Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT AMNESIA

Bimabet
EPISODE SATU:




Bagian Satu
ABAH DADENG DAN LAMSIJAN



Desa Sirnalaya adalah salah satu desa termiskin di Jawa Barat. Letaknya yang terpencil di wilayah perbukitan sebelah selatan Gunung Manglayang, memiliki infrastruktur jalan yang buruk. Selain jalannya yang menanjak berkelak-kelok berbentuk seperti angka delapan; kualitas permukaannya jalannya pun dalam kondisi bergelombang dan memiliki banyak lubang. Apabila musim hujan tiba, sedikitnya selalu ada satu kecelakaan lalulintas berupa jatuh atau terperosok ke bawah tebing setiap minggu. Biasanya mereka adalah pengendara motor; termasuk di dalamnya adalah tukang ojeg. Oleh sebab itu, ongkos transportasi di desa itu sangat mahal.

Desa Sirnalaya terbentuk dari lima buah kampung yang terbagi ke dalam 10 RW (Rukun Warga), yang masing-masing RW terdiri dari 6 RT (Rukun Tetangga). Satu-satunya RW yang memiliki jumlah RT terbanyak yaitu 7 buah RT adalah RW 10; yang wilayahnya merupakan wilayah paling dekat dengan hutan produktif yang dikelola oleh PT Perhutani, di area pinggang gunung Manglayang.

Secara umum, mata pencaharian penduduk desa Sirnalaya adalah Petani Kebun. Namun para petani kebun itu hampir semuanya mengaku menyambi kerja sebagai buruh bangunan atau menjadi kuli di kota. Di desa itu hanya ada 2 orang PNS yang bekerja sebagai guru, 9 orang buruh Pabrik, 1 orang pegawai swasta dan 4 orang tukang ojeg. Pendapatan per kapita mereka adalah Rp. 4.800.000,-/tahun. Atau Rp.400.000,-/bulan.

Selama hampir 2 dekade, Desa tersebut selalu dipimpin oleh seorang perempuan. Ini sangat wajar mengingat populasi penduduk perempuan di desa itu hampir mencapai 65%. Sistem Pilkades yang dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia itu selalu merontokkan peserta kandidat pria dengan angka perolehan suara yang cukup mencolok.

Saat ini, Desa Sirnalaya dipimpin oleh seorang perempuan paling berpengaruh yang bernama Putri Diah Pitaloka. Biasa dipanggil Ceu Kades Uti. Usianya sekitar 40-an dan memiliki bodi semok yang aduhai. Kulitnya kuning langsat dan lesung pipit di pipinya menambah manis wajah imutnya. Dia memiliki seorang anak perempuan yang baru saja lulus SMU berumur 19 tahun, bernama Dian Maharani. Sampai dengan saat ini, sudah 3 tahun Ceu Kades Uti hidup menjanda; dia mengusir sang suami karena suaminya pengangguran dan hanya menjadi beban hidupnya saja. Selain itu, menurut desas-desus warga, Kang Budiman, suaminya Ceu Kades, berselingkuh dengan mBak Sri Muliani, buruh pabrik Retrotex yang tinggal di desa tetangga. Tanpa segan dan sungkan, Ceu Kades Uti langsung menendang lelaki tak tahu diuntung itu untuk pulang ke rumahnya di desa sebelah.

Diakui atau tidak, Desa Sirnalaya memang terkenal sebagai desa dengan populasi janda terbesar. Dari sekitar 1000 orang warga yang tinggal di desa tersebut, ada sekitar 125 orang janda di sana. 35 orang di antaranya berusia antara 21 sampai dengan 40 tahun; sisanya 41 tahun ke atas.

Duda juga sebenarnya ada, jumlahnya 5 orang. Satu di antara duda tersebut bernama Abah Dadeng. Dia tinggal di RT 07 RW 10. Dia adalah Petani Kebun sekaligus buruh paruh waktu dan ahli memancing di sungai.

Meskipun ada beberap janda yang memberinya berbagai sinyal dan kode untuk melakukan pendekatan, namun kelihatannya Bah Dadeng adem ayem saja. Tampaknya dia tidak terburu-buru untuk mencari pasangan dan kawin lagi.



***

Pagi itu seperti biasa Bah Dadeng membawa joran pancingan dan koja sebagai wadah untuk menyimpan ikan. Lelaki berumur 50 tahun yang sudah menduda selama setahun itu dengan tenang melangkah meninggalkan rumahnya sambil bersiul. Di gang depan, Bah Dadeng bertemu dengan Ceu Popon yang menyapanya dengan ramah.

"Mau ke mana kang Dadeng?" Tanya Ceu Popon dalam bahasa Sunda yang halus, merdu dan manja.
"Biasa, Ceu. Mungpung kerjaan di kebun sudah beres, saya mau mancing."
"Kalau dapat ikannya jangan lupa sama Ceuceu ya."

Bah Dadeng tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan meneruskan langkah menyusuri kebun ubi miliknya sendiri, lalu melewati kebun singkong milik Kanta, adiknya. Tiba di ujung kebun, dia mendaki jalan setapak menuju hutan produksi milik Perhutani, sambil lewat dia memperhatikan pohon-pojon kopi yang sudah berbuah. Pohon-pohon kopi yang terselip di antara tanaman keras yang tinggi dan besar itu, beberapa di antaranya telah berbuah merah. Dalam hatinya tumbuh niat untuk memetik biji kopi setelah pulang memancing.

Jalan setapak itu berbelit di antara batang-batang pohon, bagi orang yang tak terbiasa, jalan setapak itu bukanlah jalan yang mudah diikuti. Beberapa pendaki gunung telah membuktikannya bagaimana mereka tersesat dan tak bisa ke luar dari dalam hutan. Warga desa juga banyak yang tidak berani memasuki hutan tanpa teman. Soalnya, terkadang hutan itu memilliki aura yang aneh dan seringkali membuat sebagian orang menjadi bingung.

Setelah memasuki kawasan hutan yang ditumbuhi pohon sengon dan kihujan, dia berjalan berkelak-kelok sesuai dengan peta seperti yang tersimpan dalam kepalanya. Sampai akhirnya Bah Dadeng menemukan sebuah tebing curam yang dipenuhi pepohonan Jambu batu. Dia tersenyum melihatnya. Sejak istrinya sering terkena penyakit mencret lima tahun yang lalu, Bah Dadeng selalu kesulitan menemukan daun jambu muda terbaik sebagai obat mencret. Dia akhirnya memutuskan untuk menanam pohon jambu. Dia membuat bibit pohon dengan cara memunguti jambu-jambu batu yang berjatuhan karena terlalu masak di pohon, yang terletak di dekat kantor desa. Itu adalah satu-satunya pohon jambu yang ada di seluruh desa itu. Dia lalu melemparkan jambu-jambu setengah busuk itu sekenanya di tanah miring tebing ini. Sekarang, setelah lima tahun, sedikitnya ada 17 pohon jambu yang tumbuh besar dan telah berbuah.

Dia menuruni tebing itu dan menemukan pinggiran sungai yang berbatu-batu. Setelah semalam hujan turun deras, di tempat mancing rahasianya ini, dia selalu mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar. Paling jelek dia bisa mendapatkan 3 atau 4 ekor. Kalau nasib lagi baik, dia bisa mendapatkan 10 ekor.

Setelah melangkah dengan hati-hati, akhirnya dia mendapatkan sebuah batu besar yang datar dan kering. Dia lalu duduk di situ, menyiapkan joran dan umpan, lalu... plung, dia melempar kail.

Tidak menunggu lama, kailnya disambar ikan. Dengan gembira Bah Dadeng mengangkat jorannya. Dia tersenyum mendapatkan ikan Semah sebesar lengan yang sangat langka. Dia kemudian memasukkan ikan itu ke dalam koja.

Beberapa menit kemudian dia mendapatkan ikan sepat sebesar betis. Wah! Bah Dadeng berseru senang. Selama dua jam memancing, kojanya kini sudah dipenuhi puluhan ikan yang besar-besar.

Bah Dadeng bersiul-siul riang, seumur hidupnya, baru kali ini dia mendapatkan ikan sebanyak itu dalam waktu yang relatif singkat.
"Ini mungkin pertanda baik bahwa aku akan kawin lagi... ha ha ha." Bah Dadeng tertawa mentertawakan dirinya sendiri. Dia lalu bersiap-siap untuk pulang karena merasa sudah banyak mendapatkan ikan.

Dia kemudian berdiri di atas batu itu dan hendak melangkahkan kaki menuju batu kecil untuk pijakan agar dia bisa meloncat ke pinggiran sungai, namun matanya yang awas dan tajam itu tiba-tiba terpaku pada sesosok benda putih yang tengah merayap dengan sangat pelahan dan susah payah. Benda itu seperti tiba-tiba muncul dari dalam air. Mula-mula Bah Dadeng menyangka itu adalah mahluk jadi-jadian dan hatinya menjadi ciut. Tapi semakin lama diperhatikan dengan cermat, Bah Dadeng semakin yakin bahwa itu bukan mahluk jadi-jadian atau hantu. Itu adalah sesosok manusia. Manusia yang berjenis kelamin laki-laki.

Ragu-ragu Bah Dadeng mendekati sosok itu, setelah dekat Bah Dadeng merasa yakin dia adalah manusia seutuhnya. Buru-buru Bah Dadeng meletakkan koja dan jorannya, lalu dia turun ke pinggiran sungai dan memburu orang itu. Tangan orang itu yang sedang menggapai-gapai, diraihnya dan tenaga penuhBah Dadeng menarik tubuh yang agak gempal dan sangat berat ke tanah datar di pinggiran tebing.

"Dia pasti terjatuh ke sungai ketika hujan besar dan kemungkinan dia telah meminum banyak air!" Pikir Bah Dadeng menduga.

Cepat dia membalikkan tubuh yang lemah tak berdaya itu dan menarik kakinya hingga posisinya berada di atas dalam keadaan menelungkup. Dengan cekatan Bah Dadeng memukul-mukul punggungnya hingga sosok yang setengah hidup itu memuntahkan banyak air.

Selama hampir satu jam Bah Dadeng menggojlok orang itu dengan susah payah untuk mengeluarkan seluruh air sungai yang diminumnya tanpa sengaja. Setelah itu dia menyeretnya ke atas tebing dan membaringkannya di tempat yang tersorot matahari. Sambil menunggu orang itu siuman, Bah Dadeng menaiki beberapa pohon jambu untuk menemukan buah yang paling masak dan paling kuning.

Bah Dadeng menggunakan kaosnya untuk mewadahi sekitar 30 puluh buah jambu batu yang masak dan ranum itu. Dia duduk kembali di pinggir orang itu dan memecahkan buah jambu yang lembek dengan jari tangannya, membuang bijinya dan menjejalkan daging buah jambu itu ke dalam mulut orang itu hingga tertelan.

"Hudang, Jang." Kata Bah Dadeng dalam bahasa Sunda yang artinya "bangunlah nak". Dia memperhatikan wajah orang itu yang ternyata masih sangat belia. Sekitar 25-an tahun. Anak muda itu memiliki hidung mancung dan alis yang tebal. Tubuhnya tinggi dan besar cenderung gembrot. Dia memakai kemeja putih dan celana jeans yang masih kuyup. Sepatunya bagus dan kelihatannya mahal. Bah Dadeng berkesimpulan, anak ini bukan anak kampung sini atau anak sekitaran desa. Menilik dari cara berpakaiannya, anak ini tentulah anak orang kaya dari kota.

Beberapa menit setelah daging buah jambu itu dijejalkan, tiba-tiba saja anak muda itu bangun dan duduk lalu muntah. Cairan muntahannya berwarna hitam seperti oli. Wajahnya yang semula kelam, berubah menjadi agak kemerahan. Kemudian dia pingsan lagi.



***​


Pagi mulai beranjak menjadi siang ketika dia terjaga. Matahari itu menyilaukan dan dia merasa bersyukur masih hidup.
“Aku nyaris tenggelam.” Katanya kepada dirinya sendiri. Dia kemudian duduk dan melihat setumpukan buah jambu terhampar di atas tanah beralaskan sebuah baju kaos. Perutnya berkeruyuk-keruyuk karena lapar dan tanpa sungkan dia menyikat puluhan buah jambu itu hingga habis.

Seorang lelaki setengah baya berkulit coklat mendatanginya sambil memeluk ranting-ranting kering dan menjatuhkannya di tanah.
“Eh, sudah bangun, Nak.” Kata Lelaki itu dalam Bahasa Sunda.
“Bapak siapa?” Tanyanya. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan ketakutan.
“Jangan takut, Nak. Saya Abah Dadeng. Saya orang sini. Kamu sendiri siapa? Dari mana asalnya?”
“Saya…”
“Namamu siapa?”
“Nama saya….eu… nama saya…”
“Kamu tahu kenapa kamu jatuh ke sungai?” Tanya Bah Dadeng.
“Saya… saya meloncat dari mobil.”
“Kamu mau bunuh diri ya?” Tanya Bah Dadeng sambil sedikit tertawa. Dia menganggap jawaban anak muda itu bercanda.
“Tidak… eu… abah… ini di mana?” Tanyanya.

Abah Dadeng menatap tajam lelaki muda itu dengan tatapan tajam. Keningnya mengernyit, Abah Dadeng merasa ada sesuatu yang salah dengan anak muda itu.
“Ini di desa Sirnalaya, Nak.” Kata Bah Dadeng.
“Desa Sirnalaya? Rasanya saya baru dengar, Bah.”

Abah Dadeng tertawa terbahak-bahak. Dia merasa sangat lucu.
“Jelas kamu bukan orang sini. Kamu pasti orang jauh. Coba, namamu siapa? Tadi kamu belum jawab.”
“Nama saya? Eu… saya tidak tahu. Saya lupa. Eu… kepala saya sakit, Bah. Seperti ditusuk-tusuk tombak.” Katanya sambil meremas-remas rambutnya. Wajahnya meringis menahan sakit.
“Tapi setiap orang pasti punya nama, masa nama sendiri lupa?”
“Saya rasa saya tidak punya nama.”
“Ha ha ha…” Abah Dadeng tertawa sekali lagi. Kali ini dia tertawa lebih keras bahkan sampai menungging saking merasa lucunya.
“Kenapa tertawa, Bah?”
“Kalau ada yang mustahil di dunia ini tentulah itu kamu. Setiap orang pasti punya nama.”
“Tapi saya tidak, Bah.”
“Kamu mungkin lupa, ah, sudahlah. Udah kamu aku kasih nama Lamsijan, dipanggil Ijan. Setuju?”
“Lamsijan? Nama yang aneh, Bah.”
“Tidak, tidak aneh. Aku sudah menikah selama lebih dari 25 tahun, aku tidak beruntung dikaruniai seorang anak pun. Nah, dulu, aku pernah melamun, seandainya aku punya anak, aku akan memberinya nama Lamsijan.” Kata Bah Dadeng.
“Oh. Baiklah, saya terima nama itu. Jadi sekarang saya punya nama.” Katanya dengan wajah masih bingung, “perkenalkan Bah, nama saya Lamsijan.” Dia menyodorkan tangannya.

Abah Dadeng tertawa-tawa lagi. Kali ini bahkan sampai menangis saking merasa lucunya.
“Aku yang memberimu nama dan kamu yang memperkenalkan diri… ha ha ha…lucu lucu…” Kata Bah Dadeng, sudut-sudut matanya meneteskan air mata, “duh, gusti, entah kapan aku terakhir kali tertawa seperti sekarang ini, betapa bahagia dan beruntungnya aku.”

Dia tercenung.

Dia melihat lelaki setengah baya itu dengan perasaan aneh. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia telah mencoba memikirkan sesuatu tapi dia tak sanggup menembus dinding yang tinggi dan gelap itu.
“Hey! Lamsijan! Lamsijan!” Bah Dadeng berkata dengan suara keras.
“Ah, eh, I ya Bah.”
“Kalau namamu saja kau bisa lupa, tentu kamu juga tidak bisa ingat dari mana asalmu, I ya, kan?”
“I ya, Bah.”
“Kamu tidak tahu rumahmu di mana, betul?”
“Betul, Bah.” Jawabnya. Dia merasa bebannya demikian keras menekan kedua pundaknya, “saya juga lupa Bah apakah saya bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gedung-gedung yang tinggi atau di sebuah rumah yang luas… saya tidak tahu, Bah.”
“Hm. Abah pikir daripada kamu pusing memikirkan dirimu sendiri, lebih baik bantu abah membawa ranting-ranting kering ini ke rumah. Kamu bisa istirahat sebentar di sana sambil menunggu siapa tahu ingatanmu bisa pulih. Setuju?”
“Setuju, Bah.”



***​



(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd