Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
BAGIAN 21


“Ria?”

Sungguh, aku terkejut tiba-tiba temanku berjongkok di sebelah kananku. Aku yang masih tidur menyamping menghadap ke arahnya berubah ke posisi telentang. Sepasang mataku mengucek pelan, lalu menyilang di dada.

“Yup. Ini aku si cantik jelita idola kampus,” pujinya dengan memasang wajah ceria.

“Iya, aku percaya. Siapa sih yang nggak tau Ria yang pernah nyalon jadi puteri kampus yang …”

“Hussss, kamu ini masih ingat-ingat kejadian itu.” Dengan cepat dia mencubit pinggang kananku.

“Awwww, ampun … ampun,” jeritku sambil menggeliat-liatkan badan.

“Rasain!!!”

“Udah-udah, plisss.”

Tubuhku meliuk-liuk dicubitinya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena aku berhasil memegangi tangannya.

“Hehehe, gitu dong. Ngapain ditutupi,” katanya sambil matanya jelalatan tertuju ke buah dadaku. “Udah, mau sampai kapan kamu megangin tanganku?”

Segera aku melepaskannya. Kupastikan dia tidak kembali mencubitiku. Aku sudah siap pasang kuda-kuda, hihihi.

Pandangannya kini tertuju ke sekujur tubuhku. Sepasang matanya menjalar dari ujung kepala ke ujung kaki, lalu kembali ke ujung kepala.

“Apaan sih lihat-lihat, dasar mesum.”

“Hihihi, badanmu kayak ada yang beda.”

“Beda apanya? lebih item gitu?”

Tiba-tiba sepasang tangannya menerkam kedua payudaraku.

“Isshh, apa-apaan sih?” keluhku saat seluruh telapak tangan dan jemari-jemarinya menelungkupi gundukan yang berisi kelenjar persusuan yang masih pasif. Aku kaget atas apa yang ia lakukan. Tidak ada angin, tangannya main nemplok ke dadaku.

“Hmmmmmm,” gumamnya sambil sepasang matanya terpejam seperti sedang menghayati sesuatu. “Ternyata memang beda.”

Ia melepaskan tangannya dari dadaku.

“Beda apaan? tetap sama saja,” kilahku seraya memegang payudaraku sendiri.

“Tambah berisi, kan?”

“Eh, apa iya? mungkin perasaanmu aja kali.”

“Hehehe, kamu kayak gak tau aku aja Anggu.”

“Iya-iya deh” kataku kemudian membangkitkan badan menjadi duduk bersila. Ria berada di sebelah kananku. Ia juga mengubah duduknya dari berjongkok jadi bersila, sama denganku. “Udah, gak usah bahas itu.”

“Maksudmu … toket?”

“Auk ah. Gitu diomongin.”

“Hahaha.” Dia malah tertawa, kemudian menoleh kepadaku.

“Ngapain duduk di situ? duduk di sini, di dekatku sini,” kataku dengan isyarat tangan mempersilakan duduk di tikar yang terbuat dari anyaman jerami. Kasihan dia duduk di tanah. Jadi aku geser pantatku agar ada ruang tikar yang cukup untuk Ria duduk.

“Gak usah, aku sudah terbiasa duduk di sini, hihihi.”

“Terbiasa? Apa gak gimana gitu itumu gesekan sama tanah?” tanyaku yang dengan nada sedikit mengejek.

“Gapapa. Sekali-kali pengen gini. Mumpung ada kesempatan.”

“Yaelah. Kamu punya badan bagus … cantik pula.”

“Hmmm .. pengen aja.”

Aku dapat melihat jelas kemaluannya yang nempel di tanah. Cara duduknya dia bersila menghadapku. Pakaiannya hanya mengenakan selembar kulit hewan yang melingkar di pinggulnya dan berdiameter kecil, persis seperti pakaian yang dikenakan di foto-foto yang kulihat sebelumnya. Dia kemari cuma mengenakan pakaian itu. Payudaranya tidak tertutupi. Terdapat bekas-bekas memerah di kulitnya itu. Mungkin karena cumbuan, cubitan, atau tamparan. Apalagi kalau bukan karena ulah Toni dan yang lainnya itu.

“Badanmu enggak sakit?”

“Oh, ini? Kamu tidak perlu khawatir kayak gitu. Aku baik-baik saja, kok,” jelasnya menatapku dengan bibir tersenyum. “Memang, waktu aku habis bersenang-senang sama mereka, aku gak sadarkan diri. Mungkin karena efek minuman yang diberikan Toni itu. Atau karena aku kelelahan. Aku sadarnya pun ada di rumah orang.”

“Hah? di rumah orang?” tanyaku tidak percaya.

“Iya. Sadar-sadar, aku di rumah dukun. Badanku diluluri obat gitu. Awalnya aku merasa sakit semua, terutama selangkangan. Gila, rasanya pahaku kayak mau lepas.”

“Kamu, sih. Memang kamu habis diapain sama mereka?”

“Pamer kelenturan tubuh.”

“Kayang?”

“Kayang mana bisa selangkangan bisa sakit?”

“Oh iya, ya. Hahaha, terus?”

“Split Anggu, Split.”

“Lah, bukannya kamu sudah biasa split?”

“Biasa sih biasa, tapi kalau durasinya lama ya sakit tau. Apalagi ada adegan dimana aku lagi split dientotin.”

“Kamu sih, nurutin kemauan mereka. Gini kan akibatnya?”

“Ya apa boleh buat. Sudah terlanjur.”

“Tapi beneran, kamu tidak apa-apa?”

“Kalau kenapa-napa, aku gak mungkin datang kemari.” Dia mengancamku sambil berlagak membalikkan badan memunggungiku. “Mau, aku tinggal di sini?”

“Yeeeee, emang siapa yang nyuruh kamu ke sini? kalau mau tinggal, ya tinggal aja.”

“Nggak … nggak. Aku bercanda, kok.”

“Huh, sudah kuduga dia bakal bilang begitu,” kataku dalam hati. “Kamu jemput aku, apa ritualnya sudah dimulai?”

Dia tersenyum sejenak lalu berjalan menghampiriku. Temanku itu menuju belakang tubuhku, lalu mendekapnya. Tangannya melingkar di atas bahuku. Sepasang bola dagingnya menempel di punggungku yang tak terhalang oleh apapun. Kurasakan kehangatan tubuhnya dan lembutnya kulit itu. Kepalanya berada di sebelah kanan di belakang telingaku. Aku menengok menatapnya.

“Belum,” jawabnya tegas. “Jangan pikirkan itu dulu …”

Dia cukup lama memelukku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, mengapa ia melakukan hal ini. Kurasakan dadanya menggembung dan hidungnya menghirup udara panjang.

“Aku bersyukur kamu tidak kenapa-napa …” Bola matanya berkaca-kaca. Kupalingkan wajahku menoleh ke kiri. Tanpa kusadari, lacrimal gland di dekat pelipis memproduksi cairan yang membuat lapisan terluar indera penglihatanku basah hingga menetes berjatuhan dan sebagiannya mengalir di pipi.

“A … Aku takut kehilanganmu, kupikir kamu …,” sambungnya yang membuat bagian dalam hidungku berair.

“Makasih, ya. Makasih … sudah memperhatikanku,” kataku yang tak berani menatapnya, karena aku tak ingin memperlihatkan wajah sedihku kepadanya. “Pasti kamu ya, yang nyuruh Toni nyari aku?”

Dia tak menjawab, namun aku merasakan kepalanya bergerak mengangguk-angguk itu. Kurasakan juga pundakku basah. Itu pasti air matanya.

Kami berdua sesenggukan. Bagaimana tidak, dalam keadaan telanjang bulat aku berkelana di hutan yang ditumbuhi aneka pohon dan segala keliaran makhluk yang hidup di dalamnya. Namun, sesaat ingatanku memutar kejadian beberapa jam sebelumnya, tubuhku ditidurkan dengan punggung kepala ditopang oleh paha Ria yang duduk selonjoran. Sepasang mataku yang buram menatap langit-langit gua yang dihiasi oleh kerucut-kerucut runcing beraneka macam. Kuseka air mata dari wajahku dan terlihat wajah cantik Ria dari bawah sini.

Sorot mata Ria memandangi tubuh telanjangku yang sedang tidur dipangkuannya. Badanku tidur telentang, namun kedua kakiku sedikit kutekuk.

“Issh, cabul,” ejekku sambil menutupi selangkanganku dengan tangan kiri dan tangan kanan menyilang di dada.

“Perasaanmu sudah baikan, dong? hihihi.”

Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan lembut.

“Bisa ceritakan, gimana kamu bisa tersesat seharian?” tanyanya dengan menundukkan kepala menatap wajahku. “Nggak perlu cerita kalau kamu keberatan.”

Pipiku diusapi lembut. Aku tahu, cepat atau lambat dia akan menanyakan tentang hal itu. Aku bisa saja tidak bercerita kejadian-kejadian yang telah kualami.

“Bisa, aku bisa ceritakan, tapi …,” balasku menghentikan kalimat selanjutnya.

“Tapi?”

“Kamu jangan ceritakan ke siapa-siapa.”

“Janji.”

“Janji loh ya, jangan diingkari.”

“Iya, aku janji.”

Aku terdiam sesaat lalu menghirup napas panjang. Kuceritakan perlahan, berawal dari keluar dari rumah, tempat pergumulan mesum antara Ria dan empat orang laki-laki, menuju ke sebuah sungai untuk buang air kecil dan mandi. Di sana aku menikmati momen-momen mandi sendiri di tengah hutan dan mendengar geraman dan aungan para binatang. Tak sengaja pakaianku hanyut semua, tidak terkecuali sepatuku. Saat mengejar pakaianku, dari arah berlawanan ada seekor ular yang membuatku ketakutan dan balik arah berenang menuju ke tempatku mandi.

"Besar ularnya?" tanya Ria sambil ngusap rambutku.

"Iya. Aku juga ragu apa itu ular berbisa atau enggak. Ya, meski aku tahu ciri-cirinya," kataku mengingat-ingat bentuk dan corak warna pada ular itu. "Kalau jadi aku, kamu gimana?"

"Kalau aku di posisi kamu, pasti ikut kabur lah."

"Siapa tau kamu pasrah gitu, hahaha."

"Ngaco, aku masih pengen hidup tauk. Pengen ngentot juga."

Aku tertawa mendengar jawabannya.

"Terus?"

"Aku ngejar pakaianku, berlari mengikuti tepian sungai sampai hampir kepergok dua warga desa."

"Wuih seru, tuh. Kamu nggak minta tolong sama warga itu buat nyariin baju kamu?"

"Enggak. Malu lah, masa bugil di depan mereka."

"Barangkali berani, hihihi."

"Itu sih kamu."

"Hahaha."

Aku lanjutkan kisah perjalananku dan mengapa aku mengikuti sungai itu dari atas, bukan berenang di aliran sungai. Selain aman, pengejaranku jauh lebih cepat kalau dilalui dari jalur darat. Lagi pula, aliran sungai itu mentok masuk ke bawah di dalam dinding tebing.

Saat mengejar, aku sampai merayap di lorong gua yang sempit dan gelap. Dinding-dinding gua diliputi akar-akar pohon tua.

“Merayap seperti latihan jadi prajurit TNI?” tanya Ria dengan tatapan penasaran.

“Lebih parah, sih.”

“Wuih, bisa gitu ya?”

“Lagi pula, enggak ada latihan sampai telanjang bulat, ‘kan?”

“Hahaha, ada. Yoga.”

“Ih, bukan itu. Konteksnya tadi latihan prajurit TNI. Ah, males mau lanjut cerita lagi kalau kamu banyak ngomongnya,” kataku sambil pasang wajah cemberut.

“Hahaha, iya aku ngerti. Maaf, ya.”

“Auk, ah.”

“Yaaaah. Lihat nih, kalau ngambek, mukamu jadi jelek.” Ia menghimpit sepasang pipiku dengan telapak tangannya, membuat bibirku kayak bebek.

“Udah-udah, jadi tambah jelek mukaku,” sanggahku sambil menyibak tangannya.

“Lanjut lagi ya, ceritanya. Lanjut please," ujarnya mengiba.

Apa boleh buat. Aku lanjutkan ceritaku yang tadi terpotong, tapi …

“Eh, sampai mana tadi?” tanyaku pura-pura lupa, hihihi.

“Itu … merangkak kayak tentara di gua,” katanya sambil badannya meliuk-liuk memperagakan gerakan merangkak. Lucu, sih. Soalnya dia lagi duduk. Pas meliuk-liuk, tangannya ikut gerak gitu. Malah mirip cicak yang merayap. Saat memperagakan, buah dadanya yang besar pas ada di depan wajahku pula. Karena gemes, aku sentil tuh puting kirinya yang bertindik dengan tangan kananku.

“Awww … Angggu!!!”

“Abis, kamu lucu banget. Mana dideketin putingnya ke wajahku. Kucaplok baru tau rasa,” ancamku dengan wajah serius.

“Kayak gini?” ucapnya sambil mengulang adegan itu. “Nih kalau mau caplok.”

“Isssh, nantangin,” kataku. Ia goyang-goyangkan lagi payudara di depan wajahku. Sesaat ujung buah dadanya berada di depan wajahku, sekitar beberapa centi dari mulut, aku kemudian mengangkat kepalaku hingga mulutku dapat menggigit puting sebelah kanannya itu.

“Awww … Ihh Anggu. Jangan digigit beneran, dong, saaakit. Uuhhhhh …,” jeritnya memekik diselai desahan manja. Padahal aku gigitnya tidak kuat-kuat banget deh.

“Udah!! Aaaiihh ….” Dia sampai memegang kepalaku dan menjauhkan dari dadanya. Karena gigi-gigi seriku masih menjepit ujung buah dadanya, bentuk bongkahan susunya jadi mulur.

Tak seberapa lama, aku pun melepaskannya.

“Dasar kanibal. Kok beneran kamu gigit, sih?” Ria memeriksa puting yang kugigit sambil memencet-mencet bekas gigitanku.

“Ya kamunya malah nantangin,” kataku menatap wajahnya yang mengerut. “Sakit ya?”

“Banget, mau nyoba?”

“Makasih deh,” jawabku singkat. “Kamu belum pernah ketemu orang kanibal?”

“Belum, kalau yang di film-film sering lihat.” Dia masih menatap putingnya. “Memang kamu pernah?”

Tatapannya menyorot mataku.

“Pernah.”

"Hah?"

Wajahnya mengekspresikan ketidakpercayaan disertai alis yang ditarik ke jidat, dan mulut yang terbuka. "Beneran kamu, Anggu? Gak bohong?"

"Ndak."

"Kok bisa?"

Aku menjelaskan secara terperinci kejadian-kejadian itu. Dimulai dari bagaimana aku bisa bertemu oleh orang kanibal. Menurutku bukan sekedar ketemu sih, tapi … ah jadi merinding mengingat-ingat kejadian itu. Tapi, bagaimanapun juga aku harus menceritakannya, soalnya aku sudah janji.

Setelah melewati lorong gua yang sempit dan dikelilingi akar pohon tua, aku kembali melanjutkan perjalananku di tepian jurang sampai aku bergelantungan seperti tarzan lalu kemudian aku terjatuh ke dalam sungai dan hanyut terbawa arus. Kujelaskan juga bagaimana dalamnya dan derasnya sungai itu. Suhunya juga seperti apa. Sampai-sampai di tubuhku digigiti oleh segerombolan ikan.

“Hahahaha, terus … terus? Kamu menikmatinya, Anggu?”

“Jujur, awalnya enggak. Malahan aku takut, tapi lama-lama geli juga.”

“Wah, terus gimana?”

Aku ceritakan bagaimana tubuhku akhirnya dilepas dari kawanan ikan itu, lalu aku tenggelam terseret arus kuat. Ketika hanyut, aku kesulitan bernafas sampai aku panik dan airnya masuk ke hidung dan mulut. Dalam suasana gelap di dalam air, kepalaku terbentur sesuatu hingga tak sadarkan diri. Bangun-bangun sudah di tepi sungai yang dangkal. Mana bangunnya pas batuk-batuk sambil muntah air.

Kulihat wajah Ria memasang raut serius. Meski aku tau sifatnya seperti apa, dia merupakan pendengar yang baik.

“Serius amat?” celetukku.

“Yaa. Aku juga ikut bayangin juga.”

Aku tertawa cekikikan mendengar ucapannya.

“Terus?”

Aku melanjutkannya. “Pernah rasanya tenggelam?” tanyaku sebelum menuju ke cerita utama. Dia menggeleng.

“Gimana rasanya?”

“Sakit tauk. Pokoknya gak enak. Paru-paru kemasukan air tuh nggak enak,” kataku sambil tangan kananku meletakkan di dada yang dibaliknya terdapat sepasang organ yang berfungsi untuk pengelola udara yang masuk dalam tubuh, seperti oksigen sebagai salah satu bahan bakar sel dan melepaskan karbon dioksida dan uap air.

Kuceritakan, bahwa telingaku juga kemasukan air. Ditambah, pada saat itu kelaparan. Mana makan terakhir subuh pula. Entah deh, berat badanku mungkin turun.

Tiba-tiba,

“Aaah, Riaaaa! apa-apaan sih?” Aku meronta sambil menepis dua tangannya yang masing-masing jari telunjuknya menekan ke buah dadaku.

“Berat badan turun, tapi toketmu tetap gede tuh, hihihi.”

“Hufff, dasar. Ini beda lagi.”

Emang anak satu ini kelakuannya bikin deg-degan saja.

“Itu lain, dodol.”

“Hihihi. Setelah itu ketemu orang kanibal?”

“Ya, tapi aku makan dulu.”

“Makan apa?”

“Makan orang.”

“Anjir, serius kamu?’

“Ya enggak, lah. Hehehe.”

“Nih, rasain!!”

“Aaaaawww, udah … udah.”

Kali ini ketiakku ia gelitik. Tentu saja hal itu tidak berlangsung lama, karena aku bangkit lalu duduk menghadapnya yang jaraknya tidak terpaut jauh. Setidaknya badanku tidak tergapai oleh tangannya.

Namun, sesaat kemudian, Yarna yang tidur kemudian bangun.

“Eh, sudah bangun?” tanyaku.

“Hai, selamat pagi.”

Yarna tampak kaget dengan kehadiran Ria, dengan cepat tangannya mengambil tombak yang ada disampingnya lalu menghunuskan dengan mengambil sikap siaga.

Wuih, benar-benar kesigapan yang luar biasa. Salut sama instingnya.

“Tenang, tenang. Dia bukan musuh. Dia teman. Paham?”

“Te … teman?” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata beberapa kali, lalu memiringkan wajahnya menyorot ke arah Ria.

“Maaf … Maaf.”

“Iya, gapapa. Makasih, ya, sudah jagain sahabat aku,” kata Ria merangkak mendekatinya. Tangan kanannya menyingkirkan ke samping tombak yang mengacung ke arahnya menggunakan telunjuk. “Hihihi.”

Yarna sepertinya sadar kalau Ria memanglah bukan sebuah ancaman. Aku yakin, dia sudah mengenal Ria, karena saat sebelum Toni dan kawan-kawannya menolongku, mereka sudah kenal satu sama lainnya.

"Sepertinya tidurmu pulas," kata Ria yang kemudian disambut anggukan kecil serta senyuman manis. "Enggak kalah pulas sama Anggu. Sampai dengkur gitu."

"Enak aja. Aku nggak dengkur. Itu kan kamu."

"Tapi aku dengar, loh. Dikit. Hihihi"

Ria malah tertawa cekikikan. Sejauh ini, memang aku kalau tidur nggak pernah mendengkur. Tapi, bisa jadi begitu. Karena tidur mendengkur bisa disebabnya kelelahan yang semalam Yarna lakukan kepadaku. Muka Yarna sekarang malah bingung.

“Mengapa tertawa?” tanya Yarna tiba-tiba.

“Ya, gimana nggak ketawa. Dia tidurnya tadi dengkur,” jawab Ria spontan.

“Deng … kur?”

“Suara yang keluar saat tidur, seperti ini.” Ria kemudian memeragakan dengan memiringkan kepala dan meletakkannya di kedua telapak tangannya yang dirapatkan sambil memejamkan mata dan mengeluarkan suara dengkuran. Seketika itu Yarna tertawa.

Sial, dia malah ngeledikin aku.

“Hihihi, jangan cemberut gitu, Anggu manis.” Ria mulai lagi deh, ngegombal.

“Dah, gak mempan. Yuk, kita segera balik. Aku pengen kembali ke desa.” Aku tidak mau berlama-lama lagi di sini. Memang sih, sekarang aku tidak sendirian lagi, tapi bagaimanapun juga tiga cewek juga berbahaya berlama-lama berada di tempat ini. Meski ada Yarna, tapi aku dan Ria tidak bisa ilmu bela diri. Nggak lucu kalau tiba-tiba ada musuh, aku dan Ria malah nge-yoga. >,<

“Yuk. Aku juga gak pengen berada lama-lama di gua ini,” respon Ria kemudian berdiri. “Sini, ada yang bisa aku bantu bawakan barang-barang kamu?”

“Kukira kamu suka berlama-lama, ternyata takut juga. Hihihi,” ledekku.

“Aku nggak enak ke kamu aja, kalau aku sih gapapa.”

“Huuuu, dasar. Ya udah, tuh tolong bawakan tasku itu,” ucapku menunjuk ke benda berbahan kulit hewan di salah satu sudut gua.

“Siap, komandan.” Ria berdiri tegap lalu tangan kanannya diangkat di pelipis sebelah kanan.

Hahaha, terkadang sikapnya membuatku tertawa, kadang juga nyebelin. Sikap hormatnya bak tentara, tapi keadaannya itu loh, topless.

Yarna tampak turut bersiap-siap. Selagi mereka sibuk, aku mencari pakaian yang menutupi dadaku. Kulihat dari arah jam sembilan sampai jam tiga, ternyata benda itu ada di belakangku. Kupungut, lalu segera kukenakan. Ini adalah satu-satunya penutup dadaku. Meski tidak sepenuhnya menutupi, tapi inilah satu-satunya pakaian yang kumiliki. Ini pun pemberian dari Yarna saat setelah aku diselamatkan dari manusia-manusia kanibal.

Aku betulkan posisi pakaian ini agar tidak terlalu ke bawah atau ke atas. Serba repot sih, huhuhu. Sebagian bukit kembarku jadi kelihatan. Tapi ini lebih baik daripada telanjang, bukan? Setidaknya puting dan areola-ku masih terselamatkan. >,<

Setelah selesai merapikan penutup dada, aku merapikan bawahannya. Tali yang mengikat pinggul kulonggarkan, lalu aku ikat kembali. Namun, ketika aku mengikat tali ini, di tanah, tepatnya di antara kedua kakiku terdapat bekas tetesan darah yang sepertinya masih segar. Setelah kuperhatikan, ternyata betis kiriku ada darah yang merambat turun. Ditelusuri ke atas, di paha dalam juga ada. Saat lembaran kulit penutup kemaluanku kusibak, ternyata sumbernya berasal dari vaginaku. Aku sampai lupa kalau saat ini uterusku sedang terjadi peluruhan pada permukaan dinding bagian dalamnya.

“Aduh … gimana, nih?” gumamku dalam hati sambil tetap memegang bawahan yang kusibak. Jika ada orang di depanku, pasti dia dapan dengan jelas melihat kemaluanku ini.

“Anggu? … kamu …?” Ria dengan sigap meletakkan tas, lalu segera mendekatiku. “Sejak kapan?”

“Baru kemarin. Uhhh … rasanya agak nyeri. Biasanya nggak seperti ini.” Beneran deh, rasanya sakit banget. Tersa sampai pinggang dan punggung. Perut terasa diremas-remas.

“Ayo- ayo duduk dulu di sini.” Ria membantu memapahku. Ia meletakkan lengan kananku di pundak kiri dan belakang lehernya, kemudian membimbingku untuk duduk di salah satu batu pipih. Tubuhku perlahan ditidurkan telentang. Tak lupa ia meletakkan beberapa genggaman rerumputan kering sebagai bantalan kepalaku.

Yarna juga tahu apa yang terjadi padaku. Kulihat ia tampak sibuk melakukan sesuatu. Aku tidak tahu dengan jelas, soalnya ia memunggungiku.

“Berapa kali nyeri seperti ini?” tanyanya.

“Baru pertama ini.”

“Oh, kalau aku sering,” kata Ria yang duduk di sampingku. “Kamu tidur nyamping saja.”

Kuturi sarannya. Aku mengubah posisi badanku untuk tidur menyamping.

“Jangan ngadep ke aku,” larangnya.

Aku iyakan aja mengikuti sarannya. Sekarang aku tidur menyamping memunggungi Ria. Kurasakan punggung bawah dan pinggangku dipijati lembut. Uuhh, sakit banget. Rahimku lagi kontraksi. Inikah rasanya kram haid? uughh.

“Udah jangan cengeng gitu,” ejeknya.

“Uuuhhh, seperti ini rasanya nyeri haid. Nggak habis pikir kalau kamu yang sering ngalamin.”

“Udah biasa.” Pijatannya kini berpindah lebih ke atas. “Aku sejak sering ngentot, jadi kayak kamu ini.”

“Bisa ngaruh gitu ya?”

“Gitu deh. Mungkin karena sering deep penetration, jadi saat berhubungan rahimku sering terguncang.”

“Memang bisa sampai masuk rahim?”

“Ih, ngaco. Itu tidak mungkin. Kontol mana bisa masuk lewat celah mulut servik yang ukurannya kecil kayak gitu, itu sih kamu mungkin sering nonton hentai.”

“Hahaha. Pernah lihat, tapi tidak sering.”

“Sejak kapan kamu nonton hentai?”

“Waktu awal-awal kuliah S1 dulu, aku pernah ke kost teman. Nah, mau ke kamar dia tuh ngelewatin kamar lain yang sedang dibuka. Di layar monitor nampilin itu.”

“Hentai?”

“Bukan, kayak komik gitu.”

“Lah, pintu kebuka apa gak ada orangnya?”

“Mungkin lagi keluar.”

“Hmmm, bisa jadi.” Ria kemudian berpindah posisi pijatannya kembali ke bawah. “Gimana? masih terasa sakit?”

“Udah agak mendingan. Makasih, ya.”

“Sama-sama. Yang penting kamu sehat dulu, terus kita balik ke desa. Nggak masalah telat ngikutin ritual. Toh, orang yang lebih penting dengan ritual itu si Arya.”

“Iya. Semoga dia dapat data-data yang dibutuhkan buat penelitian.”

“Beruntung, ya, kita sudah menemukan bahan buat tesis.”

Kudengar langkah kaki mendekatiku. Aku tahu, langkah kaki itu pasti Yarna.

“Anggu, minumlah ini.”

Benar dugaanku. Saat kubalikkan badan, Yarna berdiri di dekatku. Ria membantuku untuk duduk, lalu Yarna menyerahkan mangkuk dari batok kelapa kepadaku. Kulihat cairan di dalam wadah ini cukup banyak. Warnanya kekuningan dengan aroma khas menyengat.

Dengan kedua tanganku, aku kemudian meminumnya sampai habis. Kunyit dan asam, itulah salah satu yang aku rasakan. Sepertinya tidak cuma itu, Yarna menambahkan bahan-bahan tertentu. Aku tidak menyangka, di desa terpencil di sebuah pulau yang jauh dari pulau utama, mereka mengetahui ramuan untuk meredakan nyeri haid. Mungkin nenek moyang di desa ini adalah penemunya. Akal manusia dari waktu ke waktu pasti terus berinovasi. Itulah peradaban. Dalam peradaban, tentu ada yang gagal. Tapi dari kegagalan, mereka dapat memetik pelajaran. Siapa yang menyangka, kluwek yang beracun itu bisa dikonsumsi dan sebagai bahan untuk masakan rawon. Ubi gadung yang beracun, bisa dijadikan keripik. Ikan buntal aman untuk dimakan. Awalnya pasti ada yang keracunan, bahkan meninggal karena mengonsumsinya, tapi dengan akal, mereka bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Ria membimbingku untuk kembali pada posisi tidur. Kurasa saat ini badanku sudah sedikit membaik. Masih ada rasa nyeri dan kram di perut, tapi ini jauh lebih baik. Dalam keadaan seperti ini, Ria menatap kembali bagian depan tubuhku.

“Issh, kumat penyakitnya. Lihat punyamu sendiri napa?” hardikku.

“Hihihi, jangan galak-galak gitu. Entar cantiknya ilang dan jadi mak lampir.”

“Dasar…”

Yah, mau gimana lagi. Kubiarkan saja dia memandangi tubuhku. Toh, saat ini aku tidak benar-benar telanjang bulat. Buah dada dan kemaluanku masih tertutupi dari pandangannya.

Kalau dipikir-pikir, punyanya dia lebih bagus. Malahan, dia lihat punyaku. Aku memang bangga dengan diriku yang merupakan salah satu karunia yang kumiliki ini. Meski tidak semontok dia, tapi punyaku masih acceptable. Hahaha.

“Ada apa., Yarna?” tanyaku melihat dia masih berdiri di sampingku. Sepertinya dia ada sesuatu.

“Aku pinjam sebentar, boleh?” katanya dengan tangannya menunjuk ke penutup payudaraku.

“Ini?” tanyaku lagi mengonfirmasi apa yang ditunjuk.

“Iya, boleh.” Aku iyakan saja. Menurutku, ini bukan sesuatu masalah yang besar. Mereka berdua sudah pernah melihatku telanjang.

“Nih, lepas saja,” kataku seraya memiringkan badan.

Kurasakan tangan mereka yang sedang melepas tali, lalu dalam beberapa detik, kain penutup dadaku telah berpindah. Kudengar langkah kaki seseorang meninggalkanku.

“Ria?” tanyaku.

“Apa?”

“Tolong pijitin lagi, dong. Pijitanmu enak.”

“Okay,” balas Ria kemudian memijit kembali bagian punggung, pinggul, dan pinggangku. Aku tidak kembali tidur telentang, masih dalam keadaan miring membelakangi mereka. Mumpung lagi pewe seperti ini, hahaha.

“Kejadian selanjutnya, setelah kamu sadar dari tenggelam dibawa arus gimana?” tanyanya kemudian. Aku pun melanjutkan bagaimana aku baru bangun perut terasa lapar. Aku butuh effort mencari makanan. Sampai pada akhirnya aku menemukan buah dan memakannya. Kutemukan salah satu sepatuku, tapi kemudian aku tak mengambilnya. Di saat itulah, aku bertemu orang-orang kanibal. Aku dikejar-kejar sampai naik ke atas pohon. Badanku digerepe-gerepe habis-habisan. Tak kusangka kesucian badan telanjangku direbut oleh manusia kanibal berbadan jelek dan tua. Huh, gila.

“Lalu, kamu bisa selamat bagaimana?”

“Melayani nafsunya, terus selagi dia lengah, aku melepaskan diri turun dari pohon lalu kabur.”

“Oh, terus ditemukan sama Toni?”

“Belum. Waktu kabur, aku terjatuh, jadi aku ditangkap mereka lagi. Badanku diikat seperti membawa hewan buruan. Mana badanku kembali digerepe-gerepe lagi waktu istirahat.”

“Enggak kabur lagi?”

“Diikat, gak bisa kabur.”

“Terus?”

“Mereka membawaku ke sebuah gua. Di sana aku mandi bersama dalam gentong besar bersama mereka.”

“Oh …”

“Saat itulah, Toni datang menolongku.”

“Oh, gitu. Waktu ditolong, kamu bugil?”

“He em.”

“Wuih, beruntung banget tuh Toni.”

Aku diamkan tidak membalas ucapan Ria. Sebenarnya aku ingin berkata jujur kalau aku hendak diperkosa oleh manusia kanibal itu, tapi menurutku hal itu tidak ingin kuceritakan. Cukup aku saja yang mengetahuinya. Eh, mungkin Toni tahu juga. Apalagi waktu itu dia mengetahui kondisiku.

Ya, mungkin hanya secuil informasi tentang pengalamanku dengan orang-orang tua kanibal itu yang dapat aku ceritakan kepada Ria. Cukup kuceritakan secara gambaran besarnya aja tanpa adanya detail-detail lain mengenai fakta tentang peristiwa itu. Akan tetapi dalam hati aku berpikir, mana mungkin Ria tidak antusias dengan apa yang baru aku share? kecuali ada noise seperti suara angin sehingga komunikasi tentang hal itu kurang ditangkap sempurna atau keadaan Ria yang kurang fokus. Besar kemungkinan Ria akan segera menginterogasiku. Aku sudah lama mengenal Ria, dia sangat terobsesi dengan segala perkembangan diriku.

Apakah aku melakukan blunder? dengan naifnya memberitahukan peristiwa yang mungkin menjadi aib yang tidak akan kulupakan seumur hidup.

"Ria, apa kamu gak kangen rumah?"

Aku mencoba mengganti pokok bahasan, semoga Ria melupakan hal-hal yang baru aku bicarakan beberapa saat lalu.

"Kamu ngentot dengan kakek-kakek kanibal itu, Anggu?"

Sial!! mendengar pertanyaan Ria, aku menjadi sangat syok, tampaknya aku gagal mengganti arah pokok pembicaraan. Pertanyannya itu membuat waktu terasa berhenti berputar. Bibirku kaku untuk menjawabnya. Aku tak mampu untuk menolah ke sahabatku yang berada di belakangku. Aku tidak sanggup melihat wajahnya, karena wajahku saat ini sedang memerah.

"Bener ‘kan, kamu ngentot dengan mereka?"

"Gak Ria, mana mungkin…!"

"Coba bayangkan, Anggu, ketika seorang laki dan seorang wanita berada di dalam kamar dengan sama-sama telanjang, apakah kamu percaya kalau mereka begitu karena kegerahan, hehehe?"

"Gak percaya dong Ria, huh, memangnya aku gampang dibodohin, aku kan pinter."

"Kalau begitu dua orang itu sebenarnya, ngapain Anggu?"

"Ya pasti berhubungan badan lah, gimana sih kamu Ria."

"Lha, itu kamu tahu. Terus, kamu ngapain dengan orang tua kanibal itu?" tanyanya lagi bagaikan menginterogasi seorang tersangka di kantor polisi.

"Itu kan dua orang Ria, kalau aku kan tiga orang," sanggahku.

"Wah threesome dong Anggu, double penetrasi dong, hehe."

"Tau ah, aku kan gak kayak kamu yang fetisnya aneh-aneh."

"Berarti cuma memek kamu yang dijebol kontol mereka?"

"Aku masih perawan Ria. Beneran deh, masih belum pecah selaputnya."

"Berarti kamu juga yakin, pasangan cewek-cowok yang di kamar tadi ceweknya masih perawan dong Anggu?"

"Tau ah, kan udah dientot cowoknya mana mungkin masih perawan?"

"Widih bahasanya udah entat-entot, nona satu ini."

"Lagian, kamu nyebelin, huh."

"Hahaha, tapi bener dong kataku. Lagian mana mungkin kamu nggak ngentot sama mereka Anggu. Kalau aku sih udah pasti pasrah dientotin mereka."

"Itu kan kamu, kalau cewek polos kaya aku mana mungkin, week"

"Kontol mereka besar gak Anggu?"

"Besar."

"Seberapa besar?"

"Segini." Aku mendeskripsikan dengan pergelangan tangan kananku.

"Tuh, liat! tangan kamu sendiri lho yang ngasih tau ukuran kontol mereka, haha, kamu kok gampang kepancing aku sih Anggu."

"Uh! Aku bete, deh sama kamu."

"Udah-udah, jangan cemberut gitu Anggu, aku percaya kamu masih perawan."

"Hihihi. Makasih, Ria."

"Perawan lubang hidungnya.haha."

"Jahat deh kamu Ria. Huh!!"

Ria lalu memelukku dari belakang, tangannya menggapai bagian dadaku lalu tubuhnya maju ke depan. Ria mendekapku, dia berujar kalau dia beruntung karena aku masih selamat. Mau masih perawan atau tidak itu tidak menjadi hal yang penting lagi. Aku mengangguk, tanda bahwa aku setuju dengan argumennya.

"Sekarang sudikah kamu bercerita secara terperinci tentang apa yang dilakukan kedua laki tua kanibal itu terhadapmu Anggu?"

Aku mengangguk, dan mulai bercerita tentang apa yang kurasakan selama aku dilecehkan oleh kedua laki-laki tua kanibal itu. Selama bercerita, Ria terlihat menjadi pendengar yang baik, nasehat-nasehat banyak yang ia sampaikan. Terlebih, supaya aku tidak terjebak dalam trauma. Aku tidak menutupi apa yang tubuhku rasakan dimana tubuhku tidak menolak terhadap rangsangan yang diberikan dua bandot jelek itu, dan justru menikmatinya.

Ria terlihat berbeda sekali, dimana sebelumnya Ria terlihat banyak bercanda dan menggodaku tapi kali ini tidak. Ria terlihat bijak. Namun, aku tetap memperingatinya agar tidak mulutnya tidak nyeplos ke orang lain.

“Anggu…”

Terdengar suara Yarna. Aku membalikkan badan, lalu melihat sesuatu yang dipegang olehnya.

“Pakai ini.”

Dia menyerahkan benda itu.

“Sini, biar aku yang bantu pakaikan.”

“Enggak usah, aku bisa sendiri, kok,” kataku mengambil benda yang tak asing itu.

“Sini, aku aja yang makein.”

Tiba-tiba Ria merebutnya. Baru aku pegang sebentar udah direbut. Dasarnya Ria ini emang …

“Anggap aku punya bayi gede, hahaha.”

“Iya, deh.” Aku kemudian membuka kakiku. Penutup kemaluanku terlebih dahulu dilucuti Ria, lalu benda yang baru diberikan Yarna diletakkan di kemaluanku. Aku membantu dengan mengangkat pinggulku. Rasanya sedikit agak kasar, tidak sehalus pembalut yang sering kupakai, namun masih nyaman. Gak nyangka, pembalut di tempat ini bentuknya seperti ini. Agak besar gitu. Entah, bagian dalamnya mungkin dari serat-serat tumbuhan. Kalau bagian luarnya, itu adalah pakaian berbahan kulit yang tadinya menutupi payudaraku.

Ria mengikat pembalut zaman batu ini di pada sisi samping agar tidak lepas.

“Gimana? terlalu kuat? atau perlu aku longgarkan?” tanyanya.

“Sudah pas, kok.”

“Sip. Sekarang tinggal pakai ini.” Ria memegang pakaian penutup selangkanganku yang tadi ia lepas.

“Kalau ini aku bisa sendiri, gak perlu dibantu.” Kali ini aku rebut lalu segera kukenakan. Tentunya sambil tidur. Namun, pada akhirnya aku kesulitan untuk mengikat tali ini, karena posisinya yang ada di belakang.

“Apa kubilang,” ledek Ria.

Ria pun membantu mengikat tali tersebut.

“Yarna, ada pakaian lagi?”

Yarna menggeleng-geleng.

“Udah, gitu aja, sama kayak aku.”

Duh, Ria ini. Masak aku ke desa topless seperti dirinya? Memang dia santai saja meski telanjang bulat, tapi …

“Sudah tidak sakit, kan?”

“Enggak.”

“Yes. Yuk, kita balik. Kamu pasti tidak sabar ingin melihat ritualnya, ‘kan?”

“He em,” kataku sambil menganggukkan kepala.

Aku sekarang officially makai cawat doang. Lembaran kain kulit yang melingkar di pinggul, kuanggap bagian dari cawat ini. Sebenarnya ogah pakai. Yah, Mau gimana lagi, ya sudah deh, aku nurut. Mudah-mudahan di desa ada pakaian, sukur-sukur sebelum masuk desa dadaku sudah tertutupi.

Ria dan Yarna tampaknya sudah membawa barang-barangnya. Tas yang berisi ponselku sudah ada pada Ria. Masing-masing dari mereka sudah memegang obor dengan api yang menyala-nyala.

“Kamu nggak mau kan, nginep di sini? katanya memajukan kepalanya dan sedikit membungkuk memandang wajahku dari bawah sok-sokan genit.

“Iya iya, dasar cerewet.”

Aku berdiri kemudian mencoba untuk berjalan. Hahaha, rasanya malah jadi geli. Gimana coba, bahannya aja masih alami. Bentuknya besar pula. Seperti pisang yang diselip di dalam celana dalam. Aku anggap ukuran besar biar mampu menampung darah yang banyak keluar.

"Kamu suka, Anggu?" tanya Yarna yang berhenti di hadapanku sambil melihat ke arah selangkangan.

"Suka. Makasih, ya?"

"Sama-sama."

"Yuk, kita cabut. Sepertinya gak ada barang yang ketinggalan." Ria kemudian berjalan mendahuluiku keluar dari gua.

Yarna kemudian mempersilakanku untuk keluar terlebih dahulu. Saat aku melangkah beberapa beberapa meter, ruangan gua ini sedikit gelap. Sepertinya Yarna sedang mematikan obor-obor di dalam gua ini satu persatu.

Tidak butuh waktu lama. Setelah belasan detik, aku pun sudah berada di luar. Ria yang sudah diluar lagi berdiri menunggu aku dan Yarna. Aku mendongakkan kepala, dan kulihat di atas sana bulan purnama bercahaya terang. Awan-awan di sekelilingnya ikut terang. Setelah kemarin perjalanku diterpa hujan, petir, serta angin kencang. Kalau tidak hujan, tentu sekarang aku sudah ada di desa.

Kulit Ria yang setengah telanjang terlihat lebih seksi dengan bermandikan cahaya bulan. Dadanya dibiarkan saja tidak ditutupi. Tangannya seperti enggan untuk menutupinya. Hahaha.

“Kamu lebih cantik deh kalau seperti itu,” pujiku kepadanya. Dia malah salah tingkah sendiri.

“Kamu juga.”

Akhirnya kita berdua tersenyum.

“Bagus, ya?” katanya dengan melihat ke atas.

“Iya. Bakal seperti apa, ya, ritualnya.”

“Who knows?” jawabnya singkat.

“By the way, waktu nyusul ke sini, kamu nggak bawa obor?” tanyaku.

“Bawa, tapi di tengah jalan kepleset dan …”

“Tapi, aku lihat waktu bangun, gak ada yang luka maupun memar.”

“Jatuhnya duduk, pantatku yang sakit, tapi nggak parah, kok.”

“Alhamdulillah. Gak jadi tepos dong bokongnya?”

“Hahaha, anjir. Mana mungkin.” Ia kemudian membalikkan badan. “Nih, lihat aja.”

Aku mendekatinya, lalu kulihat pantatnya. Obor yang dipegangnya ia dekatkan untuk memperjelas gambaran penglihatanku. “Oh, iya. Beneran gapapa.”

“Bener, ‘kan?” katanya kemudian menyingkirkan obor tersebut.

Dari arah belakang, Yarna muncul dari mulut gua. Kami melambaikan tangan ke Yarna. “Ayo, buruaan.”

Yarna tersenyum sejenak, lalu berlari mendekat. Di tangan kirinya ia memegang senjata berupa tombak dengan ujung berupa batu obsidian, sedangkan tangan satunya memegang obor. Pakaian yang dikenakannya masih outfit armor suku desa ini. Dia cantik mengenakan baju itu. Telanjang pun juga cantik. Hahaha.

Aku sengaja tidak cerita tentang kejadian semalam antara aku dan Yarna. Itu cukup jadi rahasia saja. Tapi gak tau nanti kedepannya gimana. Mudah-mudahan aja aku tidak keceplosan.

Dengan dua obor, kami akhirnya meninggalkan gua menuju ke desa. Aku jalan di tengah, Ria berjalan di depan, sedangkan Yarna berada di belakang. Kondisi jalan yang membuatnya demikian.

“Memang kamu tahu jalan menuju ke desa? nggak bakal nyasar, nih?” celetukku ke Ria.

“Tahu. Aku dari desa ke tempatmu tadi sendirian. Jadi ingat jalannya, hahaha,” selorohnya.

Dari kami bertiga, hanya Yarna saja yang berpakaian tertutup. Maksudnya tertutup, dari leher sampai di atas lutut tertutup. Kalau tangan dan kakinya ada yang terbuka, kontras dengan apa yang aku dan Ria kenakan.

Saat berjalan, Ria sesekali menoleh ke belakang. Mungkin takut aku ngilang kali. Hahaha.

Perjalanan yang kami lalui masih jalan setapak. Pijakan yang kami telusuri masih basah akibat tadi diguyur hujan lebat. Dedaunan dan pepohonan di sisi kiri dan kanan pun masih basah. Beberapa diantaranya masih menetes-neteskan air. Apalagi saat terkena embusan angin, kami seperti kehujanan. Mana udaranya dingin, airnya pun juga dingin. Beruntung api obornya tidak sampai padam.

Nyaris telanjang, tentu rasa dinginnya lebih menggigit. Meski tempat tinggalku di kota yang suhunya tergolong panas, tapi aku pernah antara seminggu sampai dua mingguan tinggal di lereng gunung, yaitu ketika mudik ketika lebaran ke tempat nenek. Di sana cuacanya hampir sama dengan di sini. Namun, di sini tetap lebih dingin.

“Ria.”

“Hmm?”

“Waktu kamu ke sini, kamu nggak kedinginan, Ria?”

“Dingin, sih. Tapi karena aku lebih dari sehari bugil, jadi terbiasa.”

“Hahaha. Ada efeknya gitu, ya?”

“Yep. Kalau kamu sih enak ya. Sudah biasa dengan suhu seperti ini.”

“Ya, tapi baru kali ini telanjang.”

“Telanjang? itu namanya bukan telanjang.”

“Sama aja.”

“Nggak sama,” kilah Ria kemudian. “Tolong pegang ini.”

Dia memutarkan badan lalu menyerahkan obor dan tas. Reflek aku menerimanya. Kemudian sepasang tangannya meraih tali di pakaiannya.

“Wooy, mau ngapain kamu, Ria?” kataku mengetahui apa yang akan dia lakukan.

Ya, dia melepaskan tali pakaian penutup terakhirnya.

“Kalau ini, baru disebut telanjang.”

Ria menenteng lembaran kulit di tangan kanannya. Diangkatnya tinggi-tinggi sambil menoleh ke arahku yang ada di belakangnya. Aku melongo melihat apa yang diperbuatnya, namun aku dibuat semakin lebih terkesiap oleh apa yang dilakukannya. Dia membuang jauh-jauh ke arah semak belukar! Ia lakukan dengan tampang senyum bahagia.

“Astagfirullahaladzim, serius?”

“Hahahahaha,” tawa Yarna terdengar dari belakang. Tentu apa yang dilakukan Ria itu sungguh berani. Dia telanjang bulat berjalan menuju desa. Benar-benar nekad tuh anak. Duh, aku khawatir nanti kalau ketemu Arya dan Toni akan seperti apa. Apa yang dilakukannya dapat mengundang syahwat dua pria itu. Mudah-mudahan saja mereka tidak macam-macam dan menepati janjinya.

Tunggu, tunggu, tunggu. Seharusnya aku mengkhawatirkan diriku ini. Telanjang dada di depan dua pria mesum, dan seluruh masyarakat di desa. Uwaaaaaah!!!

“Kenapa, Anggu?” tanya Yarna.

“Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak enak badan, hahaha.” Tentu aku hanya beralasan saja.

“Tenang, kalau ada apa-apa, aku bantu kamu,” kata Ria yang sepertinya tahu apa yang ada dipikiranku.

“Awas loh, ya. Jangan karena kamu telanjang, lalu aku kena imbasnya.”

“Iya.”

Aku benar-benar tidak menyangka, ucapanku tentang telanjang malah dia praktekkan. Jadi, sekarang Ria dan Yarna kontras. Satunya telanjang bulat, sedangkan satunya berpakaian lengkap. Yang telanjang bulat kulitnya putih mulus, yang berpakaian lengkap coklat eksotis.

Beruntung sih ini cuma di desa terpencil. Kalau di kota, jangan harap. Bisa viral di media sosial dan pastinya ditangkap polisi. Zaman sekarang, yang viral-viral itu yang cepat gercepnya. Apalagi berbau selangkangan. Memang banyak polisi yang baik, tapi itu sangat sedikit. Apakah polisi yang baik itu hanya diam saja? entahlah.

kabut di depan sana lambat laun mulai lenyap, cahaya bulan menembus diantara rimbunnya pepohonan. Aku tidak mengetahui, sekarang pukul berapa. Kalau sekarang aku memegang ponsel, pasti aku bisa mengetahuinya. Namun, saat ini biarlah ponselku beristirahat, karena selain tidak ketergantungan, juga menghemat daya baterai. Mudah-mudahan saja Ria tidak membuka ponselku, terutama isi galerinya. Bisa gawat jika dia tahu foto-foto dan video-video kenalakanku, juga yang paling banyak adalah gambar-gambar dan video-videonya, karena di dalamnya ada gambar yang diambil saat Ria tidak sadarkan diri.

Saat ini jalan yang kulalui sedikit menurun dan berkelok-kelok. Kusadari, bahwa gua tempatku tadi beristirahat itu berada di sebuah bukit. Pantas saja, saat dari pelarian kakek-kakek kanibal, jalannya mendaki. Turunannya lumayan curam, bahkan dari sini aku dapat melihat dataran yang dalam di depan sana. Meski demikian, sebagian panorama di hadapanku tetap gelap. Tidak sepenuhnya bagian-bagian dari dataran ini diterangi oleh cahaya mentari yang dipantulkan oleh bulan.

“Hati-hati, jalannya licin.” Ria berkata sambil berjalan perlahan di permukaan batuan padas. “Lewatin bekas yang aku injak ini.”

“Siap,” jawabku dengan berjalan berhati-hati. “Kamu tadi cerita kalau terpelesett, apa di sini ya?”

“Bukan, itu di depan sana,” katanya sambil menunjuk jalan setapak yang permukaannya dipenuhi tanah liat dan masih berair.

“Nih, di sekitar sini,” lanjutnya sambil menurunkan obor sedikit ke bawah. Aku pun melihat tempatnya ia jatuh, lalu menemukan sesuatu.

“Oh di sini,” kataku mengamati penemuanku. “Ini bekas pantat kamu masih ada, hahaha”

Terdapat bekas cekungan halus di tanah.

“Jangan ngeledekin, dong.”

“Hahaha, tapi harusnya kamu bersukur jatuhnya di tanah empuk,” kilahku.

Dengan berjalan perlahan dan diselingi lompatan kecil menghindari bagian yang menurut kami berbahaya, kami berhasil melewati jalanan licin tersebut.

Ternyata ini adalah awalan. Setelah berjalan tak jauh dari jatuhnya Ria, kami melewati undakan tangga batuan padas yang bagian-bagiannya telah dibuat siku-siku dan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Tidak bisa dua arah maupun berjajar.

“Anggu…,” kata Yarna di belakangku. Aku menoleh dan melihat tangannya mengulurkan tangan.

Aku gapai tangan Yarna seraya berkata, “Makasih.”

“Ria, sini tanganmu.” Aku mengulurkan tangan ke Ria. Dia merespon dan memegang tanganku.

Tangan kananku memegang tangan Yarna, sedangkan tangan kiriku memegang tangan Ria. Jadi, jalan kami sedikit miring, kecuali Yarna, karena dia sudah terbiasa dengan lingkungan sekitar sini. Berbeda dengan aku dan Ria yang merupakan orang pendatang. Secara perlahan-lahan, kami menuruni undakan tangga ini. Di hadapan kami adalah daratan yang akan kami tuju, sedangkan bagian belakangnya adalah dinding tebing yang dipenuhi oleh tetumbuhan jenis pakis-pakisan.

“Hei Yarna! Kamu sering ya, lewat sini?” tanya Ria.

“Iya.”

“Pantes jalannya santai.”

“Nggak takut ada hantu?” tanyaku kemudian.

“Hantu?”

“Itu … sesuatu yang tidak bisa dilihat, tapi ada.”

Dia tampaknya mikir lama.

“Arwah,” ujar Ria.

“Oh, itu. Kami penduduk desa percaya tentang hal itu.”

“Kalau arwah jahat?” tanya Ria lagi.

“Sama.”

“Pernah ketemu mereka?”

“Pernah, tapi kami juga membawa benda sebagai pelindung,” jelasnya. “Upacara yang malam ini kami lakukan, salah satunya untuk roh pelindung desa.”

“Oh, begitu.”

“Kan dia orang sini, Ria. Ngaco kamu, hihihi,” selorohku sambil senyum sedikit mengejek.

“Yeee … siapa tau.”

“Itu kan kamu. Dulu, waktu kutanya salah satu jalan di komplek rumah kamu, jawabnya nggak tau.”

“Anjir, masih ingat aja tentang itu.”

“Yaaah, soalnya kamu kayak orang yang bukan tinggal di sana.”

“Kamu tahu sendiri, kalau aku …”

Aku tahu memang dia jarang, atau mungkin tidak pernah keliling komplek. Meski demikian, kalau hang out, mesti di tempat tertentu yang jauh dari rumahnya. Dia mengenal daerah-daerah di kota. Awalnya dia tidak mau berkunjung ke kampung-kampung, tapi setelah kenal dengan aku, akhirnya dia mau datang ke perkampungan kumuh, meski agak kupaksa sih, hahaha.

“Eh, Yarna. Ngomong-ngomong, kita tidak akan ketemu hantu kan?”

“Tidak.”

Sesaat setelah Yarna menjawab, terdengar suara burung hantu. Sontak aku dan Ria kaget. Sampai-sampai, api obor yang dipegang Ria padam. Melihat tingkahku, Yarna tertawa. Ia pun menyalakan obor Ria dengan menyulutkan api yang di pegang Yarna. Kami melanjutkan perjalanan.

Luas pulau ini tidak lebih besar dari kota tempatku tinggal, jadi wajar kalau Yarna sering berkunjung ke berbagai tempat.

“Yarna, kamu tahu sungai yang ikannya itu suka gigit-gigit kulit?” tanyaku sambil memeragakan dengan mulutku.

“Tahu. Di sana airnya hangat.”

“Oh. Pernah mandi di sana juga?”

“Pernah.”

Wah, tentu dia juga merasakan bagaimana aku dikeroyok ikan-ikan itu.

“Kami ke sana untuk berobat.”

Oh, gitu. Iya juga sih, salah satu manfaat dari terapi itu memang mengobati peradangan kulit, kapalan, dan sebagainya. Bersyukur di sini ada tempat gratis buat terapi, kalau di tempatku, bayar.

“Pengen ke sana, bisa antar aku ke sana?” celetuk Ria.

“Hus, kapan-kapan aja. Ingat tujuan kita ke sini buat apa?”

“Iya-iya, nyonya.”

“Nyonya, enak aja. Kamu tuh nyonya,” ejekku membalas dengan sedikit kesal. “Minggu depan, kamu datang ke pulau ini sendiri aja. Biar puas.”

Tanpa terasa, kami sudah hampir berada di bawah. Tinggal beberapa turunan lagi. Kami tidak mengalami kesulitan. Saat di pijakan terakhir, aku pun melepaskan tangan mereka berdua lalu melompat kecil. Aku dikejutkan oleh sesuatu yang ada di dekat anak tangga menuju ke atas ini.

Sebuah totem …

Yarna menyandarkan obor di sebuah batu, lalu menundukkan kepala sejenak menghadap pahatan batu yang sebagian kecil berlumut itu, kemudian mengambil obornya kembali menghampiriku dan Ria. Tadi sempat kulirik Ria ikut mengamati apa yang dilakukan Yarna. Dia pasti tahu keberadaan totem itu, karena dia lewat sini saat menyusulku di gua tadi.

Kami bertiga melanjutkan perjalanan. Kali ini tidak dengan bergandengan tangan. Jalannya sama seperti tadi, setapak. Namun, rumput-rumput di sekitarnya tidak setinggi yang di atas sana. Pijakan jalannya pun ada batuan-batuan alami yang ditata rapi, seperti paving, tapi tidak serapat paving yang dipasang di jalan komplek perumahan.

Jalan yang kami susuri berkelok-kelok. Pepohonan di sekelilingku lebih sedikit, sehingga penghalang sinar bulan purnama yang tadinya jarang mengenai kulit, sekarang lebih sering. Ria yang berjalan di depan sangat santai. Sepasang dua bongkahan di atas pahanya sedikit memantul di setiap ia melangkah. Cewek yang sedikit tomboy itu sepertinya merasa bebas. Sesekali ia mengibas rambutnya ke belakang karena embusan angin dari arah samping.

Wusss!!!

Udara dingin berembus dari arah kanan, membuatku sedikit menggigil. Rasanya seperti ribuan jarum yang menusuk kulit.

Keindahan panorama alam di sisi kiri dan kanan tak dapat diceritakan dengan kata-kata. Bagaimana tidak, pepohonan yang jarang tumbuh ternyata ada maksudnya. Aku berjalan di jalan setapak yang di sisi kanannya terhampar samudera dan di sisi-sisi jalan ditumbuhi hijaunya tanaman padi dan jagung. Tumbuh di tanah terasering yang berkelok-kelok mengikuti ketinggian tanah. Tetumbuhan itu bergerak-gerak karena embusan angin malam.

Di sebelah kiri, bukit-bukit berjajar rapi yang salah satunya korowak memperlihatkan bagian dalamnya yang berbatu dan terjal. Bisa dipastikan itu habis longsor yang diakibatkan oleh gempa.

“Andaikan ini di pagi hari, pasti pemandangannya bagus,” kataku.

“Tentu,” jawab Ria. “Tadi waktu jemput kamu, dalam perjalanan juga memikirkan hal itu. Mungkin besok kita bisa ke sini.”

“Mudah-mudahan aja besok kita bisa ke sini,” kataku.

“Katanya, saat sunrise, lautan di sana sangat indah. Matahari muncul dari sana,” imbuhnya seraya tangannya menunjuk-nunjuk ke arah laut yang diatasnya bertabur bintang.

Aku bisa membayangkan betapa indahnya saat matahari terbit. Kalau saja kemarin sehabis subuh aku tidak ke tempat Ria, Toni, dan Arya, tentu bisa ke tempat ini. Yah, mau gimana lagi. Takdirku sih memang harus hanyut dulu di sungai, ketemu orang kanibal, lalu ….

Apa yang sudah terjadi, mau tidak mau harus aku terima.

“Kamu lihat ini, Anggu?” tiba-tiba Yarna menunjuk ke tempat yang lebih terang di dalam rerimbunan pepohonan.

“Iya.”

“Itu, desa kami.”

Nyala-nyala merah kekuningan menandakan di sana diterangi oleh api yang jumlahnya banyak.

“Upacaranya sudah dimulaikah?” tanyaku samar-samar mendengar suara riuh dan tabuh-tabuhan alat musik.

“Sepertinya begitu,” sahut Yarna.

“Yah, kita terlambat,” kataku dengan nada kesal.

“Itu baru permulaan,” kata Yarna.

Kami mempercepat langkah kaki. Setelah berjalan cukup jauh, jalanan ini mulai sedikit menanjak, lalu menurun kembali. Jauh? tentu saja. Tapi karena aku sering berolahraga, tubuhku tentu sudah terbiasa. Peluh keringat membasahi tubuh. Kilauan pantulan cahaya bulan di kulit menambah kesan eksotis.

Dalam beberapa menit, di hadapan kami terpampang gapura batu yang di sekitarnya terdapat obor api yang menyala-nyala. Itu menandakan, bahwa tak lama lagi kami sampai di desa. Kami melewati gapura yang terbuat dari batu itu menyusuri jalan paving batu yang lebih rapat.

Ada pertigaan jalan, Ria belok ke kiri. Aku mengikutinya. Jalan ini pun sedikit lebih lebar dari jalan yang tadi. Dari sini, suara hiruk-pikuk yang tadi di puncak sana terdengar samar-samar, kini lebih jelas. Aku kemudian berpapasan dengan dua orang wanita yang bertelanjang dada yang hanya mengenakan selembar kain penutup melingkar di pinggul. Mereka menyapa sopan kepada kami dan terdengar lontaran kata-kata dari Yarna. Mereka sedikit berkomunikasi, kemudian mereka pergi. Aku tidak tahu sih mereka bilang apa, andai ada Toni, pasti bisa menerjemahkan.

Beberapa orang, baik laki-laki maupun perempuan berdiri memegang senjata tombak yang di pinggangnya menggantung beberapa senjata tajam. Mereka juga menyapa ke Yarna. Dia pun menjelaskan, bahwa mereka itu pendekar seperti dirinya. Tugasnya saat ini menjaga keberlangsungan upacara agar berjalan kondusif.

Selang beberapa meter, dari arah belakang, kami disalip oleh seorang pria yang sedang tampaknya sedang buru-buru. Di depanku sudah banyak orang berdiri, seperti hendak melihat sesuatu.

Ada sepasang insan sedang bertarung di tengah tanah lapang diiringi oleh sebuah alat musik. Anehnya, mata mereka berdua terpejam. Laki-laki dan perempuan itu hanya mengenakan cawat dari kulit. Umurnya lebih tua dari aku. Dengan lihai mereka bertarung, berjungkil-balik, salto, dan sebagainya. Namun sayang sekali, baru saja aku melihat, pertarungannya berakhir.

“Yaaaah, kok udahan?” kata Ria.

“Iya, ya. Duh, padahal seru …,” ucapku.

Kedua petarung tadi tampak memberi hormat kepada kami semua, lalu mereka balik badan menuju ke sebuah rumah tanpa pintu dan hanya ditutupi tirai dari hiasan pernak-pernik dari akar-akaran serta kerang-kerangan. Masyarakat di sini masih tetap menonton. Mereka belum beranjak pergi meski petarungan barusan telah usai.

“Kita duduk di sana, yuk?” ajak Yarna dengan menunjuk ke tempat yang dimaksud.

“Boleh,” sahut Ria. “Di sana sepertinya view-nya bagus.”

Kami pun berlari kecil melewati tanah lapang tersebut menuju ke seberang sana. Kulihat tatapan beberapa penonton melihat ke arah kami. Dengan refleks, aku menutupi buah dada dengan kedua tangan.

“Halah, ngapain ditutupin. Dari tadi kamu santai saja, kok,” ujar Ria.

Benar apa yang dia katakan. Dari tadi aku tidak sadar kalau aku telanjang dada. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap saja malu. Ria santai saja berlarik kecil bersama Yarna. Payudara Ria memantul-mantul saat ia berlari.

Sesampainya di seberang, aku kemudian duduk selonjoran di tepi lapangan. Tak lupa aku menutupi dadaku dengan tangan kiri yang melintang secara horizontal. Memang tidak sepenuhnya tertutupi, tapi setidaknya area yang berwarna gelap dan lebih menonjol itu tidak terumbar.

Di sini, kami lebih nyaman karena lebih sedikit penontonnya dibandingkan dengan sisi yang lain. Untuk ukuran lapangannya, kira-kira setengah lapangan sepak bola. Di tengah-tengah, susunan balok-balok kayu yang di dalamnya menyala kobaran api. Di tepian lapangan, tertancap beberapa obor. Api di tengah lapangan itu tidak sebesar api unggun sewaktu aku ikut kemah dulu, tapi tetap terang saat kulihat mereka bertarung tadi.

Di sisi kananku, Ria duduk bersila, sedangkan Yarna berdiri di sebelah kanannya Ria. Kami berdua duduk beralaskan rumput yang masih basah. Ria tampaknya biasa saja duduk di sini, apa dia nggak geli ya kemaluannya nempel ke rumput gitu? Oh, iya lupa. Dia kan udah kapalan. Hahaha.

Terdengar riuh penonton ketika seorang kakek-kakek keluar dari arah rumah tempat pendekar tadi masuk. Dia berjalan menuju ke dekat perapian di tengah lapangan. Dia mengatakan sesuatu yang kemudian disambut oleh masyarakat.

Tiba-tiba, dari kiri ada yang menepuk pundakku.

“Hei, Anggu?”

Aku menoleh dan kulihat seorang yang tidak asing.

“Eh, Arya?” kataku yang kaget dengan penampilannya. Di sepasang pipinya terhiasi oleh coretan tinta berwarna gelap. Dia kemudian melirik ke bawah, tentu aku pun melihat ke apa yang dia lihat, yaitu dadaku. Aku pun salah tingkah dan membenahi tanganku yang menilang di dada.

“Kamu ke sini cuma mau nyuri-nyuri lihatin dada aku?”

“Ah, nggak. Aku cuma kaget, kamu beda.”

“Tambah cantik, ya?” sahut Ria.

Arya ketawa malu-malu.

“Bukan karena aku telanjang?” tanyaku frontal.

“Enggak. Kamu cantik kok, beneran.” Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke kepalaku. “Rambutmu bagus.”

“Ciee … cieee,” sahut Ria.

“Apan, sih,” kataku.

Kulihat dalam sekejap mata Arya mencuri-curi pandang lagi ke bagian tubuh pribadiku, lalu memalingkan pandangan. Ketahuan kan, memang karena aku telanjang. Dasarnya cowok sih gitu.

“Makasih,” jawabku meski kutahu ucapan itu. “Gimana progress penelitianmu?”

“Sudah lumayan banyak. Bahkan, aku sedikit-sedikit mengerti bahasa di sini.”

“Wuiiiiih, hebat.”

“Hehehe.” Dia tertawa sambil garuk-garuk kepala.

“Duduk aja, gak capek berdiri?” ujar Ria.

Dia kemudian duduk selonjoran di sebelah kiriku. Namun, sebelum dia duduk, aku terlebih dahulu mengganti dudukku dengan jongkok. Kutekuk lututkut dan saling kurapatkan pahaku. Buah dadaku menempel ke paha, lalu sepasang tangan melingkari kaki yang kutekuk.

“Kenapa?”

“Biar gak kendinginan.”

“Oh …”

“Ngomong-ngomong, kamu tahu siapa orang itu?” tanyaku sambil menunjuk ke kakek-kakek di tengah lapangan.

“Dia kepala suku sini. Kita kemarin sewaktu datang, juga dijamu di kediamannya.”

“Iyakah? tidak kelihatan kalau dia ketua suku.”

“Itu karena dia mengenakan pakaian kebesaran.”

“Kalian ini tidak sopan. Orang tua kok dipanggil dia. Tata kramanya di mana, Mas, Mbak?” kritik Ria.

“Maaf .. maaf. Aku lupa,” kata Arya.

“Iya, aku nggak tau.”

Yarna tersenyum mendengar kami ngobrol. Memang, dalam sebuah percakapan, untuk orang yang kita hormati harus mengganti kata orang dengan “beliau”, bukan “dia”.

“Eh, ngomong-ngomong, apa yang diutarakan ketua suku?”

“Upacara akan dimulai beberapa saat lagi. Sambil menunggu, kita tampilkan peserta selanjutnya.”

“Peserta? benar begitu, Yarna,” tanyaku ke Yarna untuk mengonfirmasi terjemahan Arya.

“Iya.”

“Kamu lihat tadi orang yang bertarung?” tanya Arya.

“Mereka sebenarnya tidak bisa bela diri ….”

“Hah?”

“Nanti kamu lihat sendiri saja.” Arya menatap ke tengah lapangan.

Ketua suku sedang terdiam. Aku tidak tahu dia sedang apa, karena posisi kami duduk berada di arah jam 5 dari posisi dia. Dengan kata lain, posisiku membelakangi dia.

Seorang laki-laki keluar dari rumah tempat ketua suku dan pendekar tadi masuk. Ia berjalan menuju ke tengah lapangan sambil membawa kendi kecil. Tangan kanan ketua suku tersebut sedang mengambil sesuatu di dalam sebuah kendi tadi, lalu berkata-kata sesuatu. Seperti sebuah lagu. Kemudian, dilemparkan apa yang tadi ia ambil di dalam kendi ke api di depannya. Beberapa saat kemudian, benda itu terbang ke atas. Mungkin karena asap dari api itu yang membuatnya terbang.

“Beliau sedang memilih.”

“Memilih?” tanyaku terheran-heran. “Memilih apaan?”

Tiba-tiba, indera pembau merasakan aroma bunga yang sepertinya familiar, tapi aku lupa nama bunga tersebut. Aroma wangi itu tidak serta merta tercium pekat, tapi samar-samar. Di samping itu, bulu-bulu halus di leher belakang terasa berdiri. Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, teman-temanku tidak merasakan kecurigaan. Malahan, Ria menatapku dengan dahi yang dikerutkan.

“Ada, apa?”

“Kamu nggak mencium sesuatu?”

“Enggak.” Ria menjawab sambil hidungnya juga menghirup udara kencang-kencang sampai hidungkan cangkang hidung menyekung. “Aroma apaan? Gak ada, nih.”

“Bunga,” jawabku.

“Enggak ada,” balas Ria kemudian melontarkan pertanyaan ke Arya. “Arya, kamu nyicum?

Arya menggeleng-geleng.

“Kalau Yarna?” Aku menoleh ke Yarna.

Dia pun menggeleng-gelengkan kepala.

Beberapa detik kemudian, aroma wangi itu tercium semakin menyengat disusul oleh selembar benda jatuh di hadapanku. Benda itu adalah selembar bunga kemboja yang jatuh tepat di atas punggung kakiku. Masyarakat yang menonton bersorak sorai sambil menatap ke arahku. Sepertinya mereka melihat saat benda kecil berwarna putih dan gradasi kuning ini jatuh di depanku.

Aku tak tahu apa maksudnya ini. Aku menengok ke Yarna.

“Anggu …,” katanya lesu dengan pandangan suram lalu menunduk sambil tangannya mengelus pelipis.





Bersambung …​
 
Terakhir diubah:
Duhhh.. Kaakkk... Uraian kalimatnya masih kayak dulu, bikin mikir sejenak, hehe...
Btw kak, hebat loh.. Dari awal sampe akhir ga ada typo.. Kereeennn..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd