera membersihkan selangkanganku dengan semprotan. Selesai berbenah diri, kami bergantian keluar dari toilet dan kembali ke meja kami. Aku sengaja membeli sedikit coklat dan permen di toko dekat situ sebagai alibi bahwa aku jalan-jalan sambil menurunkan makanan. Malam hari, Darren dan Boby mengantarkan kami ke bandara dan berpamitan.
“Lain kali kita ena-ena lagi ya yi!” kata Darren dekat telingaku ketika berpelukan hendak berangkat.
Akhirnya berakhirlah liburan keluarga yang penuh kesan ini yang terisi dengan keceriaan keluarga sekaligus petualangan liar.

Tidak sampai sebulan sepulang liburan Australia, aku merasakan mual dan alat pengetes kehamilan menyatakan positif. Martin senang mendengar berita ini, begitu pula si kembar, mereka senang mendapat adik. Aku sendiri bukannya tidak senang, tapi aku juga penasaran, bibit siapa yang sedang kukandung ini? Baik Martin dan dua keponakanku itu menyemburkan spermanya di dalam ketika liburan itu. Janin ini tumbuh sehat hingga delapan bulan setelahnya, aku melahirkan secara caesar, seorang bayi laki-laki kami beri nama Justin. Aku dan Martin sangat bersukacita karena akhirnya dikaruniai anak laki-laki juga, namun pada saat yang sama pula, apa yang kukhawatirkan agaknya benar terjadi. Wajah Justin banyak kemiripan denganku, namun nyaris tidak ada kemiripan dengan Martin, malah mata dan hidung lebih mirip ke suaminya ciciku, yang juga mirip dengan dua keponakanku yang pernah terlibat affair itu. Ciciku sendiri juga berkomentar bahwa Justin mirip dengan Darren waktu bayi. Naluriku sebagai seorang wanita mengatakan bahwa ayah biologis dari anak ke-3 ku ini adalah Darren atau Boby, tapi... sudahlah, biarlah rahasia ini kupendam seorang diri. Bagaimanapun Justin adalah anakku, anak suamiku, adik dari Jeni dan Jenaku, dan kami akan menyayanginya sampai kapanpun. Jangan sampai kebahagiaan ini dirusak oleh sebuah kenyataan yang tidak sepantasnya.

THE END?
 
Terakhir diubah:
lanjutt dengan yg lain2 lagi suhuu.. terimakasih updatenya
 
Ending yang bagus sekali, si vivi bunting anak ponakannya dan suaminya bego gak tahu hal itu.
Lebih epic lagi hu endingnya juga diselipin Vivi call ke keponakannya dan bilang diantara mereka adalah bapaknya biar lebih bitchy lagi suhu dan bikin darah mendidih.

Well, thank u buat karya nya yang satu ini dan segera ditunggu karya-karya berikutnya yang lebih bikin darah mendidih. Kalau bisa dengan genre yang sama. Hehehehee

;) :baris::tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan:
 
Nice story
Incest family :p
Moga dilanjut lagi..dgn fokus kpd character lain :adek:
Cgu emang bisa bahas karakter mana aja, tergantung wangsit yg datang ke gw
yang penting golongan darah Justin, sama dengan martin :D
kalau beda, gawat itu :pandaketawa:
Kalau sama kaya mamanya kan aman
Ending yang bagus sekali, si vivi bunting anak ponakannya dan suaminya bego gak tahu hal itu.
Lebih epic lagi hu endingnya juga diselipin Vivi call ke keponakannya dan bilang diantara mereka adalah bapaknya biar lebih bitchy lagi suhu dan bikin darah mendidih.

Well, thank u buat karya nya yang satu ini dan segera ditunggu karya-karya berikutnya yang lebih bikin darah mendidih. Kalau bisa dengan genre yang sama. Hehehehee

;) :baris::tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan::tepuktangan:
Vivi itu typenya nakal diem2, ga berani seopen viona atau tyas gitu
 
Naughty Nephews Again


Untuk melewati liburan Natal tahun ini, ciciku di Jakarta mengajak liburan sekeluarga bareng anak-anak kami ke Australia. Setelah membicarakan lewat WA group, memilih hari dan lain-lain, akhirnya aku (setelah bicara dengan suami) dan koko pertamaku (dan keluarga) memutuskan ikut, sedangkan koko keduaku berhalangan karena bentrok dengan acara keluarga, juga orang tua kami karena papa sudah tua dan tidak kuat jalan jauh, maka mama pun menemani papa mengikuti acara di rumah koko keduaku. Tiba hari keberangkatan, rombongan keluarga kami yang terdiri dari sebelas orang (enam dewasa dan lima anak-anak) berkumpul di bandara Soekarno-Hatta dan dengan penerbangan Garuda yang akan mengantarkan kami ke Australia. Kami tiba di Sydney besok paginya dan langsung check-in lalu istirahat di hotel. Selama empat hari ke depan kami bersenang-senang melepaskan diri dari kepenatan sehari-hari dengan berkunjung ke berbagai objek wisata, belanja dan wisata kuliner. Anak-anak sangat menikmati liburan keluarga ini, terlihat dari senyum bahagia di wajah mereka. Demikian pula aku dan Martin semakin mendekatkan diri seperti berbulan madu lagi, kami memanfaatkan sebaik-baiknya momen liburan ini untuk saling bermesraan lagi. Pada hari kelima kami berkemas untuk berangkat ke destinasi kami berikutnya, Perth, kota besar di ujung barat benua ini dengan pesawat. Sesampai di bandara, kami dijemput oleh dua putra ciciku yang kuliah di sini, Darren dan Boby. Memang salah satu tujuan ciciku selain berlibur adalah mengunjungi kedua putranya ini. Hal ini membuatku berdebar-debar sejak awal keberangkatan kami, apalagi ketika melihat keduanya di gerbang kedatangan. Bagaimana tidak, kurang setahun sebelumnya, ketika Imlek, aku terlibat hubungan seks sedarah dengan dua keponakanku itu (baca: Antologi Imlek Caligula Universe). Mereka menyambut hangat kedatangan kami, setelah cipika-cipiki dan berpelukan dengan kedua orang tua mereka, Darren menyalami suamiku lalu menuju padaku bersalaman. Tangannya meremas lembut tanganku dan mata kami bertatapan penuh arti seolah melepas rindu, demikian juga adiknya, Boby. Di depan keluarga besar, kami bersikap wajar sebagaimana layaknya tante dan keponakan, walau kuakui aku sedikit salah tingkah dan darah di tubuhku berdesir lebih cepat. Rombongan kami menuju hotel dengan mobil carteran.
“Udah mau sampai ma!” sahut Darren pada ciciku, “itu flat kita sekarang yang gedung warna krem itu! Cuma dua blok dari hotel” seraya menunjuk ke sebuah gedung.
Sekitar lima menitan, kami pun tiba di hotel berbintang empat, tempat kami menginap.
“Sini ayi! Biar saya aja!” sahut Boby muncul di sampingku ketika menurunkan barang-barang dari bagasi, tangannya sengaja memegang tanganku yang baru meraih travel bag, membuat bulu-bulu di tubuhku merinding.
“Ayi, saya kangen sama ayi sejak sinciah itu” kata pemuda itu pelan dekat telingaku.
“Jangan nggak-nggak ah, ini lagi liburan, semua ada di sini tau” balasku dengan suara pelan.
“Kita bisa cari kesempatan, empat hari di sini banyak waktu kan?”
Terus-terang aku sendiri juga rindu mengulangi threesome saat imlek itu,rindu jamahan tangan mereka dan darah muda mereka yang menggelegak saat menyetubuhiku. Namun aku tetap menjaga sikap di depan keluargaku. Setelah check-in kami diantar ke kamar masing-masing, tiga kamar besar di lantai lima sudah dibooking untuk kami tiga keluarga ini. Kamarnya bagus dengan pemandangan yang indah. Hari pertama di Perth berlalu cukup mengasyikkan, Darren dan Boby menjadi guide bagi kami mengajak ke berbagai tempat. Aku banyak di dekat suami dan anak-anakku sehingga kedua keponakku itu pun menjaga jarak. Sampai di hotel setelah mandi, ngobrol-ngobrol sebentar di kamar kokoku yang paling luas, aku pun akhirnya tidur sambil memeluk Martin.

Keesokan harinya setelah sarapan, kami berenang di kolam renang hotel. Kami berenang bersama di kolam yang besar itu sambil mengambil foto dengan smartphone. Ciciku dan suaminya hanya berenang sebentar, lalu mereka naik dan berbaring di kursi santai sambil mengobrol dengan Darren yang baru tiba. Aku dapat merasakan dan melihat, keponakanku itu mencuri-curi pandang padaku yang saat itu memakai swimsuit one piece berwarna biru yang tentunya memamerkan lekuk tubuhku yang masih bagus, terutama belahan dada agak rendah. Tak lama ciciku pamitan, ia dan suaminya mau spa, mereka pun meninggalkan kami.
“Ayo sayang! Kaki dua kali... tangan... ambil nafas!” aku mengajari Jeni dan Jena berenang.
“Ya! Bagus! Sekarang balik ke seberang! Baru boleh main!” aku memberi semangat setelah kedua buah hatiku berhasil mencapai tepi seberang.
Tiga sepupu mereka yang lebih besar juga turut menyoraki memberi semangat.
“Eehh!” karena terlalu fokus memperhatikan anak-anak sambil berenang bercampur berjalan di air, aku tidak sadar menabrak Martin.
Suamiku memberi senyum lembut dan mendekap tubuhku. Semua bersorak ketika kedua kembarku mencapai tepi kolam.
“Wah! Jeni Jena hebat euy!” Darren memberi tepuk tangan pada si kembar, “ayo... ayo potret dulu dong!” katanya sambil menyiapkan smartphone.
Setelah memotret kedua anakku, Darren meminta kami merapat agar bisa difoto bareng di kolam hotel. Istri kokoku meminta Darren menunggu dan naik ke tepi untuk minta dipotret dengan smartphonenya, aku juga berpikir sama dan mengambil smartphoneku di meja.
“Ayi saya abis ini mau ke kamar mama, kalau ayi mau ditunggu!” kata Darren pelan ketika aku membuka password smartphone.
“Ini waktunya liburan keluarga yah, jangan aneh-aneh!” kataku tanpa memandangnya.
Kami pun berpose di kolam dan Darren mengabadikannya. Setelahnya kami kembali bersenang-senang di kolam renang. Lima belas menit berlalu, anak-anak agaknya masih betah di kolam, mereka sedang bermain bola. Martin dan kokoku sedang ngobrol di pinggir sambil memperhatikan mereka, aku sendiri ngobrol dengan kakak iparku hingga anaknya yang paling kecil mau ditemani BAB ke belakang. Aku yang tinggal sendiri menoleh ke arah jendela kamar ciciku di atas, kudapati Darren sedang memperhatikan kami di jendela, ia melambai ketika aku melihat ke arahnya. Aku segera memalingkan muka dan berenang ke seberang. Ooohh... darahku berdesir, aku merasa gatal pada vaginaku, merindukan sentuhan erotis keponakanku itu. Aku tidak mampu menepis hasrat liar itu walau berusaha mengalihkannya dengan berenang. Saat tiba kembali ke seberang, kudekati Martin.
“Tin, gua ke toilet dulu yah! liatin anak-anak!” kataku
Martin hanya mengangguk saja asyik mengobrol tentang bisnis dengan kokoku. Aku naik ke atas menghanduki tubuh dan rambutku lalu kupakai kimono putih dari hotel.

Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan terjadi ke depan. Ting! Lift tiba di lantai lima, aku melangkah ke kamar ciciku, setiap langkahku terasa berat. Tanpa kusadari aku telah berdiri di pintu kamarnya dan kutekan bel.
“Aaahh... ayi Vivi! Saya kira gak bakal datang!” Darren tersenyum membukakan pintu, “ayo masuk!”
“Kamu gila yah... semua keluarga kan lagi disini!” aku menepis tangannya ketika meraih lenganku.
“Justru di situ serunya ayi” katanya sambil memepet tubuhku ke tembok dekat pintu, “kan memicu adrenalin” wajah kami sudah kurang dari sejengkal.
“Papa mama kamu? kalau mereka balik sini gimana?”
“Barusan saya telepon ke bawah, katanya masih setengah jam lagi” mulutnya menyosor ke mulutku namun aku membuang wajah.
“Boby mana?” tanyaku lagi
“Boby hari ini part time di toko, sore baru balik, ayi kangen yah!” jawabnya sambil menarik lepas tali pinggang kimonoku.
“Kamu ini... eemmhhh!” kali ini aku menerima pagutannya, bibir kami pun berpagutan.
Aku pasrah saat keponakanku itu menyedot lidahku. Tangannya mulai menyusup ke belahan dada swimsuitku dan meremas payudaraku.
“Nngghh!!” aku mendesah tertahan di tengah percumbuan kami yang bergairah.
Birahi yang melanda diriku mendorong tanganku membelai selangkangan Darren, kurasakan penisnya sudah mengeras di balik celana boxernya. Darren melucuti kimonoku hingga jatuh di bawah kaki, kemudian disibaknya kedua tali bahu yang menyangga swimsuitku dan ia turunkan hingga ke bawah dada. Dengan rakus ia segera melumat payudara kananku.
“Ooohh.... “ desahku merasakan putingku dihisap dan digigit kecil olehnya.
Tangannya merambat ke bawah menjamahi selangkanganku dari luar swimsuit. Jemarinya menyusup ke pinggiran swimsuitku dan mulai mengelus-elus area kewanitaanku.
“Uuh... Darren... yeah terus... jangan berenti.... enakkh!” racauku mendesah keenakan dengan rangsangan pada titik sensitif, kewanitaan dan payudaraku.
Darren mengulum payudaraku dengan rakusnya bergantian kiri kanan bergerak ke leher dan pundak. Aku sungguh tak dapat menahan gairah terlarang ini. Aku mendesah-desah sambil tanganku mendekap erat kepala keponakanku itu. Aku merasakan kian mendekati klimaks, permainan jarinya di bibir vagina dan klitorisku sungguh membuatku tak tahan, tubuhku pun bergetar nikmat.
“Uuhhh... Ren.... ayi mau orgasme nih, aaahh!!” desahku.
Keponakanku itu terus melumat kedua payudaraku, hisapannya semakin terasa.
“Ooohh... yaahh... aaahh!!” akhirnya puncak kenikmatan itu kugapai, aku mendesah tak karuan, vaginaku menyemprotkan cairan hangat yang membasahi tangan keponakanku itu.
Darren terus mencucuk-cucukkan jarinya pada vaginaku seakan mengais keluar semua cairanku, ia membiarkanku mendekapnya sangat erat sambil memelukku dengan belaian hangatnya. Selesai aku orgasme sekitar 30 detik, Darren menarik tangannya dari selangkanganku.
“Basah banget yi!” katanya memamerkan telapak tangannya yang belepotan cairan kewanitaanku.
Ia menjilati cairanku di jarinya, lalu menempelkan dua jari di bibirku yang lalu kukulum, kurasakan cairan vaginaku sendiri.
“Waktu kita gak banyak, ayo langsung aja!” kataku.

Darren tersenyum, “hehehe... of course ayi, ayo!”
Ia melucuti swimsuitku yang sudah setengah terbuka sehingga aku pun telanjang di hadapannya. Kemudian dibalikkannya tubuhku menghadap tembok, dengan sendirinya aku menunggingkan pinggulku dan bertumpu pada kedua siku di tembok. Ia hanya membuka celananya lalu sebentar kemudian....
“Aaahhh!!” kurasakan kepala penisnya melesak ke vaginaku, ia juga melenguh pada saat berbarengan.
Oh... disetubuhi anak muda benar-benar membuatku serasa lebih muda dan bergairah. Tak sekadar menggenjot vaginaku, Darren juga meremasi payudaraku dan terkadang menampar pantatku. Kepala penisnya berkali-kali menghantam dasar rahimku sehingga mataku membeliak-beliak dan mulutku menceracau tak karuan saking nikmatnya.
"Emang ayi masih enak gitu, aahhh... kalian kayanya nafsuan ke ayi?" tanyaku lirih
"Enak pake banget ayi... aahh... perempuan dewasa cantik kaya ayi saya paling demen" sahut Darren sambil terus menggenjot vaginaku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Darren sudah di ambang klimaksnya, hal yang sama juga terjadi padaku.
"Yi... lepasin di mana? Saya udah mau muncrat nih!" tanya Darren terengah-engah.
"Dalam aja.... aahh... ayo terussh.... aahhh!!"
Spontan Darren mempercepat ayunan penisnya... makin cepat... makin cepat dan akhirnya ia medesakkannya kuat-kuat... disusul dengan tembakan-tembakan cairan kental hangatnya membanjiri liang senggamaku. Sekitar semenit setelahnya, aku juga menyusulnya ke puncak kenikmatan. Tubuhku mengejang akibat terpaan gelombang orgasme yang melanda tubuhku bersamaan keluarnya cairanku. Tanpa terkendali aku pun mengerang keras, untung kamar ini kedap suara. Kami masih saling memicu tubuh selama beberapa saat dengan tempo makin menurun. Setelah gelombang nikmat itu mereda, kami kembali berpelukan dan berciuman meresapi sisa-sisa kenikmatan tadi.
“Udah yah!” ucapku lemas melepas pagutan, “ayi harus balik ke kolam” lalu kupungut kimono dan swimsuitku di lantai.
Aku masuk ke toilet untuk menyemprot selangkanganku yang belepotan cairan kewanitaan dan sperma pemuda itu lalu kembali memakai swimsuit dan kimono.
“Ayi turun dulu yah!” pamitku setelah membenahi diri.
Darren sudah memakai lagi celananya dan bicara dengan seseorang dengan bahasa Inggris di smartphonenya sehingga ia hanya melambai. Segera aku pun turun ke bawah melanjutkan acara renang bersama keluarga yang tertunda. Acara hari itu berlangsung lancar dan ceria, kami mengunjungi tempat wisata, belanja, lalu terakhir makan malam. Baik aku dan dua keponakanku itu mampu menjaga sikap sepanjang hari.

Hari berikutnya, seperti biasa kami sarapan di hotel, sebagian dari kami berenang sementara aku sendiri dan suamiku fitness. Darren dan Boby tidak nampak pagi itu, mereka baru datang jam sebelasan untuk makan siang bersama lalu lanjut ke sebuah mall. Di sanalah aku terlibat cekcok dengan Martin masalah belanja, aku tidak setuju tapi ia ingin tetap membeli. Gara-gara itu, aku menjauhi suamiku, tidak mau bicara dengannya dan lebih dekat ke anak-anak dan ke yang lain, namun tetap menjaga jarak dari Darren dan Boby karena risih di depan keluarga sendiri. Di kendaraan pun aku menyuruh Jeni duduk di sebelah suamiku dan aku sendiri duduk dengan Jena.
“Kenapa ayi? Lagi marahan yah?” tanya Boby di lorong mini bus setelah mengambil air mineral di belakang.
“Ya gitulah, udahlah urusan suami istri” jawabku sambil membelai rambut Jena yang tertidur di pangkuanku.
“Abis ini kita turun di flat, kalau ayi masih BT ke tempat kita aja, kita di kamar 3013” katanya lalu kembali ke kursinya.
Aku terhenyak, anak muda jaman sekarang memang berani soal ginian, aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Tak lama kemudian, Darren meminta pak sopir berhenti di gedung flat mereka. Kedua keponakanku itu pun pamitan pada kami dan turun dari mini bus, mereka melambai pada kami di luar. Aku bisa merasakan tatapan mata mereka yang memandang padaku, tatapan yang mengandung ajakan nakal. Sampai di hotel, aku masih marah pada suamiku walau ia sedikit melunak, aku menepis tangannya yang memegang tanganku.
“Kalian main di hotel aja yah! mama mau jalan-jalan dulu!” kataku pada dua anakku.
Aku juga titip mereka pada kokoku dan istrinya karena anak-anak mereka pasti main bareng. Lalu aku keluar dari hotel berjalan-jalan di sekitar situ menikmati kota ini di waktu sore. Di sini memang tidak seramai di Indonesia atau negara-negara Asia, jam-jam segini suasana sudah agak lenggang. Aku sempat membeli beberapa suvenir dan snack di beberapa toko kecil. Pandanganku lalu tertuju gedung warna krem, flat kedua keponakanku itu, sudah tidak jauh dari sini. Dengan berdebar-debar kakiku melangkah ke gedung itu. Oohh... haruskah aku melakukannya lagi di tengah liburan keluarga ini? Sekitar lima menitan, tak terasa aku pun tiba di gedung itu dan melangkah masuk ke dalam. Agaknya flat ini memang banyak ditinggali pelajar asing, di dalam lift aku bersama tiga pemuda berbicara bahasa Mandarin, sepertinya mereka dari China atau Taiwan. Aku keluar di lantai tiga menyusuri lorong mencari kamar 3013. Dalam hatiku bergumul hebat... to be or not to be. Itu dia di depan, sesuatu yang kurindukan itu telah di depan mata. Aku menggerakkan tangan menekan knop bel dan sebentar kemudian....
“Ayi Vivi! Datang juga nih!” sapa Darren, “ayo... ayo masuk!”
“Eh... ayi Vivi!” sapa Boby yang sedang menghanduki rambutnya yang masih basah karena baru selesai mandi.
Flat mereka cukup rapi juga untuk ukuran anak laki-laki, di sana terdapat dapur mini lengkap dengan kompor, microwave kulkas, dan mesin cuci di bawah bak cuci piring, sebuah ruang tamu dengan meja belajar kecil, sofa dan televisi. Sebuah lemari pakaian yang tinggi berfungsi sebagai sekat antara ruang tamu dengan dua buah ranjang di sebelahnya. Tergolong kelas menengah dan nyaman ditempati. Sebenarnya mereka bisa saja mendapat akomodasi yang lebih dari ini, tapi ciciku dan suaminya itu walau kaya namun pelit dan tidak mau terlalu memanjakan anak-anaknya. Mereka ingin dua anak laki-lakinya itu merasakan hidup mandiri dan mencari uang saku tambahan dengan kerja part time

“Aah, jadi ini yah tempat kalian” kataku memandangi sekeliling, “bagus juga, di sini banyak mahasiswa luar ya keliatannya?” aku menjatuhkan pantatku ke sofa.
“Iya, kan ga jauh emang ada dua uni tuh, di sini orang China, Korea, sama Indo banyaknya” kata Boby
“Emang agak jauh dari kampus, jalan kaki ada sepuluh menitan, tapi lumayan murah terus kemana-mana enak dari sini” timpal kakaknya.
Kami ngobrol biasa sehingga suasana akrab selama beberapa saat. Kuperhatikan selama ngobrol mereka menatap diriku dalam dan tajam seolah-olah hendak menelanjangiku, terutama paha karena aku saat itu memakai tank top dan celana pendek. Aku juga merasakan tubuh Boby yang duduk di sebelahku makin menempel padaku.
“Ayi masih BT?” tanya Boby
“Kayanya nggak ya, soalnya udah gak cemberut lagi hehehe” timpal Darren
“Berarti kita berhasil ngehibur ayi dong!” kata Boby lagi.
“Ahh... kalian apaan sih?” kataku mengelus paha Boby, “orang udah gak apa-apa juga”
“Ayi... boleh saya cium tante, saya cuma mau ngehibur ayi” tiba-tiba Boby menggenggam tanganku dengan menatapku.
Aku sedikit terkejut, kutatap wajah tampannya sekian detik, lalu memandang Darren yang tersenyum hingga akhirnya menganggukan kepala sambil tersenyum, ini bukan yang pertama dan memang inilah yang kuinginkan. Detik berikutnya bibir kami sudah berpagutan, lidahnya menyeruak masuk ke mulutku dan menggelitik lidahku, kubalas memainkan lidahnya dan diselingi dengan menyedot sehingga ludah kami berbaur menambah nikmatnya birahi terlarang kami. Boby menyingkap tanktopku yang kurespon dengan menyingkap kaosnya. Akhirnya atasku hanya memakai bra putih tanpa tali bahu dan Boby telanjang dada. Aku hampir lupa di sini ada Darren juga, kukira dia akan bergabung, tapi ia malah berdiri dan menuju balik lemari pembatas ruangan ini. Saat itu Boby sedang melucuti celana pendekku sehingga aku tinggal mengenakan pakaian dalam saja.
“Ayo sini aja! Threesome di sofa kecil gitu mana enak!” panggil Darren.
“Kita ke ranjang aja ayi!” ajak Boby.
Kami pun menuju ke belakang lemari dimana kedua ranjang mereka telah dipepet jadi satu sehingga memberi ruang yang lumayan untuk bertiga.
“Saya juga mau ngehibur ayi supaya gak BT lagi hehehe!” kata Darren sambil membuka pakaiannya hingga telanjang, penisnya yang tak bersunat segera mengacung tegang begitu celananya dibuka.
Kami pun berbaring di ranjang, kedua keponakanku mengapit tubuhku di kanan dan kiri. Darren melepas kait bra-ku sehingga payudaraku terekspos, tangannya langsung meremas yang sebelah kiri dan mempermainkan putingku. Kecupan dua bibir mereka hinggap di pipi, kelopak mata, telinga dan bibirku, juga dibarengi belaian-belaian tangan di sekujur tubuhku. Tidak hanya pasif, aku menggenggam penis Darren yang sedang mengenyot payudaraku dan mengocoknya lembut. Pada saat yang sama aku juga ber-french kiss dengan Boby. Tangan Boby yang menggerayangi tubuhku mulai menyusup masuk ke celana dalamku menyisir bulu-bulu kewanitaanku yang lebat dengan jemarinya.

“Eeemmhh!!” desahku di sela percumbuan dengan Boby ketika ujung jarinya menyentil klitorisku dan menggesek-geseknya
Sementara mulut Darren yang tadi melumat payudaraku juga mulai bergerak ke pundak, leher, telinga. Aku memalingkan wajahku ke samping, melepaskan diri dari pagutan Boby beralih ke kakaknya. Nafasku makin memburu dan lidahku pun semakin liar beradu dengan lidah Darren yang tangannya kini memilin-milin putingku. Birahi yang menggelegak membuat tubuhku menggeliat, mendesah dan membuka lebih lebar pahaku membuat dua keponakanku ini makin bersemangat. Boby melepaskan celana dalamku dan membalik tubuhnya sehingga selangkangannya kini di sebelah kanan kepalaku. Dan kembali rintihan tak terkendali keluar dari bibirku manakala di sebelah bawah kurasakan kedua pahaku dilebarkan dan jilatan-jilatan rakus mengusap seluruh permukaan vaginaku, dan membuat pinggulku bergerak kanan-kiri ketika lidah itu ditajamkan dan mencoba menusuk-nusuk belahan vaginaku. Tanganku meraih penis Boby dan mengocoknya lembut.
“Yi, sepongin yah!” pinta Darren melepas pagutannya, aku hanya mengangguk.
Darren bangkit berlutut di sebelah kepalaku dan mendekatkan penisnya ke mulutku. Tanpa menghentikan kocokan terhadap penis adiknya di kanan, tangan kiriku meraih batang penis itu dan langsung kujilati dari kepala hingga zakarnya. Kemudian kumasukkan benda itu ke mulutku dan kuemut-emut, terkadang lidahku menjilati seluruh kepala penisnya.
“Oooohhh… enak yihh... ooohhh!!” Darren mendesah keenakan merasakan layanan oral seksku pada penisnya sambil tangannya meremasi payudaraku.
Sementara di bawah sana aku merasakan vaginaku semakin basah dan berdenyut-denyut akibat permainan mulut, lidah dan jari Boby di sana. Sensasi yang ditimbulkannya membuatku semakin bernafsu mengoral penis Darren.
"Eeemmm... eemmhh.... nngghh!!” desahku tertahan tanpa berhenti mengulum penis Darren sewaktu Boby memasukkan jarinya ke vaginanya dan menggesek klitorisku, lidahnya yang panas itu menjilati permukaan bibir vaginaku
Tubuhku menggeliat-geliat ketika Boby menggigit-gigit klitorisku. Akhirnya tak lama kemudian, pertahananku bobol juga, tubuhku mengejang.
"Bboobbb... aadduuhh.. ayi udah ga tahaaannn... aahhh!!” aku mendesah tak karuan
Ssluurrpp... sssllrrp.... Boby melahap cairanku yang membanjir dengan lahap.
“Jangan diabisin sendiri bro! Gua juga pengen cairannya ayi!” sahut Darren.
“Yup... nih!” Boby mengangkat wajahnya dari selangkanganku.
Darren langsung menundukkan badan ke selangkanganku dan langsung melumatnya, ia hisap setiap tetes cairan yang mengalir dari vaginaku.
“Daarrreenn... geliii... aaahh!!” desahku menggeliat sambil terus mengocok penisnya yang masih di genggamanku.

Mereka berhasil membuatku melayang hingga terhempas kembali hingga lemas dengan nafas terengah-engah. Keduanya membiarkanku menikmati sisa-sisa kenikmatan dan memulihkan tenaga. Darren mengambilkan segelas air dan menyodorkannya padaku. Aku langsung meminumnya menyegarkan tenggorokanku.
"Kalian pasti sering ngelakuin kayak begini ya?" tanyanya sambil memandang keduanya.
“Gak sering-sering amat, kadang lah, kalau pas dapet yang mau", jawab Darren.
“Namanya juga darah muda yi, apalagi jauh dari orang tua!” timpal Boby
“Dasar yah! harusnya ayi bilangin ke mama kalian, tapi nyatanya ayi juga ikut nikmatin!” kataku memandang tajam pada mereka, “ayi cuma bisa bilang aja, hati-hati, jangan main PSK, ntar penyakit kelamin loh!”
“Nggak lah yi! PSK kita gak pernah!” kata Boby
“Bro, lu duluan gih!” kata Darren setelah kami ngobrol sambil memulihkan tenagaku.
“Oke, yi... woman on top yuk! Di Bandung dulu belum sempat coba!” ajak Boby lalu membaringkan tubuh di sampingku.
Aku mengangkat tubuhku dan naik ke selangkangan keponakanku itu. Kugenggam penisnya yang sudah ereksi, lalu kugesek sejenak kepalanya ke vaginaku yang sudah basah sebelum menurunkan tubuhku.
“Aaaahh!!” aku mendesah merasakan penis keponakanku itu melesak masuk ke vaginaku.
“Uuugghh... sip banget ayi!” lenguh Boby
Dengan binalnya aku memperagakan kemahiranku bermain dalam posisi WOT ini. Kedua tangan keponakanku itu menangkap payudaraku yang bergoncang-goncang dan meremasnya. Kurasakan kepalaku didekap dari sebelah, Darren melumat bibirku dan kami bermain lidah lagi. Aku makin bergairah memacu pinggulku naik turun dan meliuk-liuk, sehingga penis Boby terasa seperti dipilin-pilin oleh daging empuk yang hangat dan bergerinjal-gerinjal. Tangan-tangan mereka menggerayangi sekujur lekuk tubuhku memberi sensasi nikmat dari persetubuhan bertiga ini. Suara kecipak beradunya kelamin kami makin nyaring terdengar. Boby dengan tenaga mudanya sesekali menghentak pinggulnya ke atas sehingga penisnya menusuk dalam-dalam liang vaginaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat, tanganku meremas rambut Darren yang sedang mengenyot payudaraku. Tak lama kemudian, Boby melenguh semakin keras dan kurasakan hentakan-hentakan keras dengan interval pendek dan kemudian ditahan.
“Aakkhh... keluarrr yyiiihh!!” erang Boby disusul semburan-semburan cairan panas mengisi rongga vaginaku
Aku terus memicu tubuhku hingga kurasakan penis keponakanku itu menyusut di vaginaku.
“Uuhh... ayi mantep, goyangannya luar biasa!” kata Boby terengah-engah.
Aku tersenyum menindih tubuhnya dan memberinya sebuah kecupan mesra di bibir
“Tapi ayi masih belum puas, kamu bilang mau muasin ayi biar gak BT lagi!” kataku
“Ronde berikut yi, saya break kumpul tenaga dulu” katanya.
“Kan masih ada saya yi, sekarang pasti puas deh!” sahut Darren menarik lenganku dan memelukku.
Kelaminku dan Boby pun terpisah lalu aku berbaring telentang di sebelahnya.

Kubuka pahaku lebih lebar seolah meminta keponakanku itu segera menusukkan penisnya untuk meneruskan pekerjaan adiknya yang belum tuntas. Dengan leluasa Darren membenamkan batang penisnya sekali dorong saja masuk ke vaginaku yang sudah sangat basah. Ia langsung menggerakkan pinggulnya menggenjot vaginaku, terasa moncong penisnya menyundul-nyundul dasar liang senggamaku yang menimbulkan rasa nikmat bagiku. Darren menindihku dan menjilati leherku.
“Jangan... jangan cupang.... aahh... ntar ada bekas!” aku mendorong kepalanya saat ia mulai menghisap leherku, aku takut bekas merah itu terlihat oleh yang lain terutama suamiku.
Darren mengerti dan melepaskan leherku, sebagai gantinya ia memagut bibirku, untuk kesekian kalinya kami kembali ber-french kiss dengan penuh gairah. Kulingkarkan tanganku ke tubuh keponakanku itu dan memeluknya erat. Kulihat Boby bangkit dan turun dari ranjang meninggalkan kami, entah minum atau ke toilet, peduli amat... aku sedang fokus bergumul dengan kakaknya.
Hembusan panas nafasnya mendera wajahku, lenguhannya berpadu dengan rintihan dari mulutku. Desakan-desakan batang penisnya dalam liang vaginaku menimbulkan suara becek yang membuat suasana semakin panas menggairahkan. Jilatan-jilatan lidahnya di telingaku menambah kepuasan biologis pada segenap jiwa dan ragaku.
”Nnngghhh...” aku merintih dan mengejang ketika merasakan orgasme yang kian mendekat.
Darren terus bergerak bagai piston seakan-akan ingin meremukan tubuhku yang kini basah oleh keringat kami berdua
“Ren... lebih cepat! Ayi hampir keluar.. ” desahku
“Tahan yi, kita bareng yah keluarnya” kata Darren terengah-engah tanpa menghentikan genjotannya.
Sebentar kemudian, kurasakan cairan hangat menyembur deras dalam vaginaku yang mengantarku mencapai orgasme yang lebih dahsyat dari yang pertama tadi. Kami mendesah saling berpelukan erat dan menikmati puncak gairah itu bersamaan.
“Tadi itu enak banget... “ desahku tertahan sambil mengelus rambut keponakanku yang sudah berantakan itu.
“Ayi juga... seru banget main sama ayi!” katanya terengah.
Plok...plok.. plok... Boby yang duduk di pinggir ranjang bertepuk tangan menonton pergumulan kami.
“Lagi ga yi? Saya udah reload nih!” tanyanya sambil menggenggam penisnya yang sudah berdiri lagi.
Aku mengangguk, “terakhir yah, udah jam segini, ntar anak-anak nyariin” kataku yang masih menginginkan kepuasan lagi.
Kali ini aku menungging, tangan Boby memegang pinggangku dan tangan satunya mengarahkan penisnya ke vaginaku. Sejenak kemudian kembali benda tumpul keras melesak masuk ke rongga vaginaku. Masih belum mereda aku terbuai orgasme barusan, kembali tubuhku terguncang-guncang hebat. Aku mengocoki penis Darren yang selonjoran di depanku, kurasakan penis itu mulai mengeras lagi di tanganku. Setelah genjotan Boby stabil, aku mulai menjilati penis itu dan mengulumnya, kurasakan aroma cairan orgasmeku sendiri dan spermanya pada benda itu.

Dari pinggang dan pantatku, tangan Boby merambat ke kedua payudaraku dan meremasi serta memainkan putingnya. Aku pun semakin bergairah sehingga hisapanku terhadap penis Darren makin dahsyat dan membuat keponakanku itu melenguh-lenguh nikmat. Suara desahan dan tumbukan alat kelamin sahut-menyahut memenuhi kamar ini. Boby memompa penisnya dengan semangat dan semakin cepat membuat tubuhku bergoncang. Aku juga menggerakkan pantatku untuk mengimbangi keponakanku itu. Cukup lama aku digarap dari belakang sambil mengoral penis Darren sampai kemudian kembali sebuah hentakan dalam-dalam dan tertahan terjadi, diikuti sensasi rasa hangat dari semburan deras yang segera kembali memacu orgasmeku. Aku dan keponakanku itu menceracau tak karuan dengan tubuh bergetar. Boby menekan penisnya dalam-dalam dan berkali-kali cairan kental itu berhamburan mengisi liang rahimku yang licin dan basah, membuatnya makin lengket dan semakin penuh saja. Semua itu bercampur dengan cairan vaginaku yang juga mengucur begitu banyaknya hingga sebagian mengalir keluar melewati celah antara alat kelamin kami yang masih bertaut erat. Boby terus menggerakkan penisnya pelan-pelan seriring orgasme yang makin surut. Kulanjutkan kulumanku terhadap penis Darren ditambah kocokan tanganku.
“Ooh terus yi... ya dikit lagi... isep... aahh!!” tak lama kemudian Darren pun melenguh dan memuncratkan spermanya selagi penisnya masih di mulutku.
Aku langsung menghisap dan melahap cairan itu, tidak terlalu banyak karena sebagian besar sudah keluar pada orgasme sebelumnya. Aku baru melepaskan penisnya setelah benda itu menyusut, demikian pula Boby akhirnya melepas penisnya dari vaginaku. Akhirnya kami bertiga terbaring lemas, tubuh telanjangku telentang antara dua keponakanku itu yang mendekapku. Sungguh ini adalah pertempuran yang paling sengit selama masa liburan ini, begitu melelahkan dan membuat tubuh mandi keringat. Di luar langit sudah mulai gelap.
“Ayi masih BT?” tanya Boby sambil mengelus payudaraku, aku menggeleng sambil tersenyum lemas padanya.
“Kalau masih ayi nginep sini aja” kata Darren lalu mengecup pundakku.
“Itu sih gila namanya, ketahuan kalian pasti dipulangin” kataku.
Setelah ngobrol ringan memulihkan tenaga, aku pun mengangkat tubuhku dan ke kamar mandi, tidak mandi, hanya membersihkan diri seperlunya karena aku harus kembali ke hotel, sudah terlalu lama di sini.
“Yi saya udah panggilin taksi, biar gak usah jalan lagi!” kata Boby ketika aku sedang memakai pakaianku di ruang tengah.
“Oh, thank you Bob!” kataku.
Aku tiba di hotel kami tak lama kemudian dan disambut anak-anak yang senang menerima mainan dan snack yang kubeli tadi. Aku masih belum bicara dengan Martin ketika makan malam. Ia baru minta maaf malamnya setelah anak-anak tidur, ketika aku berendam di bathtub. Martin masuk ke kamar mandi untuk minta maaf dan mengajakku bicara. Aku pun luluh dan kami bercinta di bathtub, tapi sebentar saja karena sudah lelah, apalagi aku baru threesome tadi. Malam itu, guilty pleasure karena bercinta dengan keponakan sendiri menderaku, namun di lain sisi aku merasa sangat puas dan tidur dengan nyenyak di sebelah Martin.

Esoknya adalah hari terakhir liburan, sebelum berangkat dengan pesawat malam ke Jakarta kami menyempatkan diri belanja dulu di mall lain yang menurut dua keponakanku lebih murah. Di tempat ini aku dan Bobby terlibat quickie ketika makan siang. Aku awalnya hendak cuci tangan setelah makan, tak kusangka Boby menyusulku dan mengajakku masuk ke toilet disabilitas di situ.
“Nggak ah... bahaya tau!” tolakku sambil memandang sekeliling yang memang suasana sedang lenggang.
“Sebentar aja yi, kita main cepet!” kata keponakanku itu seraya menarik tanganku masuk ke toilet disabilitas.
Aku hanya meronta setengah tenaga sehingga tidak dapat menahan tarikannya. Begitu mengunci pintu, Boby langsung memepetku ke tempok, menyibak rambutku dan mencium leherku. Tanpa berlama-lama, disingkapnya kaosku lalu dipelorotinya celana pendek beserta celana dalam yang kupakai.
“Oohh Booobb!!” desahku tertahan agar tidak keras ketika keponakanku itu menempelkan wajahnya ke vaginaku, lidah dan jemarinya langsung menggarap kewanitaanku.
Kaki kiriku ia naikkan ke bibir kloset sehingga ia lebih leluasa menjilat dan menghisapi vaginaku.
“Uuhh... jangan lama-lama, aahh... takut ketahuan!!” kataku lirih sambil mendorong kepalanya.
“Oke yi, sekarang aja!” ia bangkit dan membuka celananya sendiri memperlihatkan penisnya yang sudah tegang.
Kami kembali berpelukan, demikian juga bibir kami menyatu lagi saling memberikan energi dan gairah. Tangan Boby meremas bongkahan pantatku, sementara tanganku meraih penisnya dan kuarahkan ke vaginaku. Ia mulai menekan penisnya hingga masuk ke liang senggamaku
“Eeennggghh!!” aku mengeluh pelan sambil menggigit bibir bawah, wajahku merah menahan gejolak nafsu.
Di ruangan toilet yang rentan dipergoki ini, kami benar-benar memanfaatkan situasi dan waktu yang sempit pula yang memicu adrenalin kami. Tanpa buang waktu lagi, Boby mengayun pinggulnya menggenjotiku
"Bob... oohh... oogghh..." aku meracau pelan di telinga keponakanku.
Ia mengayun batang penisnya lebih cepat dan keras sehingga aku merasakan jelasnya gesekan liang kemaluanku dengan batang penisnya. Aku melingkarkan tangaku semakin erat mendekapan keponakanku itu
“Boob… cepetin… ayohh... takut ada orang” aku sesekali melihat ke arah pintu khawatir ada yang mengintip atau melabrak masuk.
“Iii…iya dikit lagi yi…”
Akhirnya dengan sodokan-sodokan kencangnya, kami berhasil mencapai titik yang kami inginkan. Liang vaginaku berkedut-kedut berbarengan dengan penis Boby memuncratkan isinya di dalam sana. Kami berpagutan erat untuk meredam erangan orgasme kami. Setelah Boby mencabut penisnya dari vaginaku, aku segera membersihkan selangkanganku dengan semprotan. Selesai berbenah diri, kami bergantian keluar dari toilet dan kembali ke meja kami. Aku sengaja membeli sedikit coklat dan permen di toko dekat situ sebagai alibi bahwa aku jalan-jalan sambil menurunkan makanan. Malam hari, Darren dan Boby mengantarkan kami ke bandara dan berpamitan.
“Lain kali kita ena-ena lagi ya yi!” kata Darren dekat telingaku ketika berpelukan hendak berangkat.
Akhirnya berakhirlah liburan keluarga yang penuh kesan ini yang terisi dengan keceriaan keluarga sekaligus petualangan liar.

Tidak sampai sebulan sepulang liburan Australia, aku merasakan mual dan alat pengetes kehamilan menyatakan positif. Martin senang mendengar berita ini, begitu pula si kembar, mereka senang mendapat adik. Aku sendiri bukannya tidak senang, tapi aku juga penasaran, bibit siapa yang sedang kukandung ini? Baik Martin dan dua keponakanku itu menyemburkan spermanya di dalam ketika liburan itu. Janin ini tumbuh sehat hingga delapan bulan setelahnya, aku melahirkan secara caesar, seorang bayi laki-laki kami beri nama Justin. Aku dan Martin sangat bersukacita karena akhirnya dikaruniai anak laki-laki juga, namun pada saat yang sama pula, apa yang kukhawatirkan agaknya benar terjadi. Wajah Justin banyak kemiripan denganku, namun nyaris tidak ada kemiripan dengan Martin, malah mata dan hidung lebih mirip ke suaminya ciciku, yang juga mirip dengan dua keponakanku yang pernah terlibat affair itu. Ciciku sendiri juga berkomentar bahwa Justin mirip dengan Darren waktu bayi. Naluriku sebagai seorang wanita mengatakan bahwa ayah biologis dari anak ke-3 ku ini adalah Darren atau Boby, tapi... sudahlah, biarlah rahasia ini kupendam seorang diri. Bagaimanapun Justin adalah anakku, anak suamiku, adik dari Jeni dan Jenaku, dan kami akan menyayanginya sampai kapanpun. Jangan sampai kebahagiaan ini dirusak oleh sebuah kenyataan yang tidak sepantasnya.

THE END?
bagian ini muncul lg asekk
 
Bimabet
Mantab Suhu...!

Terima kasih udah ngasih salah satu cerita terbaik sampai tamat.

Ditunggu cerita-cerita berikutnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd