Silent World
Dia menangis, bagaikan sebuah badai di tengah lautan. Membuang kacamatanya di lantai dan lebih memilih menggengam erat tangan mungil sophie yang sudah tinggal tulang dan kulit. Pilu hatiku terasa, seperti di goncang oleh sebuah mesin bor yang menembus jantungku. Melihat sophie dengan sabar membelai rambutnya. Di kala itu aku melihat tangan kanan sophie bergerak menulis sesuatu di papan white board mininya.
“Dia sedang takut” Ucap sophie
Dengan terseok-seok gadis cilik itu menghapus papan white boardnya dengan piyamanya.Tak memperdulikan corak warna cantik baju tidurnya itu menjadi kotor oleh tinta spidol. Aku sempat menujuk-nujuk papan white boardku yang kutuliskan dengan sebuah kata.
“Dia takut kehilangan kamu” Ucapanku dibalas dengan meneleng-nelengkan kepalanya
Ketika sophie hendak inggin memberitauku isi papan white board mini miliknya. Mira menenggelamkan papan white board mini nya itu di dadanya, Sambil meneleng-nelengkan kepalanya. Setelah itu ia berkomunikasi dengan sophie menggunakan bahasa isyarat .
“Boleh aku tau apa perkataanya?”Tanyaku
“Jangan Mas” Balas mira
“Please...” Pintaku di balas dengan meneleng-nelengkan kepalanya.
“Mas, bisa tunggu aku di luar” Usir mira dengan nada yang halus.
“Okay” Balasku
Aku sempat berpamitan dengan sophie. Gadis cilik yang memiliki semangat luar biasa itu membalasku dengan mencium tanganku. Santun. Itulah yang ada di benak ku. Namun, rasanya hati ini terguncang ketika melihat jiwanya terperangkap oleh sebuah tubuh yang tak seharusnya di miliki oleh dirinya. Sebelum aku hendak keluar dari ruangan sophie. Di antara gambar sketsa wajah dari vas bunga, burung, kupu-kupu, dan orang-orang yang mengunjungi dirinya. Tak ada satu pun gambar sketsa wajah mira. Di luar aku sedang menunggu mira yang sedang mengobrol-ngobrol dengan sophie. Beberapa menit kemudian aku melihat mira keluar dengan wajah yang murung.
“Boleh aku antar kamu pulang?” Sautku
“Gak usah mas, aku bisa pulang sendiri” Balasnya
“Okay, hati-hati yah” Ucapku
Ketika hendak inggin pergi tiba-tiba saja mira memanggilku.
“Mas” Panggilnya yang sempat memberhentikan langkah kaki ku
“Mulai besok, tolong jangan kesini lagi” Ucapnya
Nada suaranya yang lembut itu seakan-akan seperti sebuah batu karang yang baru saja menimpa tubuhku. Rasanya lemas, kecewa, dan sungguh amat menyakitkan. Kedua kakiku terasa lemas , kepalaku terasa seperti usai di hantamkan di hadapan tembok berulang-ulang kali, tanpa aku sadari lirih suara nafasku menembus sukma jiwa ku yang sedang terluka.
“Apa itu mau kamu?” Ucapanku dibalas anggukan kepalanya
“Bener? Itu mau kamu?” Ia kembali membalasku dengan anggukan kepalanya
“Okay, Mulai besok aku enggak akan menemui kamu lagi.”
“Maafin aku yah kalau aku udah ngeganggu kehidupan kamu mir” Ucapku
“...” Dia hanya terdiam seribu bahasa
Aku meninggalkan mira. sendiri. di lorong bangsal anak itu. Hati ini rasanya seperti baru saja di rajam olehnya. Dia baru saja menolak ku. Aku sempat duduk tak jelas di rumah makan padang yang letaknya berada di dekat rumah sakit, pesan makanan tapi tidak aku makan, hanya kepulan asap rokok yang menemaniku saat itu.
Esoknya aku kembali ke rumah sakit itu. Bukan untuk bertemu dengan mira tapi menjenguk sophie. Aku sempat membelikanya perlengkapan sketsa yang sederhana seperti sketchboo, pensil HB, dan 2b. Tak ada makasud lain untuk mendekati sophie karena mira. Tapi, tulus karena aku inggin menjenguk gadis cilik itu, Semoga semangat kehidupanya dapat menulari seorang pria penzinah seperti ku.
“Kak dika, menyogok aku yah?” Ucapnya di papan white board mini
“Enggak, aku suka gambar kamu. Mungkin itu bisa membantu kamu” Ucapku
Sophie sempat menggodaku dengan menjentik-jentikan alisnya , ia sempat menunjuk-nunjuk bawah tempat tidurnya. Mengirimkan aku sebuah sinyal untuk menjawab pesan darinya. Ketika aku mengintip kebawah ternyata banyak pemberian gift dari orang-orang yang datang menjenguknya. Dari boneka, coklat? Hah? gagal paham aku kenapa harus ada coklat? Sementara si penerima tidak bisa memakan itu, dan kotak musik. Aku mengerti maksudnya, benda-benda itu mungkin pemberian cowok-cowok yang sedang mendekati mira melalui sophie.
“Apa itu semua pemberian cowok yang inggin mendekati mira?” Ucapku di papan white board mini itu yang di balas anggukan sophie.
“Bukanya kak dika juga begitu?” Ucap gadis cilik itu
“Tidak-tidak, aku hanya inggin kamu menggambar di sketchbook , bukan di kertas HVS” Ucapku
Kuhapus lagi papan white board miniku . Sophie sempat melihatiku dengan wajah yang excited.
“Aku inggin kamu menggambar dunia yang kamu lihat “ Ucapku
“Bukan gambar orang-orang yang kamu benci” Imbuhku dengan tersenyum.
Aku menunggu gadis cilik itu menghapus papan white board mininya dengan wajah yang tegar.
“Kak dika hampir membuatku menangis” Ucapnya sambil memeragakan bahasa isyarat orang yang sedang menangis.
“Hidupku enggak lama, mungkin aku hanya menghabiskan waktu ku untuk menggambar aja”
“Aku sudah menyusahkan banyak orang” Ucapnya di papan white board mininya itu dengan wajah yang sedih.
Aku sempat menulis di papan white board miniku untuk mendahului sophie yang sedang menulis sesuatu di papan white board mininya. Lalu aku berkata
“Hidup kamu, Anugerah dari Tuhan, Mata kamu menjadi saksinya, kamu bisa melihat dunia ini” Ucapku di papan white board mini ku
“Aku inggin kamu menggambar dunia kamu sendiri. Bukan dunia orang lain” Ucapku di papan white board sambil meneleng-nelengkan kepalaku.
Gadis cilik itu tersenyum girang dengan beberapa giginya yang sudah menghilang dari gusinya. Meskipun tubuhnya hanya tinggal kulit dan tulang saja , Sehingga membuat kedua bola matanya seperti tenggelam dalam tengkorak kepalanya. Namun tidak dengan tatapan kedua bola matanya yang menyiratkan ekspresi keindahan dari kehidupan.
“Aku seperti baru saja punya kakak laki-laki” Ucap sophie
“Yap, kamu baru saja punya kakak laki-laki” Balasku
Dengan wajah yang girang sophie pun menghapus papan white board minya itu kembali. Tanpa suara, Tanpa perasaan menyesal, dan tanpa paksaan , yang tersisa hanyalah suara hati kami berdua yang mencoba untuk beresonasi melukiskan keindahan dunia ini dalam sebuah kata tanpa suara.
Siang hari itu aku sempat bertemu dengan ayahanda sophie yang sedang datang menjenguknya. Kami berdua sempat bertegur sapa dan pria itu tak segan untuk memeluk ku dan mengucapkan terima kasih sudah menjenguk putrinya. Kami sempat mengobrol-ngobrol sejenak di ruangan sophie anak semata wayangnya dari pernikahan istrinya yang sudah meninggal dunia. Duda tua beranak satu ini seorang pengusaha percetakan buku dan mesin foto copy. Sophie di vonis kanker tulang sumsum stadium 2 dan seharusnya di bawa di rumah sakit pusat yang lebih memadai untuk perawatan yang lebih intensif. Namun pak re**ly hanya mampu membiayai Sophie di rumah sakit umum ini. Biaya operasi juga cukup mahal , bahkan untuk membiayai rawat inap sophie pak R**ly harus menjual assetnya dan hanya mampu membiayai kemoterapi sophie saja. Ia kekurangan dana untuk melakukan operasi yang tingkat keberhasilanya hanya sekian persen saja dan memiliki resiko tinggi yang dapat membuat sophie lumpuh total. Pria tua bermata sipit ini hanya bisa menghela nafas dalam-dalam ketika beliau bercerita kesulitan ekonomi yang sedang di deritanya. Meskipun sudah menerima bantuan dari jemaat gereja tempat ia beribadah, tapi tetap saja ia tak mampu membayar tagihan rumah sakit terutama biaya rawat inap sophie.
“Saya berterima kasih dengan ibu mira yang sudah membantu meringankan beban saya” Ucap pria itu
“Mas juga saya sangat berterima kasih sudah menemani anak saya” Imbuhnya
“Saya kenal sophie dari mira bapak, dia orang yang baik” Ucapku
“Saya juga tidak menyangka mas, ada dokter yang mau menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai rawat inap anak saya” Pria itu dengan meneteskan air mata
“Puji tuhan mas, Semoga Tuhan memberikan terbaik bagi ibu mira” Doa pria itu
Sophie hanya melihati kami berdua sedang mengobrol. Karena ia tidak bisa mendengar, sehingga ia sempat menulis papan white board mininya.
“Maafin sophie papa” Ucap gadis cilik itu.
“Sophie sudah menyusahkan papa” Imbuhnya yang dibalas pelukan ayahandanya.
Erosi dalam hati ini membuatku tergerak untuk berbuat sesuatu. Mungkin tuhan sudah menggariskan ini semua bagiku. Menjelang ashar aku meminta izin kepadanya di mushola rumah sakit. Berniat untuk membantu sophie dengan apa yang aku miliki . Saat hendak keluar dari mushola aku bertemu dengan dia yang sedang sholat ashar. Inggin rasanya aku menunggunya dan menyapanya ketika ia selesai sholat ashar. Tapi, Sepertinya ia tidak mengingginkan itu. Pikiranku saat itu terbagi menjadi dua bagian antara sophie dan mira. Namun, hati kecilku berbicara “Sophie” sehingga aku kuatkan langkahku untuk menemui dokter yang sedang menangani sophie sebelum jam pulang.