Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

semoga karya sebagus ini, tidak dilirik oleh tetangga sebelah dan tiba2 harus berbayar, semoga sampe tamat disini ya suhu, soalnya jarang nemu karya drama sebagus ini di forum, yang alurnya emang mengalir, ga langsung main exe .....
 
CHAPTER 15





POV Erga



“Darimana aja lo? Tumben baru keliatan hari ini?” hari ini tiba-tiba aku di kejutkan oleh sosok ‘dia’, yang adalah sahabatku, pemilik perusahaan tempatku bekerja, hadir tanpa memberitahukanku terlebih dahulu di ruangan kerjaku.

Aku saat ini sedang berdiskusi dengan Amisya mengenai beberapa plan yang akan ku kerjakan bersamanya.

“Eh kak Arkana…. ups maaf, bos Arkana” Amisya ikut terkejut atas kehadiran sosok tersebut, sehingga membuatnya agak terlihat gugup.

“Apakah saya mengganggu?” belum juga ku balas, dia melanjutkan, “Sepertinya tidak….”

“Ya memang tidak….” balasku. “Btw, gimana bro?”

“Gak bagaimana-bagaimana, cuma pengen mengunjungi sahabat saya saja, tidak lebih” balasnya, di iringi gerakannya yang sedang duduk di sofa dalam ruanganku, berjarak 2 meteran dari meja kerjaku.

Aku lantas beranjak, di ikuti Amisya, mendekat padanya. Kami berdua lantas duduk di sofa, tapi tidak nyatu dengan Arkana. Terdapat sofa 4 biji di ruangan ini, satu yang panjang yang tengah di tempati pria itu, tiganya lagi berbentuk lebih kecil, hanya berukuran satu orang saja.

“Masa cuma Pak Erga aja yang di cari, terus adik sendiri gak di cari gitu?” ujar Amisya. Arkana hanya melempar senyum pada wanita itu. Wanita yang seharusnya menjadi kekasihnya sampai saat ini, seharusnya pula mereka sudah menikah, jika mengikuti pikiranku, tebakanku kala aku belum bertemu dengan wanita cantik ini di singapura. Namun nyatanya, seperti yang pernah ku ceritakan. Itu tak terjadi. Arkana dan Amisya, hubungannya memang dekat, hanya sebatas - seperti adik dan kakak. Tapi, tidak sampai ke hubungan kasmaran. Bahkan sahabatku ini malah merelakan Amisya dekat denganku.

“Bukannya kamu setiap saat menelfon saya, jadi saya tidak perlu mencari kamu….”

“Kejamnya engkau kakakku sayang” balas Amisya sambil mencemberutkan wajah cantiknya itu. Arkana hanya meresponnya dengan senyum yang begitu tanggung.

“Tunggu…. kalian sering telfon-telfonan di belakang gue gitu?” aku menatap mereka bergantian.

“Kenapa…. cemburu?” tanya Arkana tiba-tiba. Aku lantas tertawa padanya.

“Hahahaha kagak. Karena gue yakin, lo gak bakal pernah tertarik ma dia”

“Ihhh apaan sih Pak Erga. Lagian masa iya sih, kakak sendiri mau tertarik ama adiknya.” cetus Amisya sembari masih saja memasang wajah cemberut ke kami. Lebih tepatnya sih, ke Arkana.

“Tuh, udah di jawab. Jadi saya gak perlu memperjelasnya lagi” balas Arkana kembali.

“Baiklah….” pria itu kemudian menunjukkan sikap yang kembali seperti semua.

Serius, tanpa santai. Gila gak. Hahahaha.

“Sudah bisa di tebak, kedatangan lo ke sini pasti lagi ada sesuatu yang serius. Hahaha”

“Oke back to topic” dia tidak merespon candaanku.

Aku dan Amisya lantas bersitatap. Dasar sahabat ku ini, begininlah dia, tanpa basa-basi, tanpa mau memikirkan perasaan orang lain. Tapi aku sudah terbiasa akan hal itu, jadi aku tak bakal mungkin memasukkannya dalam hati.

“Yes…. silahkan lanjut, bro”

“Jadi begini, saya hanya ingin menanyakan pada kalian satu hal…. menurut kalian bagaimana jika saya menambah role bisnis kita dengan bermain di segmen hotel? Seingat saya sejak awal, kita tak pernah mengambil alih satu hotelpun, bukan?”

Menarik. Hanya itu yang lantas tercetus di kepala saat mendengar sahabatku ini ingin melakukan pemekaran bisnisnya di bidang perhotelan, karena memang, segmen tersebut sama sekali tak pernah kami sentuh. Jangankan sentuh, bahkan kami dulunya sangat tidak tertarik untuk bermain kesana. Cuma, di jaman sekarang sepertinya memang hotel memiliki peluang menghasilkan profit lebih cepat dari bisnis lainnya. Sama seperti yang ku utarakan padanya di pertemuan kala itu, waktu ia datang berkunjung ke appartemenku. Sepertinya hal ini sempat ku ceritakan pada kalian.

Diskusi pun berlanjut. Banyak hal yang kami bicarakan, salah satunya, akan kemana langkah kami tertuju. Atau, hotel mana yang rencananya akan kami targetnya, cuma sejauh diskusi yang terjadi, Arkana sama sekali belum menyebutkan hotel target pertamanya untuk melakukan akuisisi. Karena setahuku, Hotel-hotel terkenal di ibu kota, ownernya juga pada kuat.

Tapi, entahlah….

Yang ku ketahui, sahabatku ini memiliki segudang cara buat mengambil alih sebuah perusahaan, setidaknya sampai sejauh ini, dia tidak pernah bertemu dengan yang namanya kegagalan.







Diskusi selesai.

Amisya pun telah berpamitan pada kami, karena ingin melanjutkan pekerjaannya. Aku kini hanya berdua dengan Arkana.

Dia duduk di depanku. Sudah berganti posisi, awalnya duduknya di sofa, namun kini telah duduk di meja kerjaku. Aku sendiri sambil membuka kembali laptop, mulai melanjutkan apa yang seharusnya ku lanjutkan, sedangkan pria di hadapanku ini, hanya sibuk dengan smartphonenya saja.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Oh iya”

Arkana masih belum teralihkan.

“Dua hari yang lalu, si Alex buat masalah tuh” dan berhasil. Perhatiannya teralihkan, dan kini, pria itu menatapku.

Tanpa membuka ruang yang banyak di kepala sahabatku, maka aku pun menceritakan semua yang terjadi dua hari yang lalu. Kejadian dimana Alex mengerjaiku dengan mengirimkan wanita cantik berkerudung ke kantor, yang ku yakini adalah wanita yang Alex sukai.

Semua ku ceritakan tanpa ada yang ku tutup-tutupi.

Dan tanggapan sahabatku?

Dia hanya menggidik bahunya, seraya berucap, “Itu urusan kalian, tak perlu saya turut campur.”

“Ye… lagian gue juga gak sepicik itu kale, nyuruh elu buat negur dia.”

“Oh saya pikir kamu ingin menyuruh saya menegurnya”

“Nope bro.”

Arkana kembali fokus pada ponselnya.

“Tapi ceweknya cakep loh bro. Sumpah…. gila si Alex, udah punya bini masa iya masih pengen nyari cem-ceman lagi sih”

Arkana masih tak bergeming. Masih fokus pada ponselnya.

“Tapi gue jadi tertantang euy. Kali aja, gue bisa nyalip dia buat lebih dulu dapetin tuh cewek. Mana cantiknya kebangetan, bro” Oke….. fokusnya mulai teralihkan. Aku juga menebak-nebak, apa yang di pikirkan sahabatku ini, tapi aku jadi lebih tertarik untuk mengalihkan kesibukannya padaku. Sesibuk apa sih elu, bro?

“Apalagi nomor tuh cewek udah gue save” sambil melanjutkan, sambil ku pasang wajah menyeringai di hadapannya, meski ini hanya candaan, cuma aku hanya ingin melihat bagaimana respon sahabatku. Tentu saja ini ada kaitannya dengan Amisya, setidaknya itu yang ku pikirkan, karena dia sudah menganggap hubunganku dengan Amisya sangatlah serius. Padahal yang tak ia ketahui, kami berdua, aku dan Amisya sama-sama masih belum ada kata terucap untuk melanjutkan hubungan kami ini ke jenjang serius. Masih betah dengan status partner Seks semata. Tidak lebih. “Dan gue bakal mencoba buat deketin calon cemceman si Alex itu”

Ternyata berhasil. Yeah! Akhirnya perkataanku bisa membuatmu tertarik juga kawan.

“Apa tidak ada pekerjaan yang lebih penting, daripada melakukan itu semua?”

Aku menatapnya.

Kemudian aku menggeleng. “Nope.”

Sahabatku menatapku. Tajam. Tapi aku tak berhenti, ingin mengerjainya saja. Tidak lebih. “Bukankah kerjaan gue juga selama ini gak ada yang gak selesai? Bukankah selama ini, kerjaan gue juga aman-aman saja?” Skak mat lo, bro. Lagian, apa sih yang lagi lo pikirin? Apa iya, lo mau bantuin si Alex buat dapetin tuh cewek?

Menit berikutnya, setelah ia menatapku. Gesturenya menunjukkan jika ia males untuk berdebat denganku. Kemudian dia kembali bersandar dan tatapannya mulai kembali ke layar ponselnya.

“Sebaiknya, pikirkan Amisya.” dia bergumam.

“Hahahaha, jadi lo pikir gue serius tadi, hu?”

“Tidak. Saya hanya merasa kasihan saja ke Amisya, tidak lebih”

“Tenang bro. Masa iya lo gak paham gue sih, mana yang gue anggep serius mana yang kagak sih”

“Oh syukurlah” balasnya. Tapi, dia tak bisa menutupi kelegaannya. Tampak jelas dari caranya menghela nafas.

Fix! Gue memang sudah menduga, jika dia benar-benar mengkhawatirkan Amisya. Wanita yang telah ia anggap sebagai adik. Meski, tak pernah sama sekali ia tunjukkan perhatian dan kasih sayangnya ke wanita itu. Arkana yang gue kenal saat ini, tak ada bedanya dengan Arkana yang dulu. Tak pernah berubah, hanya saja, waktu aku absen di sisinya, dia sempat berubah, mungkin saja karena si Amisya palsu itu kali ya, yang sampai sekarang keberadaannya tak ku ketahui. Jangankan keberadaannya, sosoknya, siapa dia, pun sama sekali tak ku ketahui.

Setelah kami kembali mengobrol ringan akhirnya sahabatku pun pergi begitu saja tanpa pamitan sama sekali. Sekali lagi, sudah biasa dia seperti itu. Jadi tak perlu heran.


-----00000-----​





POV 3rd



Alana akhirnya mau tak mau kembali menitipkan putranya ke Risna di rumah sakit, buat menjaga, buat mengganti tugasnya. Karena ia hanya mendapatkan cuti 2 hari saja dari pekerjaannya.

Selama dua hari ini. Alana di buat bingung. Kenapa, hanya hari pertama saja sosok yang sampai sekarang sulit ia lenyapkan dari pikirannya muncul. Tapi itu hanya sekali, selanjutnya dia tak pernah lagi muncul di hadapannya. Apakah lelaki itu sudah mengalah?

Apakah lelaki itu sudah benar-benar memutuskan untuk tidak mengganggu hidup Alana dan putranya lagi?

Entahlah. Alana tidak mau mengambil pusing. Alana hanya ingin fokus bekerja, serta fokus ke proses penyembuhan putranya. Lantas mengenai biaya buat putranya selama di Rumah sakit, yang di tanggung oleh sosok itu, apa yang akan di lakukan Alana selanjutnya? Sekali lagi, dia tak bisa berfikir terlalu jauh. Toh! Memang sudah seharusnya sosok itu menanggung biaya tersebut. Kan, sosok itu adalah ayah kandungnya, bukan?







Sehari telah berlalu kembali.

Dua hari….

Tiga hari….

Bahkan genap seminggu, sosok itu tak lagi menunjukkan dirinya di hadapan Alana. Itulah yang membuat pikiran Alana semakin tak karuan rasanya.

Kenapa dia menghilang begitu saja?

Apakah lelaki itu benar-benar pergi lagi? Dan apakah lelaki itu tak akan pernah kembali? Berbagai pertanyaan mulai memenuhi pikirannya.

Hari ini. Alana bersama Dewi sahabatnya sedang makan siang, mengambil waktu sejam buat istirahat.

“Al…”

“Hmm…” mereka terlibat obrolan, sambil menikmati makan siang.

“Lo udah denger gak, kalo hotel kita bakal berpindah manajemen?” ujar Dewi.

“He? Bukannya hotel kita baik-baik saja?”

“Katanya sih, ada perusahaan investmen gitu yang sudah membeli Hotel kita.”

Mendengar kata ‘Investmen’, Alana jadi teringat kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang membuatnya malu, membuatnya nyaris putus asa, yang rupanya, semua ini kerjaan si Arkana. Sosok yang juga masih memenuhi pikirannya.

Apakah perusahaan LF ada hubungannya dengan Arkana?

‘Ahh gak mungkin. Gak mungkin dia sekaya itu. Kalo hanya menanggung biaya rumah sakit putraku, aku rasa Andi juga bisa melakukannya. Jadi mungkin saja, pria itu memang sedang ada tabungan makanya dia bisa membayar semuanya. Mengenai dokter Alex? Tentu saja, dengan pembawaan dokter Alex seperti itu, mudah dekat dan akrab dengan orang lain, jadi bukan hal yang aneh jika Arkana pun akrab dengannya. Lalu, hubungan dengan LF, mungkin itu akal-akalan dokter Alex saja yang tak ingin - awalnya - informasi Arkana ingin ia sembunyikan dariku.’ Begtiu Alana membatin.

“Ohh, ya gak apa-apa Wi. Toh, gak ada hubungannya dengan kita kan? Apalagi kita hanya pegawe rendahan kayak gini” balas Alana atas ucapan Dewi tadi.

Masih mengobrol berdua, mencoba untuk tak menghiraukan pegawai lain yang berada di sekitanya. Tiba-tiba saja, salah satu manajemen di bagian frontline muncul di tempat makan pegawai ini.

“Eh eh… kalian semua, cepat makannya. Kita kedatangan tamu yang penting hari ini”

Alana mengernyit.

“Bu. Bukannya kalo cuma tamu, gak perlu sampai kayak gini?” itu tanya salah satu resepsionis yang juga sedang beristirahat makan.

“Masalahnya yang datang ke sini, pemilik baru hotel kita loh. Ayo…. ayo, buruan makannya, biar kita bisa kenalan dengan owner kita yang baru. Apalagi katanya dia sedang ingin melakukan kunjungan di semua segmen hotel”

Alana dan Dewi yang mendengarnya hanya saling bersitatap. Kemudian menghela nafas sepanjang mungkin. Toh! Kan seharusnya mereka berdua tak perlu sampai harus ikut sama tim frontline kan? Toh, mereka hanya bagian dari tim Resto dan Lounge aja.

Singkat cerita.

Satu persatu karyawan mulai meninggalkan kantin makan itu. Tersisa Alana dan Dewi.

“Ya udah aja lah, al. Daripada kita nanti kena tegur lama-lama di sini”

Alana hanya mengangguk saja.

Keduanya pun ikutan membereskan makan mereka, dan segera setelahnya, memutuskan untuk kembali ke pos kerja masing-masing.




-----00000-----​





POV Alana



Semua orang mulai menyibukkan diri masing-masing. Karena aku tahu mereka sedang ingin mencari muka sama pemilik Hotel ini yang baru. Setidaknya begitulah yang ku ketahui, informasi yang di berikan Dewi sahabatku.

Aku sendiri hanya bekerja sesuai porsiku saja. Tidak perlu seberlebihan itu.



Hingga….



Aku membelalak, saat melihat beberapa orang yang berjalan ke arah Lounge tempatku bertugas saat ini. Satu persatu karyawan hotel sempat menundukkan badannya, memberi hormat pada para pria berjas itu yang berjalan kemari.

Dari para pria yang berjas dan berjalan kemari, satu sosok yang lantas membuatku nyaris menyembunyikan diri, bersembunyi darinya. Cuma, mau gimana lagi, dia juga sudah sempat melihatku.

Aduh Alana.

Kalem aja. Jangan buat masalah. Karena sepertinya sosok itu, adalah sosok yang telah menjadi pemilik hotel tempatku bekerja. Apalagi kalo di liat dari perusahaannya yang bergerak di bidang investmen. Aku yakin dia telah mengakuisisi hotel kami ini.

“Akhirnya… kita bertemu lagi, Alana”

Aku menahan nafas. Sosok yang kelihatan paling menonjol dari pria yang bersamanya itu, tiba-tiba menegurku. Tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku.

“Eh I… iya pak” balasku. “Pa… pak Erga”

Ya! Pria itu adalah Pak Erga. Pria yang ku temui di kantor LF, pria yang menjadi pemimpin alias pemilik perusahaan LF sesuai informasi - yang juga ku terima kala itu, waktu ingin kesana, waktu niatnya ingin berterima kasih pada mereka yang sudah membantu putraku, meski hasilnya ternyata salah.

“Pak Erga kenal ama Alana?” tiba-tiba, Pak Agung - GM hotel yang sangat terkenal mesumnya, menyela.

“Hmm, kenal banget sih tidak. Cuma kebetulan kami pernah bertemu di kantor” balas Pak Erga. Aku bernafas lega, setidaknya Pak Erga tidak mempermalukanku saat ini, tidak menyinggung masalah kami - lebih tepatnya masalahku yang salah sasaran. “Iya kan Alana?”

“I… iya pak.” aku mengangguk sopan padanya.

Semoga saja, ke depannya, tak ada masalah yang berarti bagiku. Dengan hadirnya pria itu di sini, apalagi yang sudah jelas terjadi jika pria itu yang kini menjadi pemilik hotel.

“Oh kirain. Hehehe!” balas Pak Agung.

Pak Erga lantas menoleh dan menatapnya. “Kirain apa?”

“Gak apa-apa pak. Gak apa-apa. Karena Alana ini… hmm, salah satu pegawe tercantik di hotel kita juga.” balas Pak Agung. Apa-apaan sih dia?

Padahal menurutku, aku tak cantik. Masih banyak pegawai lainnya yang cantik dan seksi. Mengapa justru dia mengatakan hal yang memalukan seperti itu, mana di hadapan owner.

“Oh iya? Ternyata mata anda juga tidak katarak, bro” tiba-tiba Pak Erga menepuk bahu pak Agung. “memang… Alana ini cantiknya masya Allah”

Duhhh! Pengen banget teriak pada mereka lelaki hidung belang ini, buat menjauh dariku.

“Dia hmmm…. janda loh Pak Erga”

“Oh ya?”

Aku semakin menunduk.



Huhuhuhu! Ka…. ini gara-gara kamu.

Gara-gara kamu, aku akhirnya sengsara seperti ini. Semua orang menganggapku janda, padahal jelas-jelas aku belum pernah sama sekali menikah. Ka…. apakah kamu tidak ada niat untuk berusaha memperbaiki ini semua?

“Benarkah itu, Alana? Karena setahuku, hari itu, kamu datang ke kantorku karena masalah anak kamu bukan?” aku mengangguk pelan.

“Ohh, begitu rupanya.” sekali lagi pak Erga menyahut.

“Bisa di kondisikan, bos” gumam Pak Agung.

Aku hanya bisa diam saja, mencoba untuk tabah dan ikhlas karena kedua lelaki ini, baru saja melihatku dengan mata sebelah, meremehkanku. Menganggapku wanita gampangan.

Setelah itu, mereka semua pun mulai melangkah pergi.

Tanpa sengaja, ku alihkan pandanganku ke mereka. Tiba-tiba saja pak Agung, GM mesum itu ikut menoleh dan kini kami saling bersitatap.

Dia tampak baru saja menyeringai.

Fiuhhh…. Pak Hendra telah pergi dari hotel. Owner kami yang selalu menjadi pelindung kami dari kemesuman Pak Agung, benar-benar sudah lepas tangan, benar-benar dengan tega menghadirkan seorang pria mesum lagi yang posisinya seharusnya melindungi - malah yang ada, dia tak ada bedanya dengan Pak Agung ini.

Rasa-rasanya aku ingin resign saja secepatnya. Tapi kan, aku belum dapat panggilan dari perusahaan yang di refrensikan oleh temannya Andi kala itu.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd