Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT AMNESIA

Bagian Tiga
LAMSIJAN



Dia benar-benar letih. Dia duduk di bawah pohon kiara yang menjuntai ke sungai, menatap arus air dengan perasaan hampa.

Setelah tiga hari berturut-turut menyusuri sungai itu dan tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan secuil petunjuk; dia benar-benar kecewa dan tertekan. Pikirannya menari-nari tanpa henti di kepalanya dan dia tak bisa memahami potongan-potongan ingatan yang berdatangan bagai air bah yang menggelora.

Kepalanya sakit oleh suara-suara aneh yang berasal dari dalam kepalanya.
"Aku ini siapa?" Tanyanya. "Dari mana aku berasal? Aku ingin pulang, tapi ke mana?"

Dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.

Kekesalannya mencapai puncaknya saat sebuah bayangan wajah seorang lelaki tertawa-tawa dengan cara yang sangat menghina di dalam kepalanya.

Dia berdiri dari duduknya, mengepalkan kedua tangan dan berteriak sekuat-kuatnya.
AAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!

Teriakannya membahana ke seluruh penjuru hutan. Lalu dia pingsan karena tak sanggup lagi menahan beban di dalam jiwanya yang sangat berat.

***

Dia terjaga dari pingsannya dan merasa dirinya lebih baik. Walau dia tahu dia bukan orang yang bernama Lamsijan, tapi untuk sementara dia akan menerimanya dengan lapang dada. Dia bangkit dari ketergeletakannya di tanah lembab itu dan menatap langit yang mulai redup.
"Mungkin sekarang sekitar jam dua siang, aku harus pulang... tidak, aku harus pergi ke rumah Bah Dadeng. Bukan pulang." Bisiknya.

Dia turun ke bantaran sungai dan melangkah mengikuti arus ketika mendung datang secara mendadak. Gerimis turun diikuti suara ledakan halilintar. Dia tergesa melangkah untuk menemukan sebuah perlindungan dari siraman air hujan yang menitik lembut namun berpotensi untuk menderas dengan cepat.

Hujan benar-benar menderas dan dia pasrah oleh guyuran air hujan. Dia tak lagi buru-buru menemukan tempat berteduh namun dia tak sengaja menemukan sebuah ceruk yang di atasnya tumbuh beberapa rumpun bambu yang miring.
"Yeah." Desisnya.

Dia merunduk dan berjongkok di bawah ceruk yang dirimbuni rumpun-rumpun bambu, menyaksikan air sungai yang berubah galak dan permukaannya naik setinggi hampir setengah meter. Hujan semakin deras tak tertahankan dan arus sungai berlari kian cepat dan bergelora, membawa segala jenis material sampah yang berasal dari hulu. Batang-batang kayu lapuk dan berbagai jenis batu menggelinding di sepanjang arus. Kini warna sungai tampak kecoklatan dan keruh.

Entah dari mana dia bisa menduga dengan keyakinan penuh bahwa hujan itu tidak lama.
"Setelah beberapa ledakan petir lagi, dia akan mereda menjadi gerimis. Lalu berhenti." Katanya kepada dirinya sendiri.

Dugaannya ternyata tidak sepenuhnya keliru.

Tak ada ledakan petir tapi hujan berhenti dengan cepat. Pelahan air sungai dan beberapa material kayu lapuk dari hulu mengambang dengan tenang. Permukaannya turun dengan cepat kembali ke permukaan normal. Dia menunggu sejenak sampai hujan benar-benar reda sebelum memutuskan untuk ke luar dari tempatnya berteduh. Kepalanya mendongak, dia melihat langit semakin cerlang dan matahari bersinar terang.

Dia turun dan melangkah ke bantaran sungai yang licin, matanya secara mengejutkan menangkap sepasang telapak sepatu mengambang dengan tenang. Dia mendadak merasa gembira dan meloncat ke tengah sungai, menarik sepatu itu beserta kaki dan tubuh pemiliknya. Menyeretnya ke pinggir sungai dan membawanya naik ke tanah yang lebih tinggi.

Tubuh itu sudah membiru. Mati. Perutnya menggelembung sebesar galon. Di punggungnya tercetak dua lubang besar berwarna hitam yang menembus jaket kulit warna coklatnya. Dia menyeret mayat itu dan meletakkannya di ceruk di mana tadi dia berteduh.

Wajah mayat itu sangat jelek dan mungkin sedikit mengerikan. Berkumis tebal dan memiliki tato kupu-kupu kecil di lehernya. Sepertinya dia pernah kenal dengan pria berkumis ini. Sayangnya ketika dia mencoba mengingat-ingatnya, kepalanya langsung menjengking oleh suatu rasa sakit yang luar biasa.

Dengan sangat teliti dia memeriksa mayat itu. Ada uang tiga juta rupiah di saku bagian dalam jaketnya dalam kondisi basah dan sebuah handphone berukuran 5 1/2 inchi yang mati. "Mungkin kena air dan mungkin aku bisa memperbaikinya." Katanya dalam hati sambil memasukkan HP tersebut ke saku kemejanya.

Dia kemudian mencabut dompet kulit di saku celana belakang mayat itu dan menelitinya. Selain uang yang entah berapa jumlahnya, ada kartu kredit, KTP, SIM, STNK Mobil, Motor dan beberapa lembar kartu nama yang lengket karena basah; sebagaimana dompet dan seluruh isinya yang lain juga tak terhindar dari rendaman air sungai.
"Ini sangat penting, aku bisa memulai semuanya dari sini." Katanya dalam hati.

Dia berpikir mungkin dia harus menemukan satu mayat lagi. Dia ingat ada empat letusan pistol dan dia merasa yakin dengan hal itu.
"Pasti dua peluru lagi untuk satu mayat yang lain." Bisiknya. Tapi sayangnya cahaya matahari mulai suram dan sore datang menjelang.
"Aku tidak boleh kemalaman." Bisiknya. Dia kemudian menjejalkan mayat itu ke dalam ceruk hingga mentok ke ujung terdalam. Dia terpaksa mematahkan sendi pada kedua pundak mayat itu agar tangannya bisa diluruskan dengan badannya. Tubuh itu sudah benar-benar kaku dan dia berpikir mayat itu tentu tidak merasakan apa-apa lagi. Dia kemudian menimbun ceruk itu dengan batu-batu kali yang berserakan di pinggiran sungai hingga ceruk itu tertutup rapat. Setelah itu, barulah dia mencari-cari sebuah dahan unuk mencongkel bongkahan tanah merah yang lembek di sekitar tebing dan menggunakan bongkahan tanah itu untuk menutupi batu-batu. Sehingga ceruk itu benar-benar tertutup tanah seluruhnya.

Tapi entah mengapa dia tidak merasa puas dan merasa khawatir lapisan tanah itu akan membuka dan batu-batu di dalamnya akan menggelinding ke luar. Dia berpikir sejenak.
"Aku harus memagarinya dengan bambu muda." Katanya dalam hati. Berpikir demikian, dia pergi ke sejumlah rumpun bambu di sekitar situ dan mencabut paksa batang bambu paling muda dan menancapkannya di depan ceruk itu. Setelah merasa puas dengan mencecabkan lima batang bambu muda, barulah dia menarik nafas.

Tapi dia lupa, matahari telah jauh tergelincir dan sebentar lagi kegelapan akan segera datang.

***

Malam benar-benar telah turun ketika langkah di sepanjang pinggiran sungai, akhirnya tiba di bahwa tebing yang di atasnya adalah kebun singkong yang cukup luas. Dari sudut bawah tebing itu, sungai berbelok ke arah lembah yang tampak gelap. Dia merangkak menaiki tebing dan melangkah di dalam kerumunan pohon-pohon singkong setinggi 2 meter. Dia harus melewati kebun singkong itu untuk menemukan sebuah jalan tanah yang cukup lebar, yang bisa dilalui oleh mobil bak terbuka. Menyebrangi jalan itu dan masuk lagi menembus kebun singkong sampai dia menemukan rumah Mang Kanta. Dari situ, dia akan menemukan rumah Bah Dadeng dengan mudah.

Kebun singkong pertama itu belum selesai dilewatinya ketika telinganya mendengar suara percakapan orang di kejauhan. Dia menghentikan langkah dan memasang telinganya baik-baik.
"Ya, itu suara lelaki itu." Bisiknya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan sangat kencang dan dia merasa bahwa dia dalam keadaan bahaya. Insting dari rasa takutnya menyala demikian keras di kepalanya dan dia memutuskan untuk melangkah dengan sangat hati-hati.

Tiba di ujung kebun, dia melihat sebuah mobil landrover warna hitam tengah membeku di tengah-tengah jalan. Dua orang lelaki berdiri di dekat jendela mobil dan berbincang dengan orang yang duduk di belakang kemudi.
"Kalian baru menemukan satu mayat." Kata orang itu, suaranya tenang dan dalam. Ya, itu dia. Suara itu pernah akrab dengan telinganya. Tapi kapan? Di mana? Dia tak tahu. "Harusnya ada dua lagi."
"Siap bos." Kata Mereka bersamaan.
"Kalau sudah ketemu, telpon aku. Aku akan menjemputnya langsung. Nih uang mukanya, masing-masing 2 juta."
"Siap, Bos. Terimakasih Bos." Kata mereka lagi. Mobil landrover itu kemudian menggeram lembut dan meluncur pergi, menuju ke arah desa sebelah. Setelah mobil itu pergi, dia melihat ternyata ada sebuah motor trail terparkir dengan standar satu.
"Ayo, Din, kita cabut." Kata salah seorang lelaki yang bertubuh lebih pendek dengan menggunakan bahasa Sunda.
"Kukira kamu akan mampir dulu di rumah jandamu yang kades itu, Bud." Kata lelaki yang lebih tinggi itu sambil tertawa.
"Ah, buat apa. Lebih enak si Sri, goyangannya lebih mantap... ha ha ha."

Dia terdiam seperti patung.

Setelah mereka semua pergi, dia dengan langkah cepat meneruskan perjalanannya.

***

Bah Dadeng sudah terlelap ketika dia tiba di rumah itu.

Setelah meletakkan dompet, uang dan HP di kolong dipan, dia melepaskan seluruh baju, celana dalam dan celananya yang basah. Dalam keadaan telanjang bulat dia pergi ke belakang dan mencuci semuanya di dekat bak penampungan air tanpa sabun sekalian mandi, juga tanpa sabun. Dia menggosok gigi menggunakan jari dan berkumur.

Sebenarnya tubuhnya menggigil karena dingin, tapi dia tidak mempedulikannya. Dia pernah merasakan rasa sakit yang lebih sakit dari sekedar dingin. Tetapi dia tidak ingat mengapa. Dia hanya merasakan sakit yang amat sangat hingga dia berjalan di bawah kucuran hujan sambil meneteskan air mata. Terus melangkah tanpa mempedulikan dingin.

Ya, dia ingat itu. Sangat ingat. Tapi dia tidak tahu mengapa dia melakukannya.

Selesai mencuci dan mandi, dia memasuki rumah yang gelap tanpa penerangan listrik.
"Penduduk desa ini sangat miskin, padahal mereka memiliki sumber kekayaan yang melimpah." Pikirnya sambil membaringkan punggungnya di dipan. "Mereka memiliki sumber air gunung yang murni... dan kebun-kebun itu... seharusnya mereka menanaminya dengan jahe merah yang memiliki harga tinggi di pasaran... udara di sini juga sangat cocok untuk menanam anggur..."

Dia terus berpikir dan berpikir.
"Aku harus membeli sikat gigi, odol, sabun...aku harus tahu siapa diriku... aku harus bisa menggali informasi... aku harus..."

Dia terlelap. Tapi hanya sejenak. Dia terbangun oleh rasa gatal yang amat sangat pada batang kemaluannya. Tapi dia tidak bisa menggaruknya karena akan berakibat lecet seperti kemarin. Dan rasanya sangat perih.

Dia mengeluh. Dia ingat, ketika pertama kali dibawa Bah Dadeng ke rumah ini, dia menemukan beberapa ekor lintah menempel di tubuhnya. Satu menempel di pundak kanan, satu di dada kiri, satu di paha dan satu lagi di betis semuanya bisa dia singkirkan dengan paksa. Tapi yang menempel di batang penisnya tak bisa dilepaskan. Dia terpaksa meminjam pisau dan menyembelih lintah itu dalam beberapa sayatan. Keesokan paginya, barulah dia bisa melepaskan lintah itu.

Tapi masalahnya, penisnya kini membengkak dengan rasa gatal yang tak terhingga.

Dia gemetar menahan rasa gatal itu dan mengeluarkan segenap tenaganya untuk menegangkan otot-otot pada selangkangannya dan pada batang penisnya.
"Euu... euuu... euuu..." Dia mengerang menahan rasa gatal itu.

Ketika malam akhirnya semakin larut, dia benar-benar lelah dan tertidur karena pingsan.

***

Bah Dadeng bangun dari tidurnya. Matahari bersinar terang di jendela. Dia duduk di dipan dan menyaksikan dengan takjub anak muda itu yang tengah lelap dalam keadaan telanjang bulat di dipan sebelahnya. Tanpa sadar Bah Dadeng mengangkat tangannya dan menghormat dengan penuh kekaguman pada benda yang tergolek di pahanya itu.

Besar, melengkung dan panjang.
"Ini idaman para janda." Katanya dalam hati sambil tersenyum. "Dan aku bangga telah memberinya nama Lamsijan."

Dia melepaskan sarung yang dikenakannya dan menyelimuti anak muda itu. Bah Dadeng merasa seakan-akan anak muda itu adalah anak kandungnya sendiri.

***
"Jan, Ijan, bangun. Sudah siang. Matahari sudah naik tinggi..."

Dia membuka matanya. Dan terbangun oleh bau sarung yang tajam menyengat.
"Ini di mana? Eh, abah, oh... i ya... i ya Bah, i ya." Katanya seperti mengigau.
"Abah mau ke sungai, mau mancing."
"Mancing? Ah, I ya, mancing..." Kata anak muda itu, dia lalu duduk di dipan dan mengusap wajahnya, "Bah, tunggu dulu... "
"Kamu kalau lapar ada pais lele dan sisa nasi di lemari." Kata Bah Dadeng.
"Bah, eh, kita harus ke warung... beli beras dan lain-lain."
"Beras masih ada, Jan, hasil tukeran ikan kemarin."
"Bukan itu Bah. euu... kita harus beli sabun..."
"Tapi abah enggak punya uangnya, Jan. Kalau pun ada, itu tabungan buat beli bibit cabe merah. Lagipula sabun kan mahal."
"Saya ada uangnya, Bah."
"Yang bener? Kamu sudah menemukan henponmu yang hilang?"
"I ya bah, sudah."
"Ya, sudah kalau begitu, cepet bangun dan pake baju."
"Bajunya udah kering belum, Bah?"
"Sebentar abah lihat dulu." Kata Bah Dadeng sambil terus pergi ke belakang, "Belum!!!" Teriaknya di halaman belakang.
"Kalau gitu tunggu kering ya Bah." Dia balas berteriak.
"Jaaannn..."
"Ya Bah."
"Abah ke kebun dulu sebentar ya, cuma lihat-lihat."
"I ya Bah."

***

Bah Dadeng melangkah bergegas ke arah rumah Ceu Popon dan menemukan anaknya si Koman sedang merokok sambil minum kopi di teras.
"Man, enggak ke pasar?" Tanya Bah Dadeng.
"Kemarin, Bah, sudah. Jual Ubi 20 kilo."
"Wah, lumayan tuh." Kata Bah Dadeng, "berapa sekilo sekarang?"
"6 ribu, Bah."
"Abah seminggu lagi panen, kamu mau jualin ke pasar?"
"Ya, mau atuh Bah. Berapa dari abah?"
"5 ribu saja."
"Jadi, Bah." Kata Koman dengan nada gembira.

Ceu Popon muncul dari balik pintu.
"Eh, Kang Dadeng, enggak mancing, kang?"
"Enggak, Ceu. Mau ke kebun dulu lihat-lihat, siapa tahu ubinya sudah siap panen."
"Oh, ke kebun ya." Kata Ceu Popon dengan nada biasa. Namun sepasang matanya berkedip-kedip. Bah Dadeng menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dengan telunjuk mengacung.
"Mangga atuh, Ceu. Saya mau ke kebun dulu." Kata Bah Dadeng, lalu dia berkata kepada Koman, "Man, jangan lupa ya kita sudah deal." Katanya. Bah Dadeng kemudian melangkah pergi dan menghilang di belokan gang.
"Siap, Bah." Jawab Koman

Ceu Popon masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Dia melepaskan celana panjang kusam yang biasa dipakai ke kebun dan menggantinya dengan kain yang agak lusuh. Sebelum melilitkan kain, dia melepas celana dalamnya dan melipatnya di lemari. Mematut-matut sebentar di depan cermin lalu pergi ke belakang mengambil bakul dan kain pendek untuk penutup kepalanya biar tidak kepanasan.
"Man, emak ke kebun dulu ya cari lalap-lalapan. Kamu jangan ke mana-mana dulu, benerin genteng di belakang rumah yang nyengsol."
"I ya, Mak. Tenang, pokoknya beres." Jawab Koman sambil mengisap kreteknya dengan penuh kenikmatan.

***

Gubuk kecil yang terletak di sudut kebun ubi itu letaknya cukup strategis. Bah Dadeng membuatnya dari puluhan bilah bambu yang disusun dan dianyam secara sembarang. Tingginya cuma satu setengah meter dan atapnya terbuat dari tumpukan jerami. Lantainya lantai tanah beralas kain terpal yang sudah robek di sana-sini.

Gubuk itu adalah bangunan yang sangat umum terdapat di setiap kebun ubi, digunakan untuk penyimpanan sementara hasil panen sebelum diangkut ke pasar dan juga untuk pembibitan. Namun gubuk itu juga sering dipergunakan petani untuk makan siang atau tiduran melepas lelah.

Bah Dadeng memasuki gubuk itu dan memperbaiki karung-karung plastik yang dipergunakan sebagai penghalang angin di ke empat sisi dinding. Karung-karung plastik itu diikat ujung-ujungnya pada bilah bambu dengan tali rapia sehingga kuat dari terpaan angin. Dia juga memperbaiki bagian plastik yang robek karena sering digunakan sebagai pintu masuk. Setelah selesai, dia duduk dan menunggu.

Bah Dadeng selalu teringat akan almarhumah istrinya yang selalu menolak jika diajak bercinta di dalam gubuk itu. Alasannya adalah malu. Sekarang jantungnya berdetak kencang menunggu Ceu Popon mendatangi gubuk itu.

***

Ceu Popon berjalan melingkar mengitari kebun singkong Mang Kanta dan memperhatikan kalau-kalau di kebun singkong ada Bi Euis istrinya Mang Kanta, atau si Lela anak perempuan mereka yang sedang menjemur baju. Tidak, tidak ada. Dia sudah merasa meleleh ketika Kang Dadeng dengan cepat memahami kedipan matanya dan saat ini, dia tidak mengenakan celana dalam dan merasakan lelehan itu membuatnya sangat gatal.
"Kali ini pasti akan lebih enak dan lama." Bisik Ceu Popon dalam hatinya dengan perasaan ekstasi yang menggebu.

Dia merunduk menembus kebun singkong dan berdehem ketika mendekati gubuk itu. Terdengar suara dehem balasan.
"Huhuy!" Ceu Popon bersorak di dalam hati. Dia langsung menerobos masuk ke dalam gubuk dan langsung memeluk bah Dadeng.
"Kang, Ceuceu mah pengen dinenen dan dijilatin."
"Akang juga pengen diemut kontolnya, Ceu."
"Yuk, atuh."
"Hayu."

Ceu Popon segera saja melepaskan balutan kainnya sedangkan Bah Dadeng memerosotkan celana pangsi hitamnya sambil berbaring. Ceu Popon merangkak di atas tubuh Bah Dadeng dengan mulut langsung mencaplok batang kemaluan Bah Dadeng dan mengemutnya. Sementara itu Bah Dadeng tak mau kalah, dia mengusap-usap buah pantat Ceu Popon lalu membeliakkan bibir-bibir bagian bawah yang dipenuhi brewok itu dan menemukan sebuah daging kecil yang berdenyar-denyar genit. Bah Dadeng menjulurkan lidahnya dan mempermainkan daging kecil itu.
"Ssshhhh.... kang....shhh...."

Baru saja beberapa jilatan, Ceu Popon sudah gemetar dan tidak kuat menahan gelombang kenikmatan yang mendera tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini Ceu Popon mendapatkan jilatan pada kelentitnya. Sungguh tak tertahankan nikmatnya.
"Kaangghhhh... Ceuceu enggak kuat... masukin ya?"
"I ya Ceu, boleh..."

Ceu Popon merangkak maju dan menduduki selangkangan Bah Dadeng yang batangnya sudah mengeras. Dia langsung membenamkan kepala berbentuk helm itu ke dalam liang vulvanya dan menekannya agar masuk seluruhnya.
Bleshhhh....
"Akhhh." Desis Ceu Popon, kedua tangannya memegangi betis Bah Dadeng dan punggungnya menghadap ke arah wajah lelaki itu.

Bah Dadeng mengulurkan ke dua tangannya mencoba meraih sepasang payudara Ceu Popon tapi apa daya tangan tak sampai. Dia hanya bisa meraih pinggang janda itu dan ikut membantu menggoyang-goyangkan pinggulnya naik turun.

Ceu Popon sangat aktif bolak balik. Kadang menghadap ke belakang, kadang menghadap ke depan dan melihat wajah Bah Dadeng yang meringis-ringis keenakan. Ceu Popon sepertinya asik sendiri mempermainkan genjotan tanpa mempedulikan Bah Dadeng yang sudah tak sanggup menahan ledakan pejuhnya.
"Ceuu... akang sudah enggak kuat..."
"Sebentar kang... sedikit lagi...."
"Ceu..."
"Sebentar...."
"Ceu.... aaaaagggkhkhkhhhhh..... grrrrr....."
"Ceuceu juga kang ini sedang ke luar.... eeuuuggggkhhhh....."

Ceu Popon duduk terdiam di atas selangkangan Bah Dadeng. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat.
"Aaahhh..." Keluh Ceu Popon saat menarik pantatnya dan melepaskan batang penis Bah Dadeng dari kuluman vulva senggamanya. "Enaaakkkhhhh." Bisik Ceu Popon sambil berbaring di sisi Bah Dadeng dengan nyaman.

Vaginanya yang brewokan itu tampak kacau oleh campuran tumpahan pejuh dan lendir kenikmatannya sendiri. Ceu Popon tersenyum bahagia dan perasaannya melayang-layang. Tidak menunggu lama dia pun terlelap dengan nikmat.

***
(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd