Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Aku yang Tersakiti

kenpachi ryo

Kakak Semprot
Daftar
16 Nov 2013
Post
157
Like diterima
113
Bimabet
Kami berangkat ke Maryland, 2
minggu setelah mendapatkan ijin
tinggal. Pastinya karena peran
Kakak iparku, yang menjadi
pegawai konjen di Maryland. Dia
bilang, sudah waktunya karyaku
dilihat orang banyak, go
international katanya.
Aku seorang pelukis, 5 tahun
menghabiskan waktu menjual hasil
lukisanku di galeri-galeri kecil di
Yogyakarta, tempat kelahiranku.
Di situ pula aku bertemu Novi,
seorang gadis manis yang akhirnya
bersedia menjadi istriku.
Seorang model lukisanku pada
awalnya, aku ternyata jatuh cinta
dengan kesederhanaan dan
keluguan Novi. Usia kami berbeda
cukup jauh sebenarnya, aku 26
tahun, dan dia baru beranjak ke
usia 18 tahun. Tapi nyatanya usia
bukan penghalang. Kami menikah
setelah 6 bulan pacaran.
Deshinta Inandita lahir 1 tahun
kemudian di Yogyakarta, anak
perempuan kami. 3 tahun kemudian,
kami berdua berada di pesawat
menuju Amerika, menjemput impian
kami, atau setidaknya impianku.
Sengaja tak kubawa anak
perempuanku. Biarlah dia
menikmati masa kecilnya di
Yogyakarta, bersama kakek dan
neneknya.
****
Perjalanan dari Washingto, DC,
memakan waktu 1 jam, memakai
mobil kakak iparku yang sengaja
dititipkan di sana. Terus terang
kami tidak membawa terlalu
banyak uang. Pun juga kakakku
tidak bisa membantu banyak dalam
soal uang. Alasan itu juga yang
akhirnya membuat kami memilih
daerah Cherry Hill sebagai tempat
tingggal kami.
Cherry Hill adalah sebuah kota
kecil di bagian selatan Baltimore.
Bukan tempat yang tepat apabila
kita akan tinggal di Amerika.
Dengan angka kriminalitas yang
sangat tinggi, bahkan penduduk
Maryland pun enggan tinggal di
sana. Apartemen kami untungnya
cukup nyaman. Seorang teman
kakak ipar yang mencarikannya
untuk kami.
Kakakku sementara akan
membantu aku mencari Galeri-
galeri yang bersedia menjual
lukisanku. Tidak terlalu susah,
karena salah seorang temannya
adalah lulusan MICA yang membuka
galeri kecil di downtown
Baltimore.
Paling tidak kami bisa bernafas
agak lega. Paling tidak dapur kami
bisa mulai mengebul. Sisa tabungan
masih cukup, paling tidak sampai
bulan depan.
****
Apartemen kami ada 8 lantai, dan
kami ada di lantai 4. Tetangga kami
ada 3. Yang pertama, tepatnya
yang pertama menyapa kami,
adalah keluarga Patterson, Sam
dan Kelly. Inilah keluarga kulit
putih yang pertama kali kami
temui. Mereka adalah keluarga
yang hangat, membuat kami
merasa diterima di negeri yang
baru pertama kali kami lihat
seumur hidup kami. Sam yang
berumur 45 tahun adalah buruh
perusahaan tekstil di daerah
Locust Point. Kelly, istrinya,
ternyata masih berumur 36 tahun,
adalah seorang ibu rumah tangga.
Mereka berdua belum punya anak
sampai sekarang, walaupun sudah
berumah tangga selama 12 tahun.
Tetangga kami kedua adalah
Matty Wilkinson, seorang lansia
yang sudah hidup di apartemen itu
bertahun-tahun lamanya.
Suaminya, sudah meninggal, adalah
seorang veteran perang dunia
kedua. Dia sama sekali tidak
menyapa, mungkin juga karena
penyakit Alzheimer yang
dideritanya. Cucunya datang
setiap sore membawakan makanan
untuknya.
Tetangga kami yang ketiga adalah
Tyrone. Kami langsung tidak suka
begitu melihatnya. Kami
menengadah ketika menatap
matanya. Tubuh tinggi besar,
mungkin sekitar 190 cm, hitam,
dengan tato di lengan kiri dan
kanannya. Tatapannya ketika
bertemu dan bersalaman dengan
kami sangat kurang ajar. Dia
menatap kami dari ujung kepala
hingga ujung kaki, dan kemudian
meneruskan tatapannya yang
sangat kurang ajar ke istriku.
“Nice to meet y’all,” katanya
sambil menyalami kami berdua. Dia
memastikan bahwa tangannya
menggenggam istriku lebih lama.
Istriku cepat-cepat menarik
tangannya.
Ketika akhirnya kami selesai
bersalaman dengan tetangga-
tetangga dan masuk ke
apartemen kami, satu-satunya
komentar istriku adalah :
“Laki-laki itu menakutkan, mas.”
****
Ah, istriku istriku ….
Apa yang bisa kuceritakan
tentang istriku selain
kesempurnaannya? Rambutnya
yang panjang, matanya yang
berbinar-binar, bibirnya yang
sensual dan kelihatan selalu basah,
tidak terlalu tebal tapi juga tidak
tipis, lehernya yang jenjang. Istriku
tidak terlalu tinggi, tetapi
lehernya yang jenjang itu membuat
dia terlihat tinggi. Tidak bosan aku
memandangnya, apalagi
menciumnya. Ya, menciumnya.
Dengan penuh nafsu. Aku ingat
malam pertama kami di Yogya.
menit-menit pertama aku habiskan
dengan menciumi seluruh wajah
Novi. Begitu sempurna dan begitu
mulus.
Mulus. kata itu memang tepat
untuk mendeskripsikan kulit Novi.
Begitu mulus tanpa cela, dan putih.
Kombinasi yang mematikan (atau
menafsukan?). Alasan itu juga
yang membuat aku dulu memilih dia
menjadi model lukisanku. Dengan
alasan itulah aku lebih sering
meminta dia memakai kemben
ketika menjadi model, alasanku sih
biar njawani, padahal aku cuman
ingin melihat bahunya yang putih
mulus sempurna itu, dan mungkin
sedikit belahan dadanya.
Dadanya. Oh, betapa susah
menggambarkannya dalam kata,
sesusah melukiskannya dalam
kanvas. Dadanya tidak hanya
sekedar tonjolan daging sangat
besar dengan puting warna merah
jambu di atasnya, tetapi sebuah
kesempurnaan bentuk yang
dibentuk dengan sangat hati-hati
sekali oleh yang Maha Kuasa.
Dengan bentuk tubuh yang kecil,
Novi mempunyai dada besar yang
sempurna. Apapun baju yang
dipakai olehnya, sepertinya tidak
kuasa untuk menyembunyikan
karunia Tuhan yang begitu besar
itu. Dan dada itu begitu kenyal.
Aku begitu bangga ketika berhasil
menikahinya, dan menjadi satu-
satunya pemilik keindahan itu. Dan
keindahan serta volumenya
semakin bertambah ketika anak
kami lahir.
Adalah hal yang wajar ketika
setiap laki-laki yang memandang
istriku pasti terpana. itu juga
sepertinya yang terjadi pada
tetangga kami yang baru.
****
Aku mulai bekerja sebagai pemain
keyboard di sebuah pub kecil
bernama Gus, kira-kira 6 blok dari
apartemen kami di waktu malam.
Siangnya aku bekerja di sebuah
minimarket di Potee Street.
Penghasilan dari jualan lukisan
ternyata tidak seperti yang kami
harapkan. Itupun sudah dengan
kerja keras, karena lukisanku ada
beberapa yang aku jual ke
Washington D.C, setiap minggu, 1
jam perjalanan yang sangat
melelahkan dengan bus antarkota.
Itu juga yang membuat aku
sekarang sering pulang malam.
Istriku tidak bekerja, hanya di
apartemen saja. Aku tidak
mengijinkan. Aku takut terjadi
sesuatu kepadanya. Siapa yang
tidak khawatir? Lingkungan yang
buas dengan sosok wanita Asia
yang sempurna adalah kombinasi
yang mematikan. Toh dia juga
punya tetangga ibu rumah tangga
yang bisa diajak ngobrol kapan
saja. Sally Patterson.
Ada sedikit yang perlu
kuceritakan mengenai Sally.
Kesanku pertamakali ketika
bertemu dengannya adalah
gambaran seorang wanita
amerika berambut pirang yang
sering muncul di majalah-majalah
porno Amerika. Aku bukannya
penggila pornografi atau apapun
sejenisnya, tapi stigma itu tetap
melekat di diri Sally. Rambut
pirang, tubuh berisi khas bule,
mungkin bisa dikatakan sangat
seksi, dada besar (pastilah,
karena dia bule). Dia seorang
yang sangat hangat, terus
terang, dan sering sekali
mengobrol bersama kami,
terutama dengan istriku, karena
mereka sama-sama ibu rumah
tangga.
Suaminya sendiri jauh dari
gambaran seorang lelaki bule
yang tegap, perkasa dan layak
mendapatkan wanita seseksi Sally.
Lagipula juga dia jarang sekali
mengobrol, kemungkinan karena
dia sering sekali menginap di
pabrik. Sally jarang sekali
membicarakan suaminya. Kami juga
tidak terlalu ingin tahu.
****
Hari itu ulangtahun perkawinan
kami yang keempat, 4 bulan
setelah kami mendiami apartemen
sempit ini, 4 hari setelah aku
mendapatkan cek sebesar $200
dari galeri kecil di utara
Washington D.C. Benar-benar
berkesan.
Aku bergegas pulang dari Pub,
dengan membawa kado dan
karangan bunga mawar merah.
Aku segera membayangkan malam
indah yang penuh dengan nafsu,
yang kira-kira sebentar lagi aku
dapatkan. Hal itu terbayang
sepanjang hari aku bekerja. Ketika
aku makan siang, aku
menyempatkan untuk berjalan-
jalan sepanjang Potee Street
untuk mencari hadiah untuk
istriku. Tiba-tiba aku terpaku
pada sebuah toko pakaian. Itu
bukan toko pakaian biasa. Itu toko
pakaian dalam khusus wanita. Ya,
sebuah toko lingerie.
Sesuatu menggerakkan aku untuk
masuk ke dalam sana. Sesuatu
gambaran mengenai istriku,
dengan tubuhnya yang putih mulus
sempurna, mengenakan pakaian
dalam yang seksi. Aku memutuskan
untuk membelinya.
Kedatanganku di rumah segera
disambut oleh Novi yang telah
menyiapkan makan malam yang
romantis dengan lilin-lilin yang
menyala di seluruh ruangan. Dia
tampak cantik sekali malam ini.
Kami makan berdua, sambil
mengenang saat -saat kami di
Yogya, pacaran, berjalan-jalan di
pantai Wediombo, melukis…
Dia menyerahkan sebuah
bungkusan kado.
“Buka dong mas,” kata dia
tersenyum manis. Oh, istriku yang
kucinta.
Ah, sebuah syal. Istriku memang
pengertian.
“Untukku, mana?”
Aku menyerahkan bungkusan
menarik itu kepadanya.
“yang, dipake malam ini ya yang,”
kataku berharap. Dia tersenyum.
“Isinya baju ya?”
“Lihat aja deh …”
Dia bergegas masuk kamar. Tiba-
tiba dia menjerit. Aku sangat
terkejut dan segera berlari masuk
kamar. dia menangis sambil
melempar lingerie pemberianku.
“Mas kok tega sih? itu pakaian
pelacur mas, aku ga akan bisa
memakainya …,” katanya lemah
sambil menangis sesenggukan.
Aku tertegun. Aku melakukan
kesalahan fatal. Mataku menatap
lingerie di lantai itu.
“Pokoknya aku ga mau pakaian
aneh-aneh kaya gitu mas.
Menjijikkan ! Mas lihat apa sih
sampai beli baju kaya gitu?”
Katanya marah.
“Aku cuman pengen liat kamu
pakai baju itu yang, cuman buat
aku …”
“Aku ga mau, jijik !”
“ya udah…”
Ah. malam bencana. Aku
mengambilnya dan menyimpannya di
lemari. Novi menyaksikannya dari
jauh. Malam ini tampaknya aku
harus tidur sendiri.
****
Sally dan Novi tampaknya menjadi
sahabat karib. Mereka sering
sekali mengobrol. Sally juga sering
menemani Novi mencuci di ruang
cucian di bawah apartemen kami.
Maklum, ruang cucian itu luas, dan
sepi, terutama di hari-hari kerja.
orang-orang hanya mencuci di
hari sabtu atau minggu.
Yang aku perhatikan adalah, sejak
berteman dengan Sally, tampaknya
Novi semakin terbuka mengenai
seks.
Ya, seks. Kehidupan seks kami bisa
dibilang datar-datar saja,
monoton, dan mungkin
membosankan bagi sebagian besar
orang. Pernah suatu kali Novi
bercerita kepadaku bahwa Sally
bercerita kepadanya mengenai
pengalaman seksnya yang luar
biasa, dengan seorang pria. Ya,
seorang pria lain yang bukan
suaminya. Dan kata Novi, cara Sally
menceritakannya benar-benar
blak-blakan. Prasangkaku
terhadap Sally ternyata benar.
Sally bukan teman yang baik buat
Novi.
Tapi ketika mendengar Novi
bercerita tentang Sally seperti
aku, aku tiba-tiba terangsang.
Semakin terangsang ketika Novi
menceritakan kembali dengan
detail, ketika Sally menggoda
lelaki itu di sebuah supermarket,
dan bagaimana mereka akhirnya
bercinta di parkir belakang
supermarket, siang hari bolong,
dan bagaimana lelaki itu menembus
Sally dengan penis yang, kata Sally,
berukuran monster. Aku tanpa
sadar mulai mengelus paha Novi.
Kepalaku turun, berhadapan
dengan dadanya yang indah, dan
kemudian mengecupnya dengan
rakus dari luar dasternya. Novi
berhenti bercerita dan mengelus
lembut rambutku.
Aku pelahan melepas dasternya
dan mengungkap keindahan di
baliknya. Novipun melepas celana
kolorku perlahan. Sampai sekarang
aku terangsang berat apabila
melihat dada Novi. Payudaranya
yang indah seakan begitu bangga
membukit indah dari dadanya.
Putingnya yang terangsang
mengerucut indah, berwarna
merah mudah. Dan puting itu
begitu mancung. Mulutku kembali
menyusuri keindahan itu, kali ini
tanpa halangan kain daster.
Tangan kananku meremas bukit
indah itu sementar mulutku
menyusu bukit sebelahnya.
Sebentar kemudian Novi melenguh.
Dia paling suka diciumi dadanya.
Tangannya kemudian beralih ke
penisku yang sudah tegang
luarbiasa sedari tadi.
“Kalo punya mas, berapa sih
panjangnya?” tanya dia manja.
“Kenapa tanya?”
“Ga, cuman penasaran aja.”
“boleh cek, tapi dikasih bonus cium
ya …”
Eh, ternyata dia serius. Turun dari
ranjang, Novi kemudian mencari
penggaris, dan bergegas
mengukur penis yang menjulang.
“6 inch…. Panjang juga ya,”
katanya sambil mengelus penisku.
Aku tersenyum bangga. 1 inch itu
2,5 centi.
“kalo panjang, dicium dong …”
Dia kaget dengan komentarku.
Matanya memandangku lama. Aduh,
aku salah ngomong.
“Mas njijiki …”
Tapi kemudian mulutnya mencoba
mencium kepala penisku.
“engga ah, mas, ga mau ….”
“ya udah… gapapa sayang.”
AKu kemudian meraih tubuhnya
yang telanjang, dan kami kembali
berciuman. Kali ini aku ingin
menciumi seluruh tubuhnya, dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Ketika ciumanku tiba di vaginanya
yang telah basah, tangannya
menahan kepalaku.
“Ga mau ah, mas, jijik, …”
“Tapi aku mau …”
“Ga mau …”
Ya sudah, lanjutkan saja dengan
penetrasi. Seperti biasa, aku
keluar duluan. Novi selalu
menggantung. Tapi sepertinya dia
cukup puas. Sepertinya ….
****
Suatu hari aku pulang lebih cepat.
Jam 8 malam. Gus tutup lebih cepat
karena anaknya kecelakaan. Aku
telepon rumah dulu, memastikan
istriku ada ketika aku pulang dan
sudah menyiapkan segalanya.
Apartemen kosong ketika aku
masuk.
“Nov, Nov, kamu lagi ngapain?”
“emmass, ke kamar dong …..”
Eit, kok menggoda gitu kayanya.
Aku bergegas masuk kamar. Novi
berbaring di ranjang. Tertutup
rapat selimut.
“kenapa yang?Sakit ya?”
“ga, kok, cumannnn ….”
“cuman apa?”
“ehm, horny terus dari tadi,”
katanya sambil membuka selimut.
Gila, dia telanjang bulat. Jadi
ngajak nih? Ada angin apa nih
sampai segitu hornynya? Nganeh-
nganehi.
langsung saja kuterkam dia. Eh,
kali ini dia orgasme lebih cepat.
Tak tahu kenapa.
****
Minggu- minggu berikutnya, tak
tahu kenapa, gairah istriku
semakin meningkat. Akunya yang
kewalahan. Sungguh. Lagipula aku
tak pernah bisa memuaskannya.
Sering sekali aku mengeluh capek
atau pusing supaya aku terhindar
dari kewajiban memuaskan
nafsunya.
Suatu hari ku pulang, pas sekali
berbarengan dengan istriku. Jam
sembilan malam.
‘Dari mana kamu, yang?”
“Biasa, mas, nyuci di bawah …”
“Ga sama Sally?”
“Eeem, dia, dia, lagi sakit …”
Aku memandang wajahnya. Ada
noda putih di samping bibirnya.
Seperti Lem. Banyak. Sampai ke
dagunya.
“Itu kena apa bibirnya?”
“Apa sih ..”
Dia sadar, trus segera mengelap
noda putih itu. Dia tampak gugup.
“Kena sabun kayanya …”
“Sabun cuci kok sampe lengket
gitu …,” kataku santai. Aku
bergerak mencium bibirnya.
Segera tangannya menahan
dadaku.
“jangan, belepotan….”
****
Perasaanku sungguh tak enak pagi
itu. Minimarket juga sepi, tidak
seperti biasanya. Rasanya ada
yang salah hari itu. Kepalaku
serasa berdenyut-denyut. Ketika
makan siang, aku mencoba
menelepon apartemen. Aku
khawatir terjadi apa-apa di
apartemen. Hanya perasaanku
saja. Tidak ada yang mengangkat.
Aku coba sekali lagi. Tidak ada
juga yang mengangkat. Aku
menenangkan hatiku. Mungkin
istriku lagi ke ruang cuci.
Ah, apa iya? dua hari yang lalu kan
baru saja nyuci. Apa dia ke
tetangga ya? Iya kali, ketempat
Sally. mereka kan sama-sama ibu
rumah tangga. Aduh, kenapa sih
jadi resah begini? biasanya
santai…
Aku akhirnya memutuskan pulang.
hari itu pukul 2 siang. Sesampai di
rumah, segera kuketok pintu
apartemen. Tidak ada yang
membuka. Kemana Novi ya?
Aku mengetok pintu apartemen
Sally. Sally membuka pintu. Memakai
baju senam yang seksi, keliatan
sekali dia baru saja olahraga.
Peluh menetes di keningnya.
“What’s up Ira?”. Namaku Irawan.
susah sekali orang amerika
menyebut nama itu. Akhirnya aku
mereka panggil Ira, tulisannya
Aira.
“seen my wife?”
“Nope.”
“Felling well aren’t you?” tanyaku.
“what do you mean?”
“I thought you’re sick. Novi told
me.”
“What? I’m very well, thank you.
You see that I’ve been working
out, don’t you?”
“Thanks alot , Sally.”
Jadi Istriku bohong ketika dia
bilang Sally sakit. Untuk apa?
AKu bingung. Kemana Novi pergi?
Aku akhirnya turun ke bawah, ke
ruang cucian. Mungkin Novi ada di
sana seperti biasa. Baru pertama
kali aku turun ke basement ini.
Laundromat atau ruang cucian
ada di ujung basement ini.
Basement ini adalah ruang parkir
bawah tanah. Cukup menakutkan
ternyata. Pantas saja istriku
selalu minta ditemani Sally.
Lampunya remang-remang.
Terdapat sinar sedikit saja di
ruang cucian.
Aku berjalan perlahan. Sepi sekali.
Dan lebih sepi lagi karena aku
memakai sepatu karet
kesukaanku. Sepatu itu samasekali
tanpa suara. Aku masuk ke Ruang
cucian. Pintu gesernya berderit.
Aku mendengar suara-suara.
Ruang cucian terdiri atas dua
ruangan. Ruangan pertama adalah
semacam ruang tunggu dengan
kursi berjajar. Tidak luas. Ruang
kedua adalah ruang cuci itu
sendiri, dengan mesin cuci yang
berjajar. Aku menajamkan
pendengaranku. Sepertinya suara
laki-laki. Sepertinya suara itu
sedang memerintah. Aku tidak
tahan untuk tidak mengintip.
Oh rupanya Tyrone. Dengan pasti
aku mengenali dia, meskipun aku
melihatnya hanya dari belakang.
Dia berdiri di samping mesin cuci.
Dari sini aku hanya bisa bisa
melihat bokongnya yang hitam,
dengan otot-otot yang menonjol
sempurna. Mana teman bicaranya?
“OOOOh, shit, that’s good baby.
Suck it goood …”
Ada suara menghisap ….
“yes, baby, suck that big black
cock …”
Ada suara mendengung.
“Oh god, this is great …. Lick it …”
Aku tidak jelas melihat, tapi aku
yakin ada kepala seorang wanita,
tepat di depan penis Tyrone. Oh,
pastinya sedang terjadi oral sex
di sini. Aku beranjak pergi dari
situ, tapi rasa penasaran yang
amat sangat menahanku.
“Get up baby … I want to see your
delicious body …”
Sosok wanita itu berdiri. Aku masih
belum jelas melihat wajahnya, tapi
jelas, tinggi tubuhnya tidak
sebanding dengan sosok Tyrone
yang tinggi besar.
“God, you’re beatiful, hot as
hell…,” kata Tyrone sambil mencium
wanita itu.
Sialll. Kepalaku serasa pusing tidak
terhingga. Hatiku hancur. Tubuhku
lemah. Kakiku serasa tidak kuat
menopang tubuhku. Aku jatuh
terduduk.
Itu istriku. Itu istriku yang baru
saja mencium Tyrone, dengan
senang hati mengulum penisnya.
Penis yang bukan punya suaminya !
Aku tidak punya daya. Mataku
terus mengintip aksi mereka. Saat
itu Novi memakai rok terusan yang
berkancing di depan. Tyrone mulai
membuka kancing bajunya satu
persatu, sambil tetap menciumi
bibir istriku.
Tidaaak ! Tidak mungkin. Novi
memakai lingerie yang aku pakai.
Dan ooh, lingerie itu … benar-
benar sempurna menempel di
tubuhnya.
Lingerie warna hitam itu melekat
pas di tubuhnya, dengan cup BH
yang kecil, cuman seperempat,
membuat payudara Novi serasa
tumpah, tergencet oleh kecilnya
cup itu. Rendanya benar-benar
membuat terangsang siapa saja
yang memandangnya. Payudara itu
rasanya ingin meloncat keluar,
bahkan tali BHnya yang sangat
kecil itu tak kuasa menahan
volumnya. dan ya Tuhan, putihnya
….
Lingerie itu melingkari tubuh Novi
dengan renda-renda yang
transparan. Tyrone bergerak
melepas bajunya sampai terus
kebawah, sambil terus menciumi
payudara yang tersembul itu.
Celana-dalamnya yang dibuat
terpisah dari lingerinya, sungguh
sangat merangsang. Potongan
pingggangnya tinggi, renda-renda
di tepinya, dan depannya
transparan, membuatku sekilas
melihat bulu-bulu rapi vaginanya.
Lingerie itu punya semacam kaitan
yang berhenti di bagian paha
untuk menahan stocking. Orang
bule menyebutnya Garter. dan
Garter itu, oooh, sungguh
indahnya melingkar di paha Novi,
dengan rendanya.
Kali ini baju Novi telah lepas
semuanya, memperlihatkan
kesempurnaan tubuh Novi dibalut
lingerie yang menawan.
Tyrone berhenti sebentar.
“God, you’re the most beautiful
bitches I’ve ever seen,” katanya
sambil mengelus dada Novi.
“Really?”
“God yes,” Katanya sambil
langsung merobek lingerie itu
menjadi dia, menarik talinya
sehingga payudara Novi seakan
meloncat keluar.
“you like what you see, Ty honey?”
DIa memanggilnya honey?
“You bet bitch !”
Dengan rakusnya Tyrone segera
meremas dan mengulum dada
sempurna itu. Novi mulai merintih
sambil membelai kepalanya. Ya
Tuhan, payudara sempurna yang
seharusnya hanya menjadi milikku,
sekarang diremas dan diciumi oleh
orang lain.
“Ty, we can’t do it here. Can we
go to your apartement?”
“No we can’t. My nephew’s there.
Shit, can we do it here?”
“We can’t honey. Somebody will
see us.” Mulut Tyrone masih ada di
dada Novi.
“what about your fishin husband?”
“Naw, he’s still in store. Believe me.
C’mon …”
Mereka bergegas memakai
pakaiannya kembali.
Aku langsung cari tempat
sembunyi. Oh Tuhan, kenapa aku
jadi seperti orang tolol begini?
———————-
 
Punya bini bgitu mah langsung nubi jual di forum underground.... Mayan jadi duit...
 
lanjoottt broohhhh... wahhh kentangg bgt nehhh... gile dahhh... mantap karya ente brohhh... :semangat:
 
Aku bakalan mati bosan di
apartemen ini apabila tidak ada
Sally. Rutinitasku benar-benar
sangat membosankan. Setiap pagi
hanya nonton soap opera, atau
Oprah Show. Beli sayuran juga
amat-amat jarang, karena hampir
selalu mas Irawan yang beli. Kami
berdua jarang sekali keluar jalan-
jalan, karena suamiku hampir tidak
pernah libur. Libur 1 hari dalam 10
hari, Mas Irawan biasa
menghabiskan waktunya dengan
tidur dan nonton TV.
Sally sudah menjadi teman yang
menyenangkan sejak pertama kali
aku bertemu dengan dia. Tipikal
perempuan Amerika yang, kalau
kubilang, cukup cantik. Rambut
pirang, mata berbinar, tubuh
tinggi, dengan lekukan-lekukan
tepat yang pasti membuat orang
bule tertegun. Dan dadanya itu,
aku menjadi minder ketika
berhadapan dengan dia. Aku selalu
berpikir bahwa dadaku besar,
tetapi ketika aku melihat
payudaranya, oh, Tuhan, itu pasti
payudara terbesar yang pernah
aku lihat.
Setiap kali aku bosan, aku akan
mengetuk pintunya, dan diapun
dengan senang hati menerimaku,
untuk sekedar ngobrol-ngobrol
atau nonton TV berdua. Semakin
lama aku mengenal Sally, aku pun
tahu bahwa dia orang sangat
“terbuka”. Terbuka dalam hal
berpakaian, dan terbuka dalam
hal bercakap-cakap.
Pakaian Sally sehari-hari tidak jauh
dari kebanyakan ibu rumah tangga
Amerika pada umumnya. Yang aku
heran, setiap kali kami pergi
mencuci atau pergi keluar
(biasanya karena aku dipaksa
menemani dia), dia selalu
memastikan bahwa dia selalu
memakai pakaian, yang menurutku,
menampilkan “aset”nya yang
berharga, kaki panjang dan dada
besarnya. Pakaian bepergiannya
tidak jauh dari tanktop-tanktop
superketat, hotpants, atau gaun
terusan mini dengan belahan dada
yang sangat rendah. Aku kadang
agak malu dan sedikit takut ketika
berjalan bersama dia, karena
hampir pasti setiap laki-laki di
jalan menggodanya. Ketika
kutanya kenapa dia selalu
berpakaian seperti itu ketika
bepergian, dia menjawab :
“You know what, Novi, you should
proud of your body. If your
husband can’t appreciate it, let
somebody else does. And dressing
sexy like this really turns me on.
You should try it sometimes hon ..”
Emmm, kurasa tidak. Tubuhku hanya
boleh dilihat oleh suamiku. Uh,
suamiku tampaknya sekarang
sudah terlalu capek untuk
menikmati tubuhku.
****
Keterbukaan Sally juga terlihat
ketika dia bercerita. Aku kadang
berpikir bahwa Sally tidak
seharusnya berbicara mengenai
hal-hal itu, karena dia sudah
bersuami. Sally paling suka
menceritakan pengalaman di masa
dia masih di highschool. Bukan
pengalaman biasa, melainkan
petualangan seks. Ya, seks, dengan
banyak laki-laki. Pernah dia
bercerita mengenai petualangan
seks dengan guru kelasnya.
Bagaimana ia menggoda gurunya
itu dengan selalu duduk di depan,
memakai rok supermini, dan kadang
tanpa mengenakan celana dalam.
Dan anehnya, aku mulai menikmati
cerita-cerita itu, dan lebih aneh
lagi, aku sering sekali menjadi
terangsang.
Sally selalu cerita bahwa dia tidak
pernah puas urusan ranjang
dengan pria kulit putih. “Black
Cocks, Big Black Cocks are the
best, hon.” selalu itu kata dia.
Penis pria kulit hitam adalah yang
paling memuaskan. Pernah suatu
kali dia menceritakan
pengalamannya berhubungan seks
dengan seorang laki-laki kulit
hitam asing di tempat parkir
sebuah supermarket. Asing, dia
bahkan tidak tahu namanya.
Dengan sangat detail, dia
menceritakan bagaimana penis
besar lelaki itu berusaha
menembus vaginanya, dan
bagaimana vaginanya berusaha
“menelan” penis sebesar itu.
“You know hon, that’s the biggest
cocks I’ve ever tasted. And I
really really like it …. I Think I got,
like, 4 orgams … ” tukasnya.
4 Kali orgasme? Suamiku bahkan
tidak pernah memberi satupun
kepadaku selama beberapa tahun
pernikahanku.
“How big is it?” Tanpa sadar aku
bertanya, dan aku malu sendiri
mendengarnya.
“Gosh, it’s like a foot length, and
its width, wow, so fishing thick,”
tukasnya sembari memegang
kaleng Diet Coke.
Aku sungguh terangsang
mendengar hal itu. Dan yang aku
pikirkan sepanjang hari hanya itu.
Tak sabar aku menunggu suamiku
datang. Mungkin dia bisa
memuaskanku kali ini.
****
Aku tidak tahu, semakin lama aku
bergaul dengan Sally, semakin
dalam keinginanku menjadi seperti
dia. Aku mengagumi kebebasannya,
pengalaman-pengalamannya, dan
yang terpenting, aku ingin sekali
merasakan pengalaman-
pengalaman seks itu sendiri.
Pagi itu seperti biasa aku ke
tempat Sally. Pintunya tertutup
rapat. AKu mengetuk berkali-kali
dan tidak mendapat jawaban. Ah,
mungkin dia pergi jalan-jalan.
Sebel! kenapa sih dia ga ajak aku?
Mending nyuci saja. Aku kemudian
mengumpulkan pakaian kotor di
apartemen kami. Beginilah nasibku.
Berada di luar negeri tetapi
seperti pembantu. Bosan, bener-
bener bosan.
Basement, tempat ruang cucian,
adalah tempat paling tidak
favorit buatku, dan mungkin juga
sebagian besar penghuni
apartemen ini. Tempat yang sepi,
remang-remang, dengan mesin-
mesin cuci kuno yang besar.
Sebagian penghuni apartemen
lebih memilih mencuci di downtown
karena tempatnya baru dan
mesin-mesinnya masih bagus. Satu-
satunya alasan aku masih mencuci
di sini adalah biaya bulanan yang
murah.
Seperti biasa, basement sepi. Aku
beranjak masuk ke ruang cuci
ketika tiba-tiba kudengar suara-
suara. Ah. itu suara Tyrone dan
Sally. Aku beranjak menyapa
mereka, melangkah ke pintu ruang
sempit itu ketika kudengar Sally
menjerit.
“Oh, God, Ty, fish me now with
that big cock!”
“You like it bitch?”
“God damn Ty, fish me hard, right
now!”
Aku mengintip. Oh, Tuhan. Yang
sedang mereka lakukan ….
Sally berdiri, agak membungkuk.
Kedua tangannya bertumpu pada
mesin cuci. Setengah bajunya
sudah terangkat ke atas. Kedua
payudaranya yang besar
menggantung bebas, bergoyang
mengikuti irama dorongan.
Dorongan Ty. Tubuhnya yang besar
ada di belakang Sally. Celananya
sudah turun ke bawah. Pantat itu
….
“I’m gonna rip you bitch !!!!!”
“Do it now, you motherfisher!”
Oh, tidak. Mereka akan
melakukannya. Saat ini, di tempat
ini.
“ooooh, god, pleaseeee, do it
slow, honn. You’re to big …..!”
Ty mulai menggerakkan pantatnya
yang kekar itu pelahan. Sangat
pelahan. Sepertinya memastikan
bahwa penisnya masuk ke dalam
vagina Sally.
Penisnya. Aku tidak bisa melihat
dengan jelas. Dan, sungguh, aku
sangat penasaran dengan
bentuknya.
Ahhh, tiba-tiba aku menjadi sangat
terangsang.
Aku jatuh terduduk. Jantungku
berdebar kencang sekali. Seumur
hidupku, aku belum pernah
mengintip orang lain, apalagi
sedang melakukan perbuatan
seperti itu. Kepalaku pening. Tapi
aku merasakan sesuatu yang
bangun di bawah sana. Ada rasa
gatal yang harus segera digaruk.
Tanpa sadar tanganku bergerak
ke bawah sana.Kumasukkan
tanganku ke dalam celana
dalamku, mencari gatal itu.
Oooohhhh, rasanya luar biasa
tatkala tanganku bergerak
mengelusnya. Bergerak, seirama
dengan pompaan penis Ty masuk
jauh ke dalam vagina Sally. Dan,
suara Sally, tidak terbayangkan
lagi betapa kerasnya. Menjerit,
merintih, berteriak, atau apapun
namanya.
“Oh, god, yesss, yesss, ….”
“Shit, you’re so tight bitch!”
Ty terus memompa, dan aku, dari
kejauhan, mengelus bagian dalam
vaginaku, yang sekarang sudah
sangat basah, seirama dengan
pompaan itu. Sungguh, luar biasa
rasanya. Jauh lebih nikmat
daripada gesekan penis suamiku.
Aku makin cepat menggosokkan
jariku ke klitorisku ketika
kurasakan kenikmatanku semakin
memuncak. Sepertinya Sally pun
merasakan yang sama. Jeritannya
semakin tidak karuan. Iramanya
semakin cepat. Nafasnya memburu,
terengah-engah, semakin tidak
teratur.
“OOhhh, good, yess, yes yes, yess…
ooohh, … goood! you’re big, I’m
cummmmiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnng !!!”
Sambil berteriak panjang, kedua
tangan Sally menggebrak mesin
cuci, dan kemudian lunglai
bersandar padanya. Ty
menghentikan pompaannya.
“Bitch, I ain’t cumming yet! You just
can’t handle it, dontcha bitch?
You just can’t handle being fished
by a big black cock like mine,
dontcha bitch?”
Tangan Ty melayang menampar
pantat Sally yang montok. Bekas
merah padam nampak di belahan
pantat itu.
Dan di saat yang hampir sama,
kurasakan aku sendiri merasakan
kenikmatan luar biasa dari
gesekan tanganku. OOOH,
nikmatnya. Benar-benar lain,
kenikmatan karena memandang
adegan seksual paling intens yang
pernah aku rasakan. Tanganku
basah kuyup. Mataku terus
menyaksikan adegan itu.
Ty kemudian melanjutkan
pompaannya. Apa? aku tidak tahu
waktu saat itu, tapi yang jelas
sangat-sangat lama, dan yang
jelas Ty benar-benar mempunyai
daya tahan yang luar biasa. Sally,
yang sudah pulih dari orgasmenya,
kembali merintih-rintih menahan
nikmat, dihajar oleh penis Ty yang
besar.
Aku berbalik. Sungguh tak tahan
dengan pemandangan itu.
Pemandangan yang membuat aku
iri. Aku membatalkan niatku untuk
mencuci hari itu.
****
Sally berpamitan padaku pagi ini.
Pergi ke tempat saudaranya di
Boulder, Colorado. Mungkin satu
minggu penuh. Dan aku menjadi
sangat kesepian hari itu. Tetap,
aku tidak pernah menanyakan
peristiwa yang aku lihat lusa
kemarin. Aku tidak mau dikatakan
sebagai pengintip.
Hari selasa sungguh membosankan.
Suamiku berkata bahwa hari ini dia
akan lembur. Katanya di Pub ada
kiriman peralatan bar yang baru,
yang harus segera dipasang di
bar. Aku melakukan pekerjaan
rumah seperti biasa, dilanjutkan
dengan jam-jam menonton opera
sabun, film, dan talkshow.
Sorenya aku bergegas ke
basement, tugas rumah terakhir.
sore itu basement sangat sepi,
seperti biasanya. Aku memasang
headphone walkmanku, sambil
memasukkan baju-baju kotor ke
dalam mesin cuci.
Cukup lama aku berkutat di dalam
kesendirian sampai suatu saat,
tepukan di bahuku mengagetkanku
setengah mati.
“Doin’ the laundry miss?”
Aku menoleh sambil mencopot
headphone. Rupanya Ty. Tiba-tiba
saja jantungku berdentum ekstra
keras, mengingat kejadian
kemarin.
“Errr, yes, like usual ….” Tak pasti
jawabku, bergetar. Ty memakai
kaos basketball warna ungu yang
menunjukkan tonjolan-tonjolan
ototnya yang nyaris sempurna,
dengan tato-tato di tangannya.
Kemudian dia bersiul.
“Woow, that’s naughty,” katanya
sambil menunjuk celana dalamku
yang tanpa sadar aku pegangi
terus dari tadi. Aku gugup dan
kemudian segera memasukkannya
ke dalam mesin cuci. Celana dalam
itu berwarna merah tua, dengan
renda-renda yang transparan di
bagian tengah. Celana kesukaan
mas Irawan.
Dia kemudian tertawa terbahak.
Setelah itu aku membuang muka.
Malu setengah mati, sambil
berharap untuk cepat-cepat
keluar dari ruang cuci ini. Ty mulai
memasukkan pakaian-pakaian
kotornya ke dalam mesin cuci.
“Shit, where’s the soap ….”
Ty bergerak mengambil sabun cuci
yang ada di sampingku.
Gerakannya membuat badannya
bergeser di belakangku,
sepertinya tidak sengaja,
membuat tonjolan celananya
menggesek pantatku. Aku
merinding. Aku merasakan tonjolan
besar tepat di belahan pantatku.
Dia menahan dirinya agak lama di
belakangku. Aku bergerak maju
untuk menghindari, tapi sia-sia
karena sudah tak ada ruang lagi
antara tubuhku dengan mesin cuci.
“Sorry …,” katanya sambil nyengir.
Kami kembali melanjutkan aktivitas
kami. Aku sudah akan beranjak
keluar untuk duduk-duduk di ruang
tunggu menunggu cucian selesai
ketika kudengar teriakan kecil.
Aku menoleh.
“Man, I almost forgot my
underpants,” katanya santai, dan
tiba-tiba saja, memelorotkan
celananya ke bawah. Aku menelan
liurku. Lidahku kelu. di depanku, Ty
hanya mengenakan celana dalam
putih ekstra ketat yang
menunjukkan tonjolan penis dan
buah zakarnya. Ty seperti acuh
saja meneruskan mencopot celana
dalam putihnya dan kemudian
memasukkannya dalam mesin cuci.
Aku tertegun. Seharusnya aku
keluar segera dari tempat itu,
tapi tidak. AKu tidak keluar. Aku
ingin melihatnya. AKu ingin melihat
seperti apa penis yang dipuja-puja
oleh Sally itu.
Penis itu masih lunglai. ya, masih
terkulai dan ukurannya sama
dengan kepunyaan mas Irawan.
Warna hitam legam, dengan kepala
berwarna ungu legam. Dan kedua
buah zakarnya, menggantung
bebas di bawahnya. Ukurannya
luar biasa besar. Mungkin sebesar
bola tenis. DIa menatapku sambil
nyengir.
“Do you like it miss?”
Aku diam. tak tahu harus
menjawab apa.
“You can touch it if you want. It
won’t bite you, hehehe,”
ketawanya sombong. Aku masih
terpaku di tempatku.
“You like what you saw yesterday
miss?”
Aku terkejut. Benar-benar
terkejut.
“Wh-hatdddo you mean?”
“Hohoho, I think you know what I
meant. I saw you peeking on me
and Sally yesterday, doin’ bad
things ….”
Apa? bagaimana dia tahu kalau
aku mengintip?
“I bet you kept thinking about it,
dontcha?” Kini dia selangkah maju,
mendekati aku. Aku merasakan
nafasnya hangat di dekatku. Aku
merinding. Darahku berdesir. Aku
tidak boleh membiarkan hal ini. Hati
kecilku ingin aku kelaur segera
dari tempat ini, tapi aku tak bisa.
Tak tahu kenapa.
“you wanna touch it, dontcha?
feel it, squeeze it, taste it,
dontcha?” Sambil berkata begitu,
tangan Ty menggenggam
tanganku, dan mengarahkannya ke
penisnya. Aku diam saja. Tanpa
sadar, tanganku sudah
menggenggam penisnya. Dan mulai
membelainya. Iya, membelainya.
Pelahan. Penis itu mulai membesar
di genggaman tanganku. urat-
uratnya yang mengalirkan darah
terasa berdetak di tanganku.
Kepala berwarna ungu itu mulai
membesar, menampakkan lubang
seakan ular bermata satu yang
mengintai korbannya. Aku. Batang
penis itu mulai tak cukup di
genggaman tanganku. Aku
meneruskan belaianku, dan batang
itu semakin besar saja di
genggamanku. Urat-urat penisnya
mulai tampak menonjol, menghiasi
batang panjang berwarna hitam
legam itu. ya, aku setuju dengan
Sally. Penisnya memang luar biasa
besar dan panjang. Mungkin 8 inchi.
Hampir dua kali lipat panjang penis
mas Irawan.
“You know bitch, it will be happy if
you kiss it….”
Apa? Mencium penis itu? seumur
hidup pernikahanku saja, aku sama
sekali tidak pernah mau mencium
penis suamiku. menjijikkan. Tapi ada
dorongan lain yang tak aku
mengerti. Seakan aku menjadi
semacam hamba yang siap
menuruti tuannya, si negro pemilik
penis besar itu. Jujur, rasa
penasaranku mengalahkan
segalanya.
Aku membungkuk. Dengan sedikit
ragu aku menciumnya. Mencium
kepala penis ungu yang
superbesar itu. Penis itu
bergerak. Sialan! pasti dia yang
menggerakkannya. Aku melihatnya
tersenyum lebar.
“C’mon bitch, I know you want it
sooo bad,” katanya sedikit
sombong.
Tak tahu kenapa, aku meneruskan
menciumi kepala penis besar itu.
Dengan segenap hati.
“On your knees, bitch,” katanya
kasar dengan memegang kepalaku.
Hei! Tapi aku melakukannya. Aku
terduduk. Tak tahu apa yang
harus lakukan, aku kembali
menciumi kepala penisnya.
“Gosh, don’t you know how to suck
cock good, bitch? Lick it, all the
way from the balls,” katanya
memberitahu aku. Apa? Tapi aku
melakukannya. Aku benar-benar
benci pada diriku sendiri saat itu.
Aku akan mengkhianati suamiku
sendiri. Dengan orang asing.
Seorang Negro.
Seperti seorang pemula yang baru
belajar, ku mulai menjilati penisnya.
Kumulai dengan kantong zakarnya
yang diselimuti bulu tebal. Tak
yakin dengan apa yang harus
kuperbuat, aku mengulum salah
satu bola zakarnya. Serentak bau
aneh menyergap hidungku. Tiba-
tiba aku terangsang hebat.
“ooh, that’s good ….”
Dorongan untuk memuaskan laki-
laki ini kurasakan sangat besar.
Aku kembali dengan agresif
menciumi, mengulumi bolanya,
sambil mengelusi batang penisnya
dengan tanganku. Kulanjutkan
jilatanku menyusuri bagian bawah
batang penisnya yang berurat itu.
Dan aku merasakan penis itu
tumbuh semakin besar. Ha?
Mustahil. Jilatanku berhenti tepat
di bagian bawah kepala penis, dan
kemudian, kugigit pelan bagian itu
dengan kedua bibirku.
“Shit, that feels great …. Now,
bitch, it’s time to suck a real cock
…”
aku setengah ragu dengan
pernyataannya. Tapi kurasa aku
paham apa maksudnya. Dengan
kegugupan, karena aku baru sekali
melakukannya, aku mulai membuka
mulutku untuk mengulum kepala
penis monster itu. Aku sedikit
bergidik ketika melakukan itu.
“oooooooh, that’s great for a
start, bitch, suck it …. yesss, suck
it goodd …”
Aku berusaha memasukkan penis
itu kemulutku, tapi tak bisa.
Terlalu besar. Hanya 1 inchi yang
berhasil kumasukkan ke dalam
mulutku. Kepalaku kemudian
kugerakkan naik turun dengan
penis itu di mulutku, tepatnya
dipaksa untuk bergerak.
Tangannya yang kasar memegang
dengan kasar kepalaku, seakan
memaksaku untuk memasukkan
lebih dalam lagi penisnya ke
mulutku. Aku berusaha. Sambil
menghisap, lidahku kumainkan di
lubang penisnya. Dia berteriak
tanda senang. AKu melanjutkan
permainanku. Tanganku juga tak
henti bergerak memompa batang
besar itu.
Aku kelelahan. Mungkin 45 menit
aku melakukan tindakan itu.
Mulutku sudah lelah. Tapi aku masih
penasaran ingin memuaskan dia.
Tanganku sekarang lebih erat
meremasnya. Kedua tanganku
semakin cepat memompa batang
itu. Dan aku merasakan nafas Ty
semakin memburu. Aku mendekati
kesuksesan. Aku “menyerang”
penis Ty semakin cepat.
Mengulumnya. memompanya.
Kurasakan aliran di dalam batang
itu. Dan tiba-tiba lubang dalam
mulutku membuka lebar.
Ty berteriak keras. Aku segera
melepas mulutku dan menghindar
ke samping, tapi agak terlambat.
semprotan pertama sperma
mampir ke mulutku. Rasanya aneh.
Tanganku tetap memompa batang
keras luar biasa itu. Dan ya Tuhan,
semprotannya …..
semprotan kedua meluncur jauh ke
lantai. demikian juga dengan
semprotan ketiga, keempat,
kelima, …. Banyak sekali. Seakan-
akan cairan putih lengket itu
menyirami lantai ruang cuci.
“Gosh, That’s great. You like it
bitch?”
“I-ii-i think so …”. Penis itu masih
tegak mengacung.
Aku berdiri. seolah tidak terjadi
apa-apa, aku memasukkan
cucianku yang sudah kering ke
kantong cucian. Aku beranjak
pergi cepat-cepat.
“Next time, make sure you wear
something sexy when you meet me,
bitch ! See u on Wednesday!”
****
Mas Irawan hampir saja
mengetahui perbuatanku. Sisa
sperma Ty ternyata masih ada
yang menempel. Untung saja aku
cepat berkelit. Kalau saja dia tahu
….
Aku masih memikirkan teriakan Ty
ketika aku keluar. Baju seksi? Aku
selalu menganggap bahwa baju-
baju seksi, apalagi baju dalam, itu
tabu. Pernah pada waktu ulang
tahun perkawinan kami, mas
Irawan memberi aku kado lingerie,
pakaian dalam seksi. Melihatnya
pun aku tak mau. Sama sekali.
Seperti PELACUR!
Sekarang aku ada di depan lemari.
Aku ingat betul dimana mas Irawan
menyimpannya. Pakaian itu masih
terlipat dengan rapi. Aku ragu-
ragu menariknya dari tumpukan
baju. Entah pikiranku sudah gila
atau tidak, aku mulai meloloskan
bajuku satu persatu, untuk
mencoba lingerie hitam itu.
Lingerie itu ketat sekali menempel
di tubuhku. Sepertinya memang
ukurannya satu size lebih kecil.
Dan kemudian aku mengaca. Sambil
berkacak pinggang, aku melihat
tubuhku di cermin. Tak kusangka,
aku menyukainya. Iya, sensasinya
benar-benar luar biasa. Aku
sangat seksi. Bahuku, dadaku,
perutku, pahaku, tampak
sempurna.
Dan keinginanku satu-satunya,
adalah memuaskan orang negro
itu. Bukan suamiku. Aku menantikan
hari Rabu.
—————————-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd