Scene 27
Tak Terkendali
Eviela Dewi Karunia
Aku dah nyampe tan,
Aku tunggu di kios rokok pinggir jalan
Yang ada tulisannya
“makan gak makan penting ngrokok”
Iya sebentar
Tunggu yaa... muach
Wedew, ini tante pakai akhiran ‘muach’ segala. Lama kelamaan jadi merinding bacanya. Sudah disuruh berangkat pagi-pagi sampai sini masih disuruh mennggu. Untung ada kios rokok yang juga menyediakan kopi hitam. Kalau saja tidak ada yang kios ini, aku tidak tahu harus menunggu dimana. Kota ini termasuk kota yang baru, kota ketiga setelah ibu kota dan kota dimana aku bertemu Pengu. Haaah, mau apa coba aku disini? tidak mengenal siapa-siapa disini kecuali tante eviela.
Kalau aku rasakan, kota ini udaranya lebih segar ketimbang di ibu kota. Panas memang tapi masih bisa dalam batas toleransi. Dari sudut pandangku melihat, kota ini hampir sama ramainya dengan Ibu kota, tapi masih mending. Macetnya pun tidak separah yang ada di ibu kota. Dan kesamaan dengan ibu kota adalah... perempuannya ayu-ayu, manis-manis. apalagi yang SMA, wuih, itu lagi mbak-mbaknya yang lalu lalang di depanku. Kok ya ndak ada cacatnya sama sekali, putih mulus. Hmmm...
“Eh, kampret, otakku kembali mesum,” bathinku.
“Pak Kopinya satu lagi.”
“Iya mas.”
Selang beberapa saat, bapaknya keluar dari kios. Membawa segelas kecil kopi hitam pesananku.
“Masnya nunggu siapa? Bukan orang asli sini mas?”
“Nunggu temen pak. Iya pak bukan orang asli sini.”
“Ooh, masnya itu kalau duduk disitu ngingetin bapak sama seorang perempuan cantik. Dia sering duduk disitu mas, katanya cuma mau lihat karyawan yang kerja di gedung depan itu. Tapi itu dulu sudah lama sekali,” ucapnya sambil arah pandangan matanya melihat ke arah gedung di depanku.
“Katanya mas, perempuan itu suka sama itu karyawan, cuma sayangnya itu karyawan sudah beristri. Dia sadar, jadinya ya seperti penggemar rahasia gitu mas,” lanjut bapaknya.
“Weh bapak kok tahu ceritanya?”
“Ya tahulah mas, perempuan itu sempat cerita. Tapi setelah karyawan itu pindah Ibu kota, perempuan itu sudah tidak pernah terlihat lagi. Jangan-jangan masnya juga seperti perempuan itu? jadi penggemar rahasia?”
“Endak pak, aku nunggu temen dan pasti datangnya kok pak. Jadi saya bukan penggemar rahasia pak he he he.”
“Oh, ya sudah mas, bapak tinggal dulu.” aku mengangguk sembari tersenyum kearahnya.
Ada-ada saja cerita bapaknya itu. Kembali aku menikmati kopi dan rokok. Suasana yang lumayan dingin dikota ini, membuat kopi buatan bapak penjaga kios sangat bermanfaat. Lumayan bisa membuat anget dada ditambah lalu lalang kendaraan bermotor, membuatku semakin bisa menikmati hari ini. Ya, Aku memutuskan untuk datang setelah pesan watsapp misterius beberapa hari yang lalu. Walau pada akhirnya aku tahu siapa sebenarnya yang mengirim pesan tetap saja sudah buat aku panik. Sangat panik saat itu, ditambah lagi dia mengirimkan KTM-ku. Hufth...Sebenarnya aku ingin membicarakannya dengan Ainun, ketika mendapat paksaan untuk datang ke kota ini, tapi si RT dirumah terus, jadi ya.. sudah, aku memutuskan sendiri.
Tante Eviela, wajahnya memang cantik. Tak akan ada satupun lelaki yang membuang muka kalau bertemu dengannya, aku yakin itu. Ada pesona dari dalam dirinya tapi sayang, yang mempunyainya salah memperlakukannya. Sudah cantik, memang sih sudah berumur tapi tetap saja menggoda. Apalagi dia sudah menjadi janda, kata orang Janda selalu menggoda. Sebutan yang pas buat tante Evie itu, sama seperti gambar-gambar yang pernah aku lihat di sematpon pas broswsing, istilahnya Bogasari. Bodi gadis rasa ibu-ibu, ha ha ha. kampret, sampai segitunya pemikiranku, beruntung sekali yang pernah merasakannya.
Huh, pikiranku masih terus berputar, sebenarnya kapan dia mendapatkan KTM-ku? apa memang perempuan itu memiliki keahlian khusus ya? ada yang bisa baca pikiran, peramal, nah yang ini bisa mengambil tanpa sepengetahuan pemilik. Hmmm.. sebenarnya apa yang ingin dia bicarakan? Padahal baru beberapa hari yang lalu bertemu. Apa dia mengkhawatirkan aku? Apa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting tentang musuh keluarga? ndak tahu aku... yang jelas saat ini nyruput kopi sama ngrokok dulu.
Sebuah sedan hitam dengan garis putih zig-zag di bodi mobil bagian sampingnya, berhenti diseberang jalan. Aku tidak pernah melihat mobil itu sebelumnya, mungkin itu mobil tante Evie atau jangan-jangan mobil dari musuh keluarga? Ah, masa bodoh, kampret, cuma mobil berhenti jauh didepanku saja pikiranku sudah kemana-mana. Tapi entah kenapa bola mataku terus mengikuti mobil ketika mobil itu kembali berjalan menjauh. pandanganku terus mengikuti, sampai-sampai aku harus menengok ke kanan.
Klingklung...
Gantengnya kalo lagi nunggu hi hi hi.
Tadi yang sedan hitam di seberang jalan,
Kesini sayang, aku tunggu
Berarti tebakanku benar, kalau sedan hitam dengan garis putih itu adalah tante Evie.
Lha mbok tante saja yang kesini tan,
Kasihan aku sedikit kenapa?
Hush, gak boleh. Kamu yang kesini.
Kamu tadi liatkan sedan hitam? Dah sini ya muach
Cowok ganteng gak boleh marah,
Ntar gantengnya hilang, aku sedih dooong
Aku tidak membalasnya, Cuma bisa geleng-geleng kepala. Sebenarnya jengkel, tapi ya sudahlah walau sebelumnya disuruh nunggu terus masih disuruh kesana-kemari. Huh, daripada masih merasa jengkel ketika ketemu nanti lebih baik menghabiskan rokok dan kopi dulu. Sembari menikmati kopi dan rokok, aku mengirimkan pesan agar dia menunggu sebentar. Tanggung rokok juga masih setengah batang, sayang kalau dibuang.
Rasanya masih ingin aku tetap disini. pemandangan dari tempatku duduk sekarang, kini dihiasi oleh seorang perempuan muda. Wajahnya ayu, rambutnya panjang dan diletakan di bahu kirinya. Pakaiannya ketat, pada bagian dadanya menyembul dua gunung. Tercetak, benar-benar tercetak. Beruntung mataku masih normal dan belum mengalami rabun, jadi aku masih bisa menikmati pemandangan indah ini. Ah, tapi kalau aku amati sekali lagi, kelihatan sedikit palsu pada bagian dadanya. Lebih asli punya Desy dan Winda.
“Weits... kenapa bisa ke Desy sama Winda?! Argh! Pikiranku semakin ngeres disini” bathinku.
Aku langsung beranjak dari tempatku duduk. Ku bayar dua gelas kopi hitam yang kini hanya menyisakan ampas. Setengah berlari aku menunju sedan hitam yang terdiam di pinggir jalan, tepatnya diseberang jalan dari tempatku berjalan. Lalu lintas yang sedikit padat membuatku berhenti sejenak. Ah, kenapa tiba-tiba tadi pikiran tentang Desy dan Winda muncul. Benar-benar aneh, atau memang karena mereka berdua yang terbaru, ya terbaru yang aku rasakan.
Ceklek...
Aku sedikit terdiam ketika aku membuka pintu. Aku memang pernah bertemu dengannya, itu di malam hari dan suasana saat itu sangat kacau. Tapi sekarang berbeda, aku melihat sosok makhluk yang bisa aku lihat jelas dari sebelumnya. Benar-benar wanita yang ada di depanku ini tidak memperlihatkan kalau dia sudah berumur lebih.
“Hadeh Tan,” keluhku.
“Halo sayang, kenapa? capek ya? kamu sih lama banget, dah cepetan masuk.”
Jeglek...
Aku langsung duduk disampingnya. Entah kenapa dia terus tersenyum. Terlihat banget kalau dia merasa bahagia sekali. Dan aku tidak tahu apa yang menyebabkan dia bahagia hari ini.
“Kerumahku ya? lumayan jauh sih, 1 jam lebih, gak papa kan?”
“Ke rumah tante?”
“Iya, kita ngobrolnya di sana saja. Lebih aman, okay?”
“Lah kalau kesana saja hampir satu jam, bolak-balik berarti dua jam. Lha terus aku pulangnya? Nanti kemalaman tan.”
“Hi hi hi dasar perhitungan banget. Ya nginap, okay? Sudah tenang saja aman kok.”
“T-t-tapi..”
“Sudah gak ada tapi-tapian, mau kaaaan? Harus mau hi hi hi.”
Penawarannya tidak bisa ditolak. Aku menghela nafas panjang dan kemudian mengangguk pelan, mengiyakan tawarannya. Percuma saja menolak, lihat saja aku sekarang didalam mobilnya dan dibawa ke rumahnya. Mau menolak? naik apa nanti, kalaupun nekat bisa kesasar. Ke kota ini saja aku mengikuti petunjuk dari tante evie lewat watsapp. Hadeeh...
Mobil kemudian berjalan perlahan diiringi tawa lembutnya. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang ada didalam otaknya sekarang. Selain kelihatan bahagia, dia begitu akrab sekali hari ini. tidak seperti malam itu lebih cenderung ke misteriusnya. Ya jelaslah misterius lha wong ya aku baru kenal dengan dia. Eh, tapi ada sesuatu yang mengganjal, mungkin memang haru aku tanyakan.
“Tan, Tadi kok ndak langsung jemput aku di kios rokok?” ucapku semari menumpuk kedua tanganku di dashboard mobil sebagai sandaran daguku.
“Hi hi hi Ntar dikira gigolo kamu.”
“Gigolo? Eh, bentar... bukannya gigolo itu,” aku bangki karena aku tahu istilah gigolo. Sudah sejak SMA tahu, karena temanku ada yang sedikit ke arah situ. Siapa lagi kalo bukan Si gendut dan si Penjus.
“Iya itu kan tempat para tante-tante njemput brondong bayaran, hi hi hi. Aku ogah lah kalo kesitu, nanti kalo temenku tahu dikira tante-tante gatel, hi hi hi.”
“Hadeeeehh....” aku kembali ke posisiku diatas dashboard mobil, setengah aku menoleh ke arah tante Evie.
“Eh, kenapa? kok liatnya seperti itu?”
“Endak kok tan, cuma tadi bapak penjual itu sempat cerita.”
“Cerita?”
“Iya, tentang seorang perempuan yang selalu duduk ditempat aku duduki tadi tan. Katanya cuma mau lihat seorang lelaki yang bekerja sebagai karyawan kantor didepan kios. Jadi itu cewek suuka banget duduk disitu kalo sudah sore, pas si lelaki keluar dari kantornya saja. gitu tan?”
Suasana hening sesaat. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba tante Evie yang semula riang menjadi terdiam. Deru mesin mobil yang sedikit terdengar kini menguasai keheningan antara kami berdua. Aku mengalihkan pandanganku ke depan, aneh saja karena perubahan sikap tante Evie.
“Itu aku Ar.”
“Heh?!” aku menoleh ke arah tante Evie.
“Beneran tan?”
“Iya makanya aku gak mau jemput kamu disitu. Bapaknya pasti masih inget.”
“Lah kan ndak masalah kan tan kalo bapaknya inget?”
“Memang bukan masalah, tapi kenangannya itu yang bikin nyesek. Bodoh juga dulu, kenapa aku sampe segitunya? Setelah dia pindah, aku baru sadar kalo aku tidak perlu menunggunya lagi. Jadi ya,
move on gitu.”
“Tapi tante hebat,” ucapku seraya mengalihkan pandangank kembali ke depan.
“Hebat?” tanyanya sedikit heran.
“Iya tan, karena tante tidak dibutakan oleh rasa suka tante. Kadang kan ada tan yang karena suka sekali akhirnya bagaimana caranya harus dapat, sedangkan tante tidak.”
“Bisa aja kamu ini Ar, dah sana pindah belakang. Tidur, kelihatan ngantuk kamu. siapkan energi biar nanti gak ngantuk-ngantuk pas ngobrol.”
Aku menoleh ke arahnya.
“Iya tan, makasih. Tante tahu aja kalo ngantuk he he he.”
Aku kemudian bangkit dan pindah tempat duduk belakang. Aku membuka jendela belakang, menyalakan rokok.
“Dasar, disuruh tidur malah ngrokok.”
“He he he... begitulah tan, begitulah. Oia tan, masalah kenangan tante itu. berarti tante kenal sama laki-laki itu?”
“Iya kenal, sebatas kenal saja.”
“kok tante bisa suka?”
“Hush, tanyanya kok macem-macem?”
“Cuma ingin tahu saja tan.”
“Kenal, dia pernah nolongin aku. Ya setelah itu suka, tapi ternyata sudah beristri. Jadi aku mundur daripada kalo dilanjutin sakit.”
“Berarti cinta tidak harus memiliki? Asal dia bahagia dengan yang lain?”
“Salah, Cinta itu harus memiliki. Kalau tidak memiliki itu namanya harus mencari yang lain. Sudah, gak usah tanya-tanya lagi, kalau menyelidiki aku nanti saja dirumah.”
“Hadeh, Cuma nanya kok dikira menyelidiki, hmmm...”
Terdengar suara tawa lembutnya menemani laju mobil yang semakin lama memberiku udara yang sangat dingin. Ku amati jalanan yang dilalui, memberiku ingatan ketika malam tahun baru bersama teman-temanku. Jalanan mulai menanjak, udara semakin dingin, dan rumah-rumah mulai sedikit jarang. Entah kemana arah tujuan mobil ini.
Sesekali aku mengobrol dengan tante Evie mengenai lingkungan jalanan ini, hanya untuk mengisi kekosongan saja. Tawanya tampak riang sekali, entah kenapa aku malah sedikit takut dengan dia. Ketika dia menawariku minuma botol saja aku sempat menanyakan racun didalam minuman itu. Jelas saja tidak, lha
wong tutup botlnya saja masih tersegel.
Sebatang lagi aku sulut, mungkin akan ada tambahan batang rokok lagi yang akan aku nyalakan. Bukan karena suasana dinginnya, tapi karena ada minuma manis yang sedang aku pegang. Lama setelah perjalanan, mobil masuk ke sebuah jalan. Jalan yang disusun dari batu-batu yang berbaris rapi, walau rapi tetap saja terasa goncangannya. Hingga akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah, setelah meleawti beberapa rumah dengan jarak yang lumayan jauh antar satu rumah dengan rumah yang lainnya.
Pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Aku tidak mau bertanya, nanti pasti akan ada ejekan
Ndeso alias kampungan. Setelah aku turun, ku amati kembali rumah didepanku. Rumah dengan nuansa pedesaan, hampir semua bangunannya didominasi dengan kayu. Hanya sedikit yang dibuat dari batu bata. Walau begitu tetap saja terlihat mewah, bagiku.
“Eh kok diem, sini masuk. Perlu aku gendong?”
“I-iya Tan.”
Aku melangkah mendekati tante Evie. Menakutkan juga, masa mau gendong aku. Apa dia kuat? kelihatannya kuat sih, maklumlah dua gunung kembar saja dia bisa bawa. Kalau Cuma aku, enteng menurutku.
“Dah duduk dulu, santai dulu. Hampir sore, kalau perlu tidur dulu. dan jangan minta poin utamanya, kalau minta poin utamanya kamu tidak akan memberikan informasi apapun kepadamu.”
“Ya tan, kalau gitu aku kebelakang boleh ndak? Kelihatannya pemandangannya bagus.”
“Iya... oia, mau kopi?”
“Iya tan. Satu kalau ada kopi hitam tan, manis.”
“Lihat aku aja gimana? Kan sudah manis?”
“Yaelah tan.”
“Iya iya, hi hi hi.”
Setelah percakapan dengan tante, aku keluar. Kulihat pemandangan yang indah, ada kolam renang juga dibelakang. Aku terus melangkah dan duduk bersila didepan pagar pembatas. Pemandangan yang indah. Gunung, sawah dan juga sebuah pedesaan kecil terlihat disini. Selang beberapa saat tante datang dengan dua gelas kopi. Kami kemudian mengobrol, sesekali aku mencoba menyela obrolannya dengan tujuan dia mengundangku kemari. Tapi sial, dia selalu bisa membaca arah pembicaraanku. Lama kami mengobrol akhirnya aku diserang rasa kantuk.
“Hooammmhhh...”
“Dah istirahat dulu sana, nanti aku bangunkan.”
“Iya tan.”
Aku berjalan bersama dengannya masuk ke dalam rumah. Aku kemudian disuruh tidur di lantai atas. Dengan langkah malas aku segera ke atas. Tak lagi aku bisa mendeskripsikan ruang kamarnya, intinya mewah. Ah, ngantuk sekali. Ku hempaskan tubuhku dan langsung tertidur. Benar-benar lelah.
.
.
.
“Dah makan dulu, ini minumnya,” tawar tante Evie ketika kami duduk bersama di meja makan.
“Iya Tan,” jawabku.
Dia duduk didepanku. Tanpa mempedulikannya, aku langsung melahap habis makanan. Memang perutku lapar sekali. Ya maklum, seharian aku tidur dan baru bangun pukul 7 malam. Kecapaian mungkin, atau memang dasarnya aku yang sedang banyak pikiran sehingga membuatku merasa malas. Sambil makan aku juga mengajaknya mengobrol, ya biar tidak seperti orang sedang marahan. Setelah habis dua piring nasi, aku langsung menghabiskan segelas air putih dan tentunya tidak lupa kopi manis yang hangat. Aku menikmatinya masih di meja makan bersamanya.
“Ngrokok disini saja, gak usah keluar. Aku dah terbiasa dengan asap rokok.”
“Iya tan.”
Kami kemudian mengobrol panjang lebar. Sedikit dia menceritakan tentang masa lalunya ketika menjadi istri dari Rawa. Kehidupannya yang getir penuh dengan kesedihan membuat trenyuh hatiku. Apalagi ketika dia cerita ketika dia harus melayani dua orang sekaligus dibawah ancaman kematian. Tapi sekarang dia sudah sedikit lega, lepas dari semua orang-orang itu.
“Tapi tantehh... egh... ndak papa kan? Masih sedih?”
“Enggak dah biasa, ada kamu sih hi hi hi.”
Ah sial, kenapa tiba-tiba tubuhku terasa panas sekali. Jantungku sedikit berdebar dengan kencang. Panas sekali, entah kenapa rasanya ada hasrat yang harus aku lampiaskan. Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? biasanya tidak seperti ini. Nafasku pun sedikit memburu, mencoba menetralkan panas dalam tubuhku.
“Ar, kenapa?” tanyanya, dia bangkit lalu menarik kursi mendekat disampingku.
“A-aku ti-tidak tahu tan,” jawabku sembari mematikan rokok.
“Kok panas?” tanyanya dengan satu tangannya menyentuh dahiku.
Seperti tersetrum karena sentuhan dari tangannya yang terasa dingin, tiba-tiba penisku langsung tegang. Aku menatapnya, menatapnya penuh dengan nafsu. Entah kenapa seperti ini, dalam benak hatiku hanya satu, aku ingin memangsa wanita setengah baya didepanku ini. bahkan pandanganku saja sudah tidak fokus lagi, aku sudah tidak bisa mengendalikan mataku. Mataku terus melihat ke bagian dadanya, sudah tidak ada kata mencuri pandang tapi ini sudah langsung memandangnya.
“Ar...”
“I-iya..”
“Panas sayang? Kamu kedinginnan? Kamu sakit?” aku menggeleng. Bukan dingin, tapi... tapi...
“Sini sayang.”
Tiba-tiba saja dia menarikku. Memelukku kepalaku, kedua tanganku berada dibawah ketiaknya. Spontan tangannku memeluk tubuhnya, nafasku semakin mengejar. Wajahku yang semula bersandar dipundaknya, aku tarik hingga terbenam. Terbenam dia tengkuk leher putihnya. Tanganku sudah tidak memeluknya tapi mengelus, mengelus punggung indahnya. Ah, aku bisa merasakan relief Bra, BH, entah apa itu namanya, di punggung yang lembut ini. Pelan, ku tarik wajahku sedikit ke atas, menyejajarkan bibirku dengan tengkuk lehernya.
“Eghh... Arrrhhhhh mmmhhh... sudahhhhh”
“Tidak, dia tidak boleh menolaknya. Dia harus mau, aku sudah tidak bisa menahannya. Tapi kenapa dia tidak mencoba untuk menghindar?”
Masa bodoh. Aku memang masih bisa mengendalikan diriku tapi harus dituntaskan. Munkgin karena itu aku masih bisa lembut, ah, pokoknya sekali di menolak aku harus memaksanya. Pikiran dan nafsu ternyata lebih kuat nafsuku. Sekali lagi, ku kecup lembut tengkuk lehernya, beberapa kali aku mengecupnya. Dengan nafas mmeburuku, bibirku sedikit aku buka, bibirku mengigit-gigit lembut kulit lehernya.
“Egh, Ar geli, sudah Ar... kan kammhhhmuh sakithhh.”
Tidak, aku tidak sakit. Aku hanya ingin segera menuntaskannya. Harus segera. Aku saudah tidak bisa menahannya. Satu tanganku spontan bergerak ke arah dadanya, meremasnya dengan lembut. Ketika tanganku meremas, terdengar desahan dari bibirnya tapi tak ada penolakan. Baru ketika aku meremasnya dengan sedikit kuat, satu tangannya turun dan memegang pergelangan tanganku. Dan aku...
“Egh... heghh.. hegh...”
Aku memeluknya dengan erat hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Hampir saja dia terjatuh tapi satu tangannya masih menahan dengan berpegang pada pinggiran meja makan. Aku keluar, sama seperti ketika bersama Winda. Kali ini logika, pikiranku kembali berjalan dan nafsuku sedikit mengendur
“Ar, kamu kenapa sayang?” tanyanya sembari mendorong tubuhku untuk tegak. Kini wajah kami berhadapan.
“Sakit?” tanyanya dan aku menggelengkan kepalaku.
“Ma-maaf tadi aku... dan aku sekarang... a-aku mau mandi.”
“Kenapa? sakit kepalanya? Pusing?” tanyanya sembari sembari menundukan kepalaku membuat wajahku tepat berada dia atas busungan dadanya yang terlihat menyembul. Seakan.
“Egh... tan..”
Aku kembali kehabisan akalku, tubuhku menjadi sangat layu terhadap nafsuku. Pelan aku mendekatkan wajahku ke busungan dadanya. Kedua tanganku mengikuti dengan memeluk pinggang kecil. Wajahku terbenam didadanya. Hangat, empuk.
“Arhh... mmhh... ada apa sayanghh?”
Desahannya yang memanggilku tak ku gubris. Aku ingin menikmati momen saat ini. Dengan dorongan nafsu, kedua tanganku berpindah ke payudaranya. Tak seperti sebelumnya, kini penisku lebih kuat dari sebelumnya, lebih tegang tapi tak ada tanda-tanda ingin memuntahkan lahar. Aku terus mengelusnya, meremas lembut, wajahku kemudian kubenamkan dan sesekali aku menggesekan ke tempat yang hangat dan empuk ini.
“Arhh sudhmmmmmhhh.”
Tangannya memeluk kepalaku, menekannya, membuatku semakin merasakan kehangatan pyudaranya. Kedua tanganku menarik belahan dada kaosnya semakin kebawah, sulit karena terhalang lehernya. Aku memaksa dan terus memaksa menarik kebawah, aku ingin segera menikmati payudaranya. Dan disaat aku masih terbawa nafsu untuk menarik belahan kaos yang dia kenakan, aku merasakan satu tangannya sudah tidak memeluk kepalaku. Bersamaan dengan satu tangannya yang menghilang dari kepalaku, kaosnya dengan mudah turun kebawah. Memperlihatkan BH yang dia kenakan. Tanpa menunggu aku langsung menariknya kebawah dengan kedua tanganku. Saat kaos itu turun kebawah hilang pelukan tangannya di kealaku.
“Artaaah... sudmhhh...”
Lagi-lagi dia mencoba mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang dia lakukan. Kata-katanya tidak aku pedulikan. Akal dalam otakku sudah meringkuk disudut ruang pikiranku, hanya nafsu yang kini merajai. Kini aku menikmati payudara yang menurutku sangat indah, lingkaran di puting lebih besar daripada punya Ainun. Lidahku mulai bermain di puting susunya, kedua tanganku secara bersamaan meremas kedua bukit kembarnya.
“Arhh sudahhh....” Desahnya kedua tangannya menaikan daguku. Wajahku kini berada tepat didepan wajahnya.
“Kamu kenapa sayang kok tiba-tiba seperti ini? Gak boleh sayang.”
“Tidak, harus boleh... harus boleh... dia tidak boleh menolaknya...”bathinku
“Armmmpphhhh...”
Tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara, bibirku langsung menutup bibir merah jambunya. Kedua tanganku berpindah dibawah pahanya, mengangkat tubuhnya. Reflek kedua tangannya memeluk kepalaku kembali. Payudaranya terjepit tapi sediit terasa didadaku. Aku dudukan dia di pinggir meja makan. Bibirku kembali menekan bibirnya hingga posisi tubuhnya sedikit miring hampir rebah. Tanganku berpindah, dan langsung menyapu semua peralatan makan yang ada dibelakang tubuhnya.
“Arhh... su-sudah... aaww”
Jeritnya ketika aku mendorongnya hingga rebah di atas meja makan. Aku sudah kehilangan akal, entah kenapa otakku hanya berputar pada payudara dan vaginanya saja. aku kembali menarik kaosnya yang sempat menutupi payudaranya ketika aku mengangkat tubuhnya tadi. Kutarik dan kembali aku menghisapnya, bibirku menikmati payudara kirinya sedang tangan kiriku menikmati payudara kanannya.
Kedua kakinya yang belum terbuka sempurna, aku paksa membuka dengan mendorong tubuhku lebih maju, dengan bantuan tangan kanan menarik roknya ke atas hingga meperlihatkan celana dalam yang hanya menutupi bagian intimnya. Tanganku mulai meraba mencari bagian atas celana dalamnya, ada sebuah tali dipinggul kanannya. Dengan bibir masih menikmati payudaranya, aku melepas ikatan pada pinggul kananya. Terbuka walau sebagian tapi sudah cukup...
Ciumanku turun, semakin turun. Hanya berbekal ingatan dan mengikuti naluri kelakianku, aku mulai mencium vaginanya. Celana dalamnya masih menggantung karena satu tali dipinggul kirinya belum aku buka. Masa bodoh. Aku mulai menciumi vaginanya yang ditumbuhi sedikit rambut halus. Lidahku mulai menjulur, menjilat dan bermain-main di bagian atas vaginanya. Aromanya tidak sewangi milik Ainun.
“Argghhhh mmmhhh... sayang sudhhh aaahhh. Janganhhh... eghhh...”
Rintihannya semakin membuat rasa didalam tubuhku semakin menjadi-jadi. Ku lepas celanaku, hingga melorot kebawah. Aku kemudian berdiri, mengarahkan penisku ke vaginanya. Ku pegang dan ku lebarkan satu pahanya dengan tangan kiri. Kuarahkan penis dengan tangan kanan.
“Arta jangan, gak boleh sayang, jangan ya jangan...” pintanya engan mimik memelasnya.
Masa bodoh. Aku hanya menatapnya sebentar dan kemudian kembali fokus pada alat kelaminnya. Kedua tangannya mencoba menghalangi tapi tangan kananku menepisnya. Ku arahkan kembali penisku, kudorong. Terasa licin tapi kesulitan untuk masuk, ku keluarkan lagi dan kumasukan lagi.
“Arta janganhhh.”
Aku tidak mempedulikannya, beberapa kali aku mencoba memasukannya. Akhirnya masuk, dan ku tekan perlahan. Dan ketika semua masuk ke dalam, aku langsung memeluknya. Kubenamkan wajahku di payudaranya sembari pinggulku bergoyang. Awalnya terasa sedikit keset tapi lama kelamaan aku bisa merasakan lancarnya penisku keluar masuk didalam vaginanya. Ah, sungguh nikmat sekali.
“Artaghh... berhentiihh... eghh... pelannhh... mmhhh...”
Aku terus memompa vaginanya. Terus dan terus memompanya, kedua susunya silih beraganti aku mainkan dengan bibirku. Desahan demi desahan aku dengar dari bibirnya.
“Artahhh... hentikhhhhaaann eghhhh... sayanghhhh sudaahhhhhh mmmhhhhh... hhhh besar sekalihhhh... pelannhhhh...”
Aku tidak mempedulikannya, pinggulku terus bergoyang dan memompa alat kelaminnya dengan alat kelaminku. Aku menegakkan tubuhku, memegang pinggangnya. Aku semakinliar memompanya.
“Ar... arghh yahh... mmmhhh... sudah... sudaahhhhh... janganhhhhhhhh... sayanghhhhh... enghhhh...”
“Sayang sayang sayangg aaaaaargghhhhhhhhhhh.”
Tiba-tiba tubuhnya melengking, kedua tangannya menggenggam erat pergelangan tanganku. Aku menghentikan aktifitasku, nafasku mengejar tapi aku masih bbisa menikamti pemandangan didepanku. Tubuhnya melengking kemudian jatuh kembali di atas meja. Beberapa kali dia mengejan, ekspresi wajahnya pun berubah. spontanitas aku memeluknya, mengecup lehernya yang putih.
“Arrrhh... mmhh...”
Aku memeluknya lebih erat. Nafasnya masih mengejar, tapi tampaknya pinggulku tak meresponnya. Kembali aku memompa tubuh wanita ini, pelan dan bertambah semakin cepat. sedikit ada penolakan, kedua kainya mengapit pinggulku mencoba untuk menghentikannya. Sempat aku menghentikan ayunanku tapi otakku sudah tidak bisa merespon rasa lelahnya. Apitan kakikanya semakin melemah seiring ayunan pinggulku.
Ciumanku turun dari lehernya menuju ke payudaranya dengan kedua tanganku menarik kaos longgarnya sekaligus BH-nya turun. Kedua tangannya memberikan ruang seakan mengerti keinginanku, kasonya terlepas dari kedua tangannya dan sekarang berada di perutnya. Hanya perut yang sekarang tertutup kaos, sedangkan roknya yang suda tersingkap sebelumnya juga menutupi perutnya.
Dia memelukku erat, memeluk kepalaku yang sibuk menikmati kedua payudaranya. Menjambak, mengelus.
“Artaaah... pelanhhh iya gak papa sayang tapi pelanhhh... mentokhh... mmmhhh... say arghhhh...”
Aku masih mengulum, menjilat, memainkan puting payudaranya bergantian dengan tanganku yang juga ikut meremas. Ah, lembut, hangat aku ingin, harus tuntas.
“Ahh.. tantehhh...”
“Iya sayang pela sajaaahh... mmhhh... pelanhhh... mentok sayanghhh... kebesarenhhh...”
“Punyamu kamuhhh sayanghhh...”
Entah kenapa setelah mendengar kata-kata kotornya aku semakin mempecepat ayunan pinggulku. Bibrku beralih ke lehernya, mencium kadang menjilat leher putih yang masih tercium wangi harum parfum yang dia kenakan.
“Artah.. tanteehehh.. keluaaaaaaaaaarhhhhh.. egh egh egh...”
Aku memeluknya erat. Tak memberikan ruang untuk tubuhnya bergerak liar, melengking seperti sebelumnya. Hingga dia terdiam, aku angkat wajahku. Menatap wajah ayu wanita setengah baya dengan kedua mata tertutup. Nafasnya terengah-engah, menikmati puncak yang baru saja dia gapai.
“Ar... sudah sayang, tante sudah gak kuat...” tangannya memegang wajahku.
“Kenapa sayang tiba-tiba kamu seperti ini?” tanyanya.
“Maaf tan, tapi aku ingin lagi..”
“I-iya baiklah, tapi pindah kamar saja sayang, sakit punggung tante.”
Aku angkat tubuhnya dengan penisku masih tertancap. Dia sangat lemah, tubuhnya langsung memelukku. Kulepas celanaku yang masih tersangkut di pergelangan kakiku dan kemudian aku melangkah menuju kamarnya. Aku merebahkannya dengan pelan, penisku terlepas dan mengacung ke arahnya. Dia hanya tersenyum, kemudian melepas semua yang menempel ditubuhnya. Melihat pemandangan yang tubuh perempuan yang sedang bergeliat melepas kaos dan rok yang berada diperutnya, membuat nafsuku semakin tidak bisa dikendalikan. Tubuhku semakin panas.
“Aku ambil minum dulu, Ar,” ucapnya dengan senyum yang membuatku semakin tak terkendali.
“Tidak, dia pasti akan lari... tidak boleh.”bathinku bergejolak.
Baru saja dia memiringkan tubuhnya, hendak bergeser ke arah pinggir tempat tidur untuk turun dan mengambil minuman, aku langsung menangkapnya kembali. Pelan aku menarik tubuhnya hingga dia rebah miring membelakangiku. Dari belakang tubuhnya, aku memeluk perutnya, menurunkan tubuhku.
“Aww Ar, iya tante gak bakal lari jang aaaaaaaahhhhh Ar... pelannhhh.”
Tanpa memberinya kesempatan aku kembali memasukan penisku ke ruang senggamanya. Kembali pinggulku berayun. Bibirku kembali ke lehernya, mencium dan tanganku tak merayap ke arah payudaranya. Aku meremasnya dengan kasar.
“Ar... pelanhhh mentokhh ekkkhh... sayanghhh mmmhhh...”
Semakin cepat menggoyang tangannya bergerak liar, mencoba menghentikan pinggulku kadang meraih pergelangan tanganku agar remasanku tidak terlalu kuat. tapi sayangnya usahanya gagal, aku terus menggoyang tubuhnya dengan penisku. Semakin cepat dan semakin membuatnya bergerak liar.
“Arhhh sayang... ahhh... ahhh... mmhhh... pelannnhhhh sajjjaaaahhhh owhhh... dalamhh sekalih yahhhhh orrrghhh....”
“Tidak tant, maafin Arta tapi Arta butuh sekali”
“I-iya pelanhhhh mmmhhhh...”
Tak perlu lama kembali kakinya membujut kaku. Tubuhnya melengking dan kali ini pelukanku sedikit melemah. Beberapa kali dia mengejang baru kemudian melemah kembali. Nafasnya begitu panjang mencari ritme normal nafasnya.
“hash hash hash Ar, istirahahhh has hash hat dulu sayanghhh tanteh minum duluhhh... yahhh?”
Dia kemudian bergerak hendak turun dari tempat tidur tapi entah kenapa otakku tidak bisa menerima keluhannya. Penisku yang masih tertancap masih ingin berada didalamnya. Aku kembali menubruknya, kini dia dalam posisi tengkuran dan aku berada diatasnya. Aku bebankan berat tubuhku diatasnya, dan kembali pinggulku berayun.
“Armmppphh... mmmmmhh... oohhh... sayangghhhhh eghhhhhh...”
“Maaf tante aku tidak bisa berhenti, aku ingin lagi dan lagi.”
“I.. iya sayanghhhh isti aaaghhhh ah ah ah eh oooghhh sayanghhhh.”
Tanganku menelusup kebawah payudara yang terhimpit oleh tempat tidur. Meremasnya, bibirku menciumi leher belakangnya. Aku merasakan kenikmatan tersendiri ketika tubuhku, tubuh yang seakan tidak bisa aku kendalikan, terus meminta untuk tidak melepaskan wanita yang sedang aku peluk. Terasa sekali vaginanya licin, banyak cairan yang keluar dari dalam vaginanya, mungkin untuk menetralkan panas akibat gesekan kelamin.
“Aahh artaaahh... mmhhh sayanghhhh... pelan-pel aaaaahhh... sayangghhhh yaaahhh... mmmhhhhhh.”
Aku sedikit mengangkat tubuhku. kulihat kedaua tangannya mencengkram sprei, bibirnya tak henti-hentinya mengatakan kepadaku untuk pelan, tapi sayang aku sendiri tidak bisa mengendalikannya. Semakin cepat aku memompa tubuh wanita setengah baya ini dengan kedua tanganku masih terus meremas payudaranya.
“Aaahh sayanghhhh pelan sakit... sakiiiithhhh aaahh pelaaaaannnhhhh mmmhh.”
Tiba-tiba ada sekelabat rasa iba, tubuhku masih terus bergerak sangat cepat tapi pertahananku melemah. Yang semula dibawah sana tidak merasakan rasa sensitif, setelah rintihannya, sesitifitas kulit penisku semakin bertambah. Aku hampir mendekati puncak. Ku rebahkan tubuhku, menindihnya. Meremas dengan kasar paydaranya.
“Tantehhh... aku mauhhh...”
“Yah sayangh keluarkanhhh aku juga sudah tidak sangguphhhhh keluarkan bersama Arhhh.”
Hentakan keras dari pinggulku. Membuat seluruh batangku merasakan kehangatan vaginannya. Dalam, hangat.
“Tanhhh egh egh egh egh egh ...”
“Aaauuughhhh...”
Beberapa kali aku mengejan dan memeluknya dengan erat. Tubuhnya menjadi kaku. setelah beberapa kali tembakan spermaku didalam tubuhnya. Tiba-tiba tubuhku menjadi sangat lemas, rasa lelah menjalar di tubuhku.
“Tantehh ma.... afhh...”
Itu adalah kata-kata terakhirku dan langsung semuanya menjadi buram. Kabur. Dan gelap.