Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CINTA SAYUR ASEM (by Arczre)

Bimabet
sebenernya dari depan udah ketebak sih... cuma aku nyangkanya rahma meninggal gara2 salsa... secara dia ada dendam sama rian, dia juga sempat ngancam rian waktu kejadian dihotel itu... maaf sok tau ane gan... :taimacan:

updaaaaate.... :galak:
 
ya deh-ya-deh.
Agak nanti ane update. Sekalian one hit ending. Biar mabok baca sekalian.

don't asked me for quick update. Klo nggak kepengen mabok bacanya. :p

=))
 
@RezaSLC
tengs udah diupdate.
 
Ane sih dah,nyangka setelah menikah pasti nanti ada sesuatu yg bikin balik ke anik...
Mengapa?

Di awal cerita saja sudah ketahuan kok, mana yg jadi "pasangan pemeran utama" Hehehe....
Tapi alur cerita yg dibuat begitu pas, sehingga gak bikin kayak sinetron picisan yg tayang setiap bakda magrib itu...

Hahaha....

Mmm.... Btw , kalau boleh ku tebak... Stasiun tv tempat anik bekerja ini milik CT kan? :D

Anyway nice story
:beer:
 
Mewek gw dr awal.:hua:
Gw lbh s7 polygami dah kalo bgini:ngupil:
Tp terserah suhu aja dah..kan true story.jd mau request ga bs..
Kasian rahma:hua:
Kasian anik :hua:
Kasian zain:hua:
Kasian semuanya:hua::hua:
 
BAB XXVIII

Jangan Pergi!




Aku tak mau kamu pergi
Kenapa perjumpaan denganmu begitu singkat?


#Pov Anik#

Aku menangis di hadapan tubuh Mbak Rahma yang terbujur kaku. Aku malah meliput kecelakaan saudaraku sendiri. Kenapa bisa begini?? Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin bahkan menyelamatkan nyawa bayi yang ada di dalam kandungannya. Anaknya Mbak Rahma seorang laki-laki dan sekarang sedang berada di ruang bayi. Rian masih hidup, karena dia tidak menghantam langsung truk tronton itu. Mbak Rahma yang kena telak. Ketika dalam perjalan ke rumah sakit dia masih hidup, tapi setelah itu tidak bisa diselamatkan.

Aku langsung menghubungi keluargaku. Ibuku terutama. Kemudian keluarga Rian. Aku terpaksa minta ijin kepada kru-ku yang lain untuk mengurus Mbak Rahma, Rian, serta anaknya. Mereka mau memahamiku. Aku juga nelpon ke produser tentang apa yang terjadi. Akhirnya beliau mengijinkanku untuk rehat dulu. Karena memang musibah.

Begitu Ibuku datang ia langsung menangis melihat jasad Mbak Rahma. Ibuku histeris. Ia bahkan sampai ngomong sama Rahma.

"Ma, Rahma tangio nduuuk! Tangii! Koq ya tego men awakmu ninggalne aku nduuukk? (Ma, Rahma bangun nak! Koq ya tega kamu ninggalin aku nak?)" suara ibu yang menyayat hati ini membuatku ikut menangis.

Aku lalu beritahukan anaknya Mbak Rahma selamat. Tangis ibuku mulai mereda tapi tetep sedih. Anaknya Mbak Rahma lucu, sedang tidur. Pipinya yang montok itu pun diciumi oleh ibuku. Kasihan anak ini, ia baru saja melihat dunia sudah kehilangan sang ibu.

Aku melihat keluarga Rian yang pergi bareng bersama ibuku pun tak bisa membendung kesedihan. Rian masih tak sadarkan diri. Cedera di kepalanya sepertinya parah. Tulang rusuknya patah. Sekalipun tak sadarkan diri, dia terkadang masih berbisik memanggil-manggil nama istrinya.

Singkat cerita Mbak Rahma pun dikuburkan. Tangis haru mengiringi kepergian Mbak Rahma ini. Teman-temannya ikut melayat, semua orang berduka. Bahkan teman-temannya Rian pun ikut melayat. Mbak Rahma dikuburkan di sebelah makam bapak. Kenapa aku harus kehilangan dua orang yang aku sayangi? Aku tak tega melihat Mbak Rahma yang tubuhnya dibungkus kain kafan itu. Aku tak tega ketika kemudian dia dibaringkan di liang lahat. Ketika kayu-kayu itu menutupi tubuhnya satu persatu, kemudian tanah mulai menimbunnya. Mbaak...kenapa mbak harus pergi?

Mbak Rahma, engkau adalah kakakku yang paling aku kagumi. Orang yang paling aku sayangi. Orang yang bisa membuatku tersenyum. Orang yang membuatku semangat. Engkau selalu menasehatiku untuk menjadi orang yang baik. Peduli kepada keluarga. Semenjak bapak meninggal kamulah yang aku anggap sebagai orang yang paling baik, orang yang kujadikan panutan. Aku ikhlas koq mbak kalau mbak jalan sama Rian, jadi istrinya aku ikhlas. Aku nggak marah. Aku merasa justru pilihan mbak emang tepat.

Kita bermain sejak kecil, bersama lari-lari ketika siang hari panas-panas sampai rambut kita berwarna merah terbakar panas matahari. Kita main di empang, nyari bekicot, main di sawah nyari kedelai trus kita bakar bersama. Aku ingat semuanya mbak, bagaimana mbak selalu membela Rian daripada aku. Aku yang adiknya sendiri malah dicuekin, nggak diperhatikan. Dari situ aku tahu kalau mbak itu sebenarnya suka ama Rian sejak dulu. Aku tak pernah bisa marah ama Mbak Rahma, aku tak pernah bisa marah ama mbak.

Kita berdua sayang ama bapak. Tapi mbaklah yang paling sayang ama bapak. Mbak yang paling dekat ama ibu. Itulah sebabnya mbak shock dan ngurung diri di kamar ketika bapak tiada. Aku tak seperti mbak, aku memang kehilangan bapak, tapi tidak seperti mbak. Mbak merasa kehilangan separuh nyawa mbak. Aku juga sedih, tapi tidak sesedih mbak. Kenapa mbak harus pergi? Apa salahku mbak? Mbak kan udah bahagia ama Rian. Udah mengandung anaknya. Udah jadi dokter seperti yang mbak cita-citakan. Kehidupan mbak udah sempurna. Aku iri sama mbak yang hidup sempurna ini. Rasanya nggak ada yang lain yang mbak butuhkan lagi. Apakah karena itu mbak harus pergi?

Setelah tanah itu menimbun dengan sempurna di puasara Mbak Rahma dan do'a-do'a dipanjatkan, tubuhku lemas. Aku tak sadarkan diri. Orang-orang pun menolongku. Aku tahu-tahu bangun sudah ada di rumah karena terdengar suara tangis bayi. Itu bayinya Mbak Rahma. Bayi yang belum dinamai. Rupanya bayi itu lapar, sehingga ibuku langsung memberinya botol susu.

Aku langsung bangun dan beranjak keluar kamar. Di ruang tamu yang kursi-kursinya dipinggirkan itu aku melihat dua orang berseragam polisi tampak sedang berbincang-bincang dengan Mas Yogi.

"Dari saksi mata mobilnya korban ditabrak dari belakang oleh mobil SUV warna merah, trus mobil korban dihantam truk tronton dari depan. Sayangnya mobil itu lari. Kami akan selidiki lebih lanjut," kata salah satu anggota polisi.

"Terima kasih pak atas informasinya," kata Mas Yogi.

"Kami turut berduka yang sedalam-dalamnya atas peristiwa ini."

Setelah itu kedua polisi itu pamit. Aku yang mendengar itu langsung lemas lagi. Pingsan lagi.

"Lho lho lho! Nik! ANik!" ibuku histeris. Mengetahui aku pingsan lagi.

Total hari itu aku pingsan entah aku pingsan berapa kali. Bangun teringat Mbak Rahma, aku pingsan lagi. Aku sangat terpukul. Sangat sedih.

Butuh waktu tiga hari aku untuk bisa dihibur. Terlebih lagi dengan anaknya Mbak Rahma yang lucu ini. Aku sedikit terhibur. Tanpa persetujuan Rian aku menamai anaknya dengan sebutan Ramadhani, biarin deh nama Rian kan Rian Ramadhani. Toh kalau dia mau nambahin namanya lagi ya silakan. Daripada dipanggil Ucil ama orang-orang.

Sampai sekarang Rian masih belum sadar. Dia telah dipindahkan dari Rumah sakit yang ada di Tuban sana ke Rumah Sakit Muhammadiyah di Kediri. Aku terpaksa minta cuti kepada kantor untuk beberapa waktu. Karena memang keadaanku yang masih shock. Mereka mengijinkannya. Aku menjenguk Rian di rumah sakit. Paling tidak, dia kan jadi kakak iparku sekarang. Masa' nggak pengertian banget?

Dia tampak berada di ruangan bersama Mas Yogi.

"Eh, Anik," sapa Mas Yogi. "Sendirian aja?"

Aku mengangguk. "Bagaimana keadaanya?"

"Yah, masih belum sadar," jawabnya.

Aku mendekat Mas Yogi langsung berdiri. "Sebaiknya aku tinggalkan kalian dulu ya."

Aku tak menjawab. Mas Yogi kemudian keluar dari ruangan ini. Tinggal aku dan Rian sendirian. Dia masih belum sadarkan diri juga. Padahal sudah hampir satu minggu. Lebaran juga barusan lewat kemarin. Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Rian. Entah mungkin reflek atau gimana tanganku menggenggam tangan Rian lagi. Aku genggam tangannya dengan erat. Seperti aku menggenggam tangannya dulu. Rian...bagaimana dia nanti kalau bangun tahu bahwa Mbak Rahma telah pergi? Dia pasti shock, bahkan yang terburuk ia kepingin sekalian nyusul Mbak Rahma.

Aku mengelus-elus rambutnya. Rambut orang yang dulu pernah aku cintai. Wajahnya lebih berwibawa sekarang. Mungkin karena ia telah menjadi seorang ayah. Atau mungkin karena Mbak Rahma yang mengubahnya. Mbak Rahma orangnya perfeksionis, pasti Rian diubah agar dia menjadi seorang yang baik, jadi seorang suami yang baik. Dari kamar kami, kamar Mbak Rahmalah yang paling rapi, pasti Rian diubah agar jadi cowok yang rapi. Koq aku senyum-senyum sendiri sekarang?

"Rahma?" bisik Rian.

Eh? Dia bangun!

"Iya, ini aku," ****** kenapa aku bilang begitu?

"Rahma?" lagi-lagi ia memanggil nama Mbak Rahma. Duh aku makin sedih. Air mataku mengalir lagi.

"Aku di sini yang, aku di sini," aku ingin jadi Mbak Rahma untuk sementara waktu biar ia nggak shock.

"Bukan, kamu bukan Rahma kamu Anik. Mana Rahma?" katanya. Eh, dia tahu?

"Rian, ini aku Rahma," kataku.

"Nggak, Rahma nggak pernah megang tanganku kuat-kuat, yang pernah megang seperti ini hanya Anik," katanya. Ia masih mengigau. Aku tak bisa membendung tangisku. Ia masih ingat cara aku memegang tangannya. Hatiku seperti tertusuk pisau rasanya.

"Iya, aku Anik, aku Anik, Yan," kataku.

Rian, masih mengigau terus. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Akhirnya, setelah itu aku bertekad untuk menjaga Rian sampai ia sadar.

****

"Hai, Rian? Masih belum bangun?" kataku sambil membawa bunga segar dan kutaruh di pot bunga. "Aku hari ini bacain kamu kitab suci ya, biar cepet sembuh."

Ya, itulah hari-hariku. Aku menunggui Rian yang kamar pasien. Aku menunggui dia persis seperti aku menunggui bapak dulu. Minta tolong ke suster untuk ganti infus, mengganti pispot untuk buang air, semuanya aku lakukan. Aku nggak perlu merasa jijik. Ini aku lakukan benar-benar karena semata-mata aku kasihan ama dia. Mas Yogi sebenarnya tidak mengijinkan, tapi aku harus melakukannya.

Hingga suatu malam, aku tertidur di sampingnya sambil memeluk lengannya. Tiba-tiba Rian terbangun. Ia seperti orang yang kaget melihat sesuatu.

"Rahma! Rahma! Rahma!" panggilnya. Aku juga terkejut. Aku pun terbangun karenanya.

"Rian, Rian, sabaarr...tenang! Tenanglah!" kataku.

"Rahma? Di mana Rahma?" tanyanya.

"Rahma baik-baik saja, dia sedang istirahat," kataku.

Nafas Rian terengah-engah. Aku segera menekan tombol untuk memanggil suster. Suster pun datang dan memeriksa kondisi Rian. Kemudian dikatakan kalau Rian baik-baik saja. Kalau sudah sadar berarti kondisinya sudah stabil.

Rian berbaring sekarang. Ia terus bertanya di mana Rahma. Aku mencoba mengalihkan perhatian.

"Rahma sudah istirahat, dia baik-baik saja. Ngomong-ngomong kamu punya anak cowok lho," kataku.

"Iya ta? Beneran?"

Aku mengangguk, "Iya, beneran. Kamu belum namain dia, karena nunggu kamu bangun kelamaan akhirnay kami panggil Ramadhani deh, kan namamu juga ada Ramadhaninya."

Rian tersenyum. Wajahnya menunjukkan wajah bahagia. "Makasih ya, Nik."

"Sama-sama, dah sekarang kamu istirahat ya. Aku seneng kamu sudah bangun. Aku bisa pergi, biar Mas Yogi yang menjagamu sekarang," kataku.

"Kamu selama ini jagain aku?" tanya Rian.

"Iya, nggak suka ya?"

"Nggak koq, aku berterima kasih atas semuanya. Kirim salam buat Rahma ya, bilang aku akan segera pulang!" katanya.

"Iya, aku akan sampaikan," kataku.

Aku kemudian bergegas keluar kamar. Aku pun menangis. Bagaimana aku bisa kirim salam ke Rahma? Dia udah nggak ada Rian. Mbak Rahma, aku harus bagaimana?

Di luar aku bertemu dengan Mas Yogi. Aku beritahukan kalau Rian sudah sadar tapi aku minta dia untuk tidak menceritakan tentang Rahma untuk sementara waktu. Mas Yogi bisa memahami hal itu. Akhirnya aku bisa kembali lagi ke rumah. Tugasku sudah selesai di sini.
 
BAB XXIX

Kembali



Terima kasih untuk segalanya.....


#Pov Rian#

Dua hari kemudian aku keluar dari rumah sakit, setelah perjumpaan dengan Anik waktu itu. Tulang rusukku masih terasa sakit. Tapi aku sudah pulang aja. Dan akhirnya aku tahu kebenarannya. Istriku telah tiada. Awalnya mereka menyembunyikannya dariku, tapi akhirnya mereka tak menutupinya lagi. Dan kini aku berada di depan makam istriku. Aku menangis di sana.

Rahma, kenapa kamu pergi? Bukankah kamu berjanji akan menemaniku selamanya? Rahma, kenapa perjumpaan kepadamu begitu singkat? Rahmaku, sayangku, cintaku....kenapa kamu pergi?

Aku kemudian berbaring di sisi kuburan Rahma dan aku peluk liang lahatnya. Mas Yogi yang mendampingiku pun tak kuasa menahan tangis. Ia menepuk-nepuk pundakku.

"Udah Yan, udahlah. Ikhlaskan! Kita juga semuanya kehilangan. Pulang yuk!" ajaknya.

"Aku ingin nemani Rahma mas, Rahma sendirian di sini," kataku.

"Udah dong, Rahma udah bahagia di alam sana, Yan. Dia sudah ditemani ama bapaknya, kamu nggak usah khawatir lagi," kata Mas Yogi.

"Tapi kenapa begitu cepat mas? Kenapa begitu cepat?" aku masih sesenggukan.

"Sudah Yan, pulang yuk! Kasihan anakmu di rumah sendirian. Dia adalah hadiah yang diberikan Rahma buatmu. Kamu harusnya menjaganya. Jangan bersedih!" kata Mas Yogi.

Aku baru ingat kalau aku sudah punya anak. Anak pemberian Rahma. Sebuah anugrah yang tidak akan ternilai. Aku ciumi kuburan Rahma lalu aku berdiri.

"Aku janji Ma, aku akan jaga anak kita. Aku akan didik anak kita agar jadi anak yang baik, berbakti ama orang tua, jadi anak yang sholih sebagaimana cita-citamu. Selamat tinggal sayangku, cintaku, aku tak pernah menyangka kisah kita hanya sampai di sini saja," aku pun berbalik dengan dirangkul oleh Mas Yogi.

***

Dua bulan kemudian aku sudah kembali bekerja. Aku tak bisa terus-terusan bersedih. Anakku aku beri nama Rangga Ramadhani. Dia menjadi permata bagi kami. Mertuaku yang sekarang merawat Rangga. Bahkan di Kediri sana dia jadi rebutan buat diasuh oleh ibuku atau mertuaku. Aku geli sendiri melihat mereka yang rebutin Rangga. Emang Rangga lucu, imut, menggemaskan. Aku kembali sibuk. Dan hanya seminggu sekali pulang ke Kediri nengok anak. Senin sampai Sabtu ada di Surabaya. Capek? Iya. Tapi mau gimana lagi? Demi anakku.

Untuk sebulan ini aku nggak pernah mikirin tentang Anik. Tentang bagaimana ia terus menemaniku sampai aku sadar dari koma. Namun, entah kenapa dalam diriku ada sesuatu yang hilang.

Hari Jum'at, aku duduk di ruang tamu sendirian. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Rahma. Biasanya sekarang ia sudah menyiapkan makan malam. Dan dia pasti ngamplok aku sambil tangannya usil megangin si otong. Atau kadang juga aku berciuman ama dia sampai klomoh. Kalau sudah begitu pasti lanjut. Duh, jadi inget almarhum. Fotonya masih aku pajang di dinding, foto kami berdua tepatnya. Foto kami yang mana aku memeluk dia dari belakang dan dia tersenyum. Rahma memakai kerudung putih, gamis putih. Senyumnya sangat khas.

Aku jadi kangen ama dia. Aku kemudian membuka laptopku dan mulai online. Aku sudah lama nggak buka facebook, di sana ada banyak sekali ucapan dukacita ke aku. Aku hanya bisa membalas terima kasih atas ucapan mereka. Kemudian aku buka akun facebook Rahma dan kemudian aku laporkan bahwa dia telah tiada di facebook. Agar tak ada orang yang iseng pake akun dia.

TUNG! Tiba-tiba ada BBM masuk. Aku ambil ponselku. Eh dari Anik?

Anik: ping!
Bagaimana keadaanmu?

Me: Baik-baik aja. Mencoba menyesuaikan hidup sendiri. Kamu?

Anik: Aku baik-baik saja menyesuaikan hidup sendiri juga.

Me: Lho, kamu putus ama Zain?

Anik: Yup, tiga hari yang lalu.

Me: Kenapa?

Anik: Ada deh.

Me: Padahal kan dia baik.

Anik: Masalahnya bukan baik atau nggak. Keluarganya yang nggak setuju.

Me: Oh, begitu.

Anik: Gimana kabar ponakanku? Kamu beri nama siapa akhirnya?

Me: Aku beri nama Rangga. Dia jadi rebutan tuh di rumah.

Anik: Hahahaha. Seperti bapaknya jadi rebutan.

Me: :p

Anik: Eh, maaf. Aku koq bilang itu lagi.

Me: Nggak apa-apa. Semua orang juga tahu koq hubungan kita di masa lalu. Aku mau ngucapin terima kasih sama kamu Nik.

Anik: Makasih buat apa?

Me: Kamu udah nemani aku selama aku di rumah sakit.

Anik: Ah, ama ipar sendiri koq. Wajar dong.

Me: Moga pisahnya Zain ama kamu bener karena keluarga mereka nggak setuju bukan karena aku.

Anik: Beneran koq, mereka nggak setuju aku dekat ama Zain. Bukan karena kamu.

Me: Syukurlah. Aku tak mau gara-gara aku malah merusak hubungan kalian.

Anik: Tenang aja, nggak koq.

Me: Aku kangen Nik, ama Rahma. Duduk di ruangan tamu sendirian begini bikin aku ingat dia terus. Aku terus memandangi fotonya. Rasanya bagian dari diriku ada yang hilang.

Anik: Yang sabar Rian, aku juga kehilangan Mbak Rahma koq. Ngomongin yang lain yuk, jangan ngomongin Mbak Rahma terus. Aku tambah sedih nih.

Me: Oke. Kamu sendiri sekarang bagaimana? Masih jadi reporter?

Anik: Masihlah. Ngejar berita kasus korupsi pejabat.

Me: Oh iya, lagi trend itu sekarang.

Anik: Aku sampai bingung ama negara ini, koq ya jadi gini ya? Ribet banget ngurusi pejabat-pejabat yang bermuka dua itu. Pengen ku gampar aja tuh, aku kadang juga gemes kepengen nonjok wajah mereka. Soalnya di depan kamera mereka sok manis.

Me: Tapi tetep jaga profesionalitas dong ya?

Anik: Iyalah, gila apa nonjok beneran? Bisa dipecat aku.

Me: :D

Anik: Ye malah ketawa, beneran ini.

Me: Iya, iya. Kamu kapan mudik?

Anik: Aku udah ngambil cuti nggak bisa mudik. Kamu tahu kan?

Me: Gara-gara aku ya?

Anik: Yaaa...nggak juga sih.

Me: Sorry deh kalau gitu. Aku boleh ketemu ama kamu?

Anik: Hah? Ketemuan? Kamu di Surabaya gitu aku di Jakarta koq.

Me: Yah, bisa diatur itu. Aku bisa koq pergi ke Jakarta kalau kamu mau ketemuan.

Anik: Nggak ah. Aku nggak mau, Yan. Nanti kenangan kita bakal muncul lagi.

Me: Kenapa? Kamu takut?

Anik: Bukan begitu. Aku masih nggak bisa melupakan Mbak Rahma. Aku nggak enak kalau kamu deket ama aku lagi.

Me: Aku tahu. Baiklah, aku juga tak memaksa. Aku mau telpon kamu sekarang.

Aku kemudian mencari nomor telepon Anik dan menelponnya.

"Halo?" sapa Anik.

"Nik, aku ingin ngomong ini secara langsung ama kamu," kataku.

"Apaan?"

"Aku ingin berterima kasih kepadamu. Atas segalanya."

"Iya, aku ngerti. Sama-sama Rian."

"Maukah kamu kembali kepadaku, Nik?"

Aku tak mendengar suara Anik untuk beberapa saat. Ia sepertinya diam. Nafasnya terdengar berat di telepon.

"Apa kamu bilang?" tanya Anik.

"Maukah kamu kembali kepadaku? Aku ingin kamu kembali kepadaku, Nik. Aku ingin menulis kisah cinta kita bersama lagi. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi, aku ingin bersamamu Nik. Aku ingin kembali bersamamu."

"Kenapa kamu ingin kembali?"

"Aku memang orang yang bodoh, menyukai dua kakak beradik sekaligus. Tapi aku harus memilih salah satunya. Dan kini satu orang sudah menungguku di surga sana. Aku ingin yang satu lagi menemaniku agar kita bisa bertemu bersama-sama lagi di surga. Aku masih mencintaimu sampai sekarang."

Anik agak lama menjawab, "Aku tahu itu Rian. Aku tahu. Tapi, apa mungkin kita bisa bersama lagi? Aku di sini kamu di sana?"

"Kalau kamu tak bisa ke sini aku yang akan ke sana. Kamu masih cinta ama aku kan?"

"Aku tak tahu Rian."

"Kalau kamu tak mencintaiku kenapa kamu berada di rumah sakit menemaniku?"

"Itu wajar kan aku iparmu."

"Lalu kenapa kamu menghubungiku sekarang?"

"Aku ingin tahu kabarmu. Itu aja."

"Aku rindu ama kamu, aku juga rindu ama Rahma. Setidaknya aku ingin salah satu dari kalian datang kemari. Menemaniku."

Anik terlihat bernafas berat. "Kamu itu....bodoh, begooo banget... entah kenapa karena begomu itu aku jadi suka ama kamu." Anik aku dengar menangis di telepon.

"Kamu masih ingat kita dulu teleponan sampai salah satu dari kita ketiduran?"

"Iya, aku masih ingat."

"Kamu masih ingat aku ucapkan perasaanku kepadamu di atas Gua Selomangleng?"

"Iya, aku masih ingat."

"Kamu masih ingat first kiss kita di Sumber Podang dulu?"

"Iya, aku masih ingat. Aku masih ingat Rian. Ingat semuanya."

"Kamu masih ingat kita di lantai dua rumahmu itu?"

"Aku masih ingat," Anik tertawa. "Aku masih ingat waktu itu."

"Aku tak ingin setiap memori itu terhapus begitu saja. Maukah kamu kembali kepadaku?"

"Aku......hiks...aku mau....aku mauu....hiks....aku mau Rian. Aku mau kembali kepadamu."
 
Alamak baru refresh udah ada update an aja. Padahal tadi pas baca cerita hal 16 ini belum ada.
Keren suhu,ijin kan jadi pengagum mu. 😁😁
 
Bajiruuuuutttt...!
Kutunggu one shot mu Suhu..
Any time Brada.. Any time... :papi:
 
Aaahhh. . .jdi mewek nh suhu:suhu:
Btw jgn2 yg nbrak pke SUV th si Salsa lgi:marah:
 
BAB XXX

Darah itu Merah



Seseorang yang pernah memberikan kehidupan kepada orang lain
Pasti akan diampuni
~ by Anonymous

Mas Yogi menemuiku di Surabaya. Aku agak terkejut juga dia menemuiku. Aku buru-buru membereskan berkas-berkas yang tercecer di atas meja kerjaku.

"Gimana kabar?" tanyanya.

"Yo ngene iki mas," jawabku.

"Yan, aku wis ngerti sopo sing nabrak awakmu (Yan, aku tahu siapa yang nabrak dirimu)"

Aku yang saat itu sedang beres-beres menghentikan aktivitasku. Aku menoleh ke Mas Yogi yang duduk di sofa.

"Siapa?" tanyaku.

"Salsa," jawabnya.

"Dari mana mas tahu?"

"Ceritanya panjang. Duduklah aku ceritain!" kata Mas Yogi.

Mas Yogi kemudian cerita panjang lebar mengenai Salsa. Semenjak kami pergoki Salsa di Hotel itu dia benar-benar dendam kepadaku. Apalagi setelah Mas Yogi menceraikan dia. Dia merana hidupnya dan menjadi lonte high class. Dia hanya menerima mereka yang mau membayarnya mahal. Hingga kemudian dia pun merayu salah seorang konglomerat agar bisa menikahinya. Akhirnya mereka pun menikah.

Salsa kemudian mulai mengumpulkan banyak uang dari sana. Hidupnya cukup royal dan mewah. Dan kebetulan waktu itu dia melihatku dan Rahma sedang berada di jalur Pantura. Karena kalut ia pun menabrakkan mobil SUV warna merahnya ke arah mobilku. Akhirnya ia tabrakkan mobilnya ke mobilku hingga terjadilah hal itu. Dia membalas dendam kepadaku. Setelah itu ia lari dan mencoba menyembunyikan mobilnya, tapi sudah terlacak. Ia sekarang menjadi buron.

Mendengar cerita Mas Yogi ini membuatku pedih. Hatiku seperti terluka yang amat dalam. Aku menarik nafas dalam-dalam menghirup banyak-banyak oksigen ke dalam paru-paruku.

"Trus, sekarang?" tanyaku.

"Salsa sudah terendus pihak kepolisian dari plat nomor kendaraannya. Tapi...aku berhasil menangkapnya," jawab Mas Yogi.

"Maksud mas?"

"Aku tangkap dia. Sekarang aku sekap ama teman-temanku. Aku ingin memberitahukannya kepadamu, barangkali kamu ingin melakukan sesuatu kepadanya. Sebelum ia diserahkan kepada yang berwajib."

"Di mana dia?"

"Di Surabaya sini aja. Mau ikut?"

Aku agak ragu. Aku melihat fotoku dan Rahma. Darahku tiba-tiba mendidih. Salsa, ia harus membayar mahal.

Aku diajak Mas Yogi ke sebuah daerah di salah satu sudut Kota Surabaya. Daerah ini di kawasan Keputih, suasananya sangat sepi. Perumahannya juga terlihat sepi tak ada orang yang lalu lalang. Kami pun berhenti di sebuah rumah yang pagarnya tertutup. Rumah lantai dua yang kanan-kirinya masih sepi. Setelah pagar dibuka mobil kami pun masuk. Mas Yogi mengunci pagar lagi. Aku disuruh masuk dan naik ke lantai dua.

Di lantai dua ini ada sebuah kamar yang luas. Tampak ada empat orang di dalam kamar itu. Badan mereka cukup kekar, bahkan salah seorang dari mereka tatoan.

"Kenalin ini temen-temenku," kata Mas Yogi.

Aku menyalami teman-teman Mas Yogi, nama mereka Ucek, Kancil, Raihan dan Aswan. Kancil lebih terlihat seperti preman. Badannya besar, gendut, nggak ada kekarnya sama sekali.

"Noh, Si Salsa!" Mas Yogi menunjuk ke seorang cewek berkerudung merah terikat dan mulutnya disumpal. Matanya melotot melihatku.

Darahku benar-benar mendidih sekarang. Aku jadi ingat bahwa ia akan membalasku. Jadi ini balas dendamnya. Baiklah. Aku ambil sebuah kursi dan duduk menghadap kepadanya. Kakiku kusilangkan.

"Mulutnya, biar dia bisa bicara!" kataku.

Mas Yogi mengambil sumpalan di mulut Salsa.

"Rian, apa kabar? Hahahaha, gimana rasanya kehilangan? Enak nggak?" kata Salsa. "Aku puas Rian, aku puaasss...puas sekali."

Aku tak bicara. Mas Yogi ingin menampar Salsa aku larang.

"Biar dia bicara mas," kataku.

"Mau apa kalian? Mau bunuh aku? Silakan! Biar kita sama-sama jadi kriminal, kalau toh kalian lepaskan aku akan laporkan kalian ke yang berwajib. Suamiku orang kaya, punya uang buat nangkap kalian," kata Salsa.

Aku memejamkan mata. Rasa sakit hatiku sudah tak tertahankan lagi.

"Mas, boleh aku melakukan sesuatu kepada Salsa?" tanyaku.

"Ya silakan aja, dia milikmu. Dia hakmu," kata Mas Yogi. "Lakukan apa yang mesti kamu lakukan kepadanya."

Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku lepas kerudungnya Salsa dengan kasar.

"Engkau nggak pantas pakai ini," kataku.

Dengan kasar aku melepaskan seluruh bajunya, aku robek, branya aku copot. Aku lepas seluruh pakaiannya hingga ia telanjang.

"Nah, ini baru pas," kataku.

"Mau apa kau?" tanya Salsa. "Lepasin aku! Kau mau merkosa aku?"

"Dari dulu kamu itu emang Lonte, nggak puas ama satu kontol. Kamu ingin dipuaskan ama banyak kontol bukan? Mas Yogi, perkosa dia rame-rame!" kataku.

"Hah? Yan, kowe yakin?" tanya Mas Yogi.

"Salsa itu nggak akan bisa disakiti pake pukulan atau pun dibunuh. Aku nggak mau bunuh dia dengan cara itu. Aku ingin dia diperkosa sampai mampus. Biar memeknya kerasa ngilu, karena hanya dengan cara itu ia bisa mati dan aku bisa puas," kataku.

Semua teman-temannya Mas Yogi saling berpandangan.

Mas Yogi menghela nafa, "Kamu denger kan apa kata adikku? Silakan bersenang-senang."

"Naah, gitu dong, dari tadi kek. Yuk!" kata Kancil. Ia mulai melepaskan bajunya satu-per-satu.

"Mau apa kalian? Brengsek! Lepasin aku, lepasin aku!" Salsa meronta-ronta.

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi Salsa. Belum ia sempat mengaduh Kancil sudah mengenyot payudaranya. Disusul dengan yang lain, mereka juga telanjang mulai menggeranyangi Salsa. Salsa meronta-ronta ketika kedua dadanya dikenyot oleh dua orang laki-laki. Memeknya pun disodok-sodok oleh jari Ucek. Sedangkan Aswan sibuk menciumi paha Salsa.

"Brengsek kamu Rian! Brengsek! Kamu kira istrimu bakal kembali kamu giniin aku?" tanya Salsa.

"Aku tahu istriku nggak bakal kembali. Aku hanya ingin memberikan apa yang kamu inginkan, kamu kepingin dipuasin kan? Ya, aku berikan sekarang. Dan kamu jangan bilang aku brengsek karena hal ini," kataku.

Maka digaraplah Salsa oleh keempat temannya Mas Yogi. Aku dan Mas Yogi hanya melihat mereka saja. Aku lihat semuanya tanpa berkedip. Bagaimana Salsa meronta-ronta ketika tubuhnya digeranyangi. Ketika kemaluannya disodok bergiliran oleh keempat preman ini. Ketika duburnya dianal. Semua lubang diperkosa oleh keempat lelaki ini. Aku menyaksikan tanpa berkedip. Rasanya aku benar-benar belum puas. Penyiksaannya kurang. Keempat pria ini pun sampai lelah menggarap Salsa, tubuh Salsa belepotan sperma di mana-mana. Tapi ia terus mengumpatku.

"Ayo, siapa lagi? Aku masih kuat! Ayo!" kata Salsa.

"Jancok, lonte ini kuat juga," kata Kancil.

"Istirahat aja dulu, masih banyak waktu," kataku.

Setelah istirahat beberapa waktu, kembali lagi Salsa digarap. Kini Mas Yogi ikutan menggarap mantan istrinya itu. Tapi tidak sebagai seorang istri, melainkan sebagai seorang pelacur. Ditamparnya mantan istrinya itu berkali-kali. Lalu digarapnya. Entah berapa lama Mas Yogi menggarap Salsa, yang jelas hari sudah larut malam dan mereka terus menggarap Salsa. Aku tetap duduk di kursi tak berkedip. Pemandangan ini sama sekali tak membuatku horni karena dadaku benar-benar dipenuhi oleh dendam.

Semua orang sudah terkapar menggarap Salsa. Salsa sendiri sudah tak berdaya. Tubuhnya lemes. Ia bahkan sampai be'ol di atas ranjang gara-gara disodok terus duburnya. Salsa sekarang malah mirip mayat hidup, ia masih bernafas dan menatapku. Kali ini dengan mengiba.

"Rian, sudah Rian. Aku sudah tak sanggup lagi, tolong sudahi. Aku minta maaf, memekku ngilu, duburku ngilu, udah Rian. Tolong sudahi," katanya.

Aku masih duduk melihatnya. Menatap tajam kepada matanya. Aku belum beranjak dari tempatku duduk. Aku lihat keempat teman Mas Yogi dan Mas Yogi sendiri duduk di lantai bawah. Mereka lemes juga menggarap Salsa.

"Kamu mengaku salah?" tanyaku.

"Iya, aku mengaku salah. Maafkan aku. Aku menyesal, aku menyesal Rian," katanya.

"Aku akan membiarkanmu hidup. Tapi kalau aku lihat lagi batang hidungmu, aku akan menghabisimu," kataku. Aku berdir dari kursiku. "Mas Yogi, udah mas. Lepaskan dia!"

"Tapi Yan, dia udah bikin istrimu pergi!" katanya.

"Aku tahu, tapi dia juga ibu dari anak-anak mas bukan? Aku tak mau jadi orang jahat. Biarkan dia pergi," kataku. Setelah itu aku keluar dari kamarnya.
 
sesuai prediksi ku ni...
rahma mati tapi bayinya bisa diselamatkan...
akhirnya rian (turun ranjang) menikahi anik...
 
:baca: lagi cerita suhu arczre yang :mantap:
memang jika dari awal sudah saling ada firasat, biasanya akan terjadi.

:beer:
 
Bimabet
:jempol:
seperti biasa ente emang kereen..

:papi:
Komennya tar ja y gan ane harus
Ngejar mobil SUV merah diduga dikendarai tersangka Salsa
:polisi:
:motor1: :motor2: :motor3:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd