Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Alana

Chapter 17
Bagian 2



POV Alana


Masih bersamanya di dalam mobil.

Tak begitu jauh berjalan, pria itu menoleh sembari bertanya, serta membuyarkan lamunanku. “Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya, Alana?”

Aku akhirnya mencoba untuk tenang sesaat, ikut menoleh menatap wajahnya hanya sekian detik saja. Karena pria itu yang lebih dulu memalingkannya untuk kembali menatap ke jalan di depan.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” itulah pertanyaan yang akhirnya terucap dariku, meski aku sedikit menyesal karena seharusnya bukan itu yang ingin ku tanyakan.

“Yang saya lakukan?” tanpa menoleh, pria itu mengulangi pertanyaanku.

“Iya.”

“Hmm, gak ada. Hanya mengantar Rafa dan ibu Risna pulang. Tidak lebih”

“Ka…”

“Alana… apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Apakah kamu mengira saya ingin merusak hidupmu?”

“Ti… bu… bukan begitu, cuma bukankah kamu juga sudah bilang, kalo aku adalah wanita yang jahat”

“Ya memang. Itu memang benar. Saya juga tak ada niat untuk menarik kembali kata-kata saya yang sudah saya keluarkan”

“Kalo aku jahat, kenapa kamu masih saja muncul di hadapan kami?” tanyaku. Kini kembali ku tatap wajah tampan itu dari samping. Aku akui, memang pria ini sangat tampan. Kalo aku tidak mengakuinya itu artinya aku bohong.

“Oh itu tidak ada hubungannya. Kedatangan saya di sini kan hanya membantu. Membantu Rafa. Tidak lebih”

Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Tapi kan Rafa putraku. Itu artinya secara tidak langsung ada hubungannya denganku, juga ka”

“Lalu?” tanyanya. Tiba-tiba aku bingung mau bicara apa lagi padanya.

“Lalu apa?” dia kembali mengulang pertanyaannya.

“Ku mohon…. jangan ganggu hidupku dan putraku, ka” perkataanku ini sukses membuatnya menoleh padaku.

“Saya hanya ingin bertanya satu hal padamu, jika kamu jawab dengan jujur maka saya akan ikuti semua keinginan kamu…. bahkan sampai tak akan muncul lagi di hadapanmu, di hadapan kalian.”

Aku sampai menahan nafas setelah mendengar ucapannya itu. Apa yang ingin ia tanyakan padaku? Kenapa sampai ia harus membuat suatu perjanjian - jika aku menjawabnya maka ia akan pergi begitu saja. Apakah aku telah siap untuk kembali melepasnya seperti dulu? Apakah aku telah ikhlas menerima kepergiannya kembali? Bahkan munkin saja kali ini ia tak akan pernah kembali lagi.

“Pertanyaan saya gak sulit kok”

Aku masih menatapnya.

“Boleh kan?” ia kembali berucap.

“A… apa ya… yang ingin kam… kamu tanya…. tanyakan, ka?”

“Kenapa harus segugup itu, Alana? Bukankah kita berdua sudah melewati masa-masa itu? Bukankah kita berdua sudah saling mengenal luar dalam masing-masing?”

Aku sampai membalalak mendengarnya. Pipiku rasanya agak memanas mendengarnya. Teringat kejadian bersamanya - pun kala itu, waktu kami berdua memutuskan untuk melakukannya atas dasar ‘mencintai’.

“Dari gugup, kini berubah menjadi malu. Apa ada yang salah dari kalimat yang saya ucapkan barusan, Alana?” akhirnya aku menunduk. Malu rasanya mendengar kalimat darinya itu.

“Apa… apa yang sebenarnya ingin kamu tanyakan, ka?”

“Hmm…” dia menggantung. Membuatku akhirnya mengangkat kepala, menatap padanya dari sisi samping.

“Ka….” aku kembali bergumam.

Dia akhirnya menoleh padaku. Yang lucunya, dia malah menunjukkan senyumannya yang lantas membuat sekujur tubuhku agak gimana gitu rasanya. “Jangan senyum gitu” ah stupid. Kenapa harus ku utarakan langsung padanya apa yang menjadi ganjalan dalam hati ini sih?

“Ini mobil saya, dan seingat saya, tidak pernah saya melarang orang tersenyum di dalam mobil kok”

“Ka….?” aku bergumam kembali. Apa sih yang sebenarnya ia inginkan dariku saat ini?

“Hmm”

“Fokuslah pada pertanyaan yang ingin kamu sampaikan”

“Oh iya.” dia menoleh lagi. “Pertanyaan saya…………………”

Aku sampai menahan nafas kembali.

Menunggu ucapannya kembali. Menunggu yang rupanya, tak langsung ia utarakan. Itu sebabnya perasaanku kembali di dera kecamuk yang berlebih. Rasa-rasanya ingin kabur dari sini saja, apalagi rasa di dalam sana sudah bercampur aduk antara was-was, khawatir dan perasaan takut apabila pertanyaan darinya ternyata tentang status Rafa.

“Yang ingin saya tanyakan……” again? Duhhhh, pengen banget ku jitak kepala pria ini dengan keras. Menunggu apa yang ingin di tanyakan, perutku ikutan melilit. Rasa-rasanya aku ingin diare. Duhhh! Arkana, apa sih yang ingin kamu tanyakan sekarang?











“Pertanyaan saya…..”

“Apa sih. Kok pake acara di tunda-tunda segala, kayak pertanyaan kamu itu sulit banget kamu katakan ke aku, ka” aku sampai geram sendiri menunggu pertanyaan darinya itu. Yang masih saja, seakan-akan dia sengaja menggantung.

“Kamu sudah makan?”

He? Entah apa yang di pikirkan pria ini saat melihat ekspresiku kali ini. Antara gemas, marah, dan sedikit keinginan untuk memukul kepalanya.

“Err… katanya ingin bertanya, dan kalo aku jawab ju-” belum habis kalimat yang ingin ku ucapkan, pria itu menyela.

“Nah itu pertanyaan saya, kamu sudah makan”

Aku sampai menghela nafas keras. Apa-apaan sih ini? Apakah dia sengaja mempermainkanku?

Alana….

Please, tenanglah. Sedikit ku suarakan dalam hati, untuk menenangkan diriku sendiri.

“Apakah kamu mengira, saya akan bertanya tentang siapa ayah kandung Rafa?”



Oh tidak…..

Tidak. Tidak mungkin aku menunjukkan ekspresi yang begitu terkejut mendengar kalimat tersebut. Tidak mungkin aku keliatan bodoh saat ini di hadapannya, kan?

“Dan tidak mungkin jawabannya adalah, saya ayah kandung Rafa, kan? Karena kamu juga sudah mengatakan kalo ultahnya-” aku langsung menyela.

“Tidak…. dia bukan anakmu. Dia putraku, ka…. tidak ada hubungannya denganmu. Dia….”

“Ya saya tahu, kok. Makanya saya perjelas”

Fiuhhhh! Akhirnya aku mampu menghelakan nafas ini teramat lega setelah mendengar pengakuannya itu. Semoga saja memang benar dia tak mengetahui jika Rafa adalah anak kandungnya.

“Jadi bagaimana, apa kamu sudah makan?”

Aku lantas tersadar. Aku harus segera memungkasi pertemuanku dengannya sekarang juga. Tak boleh ku tunda lagi. “Sudah. Dan sekarang antarkan aku kembali ke kosan. Aku juga sudah menepati janjiku untuk menjawab jujur pertanyaan kamu, kan?”

Anehnya. Dia malah tersenyum sembari menjawab, “Baiklah. Mari kita pulang”

See?

Dasar cowok aneh. Fiuh! Tapi setidaknya, aku berharap jika ia bakal menepati janjinya untuk tidak mengangguku lagi. Meski memang sih, agak aneh aja tadi. Aku mengira dia bakal bertanya sesuatu yang serius, ternyata aku salah. Ternyata aku terlalu jauh berhalu padanya. Alana…. Alana. Wong pria itu cuma ingin bertanya apa aku sudah makan atau belum. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Mencoba menyembunyikan senyumanku ini darinya.



Singkat cerita. Pria itu benar-benar mengantarku pulang ke kosan.

Di saat ia ingin ikutan keluar, aku menahannya. “Kamu sudah janji kan? Kalo aku jawab dengan jujur tadi, maka kamu tidak akan menganggu kami lagi”

“Ya saya akan menepati janji saya, Alana. Jadi kamu tenang saja”

“Terima kasih, ka…. terima kasih masih menunjukkan kebaikan kamu padaku.”

Pria itu lantas tersenyum kembali.

“Ya sudah, turunlah. Pulanglah…. mulai saat ini saya tidak akan muncul di hadapanmu lagi”

Sakit banget sih. Cuma, memang sudah seharusnya seperti ini.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu kemudian ku putuskan untuk keluar dari mobil. Tanpa berucap sama sekali, ku tinggalkan ia di belakang sana. Berjalan masuk ke dalam kosanku. Begitu aku telah tiba di depan pintu kamar kosan, ku dengar mobilnya mulai berjalan pergi.

Akhirnya, tanpa sadar aku berbalik. Menatap kepergiannya sembari memegang dadaku sendiri.

Masih….

Rasanya masih sama.

Sakitnya masih sama juga saat ia pergi begitu saja tanpa sedikit berusaha untuk membujukku, untuk mencari penjelasan dariku. “Kamu memang tidak pernah menganggap aku ada untukmu, ka….”



-----00000-----​



POV 3rd



Sosok di belakang kemudi saat ini, sedang tersenyum. Senyumnya seolah-olah mengisyaratkan jika ia senang atas kejadian yang baru beberapa waktu lalu terjadi.

Wanita itu. Masih sama.

Bagaimana sikapnya, bagaimana malu-malunya, bagaimana ekspresi kekesalan yang ia tunjukkan. Semuanya masih sama. Masih jelas terekam di ingatan pria itu.

“Saya sendiri telah memutuskan tidak akan muncul di hadapanmu lagi, Alana. Tidak akan datang sendiri menemuimu, tapi bukan berarti saya hanya diam saja. Jangan salahkan saya jika mengambil keputusan ini, agar kejadian ini akan terbalik padamu. Kamu sendiri yang akan datang ke saya nantinya”

“Kita tunggu saja, sampai kapan kamu akan bertahan dengan kebohonganmu”

Karena hal itulah, ia akhirnya meraih ponselnya. Mencari nomor dokter Alex.

Begitu ia menemukannya, ia lantas menghubungi nomor ponsel tersebut.

“Halo dok…. saya butuh bantuan anda sekali lagi”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd