Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Ini ntar sekampung diceritain sama om TS,ampe masalah si hendi juga mulai ketauan ridwan bwehehehee
 
Minyak goreng bekas, Oli Rem, Oli Gardan, stingpet mmm apalagi ya? Oiya Sabun colek buat coli :coli: Udah ready nih mang, buru diupdate nya!!!
 
sabarrr, Agan-Agan... Suhu-Suhu...
pokona mah malam minggu dan malam senin akan ada postingan berturut-turut...
(siap-siap di bully Sobari haters :( )
:peace:
 
sabarrr, Agan-Agan... Suhu-Suhu...
pokona mah malam minggu dan malam senin akan ada postingan berturut-turut...
(siap-siap di bully Sobari haters :( )
:peace:
Kayaknya Sobari lagi menang nih......
 
Bimabet
BAGIAN XIII b

***

Saking penasarannya dan ingin meyakinkan dugaannya, Anto keluar kamar diam-diam. Mencoba mencari tahu di kamar yang satunya lagi. Sayang dia sedikit kesulitan karena tak menemui lubang pengintipan sedikit pun, walau dia sudah berkeliling ke setiap dinding. Akhirnya dia mencoba-coba dengan menempelkan telinganya di dinding kayu kamar tersebut. Benar saja, hatinya berteriak senang, lupa akan rasa sakit dari memar dan luka bekas hantaman tongkat kayu Ridwan.

“Ayah juga bingung, Las. Semoga aje tu bocah kaga liat ayah masuk ke kamar ini,” itu suara Pak Nadi, ayah Sobari.
“Lastri takut, Yah,” terdengar suara perempuan, hampir tak terdengar oleh pendengaran Anto. Sambal menguping Anto coba mengingat-ngingat istri dari Sobari yang tak begitu dikenalnya itu. Karena seingatnya, baru dua kali dia bertandang ke rumah Sobari ini. Kalua dia tak salah mengingat, istri Sobari itu orang jawa dengan perawakan mungil, dan yang paling diingatnya adalah dia pernah kagum akan besarnya payudara perempuan itu yang membusung dari balik baju saat menyuguhkan minuman ketika dia bertamu.

“Keluarga edan!” Maki Anto dalam hatinya kembali dengan kepala menggeleng-geleng. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Anto memutuskan untuk kembali ke kamarnya karena dia segan dan malas untuk menguping lebih lanjut. Hanya dia sudah faham yang terjadi di rumah tersebut.

Karena lelah, walau pun hatinya sebal karena kupingnya terus terganggu oleh rintihan dan erangan dari kamar sebelahnya. Akhirnya Anto tidurbisa juga memejamkan matanya dengan nyenyak.

*

Anto bangun saat sudah siang sekali. Itu pun terbangun karena mendengar suara entah piring atau gelas yang terjatuh. Dia terbangun dengan rasa kaget dan langsung menyeringai ketika seluruh badannya terasa remuk redam. Dengan masih berbaring, dia mengumpulkan ingatannya, mengingat-ingat kenapa dia terbangun di sebuah kamar yang sempit dan bau apek.

Ah ya, dia telah mengalami peristiwa buruk semalam. Rahangnya mengeras oleh rasa dendam kepada laki-laki yang telah menggagalkan rencananya. Dia bersumpah dalam hatinya akan mencari tahu siapa bangsat itu sampai ketemu dan menghajarnya setengah mati. Yang jelas dia akan sangat membutuhkan bantuan Sobari untuk mencari tahu akibat dari kejadian semalam. Sukur-sukur Soraya tidak sampai lapor polisi dan hanya melapor ke kantor. Dia tidak takut dipecat, dia hanya ngeri kalau harus berurusan dengan polisi lagi.

Rencana pertamanya adalah menemui Sobari untuk diminta bantuannya yang tentu tak akan berani menolaknya. Sudah sering dia membantu Sobari saat berurusan dengan yang namanya perkelahian. Jadi sudah sepantasnya kalau Sobari membantunya, bahkan tanpa erlu dimintanya.

Anto segera keluar kamar dengan sedikit terpincang-pincang, dengan mulut menyeringai menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sesampainya di luar kamar, dia celingak-celinguk. Rumah Sobari ternyata sepi sekali.

“Pade kemane orang-orang?” hatinya bertanya-tanya.

Disaat dia sedang kebingungan, sesosok tubuh mungil muncul dari dapur membawa nampan teh manis serta lauk pauk. Ia bukan lain adalah Lastri, istri Sobari. Tampak tertegun sejenak, mereka saling pandang sebelum Lastri menundukan wajahnya.

“Sobari ke mana, Mbak?” Anto mendahului bertanya.

“Mas Sobari pergi ke bengkel bekerja, Mas. Mas Anto kalau mau sarapan sudah saya siapkan di meja makan, ini teh manisnya, sekalian saja” sahut Lastri dengan suara lembut dan medok logat Jawanya, sambil melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah. Menata makanan di meja makan.

“Ohhh, kenapa kaga bangunin abang ye,” kata Anto dengan perasaan menyesal.

“Mas Sobari berangkat pagi, sempat menengok Mas Anto di kamar, dia hanya berpesan supaya Lastri menyiapkan makanan buat Mas,” jawab Lastri tanpa menoleh.

“Trus yang laennye? Ncing sama Ncang pade kemane? Sepi banget!”

“E-emak ada pengajian rutin, kalau…, kalau A-ayah pergi kerja juga,” sahut Lastri agak tergagap.

