Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
apakah ada kemungkinan erik kembali ke timeline asli ? atau berpindah pindah timeline ?
atau pertanyaan sedikit mindblowing
apakah ini semua hanya mimpi panjang ? mengingat perpindahan timeline erik karena kecelakaan ?
 
Terakhir diubah:
apakah ada kemungkinan erik kembali ke timeline asli ? atau berpindah pindah timeline ?
atau pertanyaan sedikit mindblowing
apakah ini semua hanya mimpi panjang ? mengingat perpindahan timeline erik karena kecelakaan ?

Bisa jadi, dan membuat perubahan permanen macem Back To The Future.

Atau bisa jadi, dan membuat perubahan pada sejarah tapi tidak pada kejadian macem Days of Future Past.

Bisa juga macem Star Trek, yang ampe bikin realitas baru.

Atau seperti Jumanji, kembali ke realitas awal dengan pemahaman baru.

Atau bisa jadi juga seperti 13 Going on 30, just a big dream...


Can't tell you which one hahaha...

Pastinya yang udah baca Chapter 6 versi Editor's Cut tahu kalau ada petunjuk besar di sana.

Pertanyaan :
Ini bakal Happy End, Sad End, Abu"(gantung)?

Jawabannya: It's Complicated

Serius, karena buat beberapa orang itu sad ending, tapi buat beberapa orang lagi adalah happy ending, pastinya sih ending ceritanya nggak bakal nggantung atau open for interpretation macem Fox Volant of The Snowy Mountains.
 
TRIVIA:

* Serial ini sudah direncanakan akan terdiri dari dua season dengan masing-masing memiliki judul berbeda.

* Sekitar 90 persen komponen dalam cerita ini adalah fiksi. 10 persennya berdasarkan kejadian dan tempat yang sebenarnya.

* Tokoh Metta dan Rini terinspirasi dari dua orang sosok sebenarnya, namun kehidupan mereka di real life tentu saja tak sedramatis dalam cerita. They're just a bunch of normal folks.

* Selain Metta dan Rini dan satu tokoh lagi, beberapa tokoh lain dalam cerita ini dibuat dari penggabungan dua atau lebih sosok sebenarnya dalam real life.

* Inspirasi utama dari cerita ini adalah drama Korea berjudul "Familiar Wife". Beberapa film dan serial lain pun turut menjadi inspirasi dalam beberapa segmen ceritanya (tidak akan disebutkan apa saja, karena bisa jadi spoiler)

* Inspirasi visual dari Metta adalah Amanda Elissa.

* Inspirasi visual dari Rini adalah Anestasya Runika.

* Pernah coba menebak jalan ceritanya hanya dari membaca judul chapter? Jangan. Kenapa? Karena kata kunci pada judul chapter beneran ngambil dari kata-kata acak dan nggak ada maksud atau keterkaitan langsung pada isi chapternya.

* Dibandingkan dengan jalan cerita, porsi adegan panas tidak akan terlalu banyak (as we all know) dan beberapa chapter akan dirilis tanpa adegan panas sama sekali (fair warning)

* Kenapa? Karena jujur ane paling nggak bisa bikin adegan seks atau adegan panas wkwkwk :D (serius, ane nggak bercanda)



Merry Christmas and Happy New Year to you all!
Tanggal 4 Januari libur dulu ya, akan update kembali tanggal 11 Januari :D

*
 
Terakhir diubah:
@fleur_mirage
Ane sarankan supaya cerita ini juga di post ke berbayar supaya ente gak sakit hati dan memutuskan berhenti menulis walau update disini lambat gak masalah
 
@fleur_mirage
Ane sarankan supaya cerita ini juga di post ke berbayar supaya ente gak sakit hati dan memutuskan berhenti menulis walau update disini lambat gak masalah

Sudah hu

Linknya ada di profile dan signature ane
 
Habis marathon baca cerita suhu @fleur_mirage dari awal sampai bersambung terakhir

Asli hu ini cerita terbaik yang pernah ane baca di forum. Sampe kebawa2 emosi ane hu

Terimakasih banyak hu
Keep up the good work ditunggu update2an selanjutnya
 
Chapter 14:

A Little Thing Called Collision



20 Februari 2011
Rumah Metta



"Eee Nak Erik, datang juga akhirnya."

"Iya, Tante. Selamat pagi."

"Duuh, kamu koq jadi item banget sih abis maen-maen di pantai?"

"Iya nih, Tan, panas banget soalnya pas di pantai kemaren."

"Oh iya, tangan kamu gimana? Katanya jatuh kemaren, udah dibawa ke dokter?"

"Udah ke Haji Naim sih, Tan, baru kemaren perbannya dilepas, udah sembuh, katanya ada syaraf kejepit."

"Syukur deh kalau udah sembuh. Oke, kamu langsung masukin motor aja ya, taruh di tempat biasa, kamu tahu kan? Ntar siang mau jalan seharian nggak, ama Metta?"

"Belum tahu nih, Tante. Emangnya Tante mau minta Erik anterin ke mana?"

"Kalau belum ada rencana, kamu ikut Tante ya, perawatan kulit, biar kulit kamu bersih lagi, mau ya?"

"Tapi Tante..."

"Tante yang mbayar, tenang aja, ntar bareng ama Metta juga. Harus mau, okay?"

"I-Iya deh, Tante."

"Ya udah, sono cepetan motor ditaruh. Eh, Tante kemaren baru dikirimin cokelat dari Singapore, ada di kulkas, langsung ambil sendiri ya, ini kan rumah kamu juga."

"Oke, Tante."



Begitulah setiap kali aku datang ke rumah Metta. Tante Melly, mamanya Metta selalu menyambutku seolah aku ini anaknya yang sudah lama tidak bertemu. Saking hangatnya hingga setiap kali datang ke rumah Metta, aku selalu merasa seperti tidak bertamu tapi pulang ke rumah sendiri. Walau kadang-kadang masih agak ragu untuk bersikap seolah-olah ini di rumah. Tante Melly dan Om Darwin bahkan menyiapkan kamar yang dulu aku tempati sebagai kamar khusus untukku, misal aku harus menginap di sini. Dan jujur saja, aku sudah menginap di sini berkali-kali bila tidak sedang hari kerja, bahkan beberapa barang dan bajuku juga ada di kamar ini. Andai saja rumah Om Darwin tidak jauh dari kantor, mungkin aku tak akan berpikir dua kali untuk pindah ke sini, sebagaimana Om Darwin dan Tante Melly sudah berkali-kali memintaku.



"Halo, Bebeb, udah datang, ya?"


Metta langsung memelukku dari belakang dan menciumiku tanpa henti, hingga hampir saja kujatuhkan gelas minuman yang baru kuambil. Dia hanya memakai tanktop dan celana kolor di atas sport bra, biasanya berarti dia belum mandi. Namun aku selalu suka bau tubuh dan keringat Metta, tidak asam dan bacin seperti orang kebanyakan.


"Eh, ada cokelat lho, Beb, di kulkas, koq nggak ngambil sekalian? Nunggu diambilin?"


Belum sempat aku menjawab, Metta sudah membuka kulkas, mengambil cokelat yang tadi disebutkan oleh Tante Melly, lalu menyuapkan sepotong padaku.


"Gimana? Enak gak?"

"Enak banget."

"Jelas lah, cokelat impor."

"Bukan, karena kamu yang nyuapin makanya enak banget."

"Ih, Bebeb gitu deh, sukanya! Aku malu tahu!"



Metta memukul manja pundakku. Aku hanya tersenyum saja. Sikap Metta selama bersamaku nyaris tak pernah berubah, selalu manja, selalu ingin dekat-dekat denganku, dan tak segan menunjukkan kemesraannya padaku walau ada orang lain.


"EHHMM!!"


Suara berdehem yang khas itu sontak membuat Metta mundur. Hanya satu orang memang yang bisa membuatnya begitu, yaitu Om Darwin, papanya yang kini berdiri di hadapan kami.


"Kamu itu kalau mau ndusel-ndusel ke Erik ya minimal mandi dulu lah, kasihan Erik baru datang kamu masih bau langsung ndusel-ndusel aja."

"Ih, Papa, resek deh. Kan Metta kangen ama Erik."

"Ya Papa tahu kamu kangen. Tapi kan ya bisa mandi dulu. Mana kamu abis olahraga pula, keringetnya ke mana-mana. Hayo sana mandi dulu, Papa mau ada urusan bentar ama Erik."

"Lho? Tumben pagi-pagi, urusan apa, Pa?"

"Papa baru beli mainan baru, jadi sekalian mau tanding ama Erik."

"Sekarang mbanget, Pa?? Tapi ntar aku ama Erik mau pergi."

"Ya kamu mau perginya kan entar. Lagian kamu kalau mandi ama dandan itu lama, cukup lah buat sekali game, biar Erik gak bosen. Udah, mandi sono."



Metta cemberut, lalu dia mencium pipi Om Darwin, kemudian pipiku, dan berlari manja menaiki tangga. Om Darwin hanya geleng-geleng kepala saja. Setelah Metta pergi, barulah Om Darwin menunjukkan raut muka yang serius namun juga ada semburat kekhawatiran. Dia memberiku isyarat agar aku mengikutinya ke ruangan kerjanya.

Ruangan kerja Om Darwin adalah ruang yang biasa dia pakai kalau harus bekerja dari rumah. Tak hanya meja kerja, laptop, buku-buku, dan brankas rahasia, ada juga beberapa meja dengan permainan papan di sana. Karena Om Darwin sering mengajakku bertanding, maka aku sudah cukup familiar juga dengan ruangan ini.

Namun alih-alih menuju ke salah satu permainan, Om Darwin malah memintaku duduk di depan meja kerjanya. Dia lalu menyusul duduk di baliknya, menghadapku, dengan tangan menopang dagu seakan penuh kerisauan. Aku pun mencoba membuka obrolan.


"Ada apa, Om Darwin, saya tahu pasti bukan karena permainan."

"Bener, Rik, kamu memang pintar. Memang bukan karena Om pengen ngajakin kamu main, cuman ada sesuatu yang Om kudu omongin ama kamu."

"Kayaknya serius, Om?"

"Emang serius, makanya Om juga mau minta pendapat kamu, soalnya kamu yang paling deket dan paling ngerti soal Metta. Tapi jujur saja, Om berat mau ngasih tahu ini ke kamu."

"Omongin aja, Om. Kalau bisa saya bantu pasti saya bantu."



Sejenak Om Darwin menatapku, dan ada pandangan keraguan yang memancarkan, apakah dia perlu lakukan ini atau tidak, namun akhirnya Om Darwin mengambil sebuah map yang tersimpan di laci meja kerjanya dan membukanya tepat di hadapanku.

Aku jelas saja terkejut melihat apa isinya, karena beberapa kertas yang penuh dengan angka-angka itu adalah berkas yang sebenarnya tak kuduga akan dibuka di hadapanku. Om Darwin kembali menatapku dengan pandangan penuh harap.


"Gimana menurut kamu?"


Aku hanya mendengus saja. Walau aku berusaha tak menunjukkan apa yang kupikirkan di hadapan Om Darwin, namun kuduga dia sudah tahu bahwa ada sesuatu.


"Metta udah dikasih tahu, Om?"

"Belum, Om belum berani ngasih tahu dia... Jujur Om nggak berani memutuskan sendiri."

"Kalau menurut hemat saya, Om. Lebih baik kita diam dulu saja dalam perkara ini."



Om Darwin mengangguk-angguk saja.






5 Februari 2012


Aku masih terdiam terpaku melihat wanita yang ada di hadapanku ini. Ya, dia Rini, tapi bukan Rini yang kukenal. Dia bukanlah Rini yang kumal, dekil, dan berantakan sebagaimana kukenal pada tahun 2021. Dia adalah Rini yang cantik, terawat, wangi, dan modis, lebih mirip pada Rini versi 2009 yang selama ini hanya hidup dalam kenangan. Rini versi di mana aku jatuh cinta kepadanya untuk kali pertama. Aku mematung, dan mata Rini pun mengernyit seolah coba untuk mengingat sesuatu. Sementara itu Nindy bingung dengan reaksi kami.


"Kalian udah saling kenal?"


Rini tampaknya masih berusaha mengingat dari mana dia pernah bertemu denganku.


"Broadcasting Management Development RBTV, 2009, kamu pernah traktir aku di S*vel."

"2009? RBTV? S*vel... Oh my God! Erik!?? Is this really you!??"



Rini menutup mulutnya dengan mata yang membelalak, menandakan bahwa akhirnya dia mengingat diriku. Baru saja Rini hendak maju, Nindy berdehem amat keras hingga Rini pun mengurungkan niatnya. Dia melihatku dengan sinis dan senyum mencibir.


"Oh, rupanya temen lama, pantes kamu ngotot masukin dia."


Nindy lalu bergantian memandangku, lalu Rini, lalu memandangku lagi, hingga akhirnya dia mendengus dan memperbaiki sanggulnya. Tampaknya dia tak ingin berlama-lama di tempat ini.


"Oke, kalau begitu saya tinggal dulu. Dan BAPAK ERIK, ingat ya, jangan diapa-apain."


Dengan sedikit melengos, Nindy pun keluar dari ruangan, meninggalkanku dan Rini di sini. Aku masih tak henti-hentinya mengagumi betapa Rini cantik sekali berada di hadapanku hari ini. Di timeline original, aku selalu membayangkan bagaimana bila Rini istriku berdandan dengan maksimal, dan kini bayangan itu termanifestasi dalam bentuk nyata di timeline ini.

Begitu Nindy dipastikan pergi, Rini tiba-tiba merangsek dan memelukku bagai menyambut orang yang telah lama pergi. Well, secara teknis, itu memang benar, dan sudah lama juga tak ada kontak baik dariku maupun Rini, sehingga jujur aku sudah hampir melupakannya. Aku bahkan masih berupaya mengingat apakah Rini di timeline original pada 2012 juga secantik Rini yang ini, namun tidak bisa, karena imagi tentang Rini yang ada di pikiranku kini berubah, digantikan oleh Rini yang kini berdiri di hadapanku, dan tak bisa kupungkiri, detak jantungku pun berdetak semakin kencang.


"Ya ampun, kamu ke mana aja!?? Kayaknya aku udah bilang biar keep in touch deh, tapi... Wow... Sukses ya kamu sekarang, jadi manajer??"

"Iya, maaf soal itu, tapi..."

"Sudahlah, pasti sibuk ya kamu dengan real life. Aku juga, plenty of things to do."

"Kamu jadi kuliah lagi di JBC??"

"Iya, aku ambil S1 di sono. Bapak punya temen di sono, jadi ya, aku bisa masuk ke JBC dengan bantuan beasiswa."

"Oh ya? That's good. Bapakmu gimana kabarnya?"



Tiba-tiba senyuman Rini menghilang dan matanya agak memancarkan kesedihan.


"Bapak baru meninggal beberapa bulan lalu, Rik."

"Oh my God, I'm so sorry, turut berduka ya, Rin. Kenapa?"

"Sakit, ya udah lama sih sebenernya. Tapi dia sempet datang ke wisuda aku..."



Rini terdiam sejenak.


"Sorry, I got emotional."

"Don't be sorry, itu belum lama, wajar kalau kamu masih sedih."

"Yeah, dia nggak selalu jadi bapak yang ideal, tapi dia selalu memastikan aku cukup makan dan punya pendidikan yang layak. I guess, seeing me graduated is the only thing he want to do, so... Yeah, don't be sorry... Bapak has lived a full-life before he passed."



Aku mengambil tissue di mejaku untuk kuberikan pada Rini yang sedang menangis karena kembali teringat ayahnya. Ya, aku pernah bertemu dia secara singkat di timeline ini pada 2009, waktu dia menjemput Rini dari S*vel.


"Ah, sudahlah... Huft... Sekarang cerita dong, koq bisa kamu sekarang jadi manajer, padahal dulu kan kita sama-sama gagal di RBTV. Come on, cerita lah."

"Ya begini aja, keberuntungan dan kesempatan. Aku masuk ke sini pada saat yang tepat, dan memilih pilihan yang tepat, makanya aku bisa cepet jadi manajer."

"Yeah, berapa tahun sejak kita nggak ketemu? 3 tahun, ya?"

"Kurang lah, tapi hampir-hampir itu. Dan wow, look at you, kamu beda mbanget dengan Rini yang aku kenal..."

"Rini yang kamu kenal? Maksudnya?"

"Yang dulu, maksudku, waktu dulu terakhir kita ketemu kamu kan belum sekeren sekarang... Beda banget lho, look at you."

"Masa sih? Aku koq nggak ngeh?"



Hampir saja aku kelepasan menyebut Rini dari timeline-ku. Tentu akan aneh mengatakan bahwa di masa lalu dia adalah istriku. Eh, tunggu, maksudnya masa depan yang menjadi masa lalu. Dia bahkan santun, meski tetap blak-blakan dan ceria. Pendek kata jelas ini upgrade besar dari Rini-ku yang dulu. Lalu untuk pertama kalinya, aku melupakan Metta untuk sejenak.


"Ya, mungkin karena aku kuliah di JBC kali ya. Banyak orang-orang yang pinter, cantik, dan melek fesyen di sana, makanya ada peer pressure supaya aku kudu mengimbangi mereka. So, mau nggak mau aku harus ikutan modis juga. Seperti orang bilang, di lingkungan orang kaya, kamu harus berdandan dan bersikap juga seperti orang kaya, supaya kamu nggak diremehkan. Itulah life-lesson yang kuambil selama aku kuliah."


Aku manggut-manggut, lalu Rini tampak mengamatiku dari rambut ke ujung kaki.


"Kamu sendiri juga penampilannya keren. Hmm, let me guess, kamu pasti udah punya pacar atau istri, am I right?"

"Guilty as charged."

"Kamu udah nikah?"

"Su... Eh, maksudnya belum. Tapi aku ada pacar."

"I knew it! Pacar kamu yang ndandanin kamu, kan? I know a woman's touch when I see one."



Rini menatapku dengan tajam dan ini sedikit membuatku tidak nyaman. Entah bagaimana bulu kudukku mengingat bagaimana rasanya ketika Rini cemburu padaku, perilaku kasar apa yang bisa dia lakukan. Namun Rini yang ini tidak, dia hanya memberikan tatapan tajam lalu tertawa seolah itu hal yang tak perlu dikhawatirkan.


"Cantik pacar kamu, Rik? Eh maaf, harusnya aku panggil 'Bapak Erik', karena kamu atasan aku sekarang."

"Kita kan temen, panggil Erik aja kalau kamu mau."

"No, kita masih tinggal di Indonesia, Pak Erik. Tata krama masih jadi faktor di sini."

"Okay, tapi hanya di kantor saja ya. Di luar jam kerja, kamu boleh panggil aku Erik."

"Deal, so, pacar kamu cantik, Pak Erik?"



Aku mengeluarkan hapeku untuk menunjukkan fotonya. Namun ada perasaan aneh saat melakukannya. Rasanya seperti aku sedang menunjukkan bagaimana wajah selingkuhanku kepada pasanganku yang sah. Saking anehnya hingga aku hanya menunjukkan foto saat Metta sendirian, bukan saat sedang berfoto berdua denganku. Tapi kenapa aku melakukannya? Kenapa perasaan tak enak ini bisa muncul? Apakah jiwaku mengingat kembali saat-saat aku menikah dengan Rini? Kulihat Rini tampak manggut-manggut melihat foto Metta, dan secara tak sadar keringat dingin keluar dari tengkukku. Tapi kenapa?? Pacarku itu Metta, dan ini sama saja seperti ketika aku menunjukkan wajah Metta pada Sheila, Vinny, atau Nindy. Kenapa saat kepada Rini rasanya berbeda??


"Oke, cantik juga ini... Cantik mbanget malahan. Namanya Bella, ya Pak?"

"Hah? Apa? Bukan, namanya Metta."

"Metta? Lalu Bella siapa?"

"Siapa?"

"Tadi Pak Erik manggil aku Bella, kenapa? Kirain pas lagi inget ama pacarnya."

"Oh enggak, kebetulan aku kenal orang namanya Bella yang kuliah di JBC."

"Hmm, mungkin ya. Tapi banyak sih, Pak, yang namanya Bella di JBC. Siapa namanya, kali aja aku kenal."

"Oh, nggak tahu aku nama lengkapnya, nggak usah dicari, nggak terlalu penting juga, cuman kenalan online."

"Oh, kenalan online? Ya pantes kalau nggak tahu. Ati-ati lho, Pak, kali aja itu faker."

"Ya, mungkin."

"So, omong-omong, ada rencana kapan nikah?"

"Heh? Apa?"

"Hei, Pak Erik, fokus!"



Rini menjentikkan jarinya di depanku, persis sebagaimana yang dia lakukan ketika masih menjadi istriku dan pikiranku sedang mengawang entah ke mana. Kembali hal itu membangkitkan memori ketika kami menikah, memori yang sebenarnya kukira telah hilang saat aku kembali ke masa ini.


"Ada rencana mau menikah kapan?"

"Oh, ya, ada lah... Belum dalam waktu dekat ini kayaknya."

"Hah? Why? Emang udah berapa lama pacarannya?"

"Hmm, anniversary kami 29 Juli 2009, jadi... Tahun ini harusnya 3 tahun."

"Wait, 29 Juli 2009? Hah? Jadi kalian jadian waktu hari terakhir kita ketemu!??"



Aku mengangguk takut-takut. Kenapa aku melakukannya? Harusnya aku bisa menjawabnya dengan tegas dan bangga. Kenapa aku malah takut-takut?? Apa yang kulakukan salah??


"Gokil, pantesan dulu kamu cepet-cepet mau balik ya, ternyata karena ini..."

"I-Iya, Rin..."

"Heh, koq takut-takut gitu sih? Jawabnya biasa aja kali, kan wajar kalau kamu jadian ama dia, udah cantik, modis, kayaknya pinter juga orangnya. Kamu pasti cinta banget ama dia."

"Enggak... Eh, iya, maksudnya iya, aku cinta banget ama dia."

"Kenapa sih kamu? Koq kayaknya dari tadi njawabnya kayak serba salah gitu. I'm not your mother, santai aja lagi, oke?"



Aku kembali mengangguk. Namun entah kenapa kulihat Rini menghembuskan nafas dengan aneh saat melihat Metta, seperti ada perasaan iri atau cemburu di sana. Lalu kudengar dia bergumam....


"You're a lucky guy, Erik..."

"Apa?"

"Oh enggak, cuman mau bilang, kamu beruntung ya, dapet pacar secantik ini. So kenapa nggak pengen cepet nikah?"

"Ada beberapa hal yang harus diselesaiin dulu. Rumah, mobil..."

"Hei, jangan terlalu mikirin kayak gitu. Kalau emang udah niat nikah ya nikah aja, pasti ntar ada jalan. Lagian, kalau kelamaan, bisa-bisa ini cewek direbut ama orang lain, hayo!"



Aku terkekeh pahit mendengarnya. Bukan bisa-bisa lagi, tapi memang pernah ada cowok lain yang coba merebutnya di belakangku. Kenapa aku bilang pernah? Karena setelah dari Pulau Harapan itu tidak ada lagi kontak antara Metta dengan Adam. Si berengsek itu sudah kembali ke Surabaya dan tidak balik lagi ke Jakarta. Metta masih tidak accept friend request Adam di semua media sosialnya, dan tak lagi ada interaksi antara keduanya dalam media apa pun. Sehingga ini membuatku tenang bahwa mungkin hubungan mereka sudah berakhir, atau sebagaimana dikatakan Om Darwin, bisa jadi Metta memang sudah bosan dengan Adam dan tak berniat melanjutkan lagi. Aku kini hanya menunggu iktikad baik dari Metta untuk mengatakannya sendiri padaku. Hanya saja, bila memang hubungan kami akan berlanjut pada tahap yang lebih serius, maka suatu hari kelak aku akan konfrontasi Metta mengenai ini.

Pagi itu kuhabiskan untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Rini dalam timku. Dari sini aku melihat sisi Rini yang selama ini tak kulihat di rumah. Rini itu cerdas, cepat tanggap, menyeluruh, dan amat paham dengan apa yang harus dia lakukan walau aku belum memberitahunya secara mendetail. Bahkan Bella saja perlu sebulan bersamaku untuk mencapai yang telah dicapai Rini dalam setengah hari. Satu hal yang membuatku terkejut adalah saat Rini berinisiatif membuatkanku kopi, rasa kopi buatannya benar-benar pas dengan yang selalu kusukai. Aku tak pernah bisa meniru rasa ini, walau aku tahu takarannya, dan Metta pun juga tidak bisa. Dia bahkan lebih memilih membelikanku kopi daripada membuat sendiri. Hanya Rini yang bisa, dan membuatku bertanya-tanya, apakah Rini juga bisa mengingatku? Tapi sepertinya tidak. Rini ini seperti versi kebalikan dari Rini-ku. Ceria, supel, dan energik, menebar aura positif ke mana-mana.

Saat makan siang, baru kami bisa bicara lebih banyak mengenai apa yang telah kulewatkan dari ketika terakhir kami bertemu. Sepertinya keputusanku "menyelamatkan" ayahnya adalah keputusan yang benar, karena Rini mengalami banyak hal baik yang tidak didapat oleh Rini di timeline asalku. Kuliah, magang, waktu-waktu berkualitas bersama orang tuanya yang lengkap, bahkan dengan dukungan keluarganya, Rini mengeksplore hal-hal yang dulu tak dia lakukan, seperti bepergian secara backpacking hingga ke Singapura dan Thailand, membuat vlog makeup dsn mukbang kecil-kecilan, ikut event cosplay, dan memiliki lingkar pertemanan yang jauh lebih luas serta beragam. Teman FB Rini yang dulu pada tahun ini tak pernah mencapai 1.000 orang, namun di sini teman FB-nya mencapai 5.000an orang. Dia bahkan tak canggung untuk berfoto denganku dan dimasukkan ke FB-nya dengan caption yang menarik. Walau masih fresh-graduate, namun kehidupannya sudah jauh lebih menarik dibanding dulu. Kalau meminjam yang pernah kukatakan pada Vinny, dunianya sudah lebih luas, bukan lagi hanya sekadar aku dan rumah.

Pemikiran ini membuatku tersadar akan sesuatu. Mungkinkah sebenarnya ini masalahnya? Rini yang dulu hanya kenal aku dan rumah, dunianya hanya berputar di antara kedua hal itu. Walau aku tak mempermasalahkan kalau dia bekerja, namun skill set dan pendidikannya membuat cakupan pekerjaan yang bisa dia ambil menjadi sempit, hingga akhirnya, semakin usia bertambah, semakin tidak ada. Lalu pada suatu waktu, saat gajiku sudah cukup untuk membiayai kami berdua, aku pun menyuruhnya untuk tak terlalu memikirkan misal dia tidak bekerja lagi, karena aku sudah mampu menghidupinya. Aku benar-benar hanya melihat dia bekerja atau tidak dari sisi uang tambahan saja. Aku tak memikirkan bahwa dengan bekerja maka dia punya kegiatan, punya teman-teman, punya sesuatu baru yang dihadapi tiap hari, punya sesuatu yang dinantikan setiap bulan, pemandangan baru yang berbeda, bukan hanya diam di rumah, dengan kegiatan yang sama setiap hari, tidak bergerak, terkurung dalam empat tembok rumah dan tak bisa ke mana-mana, karena dia tak bisa mengemudi sepeda motor, dan saat ada Vino yang menangis dan merengek, tentu rasanya seperti dinding rumah semakin menyempit dan pekak. Menonton TV, melihat story Instagram, YouTube, hanya akan membakar kerinduannya untuk pergi dan keluar rumah. Namun dia ingin bertemu siapa di luar? Teman-temannya sudah sibuk dengan keluarga dan pekerjaan, dan tak ada orang baru dalam lingkar pertemanannya, sehingga keluar pun akan sama sepinya seperti di dalam rumah. Akhirnya, satu-satunya yang dia kenal dan bisa dia pegang hanyalah aku, sehingga makin lama dia makin obsesif dan memegangku semakin erat hingga aku merasa sesak, karena dalam pandangannya, dia tak mau kehilangan diriku. Itulah mungkin awal dari kecemburuannya pada Bella, juga semua wanita di kantorku, dan memuncak karena aku bertemu Metta, yang dia tahu adalah cinta pertamaku. Mungkin apa yang terjadi pada Rini, itu juga akibat yang kulakukan tanpa sadar...


"CTEKK!!"


Aku terkejut ketika sebuah jentikan jari lewat di depan mataku.


"Hei, Pak Erik, fokus, Pak."

"Hah? Oh iya, maaf, lagi mikirin sesuatu tadi."

"Udah jam makan siang masih mikirin apa sih, Pak?"

"Mikir aja, your life must be fortunate now."

"Iya, can't complain sih, cuman capek aja ngejalaninnya, kayak butuh energi banyak banget..."

"Lebih baik daripada kekurung di rumah aja, kan?"

"Iya sih, nggak mbayangin kalau aku kayak gitu... Hih..."



Aku melihat Rini yang mengaduk blended cappucino-nya dengan ekspresi bergidik seolah membayangkan bahwa sesuatu yang baru saja kukatakan tadi adalah hal yang mengerikan. Suatu hari di timeline original-ku, aku memang pernah merasa bersalah karena Rini jadi lebih sering di dalam rumah dan ditinggal, namun Rini saat itu mengatakan tidak apa-apa dan lebih enak di rumah karena kalau ingin santai tinggal santai. Sepertinya aku terlalu menerima itu sebagai hal yang harfiah, dan jadi tak merasa bersalah saat aku tak mengajak Rini keluar. Namun itu adalah Rini yang sudah lama menikah denganku, yang tahu bahwa dia harus mendukung keputusanku. Bukan Rini yang sekarang, yang lebih independen dan lebih tidak takut dalam mengungkapkan pikirannya yang sebenarnya.

Hapeku berbunyi, rupanya Reyhan meneleponku. Dia datang lebih pagi karena harus mengurus transfernya ke bagianku, jadi langsung kusuruh saja dia untuk ke kantin dan bergabung. Saat kulihat lagi, rupanya ada SMS dari Metta yang aku tidak tahu.

METTA: Bebeb, met kerja, chemunguuud eeaa (10:06am)
METTA: Bebeb, kangen, how are you? (10:14am)
METTA: Bebeb, Bebeeeeeeb, Bebeeeeb (10:31am)
METTA: Bebeb, sibuk ya? Koq msh sent? (11:23am)
METTA: Selamat bekerja ya, Bebeb, gpp kl Bebeb msh sibuk, asal jgn lp mkn, ya (12:02pm)
METTA: Beb, nanti jd, kan? (12:47pm)
METTA: Pls, jd ya, there's something I need to talk to you (12:49pm)


Sial, kenapa aku bisa melewatkan pesan dari Metta ini? Aku memang sudah bilang padanya bahwa karena takeover mungkin aku akan sibuk, tapi tetap saja, bukan sifatku untuk mengabaikan pesan Metta hingga hampir tiga jam seperti ini. Apakah aku sudah kembali terpesona pada Rini sehingga aku melupakan Metta walau hanya beberapa jam saja? Tidak, ini berbahaya. Bila perhatianku teralihkan oleh Rini, bisa-bisa aku tak akan bisa melaksanakan rencana yang sudah kurancang dari tiga tahun lalu. Aku harus teguh dan fokus, demi Metta.

Tak lama, Reyhan pun datang ke mejaku. Dia tampak agak terkejut melihat ada Rini di sana. Aku langsung menyuruhnya untuk memesan apa pun yang dia suka dan duduk di sebelah Rini.


"Gimana prosesnya, Rey?"

"Lancar sih, kata Mbak Nindy semuanya udah beres, tinggal selesaiin shift malem minggu ini, terus minggu depan bisa langsung pindah ke sini."

"Bagus lah. Oh ya, kenalin, Rey, ini anak baru di tim kita nanti, namanya Rini."



Reyhan dan Rini tampak canggung saat pertama kali bersalaman.


"Aku Reyhan, Reyhan Triananda."

"Aku Rini, Rini Widiyanti."



Aku lalu berdehem karena kuperhatikan Reyhan dan Rini bersalaman lama sekali. Dalam hati aku agak dongkol juga, kenapa sih Reyhan yang biasanya cuek tampaknya agak gelisah saat dekat dengan Rini?


"Rey, yang proyek itu sudah kamu selesaikan?"

"Proyek 'yang itu' ya, Pak? Udah, tinggal dieksekusi saja."

"Proyek apa ya, Pak?"
tanya Rini.

"Proyek dari Bagian Teknis, aku nggak mau ada proyek yang belum selesai aja sebelum Reyhan takeover ke sini."


Rini hanya manggut-manggut saja. Kami lalu berbincang bertiga. Awalnya aku memberi tahu Reyhan dan Rini mengenai pekerjaan mereka dan peran apa yang harus mereka lakukan dalam tim, namun setelah itu pembicaraan pun mengarah pada obrolan bebas, dan Reyhan yang awalnya kaku mulai bisa akrab dengan Rini, berkat sikap supel Rini yang baru hari ini kuketahui. Aku sendiri hanya mengamati saja obrolan mereka, dan Reyhan tampak benar-benar ingin tahu mengenai Rini. Mulai dari rumah, keluarga, sekolah, semua ditanyakan oleh Reyhan. Parahnya lagi, mereka mulai saling memanggil dengan santai: Reyhan memanggil Rini dengan "Neng" dan Rini memanggil Reyhan "Abang". Jujur saja selain dongkol, aku pun merasa sedikit cemburu. Seharusnya memang tidak, namun entah kenapa aku merasa hatiku panas, persis seperti yang kurasakan saat Metta berselingkuh dengan Adam.


"Neng Rini apa udah ada pacar, kalau Abang boleh tahu?"

"Belum, Bang. Belum ada."

"Wah, kalau begitu kalau Abang ajakin nonton film gak ada yang marah, ya?"

"Ya, nggak ada lah, kapan tuh mau ngajakinnya, Bang?"

"Sabtu kali ya, Neng? Ada film bagus deh, judulnya Journey 2: Mysterious Island, yang main kembaran Abang, Dwayne Johnson."



Aku langsung saja tertawa terbahak-bahak mendengarnya, hingga Reyhan dan Rini melihatku.


"Kenapa, Pak? Saya sama Dwayne Johnson kan sodaraan, dari Nabi Adam," kilah Reyhan.

"Iya, Rey, percaya," kataku, "tapi masa si Rini kamu ajak nonton film gituan, kan Rini sukanya film drama romantis."

"Ih, Pak Erik sotoy,"
kata Rini, "koq Pak Erik bisa simpulin aku suka drama romantis?"


Mati, aku keceplosan lagi. Tidak mungkin aku menjawab bahwa sebagian besar film yang ditonton oleh Rini selama kami menikah adalah drama romantis, kan?


"Ah, enggak, cuman kalau dilihat dari tampang dan gaya kamu, kamu itu mirip ama cewek yang suka film drama romantis."

"Don't judge book from its cover, Pak. Aku itu sukanya malah film macem gitu, ya komedi, petualangan, ama film action."

"Hah? Yang bener?"



Rini mengangguk dengan pasti. Dia jelas menjawab dengan jujur dan blak-blakkan. Tapi kenapa berbeda sekali dengan apa yang kuingat? Apa ada yang berubah.


"Wah, berarti kalau Abang ajakin nonton Avengers pas udah masuk sini besok boleh dong?"

"Avengers yang Marvel, kan? Bukan yang satunya."

"Iya yang Marvel, lah. Emang ada yang satunya?"

"Kan ada film mata-mata judulnya The Avengers, yang maen Uma Thurman ama Sean Connery."

"Ah, nggak tahu Abang kalau itu. Abang tahunya ya yang Marvel. Ada sodara Abang yang di sono noh, si Steve Rogers."



Rini tertawa mendengar candaan Reyhan, dan tawa Rini ini, tawa yang disebabkan oleh orang lain, membuat hatiku semakin terbakar. She's my wife, she's... Aku segera menghela nafas berat. Yes, Erik, she's no longer your wife. Sekarang dia wanita lajang yang bebas berkencan dengan siapa pun termasuk dengan Reyhan. Lagi pula, for heaven's sake, kamu udah punya Metta, Erik. Kamu nggak perlu Rini lagi, apa kamu tidak ingat apa yang Rini lakuin pada diri kamu di timeline sebelumnya?


"Tapi ya nggak bisa dibilang salah juga sih, soalnya aku juga nonton film drama romantis."

"Oh ya?"
balasku.

"Iya, tapi cuman pas aku sedih atau kecewa. Soalnya pas nonton drama romantis, aku bisa nangis sebebas-bebasnya tanpa ada yang tanya kenapa aku nangis, karena orang bakal tahunya aku nangis karena nonton film."


Bagaikan sebuah palu godam yang dilontarkan dan menghantam ulu hatiku, jawaban Rini itu sekali lagi membuatku sesak. Ya, karena aku tahu bahwa itu benar. Aku selalu melihat Rini menangis ketika menonton film drama romantis, dan aku sama sekali tak pernah bertanya padanya kenapa dia menangis! Aku hanya berasumsi dia menangis karena adegan sedih yang dia tonton dalam film. Aku tak pernah sama sekali merasa perlu untuk bertanya padanya atau bahkan untuk sekadar duduk bersamanya dan memeluknya meski tanpa bicara apa-apa. Selama 10 tahun pernikahanku dengan Rini, aku selalu merasa bahwa Rini berubah dan Rini-lah yang menciptakan ketegangan dalam pernikahan kami. Bahwa semuanya adalah salah Rini, salah Vino, yang selalu kukira seperti semacam manifestasi baby blues. Aku tak pernah berpikir bahwa semua itu, semua masalah kami, semua ketegangan dalam pernikahan kami, mungkin ditanam, dipupuk, dan disiram oleh sikapku, dan ketika Vino lahir, maka semua masalah itu akhirnya berkembang dan berbuah, berpuncak pada malam saat aku dibawa ke timeline ini.

Tiba-tiba aku merasa seolah kepalaku ingin pecah. Sebuah rasa sakit yang amat sangat hingga pandanganku kabur. Aku tak lagi bisa melihat Reyhan dan Rini yang tampaknya terkejut melihatku terhuyung. Pemandangan di kantin pun berubah menjadi di sebuah ruangan yang lampunya gelap dengan barang-barang yang baru saja hancur berantakan, dan ada darah menggenang di lantai. Kepalaku terasa bagai ditusuk ratusan paku, dan pandanganku silih berganti, antara kantin dengan ruangan penuh darah itu, dan saat kulihat, tanganku tampak berlumuran darah, dan kudengar seperti suara nafas seseorang yang tengah sekarat dan menunggu ajal menjemput. Aku tak sempat memeriksa siapa orang itu, karena pandanganku kemudian gelap dan aku tak sadarkan diri.






"Pak Erik? Pak..."


Aku membuka mata, dan kulihat lampu putih menyilaukan ada di atasku, membungkus siluet kabur seorang wanita. Tanganku terasa pegal sekali, dan baru kuketahui sebabnya saat kurasakan ada sesuatu terpasang di sana, sebuah jarum infus. Kulemparkan pandangan ke sekitar, dan bau yang khas ini, jelas aku berada di rumah sakit. Figur wanita itu semakin lama semakin jelas dan kulihat Rini berdiri di sampingku, memegang tanganku sambil terisak. Setengah sadar, aku pun berkata...


"Ma... Mama..."

"Mama? Bukan, ini aku, Rini."

"Rini?"

"Iya, Pak."



Kembali aku melihat ke sekitar dan menarik nafas lega. Aku masih ada di timeline ini, belum kembali ke timeline original-ku.


"Aku ama Bang Reyhan tadi mbawa Pak Erik ke sini, soalnya kami udah takut pas Pak Erik pingsan gitu aja."

"Oh, iya, nggak tahu aku kenapa bisa pingsan gitu. Omong-omong, Reyhan ke mana?"

"Bang Rey harus balik ke kantor dulu, Pak, soalnya ada yang kudu diurus ama Mbak Nindy."



Aku mengangguk-angguk. Pandangan mataku masih agak kabur, dan dalam kaburnya itu aku merasa melihat sesuatu yang berkilauan berwarna merah seperti sebuah garis atau tali, namun saat kukibaskan mata, garis merah itu menghilang. Mungkin aku hanya salah melihat karena masih pusing. Aku hanya merasakan tangan Rini amat hangat dan lembut menyentuh tanganku dalam sensasi yang seolah sudah lama kurindukan.


"ERIK!!"


Rini langsung mundur mendengar suara itu, suara yang amat kukenal. Metta langsung berlari masuk ke dalam ruanganku. Dia tampak cantik dengan blouse ungu dan jeans khaki dan rambut diikat. Entah kenapa Metta yang biasanya setiap masuk bagaikan cahaya mentari yang menyibak kabut, kali ini seolah ada saingan yang bersinar secerah dirinya.

Metta langsung menghampiriku dan berganti memegang tanganku. Raut mukanya tampak cemas dengan amat tulus, dan dia jelas mengkhawatirkan keadaanku. Tangannya yang lembut membelai kepalaku.


"Bebeb kenapa?? Aku langsung ke sini begitu Reyhan telepon aku."

"Bu Metta, ya? Pak Erik tadi pingsan pas kami rapat, Bu."



Metta menoleh dan dia baru menyadari kehadiran Rini di sana.


"Oh ya? Terus tadi dokter bilangnya apa?"

"Masih diperiksa, Bu. Antara kepanasan, atau gula darah rendah katanya, tapi masih dicek lagi. Cuman katanya semuanya stabil, nggak ada masalah. Dan kalau ampe sejam tetep normal, Pak Erik boleh pulang."

"Hh.. Thank's God. Makasih ya udah nemenin Erik, eh iya, kamu siapa?"

"Saya pegawai baru di timnya Pak Erik, nama saya Rini."



Saat itu juga kulihat raut muka Metta berubah seolah terkejut. Matanya membelalak dan langsung melihat Rini dari ujung rambut ke ujung kepala.


"Rini? Nama kamu Rini?"

"I-Iya, Bu Metta, kenapa ya?"

"Kamu bener pegawai baru?"

"Iya, Bu, baru masuk hari ini. Kenapa, ya?"



Metta langsung menggeleng seolah membuang sesuatu yang menggelayut di pikirannya.


"Oh, gak apa-apa. Makasih ya, udah bawa Erik ke sini. Kamu kalau mau balik ke kantor gak apa-apa, biar aku yang gantiin jaga Erik di sini."


Rini tak langsung menjawab, dia melirikku dahulu meminta persetujuan. Dengan isyarat tangan, aku pun mengizinkannya pergi. Rini membungkuk padaku dan Metta, kemudian keluar dari ruangan. Saat dia keluar kembali kulihat seperti ada kilauan benang cahaya, namun menghilang pada saat itu juga.

Begitu Rini keluar, Metta langsung memelukku. Kurasakan basah dan hangat, tanda air matanya tengah berlinang di dadaku.


"Aku nggak apa-apa, koq... Tadi kan Rini udah bilang, semua normal."

"Aku tu kepikiran, tauk. Seharian gak ada kabar apa-apa sekalinya ada kabar malah masuk rumah sakit."

"Iya, maaf. Nggak tahu juga tadi kenapa bisa tiba-tiba pingsan."

"Kamu nggak makan apa minum yang aneh-aneh kan, di kantor?"

"Ya, kayak biasa aja di kantin. Nggak ngerti juga kenapa gini. Seumur-umur aku kan nggak pernah pingsan."



Metta lalu memelukku lebih erat.


"Don't leave me, Beb. Don't die on me. Aku tu nggak kamu tinggalin sendiri."

"Ini apa sih? Tenang lah, kan tadi denger sendiri, semua normal dan stabil."

"Justru itu yang bikin aku tambah khawatir. Gimana kalau ternyata ada apa-apa yang lebih parah??"

"Hey, I'll be fine, don't worry."

"Promise, Babe?"

"I promise."



Aku mendekap Metta untuk menenangkannya. Di satu sisi, dia ada benarnya, kalau semua normal jangan-jangan ada penyakit parah yang jadi penyebabnya. Ataukah ini efek dari regresi waktu yang kini baru terasa? Inikah tanda aku akan segera meninggalkan timeline ini? Lalu apa maksudnya dengan ruangan yang penuh darah dan ada suara orang sekarat itu? Kenapa tampak tak asing? Kepalaku kembali pusing saat memikirkannya.






"Beb, please... Slowly... Aaagghhh..."


Metta mendesah sambil badannya bergoyang saat aku mengeluar-masukkan kontolku ke dalam mekinya dengan posisi doggy. Dalam posisi ini aku bisa melihat punggung, pantat, serta dimple of Venus yang berguncang-guncang, mengkilap oleh keringat. Susu Metta pun bahkan sampai bergoyang-goyang saling membentur, dan keringat kami memercik ke mana-mana.

Doggy bukanlah posisi yang paling kusukai, karena ini menempatkan siapa pun partnerku dalam posisi di mana aku hanya bisa melihat pantat dan selangkangannya. Jelas bukan pilihan utama bagiku yang lebih menyukai posisi yang up-close and personal di mana aku bisa melihat dan berinteraksi dengan partnerku lebih banyak. Namun kali ini, entah kenapa, aku sedang ingin melakukan doggy. Dan dengan itu, aku sedang ingin lakukan hard sex!


"PLAAAKKK!!"


Sekali lagi pantat sekal Metta kutampar hingga kemerahan. Kurenggut rambut Metta lalu kutarik kepalanya ke belakang, menyetubuhinya bagaikan menunggang kuda. Tentu saja Metta pasti sakit saat aku melakukannya, aku tahu, namun tak berniat untuk berhenti. Malah beberapa kali kusentak rambutnya hingga kepalanya mendongak sembari tetap kugenjot pinggulnya.


"Aaahh... Yesshh... Aaagghh... Beb... Aahhh...."


Racauan Metta semakin tidak jelas, hanya berubah menjadi suara random saja yang keluar dari mulutnya, nyaring dan merdu bagaikan lenguhan bintang JAV Aimi Yoshikawa.

Sudah amat lama saat kulakukan hard sex ini, dan entah berapa kali Metta sudah keluar sehingga terasa kaki dan tangannya lemas. Untuk kali ini aku tak menghitungnya. Aku hanya ingin menggenjotnya sekuat tenaga. Bahkan selagi dia orgasme pun aku tak memberi jeda sebagaimana biasa. Aku sendiri tak paham mengapa kulakukan itu, hanya saja aku merasa seolah ada yang harus kulepaskan dari dalam diriku.


"Aahhh... Please... Please... Aaahhh..."


Permintaan Metta untuk menurunkan tempo bagiku terdengar seperti ajakan untuk terus meningkatkannya. Aku berpikir seperti apa Metta saat bersama Adam? Apakah dia melakukannya dengan kasar seperti ini? Atau halus sebagaimana aku biasa. Pemikiran bahwa lubang yang kumasuki ini pernah dimasuki juga oleh kontol lain membuatku semakin kesal hingga aku semakin mempercepat tempo dan menghentakkan kontolku makin keras. Hingga...


"KYAAAAAA!!!!"


Metta berteriak dengan kencang dan tubuhnya langsung menegang dari kaki hingga kepala sebelum mengejang kencang seolah tersetrum listrik. Pada saat bersamaan, kontolku memang tengah berkedut mengeluarkan isinya yang sedari tadi kutahan. Setelah beberapa kali sentakan, Metta pun ambruk dalam posisi menungging. Kulihat matanya membalik hingga hanya terlihat putihnya saja, dan spermaku mengalir keluar dari mekinya yang tampak agak melebar karena dari tadi kuhentak dengan keras. Saat kupegang mekinya, dia langsung tersentak kembali dan ambruk telentang.

Nafas Metta kulihat pendek-pendek tertahan, dengan tubuh yang masih gemetaran. Sesekali pinggulnya berkedut dan mengejang dengan keras, sebelum akhirnya dia semakin relaks dan nafasnya pun kembali stabil. Aku langsung berbaring di sebelahnya dan memeluknya serta mencium pipi dan bibirnya.


"Bebeb beda..."

"Hmm?"

"Tulang aku kerasa mau copot..."

"Maaf ya..."



Aku mempererat pelukanku dan kembali memberi beberapa ciuman. Metta kembali bergidik saat kontolku menyenggol bibir mekinya, namun tak ada reaksi lebih lanjut.


"Tadi itu panas, Beb..."

"Panas?"

"Iya, pas kamu cum... Panas, dan rasanya kayak kesetrum..."

"Oh ya?"

"Biasanya anget... Ini panas... Tumpah di dalem semua ya, Beb?"

"Iya."

"Udah lama Bebeb gak tumpahin di dalem, aku kangen... Bebeb udah gak takut aku hamil lagi?"

"Nggak tahu, rasanya tadi malah aku pengen hamilin kamu..."

"Moga-moga jadi ya, Beb..."

"Hmm? Tapi kita belum nikah."

"Ya gak apa-apa, jadi dulu, nikah belakangan. I just want a piece of you grows inside me."

"Jauh lah, kan bukan masa subur kamu juga..."

"Even a long shot can make it..."

"Still a long shot, nonetheless."







Kami sarapan di kamar hotel kami sambil melihat pemandangan pagi kota Jakarta. Karena Metta agak susah untuk berjalan setelah kusetubuhi secara hardcore semalam, aku berinisiatif supaya staf hotel membawakan sarapan kami ke kamar saja.

Aku pun membuatkannya sebuah teh hangat dan membawakan padanya, yang duduk di sofa sambil masih memakai kimono mandi dan handuk terikat di kepalanya.


"Masih sakit?"

"Masih, masih nyeri. Bebeb semalem ngentotnya brutal, padahal siangnya baru keluar dari rumah sakit."

"Nggak tahu ya, kayak pengen aja sekali-sekali agak hardcore."



Metta menyesap tehnya, lalu tersenyum.


"Asal Bebeb mau, minta apa aja aku nggak keberatan koq. I love how you treat me, I love everything about you, karena Bebeb tetep bisa bikin aku nyaman walau kasar kayak tadi."


Aku manggut-manggut saja. Pintu diketok, dan room service pun datang membawa makanan kami. Setelah semua ditata di meja, kami pun menyantapnya.


"Bebeb nggak kerja kan, hari ini?"

"Enggak, gara-gara pingsan kemaren kata si Nindy aku mending gak usah masuk dulu buat istirahat. Kamu sendiri?"



Metta menggeleng.


"Ngabisin sisa cuti tahun ini."

"So it happened, right?"



Metta mengangguk.


"Kemaren aku baru aja ngasih two-month notice. So, dua bulan lagi aku udah nggak di kantor lagi."

"Udah dapet yang baru, kan?"

"Udah."

"Ke mana jadinya? Tohoku Hedging atau SST Capital?"

"Enggak dua-duanya, aku milih ke KSI Company, yang Korea."



Mendengar nama itu, secara refleks aku berhenti. Akhirnya hari ini sungguh terjadi. Tadinya aku harap Metta akan memilih perusahaan investasi internasional lain, namun ternyata bahkan dia pun tak bisa melawan takdir untuk ke KSI Company.


"Kirain kamu mau ambil yang Tohoku?"

"Enggak lah. Emang sih dia nawarin gajinya lebih gede, tapi skala perusahaannya di Asia Tenggara masih kalah dari KSI. Lagian rata-rata staf Tohoku itu masih kental senioritasnya ama rentang kariernya mentok, sementara KSI lebih dinamis. Rentang kariernya juga lebih jelas dan terbuka. I can earn three times what Tohoku offered me in just a year."

"I see..."

"You don't looked very happy. Ada apa?"

"Nothing, it's just that, if money is the problem..."

"Babe, you know money is never the problems... Aku cuman pengen tantangannya, itu aja. Lagian, bukan itu juga tujuan aku kerja sampai ke KSI."

"Kalau bukan lalu apa?"



Metta tersenyum lalu memegang tanganku dengan lembut.


"Supaya kita bisa nikah, in the way you want it to be."

"The way I want it to be?"

"Bebeb, jangan bilang aku nggak tahu kalau kamu pengen pernikahan outdoor dengan suasana serba putih dan biru, lalu honeymoon to somewhere exotic."

"Iya sih, tapi kapan aku bilang, ya?"

"Dulu waktu kita masih LDR, masih chattingan, kamu pernah nyebut itu pas kita teleponan."



Aku tertawa bahagia.


"Gosh, you remember that?"

"For the man I love, semua yang dia bilang itu penting. Aku juga inget kamu cerita mau lakuin semuanya sendiri, tanpa bantuan siapa pun. So, let me assist you. Dengan gini kamu bisa fokus ngumpulin biaya. Setelah 2 atau 3 tahun, karier kita udah sama-sama mapan, baru kita jalanin, the wedding of our dream. How is that..."

"Hunny, that's..."



Aku tak bisa berkata-kata, dan akhirnya hanya bisa memeluknya saja. Cara Metta mengingat apa yang kukatakan mengenai mimpiku benar-benar membuatku tersentuh. Meskipun masih ada hal yang mengganjal, namun mungkin aku benar-benar siap untuk memaafkan Metta, sebagaimana Om Darwin dulu memaafkan Tante Melly, karena kini aku memiliki Metta sepenuhnya, hati dan jiwanya, bukan hanya fisiknya saja.

Bagaimana pun, keputusan Metta bergabung dengan KSI masih membuatku gamang. Akhirnya hal ini terjadi juga. Semua kemalangan yang dialami oleh Metta dimulai di KSI, dan waktunya adalah tepat 3 tahun dari sekarang. Mau tak mau, aku harus menjalankan bagian kedua dari rencanaku. Masalahnya, dengan munculnya Rini, tiba-tiba saja aku sadar, bahwa perasaanku kini mulai terbagi, dan ini tak boleh terjadi bila aku memang ingin menolong Metta!


"Tapi, Beb, aku mau tanya, deh."

"Hmm?"

"Kamu yakin, kemaren itu pertama kalinya kamu ketemu ama si Rini?"



Jantungku pun serasa berhenti saat tiba-tiba Metta bertanya begitu.


Next >>> Setback
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd