PART II : Delicious Serendipity
06 September 2015
14.18 WIB
Tiga hari yang lalu, aku berangkat ke Jakarta untuk suatu keperluan dan akhirnya hari ini bisa bertemu juga dengan Icha setelah sekian lama. Sudah dua kali lebaran dia tidak mudik, nyaris menggulingkan rekor Bang Toyib.
Saat itu dia sedang masa koas di sebuah rumah sakit yang tak jauh dengan kontrakannya. Singkat cerita, hari itu aku menjumpainya di RS, pulang ke kontrakannya lalu menunggunya selesai mandi. Rencananya, kami akan ke bioskop. Tapi ujung-ujungnya malah batal karena Icha berubah pikiran.
"Zal, gue jadi males keluar nih. Nonton di laptop gue aja yuk. Baru
copy juga tadi dari temen." begitulah kira-kira statement dari Icha.
Setelah mencoba (tidak) berpikir macam-macam tentang apa visi dan misi Icha mengkambing-hitamkan hujan yang sebenarnya bukanlah masalah kalau kami naik taksi, akupun sepakat sore itu dihabiskan dengan nonton film di rumahnya saja.
***
06 September 2015
15.33 WIB
"Ada film apa, Cha? Barat, jepang?"
"Emm... Barat nih. Komedi romantis gitu." jawab Icha polos tanpa sadar pertanyaanku tadi sedikit bernada mesum. Atau yah...mungkin dia hanya pura-pura polos. Jangan lupa, Icha ini perempuan. Perempuan sering kali sulit ditebak pikirannya.
Kami duduk lesehan di lantai, dengan bersandar di sofa dan meletakkan laptop di atas meja. Lalu film yang aku sudah lupa judulnya itupun dimulai. Di tengah film, ada adegan ciuman.
Aku pelan-pelan menyosorkan bibirku ke arah Icha yang sedang duduk di sebelah kananku. Tujuannya murni bercanda sih, waktu itu.
PLAK!
Aku ditampar.
"Fokus nyet! Jangan cari kesempatan." katanya sambil tersenyum.
Aku lanjut menonton apa yang sedang ditayangkan di monitor laptop sambil mengelus pipiku yang merah.
Tak lama kemudian, adegan panas kembali terjadi. Yang satu ini agak lama, cukup panas pula. Tapi kali ini aku diam saja, hanya sedikit melirik ke arahnya.
"Kenapa? Mau macem-macem lagi?" tanya Icha.
Glek.
"Apaan! Gue diem daritadi!"
Tiba-tiba Icha malah mencubit putingku dengan sadis.
"Arrgh! Anjrit! Sakit, kampret!" teriakku.
Yah, beginilah spesies seksi bernama Icha. Dia tipe
extrovert ceplas ceplos yang agak brutal, tak peduli itu di tempat umum sekalipun. Seorang Icha tidak akan sungkan mengigit secara tiba-tiba bahkan untuk orang yang baru dikenalnya selama 30 menit, suka menampar kencang walaupun untuk sekedar iseng dan...sering mengejekku homo karena sudah lama menjomblo. Padahal demi Tuhan aku sepenuhnya normal sejak lahir.
"Gue bisa baca pikiran kotor lo, Zal!" kata Icha.
"Gue ga mikir yang macem-macem! Gue bales baru tau rasa lo!"
"Bales aja kalo berani."
"Bener ya? gue bales nih! Gue bales kezaliman lo!" ancamku lagi sambil mengarahkan tanganku ke dadanya.
"
I...dare...you." ujarnya pelan sambil tersenyum menyeringai karena tahu aku cuma menggertak.
Dengan isyarat seperti akan mencubit, jari tanganku sudah ada berapa 10 cm dari posisi puting dadanya. Tapi aku cuma bisa sejauh itu. Cuma berani sejauh itu.
Disaat aku sibuk membayangkan segala kemungkinan dan resiko yang akan aku hadapi kalau aku benar-benar membalas cubit putingnya, tiba-tiba dia malah menarik tangan kiriku itu dan merapatkan ke dadanya.
"Lama!" katanya. "Se-cemen itu ya lo ternyata" sambungnya lagi.
Krik krik.
Belum tuntas kekagetanku dengan apa yang sedang terjadi, dia menarik tangan kananku ke dadanya yang sebelah lagi.
Aku cuma bisa diam dan tersadar kembali saat dia memegang kedua lenganku dan mendorong lebih dalam ke payudaranya yang kenyal itu. Oh, dia ingin aku memulai salah satu prosedur standar saat
foreplay: meremas. Dasar wanita, lagi nafsu beginipun masih sempat pake kode-kode segala.
"Baru sadar gue, kok kayak makin gede ya? Bukannya lo juga udah lama jomblo?" tanyaku usil.
"Apa hubungannya ukuran dada gue dengan status?" respon dia sedikit ketus tapi manja.
Aku cuma tersenyum sambil langsung hinggap di lehernya. Icha pasrah. Ku tanamkan cupang demi cupang di sana, seirama dengan hela nafasnya yang kian berat. Dia pun memejamkan matanya.
Tanganku masih bergerilya di bukit kembar Icha. Menyerbu dengan kenikmatan seperti yang sedang dilakukan oleh bibirku di lehernya, yang kemudian bermanuver ke pipinya, lalu berlabuh ke bibirnya yang agak tebal dan menggairahkan itu. Tampaknya bibir Icha ini dan bibir Kendall Jenner diciptakan Tuhan dalam satu cetakan. Mmmh!
"Lo udah gosok gigi kan tadi?" candanya sambil beristirahat mengatur nafas. Aku tak menjawab dan kembali menikmati tekstur bibirnya yang lembut itu. Bibir yang selama ini hanya sebatas bahan fantasiku di malam hari, sekarang malah berpagutan dengan bibirku di dunia nyata tanpa ku rencanakan sama sekali.
Hal yang sering ku angankan selama ini akhirnya terjadi juga. Tapi jangan salahkan aku dan menilaiku sebagai lelaki durjana, pada dasarnya aku ini hanyalah lelaki biasa yang punya nafsu dan mudah tergoda. Karena, walaupun wajah Icha manis dan innocent, candaan Icha dan keisengannya sering sekali berbau vulgar dan mengundang nafsu. Bayangkan, Icha pernah menunjukkan sebuah foto saat dia sedang memberikan kue ulang tahun berbentuk penis kepada teman kampusnya. Yang lebih parahnya lagi, ada juga foto lain dimana dia sedang menjulurkan lidah sambil memegang sebuah pisang yang besar seolah dirinya adalah bintang porno termasyhur abad ini. Cukup tambahkan tulisan "
dr. Marissa and Big Yellow Cock", maka jadilah foto itu sebuah poster film biru.
br4zz3r Style, Man!
br4zz3r Style!
(
All Hail br4zz3r....!).
Icha menunjukkan foto-foto iseng di
handphone-nya itu kepada kami para sahabatnya (yang semua adalah lelaki normal) tanpa risih atau merasa bersalah. Kami hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Tapi terlepas dari semua itu, Icha bagi kami tetaplah seorang adik yang selalu kami lindungi. Belum lagi, orang tuaku dan orang tua Icha berkerja di tempat yang sama dan saling mengenal baik.
Intinya, jauh sebelum dosa yang kami lakukan hari ini, hubunganku dengan Icha adalah hubungan yang tidak didasari hawa nafsu sama sekali.
Platonic Love, istilah kerennya.
Aku jadi teringat saat kunjungan ke Jakarta sebelumnya, waktu itu Icha duduk disampingku di dalam taksi dengan satu kancing baju terbuka sampai terlihat bra-nya yang berwarna putih. Apa yang terjadi? Aku hanya memintanya segera mengancing bajunya kembali tanpa pikiran kotor sedikitpun. Oh, persahabatan yang suci sekali!
So...Yeah, this feels so wrong, yet at the same time it feels so good. All of this. Dilematika moral dan etika berkecamuk di ruang tamu kontrakannya itu.
Di saat teman-teman yang lain masih konsisten menjaga diri untuk tidak bertindak macam-macam, aura kebebasan di ibukota dan semerbak aroma parfum dari tubuhnya malah memaksaku untuk tidak berhenti mencumbunya. Aku sudah tidak peduli bahwa perempuan yang sedang kunikmati saat ini adalah sahabatku sendiri yang sudah kukenal hampir 9 tahun. Kali ini, seluruh akal sehat telah gagal berdamai dengan syahwatku. Gagal segagal-gagalnya.
Perasaan yang murni dan lembut bagaikan belaian angin sepoi-sepoi itu kini telah bertransformasi menjadi badai birahi.
Icha pun demikian.
Nafasnya kian terengah. Dinding kesadaran kami satu persatu roboh dan musnah. Suara kecemasan dan kepasrahan sempat terdengar samar di antara degup jantungnya yang semakin kencang, tapi lidahku mencoba menjinakkan semua itu dengan terus memburu lidahnya.
Perlahan tapi pasti, suara deru hujan di luar dan gaduh audio dari laptop sayup-sayup menghilang. Ikut tersapu bersama kami yang sedang hanyut digulung gelombang. Gelombang nafsu.
(
to be continued to Part III).
***