Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA AMPIBI [LKTCP 2020]

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ini cerita bagus,
Pokoke top lah
Malah unsur sex nya jdi mengganjal,
Hihi...
Asli ketika sex scene di bab berikutnya malah gak bisa buat Mr P ereksi

😃😃😃
 
Selingkuh

Suami selingkuh = ego lelaki tidak akan pernah jujur kepada istri dia selingkuh

Istri Selingkuh = ego lelaki tidak akan pernah memaafkan istri nya.

Hanya Suami dan Istri yg berjiwa besar yg menerima pasangan nya utk memaafkan perselingkuhan pasangannya.

Makasih um @killertomato telah berbagi coretan pena nya.
 
Seperti biasa keren ceritanya,yang ini keren bikin nyesek yang baca,hikz..hikz
Ampibi?kodok apa katak?hahaha..
Kalo saya jadi Arul yah butuh jiwa besar iklas utk memaafkan,suyang saya bukan Arul!?wkwk..(dih baper)
Njenengan ancen mbois suhu @killertomato :beer:
Selamat dan semoga sukses karyanya dilomba Iki,,Aamiin..
 
duh, keren banget ini si, calon juara, hu. feelnya dapt, konaknya dapet, sedih bgt juga. kalo skripsi dapet nilai A+ deh hahaha. btw, pdhl pas liat judulnya ane udah agak2 takut, jangan2 isi ceritnaya tentang percintaan manusia amphibi gitu deh hahaha you know lah.
 
AMPIBI
DARI @killertomato UNTUK LKTCP 2020


Salam sejahtera dan sehat selalu! Saya bukan Cak Lontong, salam lemper.

Akhirnya selesai juga kreasi sederhana saya, yang secara eksklusif disusun untuk menyemarakkan ajang fenomenal LKTCP 2020 di forum kita tercinta ini. Sebelumnya terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh mimin, momod, staf, segenap pejabat, penikmat, kerabat, semua sobat, dan teman-teman sejawat penulis cerita panas yang lezat – yang telah ikut berpartisipasi, ikut membaca, dan tentunya ikut menyediakan ajang pesta.

Ini adalah kali pertama saya ikut serta dan karena cerita ini adalah cerita sederhana maka tentunya akan banyak sekali kekurangan di sana sini, masih banyak pula yang harus diperbaiki. Tapi mudah-mudahan bisa diterima sebagai materi untuk menyemarakkan festival ini dan menjadi wujud partisipasi.

Cerita ini karya fiktif, kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka.

Semoga berkenan,
Selamat menikmati.





You are free to choose.
but you are not free from the consequences of your choice.”







BAGIAN 1
PENDAHULUAN




Nayla Wulandari mengikat tali sepatunya yang terurai. Wajah jelitanya yang hanya mengenakan make-up tipis dibanjiri oleh peluh yang turun tak kenal ampun. Sorot matahari pagi makin lama makin menyengat ibarat pijatan kesegaran yang mengingatkan bahwa pagi mulai beralih menjadi siang. Meski derai panas menerpa, untungnya alam juga berbaik hati menghadirkan hamparan pepohonan menghijau yang menjadi pelindung senyap dengan payung teduh yang rindang dan tenang, bahkan memberikan semilir angin tambahan dengan kibasan dedaunan yang menyejukkan.

Huff.

Nayla menarik napas panjang, lalu menghelanya melalui mulut. Ia menyeka peluh dengan punggung tangan. Hari ini rasanya dia lebih lelah dari biasanya, padahal Nay dan suaminya sudah sangat terbiasa berolahraga setiap minggu pagi.

Tempat mereka berdua berolahraga pagi adalah sebuah jalan raya yang menghubungkan dua komplek perumahan elit. Lokasinya yang adem dengan banyaknya pepohonan rimbun di kanan kiri jalan, jalurnya yang panjang, dan luasnya area membuat tempat yang pada hari minggu pagi menerapkan aturan car free day ini ramai dikunjungi oleh para penggemar olahraga. Ada yang berlari, ada yang jalan santai, ada yang bersepeda, ada juga yang bermain skateboard – lengkap dengan penjaja makanan, minuman, bahkan sekarang ada pula mobil yang secara khusus datang sebagai bengkel sepeda dadakan.

Napas Nay terasa sangat berat hari ini, mungkin karena dia kurang fit, mungkin karena semalam Adek rewel dan minta susu terus jadi dia beberapa kali terbangun. Nay mencoba membenahi kuncir kuda rambutnya dan melongok jauh ke depan meski poni rambutnya beberapa kali jatuh menghalangi pandangan. Ia mencari sosok suaminya yang sudah jalan terlebih dahulu. Tapi Mas Arul sama sekali tak terlihat. Suaminya sudah terlalu jauh di depan bersama dengan keponakan mereka – berlarian di tepian trotoar kompleks pertokoan.

Wanita berusia pertengahan dua puluhan itu berpikir mungkin sebaiknya ia kembali saja ke tempat mobil mereka diparkir. Daripada pingsan di tengah jalan, kan? Nay pun mengambil ponsel yang ia simpan di slingbag-nya. Si cantik itu menekan tombol demi tombol untuk mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada sang suami.

Hanya centang satu. Pasti Mas Arul – panggilan dari Syahrul – masih berlari mengitari kompleks. Dia tidak akan sempat mengangkat ponselnya. Nayla pun berbalik menuju lokasi mobil mereka diparkir.

Saat hendak memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, Nay meleset.

Klotak.

Ponsel baru berharga jutaan itu berkenalan dengan sisi tepi paving block trotoar, sebelum akhirnya jatuh ke parit kering di sampingnya. Ponsel dan paving block jelas bukan kawan akrab, ibarat orang jatuh cinta – ketika bertemu pasti ada luka.

“Mati aku.” Desis Nayla sambil buru-buru hendak mengambil ponselnya.

Stupid, Nay! Gimana sih kamu bisa ceroboh banget?! Kalau sampai layarnya retak lagi kayak ponsel kemarin gimana? Mas Arul sih tidak pernah marah, tapi apa kamu tega membuatnya merogoh kocek untuk membeli ponsel baru lagi meski belum ada sebulan?! Duuuh, mudah-mudahan tidak apa-apa. Gimana sih caranya buang sial dan ceroboh?

Saat Nayla hendak menunduk, ia sudah didahului oleh orang lain.

Seseorang dengan tangan kencang dan berisi. Tangan seorang pria. Pria bertangan kekar itu mengambil ponsel, menepuk debu yang menempel dengan lembut, lalu menyerahkannya pada Nay sembari bertongkat lutut. Ia sempat melirak-lirik kondisi ponsel itu.

Hape-mu jatuh tapi dari luar sepertinya tidak ada yang rusak, masih seratus persen.”

Nay mengulurkan tangan untuk menerima ponsel itu dan memeriksanya sekilas sembari menarik napas lega. Duh, ada-ada saja. Pakai drama jatuh ponsel segala. Untung tidak rusak, bisa copot jantungnya.

“Te-Terima kasih. Saya...”

Mata Nay hampir meloncat saat ia melihat siapa yang sudah menolongnya.

Hah!? Kok dia?

Pria itu memberikan ponsel pada Nayla yang bengong ratusan jurus. Semenit berasa setahun rasanya saat mulut Nay menganga lebar ketika ia mengenali orang yang baru saja mengambilkan ponselnya yang jatuh. Ini ga mungkin ah! Kenapa bisa dia yang mengambilkan ponselnya? Kok bisa-bisanya dia ada di sini?

Ajaib! Amazing! Ga bakal ada yang percaya!

Si cantik bertubuh semampai itu memang sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin? Di antara ratusan juta jiwa manusia yang ada di Indonesia, bagaimana bisa ia kembali bertemu dengannya?

“Te-terima kasih, Pak.”

Ya. Nayla memanggilnya Pak.

Tidak salah lagi, Nay kenal sekali dengan pria ini. Orang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya dan tak akan pernah ia lupakan karena orang dia hampir saja membuatnya dropout dari kampus.

Bram Kusmara. Pak Bram Kusmara. Pak Bram.

Bertahun-tahun yang lalu Pak Bram adalah dosen Nayla di salah satu kampus swasta, Pak Bram pula yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya. Orang yang berulang kali memaki-makinya saat Nay belum juga membereskan paper-nya yang berantakan padahal waktu penyerahan tugas akhir sudah sangat mepet. Dulu Nay bahkan terancam gagal mengikuti sidang pendadaran gara-gara Pak Bram beranggapan kalau bahasan masalah yang dibeberkan Nay masih belum sempurna tanpa disertai referensi pendahulu yang sesuai.

Ya kali orang macam Nay bisa bikin skripsi sempurna. Mau bikin landasan teori aja mesti konsultasi ke dukun.

“Sehat, Nay?”

Mata Nay yang indah makin bulat membulat seperti rembulan purnama sempurna. Tuh kan! Hal-hal ganjil satu persatu bermunculan. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Pak Bram yang punya puluhan mahasiswa bimbingan tiap semester ternyata masih hapal namanya?

Di-dia masih ingat namaku?

Pak Bram masih berdada bidang, dengan wajah dingin dan tatapan mata tajam yang tak pernah berubah sejak dari zaman Nay kuliah. Saat ini ia mengenakan baju olahraga khas biker dengan celana pendek ketat yang memamerkan badannya yang kekar.

Pak Bram masih terlihat sama seperti saat mereka terakhir bertemu – saat bimbingan skripsi. Tak ada yang berubah dari wajahnya. Bagaimana bisa? Apa orang ini minum air dari pancuran awet muda? Untuk pria yang usianya mungkin dua kali lipat dari Nay, dia terlihat sangat segar dan sehat - kelihatan juga kalau Pak Bram sering keluar masuk gym. Badannya yang tinggi besar mengintimidasi Nayla yang mungil seperti anak ayam ketemu musang.

“Sa-saya sehat, Pak.” Nay memaksakan senyum sungkan.

“Syukurlah.”

“Ba-bapak sehat?”

“Iya. Lumayan sehat, masih agak mampet hidungnya karena seminggu kemarin pilek. Tapi sekarang sudah bisa olahraga.” Pak Bram tersenyum. “Asyik ya di sini, kalau pagi banyak yang berolahraga pagi.”

Demi apa dia bisa tersenyum!

“Iya, Pak. Banyak.”

Geli Nay melihat Pak Bram dalam kesehariannya begini, hilang sudah semua image seramnya. Dulu Pak Bram dikenal sebagai dosen yang killer. Tidak ada mahasiswa yang mau bimbingan TA sama dia kecuali yang daftar bimbingannya telat jadi mau tidak mau dapet dospem Pak Bram – tentunya salah satu yang telat mendaftar adalah Nayla.

Pak Bram tiba-tiba mengerutkan kening dan menyatukan alis saat menatap wajah jelita Nayla, ada kekhawatiran di matanya. Nayla pun jadi kikuk, karena Pak Bram tiba-tiba saja menatap sangat tajam dan mendekat padanya. Nay tersipu.

“Eh? Kenapa, Pak?”

“Kamu mimisan, Nay.”

“Hah!?” Nay menyentuh lubang hidungnya dengan siku jari telunjuk.

Saat ia memeriksa siku jari, benar ada darah segar di sana. Mimisannya cukup deras. Wajah Nay berubah, ia mulai panik.

Pak Bram bergerak cepat, dengan cekatan ia menggandeng Nayla ke pinggir untuk duduk di tepian pembatas antara trotoar dan dinding tempat pepohonan ditanam. Mantan dosen Nayla itu lantas mengeluarkan tissue demi tissue yang diambil entah darimana. Kalau saja tidak sedang mimisan, Nayla ingin bercanda kalau Pak Bram ini sebenarnya punya kantong ajaibnya Doraemon.

“Hal pertama yang harus dilakukan kalau kamu sedang mimisan, adalah menundukkan kepala.” kata Pak Bram dengan lembut. “Tujuannya supaya darah itu tidak mengalir ke saluran pernapasan.”

Nay mengikuti petunjuknya.

“Sekarang bungkukkkan badan ke depan, supaya darah itu juga tidak mengalir ke tenggorokan. Jangan lupa cubit cuping hidung kamu dan bernafas menggunakan mulut dulu. Tidak perlu khawatir, kayaknya kamu mimisan ini cuma gara-gara kecapekan aja, wajah kamu juga pucat.”

Nayla kembali mengikuti petunjuk Pak Bram.

Si cantik itu masih bingung harus bersikap bagaimana sementara mantan dosennya membersihkan hidungnya dari darah dengan telaten. Tissue digunakan untuk membersihkan bagian antara hidung dan bibir. Dengan lembut Pak Bram membersihkan tanpa sekalipun Nay protes. Entah kenapa dia hanya terdiam pasrah.

Saat itulah pikiran Nayla mengambang, menjelajah ke suatu masa yang telah lalu, ke dalam batin yang dalam pada sebuah kenangan yang terlupa, pada dinding rak memori yang berdebu. Jauh ke dalam sebuah masa, pada suatu ketika.





.::..::..::..::.





PADA SUATU KETIKA



“Sudah selesai revisinya?”

“Su-sudah, Pak Bram.”

Laki-laki yang duduk di belakang meja sama sekali tak menatap Nayla. Pandangannya terpusat pada layar PC dan pada baris demi baris pesan singkat yang hilir mudik silih berganti di layar smartphone-nya. Nay sekilas melirik ke layar smartphone Pak Bram, sepertinya dari grup dosen – ia mengenali profile picture dari beberapa dosen di sana, nampaknya sedang ada pembicaraan serius di sana entah apa itu topiknya.

Nayla menarik map plastik bening berisikan lembaran kertas tebal yang dikunci dengan menggunakan binder clip di bagian samping. Dengan hati-hati agar tidak mengganggu keasrian suasana meja yang dari awal sudah berantakan, Nayla mengeluarkan paper-nya dari dalam map dan meletakkannya ke meja.

Air conditioner ruangan dosen sebenarnya menyala kencang, bahkan dua meja dari posisinya sekarang Nayla melihat Pak Restu mengenakan jaket bertumpuk ganda karena dingin. Entah kenapa Nay justru merasa panas, mungkin karena aura membunuh hebat keluar dari wajah sang dospem yang dingin dan tanpa ekspresi. Ngeri, menakutkan, horor, serem, thriller. Keringat dingin mengalir deras di tubuh sang jelita, menandakan hidupnya tengah berada di ujung batas kenyamanan.

Pak Bram mulai membolak-balik paper Nayla dengan wajah tidak tertarik sama sekali, berulangkali ia hanya mendengus sambil memeriksa paper sang mahasiswi – semua dilakukan tanpa sekalipun melirik ke arah Nay. Lincah tangan Pak Bram membuka lembaran draft skripsi – lincah pula saat ia membubuhkan notes dengan pena merah menyala.

Tegang.

Masih banyak yang salah kah?

Mudah-mudahan tidak.

Dag dig dug.

Ding dung des.

Dag dig dug.

Ding dung...

“Kamu yakin ini sudah direvisi?”

Copot eh copot copot!!!

Suara berat Pak Bram yang tiba-tiba saja menyampaikan pertanyaan membuat Nay yang sejak awal sudah gemetar ketakutan melonjak karena kaget. Wajah Nayla memerah.

“Su-sudah, Pak.” Jawab Nay patah-patah.

“Apanya yang direvisi? Masih banyak yang salah begini kok. Ini salah, ini salah, ini salah, ini apalagi. Kamu bikin urutan nomer aja salah. Hadeh... begini kok mau jadi sarjana.” Pak Bram geleng-geleng sembari memberi tanda bagian-bagian salah yang disebutkannya tadi dengan pena merah. “Referensi penelitian belum ada, posisi gambar dan tabel berantakan. Rumusan masalah kacau, payah banget.”

Nayla memperhatikan bagian-bagian yang ditandai oleh Pak Bram. Keningnya berkerut, lho – kenapa bisa salah? Bukankah beberapa bagian itu justru yang kemarin dibenahi? Masih salah juga? Astagaaa! Nay pun cemberut. Kalau begini terus kapan selesainya?! Capek banget! Pengen nangis rasanya.

Pak Bram tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan perubahan di wajah Nay, ia tetap membubuhkan notes dengan pena warna merahnya. Tulisannya makin lama makin tebal, makin besar, bahkan makin banyak notes yang dipenuhi huruf kapital dan tanda seru. Makin hancurlah paper Nayla. Ibarat seekor kambing yang diumpankan di kandang singa. Bubrah. Nay geleng-geleng kepala, begadangnya beberapa hari ini ternyata sia-sia belaka.

Pak Bram menutup draft itu bahkan tanpa menyentuh bab-bab selanjutnya. “Baru masuk tiga bab, tapi kamu sudah bikin banyak sekali kesalahan. Saya malas cek bab empat, revisi dulu yang tadi saya beri tanda.”

“Iya, Pak.” Suara Nayla seperti salon kecemplung empang, mendem.

“Kamu serius tidak sih bikin skripsinya? Kalau memang belum siap – lebih baik kamu ajuin cuti dulu saja. Ini sama sekali tidak layak lho, padahal kita sama sekali belum masuk ke pembahasan.” Pak Bram geleng-geleng kepala dan melemparkan paper Nayla dengan kasar. “Kalau kamu memang mau cuti, bilang ke dosen pembimbing akademik, supaya bisa disusulkan cuti. Rugi bayar mahal-mahal semester ini kalau kamu tidak niat bikin skripsi!”

Dengan kikuk Nay pun memasukkan kembali paper-nya yang penuh coretan tinta merah ke dalam map plastik bening. Matanya berkaca-kaca. Malu banget dia diperlakukan seperti ini di hadapan para dosen lain.

“Akan saya perbaiki lagi, Pak.” Suara Nay lemah terucap, getir dengan lidah terkecap. Tak kuasa ia menanggapi pedasnya ucapan Pak Bram, ia hanya bisa menunduk teramat dalam. Dengan tangan bergetar gadis yang ketakutan itu mengeluarkan lembar Catatan Bimbingan dan Konsultasi Dosen Pembimbing TA-nya dan meletakkannya di depan Pak Bram. Dari sekitar minimal 10 tanda tangan yang harus dibubuhkan, Pak Bram baru menandatangani satu – itupun karena tempo hari beliau buru-buru mengikuti seminar dan tidak sempat memeriksa paper Nay.

“Apa ini?”

“Lembar konsultasi, Pak.”

“Iya saya tahu. Maksud saya kenapa kamu taruh di sini?”

“Untuk minta tanda tangan, Pak. Setiap konsultasi kan saya harus meminta tanda tangan...”

“Nggak, nggak.” Pak Bram menggelengkan kepala. “Besok saja sekalian. Saya keburu hilang mood lihat paper kamu tadi. Revisi ini paling lambat besok sudah selesai, saya tidak mau tahu alasan apapun! Itu kalau kamu serius mau lulus.”

Besok? Anjlok perasaan Nay. Kenapa begini amat sih?

“Baik, Pak. Akan saya perbaiki, Pak.” Nay melesakkan kembali Catatan Bimbingan ke dalam tas. Lalu ia pun pamit. “Saya permisi dulu.”

Pak Bram tidak menjawab, dia kembali sibuk tenggelam dalam chat di smartphone-nya, sementara bayangan Nayla mulai meninggalkan ruang dosen.

Tak berapa lama kemudian terdengar suara Pak Restu terkekeh.

“Oaaalaah, Bram... Bram.”

Kenopo, Pak? Kenapa?”

“Kamu ini lho. Cah ayune koyo ngono kok malah digetak-getak. Anak cantiknya seperti itu kok malah kamu bentak-bentak.”

Bram tersenyum, “dia itu sebenarnya potensial, Pak. Pinter dan cerdas kalau pas niat. Sayang dia suka teledor, tidak teliti, dan suka ambil jalan pintas. Mudah-mudahan bimbingan ini bisa menjadi pelajaran buat dia ke depan nanti. Supaya tidak menyepelekan sesuatu begitu saja.”

Pak Restu hanya manggut-manggut sembari meneruskan bermain solitaire di layar Windows. “Manut aja wes, Bram. Mudah-mudahan teknikmu berhasil, Nayla itu orangnya ulet sih kalau aku lihat. Dia selalu mau berusaha.”

“Bener, Pak.”

“Ditambah cakep juga.”

“Yaelah, Pak Restu. Kita di sini pengajar Pak, bukan biro jodoh.”

Kedua dosen itu tertawa.

Sementar itu Nayla keluar dari ruang dosen dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar karena saking kesalnya. Bibirnya cemberut, alisnya mengkerut, yang lihat pasti akan takut. Bukan rahasia tentunya kalau Nayla saat ini sedang kesal. Apa-apaan sih Pak Bram?! Kenapa perlakuannya sekejam ini? Kemarin disuruh perbaikin paper, begitu diperbaiki malah disalah-salahin, gimana lagi coba? Capek! Padahal udah begadang terus, masih juga ditolak.

“Nay?”

Nay menengok, lalu buru-buru mendatangi dan memeluk sosok yang baru saja memanggil namanya. Gadis itu tenggelam dalam pelukan sang sahabat yang baru saja keluar dari ruang sekretariat.

“Kak Nisaaaaaa.”

“Kenapa lagi, Nay?”

“Ancuuuuuuuuur, Kak.”

“Lho, kok bisa? Kamu habis bimbingan kan?”

“Iyaaaaaaaaa.”

“Terus gimana?”

“Tauuuuuuk!! Sebel banget sama Pak Bram! Sebel banget!”

Khairunnisa Nayla Azzahra tersenyum dan berjalan beriringan dengan si cantik yang manjanya ampun jika bersamanya itu. Sudah empat tahun mereka berdua menjalin persahabatan, sejak awal kuliah dimulai dulu. Salah satu alasan kenapa mereka awalnya bisa bersahabat adalah kesamaan nama Nayla pada nama keduanya. Nayla A dan Nayla B, untungnya Nayla A sejak awal lebih suka dipanggil Nisa sehingga Nayla B yang kemudian mendapatkan panggilan Nayla.

Nisa merangkul Nay dengan hangat.

“Ya udah, ceritain ke aku yuk. Sembari cerita kita makan eskrim. Gimana?”

“Maaaauuuuu lah.” Nay meringis, “buat ngademin otak, Kak. Cerdas emang kakakku satu ini. Pinter, cantik, pantes cum laude.”

“Kamu yang bayar ya, Nay.”

“Yeeee. Ga jadi adem dah otaknya.”

Nisa tertawa.





.::..::..::..::.





KEMBALI KE SEKARANG



“Nay?”

Nayla tak segera tersadar dari lamunannya, batinnya terbang menjelajah memori. Lucu rasanya kalau teringat kembali. Masa-masa di suatu ketika, saat menjalani kuliah sepenuh hati, demi mendapatkan secarik kertas yang akan menambah gelar pada nama diri.

“Nay?” suara berat Pak Bram membangunkannya.

“Eh... i-iya, Pak.”

“Minum hangat dulu.” Pak Bram menyodorkan secangkir teh ke hadapan Nayla. Dari bungkus teh celup yang ada di meja, teh itu teh Tasseo.

Saat ini mereka berdua tengah duduk berhadapan di McKafe, cafe milik McRonalds yang ada di seberang jalan tempat Pak Bram dan Nay bertemu. Untung ada gerai makanan yang buka 24 jam di tempat ini. Win win solution, yang menggelar restonya laris, yang olahraga pagi punya rujukan sarapan.

Jangan tanya bagaimana ceritanya Nay sampai bisa diajak ke sini sama Pak Bram, karena dia sendiri pasti juga bingung. Semua berjalan begitu saja – terlebih saat panik karena mimisan tadi.

Karena sudah ada teh, ya dinikmati saja kan? Nay menyeruput tehnya, ah... refreshing. Semua penat yang ia rasakan hilang seketika ditelan hangatnya teh yang menyegarkan dada.

“Bagaimana sekarang? Sudah mendingan?”

“Sudah, Pak. Terima kasih banyak. Ga nyangka malah jadi ngrepotin.” Nay menunduk malu, wajahnya memerah seperti cabe giling paprika campur tomat. Malunya banget-banget jadi berasa pengen sembunyi di bawah rumah batu Patrick di Bikini Bottom. “Sekali lagi terima kasih.”

“Apaan sih, Nay. Sudah kewajiban kita menolong orang lain. Kamu sering olahraga di sini?”

“Hampir tiap minggu, Pak. Hari ini sama suami dan keponakan.”

“Oh begitu. Mana mereka?”

“Tadi mereka duluan. Saya memang rencana balik ke mobil karena ga enak badan.”

“Oh gitu.” Pak Bram tersenyum, “mereka sudah dikabarin? Takutnya nyariin kamu. Ajak aja mereka ke sini.”

“Ga apa-apa, Pak. Ini saya cek katanya mereka bilang sedang mampir di pasar kaget.”

Pak Bram mengerutkan kening, “kamu ga bilang kamu sakit?”

“Ga perlu, Pak. Saya kan sudah tidak apa-apa.”

Pria yang usianya sudah kepala empat itu pun menggelengkan kepala, “Dasar kamu ini.”

“Hehehe, saya ga mau mereka ikutan panik, Pak. Kenyataannya toh saya memang tidak apa-apa. Terima kasih buat bantuan Pak Bram.”

Hmm.” Pak Bram lantas melirik ke jam tangannya dan bersiap, siap. “Sudah siang. Aku mesti pulang dulu, Nay. Kamu yakin tidak apa-apa, kan?”

“Tidak apa-apa, Pak. Sungguh. Terima kasih sekali. Saya asli jadi ga enak ngrepotin Pak Bram.”

Pak Bram kembali tersenyum dan berdiri. Tubuh kekarnya bagai mendominasi ruangan, sementara rambut cepaknya yang sebagian mulai memutih membuat sosoknya menjadi kontradiktif. Badan masih kencang, wajah masih muda, tapi rambut sudah mulai beruban.

“Senang ketemu kamu, Nay. Kamu tambah cantik.”

Wajah Nayla memerah. “Te-terima kasih, Bapak juga awet muda. Masih sama seperti dulu terakhir ketemu. Saya malah tidak mengira Bapak masih hapal nama saya, mahasiswa Bapak kan banyak.”

“Aku tidak pernah melupakan wajah mahasiswa, apalagi yang menjadi favorit.”

Nay ingin tergelak, tapi ditahan. “Ih, bohong banget. Mana mungkin saya favorit Bapak, orang waktu bimbingan skripsi aja disuruh bolak-balik ratusan kali.”

“Enam belas kali.”

“Enam belas... kali...” Wih, masih inget aja Pak Bram. Nay manggut-manggut. Sekali lagi ia mengoleskan tissue di bawah hidungnya, darahnya sudah tak lagi leleh. “luar biasa daya ingatnya, Pak. Saya sih sudah lupa berapa kali ngajuin bimbingan ke Bapak. Kayaknya puluhan, hihihi.”

“Seperti yang aku bilang, aku tidak akan pernah lupa mahasiswa favoritku. Apalagi yang paling cantik.”

Nay meneguk ludah, wajahnya memerah. Si jelita itu agak jengah dipuji oleh mantan dosennya. Antara berterima kasih, tapi juga tidak nyaman, awkward rasanya. Bisa-bisanya dibilang cantik sama Pak Bram. Pak Bram gitu loh!

“Oh iya, Nay...”

“Iya, Pak?”

“Boleh minta nomor kamu? Ada kabar anak-anak angkatan kamu mau ngadain reunian. Siapa tau kamu mau ikut.”

“Oh i-iya, Pak.”

Keduanya pun bertukaran nomer.





.::..::..::..::.





Bulan bergelayut manja di tepian malam, memainkan sinar malu-malu di belahan bumi yang gelap, dengan kilas cahaya tipis yang hanya mampu menerangi sisi terdalam insan penikmat malam. Cahaya rembulan bukan lambaian sinaran terang laksana kuasa sang surya yang membanjiri dunia dengan jumawa, bukan pula seperti bola lampu redup yang ada di penghujung jalan. Cahaya bulan mungkin hanya sekilas mercusuar penerang hati, yang berperan tipis memudarkan kalut dalam diri – itupun seandainya diijinkan oleh sang pemilik nurani. Karena ketika malam tiba, itulah saatnya kita membuka hati dan berpasrah diri.

Nay melongok keluar jendela kamar untuk memastikan bahwa lampu-lampu di taman rumah sudah dinyalakan, karena jika tidak – maka suasana halaman akan menjadi terlalu gelap. Kasihan bapak-bapak satpam yang berkeliling komplek untuk ronda nantinya.

Setelah merasa semua aman, Nay kembali rebah di pembaringan dan meraih ponselnya untuk menelisik media sosial. Ia melirik ke arah kanan untuk melihat suaminya yang terus sibuk.

Arul sedang mengetikkan kode-kode pemrograman di komputernya, meja kerja itu bahkan ada tiga monitor berjajar paralel. Deadline pekerjaan yang teramat padat membuatnya harus bekerja bahkan di malam hari pada akhir pekan – tidak jarang dia baru terlelap justru menjelang subuh.

Pria itu menggosok rambut cepaknya dengan telapak tangan karena penat. Ingin rasanya segera menuntaskan tugas pemrograman dari kantor yang seakan-akan tidak ada akhirnya dan buru-buru bercengkerama dengan istri tercinta – tapi malam ini hal itu tidak akan dapat ia lakukan. Pekerjaannya begitu penting sehingga harus segera rampung kalau tidak mau dituntut oleh klien dari Singapore.

Nayla tertawa saat berselancar di dunia maya. Suara cekikikan sang istri membuat Arul kaget. Mau tidak mau ia membalikkan badan.

“Kok ketawa-ketawa sendiri, sayang?”

“Hihihi, ga kok, Mas. Heran aja. Kadangkala dunia ini berjalan dengan misterius. Ada saja kebetulan-kebetulan yang bisa timbul dengan kebetulan.”

Walah, rumit men kalimatmu, Nay.

“Ya ada dong, itu yang namanya kebetulan.” Arul kembali ke pekerjaannya. “Ada kebetulan yang menyenangkan dan ada kebetulan yang tidak menyenangkan. Kamu ketemu kebetulan yang mana?”

“Hmm... yang mana ya?”

Nayla sebetulnya tertawa karena beberapa saat yang lalu secara tidak sengaja ia menjumpai nama Bram Kusmara mulai follow akun instagram-nya. Nayla-pun mem-follow balik mantan dosennya itu dengan niat baik karena tadi pagi Pak Bram sudah menolong Nay.

Tapi gila juga, cuy. Pak Bram follow instagramnya? Dih, Nay mulai merinding.

Nayla yang jelita dan memiliki body aduhai adalah salah satu person di instagram yang populer tanpa harus berusaha. Ia bahkan tak perlu melakukan promosi terlalu heboh karena tiba-tiba saja follower-nya melonjak dengan cepat. Terlebih lagi saat ia mengenakan baju yang sedikit menampilkan lekuk tubuh, wah foto yang begituan like-nya bisa nembus awan – yang haters pun nambah ribuan, padahal tak jarang baju-baju itu titipan endorse.

Wow-nya, ternyata Pak Bram juga sempat meninggalkan komen di foto-foto Nay yang seperti itu.

Lho!?

Nay mengejapkan mata.

Sebentar-sebentar, kok komentarnya unik? Nay hampir-hampir tak mempercayai apa yang ia lihat. Serius nih? Pak Bram nulis beginian? Yakin?

Ada yang membulat tapi bukan tekad.

Mau pingsan rasanya Nay. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan karena geli setengah mati. Oke, memang pose fotonya agak mengundang dan membuat bagian dada jadi terasa besar – Mas Arul juga sih nih yang fotoin. Dasar cowok.

Fotonya memang seksi dan dadanya jadi terlihat sentosa, tapi sesungguhnya masih dalam taraf batas bisa dimaklumi, bukan foto vulgar apalagi murahan. Seksi yang classy.

Tapi Pak Bram? Komentar beginian? Seriously? Masa sih ini Pak Bram? Coba lagi foto yang lain... jadi penasaran, sumpah.

Nay sengaja mencari fotonya yang juga sedikit seksi. Sedikit itu maksudnya dada terlihat besar, tubuh lebih terlihat lekukannya, atau wajah cantiknya terlihat lebih kinclong dari seharusnya. Sebenarnya Nayla tidak begitu nyaman memasang foto seperti ini di Instagram, tapi Mas Arul bilang tidak masalah dan kenyataannya memang justru dari foto-foto seperti inilah follower-nya meledak dan pesanan endorse masuk banyak. Serba salah, kan? Meski cuan masuk, tapi tak jarang ia menjumpai fotonya digunakan oleh akun palsu atau malah dipasang di iklan yang ia sendiri tidak pernah tahu produknya. Kan lucu kalau ada foto Nay yang dipasang di iklan obat kuat sementara dia sendiri belum pernah tahu itu merk apa.

Beginilah resiko punya akun yang tidak di-private, ada untung dan ada ruginya. Untungnya Nay kerap kali dapat tawaran endorse, ruginya banyak akun asing masuk dengan segala macam komentar ajegile mereka. Serba salah, kalau harus di-private rasanya sayang karena bisa mendapatkan pemasukan sampingan, kalau tidak di-private banyak yang suka iseng.

Nah, ada nih satu lagi dari Pak Bram.

Ada yang menonjol tapi bukan bakat.

Tuh kan.

Kok nggilani ya?

Kalau yang komentar itu cowok-cowok ga jelas, cewek-cewek berbatang, atau fake account cari aman wajarlah – apalagi kalau mereka sudah mulai komen asal dan tidak sopan, tinggal diblokir saja. Tapi ini Pak Bram! Masa iya sih diblokir?

Lagipula...

Ngapain sih Pak Bram pakai komen-komen aneh begini?

Jari jemari Nayla mulai beraksi scrolling dan mengintip satu demi satu update notifikasinya, dalam beberapa malam terakhir Pak Bram ternyata beraksi secara membabi-buta dan menerapkan taktik gerilya. Hit and run. Like sana, comment sini. Agak awkward rasanya Nay diperlakukan spesial begini oleh Pak Bram.

Spesial tapi geli.

Tapi kalau ingat yang tadi pagi...

Sewaktu Pak Bram mengelap darah di dekat bibirnya.

Sewaktu Pak Bram menggandengnya dengan khawatir.

Wajah Nay memerah.

Kalau yang tadi benar-benar spesial.

Wajah Pak Bram yang sekali-sekalinya tersenyum pun terbayang selintas di benak Nay.

Eh!?

Kenapa bayangin Pak Bram? Stupid! Nay melirik ke arah sang suami dan buru-buru mematikan layar ponselnya.

Tidur aja, Nay!

Ada yang tau apa itu LKTCP....????
 
baaaaaah
mantaaab kaliii suhuuuu :klove: :ampun: :ampun:
calon subes ini mah:khappy:
bahasamu duwur tp isih esoh digayuuh:jempol:

semoga suhu selalu semangat berkarya dan juga selalu diberi kelancaran di RL:beer::semangat::semangat:
 
Tutur kata dan cara berceritanya bagus bgt, berasa ikut ngrasain kejadiannya beneran.

Latar belakang, karakter masing² juga kuat, ditambah twist gantung di akhir cerita ..

:mantap: semoga sukses suhu!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd