Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

CHAPTER 9



POV Alana



Aku tak tahu, harus bagaimana cara mengungkapkan perasaanku saat ini. Berbagai hal yang telah terjadi hari ini, malam ini. Semua benar-benar di luar kendaliku, apakah ini sudah di takdirkan oleh Allah SWT, bagiku, bagi putraku?

Bagaimana tidak. Pertama, putraku mendadak kambuh penyakitnya, dan bagaimana kami semua sudah benar-benar nyaris putus asa, saat putraku Rafa ingin di operasi oleh dokter Alex yang juga selama ini telah menanganinya sedari ia bayi. Harus menyiapkan darah 2 kantong - golongan darah O+ yang di butuhkan putraku, tapi golongan darah tersebut katanya lagi kosong di rumah sakit ini. Bahkan menurut dokter, golongan darah tersebut memang sangatlah langka.

Hingga, datanglah dewa penyelamangatku dan putraku. Aku hampir tak sadarkan diri tadi, hampir di buat pingsan saat kemunculannya yang secara tiba-tiba. Dia lantas menawarkan diri untuk membantuku mendonorkan darahnya.

Yang bodohnya….

Aku juga sempat menolaknya, tapi pada akhirnya aku pun tak punya pilihan untuk tidak menerima donor darahnya yang sama dengan golongan darah putraku. Tak heran mereka berdua, laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku ini memiliki golongan darah yang sama. Karena memang, lelaki itu adalah ayah biologis Rafa. Cuma, aku tak ingin dia mengetahuinya. Aku tak ingin dia sampai merusak hidupku yang telah ku jalani selama ia pergi begitu saja meninggalkanku.

Aku lega saat ia memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa ada kata terucap.

Tapi, rasa sakit kembali ku rasakan di dalam sana. Entah aku harus bagaimana sekarang. Namun apapun itu, setidaknya aku bersyukur banyak-banyak pada yang maha kuasa, karena memberikan kesempatan buat putraku untuk bisa sembuh dari penyakitnya. Setidaknya begitulah yang di katakan dokter Alex tadi padaku. Pada kami bertiga, kak Risna dan Andi yang masih setia mendampingiku sampai Rafa putraku tersadar.







“Bu Alana” suara Dokter Alex menyadarkanku dari lamunanku. Kami bertiga masih menunggu, masih harap-harap cemas di depan kamar operasi.

“Iya dok.” aku lantas berdiri dan mendekatinya. Andi dan kak Risna ku lihat juga mendekat.

“Rafa sudah sadar.”

“Alhamdulillah ya Allah….” betapa perasaanku benar-benar kembali di terpa kelegaan yang teramat sangat. Begitupun kak Risna maupun Andi.

Tanpa terasa, sepasang mata ini mulai memanas. Mulai menitihkan air mata. Bukan lagi air mata kesedihan, tapi, mungkin inilah caraku mengungkapkan betapa aku bahagia mendengar kabar tersebut. Yang juga terucap dari dokter Alex selaku dokter yang memimpin jalannya operasi putraku tadi. Ku rasakan pelukan kak Risna di pundakku. Mencoba untuk menenangkanku.

“Nah sekarang, kalian… nanti ikut bersama salah satu suster untuk membereskan kamar inap baru buat Rafa”

“Ma… maksud dokter?”

“Kebetulan kamar Rafa akan kami pindahkan, bu Alana.”

Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Apakah putraku akan di downgrade kamarnya dari kamaar yang sebelumnya? Karena tidak mungkin, kamarnya di naikkan dari kamar kelas 2 ke kelas 1 bukan?

“Ibu Alana tak perlu terlalu banyak berfikir. Kita semua sudah lega karena telah melewati masa kritis tadi. Yang ibu Alana lakukan sekarang, dampingi Rafa.”

“Ba… baik dokter. Te… terima kasih atas semua bantuannya selama ini.”

“Sama-sama bu Alana. Biar bagaimana, Rafa sekarang telah menjadi tanggung jawab saya.” Ya! Pastinya. Karena dia adalah dokter anakku. Aku hanya mengangguk meresponnya.



Singkat cerita….

Aku, kak Risna maupun Andi akhirnya mengikuti salah satu suster yang baru saja datang dan mengajak kami untuk melihat kamar inap putraku yang baru.

Kami berempat melangkah bersama menuju ke lift.

“Loh he? Bukannya liftnya di sana ya?” tanya Andi menunjuk ke lift yang memang biasa di gunakan oleh para pengunjung rumah sakit.

“Lift yang kita gunakan bukan lift itu, pak… bu…. tapi lift yang berbeda.”

“Ha? Liftnya emangnya masih ada lagi ya selain itu?”

“Masih pak.”

Benar saja, kami melewati sebuah ruangan office yang berpetak-petak gitu, kemudian melewati dinding yang terbuat dari kaca. Aku sampai sini, masih bertanya-tanya dalam hati. Kenapa harus lewat sini? Beberapa dokter dan suster yang ada di ruang office tadi, yang sempat kami lewati - sempat melihat ke arah kami. Semuanya langsung pada mengangguk. Anggukan mereka - sopan banget ya? Semakin membuatku mulai merasa ada yang tidak beres.

“Kita sudah sampai, pak… bu”

Aku lantas berpandangan dengan Andi, maupun kak Risna. Bagaimana tidak, saat pintu lift terbuka, lift yang ada di depan kami ini sangat berbeda tampilannya dengan lift yang biasa kami gunakan di depan sana.

Lift ini, seperti lift di hotel tempatku bekerja.

Dalamnya pun mewah banget.

“Silahkan pak… bu” suster mempersilahkan kami semua untuk ikut masuk bersamanya.

“Sus… jadinya kamarnya di lantai berapa?” karena sebelumnya, kamar putraku berada di lantai dua, yang memang khusus untuk kamar inap kelas 2 dan 3.

“Di lantai 6 bu.”

“He? Bukannya rumah sakit ini hanya mempunyai 5 lantai?” kini Andi mulai menjawab, sembari melihat denah lengkap rumah sakit yang ada di dinding dalam lift. Dan sepertinya lift ini berada di utara gedung rumah sakit ini.

Aku ikut melihat. Di sana, tentu sudah tertera tulisan detail setiap lantainya. Lantai 1 tentu saja daerah yang clear kamar inap. Ada UGD, ruang operasi bahkan ruang mayat pun ada di lantai satu. Begitu seterusnya, hingga untuk semua kamar inap hanya sampai di lantai 4 saja. Di sana, hanya terdapat kamar VIP semata. Sedangkan di lantai 5 nya, hanya tertulis office. Aku rasa lantai 5 itu adalah lantai buat kantor para petinggi rumah sakit. Termasuk dokter Alex, mungkin.

“Iya betul sus. Hanya sampai lantai 4 saja untuk kamar inap pasien” ungkapku setelah membaca semua tulisan setiap lantainya itu.

Suster itu hanya tersenyum sebelum menjawab, “Bapak dan ibu ikut saya saja. Ini adalah putusan dari dokter Alex selaku Kepala Rumah Sakit untuk memindahkan putra ibu ke kamar sana” Aku semakin di buat bingung olehnya.

“Sus… boleh jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” kini Andi yang bertanya kembali.

Suster sekali lagi hanya senyum. “Maaf pak, bu… jika ingin bertanya lebih detail, sebaiknya ke dokter Alex aja ya. Karena tugas saya hanya mengantar kalian melihat kamar inap buat pasien yang baru.”

“Sudahlah al. Ndi. Kita ikutin saja” kak Risna akhirnya menengahi. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, dan kemudian aku pun kembali diam saja tanpa bertanya lagi pada suster itu.

Memang benar-benar aneh. Coba bayangkan, di dinding sudah jelas-jelas tertera hanya 5 lantai. Belum lagi di tombol depan kami ini, hanya terdapat 5 tombol saja. itu artinya memang hanya sampai 5 tingkat saja rumah sakit ini, bukan?

Aku menatap terus ke layar tombol yang bergantian menyala setiap lantainya. Hingga saat lampu indikator paling atas, menyala, menunjukkan angka 5, aku pikir lift akan terbuka. Namun nyatanya aku salah. Sampai lampu indikator itu mati, lift tetap berjalan ke atas.

Tak begitu lama lift pun pada akhirnya berhenti.

“Kita sudah sampai pak… bu” begitu ujar suster.

Pintu lift pun terbuka.

Begitu kami keluar, kami langsung mendapati ruangan yang di kelilingi oleh kaca. Dan tak jauh dari kami berdiri, hanya terdapat 1 pintu saja. “Kamarnya di sana”

Ha? Aku semakin di buat penasaran, serta ada perasaan yang was-was di dalam sana. Kenapa putraku di inapkan di lantai ini? Ini sama seperti lantai tertinggi di hotel tempatku bekerja yang dimana, di lantai itu hanya terdapat 1 jenis kamar. Yaitu presidential suite room yang harga permalamnya melebihi gajiku perbulan. Bahkan 2 kali lipat dari gajiku.

Aku segera menghentikan langkahku. Mereka bertiga langsung menoleh.

“Ada apa bu Alana?” tanya suster.

“Suster tidak salah kamar kan?” begitu tanyaku.

“Tidak ibu. Masa saya salah” balasnya, sembari melempar senyum.

“Kamu kenapa si al? Udah lah, kita ikuti saja.”

“Kak… ini sepertinya kamar type tertinggi di rumah sakit ini”

Mendengar itu, si suster malah langsung nyeletuk. “Kami tidak membuka untuk umum kamar ini, bu Alana”

Nah kan? Semakin membuat perasaanku semakin khawatir di dalam sana.

“Tidak sus…. saya harus segera bertanya ke dokter Alex. Sepertinya beliau salah memberikan kamar buat putraku”

“Bu Alana. Saya masih makan gaji di rumah sakit ini, bu. Kalo saya salah, yang menerima konsekuensinya saya sendiri. Jadi, jika ibu masih bersikap seperti ini, apa ibu tidak kasian bagaimana nasib saya nanti?”

“Eh kamu bakal di marahin ya?”

Suster itu hanya senyum. “Yuk pak… bu”

“Udah al… kita ikutin saja” kini Andi yang membuka suara. Akhirnya mau tidak mau aku pun mengangguk.

Kami kembali melangkah bersama menuju ke pintu ruangan satu-satunya di lantai ini. Benar-benar aneh. Aku kembali membatin. Apalagi pintunya nyaris sama seperti pintu kamar hotel.

Begitu pintu kamar di buka.

Nahhh kan, apa juga yang aku bilang tadi. Ini sih, bukan kamar inap. Ini mah kamar hotel type presidential suite.

Betul. Kamar ini terdapat beberapa ruangan lagi di dalamnya. Aku tak perlu mendeksripsikannya, karena nyaris sama dengan type kamar yang ku maksudkan sejak tadi. Belum lagi di dalamnya, sudah sangat lengkap fasilitasnya.

“Sus… ini apa-apaan sih sus?” aku lantas mundur selangkah. Agak ragu untuk melangkah masuk.

“Bu Alana. Tugas saya hanya menerima perintah. Silahkan bapak dan ibu beres-beres di dalam, saya tinggal ya pak bu”

“Eh sus?” suster itu tak lagi merespon ku. Wanita itu malah langsung pergi begitu saja meninggalkan kami bertiga di sini.

“Al…. kamarnya gedeeeeeee pisaaaaaaan” begitu ujar kak Risna yang sempat masuk ke dalam.

“Kak… ihhh, apa kakak tidak merasa aneh?”

“Sama al. Aku juga merasa ada yang aneh. Lalu ini, mengapa Rafa di pindahkan ke kamar kayak gini?” Andi menyahut.

“Biarin aja al. Ini namanya anugerah. Mungkin saja dokter Alex yang merasa kasihan ama kita, akhirnya pindahin Rafa ke kamar ini”

“Gak kak…. aku tidak bisa menerimanya. Aku harus segera bertemu dengan dokter Alex sekarang juga.”

“Hmm… ya sudah al. Aku juga sepemikiran denganmu.” Andi membalas.

“Kakak dan Andi tunggu di sini, biar aku yang menemui dokter Alex sekarang”

“Okelah kalo gitu”


-----00000-----​



POV Dokter Alex



Aku merentangkan kedua tanganku ke atas, karena semua kerjaanku sudah beres. Termasuk pekerjaan yang special titipan dari Arka, selaku pemilik rumah sakit ini.

Baru juga ingin menghempaskan tubuhku di sofa dalam ruangan, ponselku berdering.

“Hmm…” sepertinya, telfon darinya akan sering aku terima setelah ini. Aku hanya bisa senyum, apalagi memikirkan apa yang bakal terjadi selanjutnya.

“Ya Arkana. Semua sudah beres. Mereka juga sedang di antar suster untuk melihat kamar anda”

“Baguslah… hanya itu yang ingin saya tanyakan.”

“Hanya itu?”

“Iya”

“Apakah kamu yakin, ibu Alana tidak akan menaruh curiga? Apakah kamu yakin, dia tidak akan menolak fasilitas yang kami berikan padanya, pada pewaris Sandjaja grup?”

“Itu urusan anda dok. Saya tidak mahu tahu. Intinya saya tidak mau mendengar, jika putra saya, di inapkan di ruangan lain. Titik. Mengerti kan maksud saya?”

Aku hanya bisa menghela nafas.

“Kalo begitu, berarti anda menyerahkan semua pada saya, bukan? Apapun alasan yang kan ku berikan pada ibu Alana, agar dia tetap mau menerima fasilitas dari rumah sakit, kamu tidak akan keberatan, bukan?”

“Ya, asalkan… jangan mengatakan yang satu itu, yang telah kita bahas sebelumnya”

“Ya… identitasmu akan tetap saya jaga. Serta, informasi mengenai anda yang telah mengetahui tentang anak itu, pun akan saya keep sampai anda yang menyuruh saya membukanya”

“Bagus dok. Kalo selain itu, silahkan…. saya tidak akan keberatan”

“Oke…. kalo begitu”

“Baiklah. Saya tutup dulu, kebetulan ada telfon masuk dari Devita”

“Oke”



Baru saja ku letakkan ponselku, tiba-tiba pintu ruanganku terketuk dari luar.

“Masuk”

Sekertaris pribadiku baru saja membuka pintu ruanganku yang berada di lantai 5.

“Permisi dokter Alex. Ibu Alana ingin bertemu dengan anda” sudah sesuai dugaanku. Bahkan lebih cepat dari yang ku prediksi.

“Suruh dia masuk” balasku.

“Baik dok”

Wanita cantik, yang memiliki mata kebiruan itu, serta kepalanya tertutupkan hijab berwarna abu-abu mulai masuk ke dalam ruangan. Ekspresinya sudah jelas menunjukkan betapa ia sangat ingin mendapatkan jawaban dari apa yang tengah terjadi saat ini.

“Tinggalkan saya berdua dengannya, Mel” ujarku pada sekertarisku yang baru saja mengantar Alana masuk ke dalam ruangan.

“Baik dok”

Pintu ruangan tertutup.

Wanita berkerudung abu-abu itu, tampak menunduk. Aku melempar senyum padanya. “Silahkan duduk, ibu Alana…”

“Ba… baik dok” balasnya, tampak masih gugup.

“Santai saja, hehe, saya paham apa tujuan ibu datang kemari.”

Alana lantas menarik nafas dalam-dalam, “Duduklah… akan saya jelaskan apapun yang ingin anda tanyakan sekarang”

Aku lantas meraih ponselku. Aku mengetikkan di room chat kepada Melinda sekertarisku di depan. Tentu saja, Melinda ini paham betul apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana situasi yang menganehkan ini tercipta karena campur tangan dari sang owner.

“Silahkan duduk. Kenapa ibu masih berdiri”

“Eh… iya dok” Alana akhirnya duduk di sofa di hadapanku.

“Bentar ya, saya hubungi sekertaris saya dulu untuk membuat minuman”

“Eh… gak per-” belum juga wanita itu menyelesaikan ucapannya, aku menyela dengan cepat.

“Hanya secangkir teh, tidak merepotkan kami, kok bu” tanpa melihat ke arahnya, aku menyela ucapannya barusan. Sedangkan mata dan jari-jariku hanya fokus pada ponseku saat ini. “Bentar ya bu”

“Mel… saya butuh bantuanmu sekarang juga, buatkan saya draft kontrak LF dengan RS mengenai pembiayaan asuransi bla… bla…”

Setelah mendapatkan balasan “beres, dok” dari Melinda, ku letakkan kembali ponselku di atas meja.

“Jadi bagaimana ibu Alana? Ada yang bisa saya bantu?”

Akhirnya, wanita cantik itu menjelaskan mengapa kamar anaknya di pindahkan, dan lagi, satu. Kenapa kamar yang sekarang tidak sesuai yang ia inginkan? Ya! Aku paham apa yang di maksudkan itu.

“Tunggu ya bu, sampai sekertaris saya tiba” begitu ujarku. “Saya janji, saya akan menjawab semua pertanyaan dari ibu”

“Ba… baik dok.”

Tak begitu lama, pintu di ketuk dari luar.

“Masuk Mel”

Benar saja, sekertarisku telah selesai menyelesaikan dengan cepat permintaanku tadi.

“Ini dok… kontraknya sudah selesai”

“Eh dok… ko… kontrak apa?” Alana semakin panik. Wajahnya mengisyaratkan jika dia benar-benar di landa kekhawatiran yang begitu besar.

“Baik Mel. Silahkan tinggalkan kami berdua lagi”

“Baik dok”

Melinda kembali keluar.

“Baiklah. Jadi begini, kebetulan… Rumah Sakit saya ini tengah membuat sebuah program baru bersama salah satu perusahaan investment. Pihak perusahaan menginginkan membantu membiayai biaya rumah sakit pada pasien anak yang berusia di bawah 5 tahun, yang mengidap penyakit jantung. Pihak perusahaan ingin melakukan trial di awal dulu dengan 1 pasien. Nah, untungnya, anda dan putra anda di beri berkat oleh tuhan. Ternyata saat saya mengajukan ke pihak donatuur, mereka menyetujui untuk memberikan fasilitas tersebut buat putra anda…. lebih detailnya, anda bisa membaca ini semua” ku sodorkan map berisikan beberapa lembar kertas di dalamnya, yang tadi telah di kerjakan oleh Melinda.

Ku biarkan Alana membacanya terlebih dahulu. Tanpa ia sadari, aku tersenyum, sambil membatin. ‘Saya tidak sabar, menanti kelanjutan drama yang akan kalian lakoni nanti. Hahahaha! Maafkan saya Arkana. Ini demi kebaikanmu juga, dek!’

Setelah Alana membaca, dia menatapku. “Jadi maksud dokter… kami akan di bebaskan biaya rumah sakit?”

“Ya… begitulah ibu Alana. Berbahagialah. Ini semua berkat dari tuhan”

“Ya Allah…. apa… apakah ini nyata dok?”

“Sangat nyata ibu Alana.” maafkan saya, Alana. Maafkan saya. Aku membatin selanjutnya. Ini demi kebaikan Rafa, tidak lebih.

“Te… terus masalah bi… biaya operasi yang kata dokter 3 bulan lalu, berkisar 150jutaan, ba… bagaimana?”

“Sudah beres.” balasku sembari tetap menunjukkan senyum tulusku padanya.

“Tugas ibu saat ini, menjaga Rafa. Hanya itu saja, tak perlu lagi memikirkan masalah biaya. Semuanya telah kami gratiskan” Wanita cantik itu lantas meneteskan air matanya. Dia tampak begitu sangat bahagia, dan masih secuil rasa ketidakpercayaannya yang begitu jelas juga di wajahnya itu. Mungkin dia berfikir, mengapa semua bisa jadi semudah ini?

“Dok… apakah aku bisa ketemu dengan donaturnya? Aku…. kami ingin sekali mengucapkan rasa terima kasih kami karena-”

Aku menyela. “Bisa…. di berkas itu, tinggal ibu tanda tangani. Dan ibu bisa menemui pimpinan perusahaan tersebut. Tuh, kan sudah tertera jelas nama perusahaan dan juga alamat perusahaannya, bukan?”

Alana mengangguk.

“Iya dok… Lana Finance kan?”

“Ya… betul sekali.”

“Dok… bo… boleh nanya lagi?”

“Silahkan?”

“Nanti aku harus bertemu dengan siapa disana?”

Waduh. Aku belum menyiapkan skenario lanjutannya. Tapi, aku tentu tak kehabisan akal. “Temuilah pimpinan tertinggi mereka di sana. Bilang saja, dokter Alex yang menyuruh ibu untuk bertemu dengan pemimpin perusahaan”

“Baik dok… baik. Terima kasih sekali lagi” wanita itu mengulurkan tangannya. Dan dia sampai tertunduk-tunduk terharu saat kami bersalaman.

“Jika sudah tak ada lagi, silahkan kembali ke ruangan Rafa, bu. Tuh, sepertinya anak ibu sudah di bawah ke ruangan sana” sembari ku tunjukkan pesan masuk dari salah satu dokter rumah sakit yang baru saja masuk di ponselku yang mengatakan jika pasien telah di bawa ke kamar.

“Baik dok… baik. Aku janji, aku pasti akan datang dan menemui pimpinan Lana Finance untuk mengucapkan terima kasih kami pada mereka”

“Ya… silahkan.” bahkan saya berharap memang anda akan melakukannya dengan cepat. Alana.

“Terima kasih dokter Alex. Kalo begitu aku permisi dulu.”

“Silahkan”

Akhirnya ku antar wanita cantik itu keluar dari ruanganku, bahkan aku sempat memanggil suster yang tadi bersamanya untuk kembali mengantarnya ke ruangan atas.


-----00000-----​



POV Erga



Pfhhhh….

Aku baru saja melakukan call conference bersama beberapa pemimpin anak perusahaan mengenai pencapaian mereka sampai saat ini.

Bukannya yang harusnya melakukan ini semua, si Arka ya? Hadeh!

Ah iya, kemana anak itu ya? Kenapa tiga hari ini gak ngasih kabar? Wait, aku harus menelfonnya sekarang juga.

Tak butuh lama, telfonku di respon.

“Lo tiga hari ini kabur kemana?”

“Setelah tiga hari kita tidak mengobrol, hanya itu yang ingin kamu tanyakan, Erga?”

“Yaelah, trus apa yang mesti gue tanya bro?”

“Gak apa-apa, hanya bercanda saja”

“Lo dimana sekarang?”

“Hmm, ada di rumah… kenapa?”

“Seorang owner perusahaan, bukannya sibuk memikirkan jalannya perusahaan, ini elu malah bersantai ria di rumah”

“Buat apa ada kamu, kan?”

“Iya… iya. Gue adalah CEO nya. Gue adalah presiden direktur LF dan Sandjaja Grup regional Indonesia. Puas!”

“Hahaha, tuh sudah tahu, mengapa nanya?”

“Anjir, tumbenan lo ketawa?”

“Gak masalah, senang aja saya mengerjaimu, kawan”





Tiba-tiba telfon di mejaku berdering.



“Sepertinya kamu harus sibuk lagi, kawan… ya sudah, saya tutup. Sempatkan makan malam bareng nanti malam”

“Nah gitu dong. Oke…. gue tunggu kabar lo”

“Gak perlu. Saya yang akan datang ke appartemen kamu, Erga”

“Biji… itu mah bukan ajakan makan malam, emang udah kebiasaan lo selama ini.”

“Ya sudah. Sampai bertemu nanti malam”

“Serah dah”

Setelah memutuskan sambungan telfon dengan sahabatku itu, aku meletakkan ponselku di atas meja, dan seger menjawab telfon yang masuk barusan.

“Bos…. ada tamu, yang sedang ingin bertemu”

“He? Sudah buat janji ama gue, gak Bert? Karena seinget gue, gue lagi gak ada temu janji sama siapapun hari ini” Rupanya Robert yang berada di luar ruangan menelfonku.

“Kata bagian frontline di bawah, dia belum buat janji…. tapi-”

“Ya udah, suruh buat janji dulu”

“Tapi… dia membawa serta nama Dokter Alex, bos!”

“He?”

“Bagaimana bos?”

“Sambungkan telfon gue ke bawah”

“Sip bos.”

Tak lama, telfon pun tersambung dengan anak resepsionis di lantai dasar.

“Halo ada yang mencariku di bawah?”

“Pagi pak Erga. Kebetulan, tamunya sedang menunggu di bawah.”

“Hmm, tamunya cewek atau cowok?”

“Perempuan pak”

“Ciri-cirinya?”

“Ciri-ciri bagaimana maksud bapak?”

“Ciri-ciri. Botak, gondrong, atau apalah”

“Hehe bapak…. ibunya berjilbab pak”

“He?”

Sejak kapan aku buat janji sama perempuan berhijab?

“Tanyakan namanya siapa”

“Katanya ibunya bernama Alana, pak… jadi bagaimana? Katanya dia di suruh dokter Alex buat menemui bapak” Hadeh! Padahal dokter Alex tidak ada urusan secara langsung denganku.

“Ya sudah, antarkan dia menemuiku di ruangan.”

“Baik pak Erga. Terima kasih!”

Hmm….

Alana?

Who is she?​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd