Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Scene 13
Sedikit Mendung

Berliana Yuanita
“Sudah kamu hubungi?”

“Sudah paman,” jawabku. Aku memanggilnya paman, karena semasa Ayahku masih hidup. Ayah selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’.

“Miripkan?” tanyanya kembali, aku mengangguk. Masih bingung dengan kata-katanya. Semenjak sadar, profesor selalu ingin tahu mengenai pemuda itu.

“Seakan ada dua orang dalam tubuh pemuda itu.”


Kata-katanya membuatku mengrenyitkan dahi. Matanya memandang ke langit-langit kamar, tempat dimana dia di rawat. Kamar ini tak ada satupun yang tahu, kecuali beberapa orang yang memang aku percayai. Mau tidak mau, kematiannya harus dipalsukan demi keselamatan keluarganya dan juga dia.

Matanya masih terus menatap langit. Senyumnya seakan tak akan pernah terhapus dari bibirnya. Abadi. Cahaya mata dari pandangannya, seperti mengingat suatu kenangan, kenangan yang aku sendiri tidak tahu.

“Yang satunya? Siapa Paman?” tanyaku, dia menoleh ke arahku. Tersenyum. Benar, senyum itu seakan tak bisa hilang dari bibirnya.

“Sudahlah tidak usah dibahas, yang jelas kedua orang itu baik. Baik kepada siapa saja,” kembali dia tersenyum.

“Apa aku boleh mencari tahu, paman?” tanyaku kembali, dia menggelengkan kepala.

“Aku saja masih ragu. Maka dari itu aku simpan untukku. Seandainya apa yang aku pikirkan benar, itu akan muncul dengan sendirinya. Jadi, untuk saat ini kamu tidak perlu tahu.”

“Baik paman, aku tidak akan mencari tahu tapi aku akan tetap mengawasinya,” ucapku disertai anggukan oleh dia.

“Ya sudah, sekarang paman istirahat. Nanti setelah keluar dari rumah sakit, paman akan aku sediakan tempat tinggal baru. Tapi, untuk bertemu dengan keluarga paman tidak bisa setiap hari. Jangan khawatir. Semuanya bisa diatur,” jelasku.

“Bagaimana dengan proses pemakamannya? Pasti mereka bisa saja curiga,” tanyanya.

“Mereka pintar. Tapi kadang orang pintar melupakan cara bodoh. Semua sudah aku atur paman.”

Dia kembali tersenyum. Aku membalas senyumannya dan kemudian bangkit dari dudukku. Pamit kepada pamanku dengan penjagaan beberapa petugas yang menyamar. Aku kemudian melangkah menuju pintu keluar.

“Mirip kakek kamu kan?” tanya paman. Dengan setengah menoleh, aku mengangguk dan tersenyum.

Aku keluar dari ruang rawat orang yang sudah aku anggap sebagai paman, Profesor Dodokambek. Rasa penasaranku terhadap pemuda itu semakin kuat, tapi jika aku fokus pada jatidiri Arta, aku akan terlena dan melupakan tujuanku untuk tetap melindungi kota ini. Arta, biarkan dia tetap menjadi misteri. Biarkan dia tetap menjadi sesuatu yang tidak bisa aku penuhi seutuhnya. Dia akan tetap menjadi misteri hingga suatu saat nanti. Karena aku yakin, dia berpihak pada kami. Karena mata itu, bukan mata seorang pembunuh, bukan pula mata seorang yang kejam.

Mata itu, mata yang sama dengan mata kakek. Lemah terhadap kelembutan, takut jika melakukan hal-hal yang diselimuti penindasan. Kelembutan itu sudah ada yang berada disekitarnya. Hanya saja, hal-hal yang penuh dengan penindasan juga ada disekitarnya. Arta, tetaplah bersama kami.

Kriiiing.

“Ya Sayang.”

“Pulang, sayang. Sudah disiapkan makan malamnya.”

“Lha kan tadi mas sudah bilang makan diluar.”

“Pakai tanda petik, cepet! Atau kamu saya tahan di luar rumah!”

“I-iya sayang, iya.”


Istriku ini memang, hmmmm. Lebih baik aku segera pulang. Menikmati ‘makan malam’ bersama istriku. Pasti anakku sudah tidur kalau dia berani marah-marah ditelepon. Pulang saja, menenangkan pikiraknku.

Segera aku masuk memberikan perintah kepada anggotaku untuk menjaga ruangan pamanku. Selanjutnya aku langsung pulang kerumah. Benar-benar melelahkan hari ini, aku memang butuh merefresh kembali otakku. Perjalanan menuju rumahku memang terbilang cukup jauh tapi entah kenapa malam ini serasa cepat sekali. Dan sekarang aku sudah berada di garasi rumah.

“Sepi, lampu dalam rumah juga sudah mati. Ah, ini karena aku terlalu lama di luar dan pastinya istriku marah. Mungkin aku harus merayunya,” Bathinku.

Kubuka pintu rumah dengan kunci gandaku. Ruang tamu gelap, apalagi ruang nonton TV juga gelap. Semua lampu mati hanya lampu teras yang menyala. Aku langsung menuju ke kamar...

Ceklek... ceklek...

Sial, dikunci. Mungkin memang sudah nasibku. Mungkin besok pagi aku masih bisa merayunya. Segera kulepas pakaian, hanya mengenakan kaos dan celana panjang. Duduk di sofa depan TV, tak kunyalakan lampu karena kebiasaanku nonton TV tanpa cahaya lampu.

Heghh...

Dua tangan memeluk leherku. Menariknya kebelakang. Satu tangan meremas daguku dan menariknya hingga aku menoleh kebelakang. Aku pasrah ketika bibirku dilumat habis-habisan. Ketika bibirnya lepas dari bibirku dia langsung beranjak pergi, menyalakan lampu. Aku masih duduk ketika dia kembali di depanku. Wajahnya sedikit masam. Walaupun masam apa yang dikenakannya sungguh seksi yaitu pakaian kerjanya.

Tanpa berpikir panjang aku langsung menarik istriku. Kubenamkan wajahku di dadanya. Satu tangan memeluk pinggangnya, satu tanganku yang lain langsung meremas payudaranya. Lenguhan kerasnya aku dengar, dan membuatku tersadar.

“Sayang, anak kita?!” tanyaku sedikit was-was.

“Hi hi hi... sudah di rumah kakeknya,” jawabnya dengan wajah manis.

“Eh, lha tapi itu kamar dikunci?” tanyaku, menanyakan kamar yang dikunci, karena bisa jadi anakku ada didalamnya.

“Hi hi hi... enggaaak sayang, dia sudah aku antar...” jawabnya.

Karena aku masih tidak yakin aku meminta kunci kamar, dan langsung membuka kamar. memang tidak ada anakku didalamnya. Aku melangkah kembali ke sofa, melihat istriku bersandar dengan wajah pasrahnya.

“Malam ini sampai pagi, aku ingin ditembak sama pistol kamu sayang dan diperkosa!” jawabnya.

Argh! Aku langsung menubruknya, melumat bibirnya. Benar-benar sebuah imajinasi yang selalu aku dambakan, walau sudah sering dia seperti ini tapi aku tak pernah bosan. Ya, aku suka sekali ketika istriku memakai pakaian kerjanya. Tapi bukan pakaian kerja yang sering dia pakai tapi pakaian kerja yang bajunya lebih dikecilkan. Karena akan terlihat benjolan dadanya dan sela-sela kacingnya yang seakan-akan tak bisa menahan payudaranya.

Dengan kasar aku buka baju yang dia kenakan, lalu merobeknya. Entah sudah berapa baju yang rusak. Oh, yeah. Payudaranya langsung terlihat tanpa bra dan tanpa penutup lainya. Aku melumatnya, kenyal, besar dan hangat.

“Jangaaan pak polisi, ini ituh punya suamiku jangan di apa-apakan” rengeknya. Ah, akting!

“Uggghh... pak polisi uuugghhhh jangannhhh nanti suamikuuhhhh... uuuhhhh sayang, hisap pelanhhhh eghhh...” rintihnya, aktingnya gagal!

“Sayanghhh... mmmhhh... sedot yang kuat, sedot lebih kuat lagiihhhh...”

Lidahku mulai bermain, menjilati puting susunya. Walau sudah punya anak satu masih saja besar dan menggairahkan. Nyam, payudaranya adalah bagian yang paling aku suka untuk dipermainkan. Sedang asyik-asyiknya memainkan payudaranya, satu tangannya mengelus lembut selangkanganku. Aku menepis dan menyingkirkannya. Kemudian bangkit dengan satu kaki kutekuk di sofa sebagai tumpuan. Kutarik ke atas kedua tangannya tepat di atas kepalanya. Benar-benar pemandangan yang indah.

“Cuma dilihat? Awwwww...”

Baru beberapa kata, aku sudah kembali menarik ke atas rok yang dia kenakan. Tanpa celana dalam, dengan bulu lembut yang tumbuh, sedikit dicukur. Aku elus memeknya dengan jari-jariku, bibirku melumat bibirnya.

“Egh... ughhh... yangghhhh... mmhhh... ughhh yanghhhh...” rintihnya pasrah ketika mendapatkan pelayananku.

Bibirku turun ke leher, kujilati setiap centimeter tubuhnya. Turun hingga di bagian yang aku suka ini. Tapi aku tak berlama-lama, karena tujuanku ada di bawah sana. Semakin turun, kulepaskan kedua tangannya, kini aku fokus pada bagian yang hmmm...

“Slurrrp....”

Lidahku mulai menyeurput dan bermain-main di vaginanya. Kedua tangannya langsung meremas, menjambak, menarik, menekan kepalaku.

“Aaahhh sayang itilnya sayang sedotthhh yang kuathhh... sedothhh yang kuathhh ayo pak polisikuhhhh suamikuuuhhh sedothhhh yang kuatthhhh... mmmmhhh...”

“Aghhh... yah kocok, kocok memek istrimu ini sayanghhh... kocok yang kuathhh ooohhh.. yahhhh...”

Rintihannya, ah, selalu begitu kalau anak sudah dititipkan dan dirumah hanya ada kami berdua. Suaranya pasti keras dan Kata-kata yang keluar dari bibirnya yang indah itu pasti kotor. Bagiku? menggairahkan. Jari-jariku keluar masuk, kadang aku masukan dan kutekuk bermain di dalam vaginanya.

“Ahhhh sayanghhh... uughhhh eghhhhhh.... aku keluarrrhhhhh”

Aku bangkit, berdiri dan menyaksikan tubuh istriku mengejang beberapa kali. Senyumku terus mengembang menyaksikan istriku membuka matanya perlahan. Dia tersenyum, dengan cepat aku menarik tangannya. Tanpa dikomando, dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Bibirnya mulai menciumi penis kerasku yang seakan ingin segera keluar dari sangkarnya.

“Hmmm... sudah gak sabar ya pak polisi?” senyumnya nakal dilanjutkan dengan lidah yang menjilait bungkus penisku

“He he... pagi masih lama kok sayang....” jawabku dengan senyuman nakal. Senyum kami berbalas.

Kepalanya sedikit mundur, tangannya membuka celanaku. Menariknya kebawah. Tangannya mengelus celana dalam. Tak berlama-lama, dengan kelembutnya, dia menarik kebawah hingga penisku mengacung ke arah wajahnya. Satu tangannya menekan ke atas penisku hingga penisku menempel di perut bawah.

“Aaaaaaghhh..”

Aku merasakan kenikamatan. Mataku terpejam, ketika ujung lidahnya perlahan mulai bergerak dari pangkal penis hingga ujung. Berulang-ulang dia melakukannya. setelahnya dia lidahnya memutari lubang kencingku. Aku tidak tahan lagi, aku remas rambutnya. Aku dorong kepalanya. Dan...

“Ahhhh ayo sayang kulum yang benar atau dihukum sama pak polisihhh” kataku sembari menekan kepalanya dengan mulut yang tersumpal penisku.

“mmmhhh... mmmhhh... aaaaah...” kepalanya meronta dan akhirnya lepas, bernafas.

“Pak polisi kasar iiih,” manjanya.

Kembali dia mengulum ujung penisku. Kemudian maju secara perlahan, munduur. Dan lidahnya tak berdiam, bergerak-gerak mengusap bagian bawah penis. Tanganku yang masih menjambak rambutnya, ikut menggerakan kepalanya agar sedikit cepat. Panas, panas, aku sudah panas, aku sudah tak tahan lagi untuk menghajar istriku ini!

Aku tarik kepalanya sedikit kasar. Kuposisikan menungging di atas sofa. dia hanya menurut dan melempar senyum nakalnya.

Plak!

“Auwh...”

“Kurang kerashhh sayanghhh, mmmmhhh... Cuma segitu kemampuan pak polisi?” ujarnya mengejekku.

Bukan emosiku yang tersulut, namun nafsuku yang terbakar. Aku buka pantat lebarnya, ku arahkan penisku di kemaluannya. Aku goyang-goyangkan kepala penisku di mulut vaginanya. Desahannya semakin keras. Tapi aku tak langsung memasukannya. Aku menunggu, menunggu istriku untuk...

“Masukin yang, masukin kontolnya” lembut dari bibirnya dengan setengah menoleh kebelakang. Aku tak menggubrisnya, dan tetap memainkan ujung penisku. Dan kulihat dia sedikit jengkel, he he.

“Cepat! masukin kontol kamu ke memekku!” bentaknya.

“Memek kamu butuh kontol ya? kaya gini?!” sedikit aku membentak dan tersenyum nakal.

Aku memasukan dengan pelan, setiap centimeter penisku masuk ke dalam memek basah istriku.

“Ugffttthhhh... mmmmhhh... enaaakkkhhhh ughhh... sayangghhhh... penuh banget memekkuhhh” rintihnya.

Aku remas pantatnya yang masih sedikit bulat, maklum sudah beranak satu. Aku remas dan aku maju mundurkan pinggulku pelan. Menikmati kehangatan lubang vagina istriku. Sempit sekali, walau berulang kali aku memasukan penisku ke dalamnya. Lama aku melakukannya, nafsuku semakin tidak terkendali. Pompaan pinggulku semakin cepat, gesekan gua indahnya dengan kulit penisku semakin intens.

“Ahhh sayanghhh... memekku ughhh... aduh sayanghhh mentok dalamhhh... eghhh... pelanhhh sayang pel...”

Plak!

“Diam! Memekmu adalah memekku, tempat khusus untuk kontolku!” bentakku.

“Agh iyahh sayanghhh iyaahhh tapi pelannhhh sedikhhhh ughhh kitthhhh... mhhhh” protesnya tapi tak aku gubris.

Aku membungkuk, memberikan beban tubuhku kepada istriku. Bibirku menikmati tengkuk lehernya, kedua tanganku menikmati kenyal dan kencangnya payudara. Kadang aku sedikit menggigit kulit putih istriku. Yah, nikmat, enak sekali.

“Ahhh... yanghhh... akuhhh akuhhh mau samphhhh peeeeehhh... uuuhhh.”

Rintihannya memberikan isyarat kepadaku untuk mempercepat pompaan di vaginanya. Aku mempercepatnya, kepalaku ku posisikan di samping kepalanya. Aku bisa melihat matanya terpejam, antara nikmat dan berat karena menyangga tubuhku.

“Ayo sayang, teriak... teriak... kamu sukakan kalau teriak, teriak sayang,” godaku.

“Ughh.. yahhhh... kontol enak... kontol pak polisi enakhhh... memekku penuh... memekhhhkuuuhh.. memekkuuhh di kontoli pak polisihhhh... penuuhhhh... enakhhhh... muncraaaaaaaattthhhh...”

Breghhh.

Tubuhnya langsung jatuh tengkurap di atas sofa. aku yang tidak menjaga keseimbanganku ikut terjatuh dan menimpanya. Beberapa kali aku menciumi rambutnya, aroma wangi sampo masih tercium. Ku belai lembut sembari sedikit menggoyang pinggulku.

“Emmhhh... belum keluar yanghhh...” tanyanya, kepalanya bergerak-gerak mengejar elusan tanganku

“Belum, kan sampe pagi sayaaaang,” jawabku dengan senyum nakal.

“Eh... ja-jangan yang istirahat dulu, nanti pagi lagi yang... apek anget ayaaaang” jawabnya dengan nada manja.

“Iya sayang.”

“Uughhh...” lenguhnya ketika lidahku menyapu lehernya.

Aku menariknya dan memposisikan istriku terlentang dengan bersandar pada sandaran sofa. dengan berlutut pada pinggiran sofa, kuangkat kedua kaki istriku. Kuarahkan kembali penisku ke dalam vaginanya. Kumasukan perlahan dengan satu tanganku menahan satu kakinya agar tidak turun. Pelan... pelan... dan...

“Agh sayang mentokhh... eghhhh... agghhhh iya sayang enakhhh... enakhhh...”

“Capek tapi enakan sayang,” godaku, dia mengangguk dengan bibir bawahnya digigit.

Tubuhnya tertekuk. Payudaranya ikut bergoyang seirama dengan pinggulku, walau sedikit terhambat karena tubuh yang tertekuk. Tapi tetap saja kelihatan menggairahkan. Posisi yang sedikit membuat pegal, akhirnya aku menarik kebawah satu kakinya. Hingga dia miring, satu kakinya aku kangkangi dan satunya aku letakan di bahuku. Aku kembali menggoyang.

“Aaahhh sayang yahhh enak... dalemmhhh... ufthhh... kontol enak kontol pak polisi enaaaaaakhhhh... akhhh... lebih keras keras sayanghhhhh... robek memek istrimuhhhh iniiihhhh eghhhh...”

Racaunya membuatku semakin bernafsu. Goyanganku semakin liar, satu tanganku meremas kuat payudaranya.

“Ahhhh sayanghhhh” rintihnya keras ketika susu indahnya aku remas.

“Yah, aku mau keluar saynghhh keluarhhh...”

“Aku juga... pejuhi memekkuhhhh pakhh polhhhh isihhhhhh eghhhh”

Sekali hentakan keras tubuhnya melengking. Aku langsung menarik kakinya dan kuletakan di samping pinggangku. Aku memeluknya, mengejang bersama dengannya. Menggigit lehernya. setelah semua maniku keluar, kunormalkan nafasku. Kuelus lembut wajahnya, matanya masih terpejam sedang nafasnya masih tersengal.

“Makasih sayang,” ucapku lembut, sembari bangkit dan memposisikan tubuhku memeluknya dari belakang. dia tersenyum, satu tangannya bergerak kebelakang, mengelus pipiku.

“Perih sakit, tapi kalau habis di kontoli sama suamiku yang pak polisi ini, seneng banget... nyaman banget,” ujarnya.

Aku masih menciumi tengkuk lehernya. Sesekali aku meremas lembut payudaranya, membelainya. Aku bangkit dengan siku sebagai tumpuan. Aku elus wajah dan rambutnya. Nyaman sekali kelihatannya, matanya terpejam. Pelan kemudian aku membopong tubuhnya ke kamar, aku rebahkan dan kulucuti semua pakaiannya. Dia tersenyum manis kepadaku. ku selimuti, dan aku pun ikut masuk dalam selimutnya.

Kumasukan tubuhnya ke dalam pelukanku...

“Tadi kasus apa yang?” tanyanya.

“Iya, ada yang mencoba membunuh paman untungnya paman masih bisa diselamatkan,” jawabku.

“Ada bocah itu lagi ya?” kembali dia bertanya padaku.

Aku menarik dagunya, dan kulumat bibirnya. Aku kemudian menceritakan kejadian yang baru saja aku alami. Sesekali aku memuji bocah itu karena kecerdasannya sama dengan kakek. Dia tersenyum.

“Mas hebat, dia juga hebat. Dia hebat karena ada mas yang hebat. Kalian adalah pasangan luar biasa untuk memperbaiki kota ini sayang, bersama dengan Raga adikmu. Dan ade... hanya bisa memeluk mas, selalu. Memeluk yang ade cintai. Ade akan selalu memberikan dukungan kepada mas... mashhh,” ucapnya semakin lama semakin pelan, matanya terpejam. Dia sudah mulai terlelap.

Ya, aku memang membutuhkan orang-orang seperti Raga dan Arta. Tapi yang jelas, aku membutuhkan istriku, tanpa dia, apa jadinya aku. Dia yang memberiku semangat, dia yang selalu menyadarkan aku agar tidak terlalu terbang tinggi, dia juga yang menarikku ketika aku tenggelam. Dia yang membuatku selalu tetap berada di atas tanah, menyadarkan akan posisiku yang tidak bisa melakukannya sendirian. Tanpa istriku, aku bukan apa-apa...
 
Terakhir diubah:


Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia


Libur,bersama mereka bertiga, seakan tak akan pernah berhenti kebersamaan ini. Dan biasa, dari mereka bertiga yang mau tetep bangun setelah subuh hanya Dina. Dini dan Winda, selalu kembali ke tempat tidur lagi. Hanya Dina yang menemaniku dengan pakaian minimnya. Dari ketiga sahabatku, memang Dina yang paling suka memakai pakaian yang sangat seksi.

Saat pagi menyapa, mereka berdua akhirnya bangun. Makan pagi bersama, melakukan aktifitas bersama dengan mereka. Setelahnya bermalas-malasan di dalam kamar dengan ngobrol sana-sini. Sesekali menggoda Winda biar mau cerita tentang hal yang sebenarnya. Tentu tetap saja dia tidak mau bercerita.

Akhirnya, kebersamaan empat sekawan ini harus berakhir ketika sore menjelang. Libur satu hari yang sangat menyenangkan, karena bisa bersama mereka. Kami pulang ke kosan masing-masing. Menanti esok yang sudah mulai kuliah lagi. Malas juga rasanya tapi mau bagaimana lagi.

Sesampainya di Kos, aku hanya menyiapkan apa yang dibutuhkan besok pagi. Setelah beres, kumpul bareng temen-temen kos. Ngobrol, menghabiskan waktu, biar cepet ngantuk. Asyik juga ngobrol bareng mereka, ada yang curhat, ada juga yang lagi andilau, antara delima dan galau. Kadang juga ada lelucon-leluconnya juga.

Ketika waktu tepat menunjukan pukul 22.00, kami semua bubar. Aku kembali ke kamarku sendiri.

“Hufth...”

Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kuangkat kedua tanganku. Dengan jari telunjuk dan ibu jari kedua tanganku, ku bentuk sebuah persegi panjang tepat diatas wajahku. Tersenyum.

“Semuanya sudah jelas... sangat jelas.”

Senyumku semakin mengembang, entah kenapa aku bisa sebahagia ini. Mungkin karena... ah, tidur saja. Pikirkan lagi setelah kuliah besok. Lagi pula akan aku percepat, karena lusa libur lagi. Tidur, tidur...


.
.
.


“Umiiiiiiiiiiii..” teriak Dina, belum sempat aku membalikan tubuhku, Dina langsung memelukku dari belakang.

“Dina... Sudah makan belum?” tanyaku sembari meremas tangannya yang mulai nakal. Enggak di kos, enggak di kampus, selalu saja.

“Belum mi, tadi pagi Dini gak bangunin mi, jahat tu si Dini,” ucapnya sambil melirik Dini.

“Ih, aku itu juga bangun telat tau!” benatk Dina dari belakang.

“Sudah, duduk dulu sambil nunggu yang lain. Lagipula hari ini kan kita bebas,” ucapku mereka berdua mengangguk.

“Oia mana Winda?” tanyaku.

“Tuh!” ucap mereka berdua bersamaan. Menunjuk ke arah belakang, aku kemudian menoleh.

Si Manjaku, kulihat dia sangat bahagia sekali. Berjalan bersama dengan teman-teman yang lainnya. Di sana juga ada Arta yang sedang bergurau dengan para lelaki. Irfan dan Andrew tampak bahagia sekali, ringan sekali tubuhnya untuk melompat-lompat, jelas saja tas mereka dibawa oleh Helena dan Dinda. Sedangkan Burhan dan Johan hanya bisa tertawa mengikuti canda teman-temannya. Dinda dan Helena yang terlihat berat sekali membawa tas, Tyas dan Salma sama dengan Winda memperhatikan canda para lelaki.

Walau tidak berjalan bersebelahan pun, aku tahu kalau manja ingin bersama Arta. Si manja sangat berbeda akhir-akhir ini. Bagaimana tidak berbeda? dulu saja kalau tidak ada kami bertiga, Aku, Dini dan Dina, dia pasti tidak mau ke keluar kelas. Sekarang, dia lebih bisa berbaur. Tertawa, tersenyum, bahagia sekali si manjaku ini.

Aku menunggu mereka semua di Kantin. Ya, Kantin. Tempat diamana aku membaca buku sambil menghabiskan waktu menunggu teman-temanku datang. Tadi pagi sesampainya di kampus, aku paling awal datang. Aku langsung menuju ke kelas. Baru saja sampai di depan tangga naik, aku melihat Dosen pengampu mata kuliahku hari ini. Aku sempatkan untuk menyapa, eh, malah beliau memberitahukan kepadaku kalau kuliah hari ini mau dikosongkan dulu. Beruntung bukan? Mungkin karena ada geger-geger kemarin. Maka dari itu aku tadi langsung ke kantin, sambil duduk santai, aku kirim pesan ke teman-teman yang belum berangkat, agar kumpul di kantin.

“Mbak, mbak... nomornya yang keluar nanti malam berapa ya?” canda Arta yang baru saja datang dan duduk disebelahku.

“Emang sini dukun?” balasku.

“Ya bisa jadi, tul ndak Ndrew?” ucap Arta sembari melemparkan pertanyaan ke Andrew.

“Yo’i Bro, ha ha ha,” tawa Andrew yang disusul dengan Arta.

“Eh, pesan dulu baru bercanda,” ucap Tyas.

“Tahu tuh, si bunglon dateng-dateng bikin ribut,” celetuk Dina.

“Iya, iya aku diam... demi kamu Na’, aku akan diam,” ucap Arta dengan gaya sok romantisnya.

“Heh! Jangan sok deket ya!” Ujar Dina.

“Iiiih Arta gituuuuu... kok sama Winda gak gitu siiiih,” Manjanya si manjaku, keluar.

“Windaaaaa!!!” teriak Dini dan Dina bersamaan.

“Sudah... sudah, napa kalian malah berantem sih. Dah aku mau pesan makanan. Kalian pesan apa?” tanya Helena yang bangkit.

“Aku Nasi goreng saja, dua porsi dalam satu piring sayang,” Ucap Andrew.

“Banyak banget yang?” tanya Helena.

“Agar aku bisa menyuapimu sayang...” jawab Andrew.

“Iiih, Romantis deh ayangku ini,” Helena menimpali.

“Heh heh heh... bukan saatnya pacaran, laper ni,” ucap Johan memprotes kemesraan mereka. Mendengar ucapan Johan, Helena, Tyas dan Dini langsung melangkah ke arah Kantin.

Helena dan Andrew, dua sejoli ini memang tidak pernah membuat iri teman-temannya. Romantismenya kadang kalau sedang marah-marahan pun kelihatan seperti tidak bisa dipisahkan. Beruntung Helena memiliki Andrew. Yang lain? Johan dekat dengan Tyas, karena mereka teman sejak kecil. Irfan, kalau dilihat-lihat masih pedekate sama Dinda. Burhan, mungkin memang harus bekerja keras untuk menaklukan Salma.

Inilah, grupku. Mungkin bisa juga dibilang geng. Maklumlah, satu kelas yang sering kumpul-kumpul cuma orang-orang ini saja. Yang lain masih berkomunikasi tapi kalau diajak kumpul susah sekali. Mungkin karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri.

Dari kesemua pria, hanya Burhan yang sedikit pendiam. Tapi kalau kata-katanya keluar, selalu membikin semua menjadi bengong. Ada sih kata-kata bijaksananya, tapi kadang yang bikin bengong itu mau nglucu tapi gak lucu, begitulah. Kalau yang lain biasa saja, apa lagi orang yang baru saja berubah wujud, Arta. Dia dulunya pendiam tapi sekarang, kadang bikin gemes buat mukul. Tapi lambat laun, seiring berjalannya waktu di semester 4 ini. Dia sedikit lebih terkontrol untuk candaannya. Bisa dibilang ada kedewasaan tumbuh dalam dirinya. Andrew, dia ketua dari segala kegaduhan. Johan dan Irfan, sama dengan Arta, tidak begitu membuat gaduh tapi kalau sudah di provokatori sama Andrew. Ribut semua. Gaduh setengah mati.

Dari ceweknya, mungkin yang paling cuek adalah Salma. Dia paling rajin membuka sematpon dan mengeus-elusnya. Ya karena sebab itulah, Burhan harus bisa lebih berusaha keras kalau mau mendapatkan Salma. Dan yang lain, sama ramenya denganku. Aku memang tidak tahu pribadi mereka satu persatu, hanya Dini, Dina dan Winda yang sebagian besar aku tahu. Walau begitu, sesekali kami nginep bareng di kos tertentu. Tapi intesitas nginep bersama tidak sama dengan aku, Winda, Dina, dan Dini.

Seharian kami mengobrol bersama di kantin. Tertawa bersama, bercanda bersama. Karena sudah jelas tidak ada kuliah hari ini. Dan...

“Dinda” panggil Arta ke arah Dinda.

“Ada apa Ar?” tanya Dinda, entah kenapa tiba-tiba Arta memanggil Dinda. Biasanya dia lebih cenderung ribut dengan teman-teman yang lain.

“Dinda kamu cantik. Caaaaaantik banget,” goda Arta. Aku sempat tertegun ketika mendengar Arta menggoda Dinda.

“Eh, Ar, elu gak sakit kan?” tanya Andrew.

“Sakit Ndrew, karena Dinda,” canda Arta.

“Iiiih Arta gitu, didepan Winda godain Dinda huuuh, sebel!” kesal Winda, tapi Arta malah membalasnya dengan juluran lidah. Tapi lebih aneh lagi, Winda seakan tahu apa yang akan diakukan Arta. Buktinya dia tidak kembali memprotes. Tidak memprotes bukanlah sifat Winda. Hm...

Entah setan apa yang merasuki si mantan culun ini. Tiba-tiba saja dia menggoda Dinda. Padahal kalau aku lihat, dandanan Dinda sama saja dengan yang kemarin. Suasana di meja kami semakin ramai. Apalagi Arta semakin menjadi-jadi saat menggoda Dinda. Dina kelihatannya jengkel juga sama Arta, tapi kenapa di Dinda diam saja. Ditambah lagi ekspresi wajahnya datar-datar saja.

Aku mencoba menghentikan Arta tapi tetap saja tidak bisa.

“Ar, kamu itu kenapa sih? sekarang malah suka godain cewek,” tanyaku.

“Endak yo, aku itu cuma melihat Dinda hari ini tambah cantik,” jawabnya.

Sebenarnya ada apa? tidak biasanya Arta seperti ini, Winda saja sadar akan hal itu. Kelihatannya pemikiran Arta menemukan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Kupelajari lagi gerak-gerik semua teman-temanku, biasa saja. Tidak ada yang aneh.

“Dasar detektif jadi-jadian, kemungkinan dia sedang melakukan pembuktian analisanya, hmmm...” bathinku.

Helena kemudian datang disusul dengan Tyas dan Dini serta Ibu kantin yang juga membantuk membawakan makanan. Maklumlah pesan banyak, tak sanggup kalau hanya mereka bertiga yang membawa. Sesampainya di meja, terjadi lagi pertengkaran kecil. Biasalah, Dini yang tanpa basa-basi memukul Arta tanpa Ampun.

Tak ada yang bisa aku lakukan, Arta juga, dia sudah tahu dalam kondisi tersudut oleh teman-temannya tapi tetap saja merayu Dinda. Lebih baik diam dan mengamati mereka. karena sudah tidak mungkin untuk menghentikannya. Makanan saja dimakan angin.

Kali ini Arta hanya yang dilarang diam oleh semua temannya, kembali membuat ulah dengan memandangi Dinda. Dinda mengangkat tasnya. Menutupi wajahnya. Kini wajahnya sedikit memerah. Dini dan Dina melayang pukulan ringan tapi tak digubris oleh Arta. Haduh, ini enggak bakal selesai-selesai kalau begini ini.

“ARTA!”

“Heeegggghhhh,” tiba-tiba saja Irfan bangkit dan mengapit kepala Arta.

“Ataaaaaaaaahhh ampun Fan, ampuuuun sakiiiit Fan sakit,” rintih Arta.

“Sudah, kalau makan ya makan, gak perlu goda Dinda!” bentak Irfan.

“Aduh...” ucap Arta sambil mengelus-elus kepalanya.

“Memangnya kamu itu siapa? Ndak boleh to nglarang-nglarang gitu,” lanjutnya dengan nada sok alimnya.

“Sudah! Makan ya makan!” bentak Irfan, semakin aneh saja si Irfan.

“Hadeeeeh... bukan siapa-siapanya, ngalrang-nglarang. Kamu kan temennya Dinda, aku juga. Boleh to ya. memangnya kamu itu siapa?” Arta semakin aneh saja dengan kata-katanya.

“Adaaaaaoowwww... sakit Fan, sakiiiit” kembali Irfan mengapit kepala Arta dengan lengannya.

“Makan!” bentak Irfan sekali lagi sembari melepaskan kepala Arta.

“Sudah, sudah ini ada apa sebenarnya? Makanan sudah datang dari tadi malah bertengkar terus!” leraiku sedikit membentak. Aku sudah tidak bisa tinggal diam.

“Ndak bisa, pokoknya aku mau makan sambil lihat Dinda yang cantiiiiik. Haiiii Dindaaaaa...” goda Arta.

Suasana semakin memanas. Bukannya makan tapi malah adu mulut. Malah tambah bingung, karena Irfan seakan tidak terima atas perlakuan Arta kepada Dinda. Apa yang terjadi dengan Arta dan Irfan. Dinda Cuma bisa diam, bingung juga sepertinya.

“Boleh ya boleh?!” tegas Arta.

“Enggak! Gue bunuh lu kalau lu goda Dinda?!”

“Sudah jangan malah adu mulut elu-elu pada?! Kampret kalian! Kita itu teman, jangan bertengkar karena hal sepele seperti ini! Ar, bisa gak kamu makan dan diam tanpa perlu goda Dinda?” bentak Andrew tapi tak digubris.

“Bodoooooh... kamu bukan siapa-siapanya?! Weeeeeeeeeeek,” ledek Arta.

“Kampret lu Ar, sekali lagi elu goda pacar gue, mampus lu!” bentak Irfan, semua terperangah.

“YES!” teriak Arta.

Dia berteriak seperti memenangkan sesuatu. Bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan ke arah kantin. Pikiran kami semua yang masih tertuju ke Arta atau memang pada dasarnya kami semua bodoh dan tidak menyadari sesuatu? Dengan tangan berpinggang dan menghadap ke arah kami semua, Arta tertawa layaknya seorang pemenang.

“Woi kalian semua! ndak denger tadi? ada yang jadian? Malah bengong semua ha ha ha... ayo makananya ditambah lagi, ada yang mau traktir makan-makan ini! Asek asek asek asek...” teriaknya yang kemudian melanjutkan langkahnya menuju kantin.

“Sudah mas, ngomong saja sama temen-temen,” bujuk Dinda.

Ah, ternyata si mantan culun itu sedang mengungkap sebuah kasus lagi. Semua memberikan selamat tak terkecuali si culun, yang datang dengan dua piring gorengan. Tertawa terbahak-bahak dan... pukulan yang dia dapatkan. Tapi memang gak ada kapoknya ini anak, walapun sering mendapatkan pukulan tetap saja rame. Keadaan kembali seperti semula. Irfan memang sengaja tidak memberitahukan, katanya sih mau minggu depan. Tapi karena si mantan culun ini membongkarnya, ya, sekarang jadinya.

Selepas berkumpul di kantin melepas penat kuliah dengan canda tawa. Kami semua pulang.

“Ar, kok kamu tahu kalau si Irfan jadian?” tanyaku.

“He’em, kok tahu?” timpal Winda.

“Hadeh, tuh tadi lihat tidak waktu irfan ke kantin? Tasnya dibawakan sama Dinda, memang ada cewek membawakan tas cowok kalau tidak ada hubungan?” jelasnya, ketika aku dan Winda mengapit Arta. Kami berjalan paling belakang sedangkan teman-teman yang lain di depan.

Benar juga, tadi si Dinda membawakan tas si Irfan. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? ah, masa bodohlah, hanya masalah jadian kenapa harus aku pikirkan? Tapi memang anak ini memiliki pemikiran lain ketika melihat sesuatu. Buktinya, polisi saja butuh bantuan mantan culun ini.

Akhirnya kami berpisah di parkiran. Aku kembali ke jalan pulang kosku. Menanti sebuah rencana besar yang ingin aku lakukan. Walau kadang teringat keindahan namun sepertinya sudah cukup tidak perlu lagi untuk menanti. Sudah cukup.

Langit itu sedikit mendung. Aku pun tak tahu, akan turun hujan atau terang nantinya. Sedikit mendung. Mungkin memang aku harus terbang ke awan itu. Agar aku tahu, hujan atau terang yang akan dia berikan kepadaku. Sedikit mendung, tapi tak akan seterusnya seperti itu.

Ah, lelah sekali. Lebih baik aku segera tidur.

“Keluarga? Hmmm...Aduh kenapa kata-kata itu kembali terlintas dipikiranku. Kata-kata yang diucapkan Arta, tentang kata keluarga. Dimana dan kapan? Yang jelas aku pernah mendengarnya.”

Aku meregangkan tubuh, berjalan mendekati tempat ternyaman. Kujatuhkan tubuhku, terlentang diatas tempat tidurku. Mataku menatap langit-langit kamarku. Pikiranku tidak bisa fokus, berbeda dengan lelaki itu. Dia selalu bisa fokus dan selalu menyadari akan sebuah perubahan. Sekalipun itu kecil. Rasanya ingin sekali memiliki otak seperti dia. Dan rasa yang paling ingin aku rasakan kembali, diselimutinya.

“Eh, Desy! tidur!” teriakku kepada diriku sendiri. Malu, entah kenapa aku merasa malu walau hanya memikirkan lelaki itu. bodoh ah, tidur.

.
.
.

“Dik, bisa antar aku ke rental mobil?” tanyaku kepada Adik kosku.

Aku sudah membuat sebuah rencana. Pagi ini, aku meminta adik kosku untuk mengantarkan aku ke rental mobil. Karena tak mungkin aku menggunakan mobilku, tidak rusak atau mogok, hanya untuk melancarkan rencanaku.

“Bisa mbak, lha mobil mbak kenapa?” tanyanya.

“Enggak kenapa-napa, cuma pengen pakai mobil lain saja. Bisa gak? kalau bisa, anter sekarang yuk,” ajakku.

“Oh oke mbak, tapi bentar ya mbak. Aku mau telpon Yayang dulu, kasih tahu. Masalahnya dia mau kesini nanti,” jawabnya.

“He’em. Aku tunggu di tempat parkir ya?”

“Oke mbak,” jawabnya.

Aku kemudian melangkah menuju tempat parkir. Bersandar pada mobilku sendiri. Kuhela nafas panjang, menenangkan jantungku yang berdegup dengan kencang. Kupejamkan mataku. Ku buka perlahan dan menatap kosong ke arah lantai tempat parkir.

“Mbak Desy, yuk?”

Ajak Adik kosku tiba-tiba, membuyarkan semua lamunanku.

“Eh, iya dik,” jawabku.

Kurang lebih 20 menit perjalanan menuju rental mobil. Di dalam mobil aku dan adik kosku mengobrol sekedar untuk mengisi kekosongan. Dia bercerita tentang pacarnya yang sangat sayang dengannya, bahkan keseharian dari mereka selalu dijalani bersama. Iri juga ketika mendengarnya. Tapi menurut penuturannya, dia sendiri kadang bosan kalau setiap hari bersama. Untung, katanya si pacar pinter buat suasana menjadi meriah lagi.

“Mbak sudah sampai,” ucapnya.

“He’em makasih ya dik,” jawabku.

Setelahnya aku keluar dari mobil, wanita centil ini kemudian balik lagi ke kos. Sebenarnya dia ingin memastikan aku dapat pinjaman mobil dulu baru kemudian pulang dari kos, tapi aku melarangnya. Setelah mobil adik kosku menghilang dari pandanganku, aku masuk ke dalam rental. Di dalam rental, sebenarnya aku kurang beruntung karena mobilnya ada setelah jam 10, tapi dengan sedikit memaksa akhirnya dicarikan. Dan bisa aku pakai pada pagi ini.

“Huft... Kuat!” bathinku.

Kututup mataku. Ku hela nafas panjang. Menormlkan detak jantungku. Kubuka kembali mataku perlahan dan tersenyum.

“Inilah saatnya,” bathinku.






Setelah kemarin disiksa habis-habisan sama Mbak Arlena, akhirnya aku bisa santai juga. Pulang ke kos, ya karena mbak Arlena hari ini sampai besok senin ada acara bareng sama keluarganya. Walau sebenarnya keluargaku juga, tapi aku belum siap menerima itu semua.

Aku pulang, menuju kosku mengambil jalan memutar. Memperlama waktuku di jalan. Dengan alunan musik Rock ‘n Roll, aku menyetrika jalanan ibu kota. Tapi tidak lupa untuk beli Dunhill dululah, di kios pinggir jalan.

“Lho itu kan?” bathinku.

Aku melihatnya di dalam mobil yang bukan mobilnya. Pandangan matanya begitu tajam. Ya, aku melihatnya berbeda ketika mobil yang dikendarainya melintas di depanku. Tepat di depanku yang sedang menyalakan rokok sembari melihat seberang jalanan.

“Aneh, masa bodoh ah,” bathinku.

Tapi tiba-tiba, entah kenapa, aku pun tidak tahu. Perasaanku mengatakan untuk mengikutinya. Lagipula hari ini aku tidak ada kerjaan, paling juga dikontrakan hanya tiduran saja. Aku ikuti saja, baru kemudian kalau sudah tahu arah tujuannya aku pergi. Gampang kan?

“Markike Varitem, kita jalan-jalan!” ucapku saat aku berada diatas motor.

“Apa itu mas Markike?” tanya seseorang dari kios rokok.

“Mari kita kemon pak he he he,” jawabku.

Tanpa menunggu lama, daripada kehilangan target operasi. Aku langsung menancap gas dan tentunya menjaga jarak. Agar aku tidak terlihat dan dia tidak menyadarinya. Kok malah seperti detektif ya, aku ini. Masa bodoh ah...

Weeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeng....
 
Terakhir diubah:
Komen dulu baru :baca:
 
Terakhir diubah:
Loh suhu DH muncul......

Antri neng pojokan, sopo ngerti langsung update :beer:
 
Sebelumnya terimakasih untuk suhu DH dan suhu ompai yang udah mau respon kritik dan saran saya . Hehehe
Untuk alur , dalam beberapa adegan saya melihat cerita sedikit lebih panjang dari cerita yang semestinya . Ya , mungkin bagus jika detail . Tapi , mungkin untuk pedetailan sedikit dikurangi pada bagian yang kurang diperlukan . Karena bisa jadi alur cerita seakan - akan muter2 .
Untuk pokok cerita , ini agak ribet jelasinnya hehe . Contohnya pokok permasalahan antara Arta dengan gadis2 dan Arta dengan keluarga alangkah lebih baiknya jika keduanya disejajarkan , tidak banyak dicampur adukkan . Seperti cerita Wild Love yang pokok ceritanya sejajar antara Konflik cinta dan konflik rumah tangga wkwkwk . Padahal ternyata kedua kinflik ini punya keterkaitan satu sama lain , namun nggak terlalu ditonjolkan . Waduh gimana penjelasan lebih lanjutnya ya ? Hehe
Untuk penulisan , diri saya pribadi tetap suka dengan diksi seperti itu . Maksudnya lepas , suhu dh dalam penulisan jangan terbebani ekspektasi pembaca (seperti saya) atas cerita Wild Love . Just let it flow hu .
Satu lagi masukkan , buat Arta . Saya pribadi lebih suka dia yang gak terlalu mesum , namun lebih ke menyenangkan ( suka bercanda ) . Heheheh

Namun , semua itu kembali kepada Suhu Dh dan Om Pai dalam jalannya cerita ini . Apabila ada kritik saya yang mungkin terlalu skeptis atau tidak berkenan . Juga apabila memang ada dari poin diatas yang memang nggak perlu ditanggapi ya nggak usah suhu . Anggep aja penyemangat nulis . Saya sebagai pemula disini berharap cerita ini akan jauh lebih bagus . Goodluck buat Author dan Editor . Wish you all the best lah hehe .

he he he maaf baru balas,

alur cerita pada disappear terkesan muter-muter ya hu? beda dengan wild love. mmm... begini hu, kalau di change? dan disappear? memang berbeda dengan Wild Love???? (Kalau ndak salah tanda '?' ada empat), di Wild Love sebagian besar atau bahkan bisa dibilang dari awal cerita sampai pada "hampir" akhir cerita, Sudut pandangnya dikuasai oleh Arya. dan sudut pandang orang lain baru muncul setelah mendekati akhirdari cerita. nah, di dua cerita baru nubie ini, nyoba dengan banyak sudut pandang. Mungkin itu yang membuat cerita ini malah muter-muter ndak karuan he he he

sebenarnya dari awal nubie sudah memberi catatan kalau cerita ini akan berbeda dengan cerita nubie yang pertam. bisa jadi para pembaca di awal psti akan berpikir cerita ke dua dan ketiga ini hampir sama dengan cerita pertama, tapi sekali lagi, cerita ke dua dan ketiga nubie ini beda he he he
 
ane punya keinginan di th 2017 ini, kalau nanti duit ane udah byk min bisa memproduseri film, ane bakal buat seluruh cerita suhu @Down hill , @alan, @paidikage @RECA, @wildick suhu suhu lain yg gak bisa di sebutin satu2., tapi tanpa adegan ss nya. kalau ada adegan ss nya malah gak bisa tayang.

mantabsz... Aktor utamanya paidikage wekekekekekekekekek

Apa ss arta ma mas jiwa oh tidaaaaaaaakkkkkkkkkkk:aduh:

Knapa harus mas jiwa pai, apa ainun dah g'mau ngasih jatah lg toh pai, knapa harus dengan mas jiwa, desi, winda, dina, dini malah diangurin :tendang:wkwkwk

Ainun, aduh kelupaan... keselip dimana coba? nanti nubie carikan hu... he he he
 
mangap...eh maap utk para suhu, mastah dan empu smua dimarih...
ane yg sotoy nih lagi binun binti ainun..:bingung:
semangkin dibaca ampe dimarih...kayanya ane ketinggalan serta gagal pokus nih...:pusing:

sepertinya ada cerita terdahulu yg memunculkan semua karakter yg ada dicerita ini
cuma ane ga tau apa judulnya....mohon sekiranyah para suhu, mastah dan empu bisa tolong sedikit berbaek hati
pada ane yg sotoy ini diberikan pencerahan apa judul cerita sebelum terbitnya cerita dari suhu DH ini...
muun mangap,,eh maap yg segedem2nya kalo ane udah sotoy marotoy..:ampun::ampun::ampun::ampun::ampun:

coba di klik link ini https://www.semprot.com/threads/change.1170065/

judulnya Change? itu awal mula cerita disappear? dimulai...
 
Halo suhu dono , suhu pai juga , makasih udah update , mantap updatenya :mantap: ditunggu suhu kelanjutanny :semangat: , kalo bisa sesekali triple update ato quartet update kek wildlove???? dulu :Peace:

=====
Sekilas baca dengan scaning typo di tulisan scene masih scene 2 dan belum update pejwan saja hu :Peace:

Simpen dulu ahh ceritane gae mengko bengi konco ngopi enak iki :D
 
Mohon maafnya telat, kemarin nyari-nyari pai, muter-muter ndak ketemu...
sandalku dibawa sama pai, jadi nubie ndak bisa kemana-mana, ini aja korek api dibawa sama pai hadeeeeh...

Untuk update kali ini, kalau kurang sreg, komen ya suhu, maklum setak he he he...

apdet selanjutnya, sedang dalam proses editing...

dan maafnya ndak bisa bales komen satu-satu, maafnya hu...

:ngupil:

:ngacir:
 
Halo suhu dono , suhu pai juga , makasih udah update , mantap updatenya :mantap: ditunggu suhu kelanjutanny :semangat: , kalo bisa sesekali triple update ato quartet update kek wildlove???? dulu :Peace:

=====
Sekilas baca dengan scaning typo di tulisan scene masih scene 2 dan belum update pejwan saja hu :Peace:

Simpen dulu ahh ceritane gae mengko bengi konco ngopi enak iki :D

terima kasih buat koreksinya hu, maklum sudah sore, belum ketemu koreknya...


Pai balikin koreknya woi!!!!



wekekekekek



:ngupil: lagi


:ngacir: lagi
 
“Belum mi, tadi pagi Dini gak bangunin mi, jahat tu si Dini,” ucapnya sambil melirik Dini.

“Ih, aku itu juga bangun telat tau!” benatk Dina dari belakang.

Typo nama

Helena dan Andrew, dua sejoli ini memang tidak pernah membuat iri teman-temannya.

Makaudnya "tidak pernah tidak membuat iri"?
Jeli banget suhu :matabelo:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd