Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
Thanks apdetnya suhu

Dalam pikiran ane, salah satu cara menghukum Dewi adalah saat Angga maen sama Tuti & Elis d pondok ceria, kemudian Dewi datang & melihat pergulatan mereka. Dari situ Dewi tau kbnaran perkasanya Angga & makin penasaran, ingin nyobain juga. Tapi Angga gak mau menyentuh Dewi. Hanya menggoda Dewi dengan monsternya tanpa Dewi bisa merasakannya.
Biar mati penasaran sekalian tuh cewek
Eiits suhu nakal ya..*** bileh gitu...kasian dewinya...
Sini dewi sama om....wkwkwkkwkw
 
CHAPTER 11


MASA LALU PART 2

ANGGA POV


Malam itu, suasana di ruang tengah begitu penuh antusias. Aku dan Lina tak sabar menanti petualangan ke Eropa. Koper-koper telah disusun rapi, tiket pesawat sudah dicetak, dan rencana perjalanan bersama telah dibuat. Kami tertawa, bercanda, dan merencanakan segala sesuatunya dengan penuh semangat, seolah-olah malam itu adalah prolog dari perjalanan epik yang akan segera kami jalani. Aku merasa begitu terhibur dengan kehadiran Lina. Kehangatan senyumannya dan caranya menyikapi segala sesuatu mampu mengurangi kemelut yang sedang menghantui hatiku. Rasanya, kegembiraan malam itu tidak hanya dipicu oleh rencana perjalanan ke Eropa, tetapi juga oleh kehadiran Lina yang begitu istimewa.

Namun, tengah asyik-asyiknya berduaan dengan Lina, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Pandanganku terarah pada jam di dinding rumah yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku teringat kata-kata Lia untuk meminum jamu resepnya pada jam tersebut. Tanpa ingin menunda, aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan ramuan itu. Saat aku sibuk mencampurkan bahan-bahan jamu, tiba-tiba Lina muncul di pintu dapur dengan senyuman manisnya.

"Kamu sedang buat apa?" Tanya Lina sambil melirik ke dalam panci di tanganku.

“Jamu.” Jawabku sambil tersenyum.

“Jamu buat apa?” Tanya Lina lagi sambil mengerutkan kening tanda keheranan.

“Ya, buat kesehatan. Buat tubuh tetap kuat.” Aku agak sedikit menyembunyikan khasiat yang sedang aku buat.

“Hi hi hi … Kirain jamu kuat.” Goda Lina dengan suara genit.

“Kalau iya gimana?” Candaku.

“Ihk … Ya, bagus dong biar kuat itunya.” Ucap Lina malu-malu.

“Itunya apa?” Godaku lagi.

“Ihk kamu … Lagi godain aku ya?” Suaranya semakin genit.

“He he he … Biar kamu puas.” Bisikku.

“Hei!” Lina menepuk bahuku pelan nan gemulai.

“Serius Lin … Jamu yang kubuat ini salah satu khasiatnya untuk kuat begituan.” Kataku sambil tersenyum.

“Hi hi hi … Kamu sudah membuktikan khasiatnya?” Lina tambah centil saja.

“Kalau aku Cuma cerita kamu gak bakalan percaya. Gimana kalau kamu mencobanya.” Kataku.

“Ikh … Mesum …” Ujar Lina sambil mencubit lenganku.

Aku pun terkekeh pelan melihat sikap genit yang dipertunjukan Lina. Aku kemudian meracik jamu dengan menambahkan sedikit madu dan menyisipkan air putih dingin. Pandangan Lina tetap terpaku pada proses pembuatan jamu yang terjadi di depan matanya. Setelah selesai, tanpa ragu aku mengangkat gelas berisi ramuan herbal yang baru saja aku ciptakan. Kemudian aku meneguknya dalam satu tegukan panjang. Campuran herbal yang khas langsung merasuki tenggorokanku, memberikan sensasi hangat yang menyusup ke dalam tubuhku. Perutku pun merasakan kehangatan yang mengalir begitu cepat.

Setelah sesaat menikmati efek hangat dari jamu, aku dan Lina memutuskan untuk kembali ke ruang tengah. Duduk di sofa panjang, kami berdua kembali masuk ke dalam obrolan yang sempat terputus. Sekitar sepuluh menit berlalu sejak aku dan Lina duduk bersama di ruang tengah, tiba-tiba aku merasa denyut darahku meningkat dengan cepat. Terasa olehku ada kehangatan yang perlahan merambat ke seluruh tubuh, terutama di bagian pinggang ke bawah. Tak ayal, 'juniorku' pun merespon dengan mengeras. Memang, inilah respon alami yang dialamiku setelah minum jamu tersebut.

“Sudah malam … Sebaiknya kita tidur. Besok pagi kita harus berangkat. Kamu bisa pilih dua kamar itu untuk beristirahat, atau kalau mau sekamar denganku.” Kataku bernada canda sambil tersenyum.

“Angga … Aku takut tidur sendirian …” Ucapnya manja membuatku semakin yakin keinginan wanita ini.

“Ya udah … Kalau begitu kamu tidur denganku.” Senyum kemenangan terukir di bibirku.

Aku membimbing Lina ke kamar tidurku, suasana yang tadinya penuh tawa dan obrolan ringan berubah menjadi ketenangan saat pintu kamar tertutup rapat di belakang kami. Kami pun telah berada di dalam kamar tidur yang tenang, di mana udara sejuk yang dihasilkan AC langsung menyapa kami. Tanpa permisi, aku memutuskan untuk membuka pakaianku. Hanya tersisa boxer yang terasa kesempitan menempel di tubuhku. Terlihat sekilas di ujung mataku, Lina seperti terkejut, melototkan matanya ke celana boxerku. Tentu saja aku tahu apa yang sedang wanita itu kejutkan. Pura-pura tidak peduli, aku segera naik ke atas ranjang.

“Hei … Kenapa masih berdiri di situ?” Kataku menggodanya.

“Em … Oh … I..ya … Apakah aku harus membuka baju juga?” Tanya Lina gelagapan.

“Terserah kamu.” Jawabku sembari terlentang, sengaja mempertontonkan ‘juniorku’ yang membentuk tenda cukup tinggi di boxer-ku.

Tanpa berkata-kata, Lina mulai membuka pakaiannya satu persatu, menyingsingkan lapisan demi lapisan dengan gerakan yang lembut. Dia hanya menyisakan bra dan celana dalamnya, menyisakan keanggunan alaminya yang terbukti begitu menawan. Lina, dengan tatapan penuh kepercayaan diri, membalas tatapanku. Perlahan, wanita itu naik ke atas ranjang dengan gerakan yang begitu ringan. Aura kamar terasa dipenuhi oleh keintiman yang tercipta, dan aku merasa gairahku bangkit dengan cepat.

Lina membaringkan tubuhnya di sampingku dengan posisi menyamping. Kini wajah kami berdua saling berhadapan, begitu dekat satu sama lain. Untuk beberapa saat, kami hanya saling menatap. Mata kami saling berbicara, menyampaikan hasrat tanpa kata-kata. Dan di tengah keheningan yang menguar, perlahan bibir kami akhirnya saling menyapa. Bibir kami saling melumat sambil saling meraba mulai memainkan hasrat dan gairah seksual kami.

Sambil berciuman, kuremas payudaranya yang masih berbalut bra itu, kuremas dengan lembut, kurasakan kelembutan payudaranya. Buah dada Lina benar-benar masih kenyal. Beberapa saat kemudian, aku merasakan usapan lembut tangannya di kejantananku yang masih terbungkus boxer. Sesaat kemudian, tangan Lina menarik ke bawah boxer-ku dan tangannya terasa menggenggam kejantananku yang sangat keras. Tiba-tiba, Lina melepaskan ciumannya dan kemudian mengambil jarak dariku, sambil menundukkan kepalanya.

“Astaga!!” Lina memekik pelan sembari terus menatap ke bawah dengan tangan menggenggam kejantananku yang tak bisa ia genggam sepenuhnya.

“Ada apa?” Tanyaku pura-pura.

Lina menegakan kepalanya sambil nenatapku lekat-lekat, “Punyamu ini.” Katanya sembari meremas lembut.

“Kenapa?” Aku pun pura-pura lagi.

“Besar banget, Ngga …” Desis wanita itu.

Aku hanya tersenyum lalu mengecup bibirnya. Lina membalas kecupanku dan akhirnya kami bergumul dan saling berciuman dengan sedikit liar. Aku pun melepaskan sisa kain yang masih menempel di tubuhnya. Birahi dan berbagai gejolak perasaan mendesak sangat dahsyat. Sangat intensif menggedor-gedor seluruh syaraf kami untuk saling merangsang dan memuaskan sang lawan. Kejantananku minta perhatian dan mendesak-desak hingga permukaannya penuh dengan guratan urat yang sangat sensitif.

Tanpa diminta lagi Lina meregangkan kedua pahanya dan menyambut kesediaanku dengan segenap hati. Punggungnya membusur dan bersiap. Sementara aku menyiapkan batang kemaluanku dan membimbingnya menuju ke pasangannya yang telah lumer licin oleh cairan kewanitaannya. Gigitan bibir bawahnya menunjukkan ketidak-sabarannya dan dengan kedua betisnya dia mendesak pinggulku untuk bergerak maju ke depan. Akhirnya keduanya menempel. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke klitorisnya dan Lina pun mendesah.

Kudesak ke depan perlahan namun agak tertahan. Kusibakkan dengan kedua jemariku sambil pinggulku mendesak lagi dengan lembut namun mantap. Membelalak mata Lina ketika batang kemaluanku telah menyeruak di antara celah kewanitaannya. Secara perlahan batang penisku masuk ke dalam lubang senggamanya sampai kandas. Penis besarku terasa begitu sesak membuka dinding vaginanya.

“Ooohh …” Lina mendesah lagi lebih keras.

Mulai kugerakan batang kejantananku menggesek-gesek daging hangat yang dilaluinya. Mili demi mili batang kemaluanku menghujam deras ke dalam diri Lina dan semakin dalam, serta setiap kali aku menggerakkan pinggulku ke kiri dan ke kanan sekujur tubuh Lina pun bergetar, bergidik menggelinjang keras, lalu kudesak ke dalam sambil sesekali kutarik dan ulur.

Lina merintih dan membisikkan kata-kata sayang yang terdengar bagai musik di telingaku. Aku mendenyutkan kemaluanku dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan bersentuhan dengan hampir seluruh permukaan dalam rahimnya. Berbagai tonjolan yang ada di dalam lubang kemaluannya kutekan dengan kemaluanku, hingga Lina menjerit, namun segera kubungkam dengan ciuman yang ganas pada bibirnya.

Kutindih dia, kutekan badannya hingga melesak ke dalam kasur yang empuk dan kusetubuhi dirinya dengan nafsu yang menggelegak. Dengan mantap dan terkendali aku menaikkan pinggulku hingga kepala kemaluanku nyaris tersembul keluar, dan segera kutekan lagi. Pergesekan itu luar biasa indah dan nikmat. Lina selalu melepas ciumanku sambil tiada henti mengerang penuh kenikmatan.

Wanita seksi itu merem-melek keenakan dan ritual ini kami lakukan dengan tenang dan santai, berirama namun dinamis. Pinggulnya yang montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertempuran hingga segalanya makin intens ketika sesuatu yang hangat mengikuti kontraksi hebat pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas batang kemaluanku, serta ditingkahi bulu mata Lina yang bergetar cepat mendahului aroma orgasme yang sedang menjelangnya.

“Ngggaaaa… Nggak tahan aku… Ngggaaaa… Ssshhhh…” Lina mengerang-ngerang.

“Keluarin saja.” Kataku sembari mempersiapkan jari-jariku di area pinggulnya.

Tiba-tiba tubuhnya mengejang hebat, matanya yang melotot itu membeliak terbalik hingga hampir terlihat putihnya ketika tubuhnya dilanda orgasme. Segera saja aku mencari urat seksnya dan tak terlalu susah menemukannya, kemudian aku pijit pelan sambil terus menggerakan penisku di liang surganya. Tubuh wanita seksi itu terus mengejang dan meronta nikmat sambil mengerang-erang. Setiap kali Lina orgasme, dia menjerit sambil menegang, itu terjadi beberapa kali tanpa jeda.

Aku tersenyum melihat wanita itu tersiksa oleh kenikmatan. Keringat kami yang berbaur seiring dengan pertautan tubuh kami yang seolah tak mau terpisahkan, gerakan pinggulnya yang aduhai, aroma persetubuhan yang kental di udara, jeritan-jeritan lirih tanpa arti yang hanya dapat dipahami oleh dua makhluk yang sedang memadu cinta, perjalanan yang panjang dan tak berujung.

Hingga desakan itu tak tertahankan lagi seperti bendungan yang bobol, kami berdua menjerit-jerit tertahan dan mendelik dalam nikmat yang berusaha kami batasi dalam suatu luapan ekspresi jiwa. Wati jebol, berulang-ulang, berantai, menjerit-jerit, deras keluar memancarkan cairan yang membasahi dan menambah kehangatan bagi batang kemaluanku yang juga tengah meregang-regang dan bergetar hendak menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan perubahan cepat pada denyutan liang kemaluannya yang hangat dan ketat menjepit batang kemaluanku. Dan ya, aku tak tahan lagi.

Akhirnya, pancaran itu mulai menjebol dan tidak ada yang di benakku kecuali kenikmatan, lega yang mengawang dan kebahagiaan yang meluap. Aku melenguh keras dan meremas pinggul Lina yang juga tengah mendelik dan meneriakkan luapan perasaannya dengan rintihan birahi. Berulang-ulang muncrat dan menyembur keluar tumpah ke dalam liang senggama sang wanita seksi itu.

Tak lama, aku melepaskan penyatuan tubuh kami lalu berbaring terlentang di samping Lina yang tampak kelelahan. Matanya terpejam dengan nafas yang tak beraturan. Aku yang sadar tidak bisa melanjutkan permainan cinta ini memilih untuk segera terlelap. Namun beberapa menit berselang, aku rasakan Lina menaiki tubuhku dengan wajahnya menempel di wajahku.

“Jamu yang kamu minum ternyata luar biasa khasiatnya.” Kata Lina sambil mengembangkan senyum.

“Tadi kamu bertanya khasiatnya kan? Tadi itu jawabannya.” Kataku sembari memeluk tubuhnya.

“Aku mau lagi, Ngga …” Pintanya tanpa malu.

“Kita harus tidur sekarang. Besok kita akan berangkat. Aku gak mau kesiangan.” Jawabku.

“Ahk … Angga … Sekali lagi aja …” Lina merengek.

“Baiklah … Kamu yang di atas.” Jawabku dan Lina pun tersenyum lagi.

Ronde kedua pun dimulai dengan wanita seksi itu menstimulasi kejantananku yang setengah tegang. Tak butuh waktu lama baginya untuk membangunkan kembali ‘juniorku’. Kini Lina menunggangi tubuhku. Perlahan tangannya menuntun batang kejantananku yang sudah tegang itu memasuki liang kenikmatannya dan terasa lebih masuk. Lina mulai bergoyang perlahan, payudaranya tampak lebih besar dan semakin menantang dalam posisi ini, aku segera meremasnya. Lina berjongkok di atas pinggangku menaik-turunkan pantatnya, terlihat jelas bagaimana batang kejantananku keluar masuk liang senggamanya yang terlihat penuh sesak, sampai bibir kemaluan itu terlihat sangat kencang.

“Ooohh … Kamu luar biasa, Nggaaa …” Lina berucap mendesah.

Aku tersenyum lagi sambil meremasi dua buah benda kenyal yang melambai-lambai indah seiring dengan gerakan naik turun tubuhnya. Lina mengatur gerakan tubuhnya naik turun di atas tubuhku sambil kedua tangannya memegang lenganku yang asik mempermainkan kedua bongkahan dadanya. Dengan liar Lina menghentak-hentakkan pantatnya, meliuk-liuk di atas tubuhku, seperti seekor ular betina yang tengah membelit mangsanya. Terkadang dia juga membuat goyangan memutar-mutar pantatnya sehingga jepitan vaginanya terasa mantap. Batang penisku terasa seperti di pelintir dan dipijit-pijit di dalam lubang kenikmatan itu. Terasa sangat hangat dan nikmat. Semakin lama gerakan Lina semakin liar tak terkendali. Menghujam-hujam kejantananku semakin dalam dan mentok sampai dinding terdalam rongga vaginanya. Nafasnya semakin memburu, seperti bunyi lokomotif tua yang berjalan dengan sisa-sisa tenaganya.

“Oh, Ngggaaaa… aku…sudah… Maauuuu…! Arrrgghhh….!” Lina menjerit nikmat berbarengan dengan muncratnya magma panas dari dalam rahimnya.

Tanganku segera beralih ke bagian pinggulnya lalu memijat urat seksnya yang sedang bekerja maksimal. Tanpa melepas pijatanku, segera aku membalikan posisi hingga kini tubuh wanita itu terbaring terlentang di atas kasur sementara aku berjongkok di antara kedua pahanya tanpa melepaskan pertautan kelamin kami. Aku ayunkan pantatku perlahan-lahan namun pasti. Lina yang berada di bawahku tampak kelojotan menikmati aksiku ini. Terlebih ketika aku mempercepat ayunanku dan menekan kuat-kuat batang penisku ke dalam rahimnya. Dia hanya terus mengerang nikmat sambil mencengkram kuat-kuat otot-otot lengan dan dadaku. Sambil terus bergerak maju mundur, sesekali aku menjilat dan menciumi buah dadanya.

“Iyaah… Aaaghhh! Terus sayang… Yyahhh…yaahh…oouugghhh….!” Lina mengoceh tak karuan. Namun aku tidak menghiraukannya. Aku terus memompa tubuh seksinya dengan gerakan mengorek-ngorek lubang nikmat itu. Semakin lama gerakanku semakin liar. “Ooohh… Ngggaaaa! Akkuuu mau keluaar lagi…. Ooohhh…. Aku mau keluarrr….!” Aku merasakan dinding-dinding vagina Lina mengerut dan berdenyut-denyut, mencengkeram dan meremas-remas batang penisku dari dalam. Semakin lama kedutan vagina Lina semakin cepat. Sampai akhirnya….. “Aaarrggghhh….! Aku keluar lagi Nggaaaaa…!” Lina menjerit puas.

Aku terus mengenjot tanpa henti sehingga liang vagina Lina merasakan benar-benar kegelian yang amat sangat membuat orgasmenya terus menerus sampai akhirnya ia tersungkur. Aku meneruskan menyetubuhi Lina sampai wanita itu menjerit-jerit kenikmatan dan entah sudah berapa banyak orgasme yang ia alami sejak awal ronde kedua tadi.

Aku juga sudah tak dapat lagi menahannya ketika kurasakan penisku membengkak besar sekali dalam remasan vagina Lina dan kenikmatan itu mulai menjalar dari pangkal penisku menuju ke ujungnya. Aku memompa Lina cepat sekali, dan kini terasa kenikmatan itu sampai di ujung penisku dan tanpa dapat kutahan lagi penisku meledak dahsyat dalam gumpalan-gumpalan klimaks yang nikmat luar biasa diantara remasan vagina Lina yang begitu lembut. Tubuhku menyentak-nyentak tak dapat menahan kenikmatan itu. Kami berpelukan erat sekali dalam klimaks yang luar biasa nikmatnya.

“Aaaccchhh …” Aku melenguh panjang menyongsong klimaks-ku.

Lina setengah berteriak menahan kenikmatan saat ia mencapai puncak orgasmenya dalam klimaks yang begitu dahsyat dengan kedua kakinya yang merangkul ketat pada kedua pahaku. Kami masih terus bergumul dalam ledakan klimaks yang sungguh luar biasa dengan tubuh menggelepar-gelepar menahan kenikmatan itu sampai akhirnya kedua tubuh kami terkulai berkeringat dan nafas yang menderu keras. Kami masih saling tindih untuk beberapa saat. Tak lama, aku mencabut kejantananku dari vaginanya lalu membaringkan diri di samping tubuh Lina yang terkulai lemas.

Wajah wanita seksi itu penuh dengan kelelahan, keringat menghiasi kulitnya yang berseri. Meskipun begitu, senyum yang terkembang di bibirnya menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. Kami berdua terperangkap dalam suasana hening, hampir dua menit tanpa sepatah kata pun yang terlontar. Lina, akhirnya membuka mata dan menolehkan kepalanya ke arahku. Senyum manisnya masih terukir di wajahnya yang lelah.

“Kamu benar-benar luar biasa.” Ujarnya dengan tatapan kagum.

“Terima kasih.” Responku sambil mencubit mesra hidung bangirnya.

“Aku bakal ketagihan sama kamu, Ngga … Tadi itu belum pernah aku rasakan. Rasanya sangat menakjubkan.” Puji Lina.

“Ya, tapi jangan sekarang. Kita harus tidur. Aku gak mau kita kesiangan.” Kataku dijawab anggukannya.

Di atas ranjang yang nyaman, aku dan Lina saling berpelukan. Tubuhnya yang lelah dan penuh keringat terasa nyaman bersentuhan dengan tubuhku. Dalam keheningan kami saling memejamkan mata. Senyum kelelahan masih menghiasi wajah Lina. Nafas kami mulai beriringan. Dan tak lama kemudian, kami terlelap dalam tidur yang damai.


#####



DEWI POV

Malam ini, setelah kembali dari Pondok Ceria, aku langsung memasukkan mobil ke dalam garasi. Aku menarik napas lega, tanda bahwa perjalanan pulang telah berakhir. Saat aku berjalan melintasi ruang garasi, mataku tak sengaja tertuju pada mobil Dimas yang juga terparkir di sana. "Ah, berarti Dia ada di rumah," bisikku dalam hati.

Tanpa menunda, aku segera melangkah menuju pintu samping dan membukanya. Sesampainya di dalam rumah, aku langsung meluncur menuju kamarku. Pintu kamarku terbuka perlahan, memperlihatkan sejumlah pantulan cahaya lampu yang menghiasi ruangan. Kemudian, mata pun langsung mencari Dimas di tengah kegelapan.

Ternyata, ia sudah terlelap di atas tempat tidur, wajahnya terhuyung lembut oleh tidur yang mendalam. Aku pun tak mau mengganggu, memilih untuk tidak menyalakan lampu terlalu terang. Dengan gerakan ringan, aku melepas sepatu dan mengganti pakaian. Langkahku pelan saat aku mendekati tempat tidur Dimas. Dengan hati-hati, aku berbaring di sampingnya, mendengar hembusan napasnya yang teratur.

“Kamu pulang malam sekali.” Tiba-tiba aku mendengar suara Dimas. Ternyata dia terbangun. Posisinya membelakangiku.

“Kumpul dengan teman-teman,” Jawabku dingin sambil melihat punggungnya.

“Tidak pantas seorang istri pulang semalam ini.” Katanya.

Aku pun tersenyum sinis, “Bagaimana dengan seorang suami yang jarang pulang?”

Setelah beberapa kalimat terucap dari bibirku, Dimas terdiam seperti tak ingin membalas pernyataanku. Aku menunggu kata-katanya untuk beberapa saat, tetapi Dimas masih tetap terdiam. Suasananya terjebak dalam keheningan yang memeluk kami. Itulah sifat Dimas yang selalu menghindari konfrontasi.

“Dimas … Ada apa denganmu? Apa kurangku sebagai istrimu?” Tanyaku ingin mengeluarkan unek-unek.

“Kamu tidak kurang apa pun.” Jawabnya sambil masih memunggungiku.

“Kamu berdusta, Dimas … Aku ini wanita yang punya perasaan. Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?” Aku terus bertanya.

“Jangan berkata seperti itu.” Ucap Dimas pelan.

“Dimas … Demi apapun, saat aku pertama mengenalmu, aku sungguh menyukaimu, dan aku berani membuang cintaku yang lama hanya demi kamu. Apakah pengorbananku tidak berarti apa-apa untukmu?” Kataku dan itu keluar dari hatiku yang tulus.

Saat pertama kali berjumpa dengannya, aku tak bisa menyangkal bahwa aku sungguh menyukai Dimas. Sosoknya yang tampan, penuh perhatian, dan caranya menyapa membuat hatiku berdebar. Meskipun pada waktu itu aku masih terikat perasaan dengan seseorang yang lain, tapi harapanku yang terbesar tumpah pada Dimas. Kisah cinta kami berkembang, dan akhirnya, kami menjadi suami istri. Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa hubungan kami mengalami perubahan. Sekarang, ketika kami berdua berada di atas tempat tidur, kesan bahwa Dimas sudah mengabaikan perasaanku semakin mendalam. Aku yakin, sangat yakin, bahwa cinta yang dulu begitu nyata kini telah memudar.

“Aku mencintaimu.” Ucapnya sambil membalikan badan. Kini wajahnya menghadapku.

“Tidak … Aku tidak merasakan sama sekali cintamu.” Perasaan itu terucap tanpa bisa kutahan, meskipun aku tahu betapa pahitnya kata-kata itu mungkin terdengar.

Dimas menatapku dengan tatapan mendalam, seperti sedang mencoba menyusun kata-kata yang mungkin bisa memperbaiki keadaan. Namun, kenyataannya tak bisa dielakkan, dan ruang di antara kami semakin terasa terpisah. Bagai meniti pada benang yang tipis, aku mencoba menghadapi kebenaran yang terpampang di depan mata.

"Apa yang terjadi pada kita?" Bisiknya, mencoba meraih tanganku. Namun, aku menghindari kontak fisik itu. Aku merasa bahwa kami berdua sudah terlalu jauh melangkah dari jalur yang dulu kami pilih bersama.

“Aku sudah tahu apa yang kamu lakukan di belakangku. Kamu sudah tidak lagi peduli sama aku. Kamu lebih peduli dengan tantemu yang cantik.” Kataku, suara yang seharusnya tetap tenang namun terasa gemetar oleh kekecewaan yang tumbuh. Kata-kata itu terlontar tanpa bisa kukendalikan, menjadi ungkapan amarah dan kesedihan yang terpendam begitu lama.

"Kamu harus percaya padaku," jawabnya dengan suara serak, mencoba membela diri. "Tak ada yang seperti yang kamu pikirkan. Aku mencintaimu, hanya kamu."

Namun, di balik kata-kata manis itu, aku merasa masih terabaikan. Terdengar seperti alasan yang dibuat-buat untuk menyembunyikan sesuatu. Sejenak, aku terdiam, berusaha menyaring antara kata-kata dan emosi yang tengah bergolak dalam diriku.

Aku melihat Dimas dengan tajam, mataku memancarkan ketidakpercayaan. "Aku punya bukti, Dimas," ujarku dengan tegas. "Bukti bahwa kamu berselingkuh dengan Tante Lita."

Dimas mencoba menepis ucapan itu dengan gelengan kepala, "Tidak, Dewi. Kamu salah paham."

Namun, tanpa memberikan kesempatan padanya untuk membantah, aku segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke meja riasku untuk mengambil smartphone di dalam tas kerjaku. Aku bawa smartphone itu mendekat Dimas. Sejenak aku mencari folder foto Dimas dan Tante Lita yang sedang bersenggama. Setelah menemukannya aku memperlihatkan foto-foto tersebut yang membuktikan perselingkuhan Dimas dan Tante Lita. Wajah Dimas langsung terperangah begitu melihat bukti itu. "Oh," gumamnya dengan nada kebingungan.

"Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?" Seruku dengan nada penuh kekecewaan. "Apa yang kurang dariku hingga kamu berselingkuh dengan wanita sepertinya? Kalau dibandingkan, aku merasa jauh lebih baik daripada Dia. Dia bahkan terlihat seperti nenek-nenek peot.”

Dimas terkejut dengan pandangan sinis yang kuberikan pada Tante Lita. "Tidak," gumamnya cukup keras sambil menggelengkan kepala.

“Tante Lita-mu itu tak ubahnya seperti pelacur yang merayumu dengan kedok kesedihan palsu.” Seruku dengan nada sinis yang mengundang perhatian Dimas. Wajah Dimas mulai merona marah. Namun, ketinggian emosiku membawa aku berani lebih jauh. "Tapi apakah kau tahu, Dimas? Yang lebih memalukan adalah memilih berselingkuh dengan wanita seperti Tante Lita yang rendahan itu. Kau merusak harga dirimu sendiri."

“Cukup!!!” Teriak Dimas dengan wajah marah.

Dewi menyeringai sinis, "Tante Lita derajatnya lebih rendah dari binatang. Dia itu serigala berbulu domba, memeras orang yang beristri."

Dengan wajah memerah karena amarah, Dimas menyahut, "Jaga mulutmu, Dewi! Jangan merendahkan Tante Lita. Kalau kau tak lebih baik daripada dia, jangan sok suci!"

“Apa?! Tak lebih baik?” Aku tersentak kaget.

“Ya! Wajahnya lebih cantik dari kamu, tubuhnya lebih seksi, dan perangainya jauh lebih baik darimu!" Ucapnya semakin membuatku tertegun.

Aku terdiam sejenak, mataku mencerminkan rasa tidak percaya. "Apa yang kau katakan, Dimas? Aku tidak percaya kau bisa berkata seperti itu."

Dimas tersenyum sinis sambil merespon, "Waktunya kamu membuka mata, Dewi. Kamu hanya menipu dirimu sendiri jika berpikir bahwa kamu lebih baik daripada Tante Lita. Kamu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dia."

“Kau tega mengatakan itu pada istrimu sendiri?” Aku benar-benar terpukul oleh kata-kata Dimas yang menusuk ke dalam hatiku. Aku menatapnya dengan mata yang penuh dengan kekecewaan dan kesedihan. "Apakah kamu benar-benar merasa bahwa menghancurkan harga diriku akan membuatmu lebih baik?"

Tiba-tiba, Dimas turun dari tempat tidur dan pergi keluar kamar. Aku menatap kepergiannya dengan kesedihan dan kekecewaan. Kekecewaanku begitu dalam sehingga air mataku bercucuran tanpa dapat kuat menghentikannya. Kata-kata yang merendahkan itu mengukir luka yang sangat lebar dalam relung hatiku. Gumpalan kekecewaan di hati ini berubah menjadi kebencian dan kemarahan yang membakar jiwaku. Sinar-sinar api marah membara, menciptakan gejolak emosi yang tak bisa kukendalikan. Semua yang terucap, semua luka yang tergores, terangkat menjadi bara api yang menyala-nyala dalam kalbu. Api dalam hatiku berkobar dan tak ada satu pun yang terpadamkan hingga tercipta dendam yang mengakar dalam diri. Aku merasa tak mampu lagi memandang Dimas dengan mata yang dulu penuh cinta, kini terisi oleh bara dendam yang terus membara.


######


ANGGA POV

Setelah mengudara selama 18 jam, akhirnya aku dan Lina merasakan getaran roda pesawat menyentuh landasan Bandara Internasional Lisbon. Langit-langit biru yang cerah menyambut kedatangan kami di Portugal. Kami keluar dari pesawat dengan perasaan letih namun penuh sangat bersemangat menjelajahi kota yang baru kami jejaki ini.

Setelah melewati proses imigrasi dan mengambil bagasi, kami menuju pintu keluar bandara. Suasana hangat musim panas Lisbon menyapa kami begitu pintu terbuka. Tanpa ragu, kami mencari taksi untuk membawa kami ke hotel berbintang lima yang sudah kami pesan sebelumnya. Dengan menggeret koper, kami masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di area penjemputan. Pengemudi taksi menyambut kami dengan ramah, dan kami pun berangkat menuju pusat kota Lisbon. Perjalanan kami disuguhi dengan pemandangan menakjubkan dari bangunan-bangunan klasik hingga jalan-jalan yang dipenuhi aktivitas kota.

Setelah beberapa saat, taksi meluncur masuk ke halaman hotel berbintang lima yang indah dan menawan. Bangunan megah dengan arsitektur yang elegan menyambut kedatangan kami. Saat memasuki lobby, kami disambut oleh aroma wangi bunga segar dan pelayan hotel yang ramah. Proses check-in berjalan lancar, dan kami segera menuju ke kamar kami yang nyaman untuk istirahat setelah perjalanan yang panjang.

"Oh … Ini sungguh menyenangkan …" Suara Lina begitu ceria sambil melempar tubuhnya ke ranjang king size yang empuk. Wajahnya berseri-seri, dan kami berdua bisa merasakan kelelahan setelah perjalanan yang panjang mulai tergantikan oleh rasa kenyamanan di kamar hotel.

Aku membuka jendela kamar yang memberikan pemandangan indah kota Lisbon yang terang benderang di bawah sinar matahari terbenam. Udara sejuk dan semilir angin mengalir masuk, membawa harum bunga-bunga khas musim panas Portugal.

“Aku masih tidak percaya kita benar-benar berada di Lisbon. Ini seperti mimpi." Kataku sambil menatap pemandangan kota dari jendela.

“Aku juga merasa begitu. Selama ini aku bisa hanya menghayal bisa datang ke Eropa, tapi sekarang kita benar-benar berdiri di sini." Kata Lina dengan suara yang penuh kekaguman dan kegembiraan.

"Kita akan istirahat sehari di hotel ini, baru kita akan menemui ibuku." Kataku sambil berjalan ke arah kulkas untuk mengambil botol air mineral. "Aku rindu sekali padanya, dan aku yakin dia akan sangat senang melihat kita berdua di Lisbon."

“Hi hi hi … Siapa tahu ibumu mengangkatku menjadi menantunya?” Canda Lina.

Aku menenggak air mineral sambil menghampiri Lina yang masih rebahan di ranjang, “Aku sudah lama sekali tidak bertemu ibuku. Jujur saja, aku merasa grogi bertemu dengannya.”

Lina langsung bangkit dan berkata, ”Kamu tidak harus merasa seperti itu. Aku yakin ibumu akan sangat bahagia dengan kedatanganmu.” Lina tersenyum penuh semangat, mencoba memberikan dukungan sekaligus menghilangkan kecemasan yang aku rasakan.

“Ya … Aku juga berharap demikian.” Kataku.

Aku dan Lina ngobrol sejenak di kamar hotel. Kami saling tertawa, berbagi cerita, dan merencanakan petualangan kami di kota yang penuh pesona ini. Setelah obrolan hangat, akhirnya kami memutuskan untuk mandi bersama dengan ceria. Selepas mandi, kami berdua berpakaian dan merapikan diri di depan cermin. Semua yang kami lakukan dipenuhi kegembiraan akan petualangan yang menanti di luar pintu kamar hotel. Setelah merasa siap, kami keluar dari kamar hotel, menghirup udara segar malam Lisbon.

Langit malam terhampar indah dengan gemerlap bintang, mempercantik langgam kota yang penuh sejarah. Kami pun memutuskan untuk mencari restoran lokal, ingin menikmati hidangan khas Portugal di malam ini. Setelah makan malam, kami memutuskan untuk jalan-jalan di seputar hotel, menikmati gemerlap lampu kota yang memancarkan pesona tersendiri. Jalan-jalan santai di jalanan berbatu marmer, melintasi area yang penuh dengan arsitektur klasik yang memikat hati. Setelah puas jalan-jalan, kami kembali ke hotel. Di kamar hotel, kami membicarakan semua keindahan yang sudah kami temui di Kota Lisbon.

Dan akhirnya, aku dan Lina mengisi malam ini dengan bercinta. Aku berhasil memberikan Lina pengalaman bercinta yang tak akan pernah ia lupakan. Percintaan kami begitu panas. Lina aku buat orgasme berkepanjangan. Aku tidak melepaskannya hingga aku merasa puas. Akhirnya, aku melepaskan penisku dari vaginanya, spermaku memancar begitu banyak. Aku tersenyum senang setelah memberi Lina orgasme yang begitu banyak. Sampai akhirnya kami tertidur hingga pagi menjelang.

#####

Pagi ini, aku dan Lina sudah rapi setelah mandi dan berpakaian. Suasana kamar hotel dipenuhi kegembiraan dan tawa hangat kami. Kami memutuskan untuk menikmati sarapan pagi di kamar hotel, menyantap hidangan lezat sambil bercanda dan merencanakan pertemuan dengan ibuku hari ini. Setelah menyantap sarapan, aku memutuskan untuk menelepon Faiz, kakakku. Dengan ponsel di tangan, aku mencari nomor kontaknya dalam daftar dan menekan tombol panggilan. Tidak butuh waktu lama, suara familiar Faiz terdengar di seberang sambungan.

“Hallo brother … Sehatkah?” Sapanya sangat ramah.

“Aku sehat, Iz … Gimana kabarmu dan keluargamu?” Tanyaku.

“Mereka dalam keadaan baik. Di rumahku sedang ramai oleh saudara-saudara istriku, sorry, jadi agak berisik.” Ucap Faiz yang beristrikan wanita asli Portugal.

“Gak apa-apa Iz. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku berada di Lisbon sekarang.” Kataku.

“Apa? Kau di Lisbon?” Suara Faiz terdengar kaget.

“Iya … Aku ingin bertemu ibu dan kamu.” Ucapku sambil menahan senyum.

“Kau di mana? Di hotel mana? Aku akan menjemputmu.” Suara Faiz berubah jadi bersemangat.

“Aku di Four Seasons Hotel Ritz Lisbon.” Jawabku.

“Tunggu aku di sana. Sepuluh menit.” Katanya lalu sambungan teleponku terputus.

Lina dan aku keluar kamar bersiap-siap untuk menunggu kedatangan Faiz di lobby. Suasana pagi yang cerah dan segar menciptakan suasana yang begitu menyenangkan, membuat kami semakin bersemangat. Sesampainya di lobby, aku dan Lina memilih duduk di sebuah sofa besar yang memang dikhususkan untuk pengunjung hotel. Tidak butuh waktu lama Faiz muncul, membawa kebahagiaan yang begitu nyata. Kakakku datang dengan senyuman yang tak terkira. Pertemuan kami penuh kerinduan, pelukan kami menjadi lambang rasa senang dan kebersamaan yang membanjiri hati kami.

“Aku sangat senang kamu datang ke sini. Aku menyangka kamu tak akan pernah ke sini seumur hidupmu.” Ucap Faiz lalu menoleh ke arah Lina dengan tatapan ingin tahu.

“Oh … Perkenalkan … Ini teman wanitaku, namanya Lina …” Kataku memperkenalkan Lina pada Faiz.

Faiz langsung menyodorkan tangannya pada Lina sambil berucap, “Faiz … Senang bertemu denganmu.”

“Sama-sama.” Sambut Lina dengan senyum.

Kami melanjutkan perjalanan menuju ke kediaman ibuku. Tentu saja Faiz sebagai pemandu jalan kami dan menjadi supir yang mengantarkan ke tempat tinggal ibu. Kendaraan meluncur dengan nyaman di tengah kisah-kisah lucu dan kenangan manis yang terus kami bagi. Pemandangan indah Kota Lisbon melalui jendela mobil menjadi latar belakang perjalanan kami. Ketika melintasi jalan-jalan yang ramai, kami dapat melihat keramaian kota yang dipadukan dengan arsitektur yang indah. Gedung-gedung klasik dengan warna-warna pastel menciptakan gambaran kota yang begitu memukau.

Kami melewati taman-taman yang hijau dan taman-taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Sambil melaju, kami menyaksikan sungai kecil yang mengalir dengan tenang, memantulkan sinar matahari yang bersinar di permukaan air. Pemandangan pelabuhan kota juga terbentang di sepanjang perjalanan kami. Kapal-kapal kecil dan perahu nelayan berserakan di tepi pelabuhan, memberikan nuansa hidup pada deretan bangunan berwarna di sekitarnya. Keindahan perpaduan laut dan daratan menciptakan pemandangan yang tak terlupakan di mata kami.

Mobil kami meluncur menaiki bukit dengan jalanan yang berkelok-kelok, memberikan pandangan spektakuler hamparan laut yang membentang luas di kejauhan. Udara segar yang bertiup lembut membuat perjalanan semakin menyenangkan. Sementara Faiz dengan mahir mengemudikan mobil, Lina dan aku terhanyut dalam keindahan alam sekitar.

Tak lama, kami tiba di sebuah gerbang besar dan tinggi yang menghentikan nikmatnya perjalanan. Begitu gerbang terbuka, di depan mataku terbentang pemandangan yang menakjubkan. Sebuah istana megah dengan tiga lantai menjulang tinggi di tengah-tengah taman yang hijau. Aku terbelalak dan terperangah melihat kemegahan bangunan di depanku. Istana itu tidak hanya sebuah tempat tinggal, melainkan sebuah karya seni arsitektur yang sungguh menakjubkan. Detail-detail ornamen yang menghiasi dindingnya, jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya dari dalam, dan taman yang begitu terawat dengan indah membuatku merasa seolah berada di dunia dongeng.

“Oh My God …” Lina malah terdengar bergumam takjub di belakang.

Faiz tersenyum melihat reaksi kagumku, sementara Lina tampak sangat terpesona. "Inilah rumah ibu kita sekarang," kata Faiz sambil memandu mobil masuk ke halaman istana tersebut.

Kami bertiga turun dari mobil, dan segera dua orang pelayan laki-laki menyambut kedatangan kami. Dengan senyum ramah, mereka membantu membuka pintu mobil dan memberikan sapaan hangat. Aku merasakan keanggunan dan keramahan sejak langkah pertama kami di halaman rumah yang megah ini. Kami pun masuk ke dalam, memasuki ruang depan yang memancarkan kemegahan. Langit-langit tinggi, lampu gantung mewah, dan lukisan-lukisan indah di dinding membuat kami merasa seakan-akan masuk ke dalam istana dongeng. Setiap langkah yang kami ambil dihiasi dengan keindahan dan kemewahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kami melanjutkan perjalanan kami ke ruang yang lebih belakang, dan perasaan takjub semakin mendalam. Kamar-kamar yang kami lewati dipenuhi dengan furnitur antik dan hiasan seni yang membuat suasana rumah itu semakin istimewa. Aroma harum dari bunga-bunga segar juga menyelimuti udara, menambah keanggunan setiap sudut ruangan.

Akhirnya, aku sampai di sebuah ruangan yang penuh dengan kehidupan. Di tengah-tengah ruangan yang dihiasi dengan penuh karya seni, ibuku terlihat sibuk dengan bunga-bunga bonsai yang teratur diletakkan di atas meja. Dengan hati yang penuh kebahagiaan, aku menyaksikan ibuku yang begitu asyik merawat tanaman kesayangannya.

“Ma …” Kataku.

Aku menyapa ibu yang sedang asik merawat tanaman bonsainya. Ibu menoleh dan langsung terkejut hebat dengan kedatanganku. Tanpa ragu, ibu berlari memburuku dan memelukku dengan penuh kerinduan. Sesaat, kami saling berpelukan, dan aku dapat merasakan detak jantung ibu yang cepat. Dalam kebersamaan ini, aku mendengar ibu terisak-isak, suara getaran emosi yang tersirat dalam setiap hela napasnya.

“Anakku kembali …” Lirih ibu penuh kebahagiaan. Pelukan kami terus berlangsung, dan aku bisa merasakan setiap getaran perasaan yang tersemat di dalamnya.

Ibu melepaskan pelukannya sejenak, menatap wajahku dengan mata yang penuh kasih sayang. Sementara dia menyentuh pipiku, aku merasakan lembutnya sentuhan yang sudah sangat lama tak pernah kurasakan. Di dalam keheningan, ibu tersenyum dan kemudian menatap mataku dalam-dalam. Sinar matanya mengandung kegembiraan, kebanggaan, dan rindu yang terpendam selama ini. Matanya menjadi jendela yang membuka rahasia perasaannya. Dalam sorotannya, aku merasakan kehangatan, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga.

Ibu tersenyum lembut sambil mengusap pipiku dengan lembut, “Angga … Anankku … Betapa Mama sangat merindukanmu. Setiap hari, hati ini penuh dengan kerinduan akan kehadiranmu. Melihatmu di sini membuat seluruh dunia Mama menjadi lebih indah. Kamu adalah sinar matahari dalam hidup Mama. Selama kamu tidak bersama, seperti ada kepingan kecil yang hilang. Namun, sekarang, rasanya lengkap lagi. Mama sangat menyayangimu, tak terbatas dan tanpa syarat. Kehadiranmu adalah anugerah terindah bagi Mama. Terima kasih telah kembali, anakku.”

Belum sempat aku membalas ucapannya, ibu mencium keningku dengan sangat lembut, penuh kasih sayang dan penuh cinta. Bau harum parfumnya menyelimutiku, membawa kenangan masa kecil dan kenyamanan dalam satu sentuhan. Ibu kemudian memelukku lagi, seakan tidak ingin melepaskan diriku pergi. Dalam pelukan itu, aku merasakan getaran sukacita yang tersirat dalam rona kehangatan tubuhnya. Sentuhan lembut ibu menyiratkan segala hal yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata.

“Ma … Tunda dulu kangen-kengenannya … Kita kedatangan tamu istimewa …” Ucap Faiz dengan suara sendu.

Ibu segera melepaskan pelukannya dariku lalu menengok ke arah Lina dengan tatapan lembut. Segera saja Lina mendekati ibu, dan dengan sikap yang khidmat, mengambil tangan ibu untuk menciumnya. Senyum ibu semakin melebar, mencerminkan kebahagiaan yang ia rasakan. Lina dan ibu saling bertatapan, menyiratkan koneksi yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Lina, dengan penuh kelembutan, memperlihatkan rasa hormat dan kasih sayangnya pada ibu. Ibu pun tidak tinggal diam, dengan penuh kehangatan, membelai lembut kepala Lina seolah menyampaikan rasa terima kasih yang dalam.

"Mama sangat senang bertemu denganmu." ucap ibu sambil memandang Lina dengan penuh kelembutan. "Siapa namamu nak?”

“Oh … Nama saya Lina, Ma …” Sahut Lina agak tergagap.

“Nama yang indah seindah dirimu.” Puji ibu pada Lina.

“Terima kasih, Ma … Mama juga terlihat sangat cantik. Saya jadi iri melihat kecantikan Mama.” Balas puji Lina membuat ibu tersenyum.

“Kamu ini bisa saja.” Sambut ibu malu-malu.

Akhirnya, kami berempat berkumpul di sebuah ruangan megah yang aku sendiri tidak tahu harus menyebut apa dengan ruangan ini. Mungkin istana dalam istana, karena keindahan dan kemewahannya begitu memikat. Suasana di dalamnya begitu istimewa, seakan-akan mengajak kami untuk menikmati setiap detik kebersamaan. Kami berbincang-bincang seputar kehidupanku di Indonesia, dengan tawa dan cerita yang mengalir begitu alami. Ibuku mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Faiz serta Lina turut berbagi kisah mereka. Momen ini menjadi momen yang sangat membahagiakan untukku. Rasanya seperti kembali pada akar kebersamaan keluarga, di mana tawa adalah melodi yang mengisi ruangan dan cerita-cerita adalah warna-warni yang menghiasi dinding. Aku merasa diterima dan dicintai, seperti sebuah puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya dalam gambaran yang indah.

BERSAMBUNG
 
Loh he..
Wah, ini sudah kelewat ugal - ugalan updetnya.
Sampean mau buat aku terbuai sama cerita sampean ya om suhu @Nice4 ? Terus aku jadi galau dan aku gak konsen ngetik ceritaku sendiri.?

Oke, oke, oke.
Aku tau sekarang maksud dan tujuannya..

Tapi maaf, untuk updetan kali ini aku gak akan baca..
Aku mau fokus sama ceritaku aja..
Maaf ya..

#Cuukk. Dewi, kamu itu dipermainkan aja sama Dimas.. sudahlah, tinggalkan aja dia, ikut sama abang aja, karena abang bisa buat kamu kelojotan dan kamu pasti gak bangun 3 hari 3 malam.. aku jamin itu.. ramuan Lia yang dikasih ke Angga itu dari leluhurku dari desa jati bening.. ayolah Dewi.. maukan sama abang.. 'punyaku' mungkin ukurannya sama besar dan panjang seperti 'punya' angga, tapi 'punyaku' lebih berurat dan ujung kepalanya ada sensor yang bisa tau titik lemah 'punyamu' wi.. bagaimana wi.? Maukan..?
:tegang:
 
Bimabet
Loh he..
Wah, ini sudah kelewat ugal - ugalan updetnya.
Sampean mau buat aku terbuai sama cerita sampean ya om suhu @Nice4 ? Terus aku jadi galau dan aku gak konsen ngetik ceritaku sendiri.?

Oke, oke, oke.
Aku tau sekarang maksud dan tujuannya..

Tapi maaf, untuk updetan kali ini aku gak akan baca..
Aku mau fokus sama ceritaku aja..
Maaf ya..

#Cuukk. Dewi, kamu itu dipermainkan aja sama Dimas.. sudahlah, tinggalkan aja dia, ikut sama abang aja, karena abang bisa buat kamu kelojotan dan kamu pasti gak bangun 3 hari 3 malam.. aku jamin itu.. ramuan Lia yang dikasih ke Angga itu dari leluhurku dari desa jati bening.. ayolah Dewi.. maukan sama abang.. 'punyaku' mungkin ukurannya sama besar dan panjang seperti 'punya' angga, tapi 'punyaku' lebih berurat dan ujung kepalanya ada sensor yang bisa tau titik lemah 'punyamu' wi.. bagaimana wi.? Maukan..?
:tegang:
Suhu kapan update suhu...???
Setiap hari ane ngeliatin hp nungguin update sampe" mata ane jadi Mata Merah 🔴
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd