Pagi ini Sella sedang sibuk mengetik di laptopnya sambil menyantap rotio bakar coklatnya. Ia sedang mengetik proposal mengenai pengajuan dirinya untuk melanjutkan pendidikan S3 di negara tetangga. Kesempatan itu tentu sangat dimanfaatkan dengan baik mengingat jenjang pendidikan yang tinggi di usia yang belum menginjak 30 sangatlah langka, dan Sella adalah salah satu yang sedang mengusahakannya saat ini.
Disamping kirinya, Sonya dan Santi, adik dari Sella sedang asik dengan gawai merek masing2. Sonya sedan mengetik sesuatu di kolom aplikasi chat nya dengan mata berbinar dan senyuman tipis tersungging, sementara Sonya memasang ekspresi cembetut sambil mengaduk pelan mangkuk berisi sereal rasa vanila nya. Ketiganya sibuk dengan dunianya masing2. Tentu saja yang paling tidak merasa nyaman adalah Hartini, ibu dari mereka bertiga yang sedan duduk tepat di depan mereka.
“Asik banget nih pagi2. Yang satu ngetik cetak cetek, yang satu cengar cengir sambil maen hape, yang satu lagi manyun terus dari kemaren.” Celetuknya tajam.
Hanya Santi yang kembali menghabiskan sarapannya, sementara Sella masih sibuk dengan proposalnya dan Sonya yang acuh tidak mempedulikan tusukan tajam sindiran dari ibu nya.
“Mhomm.. hahu heranghat huluan hyahh… huhah helathh!” pamit Santi sambil mengigit roti bakarnya lalu pergi keluar setelah meraih ransel kecil nya.
“Heh, kamu pergi sama siapa!?”
“Sama ojol! Bye mom!” seru Santi dari arah pintu masuk.
Tinggalah ia dengan sisa srikandi kesayangannya yang masih sibuk dengan aktivitas mereka masing2. Ingin rasanya Hartini kembali mengucap tajam kepada mereka yang tidak mematuhi salah satu etika ketika berada di meja makan.
“Kakak asik banget kayaknya sama laptopnya…”
Sella tidak menanggapi. Hartini pun berpindah ke anaknya yang paling bungsu.
“Adek kenapa? Cembetut melulu dari kemaren…?”
Sonya pun juga tidak menanggapi banyak. Ia hanya memberikan picingan sekilas sambil tetap memasang ekspresi masam.
“EHEM!”
Suara deheman Hartini nyaring terdengar di ruang makan, membuat Sella dan Sonya melirik sekilas asal suara tersebut.
“Kalian tau kalo di meja makan itu ngapain?”
Seakan sudah tahu maksud dari ibunya, Sella pun bergegas menyimpan semua dokumennya lalu menutup laptopnya, ia lantas cepat menghabiskan sarapannya. Namun hal itu kembali tidak berlaku untuk Sonya yang tetap muram. Adik Sella paling kecil ini memang sangat keras kepala soal mempertahankan ego nya bahkan di depan orangtua nya sekalipun.
“Adek kalo masang muka begitu terus mama enggak suka ya, dek!!” Hartini menaikan nada suaranya. Suasana tiba2 mencekam lantaran sosok yang paling sabar di rumah kini mulai menunjukan emosinya.
Apakah Sonya menurut? Tentu saja tidak. Ia langsung meraih ranselnya dan bergegas pergi sama seperti Santi, namun ia lebih menunjukan adat jeleknya sambil menghentakan kaki keras2.
“Adek!! Mau kemana hei!?”
“Mau pergi sama temen!”
“Kamu pergi sama siapa!!?”
“Sama ojol! Tadi udah mesen!”
“ADEKK!!!”
Belum selesai Hartini berucap, Sonya sudah pergi keluar rumah. Terlihat berkali2 ia juga mengusap pelipisnya tanda air mata melembab disana.
“Haduhh, itu anak dua…!!” Hartini memijat2 samping kepalanya sambil memejam tipis.
“Anak baru gede, mom. Nanti aku yang coba ngobrol sama mereka…” Sella berusaha menenangkan ibu nya.
“Ya iya, cuman kan kamu juga tadinya tahan mereka dong, Sel… jangan malah sibuk sama kerjaan sendiri.” Hartini kini menyemprot Sella yang sedang memijat bahu ibu nya.
“Kan aku juga lagi sibuk tadi, mom.” Sella membela diri.
“Aishh, samanya kalian2 juga…” Hartini membuang napas panjang berkali2 tanda rasa lelah yang sangat pekat pagi hari ini. Tidak biasanya ia mengeluarkan emosinya karena yang lebih sering melakoni peran orang yang tegas adalah ayah mereka yang sedang pergi keluar kota untuk kesekian kalinya.
-------
“Napa dok? Kok kayaknya stress amat keliatannya?” Tanya suster Rumi ketika melihat Sella yang sedang tertunduk lemas di meja kerjanya.
“Biasaaaa…. lelah sedang menyerangku, sus.”
“Hooh. Semangat ya doook, jaga2 kesehatan. Lagi gini cuacanya soalnya.” Suster Rumi menyemangati Sella.
Siang ini ia sedang kembali berjaga di ruang dokter bedagh seperti biasa. Pasien demi pasien silih berganti datang dengan bermacam2 kondisi. Karena Sella adalah dokter spesialis bedah, pasien yang ia layani tentu saja berkaitan dengan pra operasi dan pasca operasi. Saat ini rata2 pasiem yang datang kebanyakan adalah pasie pasca operasi yang rutin mengecek setiap minggunya.
“Aduh tau enggak sih dok ya, tetangga saya da dok yang kakinya abis ‘ngegeroak’ gegara diabetes… itu lho sampe telapaknya ampe abis dok ampe keliatan dagingnya…. Blablablabla… aduh saya sih blablablabla….!!!”
Seorang pasiem ibu2 tidak hentinya berbicara ketika Sella sedang menuliskan laporan perkembangan luka pasca operasi di daun telinga kirinya. Sella hanya menanggapi dengan secukunya tanpa memberikan komentar. Sebagai gantinya, suster Rumi lah yang menjadi kawan berbicara pasien tersebut.
“Nih ya bu, ketemu lagi kemari nanti hari Jumat. Terus jangan lupa obatnya tetep diolesin rutin, sama kasanya juga rajin mesti diganti. Ini soalnya saya liat sampe kering begini karena ibu jarang ganti.”
“Iya dok, soalnya saya itu kan emang dirumah gini dok… blablablabla… jadi tuh ya dok saya suka kena blablablablabla…”
Kembali pasien itu mengoceh, namun suster Rumi langsung meminta ibu tersebut untuk pergi menuju apotek untuk memberikan resep obat. Sella hanya memberkan senyuman ramah dibalik masker yang ia kenakan.
“Dok, makasih ya dok! Sus, makasih ya! Ngomong2 disitu ya apoteknya ya!?”
“Iya… ibu nanti ikutin aja palang yang ada di perempatan disitu. Itu tuh keliatan jelas banget kan…” suster Rumi membantu pasie tersebut sambil menunjuk petunjuk yang berada diujung.
Setelah ia pergi, suster Rumi pun membuang napas lega sambil menutup pintu. Ia melihat dokter Sella yang menggeleng2kan kepalanya sambil tersenyum risih.
“Dokter kok kuat ya nanganin pasiem kayak gitu?”
“Ahahaha… kalo aku enggak kuat mungkin aku udah ganti profesi kali, sus.”
“Dududuhhh… kuatnya dokter satu ini. Hihihi…”
“Yaudah yuk dipanggil lagi pasien selanjutnya.”
“Dokter enggak mau istirahat dulu?”
Sella menggeleng pede dengan senyuman tipis. Ia menyimpan dalam2 rasa lelahnya yang sudah timbul sejak dirumah tadi demi profesionalitasnya sebagai seorang dokter.
“Hmm oke….”
Suster Rumi kembali membuka pintu. Ia melihat lembar rekam medis dari seorang pasien beserta dengan nomor antriannya.
“Bapak… bapak Alan??” Suster Rumi terlihat menengok ke kiri dan ke kanan menanggil nama tersebut.
Mendengar nama itu disebut, sontak Sella bergejolak bukan main. Pasien idaman semua suster kini kembali datang ke dalam ruangannya untuk memeriksakan kondisinya. Entah kondisi apa itu, yang pasti kini Sella benar2 lupa dan fokus dengan posturnya yang mati2an ia pertahankan seanggung dan sewibawa mungkin. Padahal di dalam hatinya kini sedang riuh ramai akan dengupan yang keras.
Gw enggak salah denger kan…. Iya kan…. Itu tadi Rumi sebut nama Alan kan?? Iya kan??? IYA KAAAANNN!!??
“Dengan bapak Alan?” Tanya suster Rumi diluar sana yang setengah badannya terhalang oleh pintu.
Dengupan di dada Sella kian menderu kencang. Entah mengapa Sella merasa bergitu berdebar dan senang melihat pasien tampannya ini. Ia tau bahwa perasaan ini tidak benar karena dia sudah menjalin hubungan dengan Yusuf walaupun secara diam2. Namun tetap hasrat kaum hawanya lebih dominan dan sedang meronta di dalam dirinya.
Owhhh shiittt… why you coming back in here sih!!??
“Silahkan masuk, pak. Dokter Sella sudah menunggu.”
Aduh ini kenapa Rumi bisa sesantai itu coba!? Masa cuman gw doang yang struggle begini!!??
Masuklah seorang laki2 bertampang tegap dengan tatapan tajam, jenggot tebal, dan lengan yang penuh dengan urat nadi menghampiri meja praktet perlahan.
God help me….
“Selamat siang, dok?”
Suara gagah nan berat menyapa Sella. Ia membalas dengan senyuman ramahnya. Lebih tepatnya ia berusaha membuat ekspresinya benar2 senormal mungkin.
“Halo2? Ini pasien yang waktu itu ya?”
Heh!! Kamu yang waktu itu ya!! Kok baru keliatan sih anjir!? Kemana aja kau!!?? Eh eh!! Enggak boleh enggak boleh!! Gw enggak boleh mikir begini!!
“Iya benar dok.”
“Yang waktu itu kakinya ketusuk paku bukan ya?”
“Iya benar.”
Aaaauugg!! Gw nanya apaan sih astagaaaa!!!
“Ah gitu. Kalo gitu silahkan berbaring ya pak di ranjang.”
Tiduran cepat!! Tiduran!! Biar gw bisa mengeksekusi elo!! Elo itu…..!! Ehhh aduuuuuuuhh Sellaaaaa… bandel banget elo astaga mikirnyaaa!!
Sella memeriksa kondisi luka di telapak kaki Alan yang kian hari semakin membaik. Lukanya sudah terlihat menutup dengna sempurna, namun ia masih harus mengolesi luka tersebut dan tetap memakai alas kaki yang tidak terlalu menutup seperti sepatu. Begitulah kira2 penjelasan dari Sella, terlihat elegan namun dibalik itu semua ia menahan hasratnya yang berteriak kehausan.
“Jadi kondisi kaki saya gimana dok intinya?”
“Untuk dua hari kedepan sudah bisa menggunakan alas kaki seperti kaos kaki atau sepatu, namun tetep harus dijaga karena sepatu kan lembab di bagian dalamnya. Tetap harus dijaga kebersihannya.”
“Oh begitu dok.”
“Iya.” Sella mengangguk pelan.
Iya sayang iyaaaa!! Aduhhh emeuushh emushhh emmeushh!! Natapnya bisa santai aja enggak sih!!?? Asajksajkasjaksajk!!
“Baik dok, kalo begitu saya pamit dulu. Terimakasih banyak ya, dok.”
“Sama2. Semoga cepet sembuh ya, pak.”
Setelah itu Alan berbicara dengan Rumi sekilas mengenai rekam medis Alan. Selang beberapa menit ia pun pergi sambil memberi salam sekali lagi ke mereka berdua.
“Sus?”
“Ya dok?”
“Sini.”
Sella memanggil Rumi untuk mendekat.
“Ya dok, ada apa?”
“Kamu jago banget. Aku ‘approved’ profesionalitas kamu…”
“Hah? Maksud dokter apa ya?”
“Enggak2. Lupakan…” Sella bingung dengna ucapannya sendiri, begitu pun Rumi yang terheran2.
-------
“Doooooooookkkk!!”
Gian, salah satu suster jaga menghampiri Sella yang sedang melakukan visitasi pasien. Tatapannya berbinar2 diiringi dengan ekspresi heran dari suster jaga lainnya.
“Dokter, saya mau nanya?”
“Nanya apa?”
“Itu lho doookkk… pasien yang tadi siang ituuuu…”
“Kenapa?”
“Itu doookkk, aduhh saha kieu teh nami ituuuu…. ceu… saha eiu teh pasiena…”
Gian memanggil salah satu suster yang duduk di meja administrasi yang menaikan pundak tinggi2 tanda tidak mengerti maksud perkataan dari Gian.
“Itu lho doookkk… yang itu…”
“Itu apa sih??”
“Aishhh, si Gian itu kesemsem lho dok sama pasiemu yang namanya Alan2 itu…” ucap salah satu perawat senior sehabis keluar dari ruangan dokumen.
“Oalaaaahhhh si Alan itu toooh…”
“Iya ituuuu dooookkk!!! Yaowoh dok dia dateng lagi tadi!!??”
“Ngapeee?? Mulai deh nih satu korban kena pesona orang kayak gituuu…” Sella terkekeh melihat suster mungil ini lompat2 kecil kegirangan.
“Ah jangan sebut kayak gitu atuhh doookk! Eh iya katanya dia hari ini terakhir ya ‘check up’ dok???”
“Ya kalo di aku sih udah terakhir karena emang udah 90an persen lukanya sembuh… terus juga-“
Belum selesai Sella berbicara, Gian menunjukan torehan kekecewaan di raut wajahnya. Ia tidak mendapatkan kesempatan untuk melihat seorang tampan seperti itu untuk kesempatan selanjutnya. Padahal ia sungguh ingin mendapat shift dengan Sella di ruangannya hanya untuk melihat penampilan tampan nan mempersona Alan. Sekarang hal itu hanyalah angan yang sudah lenyap.
“Yahhh… yaudah deh.”
“Heh, masa langusng berubah cembetut gitu mukanya ini. Udah ah, emang cowo ganteng cuman dia doang…??” ucap si perawat senior menegur Gian. Sella hanya tersenyum geli melihat tingkah laku suster muda ini. Padahal…
EH KUTU KUPRET!! GUE JUGA KECEWA KELESSS!! EMANGNYA ELO DOANG!!??
Perasaanya juga runtuh karena tidak bisa menemui Alan lagi. Setidaknya ia masih mempunyai Yusuf yang baru beberapa menit lalu mengirimi pesan singkat bertuliskan kalimat untuk menyemangati Sella.
“Udah ah, aku mau keliling dulu. Pasien kamar 303 perlu dipantau soalnya. Yuk guys dua orang ikut aku.”
“Baik dok.”
“Baik dok. Sebentar saya ambilkan dokumennya.”
“Terus buat kamu, Gian… yang sabar ya.” Sella menepuk pelan pundak Gian.
“Aaaa doookk… kecewa aku tuh! Tapi makasih banyak, dok…”
-------
“Hi, how was your day?” Yusuf menyapa Sella melalui ponselnya.
“Hemm… tired and tedious as usual… hehehe.”
“Wow! Emang ya jadi dokter yang berdedikasi itu mengursan energi banget.”
“Hahaha… apa sih, bahasanya dedikasi2 segala…”
“Ya emang gitu kan, elo kan dokter, dokter mesti dedikasi dong. Kalo enggak entar pasiennya gimana..??”
“Iyaa iyaa… mulai dah nih nasehat2…”
Sella sedang bersantai di salah satu coffe shop yang buka 24 jam tidak jauh dari rumah sakit. Ia sedang melanjutkan pengerjaan proposalnya sambil ditemani secangkir ‘Americano’ dan sepiring ‘muffin’ rasa ‘cookies and cream’.
“Jadi gimana soal elo ngelanjut S3 nya?”
“Sedang proses nih, pak. Kebetulan saya lagi membuat proposalnya nih untuk diajukan ke kepala rumah sakit.”
“Beasiswa?”
“Iya, itu juga sedang dicari, pak.”
“Ouhhh.”
“Iya pak. Ada lagi yang mau ditanyakan, pak?”
“Iya bu dokter. Kenapa anda ko mendadak formal ya ngomong sama gw?”
“Lagian tau2 nanya begituan. Padahal baru aja kemaren nanya2 panjang lebar elo tuhh…”
“Ya kan namanya juga pengen kepo tipis2 gitu…”
“Heiishhh, dasar pengusaha muda.”
“Heiiishhh, dasar dokter muda dan cantik.”
Sella tersenyum tipis ketika Yusuf menyebut kalimat itu. Malam yang suntuk terasa begitu hangat dengan obrolan demi obrolan yang dilakukan mereka berdua.
“Lo lagi di coffee shop deket RS kan?”
“Ya. Kenapa?”
“Gw samper ya.”
“Heh! Ngapain? Udah malem banget ngapain situ samper2?”
“Mau ngopi sembari nemenim elo. Gw juga entar bawa macbook gw kok buat ngurusin kerjaan gw, enggak bakal ngenganggu elo.”
“Tapi kan udah malem, Suf.”
“Terus kenapa? Udah ah gw otewe nih. Wait for me ya. Awas lo ngabur entar.”
Yusuf langsung mengakhiri panggilannya.
“Ishh, dasar.”
bersambung (no sex scene kali ini, mohon maaf)
tapi....