“Hadeuh…, ya udah. Abang mo mandi dulu deh. Badan masih sakit-sakit habis berantem melawan sepuluh orang semalem,” kata Anto membual.

“Handuk dan pakaian ganti sudah Lastri siapkan, Mas. Dan…, dan,” Lastri terlihat ragu-ragu.

“Dan kenape?” potong Anto heran.

“Mas Sobari menyuruh Lastri untuk membuat ramuan dari beras kencur untuk badan Mas Anto yang memar-memar,” kata-kata Lastri terdengar pelan seolah ia terpaksa harus mengucapkan kalimat tersebut.

Anto hanya mengangkat pundaknya sambal manggut-manggut.

“Oke deh, Abang mandi dulu kalo gitu,” pungkas Anto sambil berlalu menuju kamar mandi.

Ketika mereka bercakap-cakap barusan, diam-diam Anto memperhatikan sekujur tubuh istri Sobari itu. Kagum dia dengan tubuh mungil yang padat dan sintal itu. Bokong besar terbalut kain, pinggal ramping dan payudara besar yang menonjol dari kaos longgar yang dipakainya itu menjanjikan sesuatu yang membuat penisnya mulai bangun.

Hmmm, gue kaga boleh macem-macem dulu, gue masih butuh bantuan Si Sobari, bisik Anto dalam hatinya.

Berdua seharian dengan seorang lelaki yang baru dikenalnya, membuat lastri yang memang pada dasarnya lemah lembut itu, menjadi risih dan serba salah.

Apalagi ketika Anto dengan entengnya meminta ia untuk membalur seluruh tubuhnya yang lebam dan memar tanpa rasa sungkan. Ingin sebenarnya Lastri menolak, namun ketika teringat kalau teman suaminya itu melapor, Sobari yang kini sinis itu tentu tak akan memberi ampun kepadanya. Lastri sangat berharap Pak Nadi segera pulang agar sedikit banyak, hatinya bisa tenang. Ia memang takut dengan Anto yang badannya penuh tato itu. Hanya sayang, Pak Nadi yang pengangguran itu dengan terpaksa harus mencari kerja demi mendapatkan penghasilan untuk mereka berdua. Karena sesuai ancaman dari Sobari juga sindiran dari Bu Jaenab, bahwa dia hanya memberi tumpangan rumah, namun tidak bertanggung jawab untuk makan mereka. Oleh karena itulah, pagi-pagi sekali, Pak Nadi berangkat ke luar rumah, entah ke mana, yang jelas dia sedang berusaha mendapatkan pekerjaan baru.

“Wahhh, pinter banget mijitnya, Mbak,” komentar Anto saat dia sedang dibaluri beras kencur oleh Lastri di ruang tengah, dia berbaring tengkurap karena memang punggungnya lah yang semalam dihajar habis-habisan oleh tongkat kayu Ridwan.

“Cuma asal pijit aja, Mas. Maaf kalau nggak enak,” jawab Lastri dengan suara segan. Punggung laki-laki itu benar-benar seperti kanvas lukisan, penuh gambar tidak jelas, mirip peta harta karun.

“Enak…, enak banget, Mbak. Kayak pijetan ahli pijet,” puji Anto mengacungkan jempolnya ke belakang karena posisi dia sedang dalam tengkurap. Kebetulan, saat itu dia menghadap ke sebuah cermin besar yang tergantung di dinding kayu. Posisi Lastri yang sedang memijat punggungnya badannya setengah merunduk. Anto menelan ludahnya ketika melihat dua bongkah payudara montok, menyembul dari leher kaos longgar yang dikenakan oleh Lastri saat itu. Seakan hendak memberojol dari beha hitam yang dikenakannya.

Gile benerrrr! Rutuk hati Anto. Dia malah kembali teringat Soraya, perempuan pujaannya, bentuk payudara Soraya memang tidak sebesar itu, namun payudara bulat sempurna putih mulus itu, dengan mengingatnya saja, dia hampir gila. Kalau saja pada malam itu dia berhasil menjalankan rencananya, Soraya tentu sudah berada dalam genggamannya. Dengan bekal rekaman dari handphonenya, perempuan itu tentu akan pasrah menurut semua keinginannya. Hanya sayang, ada laki-laki bangsat yang sok pahlawan yang menggagalkan rencananya. Apesnya, dia bukan saja hampir mati kalau saja tidak kabur, namun handphone dan motornya ikut tertinggal.

“Sial!” desis Anto tanpa sadar.

“Kenapa, Mas?” tanya Lastri keheranan, menghentikan pijatannya. Tiba-tiba wajahnya memerah saat ia sadar bahwa Anto sedang menatap ke cermin dengan keadaan tubuhnya yang membungkuk seperti itu, lebih dari separuh payudaranya terlihat jelas dalam bayangan cermin tersebut.

Mereka berdua sempat saling bertatapan, sebelum Lastri dengan cepat menegakan tubuhnya.

“Eh…, anu. Semalem abang sial bener, Mbak. Sebetulnya melawan sepuluh orang sendirian mah enteng. Cuma karena gelap aje Abang keteter,” bual Anto beberapa saat kemudian, mencoba mengalihkan pandangannya dari cermin.

“Berkelahi kenapa, Mas?” tanya Lastri sambil lalu.

“Mereka ganggu cewek yang pulang bekerja, bahkan berlaku kurang ajar. Coba kalo Abang tidak kebetulan lewat tempat itu, tu cewek besok bisa masuk koran!” kembali Anto membual tak kepalang tanggung.

“Jadi…, selamatkah akhirnya?” tanya Lastri yang mulai tertarik.

Anto mengangguk bangga. Kebanggaan kosong, “Ho-oh, walau pun Abang semisalnya harus mati demi membela tu cewek, abang pasti rela!” imbuh Anto tak kepalang ngibul.

“Kenalan Mas Anto-kah?”
“abang kaga kenal malahan, Mbak. Lucu juga ya…, ugh…, itu tuh, Mbak. Enak banget pijitannya. Beruntung sekali Ncang Nadi ya,” jawab Anto.

“A-apa, Mas?” wajah Lastri mendadak pucat.

Anto sedikit tersentak. Merasa telah terlepas omongan.

“Abang bilang, beruntung sekali Ncang Nadi punya mbak,” sahut Anto yang sudah merasa kepalang tanggung.

Wajah Lastri semakin pucat, ia menghentikan pijatannya. Badannya tersurut mundur.

“Mm-Mas Sobari ma-maksudnya, Mas?” ucap Lastri tergagap.

“Ncang Nadi, Mbak Lastri!” tukas Anto tajam, badanya segera berbalik lalu bangkit duduk di atas tikar menghadap Lastri yang tubuhnya terlihat gemetar.

“Sudah lah, ane udah tau semuanya, Mbak. Bahwa Ncang Nadi sama Mbak udah tidur sekamar,” seringai Anto.

“Mm-Mas Sobari?” tanya Lastri dengan suara tercekat.

“Naaah, suamimu itu lebih gila lagi. Mungkin otaknya udah kaga waras tu bocah, masa emak sendiri diewe!” jawab Anto enteng sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya memang masih heran dengan kejadian ajaib semalam.

“Mmm-mas…,” Lastri sudah kehilangan kata-kata. Ia hanya mampu menatap penuh permohonan kepada Anto yang kemudian manggut-manggut mengerti.

“Tenaaang, ane orang yang bisa tutup mulut, Mbak Lastri. Cuma, jaman sekarang tutup mulut itu kaga ada lagi yang namanye gratis. Paham?”
“Mmm-Mas…, saya nggak punya uang samasekali,” keluh Lastri dengan suara memelas.

“Ane mah kaga minta uang, Mbak,” tukas Anto dengan pandangan penuh arti.

“Tt-terus?” tanya Lastri kebingungan.

“Ane mah cuman minta Mbak buka baju sekarang!” desis Anto, menyeringai.
Lastri beringsut mundur, kepalanya menggeleng-geleng.

“Coba bayangin, Las,” kata Anto kembali dengan tanpa panggilan embel-embel ‘Mbak’ lagi, “Bayangin kalo warga tau kegiatan mesum keluarga ini. Whaduhhh, bisa digerebeg terus diarak keliling kampung sambil ditelanjangi tuh!”

“Jj-jangaaan, Mas!” Lastri terlihat makin pucat.
“Ane bisa jaga rahasia, Las. Cuman..., ya itu syaratnya. Jangan sampe pas ane mabuk terus meracau. Wahhh...,” Anto memainkan alisnya.

Lastri saat itu benar-benar sangat ketakutan sekali. Ia tahu benar apa yang diinginkan seorang pria ketika meminta seorang perempuan menanggalkan bajunya. Saking takutnya, matanya telah berkaca-kaca, “Mas, tolong..., kumohon!”

“Cuman buka baju aje, Las,” Anto berdesis dengan suara makin berat. Tanda bahwa dia sudah dikuasai nafsu bejat.

“Nggak mau, Mas!” tolak Lastri sambil bangkit berdiri.
“Ho-ho-ho, ya udeh, kalo gitu ane sekarang juga mau main ke tetangga, pengen ngobrol-ngobrol iseng,” Anto ikut bangkit, seringaian kejam muncul di mulutnya.
“Jangan! Jangan...! ttt-tolong!” seru Lastri panik.

“Makanye buka baju!” bentak Anto mulai tidak sabar.

“Bagaimana kalau Mas Sobari dan..., dan ayah tiba-tiba pulang?” Lastri mencoba beralasan.

“Kunci pintu! Jadi kamu punya kesempatan buat pake baju lagi ketika mereka menunggu dibukain pintu!”
“Mm-mas bisa menunggu Mas Sobari dan ayah pulang, mungkin bisa beri uang....”
“Udeh gue bilang! Gue kaga butuh uang!..., etdeh! lama banget dah. Tibang buka baju doang!” Anto kembali membentak kesal.

Entah karena saking takut dan paniknya, Lastri menggelosoh bersimpuh dengan tubuh lemas.
Melihat itu Anto tersenyum senang, “Ayo buka baju!” desaknya kemudian.

Lastri samasekali tak punya pilihan lain. Dengan sangat ragu-ragu sekali, disertai isak tertahan, ia mulai menarik ujung kaosnya ke atas.
Anto tertawa mesum ketika Lastri sudah melepas kaos bajunya. Sepasang payudara yang besar dan bulat montok, seakan hampir tak tertampung beha berwarna hitam. Sebetulnya saat itu Lastri tengah hamil tiga bulan. Namun perutnya masih terlihat rata dan seksi.
Membayangkan betapa nikmatnya menggesek-gesekkan penis dijepit payudara itu, Anto menelan ludah. Tangannya melambai, “Kemarilah!”
“Cc-cuma buka baju, Mas,” Lastri menggelengkan kepalanya.
“Kemari!” sentak Anto kasar.

Dengan isak tertahan, Lastri beringsut mendekat.
Anto segera menepuk ke dua pahanya sambil memberi isyarat agar istri Sobari itu duduk di pangkuannya.

Payudara montok hampir sebesar melon itu tampak terguncang-guncang ketika Lastri terisak-isak, namun menurut juga walau hatinya memberontak untuk melawan. Ketidakberdayaannya oleh ancaman Anto, telah mendesaknya sebegitu rupa.

Lastri telah duduk di pangkuan Anto dengan wajah melengos tak mau menatap wajah preman kampung itu. Ke dua tangannya bersilang mencoba menutup payudaranya yang tinggal terbalut beha hitamnya. Namun ke dua tangannya itu ditarik kasar oleh Anto.

“Luarrr biasaaa! Besar banget, Las. ...,empuknyaaa!” bisik Anto dengan napas mulai memburu. Ke dua tangannya meremas-remas payudara tersebut dari balik beha.

“Ss-sakiiit!” rintih Lastri ketika merasakan remasan kasar dari telapak tangan Anto.
“Ntar juga jadi enak, Las,” desis Anto sambil jari-jarinya menelusuri belahan montok itu, terasa kulitnya yang halus dan empuk. Penisnya memang sudah dari tadi menegang. Menonjol dari balik celana pendeknya.

Lastri merinding sedikit geli ketika telapak tangan berkulit kasar itu mengusap-usap dan meremas bagian payudaranya yang menyembul tak tertampung behanya. Dan ia menggelinjang tak kuat menahan geli ketika jari-jari Anto menggaruk ketiaknya. Leher dan tengkuk istri Sobari itu mulai basah oleh keringat dingin.

“Jj-jangan, Masss,” tolak Lastri ketika Anto hendak menarik tali beha dari pundaknya.
“Diam!” bentak Anto serak.
Dengan kasar, preman kampung itu menarik tali beha Lastri, hingga kemudian beha tersebut melorot jatuh. Dan..., dua bongkah payudara yang besar, menggantung indah di depan mata Anto yang napasnya makin memburu.
Puting kemerahan payudara Lastri menonjol ditengah-tengah lingkaran hitam areolanya. Jari telunjuk dan jempol Anto segera menyerbu, memilin dan memelintir gemas puting tersebut.

Lastri dengan wajah masih berpaling, menggigit bibirnya menahan gejolak hasratnya yang mulai bangkit ketika mulut Anto mulai menjilat dan menghisap puting payudaranya, sementara tangan preman kampung itu telah mulai menggerayangi bokong bulat yang masih terbalut kain itu. Kemudian menarik bokong tersebut untuk semakin menggeser merapat. Ke dua kaki Lastri yang terlipat ke belakang, kini lututnya tertarik sedikit naik. Bokongnya kini merasakan sebuah benda yang mengeras, mengganjal.

Lidah Anto yang panjang terus menjilati sepasang payudara mulus yang besar itu, menghisap dan menggigit.
Tangannya naik meraih tengkuk dan menariknya, memaksa wajah Lastri yang tengah berpaling itu untuk menghadap ke arahnya.

Bibir Lastri tertutup rapat, begitu juga dengan matanya. Ia merasakan dengus napas panas di pipinya, lalu ada jilatan basah di bibirnya.

“Mmmasss, jangaaan..., hmmmfh!”

Mengambil kesempatan saat mulut Lastri terbuka untuk mengucapkan kata-kata itulah, lidah dan bibir Anto tanpa ampun segera menyerbu masuk. Memagut, menjilat dan menggigit. Sementara tangannya kembali sibuk meremas-remas payudara montok tersebut. Satu tangan yang lain sibuk mencoba melepaskan menarik ujung kain yang dipakai Lastri.

“Jjj-jangan, Masss. Saya..., saya sedang..., sedang hamil!” kata Lastri terpatah-patah pada suatu kesempatan ketika Anto melepaskan pagutannya untuk mengambil napas.

“Hamil?” tanya Anto, menghentikan cumbuannya seketika. Menatap mata Lastri yang masih berurai air mata.

Lastri mengangguk, tak berani balas menatap mata preman kampung itu.

Anto menunduk menatap perut Lastri yang masih terlihat rata.
“Berapa bulan?” tanyanya.

“Tt-tiga bulan, jadi tolong j-jangan...,” jawab Lastri mencoba bangkit. Namun ke dua tangan Anto cepat meraih pinggangnya, menekan ke bawah sehingga tubuh Lastri kembali terduduk di pangkuannya.

“Anak sape, Las? Anak Sobari ape anaknye Ncang Nadi?”

Lastri tak menjawab. Ia mencoba melengos. Namun Anto segera menarik dagu Lastri. Dengan Lastri tak menjawab pertanyaannya, dia sudah tahu Lastri yang sedang hamil itu mengandung anak siapa.

“Anak Ncang Nadi, Las? Beruntung sekali tu aki-aki!” gerutunya sambil seringai sinis. Kemudian dia berbisik di telinga Lastri, “Kata orang, ngewe perempuan yang sedang hamil tiga bulan itu enaknya lebih-lebih, Las!”

“Katanya cuma buka baju aja, Mas,” Lastri mencoba meronta.
“Ahhh, itu kan tadi. Sekarang mah minta tambah dikit,” dengus Anto tak perduli. Mengangkat pantatnya dan ke dua tangannya melonggarkan celana pendeknya.

Begitu celana pendek Anto turun, segera tampak penisnya yang mengacung tegak. Penis Anto memang tidak sebesar penis Sobari atau pun Pak Nadi, namun tetap saja membuat hati Lastri berdebar-debar.

“Jilat, Las!” perintah Anto tiba-tiba.

“A-apa?” seru Lastri kaget.

“Jilat!” tangannya menjambak rambut dan memaksanya untuk menunduk.

“Awww, sakiiit,” rintih Lastri merasakan jambakan tersebut. Mau tidak mau, Lastri terpaksa menunduk. Pinggangnya menekuk ke depan, Anto menggeser duduknya agar mulut Lastri mudah mencapai penisnya.

Ke dua tangan Anto masih menjambak rambut Lastri, menekan kepalanya ke bawah sampai bibir Istri Sobari itu menyentuh kepala penisnya.

“Emut!” bentak Anto kasar, ketika Lastri masih juga tak mau menuruti keinginannya.

Dengan hati sedih, Lastri akhirnya membuka mulutnya, kepala penis Anto yang berkilat licin itu pun masuk.

“Hisap, Las. Jilat!” erang Anto dengan hati senang. Dia merasakan penisnya sudah berada di dalam mulut Lastri yang basah dan hangat. Namun hanya itu, tak ada reaksi lain.
Dengan desakan birahinya yang mulai tinggi, Anto kembali menjambak rambut Lastri, menarik dan menurunkan kepalanya. Tak peduli seruan kesakitan dari istri Sobari itu.

Akhirnya, walau pun sangat enggan Lastri menurut dengan mulai menghisap dan menjilat penis preman kampung itu yang kini menyeringai keenakan dengan mata meram melek.

“Nahhh, gituuu. Kan kaga susah jadinye,” desis Anto dengan senang. Ke dua tangannya kembali beraksi meremas-remas dengan keras ke dua payudara besar Lastri yang turun sampai menyentuh lututnya. Bokong bulat dan besar istri Sobari itu sedikit naik dengan posisi menungging. Anto segera meraih ujung kain yang melilit pinggang Lastri. Dengan sekali tarik saja, kain itu sudah terlepas. Lalu dilemparkan Anto jauh-jauh.

“Mas!” seru Lastri mendongak, menatap penuh penolakan, ketika Anto memelorotkan celana dalam berenda milik Lastri.

“Terus!” desis Anto.

Hati Lastri sedikit terheran-heran. Saat ia mengulum batang penis Anto, dirasakannya di batang penis itu seperti ada yang bergerenjil-gerenjil di balik kulitnya. Birahi Lastri mulai naik ketika jari-jari Anto mulai menyelinap ke vaginanya. Lastri memang termasuk tipe perempuan yang mudah bangkit birahinya, apalagi kalau titik-titik sensitipnya sering disentuh dengan intens.

Anto mulai tidak sabar, segera ditariknya tubuh Lastri ke atas, dia ingin segera menuntaskan hasrat birahinya sebelum orang-orang rumah kembali pulang.

Tanpa melepas celana dalam Lastri yang hanya melorot sampai lututnya, Anto segera mengangkap paksa bokong Lastri kemudian menurunkannya tepat di batang penisnya yang segera digesek-gesekkannya ke vagina perempuan itu yang mulai basah dan berlendir.

Apalagi batang penis Anto memang sedikit aneh, dalam keadaan tegang seperti itu, tampak jelas ada sekitar tiga jendolan kecil yang menghiasinya. Dan satu dari tiga jendulan itu berhasil menggesek klitoris Lastri yang mengakibatkan istri Sobari itu mulai merintih di luar kesadarannya. Ditambah dengan remasan dan hisapan mulut Anto di puting payudaranya, cukup untuk membuat Lastri makin melayang-layang oleh desakan birahinya.

Setelah dirasa cukup, Anto mulai memposisikan letak kepala penisnya di lubang vagina Lastri yang sudah sangat basah, pantatnya menekan ke atas. Dan..., “Ahhh,” Lastri mengerang lepas. Ketika penis Anto melesak masuk ke dalam vaginanya. Tiga benjolan di batang penis Anto mulai memperlihatkan khasiatnya. Membuat Lastri merasakan dinding-dinding vaginanya seakan digaruk oleh sesuatu.

Tubuh perempuan istri Sobari itu berkali-kali mengejang nikmat, mulutnya terbuka dan tertutup persis ikan yang muncul di permukaan air. Anto sibuk sendiri menikmati payudara melon dari Lastri, menggigit dan menghisap.

Kini, tanpa dipaksa, bokong Lastri bergoyang sendiri mengimbangi ayunan intens dari penis Anto. Sebentar saja ke duanya sudah banjir keringat oleh gelombang birahi mereka berdua. Bahkan pagutan Anto di bibirnya kini dibalas tanpa sadar oleh istri Sobari yang telah lupa daratan itu.

Beberapa lama kemudian, masih dalam posisi Lastri dipangku Anto. Bokong bulat padat Lastri makin cepat bergoyang, sentakan-sentakan pendek dari bokong tersebut menandakan bahwa sebentar lagi perempuan itu akan meraih orgasmenya yang pertama.

Benar saja dengan satu sentakan dalam, bokong Lastri menekan ke bawah, tubuhnya mengejang kaku. Anto merasakan dinding-dinding vagina Lastri menyempit dan memeras penisnya. Nikmat luar biasa dirasakan oleh mereka berdua.

“Engghhhh!” dengan erangan yang panjang, Lastri mendongakan wajahnya ke atas dengan mata terpejam dan bibir rapat tergigit. Satu semburan cairan hangat membanjiri penis Anto.

Si Preman Kampung sendiri merasakan desakan lain di penisnya. Tanpa memeberi kesempatan Lastri menikmati orgasmenya, Anto mendorong tubuh Lastri untuk terlentang di atas tikar, diangkatnya ke dua kaki perempuan itu dengan betis di pundak Anto. Dengan geraman-geraman pendek, Anto memompa cepat vagina Lastri yang sudah sangat becek.

Ruangan tengah itu dipenuhi oleh suara decak dari kocokan cepat penis Anto ke vagina Lastri yang sudah pasrah dengan tubuh lemas banjir keringat.

“Hrrrmmmhh!” geram Anto serak, tangannya meremas keras sepasang payudara Lastri sementara pantatnya menekan dalam-dalam.

Satu semburan panas sperma Anto membanjir di dalam vagina Lastri yang tengah merasakan ngilu-ngilu sedap di selangkangannya. Punggung Anto sampai melengkung kaku, menikmati puncak kenikmatan yang dikayuhnya dengan istri Sobari itu. Sebelum akhirnya tubuhnya ambruk di atas tubuh mungil Lastri.

“hamil tiga bulan itu benar-benar istimewa, terima kasih, Las. Enak banget!” gumam Anto sambil memagut bibir Lastri yang pasrah namun yang tak membalas ciumannya.

Di saat mereka masih dalam posisi saling menindih, tiba-tiba terdengar percakapan nyaring di depan rumah!

Itu adalah suara nyaring dari Bu Jaenab, ibu sobari, mertuanya Lastri!

Ke dua tubuh yang masih dibanjiri keringat itu sontak saling melepaskan diri. Tanpa berkata-kata ke duanya segera mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru. Lastri yang sangat panik, begitu selesai menaikan celana dalamnya segera menyambar kain dan kaos bajunya, lalu kabur masuk ke dalam kamarnya. Begitu juga Anto yang segera berlari ke kamar mandi.

Begitu Bu Jaenab masuk ke dalam rumah yang tak dikunci, ia hanya mencium bau beras kencur yang menusuk hidung, walau pun samar-samar ia mencium bau yang lain.

Di dalam kamarnya, Lastri terisak penuh penyesalan tanpa suara.

*

Selewat isya, Pak Nadi baru pulang ke rumah yang seharian sepi dari percakapan para penghuninya. Yang diisi dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari Anto ke Bu jaenab, sementara Lastri samasekali tak ke luar kamar.

Setibanya Pak Nadi di rumah, barulah Lastri memberanikan diri ke luar kamar menyambut Pak Nadi yang kebetulan membawa bungkusan makanan, Bu jaenab sendiri tak melirik sedikit pun kepada suaminya yang baru datang itu, anteng saja menonton televisi ditemani Anto yang paham dengan situasi yang terjadi di keluarga itu. Anto diam-diam hanya tersenyum sinis.

Saat lastri sedang mengunyah makanan, ia menghentikan kegiatannya melihat mertuanya itu sudah berdandan rapi.

“Ayah mau ke mana lagi?” tanya Lastri dengan heran.

“Baru dapet kerjaan jadi penjaga malam di komplek Lestari Estate, ini langsung mo jaga malem, pulang jam lima pagi!” sahut Pak Nadi tersenyum senang.

“Jaga malam?” seru Lastri tersedak makanan yang baru disuapnya.

“Iya,” sahut Pak Nadi pendek.

Lastri cepat bangkit dari duduknya, memegang tangan mertuanya dengan ketakutan.

“Jjj-jangan, Yah,” katanya penuh permohonan.

“Lho, jangan kenapa? Cuma kerjaan ini yang bisa ayah dapet buat penghasilan kita!” bisik Pak Nadi dengan suara sepelan mungkin, sambil melirik sekilas ke Anto yang pura-pura tak mendengar, padahal hatinya sedang berteriak senang mendengar bahwa Pak Nadi bekerja jaga malam. Artinya dia bisa dengan leluasa menikmati tubuh Lastri.

“Jj-jangan, Ayah. Kenapa tidak siang aja jaganya?”
“Yang jaga siang udah ada yang ngisi, jangan khawatir, satu malem dalam satu minggu, ayah dapat jatah libur,” hibur Pak Nadi dengan suara masih pelan.

“Tapi..., tapi...,” Lastri terlihat kesulitan mengungkapkan perasaannya. Tentu saja ia mana mau ditinggal Pak Nadi sendirian di rumah malam-malam, ketika ia tahu ada serigala di dalam rumah itu yang siap menyergapnya begitu ada kesempatan datang.

“Tapi apaan? Kalo kaga begini, darimana kita dapat uang? Tau sendiri kite Cuma numpang di rumah ini. Kalo uang udah cukup, kita bisa pindah mengontrak,” bisik Pak Nadi yang samasekali tak mengetahui ketakutan dari menantunya yang sudah menjadi istri tidak sahnya ini, “Udah ya, ayah mo berangkat, sudah waktunya jaga, malu kalo baru aje kerja udah terlambat!”

“Tapi, Yah...,” Lastri masih mencoba menghalangi.

“Sssh, udah deh jangan aneh. Oh ya, di atas lemari ayah naruh uang, tadi ayah kasbon buat pegangan kamu. Ayah berangkat ya,” bisik Pak Nadi lagi melepaskan pegangan erat Lastri di tangannya. Dalam sangkaannya, Lastri takut ditinggalkan karena khawatir dengan dengan perlakuan dari Bu Jaenab atau Sobari, “Kalo khawatir, masuk kamar aje trus kunci dan langsung tidur, ntar jam lima subuh ayah udah pulang kok!”

Lastri yang memang kesulitan mengungkapkan ketakutannya hanya bisa pasrah, dan mengantar mertua yang sudah jadi suami tidak sahnya itu ke depan pintu. Selesai mengantar, ia buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan langsung menguncinya sambil membawa bungkusan makananya yang belum habis. Sekilas Lastri sempat melihat seringaian dari Anto kepadanya. Seringaian yang membuatnya berdebar aneh. Karena jujur saja, ketika tadi siang mereka bergulat di atas tikar ruang tengah, ia merasakan kenikmatan lain dari yang lain dari penis aneh Anto yang berbenjol-benjol itu.

Pada dasarnya, Lastri memang perempuan yang mudah tergoda. Itu dibuktikan dengan betapa mudahnya ia berselingkuh dengan mertuanya di saat Sobari jarang pulang ke rumah. Kini ada godaan lain yang sedang menantinya di rumah tersebut.

Sobari belum juga pulang ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Sobari kok belum juga pulang, Ncing?” tanya Anto keheranan.
“Die mah emang kaga pernah jelas pulangnye, To,” sahut Bu Jaenab sambil bangkit berdiri mau masuk ke kamarnya.
“Lah, gimana si tu bocah,” gumam Anto garuk-garuk kepala.
“Lu susul aja dah sono ke bengkelnya, sukur-sukur lu bisa gusur pulang tu bocah,” suruh Bu Jaenab sambi menguap lebar.
“Males Cing ah, biar Anto tunggu aja dah, paling juga Ncing yang kangen ma Sobari,” sahut Anto tersenyum ganjil.
“Ngomong apaan si lu,” semprot Bu Jaenab sesaat sebelum masuk kamarnya. Melotot.

Anto baru saja akan menjawab, cuma Bu Jaenab sudah menutup pintu kamar dengan hati takut. Apa bocah itu sudah tau? Kata hati Bu Jaenab dengan khawatir.

Untunglah Anto tidak begitu berminat untuk iseng menggoda Bu jaenab, karena seleranya hanya kepada gadis atau perempuan yang masih berusia muda.

Dia masih penasaran dengan Lastri, maka saat hampir menjelang tengah malam, ketika dia sudah yakin Bu Jaenab sudah tidur karena didengarnya dengkur halus di kamarnya, dengan mengendap-endap, Anto mengetuk pelan pintu kamar Lastri setelah mencoba membuka handle pintu kamar ternyata terkunci dalam.

Beberapa ketukan pelan ternyata tidak mendapat reaksi apa-apa. Anto tahu, sebetulnya Lastri tentu sudah terbangun karena dia sempat mendengar gemerisik di dalam kamar. Tapi tentu saja dia tidak bisa berseru-seru memanggil nama perempuan itu untuk meminta dibukakan pintu. Karena tentu saja akan membangunkan Bu Jaenab.

“Sial!” maki Anto dalam hatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk tidur karena sadar usahanya hanya kesia-siaan belaka. Besok dia akan memikirkan rencana lain untuk menikmati tubuh Lastri. Tekad hati Anto dengan penasaran.

Namun ternyata, esok harinya Anto samasekali tidak bisa menjalankan rencananya karena Lastri selalu menempel Pak Nadi sehingga tidak sekali pun dia mempunyai kesempatan berdua-duaan dengan perempuan itu. Menunggu sampai malam ketika Pak Nadi berangkat bekerja jaga malam, Lastri telah kembali masuk dengan segera dan mengunci pintu. Begitulah kejadian tersebut berlangsung selama beberapa hari lamanya. Dan Sobari, dalam hari-hari tersebut tidak menampakan batang hidungnya di rumah itu. Entah ada urusan apa. Anto samasekali tidak berani keluar rumah barang sedikit pun untuk mencari tahu, sebelum dia yakin benar keadaan benar-benar sudah aman buatnya.

Dan pada malam ke empat, kesempatan itu datang juga. Pak Nadi berangkat kerja ketika Lastri sedang ke kamar mandi, namun hasrat Anto yang menggebu-gebu untuk menyetubuhi Lastri kembali tertunda ketika Sobari datang tepat ketika Anto hendak mencegat Lastri yang baru keluar dari kamar mandi.

“Lu ke mana aje, Tong. Kaga pulang-pulang?” tanya Anto dengan sebal ketika keinginan birahinya kembali harus tertunda.

“Ada urusan dikit, Bang,” sahut Sobari nyengir, sambil mengedipkan matanya. Mengangsurkan sebotol minuman keras ke Anto.

Bu Jaenab yang melihat itu segera melotot, “Awas aje lu berdua ye, mabok rese gue gusur keluar rumah pade!”

“Kaga, Maaak. Ini mah bukan buat mabok, ini mah jamu buat anget-anget badan dikit,” jawab Sobari menyeringai. Sambil menyerahkan setumpuk uang ke Bu Jaenab yang segera menyambutnya dengan hati senang, entah sengaja atau tidak, saat Sobari menyerahkan uang tersebut tepat di depan Lastri yang baru kembali dari kamar mandi. Lastri berjalan masuk ke kamarnya dengan wajah tertunduk murung diiringi derai tawa senang dari Bu Jaenab.
“Muke gile, dapet duit darimane, Ri?” tanya Bu Jaenab dengan mata berbinar-binar.
“Temen bayar utang, Mak!” sahut Sobari pendek.
Dengan hati senang Bu Jaenab tak perduli lagi dengan Sobari dan Anto hendak mabuk di mana, yang penting ia sudah memegang uang lumayan untuk menambah modal jualan.

Dua pemuda duduk di berdua di dapur setelah Anto menolak untuk menikmati minuman di beranda rumah.

“Sebenernya abang malem yang itu tuh urusannye kayak gimane sampe polisi nyariin?” tanya Sobari sambil meneguk gelas minumannya.

“Polisi?” kata Anto sedikit tersedak. Kaget benar dia mendengar perkataan Sobari barusan.

“Iye, polisi!” sahut Sobari pendek, menatap tajam wajah Anto yang mendadak pucat.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Anto dengan suara perlahan menceritakan kejadian yang sebenarnya pada malam itu.

“Soraya?” seru Sobari terbelalak dengan suara tertahan.

Anto mengangguk, “Gue percaya ama elu, Ri. Lu kan temen gue, kaga mungkin lu nyerahin gue ke polisi. Untuk Soraya, gue masih penasaran. Gue harus dapetin tu perempuan!”

“Susah, Bang!” sahut Sobari mengerutkan keningnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Emang kenape?” tanya Anto heran.

“Polisi! Abang udah kaga bisa kemana-mana sekarang, polisi udah nyebar mata-mata buat nangkep abang!” jelas Sobari.

“Sial! Sial! Sial! Kalo kaga ada Si Bangsat yang ngeganggu rencana gue, tentu kaga kayak gini ni urusan!” maki Anto, kalau saja tidak ingat sedang di rumah orang, sudah dibantingnya gelas minuman yang dipegangnya.

“Si Bangsat?” tanya Sobari.

“Iye, kan gue udah cerita waktu malem itu gue terpaksa kabur karena dihajar dari belakang oleh Bangsat Anjing itu. Kalo gue tau orangnya, biar gue potong lehernya sekalian, sial!”

“Ahhh...,” Sobari menepuk meja seakan teringat sesuatu.
“Ape?” tanya Anto masih dengan suasana hati kesal.
“Ridwan, Bang!”
“Ridwan? Siape tuh?”
“Orang yang nolong Soraya!”
Anto duduk tegak, memandang tajam wajah Sobari.
“Siape itu Ridwan? Di mane rumahnye biar gue paranin sekalian. Belum tau berurusan sama sape ti bocah!” kata Anto bernafsu.
“Si Ridwan itu teman bengkel gue, Bang. Bukan teman si, kebetulan kemaren tu bocah cari urusan sama gue, ntar kita cari waktu buat ngehajar bocah sial itu. Gue tau Soraya itu tetangga seberang rumah kontrakan tu bocah, dan udah beberapa hari ini, Si Ridwan sering datang ke kantor polisi, katanye si buat memberi pernyataan soal percobaan pemerkosaan ke Soraya. Eh, ternyata abang orangnye!”
“Tutup mulut!” bentak Anto sebal.
“Tenaaang,” kata Sobari lagi mencoba menenangkan, “Gue punya urusan juga sama itu Si Ridwan. Pokoknye urusan balem dendam abang, gue yang urus.”

“Lah elu ada urusan, tumben lu tunda-tunda. Kenapa kaga dihajar langsung aja tu bocah!” tanya Anto.
“Masalahnya, gue lagi naksir emaknya, Bang. Kalo tau anaknye gue hajar, emaknya mana mau lagi ngelayanin gue!” jawab Sobari sambil cengar-cengir tanpa malu-malu.

Anto yang tahu selera Sobari sama perempuan yang lebih tua tak merasa heran samasekali.
“Ahhh, biang kerok lu! Emak lu apa kurang semok sampe nyari emak laen?” kata Anto enteng.

“Hah! A-ape abang bilang?” tanya Sobari terlonjak kaget.

“Tenaaang, Ri. Gue udah tau semuanye. Bini lu jadi bini bokap lu, bini bokap lu jadi bini lu, ahhh pusing gue. Pokoknya gue tau dah!”

“Bang...,” Sobari kini mukanya terlihat pucat.
“Tenang aja lu, Ri. Rahasia lu aman di tangan gue. Cuma gue mo tanya, lu ikhlas kaga tuh bini dipake bokap?” tanya Anto penasaran.

“Perek itu udah bukan bini gue lagi, Bang. Gue malah ngerencanain buat ngusir tu perempuan dari rumah sekalian bokap juga!” terdengar ketus jawaban Sobari.

“Kalo misalnya bini lu gue pake dulu sebelum gue usir, boleh kaga?” bisik Anto sambil menyeringai.

“Hah? Abang minat juga sama tu perek? Si Lastri kan lagi bunting, Bang!”
“Iye, gue tau. Gue demen teteknya aja yang gede, Ri. Sebelum gue bosen, gue mo minta persetujuan lu dulu buat make tu perempuan. Gimane?”

Sobari tampak berpikir sejenak, kemudian mengangkat bahunya tak perduli.

“Yaudah, pake aja lah. Asal abang janji kaga ribut soal hubungan gue sama emak gue!”
“Tenang kalo soal itu mah. Cuman bokap lu gimane itu?”
“Lah, sekarang kan bokap gue udah dapet kerjaan jaga malem di komplek. Mumpung Si Lastri sendirian, datengin aja kamarnye!”

“Trus emak lu?”
“Gampaaang itu maaah!” sahut Sobari meyakinkan.
“Ha-ha-ha, bagus lah. Jadi gue boleh paranin Lastri sekarang nih!”
“Iyeee, gedor sonoh!”

***

BERSAMBUNG KE JILID XIV
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd