Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

hellondre

Guru Semprot
Daftar
30 Apr 2014
Post
560
Like diterima
2.304
Bimabet
Sekilas dari Pencerita,

Hai, semuanya. Been a long time, ya. Kali ini, saya mau rilis cerita baru, yang sebenernya adalah remake dari cerita lama yang gagal tamat. Mirip-mirip lah vibe nya kayak The Mad Trip, yang sebenernya remake dari cerbung pertama saya yang judulnya sekarang aja udah lupa, wkwkwk.

Tapi sebenernya dulu ini termasuk project ambisius saya, cuma karena dulu itu banyak kekurangan disana-sini, jadi saya stop. Semoga kali ini udah lebih mateng garapnya, karena saya mutusin ini jadi karya terakhir saya, di platform penulisan manapun. Ya, selain udah ga masuk usia nulis produktif lagi, ada banyak pertimbangan lain juga. Selain saya mikir, emang lebih enak jadi pembaca hahahaha.

Ceritanya sendiri terbagi ke dalam dua versi, non-explicit yang terbit di platform lain, dan explicit yang terbit disini. Untuk jadwal rilisnya sendiri, saya belum bisa janji, tapi saya usahakan yang terbaik, dan semoga tamat.

Akhir kata, semoga suka, ya. Maaf juga kalau semisal masih banyak kekurangan saya disana-sini yang belum bisa memenuhi ekspektasi pembaca.​
 
Terakhir diubah:













—Indeks—

First Arc
Bab 0: A Prologue to Tragedy (hal. 1)
Bab I: Reandra Destina (hal. 1)

Bab II: Rea, Kalia dan Ibu Mereka (hal. 4)
Bab III: Rea, Kalia dan Ayah Mereka (hal. 5)
Bab IV: Djevelens Ordre (hal. 7)
Bab V: You are Loved, by Us (hal. 11)
Bab VI: Parade Malam Pekat (hal. 13)
Bab VII: Demon who Brings Calamity (Hal. 16)
Bab VIII: Familia (Hal. 20)
Bab IX: An End of Tragedy (Hal. 25)

Second Arc
Bab X: Bifröst (Hal. 27)
Bab XI: Loki the Trickster (Hal. 28)
Bab XII: Tujuh Hari Menjelang Akhir Dunia (I) (Hal. 29)
Bab XIII: Tujuh Hari Menjelang Akhir Dunia (II) (Hal. 30)

 
Terakhir diubah:
Bab 0:
A Prologue to Tragedy







Pondok Labu – Jakarta Selatan, 2021

Sisa-sisa hujan lebat masih terlihat di sepanjang jalan beraspal yang membelah kawasan Pondok Labu. Air yang menggenang, perlahan surut karena masuk ke selokan. Para pedagang yang biasanya sudah berjejer mangkal di pinggir jalan, baru mulai merapikan lapak. Hujan lebat sedari siang itu menggeser jadwal berdagang harian mereka. Satpam kampus yang sebelumnya duduk manis di pos jaga, mulai kembali melakukan tugas sampingannya—jadi tukang parkir dadakan bagi mobil yang hendak keluar dari area kampus.

Seorang pemuda tampak melangkahkan kaki-kakinya pada alas semen becek, keluar dari sebuah minimarket. Salah satu tangannya terangkat digunakan untuk memegangi tas ransel yang dia sampirkan pada sebelah bahunya, dan tangan satunya menenteng helm full face. Lalu, satu bocah kecil menghampiri, sambil menawarkan payung padanya. Pemuda itu menatap si bocah, lalu membuat gestur penolakan dengan satu tangannya.

“Maaf, ya,” ucapnya, dari balik kain masker yang menutupi setengah muka.

Pemuda itu terus berjalan menuju tempat parkir. Dengan sigap, tukang parkir menghampiri, lalu menggeser motor-motor lain agar motor si pemuda bisa keluar. Pemuda itu pun menghampiri motornya, memasukkan kunci lalu menghidupkan mesin.

“Udah lama ga mampir, Mas,” ucap si tukang parkir, yang hanya dibalas senyuman dari balik helm. Tukang parkir itu berdiri beberapa meter di belakang motor pemuda tersebut. “Mundur... mundur... kanan abis, ya, lurusin... terus, kanan abis. Yaaak!”

Pemuda itu pun merogoh kantong kiri celana. “Pak Udin, makasih ya,” ucapnya, lalu memberi selembar uang kertas ke tukang parkir tersebut.

“Yoo, hati-hati di jalan, Mas. Licin kalo ujan gini. Minggu kemaren ada mobil sampe kegelincir di belokan depan tuh gara-gara jalanan licin. Sampe nyenggol ojek payung,” balas Pak Udin.

“Untung cuma nyenggol ya, Pak.”

“Nyenggolnya sampe mental, Mas. Terus ga tau gimana, ujung payungnya nusuk sebelah mata orangnya. Meninggal di tempat.”

“Wah, parah banget.”

“Iya, Mas,” Pak Udin memelankan suara, “tiap tahun, selalu aja ada yang meninggal di sini. Kebanyakan gara-gara kecelakaan.”

“Kayak langganan, ya, Pak?”

Pak Udin mengangguk, lalu kembali berucap, “konon sih, yang meninggal itu buat tumbal.”

Pemuda itu lalu melihat ke sekitar, dan mendapati seorang bocah sedang menawarkan jasa ojek payung ke pejalan kaki yang lewat. Namun, tidak ada yang menggubrisnya. Mereka bahkan tak merespon ucapannya atau melihat ke arahnya, seakan menganggap bocah itu tak ada.

“Yang meninggal masih bocah ya, Pak?”

Pak Udin terhenyak. Bukan hanya karena tebakan pemuda itu tepat, tapi juga bingung dia tahu dari mana, karena Pak Udin tidak menjelaskan usia korban di ceritanya barusan.

“Mas Rea kok bisa tahu?”

“Nebak aja, Pak Udin,” balasnya, sebelum menutup kaca helm.

Rea menatap sekilas ke arah pohon beringin besar yang berdiri kokoh di samping minimarket. Dia menggeleng pelan, lalu mengarahkan motornya keluar dari area minimarket, meninggalkan Pak Udin dalam kebingungannya sendiri. Tebakan pemuda itu, terlalu presisi untuk jadi sebuah kebetulan, pikir Pak Udin.

Lalu tiba-tiba ada sensasi aneh yang Pak Udin rasakan di tengkuknya. Seperti hembusan angin dingin yang tak wajar. Bulu-bulu halus di seluruh tubuhnya meremang seketika. Pak Udin pun bergegas masuk ke dalam minimarket. Tiba-tiba, dia mengingat perkataan orang tuanya dulu, bahwa selain malam hari, dedemit biasa muncul pada dua waktu lain; saat hujan kecil-kecil dan menjelang maghrib.

Sekarang, adalah waktu keduanya.



———


Dari sekian banyak momen yang Rea tak pernah suka di hidupnya, waktu gerimis dan menjelang maghrib adalah salah dua yang utama.

Rea tak pernah suka hujan, baik itu cuma gerimis maupun hujan lebat. Persetan dengan pluviophile sialan yang kerap mengglorifikasi hujan jadi sajak puitis di media sosial, semoga mereka tenggelam karena hujan, entah itu fisik maupun kenangan. Banyak hal-hal buruk yang terjadi kepadanya dulu saat momen hujan turun, yang jadi dasar kebenciannya pada hujan, lalu ditambah alasan klasik seperti baju yang kebasahan...

...juga hantu dan arwah gentayangan.

Momen hujan adalah waktu terbaik bagi makhluk-makhluk tersebut untuk muncul. Rea tak pernah tahu alasannya. Tapi dari yang dia ingat saat pertama kali bisa melihat hantu, dia sadar kalau lebih banyak hantu yang muncul dan berseliweran ketika hujan tiba.

Apalagi ditambah momen terbenamnya matahari. Orang-orang jaman dulu selalu bilang, untuk tetap di dalam rumah saat maghrib tiba. Karena gerbang dimensi yang menghubungkan antar dua dunia sedang terbuka lebar saat itu. Ironis, Rea masih harus bersusah payah untuk sampai ke rumah, di momen yang begitu dia benci untuk dijalani.

Tapi Rea menyadari bahwa momen kali ini berbeda. Adzan maghrib belum berkumandang, tapi sepanjang jalan yang Rea lewati terasa begitu sepi dan sunyi. Tidak ada kendaraan yang lewat sama sekali, pun dengan pedagang buah yang biasa mangkal di pinggir jalan, sekarang tutup lebih awal. Kesunyian ganjil yang dia rasakan, membuatnya jadi lebih waspada. Rea melambatkan laju motornya.

Tiba-tiba, dari jarak sekian meter di depan, berdiri seorang anak kecil tepat di jalur Rea. Kaget karena kemunculan anak kecil itu yang mendadak, Rea membanting setang ke kiri dan spontan mengerem. Sayang, mengerem di permukaan jalan yang licin justru membuat motornya tergelincir. Rea terlepas dari motor dan sisi kiri badannya terseret beberapa meter di atas aspal basah.

Fuck!”

Kalau saja Rea tidak melambatkan kecepatannya tadi, bisa dipastikan kecelakaan tunggalnya akan jauh lebih parah. Dia spontan meringis akibat perih yang terasa di sisi luar paha kiri. Pandangannya terasa kabur, dan butuh beberapa waktu sampai syok yang sedang dirasakannya untuk menghilang.

Rea susah payah bangkit. Tanpa mencopot helm dan memperhatikan keadaan sekitar, dia buru-buru menghampiri anak kecil tadi, yang masih berdiri di tempatnya. Rambut kuning keemasannya tampak bergoyang halus, seakan hujan tidak berpengaruh terhadap fisiknya. Saat jarak mereka makin dekat, Rea menyadari bahwa air hujan menembusi tubuh anak kecil itu, seakan tubuh transparannya ada dan tidak ada secara bersamaan di tempatnya berdiri sekarang.

Sambil menatap misterius ke arah Rea, anak kecil itu menyeringai lebar, sampai kedua sisi bibirnya tertarik ke dekat telinga.

Fant deg, Fucker.”¹


















Catatan kaki:

“Kutemukan kau, Bangsat.”¹ (Norwegia-Inggris)
 
Terakhir diubah:
Bab I:
Reandra Destina









Meruyung – Depok, 2021

Assalamu'alaikum.”

Dengan langkah tertatih, Rea membuka pagar hijau berkarat yang hanya setinggi pinggangnya. Nyeri di sekujur kaki kirinya semakin terasa, membuat langkahnya jadi pincang. Melihat kondisi Rea yang tidak sebaik saat dia pergi tadi, seorang perempuan paruh baya bergegas bangkit dari kursi kayu untuk menghampirinya. Rea sigap memberi gestur penolakan, merasa bahwa kondisinya tidak seburuk itu sampai harus menerima bantuan.

“Aduh, ini kamu kenapa? Kok bisa sampe gini?” Perempuan tua itu dengan cekatan mengambil tas ransel dan helm dari tangan Rea. “Jatuh dimana tadi, Nak?”

“Ibu ga jawab salam, ih. Dosa, tau.”

Wa'alaikumsalam. Cepet masuk, nanti Ibu obatin.”

Perempuan itu menyalakan saklar lampu ruang tengah, lalu menarik satu kursi kayu untuk Rea duduk. Kemudian dia bergegas ke belakang untuk mengambil minyak urut, alkohol antiseptik dan kapas. Meninggalkan Rea sebentar, yang sedang kesusahan mencopot celana jeans. Saat kembali, perempuan itu terkejut akan luka di paha kiri Rea. Luka gores yang memerah dan terlihat lumayan lebar terukir di kulit pahanya.

“Ini kamu abis ngapain? Kok sampe begini lukanya? Ini luka kayak gini masih ketutup celana? Ya Allah, kalo ga ada celana, bisa separah apa lukanya, Nak...”

Rea selalu tersenyum ketika perempuan itu mengkhawatirkannya. Dia merasa disayang dan diperhatikan, sesuatu yang baru akhir-akhir ini dia dapatkan. Maka, Rea tidak protes ketika cairan alkohol dituang ke luka segar di pahanya. Meski rasa perihnya ingin membuat Rea berteriak saja.

“Tadi meleng, Bu. Ada kucing lewat, tapi ga liat. Terus jatoh, kepeleset gitu. Motornya cuma baret, belanjaan di tas juga ga ada yang rusak.”

Perempuan itu menggeleng. “Kok bukan diri sendiri yang dipikirin, sih. Malah motor sama belanjaan,” ucapnya.

“Biarin aja, Ningsih. Nanti sembuh sendiri.”

Seorang pria paruh baya muncul dari pintu depan. Dia melepas peci, lalu meletakannya di meja. Sambil menghampiri Rea dan Bu Ningsih, pria itu membuka dua kancing atas baju kokonya. “Udah gede masih aja bisa jatoh. Payah kamu, kalah sama anak tetangga. Masih SMP udah jadi joki motor,” ucapnya sambil tertawa, pada Rea.

“Jatoh mah ga mandang umur kali, Pak. Bapak aja sering kesandung kalo pulang dari maghriban di mushola,” balas Rea.

Lalu, mereka berdua tergelak karena skor ledekan mereka imbang. Satu sama. Bu Ningsih menggeleng sambil seulas senyum terkembang di wajahnya, lalu sigap pergi ke dapur untuk membuat teh manis hangat. Puluhan tahun hidup bersama suaminya membuatnya hafal di luar kepala soal menunjukkan bakti kepada sang suami, termasuk urusan kecil macam menyuguhkan teh.

Sepeninggal Bu Ningsih, pria paruh baya itu menatap kedua mata Rea, lekat. Seperti sedang berusaha mempelajari sesuatu. Lalu, dia mengusap luka Rea, perlahan.

“Kucing apa yang main hujan-hujanan?” tanyanya, penuh selidik.

Rea cuma bisa tertawa, lalu refleks menghindari tatapan matanya. Dia tahu, percuma berbohong kepada pria itu. Pak Narto adalah perpaduan sempurna dari detektif dan dukun, sehingga kemampuan deduksi dan terawangnya terlalu tinggi untuk bisa dikadali oleh kebohongan spontan dari keponakannya.

“Demitnya kali ini bukan lokal, ya?” tanya Pak Narto lagi.

Rea spontan mengingat-ingat kejadian beberapa puluh menit yang lalu. Anak kecil dengan tubuh transparan yang mencegatnya di tengah jalan itu menunjukkan beberapa ciri asing. Kulit putih yang pucat, rambut keemasan, mata biru dan beberapa bercak di pipi. Bahkan, anak kecil itu berbicara kepadanya dengan menggunakan bahasa dan dialek asing, yang belum pernah dia dengar sama sekali.

“Bule, Pak. Kayak bule belanda, gitu.”

“Diapain tadi kamu?”

“Entah. Demitnya cuma berdiri di tengah jalan, terus pas Rea bangun abis jatoh itu, buat nyamperin dia, eh demitnya ilang, Pak.”

“Ada ngomong sesuatu sama kamu?”

Rea mengangguk. “Tapi lupa. Pake bahasa asing gitu.”

Kali ini, giliran Pak Narto yang mengangguk beberapa kali. “Dua hari lagi luka kamu pasti sembuh, kayak yang sudah-sudah. Tapi rahasiakan soal demit ini dari bibimu, ya. Biar pamanmu yang selidiki.”

Rea mengerti. Pembahasan soal hantu anak kecil yang mencegatnya di tengah jalan tak lagi pernah keluar dari mulutnya malam itu, atau bahkan beberapa hari setelahnya.



———


Pasar Minggu – Jakarta Selatan, 2021

“Reandra Destina?”

Sambil mengangkat tangan kanan, Rea berkata, “hadir, Pak.”

“Beberapa kali saya absen nama kamu, tapi saya tetap mengira ini tuh nama perempuan. Maaf, ya,” ujar seseorang yang sedang berdiri di depan kelas. Komentarnya lalu disambut tawa oleh hampir seisi kelas.

Ini adalah kesekian kalinya Rea menghadiri kuliah tatap muka, setelah setahun lebih pembelajaran tatap muka dihentikan akibat pandemi. Tentu saja, ada beberapa perubahan signifikan saat diadakan pembelajaran tatap muka lagi. Tempat duduk yang berjarak, pendingin ruangan yang dimatikan, serta wajah-wajah yang setengahnya harus ditutup masker selama kelas berlangsung.

Rea masih tidak mengerti kenapa pembelajaran tatap muka seperti dipaksakan pelaksanaannya, padahal seluruh Jakarta sedang zona merah. Akibat mudik lebaran Mei lalu, angka positif covid-19 melonjak naik. Kamar-kamar Rumah Sakit Khusus Covid-19 yang tadinya mulai kosong, sekarang terisi penuh kembali dan banyak pasien yang tidak dapat pelayanan lalu berakhir tragis. Entah meninggal di ruang UGD, atau bahkan di transportasi. Mengingat pandemi yang masih jauh dari kata berakhir, Rea menyangsikan bahwa sektor pendidikan tidak menyumbang klaster baru.

“Materi kali ini, kita akan belajar tentang sejarah yang ga pernah ada, atau bisa disebut juga mitologi,” ucap dosen di depan. Dia lalu menulis simbol tanda tanya besar di papan tulis. “Menurut kalian, kenapa mitologi tidak bisa jadi rujukan valid untuk sejarah? Lalu apa yang membedakannya dari legenda?”

Rea memutar-mutar pulpen dengan jari, sambil menyimak materi pelajaran dari dosen di depannya. Matanya sesekali ganti fokus, ke sosok-sosok transparan yang beberapa kali mondar-mandir di depan kelas, menembusi tubuh sang dosen. Para arwah penasaran, yang tidak bisa migrasi ke alam lain setelah kematian, dan terjebak di dunia dengan segala keterbatasannya. Tidak bisa tenang, selalu bergerak di jalur yang sudah berpola, serta selalu memendam emosi negatif yang belum selesai di masa mereka hidup. Emosi inilah yang menjebak mereka di dunia, tanpa raga, hanya jiwa tanpa akal yang penasaran tanpa tahu kapan mereka bisa lepas dari belenggunya.

“Untuk menutup kelas kali ini, saya mau kalian buat essay minimal 10 halaman tentang mitologi dan pengaruhnya terhadap dunia modern. Pilih salah satu mitologi yang mau kalian garap, riset sebaik mungkin, lalu kumpulkan tiga minggu dari sekarang. Kalian boleh mengutip dari sumber apa pun, online atau offline, tapi jangan lupa cantumkan sumbernya di daftar pustaka. Terima kasih.”

Saat dosen itu meninggalkan kelas, ribut-ribut langsung terdengar. Beberapa mahasiswa merasa keberatan dengan jumlah halaman yang diwajibkan, beberapa lagi mengeluh karena minat mereka yang minim terhadap mitologi. Beberapa lainnya, langsung bisa menentukan mau menggarap mitologi apa. Rata-rata memilih mitologi populer macam Yunani, Nordik dan Mesir.

Untuk Rea, awalnya dia bingung harus memulai dari mana. Tapi dia tahu, siapa orang paling tepat untuk bisa dimintai bantuan. Tentu saja syaratnya mudah, mungkin hanya modal kopi susu Janji Jiwa, atau paling apesnya, antre beli boba Xi Fu Tang yang bisa makan waktu berjam-jam.

Yang jadi masalah adalah tempat dimana orang itu berada. Sebisa mungkin, Rea menghindari pergi kesana. Kalau saja tugas ini datang sebelum pandemi, Rea lebih mudah mengajaknya ke kafe terdekat. Tapi berhubung orang itu trauma akibat covid-19 yang hampir merenggut nyawanya, maka Rea bisa menduga bahwa dia harus datang sendiri, ke rumahnya.

Rumah mereka.



———


Pondok Indah – Jakarta Selatan, 2021

Rumah Rea berdiri persis di samping rumah pedangdut terkenal yang sering jadi juri kontes dangdut di salah satu stasiun televisi swasta, Inul Daratista. Meski tidak semewah milik tetangganya, rumah Rea bisa dibilang salah satu yang terbaik di komplek itu. Pagar rumahnya empat kali lipat lebih tinggi dari pagar rumah milik Pak Narto. Itu baru pagar, kalau halamannya dipakai untuk membangun replika rumah pamannya, niscaya itu pun masih ada sisa.

Melihat tuan mudanya kembali, satpam berbaju safari hitam di pos jaga rumahnya sigap membukakan gerbang. Rea mengucapkan terima kasih, yang direspon dengan anggukan kepala tanda hormat. Kemudian dia mendorong motornya ke arah garasi. Alasannya ada dua; Rea begitu rendah hati sampai merasa tidak enak untuk melajukan motor di depan orang yang membukakannya gerbang, dan takut suara motornya yang berisik ini dikenali oleh orang rumah selain kakaknya.

“Papa ada di rumah, Pak?”

Pak Satpam menggeleng pelan. “Bapak sedang pergi makan malam sama keluarganya Pak Adam, Mas. Ada undangan ulang tahun perkawinan Pak Adam sama Bu Inul. Bapak diundang.”

Cool! Saya masuk dulu, ya, Pak!” sahut Rea, disusul senyum sumringah di wajahnya. Ketidakhadiran sang kepala keluarga membawa kesan baik untuknya.

Beberapa asisten rumah tangga yang sedang nonton bersama di tivi ruang keluarga, segera tergopoh-gopoh menghampiri Rea, yang baru saja muncul dari balik pintu jati. Masing-masing menawarkan jasa; ada yang ingin membawa tas ranselnya, ada yang ingin membuatkannya makanan, lalu ada juga yang menyiapkan persiapan untuk mandi. Semua ditolak Rea, kecuali soal mandi. Mandi itu perlu, untuk menghadapi kakak perempuannya yang phobia virus corona.

Selesai mandi dan ganti baju, Rea buru-buru mengetuk pintu salah satu kamar di lantai dua. Tak ada jawaban, Rea akhirnya memutuskan untuk membuka sendiri. Agak tak sopan, tapi ini darurat. Semakin cepat dia menyelesaikan urusannya di rumah ini, makin kecil kemungkinannya untuk bertemu ayahnya.

Begitu Rea masuk, yang dia dapati hanya ruangan dengan pencahayaan remang. Sumber cahaya utama hanya dari lima buah lilin yang diletakkan sedemikian rupa di sudut-sudut tertentu secara presisi hingga bisa disambungkan lewat garis imajiner membentuk segi lima. Samar-samar, Rea bisa melihat sebuah simbol tergambar di tengah lilin-lilin tersebut. Simbol pentagram.

Seorang perempuan muda yang memakai tudung hitam duduk bersila di belakang simbol pentagram. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal mantra. Rea mengernyit. Memang sampai separah ini kah efek long covid jika menyerang kepala?

“Malem Jum'at bukannya ngaji kek, Yasinan kek, apa kek, malah manggil setan! Yang bener aja, hoi!”

Perempuan itu terdiam. Lama. Seruan Rea berdampak pada aktifitasnya. Rea mengernyit dua kali. Lalu suasana jadi hening.

“Kak... ada apa, deh? Kok jadi diem?” tanya Rea, hati-hati.

Perempuan itu menghela nafas panjang, membuka tudungnya, lalu meniup seluruh lilin yang ada di depan. Ruangan itu pun gelap seketika, tapi tak lama, karena dengan satu seruan, lampu pun menyala. Hampir seluruh ruangan di rumah itu dilengkapi dengan fitur komando suara, jadi seruan "turn the lights on" sudah cukup untuk membuat lampu menyala.

“Kamu, mah. Tadi tuh hampir berhasil!” keluh kakaknya, yang menjatuhkan diri di ranjang.

“Engga, ga berhasil. Ga ada yang dateng soalnya.”

Perempuan itu menatap Rea, dalam-dalam. “Masih bisa liat setan?”

“Masih. Tambah parah semenjak tinggal sama Pak Narto.”

“Seberapa parah?”

“Kayak udah ga ada sekatnya lagi. Fiturnya on terus, dua puluh empat jam. Tapi berkat latihan sama Pak Narto, jadi lebih terbiasa. Rea bahkan temenan sama beberapa jin penunggu, gitu.”

Kakak Rea mengangkat bahu, seraya membuat ekspresi meremehkan di wajahnya. “Yang mau gue panggil itu, ga sebanding sama makhluk recehan gitu. Tapi sayang, lo gagalin, sih!”

“Ya emang udah gagal dari awal, Kak Kalia...”

Kalia mencibir Rea. Dia lalu berjalan menuju lemari pendingin yang tersedia di kamarnya, membuka lemari itu, lalu mengambil sesuatu. Dilemparkannya sebatang cokelat kepada Rea. “Welcome home, Rea,” ucapnya.

Di bayangannya, Rea mau jadi sok keren dengan berhasil menangkap cokelat tersebut dengan penuh gaya. Tapi refleksnya yang buruk, dan lemparan kakaknya yang juga terlalu kencang, malah jadi kombinasi sempurna untuk mencederai kening Rea.

“Oh... sorry,” ucap Kalia, pada Rea yang sedang mengusap-usap kening.

“Jadi, tugas macem apa sampe lo mau minta bantuan gue?”

Rea diam sejenak, berpikir. “Mitologi, suruh bikin essay tentang itu. Kak Kalia kan jago tuh soal gituan. Bantuin, ya?”

“Disuruh pilih salah satu, ya?”

Rea mengangguk.

“Yaudah, pick one. Mau angkat mitologi apa?”

No idea. Give me names.”

“Hmmm,” Kalia tampak berpikir, sebentar, “Mesir ini terlalu rumit, agak misterius juga. Yunani terlalu pasaran. Nordik juga. Mahabarata, mau?”

“Pilihannya apa aja?”

“Antara Nordik dan Mahabarata, atau mau mitologi Jepang juga?”

The easiest one?”

“Nordik.”

“Itu aja. Kapan kita bisa mulai?”

Not so fast, my long lost brother. Beliin gue boba dulu. Tau kan yang mana?” Kalia menyerahkan secarik kartu debit ke Rea, berikut ekspresi jahat yang seakan sudah bisa dia antisipasi.

Kan bener, disuruh beli boba. Rea pun segera beranjak pergi menuju kamarnya untuk bersiap, tapi saat hampir keluar kamar, Kalia memanggilnya. “Lo mau sampe kapan ga tinggal di rumah?”

Rea cuma membalas pertanyaan itu dengan senyum lebar.

“Lo mau sampe kapan nyalahin diri sendiri atas meninggalnya Mama, sampe harus pergi dari rumah?”

Senyum lebar Rea perlahan mengecil. Sampai akhirnya, tidak ada ekspresi yang tampak di wajahnya.

“Rea pergi bukan karena merasa bersalah, Kak. Tapi... karena Mama masih ada di rumah ini, bahkan setelah mati.” Rea melanjutkan langkahnya, lalu perlahan menutup pintu kamar. Kepalanya masih menyembul sebelum pintu benar-bener menutup, seraya berujar, “Kak Kalia juga tahu, kan? Suara tangisan Mama yang Kak Kalia dengerin tiap malem dari kamar sebelah itu, bukan tangis sedih atau penyesalan. Itu...”

Rea tak menyelesaikan kalimatnya, lalu pintu menutup sempurna.

“...adalah cara Mama untuk kasih tekanan psikologis ke kita, anak-anaknya. Persis seperti yang sering dia lakuin... semasa hidup dulu,” sambungnya, di depan pintu yang menutup.

Lalu Rea mengalihkan pandangan ke lorong gelap di sisi kirinya. Entah kenapa, lampu yang dipasang di lorong itu selalu pecah, sehingga kini lorongnya dibiarkan gelap. Tapi yang Rea lihat melalui kedua matanya saat ini berbeda. Ada sesuatu disana. Menggantung, terayun perlahan. Yang tampak hanya sepasang kaki pucat yang kaku, tergantung satu meter di atas permukaan lantai.

“Rea pulang, Ma,” ucapnya, lirih.












Bersambung.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd