Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CINTA SAYUR ASEM (by Arczre)

Bimabet
nunggu lanjutannya jam 11 malam sama jam 5 pagi WIB.

:beer:
 
cerita menyentuh banget gan

KEDIRI............ lama aku tidak main kesana N berkumpul sama temen2 di sana

pa lagi klau nongkrong di gumul............ kapan ya bisa main kesana lagi
 
:(( :(( :(( Sukurlah anik selamat...
 
BAB XXVI

Kenapa Masih Ingat?



Cinta Pertama
cinta yang tak akan pernah mati
dan akan kamu ingat selamanya


#Pov Anik#

Zain benar-benar membuktikan bahwa dia memang pantas disebut lelaki sejati. Dan iya, aku sudah move on. Dan aku sudah pacaran ama dia. Dia benar-benar peduli kepadaku dan melindungiku. Aku sangat bersyukur ia jadi pacarku. Apalagi sebenarnya Zain itu orangnya romantis. Hari-hari kami lalui dengan jalan bersama, mengerjakan skripsi bersama dan tibalah aku akan lulus. Fiuh...mau ujian skripsi saja bingungnya setengah mati, berdebar-debar.

Dan ucapan terima kasih yang aku bingung mau nulis apa. Akhirnya entah bagaimana aku menulis sesuatu yang tidak aku duga. Tiba di hari ujian skripsi. Aku membacakan skripsiku terutama ucapan terima kasih. Inilah yang tidak aku duga.

"Ucapan Terima kasih ditujukan kepada
1. Kepada Tuhan YME yang telah memberikanku hidup
2. Kepada kedua orang tuaku yang telah merawatku, terutama ayah yang selalu memanjakanku.
3. Kepada Mbak Rahma yang aku kagumi sehingga menjadi penyemangatku agar terus berjuang.
4. Kepada Rian yang tak akan aku lupakan......."

Semuanya hening. Mungkin mereka bingung, siapa Rian?

Hah? Aku nggak salah tulis? aku mengucek-ucek mataku. Nomor 4 beneran itu Rian. Kapan aku nulisnya? Perasaan aku nggak nulis ini deh. Aku melihat para peserta seminar menantiku untuk membacakan skripsiku. Aku bingung kenapa nama Rian ada di sana??? Aku sendiri yang mengetiknya, akulah yang membacanya, tapi kenapa nomor 4 itu ada di sana? Siapa yang menambahkan? Aku sendirikah yang menulis tanpa sadar?

Aku pun melanjutkan membaca nomor 5 dan seterusnya. Nomor 5 baru nama Zain di sana. Koq aneh ya? Aku melihat ke arah peserta, aku tak melihat Zain. Untung dia tak ada, kalau ada bisa geger. Ujian skripsi berlangsung tegang. Iya dong. Tapi aku bisa melewatinya. Walaupun nilaiku tak mendapat A, cuma B. Aku sudah senang. Paling tidak aku lulus. Tinggal wisuda. Legaaaaaaaaaa.....

"Selamat ya," kata Zain.

"Makasih," kataku.

"Besok aku ujian, kamu datang ya," katanya.

"Huuu...ceweknya ujian kamu nggak datang, giliran kamu ujian aku suruh datang," gerutuku.

"Maaf deh, aku soalnya ada keperluan. Bapak ibu jenguk aku kepengen tahu lansung aku ujian skripsi," kataku.

"Wah, hebat dong. Ibuku seh nggak bakal datang."

"Iya, aku ngerti. Oh iya, katanya kamu akan direkrut ya ama stasiun tv. Beneran itu?"

"Aku sudah ngajuin sih, mereka tertarik emang jadiin aku reporter. Wuihh...seneng deh pokoknya. Tinggal nunggu skripsiku selesai aku bisa langsung join."

"Koq bisa sih? Enak banget kamu."

"Kebetulan pas waktu career day aku ikut seleksi mereka. Mereka tertarik ama aku akhirnya jadi deh."

"Keren keren," kata Zain. "Ya udah, besok datang ya."

Aku pulang hari itu setelah mendapatkan nilai skripsi. Dan juga tentunya temen-temen ngucapin selamat. Ahh...selesai deh akhirnya. Pulang aku sudah disambut oleh Pak Dhe dan Bu Dhe. Mereka senang mendengarkan kabar skripsiku dapat nilai B. Yah, lumayan daripada C. Hehehehe.

Malamnya aku kembali buka skype. Udah janjian ama Mbak Rahma.

"Assalaamualaikum, bu dokter," sapaku.

"Wa alaikumsalam, gimana dek skripsinya?" aku melihat dari video chat wajah Mbak Rahma ini sekilas beneran mirip aku. Pake kacamata sekarang. Pake kemeja putih.

"Lumayan mbak, dapat B," kataku.

"Wah, bagus itu."

"Bagusan mbak dong, dapat A."

Rahma tampak sedang memberi isyarat kepada seseorang. Lagi ngomong ama siapa dia? Spekaernya dimatiin. Aku kemudian melihat seseorang yang asing di layar video chat, nggak kenal aku ama dia. Dia lalu pasang speakernya lagi.

"Siapa barusan mbak?" tanyaku.

"Asisten," jawabnya.

"Asisten?"

"Aku sekarang kerja di Dokter Bersama Di Surabaya," jelasnya.

"Ooo...pantes pake baju putih. Lho, Sampeyan di Surabaya? Sama Mas Rian berarti?" Koq aku manggil Rian Mas ya? Mungkin ngikutin aja karena diakan jadi kakak iparku.

"Iya dampingi suamiku di sini, tambah gerah aku di Surabaya ini. Padahal dulu pas kuliah nggak segerah ini."

"Mas Rian masih di percetakan?"

"He-eh, dia naik pangkat sekarang jadi Manager, sibuk dari pagi sampai maghrib baru pulang. Tiap hari ya ngurusin buku melulu. Kadang kerjaannya sampai di bawa pulang."

"Waah...sukses ya."

"Sebentar ya Nik, ada pasien. Tunggu bentaaarr aja...nggak lama koq."

Aku mengangguk. Kulihat Mbak Rahma berdiri. Eh...? Perutnya buncit? Lho, Mbak Rahma udah hamil ya? Koq dia nggak bilang-bilang kalau hamil? Aku tersenyum melihatnya turut senang pastinya dan penasaran. Mbak Rahma pasti bahagia dapat suami seperti Rian. Sekarang kebahagiaannya bertambah dengan calon si buah hati. Duh, jadi iri aku kepengen juga. Hihihihi. Aku menunggu mbak Rahma lumayanlah semenit dua menit gitu, setelah itu dia duduk lagi di depan komputernya.

"Mbak, sampeyan hamil ya?" tanyaku

"Iyolah, hampir tiap hari digarap ama Suamiku, jadi deh. Hehehehe," katanya.

"Hehehehe, maklum dong penganten baru masa' didiemin aja," aku menjulurkan lidahku sambil ketawa. "Cowok apa cewek?"

"Belum aku USG sih, ibu malah nebak-nebak berhadiah gitu. Ah pasti ini cewek bentuknya bulet, padahal kan ya nggak mesti begitu. Kamu gimana di Jakarta? Udah punya cowok belum?"

"Udah sih, sama Zain."

"Siapa nih? Salah satu korbanmu?"

"Hehehehe, tahu aja nih mbak."

"Tahu dong, sepak terjangmu seperti apa aku tahu."

"Hehehehe...aku kemarin itu ada kejadian yang menyedihkan mbak. Hampir saja aku diperkosa."

"Hah?? Yang bener dek? Gimana kejadiannya?"

Aku kemudian menceritakan panjang lebar kejadian yang menimpaku. Sampai kemudian Zain menolongku.

"Syukurlah kamu nggak apa-apa," katanya. Tapi raut wajah Mbak Rahma nggak senang. Aku bisa perhatikan dari matanya. Seperti menyiratkan sesuatu.

"Kenapa mbak? Ada apa?" tanyaku.

"Aku nggak mau nyembunyiin ini dari kamu. Beberapa waktu yang lalu Rian ngigau manggil-manggil namamu. Ketika aku bangunin ia mimpi buruk, ia mimpi kalau kamu tenggelam gitu. Aku cuma bilang ah itu bunga tidur aja, nggak usah dipikirkan. Dia akhirnya tenang. Tapi aku salah. Dia terus nggak tenang, kerjaannya nggak beres, semuanya salah. Dia bahkan masak air saja sampai pancinya kering. Dia lalu bilang kepadaku, kalau dia punya firasat buruk, akhirnya ia menghubungi Yuli katanya mencegah agar kamu jangan keluar rumah atau apa gitu. Ternyata itu ya?"

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat itu, entah kenapa. Sesak sekali. Nggak, nggak mungkin. Sudah cukup. Jangan sampai aku ada rasa lagi sama Rian. Aku udah punya cowok. Tapi itulah yang terjadi. Mendengar penjelasan kakakku ini, aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang beberapa saat lalu hilang. Ibarat bensin, sekarang terkena percikan api, timbullah api. Ya Ampun...nggak mungkin aku merasakan ini lagi.

"Nik, aku tak bisa mencegah Rian dengan perasaannya. Tapi selama ini ia sudah baik sebagai suami, mencintaiku sepenuhnya, memberikan nafkah lahir batin dengan sempurna. Terus terang aku cemburu ama kamu. Walaupun Rian tak pernah bilang tapi, aku tahu di alam bawah sadarnya dia masih menginginkanmu. Tapi, kenapa juga aku harus cemburu ama adikku sendiri?" aku lihat wajah Mbak Rahma sedih.

"Mbak, jangan gitu dong. Kisahku ama Rian udah berakhir."

"Iya aku tahu itu, aku juga tahu. Rian sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu. Dia bahkan sampai ingin menghapus semua kenangan tentangmu. Itulah sebabnya kenapa ia tetap tinggal di Surabaya, pindah ke sini. Sebab kalau dia kembali ke Kediri ia takut kenangan akan dirimu kembali lagi. Dia nggak mau itu. Aku hargai semua jerih payahnya. Dan dia selalu memberikanku kejutan tiap hari. Sampai buat gambar dari kertas bertuliskan 'I Love U My Wife'. Tiap malam juga dia menciumi perutku, seneng banget ama calon bayinya. Tapi bagaimana kalau tiap tidur dia terus manggil namamu? Dan semua firasatnya tentang dirimu benar semua. Kamu bisa lulus skripsi juga dia udah bisa menebak. Pagi tadi dia ngomong 'Tadi malem aku mimpi, aneh. Adikmu naik pesawat. Kayaknya bakal sukses nih skripsinya'. Nah, ternyata bener kan? Kamu kasih kabar aku. Nik, kayaknya aku salah selama ini merebut Rian dari kamu."

"Mbak, koq gitu sih mbak? Mbak nggak merebut Rian koq. Kan dia sendiri yang nembak mbak."

"Bukan, dia nembak aku karena aku lebih mirip kamu, bukan diriku sendiri," Mbak Rahma koq malah nangis sih.

"Mbak udah dong. Jangan ungkit-ungkit itu lagi. Itu udah masa lalu. Aku udah punya Zain sekarang."

"Iya, harusnya aku nggak ungkit-ungkit lagi, tapi beneran aku merasa bersalah, Nik. Harusnya pas hari pernikahan itu aku mengalah saja. Rian buatmu. Aku bisa ikhlas dan rela. Hidup tiap hari seperti ini juga aku nggak sanggup Nik. Dia tiap hari ya memang begitu. Memanjakan aku persis seperti bapak. Tapi bagaimana kalau di bawah alam sadarnya masih suka ama kamu? Aku tidak marah ama Rian, tapi aku marah kepada diriku sendiri. Aku memang terlihat pintar tapi sebenarnya aku bodoh. Bagaimana mungkin aku sebodoh ini memisahkan kalian? Kalian seharusnya bisa bersama, aku menyesal Nik menikah ama Rian."

"Mbak sudah mbak, nggak boleh Mbak bilang begitu. Rian pasti mencintai mbak."

"Iya, dia mencintaiku. Tapi dia melihat dirimu dalam diriku Nik. Bukan aku yang seutuhnya."

Aku menarik nafas panjang. Selama semenit kami diam. Aku hanya melihat Mbak Rahma menangis. Ia melepaskan kacamatanya, kemudian mengusap air matanya. Mbak, kenapa jadi begini?

"Maaf ya, Nik. Lupakan saja apa yang barusan kita omongkan. Aku turut senang kamu sudah ada Zain. Moga langgeng ya. Maaf, aku ada pasien, sampai nanti ya. Assalaamu alaikum."

"Wa alaikumsalam."

Skype terputus. Aku menutup laptopku. Aku langsung merebahkan diri ke kasur. Jadi, yang kemarin itu kenapa Yuli melarangku keluar karena Rian. Karena firasatnya. Kenapa Rian masih ingat ama aku? Jadi harapan-harapanku ketika memanggil nama Rian waktu itu adalah ini. Dia yang sejatinya menolongku, bukan Zain. Kenapa, kenapa air mataku sampai mengalir?

Nggak, udah. Aku nggak mau mikirin dia lagi. Sekarang sudah ada Zain. Aku harus menatap masa depanku. Aku hapus air mataku. Dan aku benar-benar tak ingin mengingat video chat barusan. Sudah cukup. Mbak Rahma sudah kuberitahukan tentang skripsiku. Selesai. Aku nggak mau lagi ngungkit-ngungkit hubunganku ama Rian.

****

Hari-hari berlalu, aku pun wisuda. Ibuku datang jauh-jauh dari Kediri ke Jakarta. Kali ini naik pesawat ditemani oleh Mbak Rahma dan.........Rian. Kenapa dia ada di saat wisudaku? Dia memakai baju kemeja warna biru, tampak rapi sekali. Mbak Rahma pakai baju hamil warna putih jilbabnya lebar. Mereka berdua memang pasangan serasi. Mereka pun bertemu ama Zain. Rian tentu saja kenal ama Zain mereka pun bercanda berdua. Aku, ibu dan Rahma

#Pov Rian#

"Kenapa yang?" tanyaku ke Rahma.

"Nggak ada apa-apa koq," jawabnya.

"Nggak mungkin, orang matanya sembab gitu koq," kataku.

"Nggak ada apa-apa, terharu aja tadi chat ama Anik. Udah lulus dia," katanya.

"Oh..syukurlah kalau begitu."

Aku kembali mengakses file Excelku. Semua data buku-buku ini harus segera diselesaikan malam ini soalnya. Aku sempat heran melihat Rahma yang pulang dalam keadaan matanya sembab. Ternyata kangen ama Anik. Rahma segera pergi dan tak mau menggangguku yang sedang bekerja. Setelah berjibaku dengan kerjaan, akhirnya aku selesai. Tampak istriku sedang menata meja makan.

"Makan dulu mas, yuk!" ajaknya.

Aku menghampirinya aku cium bibir Rahma dengan mesra. Kami saling memagut. Ia mencubitku.

"Aduh!"

"Makan dulu, koq sukanya makan telat?"

"Hehehe, iya sayangku," kataku. Aku mencium perutnya setelah itu. "Kamu sehat-sehat aja ya dedek kecil. Mmmuachh."

"Aduh...dudududuh...!" Rahma merintih.

"Hah? Kenapa?"

"Gerak-gerak. Tiap kali dicium papanya koq geraknya aktif ya?"

"Hehehehe, kepengen ketemu papanya ini," kataku sambil mengusap perutnya. Rahma tersenyum, kebahagiaan jelas terlintas di wajahnya.

Kami pun menghabiskan waktu dengan makan malam. Aku banyak ngobrol tentang kerjaanku, tentang karyawan-karyawan baru dan disiplinnya mereka. Rahma memang suka orang yang disiplin. Aku banyak berubah setelah menikahi dirinya. Dia mengajariku disiplin, perfeksionis. Pakaian kalau ke kantor harus rapi. Cucian nggak boleh sampai menumpuk, dapur harus bersih, lantai rumah harus bersih, steril. Hihihi, dasar bu dokter.

Dengan pekerjaanku sekarang aku bersyukur bisa beli mobil. Walaupun kredit. Jadi dengan keadaan Rahma yang sekarang aku nggak mungkin bonceng dia pake sepeda motorku. Kuanter kemana-mana ya pake mobil. Dia akhir-akhir ini ngeluh gerah, bawaan orok kali. Dan katanya bayinya makin aktif di dalam perut.

"Oh iya mas, Anik kan mau wisuda. Dateng ya ke Jakarta nanti," katanya.

"Beres, bisa diatur itu, tapi jangan naik kereta lagi. Naik pesawat aja," usulku.

"Iya deh, sekalian ngajak ibu," katanya.

"Yup."

Setelah makan malam selesai. Kami habiskan waktu untuk bercumbu. Aku memang tiap malam bercumbu dengan istriku ini. Kami bercumbu di ruang keluarga sambil nonton tv. Biasaya kalau sudah panas, kami bakal teruskan di dalam kamar. Rahma selalu melayaniku apapun kebutuhanku. Dan selalu mengerti kapan aku butuh. Aku mencium bibirnya. Kami bermain lidah. Aku remas buah dadanya yang makin besar itu.

Karena Rahma pakai baju hamil jadi gampang banget buat buka baju atasnya yang cuma pake resleting itu. Begitu aku turunkan resletingnya terpampanglah buah dadanya yang montok.

"Makin besar aja punyamu," kataku.

"Ya wajar dong, lagi hamil. Nanti juga penuh ama susu."

Kepalaku kubenamkan di sana. Kuhirup aroma buah dadanya. Luar biasa nikmat. Aku pun kembali mencupangi kulit buah dadanya itu.

"Kamu suka sekali bikin cupangan disitu say? Gimana sih rasanya?" tanyanya.

"Mirip nyedotin balon, tapi ini lebih lembut. Duh, aku koq jadi kepingin ya?"

"Kalau mau aku siap koq. Mau diisep apa masuk?"

"Emang nggak apa-apa masuk?"

"Kalau sudah lima bulan kandungan itu akan kuat. Masukin aja nggak apa-apa."

"Ke kamar yuk?!" ajakku.

Rahma pun menurut. Kami bergandengan tangan, layaknya seperti penganten baru. Begitu masuk kamar aku langsung membuka bajunya, branya dan celana dalamnya. Tapi nggak cepet-cepet, pelan-pelan sambil kunikmati lekuk tubuh istriku yang hamil ini. Mulai ada sedikit lemak di lengan dan pahanya. Tapi menurutku itu wajar sebagai wanita hamil. Kutelusuri dan kubelai tubuhnya seperti biasa bagaimana aku melakukannya kepada istriku. Ia memasrahkan lehernya untuk aku ciumi.

"Aahh...beib," desahnya.

Aku meremasi buah dadanya yang mulai membesar itu seiring dengan pertumbuhan kehamilannya. Perutnya bersentuhan dengan perutku. Hihihi, geli juga. Tangan Rahma mengusap dadaku dan menggelitiki putingku. Punyaku udah on aja, perlahan-lahan aku loloskan celanaku, hingga aku tak tertutup apapun.

Rahma lalu berbalik, ia berpegangan kepada ranjang. Ia menungging memperlihatkan belahan memeknya yang sudah becek.

"Masukkan sayang, aku ingin disodok!" katanya.

Aku mempersiapkan batangku, kocolok-colok dan kugesek-gesek belahan memeknya. Kemudian dengan perlahan aku masuk. Otongku benar-benar tegang maksimal ketika benar-benar masuk sepenuhnya. Hangat dan becek. Rahma ini termasuk wanita yang mudah banjir kalau sudah horni. Jadi setiap kali bercinta ia benar-benar bisa dipuaskan. Aku memejamkan mataku merasakan sensasi remasan yang aku rasakan di senjataku.

Rahma menggerakkan pinggulnya sendiri depan belakang. Ahh...boleh juga nih. Gini aja udah nikmat.

"Enak sayangku?" tanyanya.

"Iya, beib. Kamu selalu tahu cara memuaskanku."

"Syukurlah. Pelan-pelan yah, biar nggak keganggu oroknya."

"Iyahh...aaahhhh....uhhh...," aku keenakan diperlakukan seperti ini. Benar-benar tegang maksimal. Walaupun pelan tapi remasannya benar-benar kerasa. Kupegang pantatnya dan kuremas-remas. Enak sekali.

Aku pelankan goyanganku. Sekalipun pelan aku saja sudah merasakan nikmat. Buah dadanya itu ahhh...aku ingin meremasnya. Kujulurkan tanganku untuk menggapainya walaupun agak susah karena ia harus menjaga perutnya. Aku bisa menggapainya. Kuremas-remas buah dadanya. Rahma makin mendesah.

"Ahhh...Beib, enak beib. Aku mau keluar beib," katanya. Koq cepet ya? Aku belum apa-apa ini.

Dan Rahma menghentikan gerakan pinggulnya. Kemaluannya seperti menggerus batangku. Serrr....serr...tampak cairan kewanitaannya mengalir membasahi penisku. Ia lalu mencabut punyaku dan tidur miring.

"Kamu belum puas ya beib? Maaf ya, aku nggak kuat kalau terus nungging. Berat nyangga perut," kata Rahma.

"Aku tahu koq," kataku.

Aku berbaring dan memeluknya dari belakang. Kumasukkan lagi batang kemaluan ke liang senggamanya. Kali ini kaki Rahma sedikit diangkat untuk biar leluasa aku bergerak. SLEEBB...ahhh...aku merasa enak lagi. Dengan gaya miring gini tubuh Rahma yang lelah akan tidak terlalu banyak gerak. Jadi aku bisa menggenjotnya lebih cepat. Aku pun mulai bergoyang menggesek-gesek rongga kemaluannya. Tanganku sudah meremas toketnya yang mulai besar itu. Putingnya pun aku pijit-pijit.

"Sayangku...ohh...teruss...terusss....enak banget!...Ahhh..ahhh..!" rancaunya.

"Iya sayang, enak banget. Pantatmu makin gedhe aja nih, enak banget nyentuh selakangku," kataku.

"Iya ta? Sodokanmu juga lebih bergairah beib," katanya.

Aku terus menggoyang-goyangkan makin cepat, makin cepat. Ahh...aku nggak kuat lagi. Kepengen ngecret rasanya.

"Mau keluar say?" tanyanya.

"Iya, udah mentok!" kataku.

"Iya, semprotin aja!" kata Rahma.

Ahhhh...aku hujamkan sedalam-dalamnya sampai kepala pionku menyentuh rahimnya. Muncrat deh semuanya. Banyak karena seminggu ini aku nggak ML ama dia. Akibatnya produksi spermaku lumayan. Aku tak mencabut batangku. Kubiarkan ada di dalam sana.

"Ahh...nikmat banget beib," kataku.

"Syukurlah kalau kamu merasa nikmat. Peluk aku dong yang," katanya. Kupeluk Rahma. Dia emang suka dipeluk sehabis ML. Hal itu membuat dia nyaman. Aku pun tertidur sambil memeluknya. Ahh..Rahma...

***

Aku menjemput Bu Ika mertuaku di Kediri. Kemudian menginap selama semalam di Surabaya. Lalu Setelah itu kami berangkat ke Jakarta melewati Bandar Udara Juanda. Perjalanan Surabaya jakarta cukup cepat. Hanya setengah jam. Setelah tiba di Bandara Soekarno Hatta kami langsung naik taksi menuju Kampus UI. Untung saja Rahma baru hamil 6 bulan. Sebab aturan pesawat nggak boleh penumpang pesawat hamil di atas 7 bulan.

Di sana aku ketemu lagi dengan Anik. Anik mencium tangan ibunya dan memeluk Rahma serta cipika-cipiki. Dan lagi-lagi ia tak menyalamiku. Anik ini sangat cantik. Aku tak pernah melihat dia dandan seperti ini. Mata kami masih menyiratkan sesuatu pancaran yang hanya kami sendiri yang mengerti itu apa. Anik tampak senang sekali dengan kehamilan istriku. Berkali-kali ia memegang perutnya.

"Wah, Rian tok cer nih udah hamil aja," katanya.

"Yah wajar dong, lemes tiap hari digarap terus," kata Rahma. Disusul tawa ibu mertuaku dan Anik.

"Syukurlah, eh Rian! Masih inget dia?" Anik menunjuk ke seorang laki-laki. Aku kenal dia. Zain.

"Zain ya?" tanyaku.

"Iya. Zaaaainn! Sini!" Anik memanggil cowok itu.

Zain dengan baju toganya langsung menuju ke arah kami. Ia agak kaget melihatku.

"Rian??! Ahh apa kabar?" katanya kami langsung berpelukan sebagaimana teman yang sudah lama nggak ketemu.

Yah, setidaknya kami ada reuni lagi.
 
Terakhir diubah:
ijin gelar tiker lagi suhu
:baca: ntar malem
pertamax kagak ye
 
Ts lagi semangat banget nulis ya. bisa-bisanya sehari update berkali-kali.
salut :beer:
 
@wong_ngunung:
Ini mah pelan updatenya. Ane pernah koq one hit end. :p
Coba baca tulisan ane yang lain dan lihat timenya :D
 
BAB XXVII

Hai Cita-citaku



Selamat Datang Masa Depan


#Pov Anik

Aku akhirnya bekerja di sebuah stasiun tv swasta (maaf ye, nggak bisa disebut;penulis). Aku nikmati hari-hariku menjadi reporter, lari ke sana-kemari buat nyari berita. Mewawancarai nara sumber, sampai berdesak-desakan untuk memasangkan mic di depan nara sumbernya. Capek memang, tapi aku suka. Terlebih wajahku sudah nampang di layar kaca. Awalnya grogi, tapi akhirnya terbiasa. Hehehe.

Saat itu menjelang lebaran. Kami ditugaskan untuk meliput arus mudik. Aku termasuk yang mendapatkan tugas tim di daerah Jawa Timur. Hehehehe, kebetulan sekali ya sampai ditempatkan di sini. Mungkin mereka juga faham kalau aku kan rumahku di Jawa Timur, jadi dianggap aku paling tahu daerah ini. Aku berangkat dengan mobil van yang biasanya digunakan untuk meliput.

"Eh, Nik. Nanti mampir rumah lo yah kalau kerjaan beres, hehehe," kata Ferdi. Dia kameramenku.

"Boleh aja Fer, tapi bayar!" kataku sambil nyengir.

"Yaaahh...pelit!" kata Ferdi.

"Eh, rumah lo Kediri kan? Jauh beud!" kata Rudi yang sedang menyopiri mobil.

"Iya kita kan kerjanya di jalur pantura masuk area Jawa Timur. Belum masuk Kediri, masih jauh, empat jam perjalan," kataku.

"Yah, nggak apa-apa toh, sekalian deh ntar pas lebaran sungkem sekalian ama orang tuamu," kata Leli dia juga reporter sama kaya' aku. Cuma Budi yang diem aja, sibuk mantau berita dari internet. Ada empat orang di dalam mobil box ini. Mereka adalah timku.

Setelah perjalanan panjang kami pun sampai di Tuban. Gile bener ini macetnya, nggak tanggung-tanggung. Panjang banget. Ternyata setelah diselidiki ada perbaikan jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa. Koq bisa sih memperbaiki jalan pas ada arus mudik seperti ini?

Ponselku berdering. Dari ibu.

"Assalaamu alaikum bu?" sapaku.

"Wa alaikumsalam. Nik? Kamu masih tugas?" tanya beliau.

"Nggih bu, masih tugas. Niki kula wonten Tuban (Iya, bu. Masih tugas. Ini saya ada di Tuban)," jawabku.

"Koq kebetulan. Itu Si Rahma mau ke Tuban juga ama Rian, mau jenguk Mbah Yayat. Orangnya kan sakit, yah siapa tahu Rahma bisa ngasih obat gitu sakitnya bagaimana."

"Oh, Mbak Rahma ke Tubah? Ya udah nanti aku hubungi kalau ada kesempatan. Tapi nggak janji lho bu. Tahu sendiri kan kerjaanku."

"Iya, ibu ngerti. Ya udah, jaga diri ya?"

"Inggih bu," setelah itu telepon ditutup.

"Dari siapa Nik?" tanya Leli.

"Dari nyokap. Katanya mbakku ada di Tuban jenguk salah satu sanak famili yang sakit," jawabku.

"Hei, mau live nih! Nik!?" panggil Ferdi.

"Aku datang!" kataku.

Aku mempersiapkan semuanya. Dandan rapi. mic sudah siap. Budi membantuku untuk memasang backdrop sponsor pendukung. Ferdi siap dengan kameranya. Di depanku ada layar tv di mana dua orang penyiar sedang menyampaikan berita. Aku sudah siap. Sudah terbiasa koq aku melakukannya. Jadi tak ada masalah mestinya.

"Oke, dalam waktu lima, empat, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi.

Tampak aku liha di layar tv dua penyiar sudah langsung berhubungan denganku. Dari earphone aku bisa dengar percakapan mereka.

"Kita sudah terhubung dengan rekan kita di Tuban, Anik? Bisa dilaporkan bagaimana kondisi arus lalu lintas di sana?" tanya penyiar itu.

"Ya, terima kasih rekan Rizal di Jakarta. Saudara, arus mudik kali ini dari Pantura yang seperti Anda saksikan di layar kaca tampak dipenuhi dengan antrean kendaraan. Antrean ini akan terus mengular sampai kurang lebih sepuluh kilometer. Bagi Anda yang melewati jalur Pantura harap mempersiapkan diri dan kondisi karena arus mudiknya benar-benar macet luar biasa," kataku.

"Bisa dijelaskan Anik, kenapa kemacetan bisa terjadi?" tanya rekanku.

"Ada perbaikan jalan yang seharusnya sudah selesai tapi belum selesai sampai sekarang. Begitu rekan Rizal," kataku. "Saya tambahkan dari pantauan helikopter juga kami mendapatkan visual bahwa antrian ini belum terurai kalau sampai dua belas jam belum terurai maka akan berdampak jalur pantura bakal macet parah."

Begitulah pekerjaanku. Jadi reporter. Akhirnya cita-citaku kesampaian juga. Hampir tiap hari aku melaporkan keadaan jalan. Setelah aku melaporkan itu perasaanku tiba-tiba nggak enak. Nggak enak sekali. Kenapa ini?

Karena khawatir maka orang yang aku telepon pertama kali adalah Mbak Rahma.

"Assalaamu alaikum, mbak?"

"Wa alaikum salam, Nik? Apa kabar?"

"Baik mbak. Mbak nggak kenapa-napa kan?"

"Heh, ada apa? Koq tanya gitu?"

"Perasaanku saja mbak, nggak enak."

"Ah, kamu ini. Mbak ada di rumah Mbah Yayat sekarang ini. Beliau ternyata kena hepatitis."

"Innalillahi, koq bisa mbak?"

"Mbak juga baru tahu koq. Ini barusan dari rumah sakit."

"Hmm...ngomong-ngomong gimana kandungannya mbak. Mau lahir toh?"

"Iya, ini kan udah masuk bulan sembilan. Paling juga habis lebaran lahirnya."

"Nggak capek ta jalan-jalan gitu wong hamil juga?"

"Kan ada suami, jadi enak aja."

"Ihhh...bikin ngiri."

"Hehehehe...kamu di mana?"

"Di Tuban juga, ini lagi ngeliput."

"Oh, ya udah deh. Mampir aja ntar ke Mbah Yayat. Kasihan beliau."

"Iya, mbak."

Setelah menelpon Mbak Rahma, aku menelpon Zain. Dia sekarang masih ada di Jakarta. Dia juga bekerja sebagai reporter, sama juga sih di stasiun tv swasta, tapi beda ama aku.

"Halo, Beib? kamu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Ya? Nggak apa-apa. Aku sehat koq. Kenapa?" tanyanya.

"Perasaanku nggak enak nih. Seperti bakal terjadi sesuatu gitu."

"Ah, cuma perasaanmu aja kali."

"Nggak ini beneran, duh kenapa ini aku."

"Mungkin kamu lelah, coba deh kamu istirahat gitu, kamu puasa kan?"

"Iya dong, apa aku PMS ya?"

"Bisa jadi. Istirahat dulu lah kalau capek say. Aku juga khawatir kalau kamu nanti sakit."

"Iya deh, aku sepertinya terlalu capek."

Setelah menelpon Zain, perasaanku masih belum tenang. Kumohon ya tuhan, moga nggak terjadi apa-apa.

"Eh, Nik, jalan-jalan dulu yuk! Kan kita nanti masih lama nanti live-nya," ajak Ferdi.

"Lo enak nggak puasa, aku puasa tauk!" kataku.

"Yah, maklumlah beda keyakinan. Hehehehe," Ferdi meringis. "Setidaknya kita nggak di sini melulu. Ntar kita kembali lagi ke sini deh,"

"Ayo Nik, bentar aja!" ajak Leli.

Akhirnya kami pun jalan-jalan, menelusuri jalanan kampung. Bukan hanya jalan-jalan kami juga sambil nyari-nyari berita sebenarnya. Kalau ada sesuatu yang unik, kami pasti liput. Aku cukup jeli melihat keadaan sebenarnya melihat-lihat sesuatu yang bisa diambil objeknya. Ferdi cukup tangkas ketika harus menyorot pemandangan di sekitar jalan. Juga ketika mobil berjalan dia menyorot pinggir jalan dan beberapa pegunungan yang terlihat dari jauh.

Kami melewati jalanan tembus, hingga tak terasa sampai juga di arah pantura dari sisi lain.

"Wah, koq kita tembusnya di sini ya? Padahal tadi muter-muter nggak karuan," ujar Rudi.

"Eh, tuh-tuh ada warung buka. Aku laper nih, tak makan dulu ya," kata Ferdi.

"Huuu...dasar, ya udah deh, toh kita muter jalan juga balik lagi ke sini. Aneh sih," kata Rudi. Aku juga keluar dari mobil van. Capek di dalam.

Dari arah barat muncul mobil ambulance meraung-raung. Heh? Koq ada mobil ambulance segala?

"Fer, Ferdi! BALIK! ADA BERITA!" seruku.

Ferdi yang mau masuk warung langsung melompat. Aku kembali masuk ke dalam mobil.

"Rud! Rud kejar mobil ambulancenya Rud!" seruku.

Ferdi langsung masuk ke dalam mobil. Mobil langsung memutar mengejar mobil putih yang berjalan cepat di sisi kanan jalan. Kami mengikuti mobil itu seperti kejar-kejaran di film Fast & Furious. Oke, mungkin terlalu berlebihan. Tapi ketrampilan Rudi dalam mengemudi ini tak bisa diremehkan. Dalam sekejap mobil ambulance sudah dia kuntit. Kami terus berjalan hingga berhenti sampai di sebuah kerumunan. Aku melihat ada sebuah truk tronton yang baru saja menghantam sebuah mobil. Kecelakaan!

Aku dan Ferdi segera keluar. Kuambil mic dan kabelnya. Kami berjibaku untuk bisa menyiarkan ini secara live. Budi sudah bersiap untuk menyiarkannya. Aku pun memasang tampang yang cerah. Ya, bagaimana pun beritanya sang reporter harus bisa membawakan berita dengan wajah yang fresh.

"Oke, siap, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi.

"Saudara-saudara kami baru saja melihat ada kecelakaan di jalur pantura. Seperti yang Anda lihat di belakang saya, baru saja ada mobil ambulance datang. Tampaknya ada sebuah mobil yang ringsek, jenis sedan ditabrak oleh Truk tronton. Kita tidak tahu apakah ada korban yang selamat ataukah tidak. Beberapa krumunan orang tampak sedang berusaha menolong korban. Mari kita lihat lebih dekat..."

Aku berlari mendekat ke arah kecelakaan itu. Ferdi menyorot orang-orang yang bahu-membahu mengeluarkan korban. Mereka memecahkan kaca mobilnya. Kemudian seorang bisa dikeluarkan.

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

"Saudara tampaknya korban adalah sepasang suami istri. Dan diketahui sang wanita sedang hamil. Oh tidak...!" aku menjatuhkan mic.

Ferdi kebingungan, "Kenapa Nik?"

Tidak! Tidak! Tidak! Aku melihat mereka, aku kenal mereka. Rahmaa! RIAAN!

"Mbak Rahma! RIAAAANN!"

***

#Pov Rian#

"Mas, Mbah Yayat sakit," kata Rahma.

"Mbah Yayat?" tanyaku.

"Iya, mbahku. Orangnya tinggal di Tuban. Ibu nyuruh aku untuk ngecek beliau sakit apa. Kalau dilihat dari tanda-tandanya sih Hepatitis. Tapi buat mastikan aja aku kepengen tahu."

"Hmm...mau ke sana?" tanyaku.

"Iya deh, bentar aja ya, habis itu pulang," jawabnya.

"Ya udah, berangkat kapan? Sekarang?" tanyaku.

"Ya sekarang dong. Yuk?! Dari pada ntar kena arus mudik."

Aku tak begitu mengenal keluarga Rahma yang jauh-jauh. Mungkin yang aku tahu sik Pak Dhe-nya, Yuli, trus Pak Liknya sama beberapa sepupu. Tapi soal mbah, aku tak begitu tahu. Rahma baru bilang kepadaku kalau ia punya dua mbah. Satunya udah meninggal Mbah Yayat ini boleh dibilang mbahnya yang terakhir.

Aku akhirnya bersiap. Kupanasi mobilku. Kami nggak bawa barang-barang. Lha wong cuman jenguk orang sakit koq. Mau bawa barang apaan? Tapi hari itu istriku agak aneh. Ia bingung seperti mau nyari sesuatu.

"Kenapa yang?" tanyaku.

"Koq seperti ada yang ketinggalan ya? Bentar aku ingat-ingat dulu," jawabnya.

Aku cuma nunggu aja sambil bersandar di mobil. Ia lalu ingat. "Ah, iya!"

Setelah itu buru-buru masuk ke rumah. Baru kemudian balik. Ia bawa peralatan dokternya.

"Masa' mau jenguk orang sakit koq nggak bawa ini. Gimana seh," kata Rahma. "Yuk berangkat!"

Aku kemudian mengunci rumah. Rahma udah masuk mobil terlebih dahulu. Setelah yakin semua udah dikunci, aku masukkan kuncinya di bawah pot. Hahaha, kebiasaan dari dulu. Kunci dimasukkan di bawah pot. Setelah itu aku masuk ke mobil dan melajukan kendaraan meninggalkan perumahan Semolowaru, tempatku tinggal di Surabaya.

Mobil yang keluar dari Surabaya cukup padat. Kami menuju ke barat melewati tol kemudian menghindari jalan-jalan utama yang emang bikin macet. Jam sepuluh kami sudah masuk Tuban. Rumahnya Mbah Yayat ternyata dekat ama Jalur Pantura. Kalau Jalur Panturan ini dari arah keluar Surabaya macet, tapi sebaliknya cukup lancar. Rupanya Rahma ini hafal jalan juga. Aku cukup senang ditunjukin rutenya, belok mana harus kemana, sehingga nggak lama kami pun sampai.

Kami sempat melewati sebuah mobil box sebuah stasiun tv yang terparkir di pinggir jalan. Kalau lihat stasiun tv itu jadi inget kalau Anik kerja di sana sekarang. Mungkin itu rekannya Anik yang sedang meliput. Mereka sepertinya mau siaran meliput arus mudik ini. Aku tak begitu menghiraukannya.

Rumah Mbah Yayat ini cukup sederhana. Begitu kami tiba kami langsung disambut. Mbah Yayat orangnya udah sepuh ya emang wajar kalau misalnya sakit-sakitan. Aku kenalan dengan beberapa anggota keluarga yang memang belum aku kenal. Kami cukup beramah tamah. Yang cukup cerewet itu Rahma, ketika ada yang ngerokok seperti Mas Gito, anaknya si Mbah ini dia marah-marah.

"Mas, aku hamil lho, masa' ada orang hamil ngerokok?" kata Rahma.

"Oh iya dik, maaf." kata mas Gito.

"Nggak baik rokok itu bla bla bla..." yah, dicerahamin deh. Rahma kalau udah ceramah soal kesehatan bisa panjang lebar. Dan beneran. Aku cuma bisa senyam-senyum aja. Pas meriksa keadaan Mbah Yayat ia kaget.

"Lho, Mbah, panjenengan harus dibawa ke rumah sakit ini. Ini kena liver!" kata Rahma.

"Waduh? Beneran ta mbak?" tanya Mas Gito

"Iya beneran ini. Segera bawa ke rumah sakit!" kata Rahma.

"Tapi biaya rumah sakitnya gimana?" tanya Mas Gito.

"Nggak apa-apa bawa aja, ntar kami bantu deh," kataku.

Akhirnya dengan mobilku Mbah Yayat pun dibawa ke rumah sakit. Matanya sudah menguning dan dia merasa sakit di mana-mana. Rahma mengatakan Si Mbah ini kena komplikasi. Setelah lima belas menit mobilku melaju. Kami pun sampai di rumah sakit dan langsung mendaftar di sana. Rahma yang cukup telaten ini pun langsung minta kepada pihak Rumah sakit agar segera diopname, harus gini, harus gitu. Aku sendiri nggak tahu. Yang jelas dia cekatan banget. Maklumlah dokter.

Cukup cepat, baru beberapa saat saja Mbah Yayat sudah masuk kamar dan dirawat di sana. Tapi menurut dokter spesialisnya ternyata beliau kena komplikasi juga, masalah di ginjal, hipertensi dan liver. Waduh. Kasihan beliau. Kata Rahma sih beliau kayaknya nggak tertolong lagi karena sepertinya sudah terlambat bawa ke rumah sakitnya. Tapi kata dokter yang merawatnya akan diusahakan yang terbaik. Apalagi mendapatkan laporan kalau semua yang dimakan kembali lagi, kayaknya udah parah banget.

Maklum keluarga Rahma yang ini takut dengan yang namanya rumah sakit. Biasanya rumah sakit itu hanya buat orang-orang kaya saja. Yang miskin dipinggirkan. Aku kemudian kembali lagi setelah Rahma selesai mengurus soal administrasi Mbah Yayat. Setelah itu kami undur diri mau pulang balik ke Surabaya. Karena memang nggak ada rencana buat nginep. Keluarga Mbah Yayat berterima kasih atas bantuan Rahma.

Di mobil dia pun banyak bicara tentang alasan dia jadi dokter.

"Yang, tahu nggak kenapa aku kepingin jadi dokter?" tanyanya.

"Kenapa?"

"Karena aku kepengen menolong orang-orang seperti Mbah Yayat itu. Aku tahu sebagian keluargaku masih kolot seperti itu, takut ama jarum suntik, takut ama obat-obatan. Mahalnya biaya rumah sakit, itu semua karena mereka kurang pendidikan. Nasib mereka mungkin akan sedikit baik kalau saja mereka punya pendidikan yang lebih baik. Aku ingin bisa menolong orang-orang seperti itu. Karena itulah aku jadi dokter. Kamu tahu, terkadang juga aku nggak ngambil imbalan lho pas meriksa orang."

Aku makin kagum ama istriku ini. Hatinya mulia sekali. Aku makin cinta ama dia.

"Yang, aku punya permintaan. Menepi dulu dong!" aneh dia bilang begitu. Aku kemudian menepi.

"Ya? Sudah menepi ini. Permintaan apa?" tanyaku.

"Kalau misalnya aku nanti nggak ada, kamu jagain Anik ya?"

"Ah, apaan sih kamu ini. Bicaranya ngaco."

"Ehh...dengerin dulu!"

Aku menghela nafas.

"Aku sekarang udah bahagia ama kamu. Kamu berikan segalanya buatku Yan. Aku bahagia banget, apalagi sekarang udah mengandung anakmu. Kamu orangnya setia, kamu juga suami yang bertanggung jawab. Tak ada satupun bagian dari dirimu yang membuatku tidak mencintaimu, Yan. Tapi ada satu yang kurang."

"Apa?"

"Hatimu bukan milikku."

"Nah, kaan? Udah deh Ma, aku nggak mau bahas itu. Aku ama Anik udah berakhir, Ma."

"Belum Yan, belum berakhir. Aku melihatnya, kamu masih suka ama dia. Dan aku ikhlas koq....."

BRAAAAAK! Tiba-tiba ada sebuah mobil yang menabrak kami dari belakang, kemudian mendorong kami hingga ke tengah jalan. Karena kaget Rahma sampai nggak siap. Kepalanya menghantam dashboard. Aku juga menghantam setir. Aku melihat ke belakang. Ada sebuah mobil SUV warna merah menghantamku. Karena aku tadi nggak pake rem tangan akhirnya mobilku jalan sendiri ke tengah jalan raya. Siapa juga yang nabrak ini?

Belum selesai kagetku tiba-tiba dari arah kiri, aku melihat sebuah truk tronton mengklakson.

DIIIIINNN! BRAAAAAK!

Mobilku terseret beberapa meter. Kepalaku terbentur kaca mobil, aku pakai sabuk pengaman jadinya nggak ikut terombang-ambing. Rahma tidak. Aku melihat dari kain kerudungnya darah merembes. Tidak....Tidak! Jangan! TIDAK! Aku pun tak sadarkan diri. Gelap.

Aku hanya bisa dengar orang-orang teriak-teriak.

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

Aku digotong oleh orang-orang. Aku masih bisa melihat, masih bisa berbisik. "Rahma...Rahmaa...Rahmaa..."

"Riaan! Rian! RIAAAN!" aku dengar sebuah suara. Suara itu??? Anik?? Anik kaukah itu? Dan aku tak sadarkan diri.

(bersambung......?)

entah kapan update lagi.
 
Terakhir diubah:
ya seperti nya takdir yang menyatukan anik ama rian. tapi takdir nya kok sakit bangettt
 
Arrrrrgghhh...dah feeling ga enak pas suhu blg ttep happy ending, pasti kenapa2 ni sama rahma....:(( :(( :(( hikssss :galau:
 
:tidak: kok seperti ini ya? :sedih: ngga kuat baca kisahnya :galau:
Oh Rahma :sayonara:

Nangis beneran aku :(( :(( :((
 
Kata Anik sih beliau kayaknya nggak tertolong lagi karena, sepertinya sudah terlambat bawa ke rumah sakitnya. Tapi kata dokter yang merawatnya akan diusahakan yang terbaik.

Kayak nya salah tuh om, Anik kan nggak ada di situ
maaf nggak bisa quote, soalnya dari hp :ampun:
 
Dan suhu arczre semakin sedih aja kayaknya kelingan iskha terus...hahahaa
Move on suhu move on :ngupil:
Tebakan ane Ntar endingnya nikahin si Anik,terus zain sama Yuli deh?
Yah cuma tebakan aje :D
Di tunggu apdetnya lagi suhu :semangat:
 
Rahma tidak selamat, namun bayinya dong jangan kenapa-napa.. :galau:
Jadi inget baby dirumah :hua:
Mas/mBak Arzcre..
Ceritamu telah membuat seorang cowok menangis.
Ane akan coba lempar GRP perdana, semoga bisa.. Hiks.. Hiks
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd