Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Waoooww... Ceritanya epic.. nda bisa ditebak...petualangannya bikin kita merasakan jadi eric... mantul..
 
Chapter 25:

A Little Thing Called Reckoning



Timeline 2020
Sehari sebelumnya...



"Lo gila ya, Bos??"

"Please, aku nggak tahu lagi kudu ngapain."



Reyhan hanya melihatku sambil menghela nafas panjang. Aku memang menemui Reyhan setelah bertemu dengan Rini, di sebuah kedai di dekat rumahnya, karena kebetulan Reyhan sedang libur hari ini.


"Progenitor virus itu bisa dipakai buat nembus Sistem Perseus yang diterapin di ASV ama KSI, kan?" tanyaku.

"Bisa, tapi progenitor Medusa itu versi yang masih liar, kalau dilepaskan ke Perseus, kita nggak tahu bagaimana reaksinya. Bisa aja Perseus langsung mengenali sebagai ancaman dan langsung dibinasakan, tapi kemungkinan besar..."

"Perseus bakal bisa di-bypass karena dasarnya sama dengan Medusa."

"Dan sekali Perseus tembus, Medusa bakal menginfeksi seluruh jaringan di KSI dan ASV, lalu Bos tahu apa akibatnya, kan?"



Aku mengangguk. Reyhan pernah menjelaskan soal ini dulu waktu kami masih sama-sama shift malam di ASV. Digital Apocalypse, begitulah kami menyebutnya. Medusa yang telah melumpuhkan Perseus akan menghancurkan seluruh sistem digital yang dia infeksi. Ini bencana bagi perusahaan yang semua sistemnya sudah bermigrasi ke digital networking 100 persen semacam KSI Company. Tak hanya KSI, Medusa juga akan menyerang semua sistem yang tersambung ke KSI, dan ini bisa mengakibatkan kekacauan sistem keuangan baik di Jakarta maupun Singapura, hingga seluruh Asia Tenggara. Estimasi kami, perlu 10 hari untuk merespons ancaman ini secara menyeluruh, dan dalam 10 hari itu bisa dibayangkan kerusakan dan kerugian yang akan disebabkan oleh Medusa. Saat ini, progenitor virus Medusa yang mengerikan itu tersimpan dengan amat rapi di hapeku, menunggu untuk dilepaskan.


"Secara teori, sekali progenitor virus ini dilepas, berapa lama sebelum mulai membuat kerusakan?"

"Begitu mulai bereplikasi dan menembus saat itu juga kerusakan dimulai, Bos, dan kita nggak bicara soal setahap demi setahap, karena Medusa akan menyerang secara eksponensial. Dalam satu jam saja seluruh jaringan KSI bisa langsung lumpuh, dan data-data pentingnya akan hancur digerogoti virus yang telah bereplikasi. Dua jam saja tidak ditangani, KSI bakal balik lagi pakai kalkulator ama sempoa, Bos."

"Bagus, itu yang kubutuhkan."

"Mending jangan, Bos. Melepas virus ke mainframe KSI itu bisa jadi bumerang buat Bos sendiri. Tim cyber mereka cukup ahli dalam mendeteksi asal virus dalam waktu beberapa jam saja."

"Seahli itu ya?"

"Iyalah, orang saya sendiri yang latih mereka. Lagian, setelah serangan hacker tempo hari, saya sudah blokir path ke hapenya Bos Erik, so impossible buat ngelepas virus sebelum blokirannya dibuka."

"Bisa kamu buka?"

"Bisa, tapi nggak bisa di sini. Aku blokir path hapenya Bos dari kantor ASV, so satu-satunya cara buka blokirnya ya dari server ASV. Saya ingatkan juga bahwa mainframe KSI dan ASV sekarang nyambung, jadi serangan ke KSI bisa ikutan hancurin ASV."



Aku terdiam. Simulasi itu memang benar, menyerang KSI dengan Medusa bisa melumpuhkan ASV juga, yang terjepit di antara kami.


"Lagian kenapa bisa ngide buat lepasin virus, sih, Bos? Kenapa nggak lakuin cara lain??"

"Aku udah periksa semuanya, Rey, dan nggak ada satupun yang aku siapin di tahun 2015 ketemu or bisa aku pake. Seolah semua persiapan yang aku kumpulin lenyap begitu saja, dan aku harus tahu apa yang terjadi."



Reyhan mendesah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.


"Bisa kan, kamu buka blokirnya?"

"Bisa, tapi besok, Bos. Aku harus ngantor dulu buat akses ke sono, besok langsung aku buka blokirnya."

"Oke, makasih ya, Rey."

"Tapi please lah, Bos, itu bunuh diri namanya. Bos bisa kena multiple charge kalau nekad nglepas virus."

"Aku udah siap konsekuensinya. Tapi rata-rata asset Steven terkait dengan KSI dan Sentosa International. Kalau KSI hancur, maka Sentosa akan ikutan hancur, dan semua pondasi kekuatannya juga bakal ikut hancur, saat itu Steven akan mudah buat diserang siapa pun. Ada banyak orang KSI yang aku tahu nggak suka ama kepemimpinan Steven, dan jatuhnya Steven sama saja seperti ngelemparin dia yang lagi berdarah ke kolam hiu."

"Kenapa nggak ndeketin si itu saja, Bos, Direktur Kim?"

"Aku nggak bisa hubungin Direktur Kim, dia udah balik ke Korea sekarang, jadi konsultannya KSI Group di sana. Aku kehabisan option, Rey."



Reyhan hanya mendengus saja.


"Please don't implicate yourself, Rey. Aku tahu kamu baru nikah, kan? Jangan sampai kamu ninggalin jejak kalau kamu terlibat. Aku berniat jatuh sendiri, nggak berniat ngajak-ngajak orang, so jangan coba-coba ikut jatuh sama aku. Aku tahu infrastruktur ASV cukup kuat buat bertahan, tapi KSI bakal hancur lebur."

"Bos sendiri gimana? Mbak Metta baru hamil kan, Bos? Siap ninggal istri ama anaknya kalau ada apa-apa??"



Aku terdiam sejenak. Saat itu aku teringat bagaimana Metta dengan senang memberitakan bahwa dia sudah hamil. Tentu saja ini membuatku senang juga, tapi justru karena ini pula aku semakin bertekad untuk melakukan ini.


"Metta sudah kupersiapkan. Semuanya juga, buat Metta, kamu, Rini, semua udah kupersiapkan. Tinggal aku sendiri yang harus lakuin ini. Lagian kamu nggak usah takut, Rey, ini hanya untuk skenario terburuknya. Aku masih punya satu langkah terakhir sebelum harus ngelepas progenitor Medusa. Namun aku mau sebelum melangkah lebih jauh, path ke sono kudu udah dibuka."

"Oke, besok saya akan buka. Bos bakal tahu ntar kalau path-nya udah dibuka."

"Bagus, terima kasih, Rey."

"Usahakan sebisanya dulu, Bos, buat jangan perlu ngelepas virusnya. Aku aja ngeri efeknya, apalagi ntar Bos yang ibaratnya pelaku."



Aku mengangguk lalu menenggak kopiku.






Hari ini...


Aku terbangun akibat aroma lezat yang menusuk hidungku. Butuh berapa menit bagiku untuk akhirnya ingat bahwa aku tidak sedang ada di rumahku sendiri, tapi di rumah Rini. Kejadian semalam membuatku amat kesal hingga rasanya seperti menguras semua energiku.


"Kamu udah bangun, Rik? Sarapan dulu, yuk?"


Rini tampak sudah menungguku di meja makannya. Aku duduk di sana dan Rini langsung menyajikan kopi, dengan aroma kesayanganku. Aku mencium aromanya sejenak dalam-dalam sebelum akhirnya menghirupnya.


"Aaahhh... Aku selalu suka kopi buatan kamu, Rin?"

"Masa sih? Emang aku pernah ya bikinin kopi buat kamu?"

"Emang belum pernah?"

"Not that I know of... Emang kapan?"



Aku tak menjawabnya dan hanya meminum kopi saja. Aku agak malas harus menjelaskan atau mencari alasan.


"Oh ya, Metta telepon aku."

"Kapan?"

"Semalem, sebelum kamu datang."

"Oh, dia bilang apa?"

"Dia bilang kalau kamu datang, aku disuruh nampung kamu dulu, daripada harus cari hotel malem-malem."



Aku tak menjawab.


"Kamu kasih tahu dia kalau aku di sini?"

"Iyaa... Gimana ya, after all she is your wife, right?"



Aku hanya mengangguk saja. Kusuapkan sedikit bubur ayam yang telah disiapkan oleh Rini di depanku.


"Rik, she was crying..."

"..."

"Ada apa sih? What's wrong with you?"

"..."

"Fine kalau kamu nggak mau jawab, tapi aku nggak mau kejebak di antara masalah rumah tangga kamu..."

"Dia selingkuh."



Rini tiba-tiba tertegun dan langsung menatapku. Dia menjulurkan tangannya hendak memegang tanganku, tapi aku menarik tanganku secara refleks.


"K-Kamu tahu dari mana?"

"Semalem aku temuin tato ular di pahanya, deket banget ama selangkangannya..."

"Tapi tato kan bukan..."

"Kapan kamu tahu aku suka ama tato, Rin?"



Rini terdiam.


"Makanya dia hampir gak pernah pakai baju terbuka atau celana pendek lagi, rupanya dia nutupin tato itu dari aku. Logikanya, kalau itu aku yang minta atau izinin, dia gak perlu nutupin, kan?? Mana deket banget ama selangkangan muterin paha. She needs to be at least bottomless to do that."

"Rik..."

"She's promised, Rin!! DIA UDAH JANJI!!"



Aku memukul meja makan Rini beberapa kali hingga mangkuknya terlompat akibat getaran, dan sebagian kopinya jatuh mengenai tanganku. Panas... Tapi aku seolah tak merasakannya.

Buru-buru Rini mengambil lap dan mencoba mengusap tanganku yang terkena kopi. Awalnya aku coba menariknya, tapi Rini dengan tegas menarik tanganku kemudian mengusapnya dengan lap.


"Sakit?"


Aku menggeleng.


"Kayaknya itu terjadi tahun 2017... Foto-foto dari sejak tahun itu udah nunjukin perubahan baju yang dipakai Metta. Banyak bajunya yang seksi dan modis gak dipakai lagi, juga yang pendek atau terbuka. Dia nutupin itu dari aku..."

"Tapi 2017 itu bukannya..."

"Mungkin... Ya, bisa saja sesuai dengan video yang kamu ambil."

"Tapi di video itu Metta masih pake gaun pendek, dan nggak ada tato apa-apa, tapi iya juga sih, sejak itu tiap aku liat Metta pasti selalu pake celana panjang gombrong atau gaun yang nggak pake belahan, cuman aku nggak mikir kalau..."

"Entahlah... Liat tato itu aku udah marah banget, makanya aku pergi dari rumah."

"Kamu gak pertimbangin kalau bisa aja Metta dipaksa buat bikin tato itu?"

"She know that she could just told me... Sejak terakhir itu aku udah bilang kalau ada kejadian seperti si Adam dan dia dijebak, dia cukup ngomong aku dan pasti bakal aku bantu. Tapi dia nggak ngomong apa-apa..."

"Rik, I'm so sorry..."



Rini berdiri dan mencoba memelukku. Aku awalnya beringsut saat dia mendekat, namun dengan lembut, Rini mengelus pundakku dan menenangkanku, hingga akhirnya aku pun mau untuk dia peluk. Saat berada dalam pelukannyalah seketika itu pula emosiku yang tengah memuncak pecah dalam bentuk air mata. Aku menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya, dalam dadanya yang terasa lembut dan aman. Ini kedua kalinya aku menangis di pelukan Rini setelah sebelumnya tadi malam.


"Tenang, Rik... Sabar ya..."


Rini mengelus kepalaku untuk menenangkanku, dan dia sama sekali tidak melepas pelukannya barang sesaat pun, seolah membiarkan aku melepaskan seluruh air mataku kepadanya. Aku pun terus menerus mengusapkan wajahku pada dadanya.


"Ehh... Rik..."


Rini berusaha melepaskan kepalaku, karena kini aku bukan hanya mengusap dadanya, melainkan menggunakan mulutku untuk mengenyot susu Rini dari balik gaun tidurnya, yang di baliknya tak ada penutup apa-apa.


"Rik... Lepas, ih... Erik..."


Aku tak menggubrisnya, justru semakin kencang memeluknya, mendorongnya hingga dia terbaring di meja, sambil menciumi dari susunya, tulang belikat, leher, hingga naik ke wajahnya. Rini berusaha untuk menghentikanku, tapi dia tak kuasa...


"Rik... Jangan, Rik... Jangan gini..."

"I love you, Rin... I love you very much..."

"Erik!!"


"PLAAAKK!!"



Rini menamparku dengan amat kencang. Aku pun seperti terkesiap pada saat itu juga, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Rini untuk mundur dan berdiri, namun dia tidak menjauh. Aku melihat tampangnya yang terlihat kecewa dan shock. Dia juga tampak gemetaran.


"Maaf, aku..."


Aku tak sempat menyelesaikan perkataanku karena Rini langsung maju dan memagutku hingga kami jatuh berdebum di lantai. Kami berciuman dengan amat panas di lantai ruang makan, saling bercumbu seolah menyalurkan hasrat yang telah lama kami pendam.


"Rik..."

"Hm?"

"Pindah ke kamar, yuk?"



Mendengar itu, dengan sekali gerakan, aku pun langsung membopong Rini sambil kami masih terus saling berpagutan seolah tak ada hari esok. Pintu kamar pun tertutup dan kami segera melepas baju masing-masing. Tidak ada gerakan pelan, tak ada gerakan romantis, tak ada gerakan malu-malu, karena kami berdua telah saling tahu perasaan masing-masing dan sadar betul dengan apa yang akan kami lakukan. Tak perlu waktu lama sebelum kami pun telanjang bersama, berpelukan, berciuman dengan panas di atas ranjang Rini.

Aku lalu melepas pagutanku sejenak dan melihat Rini yang berbaring di bawahku. Matanya tampak nanar dan melihatku dengan penuh cinta dan nafsu.


"I love you, Erik... Hhh..."

"I love you too, Rin."



Kami kembali berciuman, namun kali ini lebih dalam, lebih lembut, dan lebih romantis. Lidah kami saling beradu, membelit dan membelai, menjadi jembatan bagi air liur kami untuk menyatu. Rini bernafas dengan berat, dan suara serta aroma nafasnya yang basah menyeruak hidungku, bercampur dengan feromon kewanitaannya yang semerbak.


"Hmmmmhhhh... Aaaahhhh..."


Rini mendesah dengan lirih dan panjang saat jari-jariku kini bermain di susu dan putingnya yang cokelat mengeras bak kancing tekan. Aku pun mulai bergerak ke bawah, menciumi dari pipi, leher, tulang belikat, sebelum akhirnya ke susu Rini, memainkan putingnya yang bagai kacang itu hingga dia mendesah keenakan.


"Terussshhh, Erik... Yesshhh..."


Aku lumayan menikmati berada di atas Rini, merangsangnya hingga dia menggeliat-geliat di bawahku akibat rangsanganku pada beberapa titik vitalnya sekaligus. Tubuh kami yang berkeringat saling menggesek dan menyatu, membuatku bisa merasakan putingnya yang mengeras itu pada dadaku. Tak disangka, tangannya ternyata sudah bergerak ke bawah dan memegang kontolku.


"Masukin, Rik... Aaahhh."


Dengan perlahan, kontolku dia gerakkan untuk menggesek mekinya, membuat cairan pelumasnya dan precum-ku menyatu. Kubantu dengan menggoyang sedikit pinggulku hingga akhirnya kontolku pun berhasil masuk.


"Aaaaaahhhhh... Oooooohhh... Isssshhhhh..."

"Sakit?"



Rini mengangguk-angguk.


"Kayaknya lama nggak kamu masukin jadinya sempit lagi, Rik... Hufft..."


Ya, setelah merasakan meki yang agak longgar dari Metta, kembali merasakan meki sempit milik Rini benar-benar mengembalikan gairahku. Kontolku sudah menancap hingga setengah batang, aku pun kembali menggoyang. Tak disangka, Rini pun turut goyangkan pinggulnya sendiri hingga pelan-pelan kontolku masuk hingga mentok ke dalam.

Rini berhenti sejenak, dia terengah-engah berusaha mengatur nafas. Tangannya mencengkeram erat tanganku untuk mengurangi rasa sakit pada mekinya akibat dipaksa membuka hingga ke ukuran diameter kontolku. Setelah nafas Rini stabil, aku pun menggenjotnya perlahan.


"Aahhh... Iyaaah... That's it, Erik... Aaahhh... More... Moooorreeeee!!"


Tubuh Rini pun akhirnya mulai berguncang seiring dengan genjotan pinggulku yang membuat kontolku bagai piston yang tengah memompa meki Rini. Bicaranya mulai meracau, saat kupercepat gerakannya, dan...


"SRRRR!!"


Tubuh Rini kembali menegang dan terasa getaran halus pada pinggulnya, menunjukkan bahwa dia tengah mengalami orgasme. Kubiarkan saja orgasme itu terjadi sebelum kucabut kontolku.


"AAAHH!!"


Rini berjengkit saat kepala kontolku keluar dari mekinya, penuh belepotan dengan cairan cintanya.

Tanpa menunggu Rini mengatur nafas, aku segera membawa kontolku ke mukanya, lalu memeperkan cairan mekinya sendiri ke mukanya. Dia tampak terkejut dengan perilakuku, apalagi saat kontolku kugesekkan pada bibirnya seolah tengah memakaikannya lipstik.

Pada saat inilah, Rini kembali bangkit lalu menjulurkan lidahnya dan mulai menyerang kepala kontolku, memijat dan menyentuhnya dengan lidah dan bibirnya. Tak lama, kontolku pun sudah keluar masuk di mulutnya. Beberapa kali dia tampak kejang, efek dari badai orgasme yang belum tuntas ditenangakan.


"Hisap, Sayang... Terus, Rin..."


Kali ini gantian aku yang kelojotan keenakan. Tapi kalau dikira aku akan cepat menyerah, maka kalian semua salah. Dengan kontolku masih disepong oleh Rini, aku pun beringsut berbaring di kasur. Rini kuarahkan untuk bergerak berbalik hingga kini mekinya berada di wajahku. Dia berjengkit sejenak saat aku menjilati mekinya.


"Rik... Jangan gitu ah, jangan dijilatin..."

"Gak apa-apa, Sayang..."

"Tapi itu kan kotor, Rik... Aaahh..."

"Kamu juga ngemutin kontol aku..."



Rini tak bisa berkilah lagi. Dia semakin gelisah karena aku menjilati mekinya hingga basah sekali, dan entah karena enak atau apa, dia tidak melawan dan malah mengisap kontolku dengan semakin ganas lagi.

Saat itulah aku meringis karena Rini mengatupkan mulutnya erat-erat hingga kontolku terasa seperti digigit. Kutahan rasa sakitnya sebentar, dan benar saja, pinggul Rini terasa seperti bergetar, dan semacam cairan kental seperti ditumpahkan ke dalam mulutku. Lidahku pun merasa seperti dipijat oleh otot pada mekinya. Ya, orgasme kedua Rini.


"KYAAAAA!! Jangan ditusuk silitnya!!"


Aku hanya terkekeh saja, dan tindakanku menusuk anusnya dengan jari serta memainkannya membuat getaran pada pinggul Rini menjadi semakin kencang, dan lelehan pada mekinya semakin banyak. Kuremas dan kutahan bokongnya agar tidak bergerak-gerak terlalu liar, kurasakan getarannya semakin berkurang dan berkurang...


"Hhh... Erik... Aku pipisin kamu tadi ya?"

"Gak apa-apa, Sayang, enak koq..."

"Iih, aku malu tahu..."

"Aku suka koq, sexy tahu pas kayak gini."

"Aahhh... Erik, mah..."



Rini dengan manja memukul bahuku lalu kami berbaring berpelukan. Dalam kondisi hangat, basah, dan lengket serta suasana penuh feromon ini, tak butuh waktu lama sebelum kontol kembali bangun dan menyundul-nyundul paha Rini.


"Bangun, noh..."

"Iyaa, pengen masuk, tuh."

"Yaa, masukin aja."

"Boleh?"

"Iih, pake nanya!"



Aku tertawa dan mencubit hidung Rini. Kemudian aku memposisikannya dengan kaki terkangkang membentuk huruf W. Rini membantu dengan membuka kakinya hingga mekinya terbuka lebar. Tak segera kumasuki, kuelus-elus sebentar lalu kuciumi.


"Eriiik, masukin aja!"

"Bentar, Sayang, aku lagi mengagumi meki kamu..."

"Aahh, Erik isshh..."



Kuelus-elus dan kugosok-gosok mekinya dengan jariku, sebelum akhirnya kukorek-korek hingga Rini kelejotan, namun berusaha agar tidak melepas posisinya. Lendir pun keluar cukup banyak dari mekinya, entah lendir baru atau sisa dari orgasmenya tadi. Setelah kurasa cukup, kuambil jariku lalu kuleletkan ke mulutnya, memaksanya merasakan cairan mekinya sendiri. Tadinya kukira Rini akan marah, tapi ternyata tidak, dia malah menjilati jariku dengan lahapnya. Hmm, aku merasa ini bukan pertama kalinya Rini merasakan cairan meki. Lalu aku teringat sesuatu, mungkinkah...

Tanpa membuang waktu, aku menempatkan pinggulku tepat di selangkangan Rini, dan kontolku menempel tepat pada lubangnya. Rini tampak sudah lebih siap kali ini, dan...


"BLESS!"


Karena tadi aku sudah menyetubuhinya, maka kali ini terasa lebih longgar, selain juga cairannya sudah banyak keluar dan melumasi gerakan kontolku dalam mekinya.


"Terus, Rik... Aaaahhh... Yess... Aaahhh..."


Kuremas juga susu Rini dan kubetot putingnya dengan agak kasar, karena genjotan pinggulku pun tak bisa dibilang halus. Tubuhnya terguncang-guncang, basah akibat keringat, dan dia hanya bisa berpegangan padaku, pasrah menerima apa yang kulakukan padanya. Entah berapa lama aku menggenjotnya, berganti beberapa kali tempo dan kecepatan. Yang aku ingat matahari yang bersinar menembus kamar Rini tak setinggi ini saat tadi pertama kali kami masuk kamar.

Tempo pun kunaikkan kembali, karena kulihat Rini sudah cukup kepayahan. Aku sendiri tak ingin terlalu berlama-lama, karena ada yang juga harus kulakukan. Akhirnya tegangan pada otot mekinya pun terasa mencengkeram kontolku.


"Rik... I'm cumming..."


Aku hanya tersenyum saja. Genjotanku semakin kuperkeras dan kontolku pun juga sudah memberi isyarat siap membuang muatannya. Detik demi detik pun terasa amat jelas bergerak bagi kami. Rini menarik kepalaku, kami berciuman dengan panas sesaat sebelum klimaks dan...


"AAAAAHHHHHH!!!!"


Rini melepas ciumanku dengan teriakan yang cukup keras, disertai dengan gelinjang pada pinggul. Pada saat yang sama, kontolku pun berkedut dengan cepat menyemburkan isinya. Kaki Rini mengunci pinggulku sehingga aku harus keluar di dalam rahimnya. Kutahan sebentar hingga getarannya menurun, lalu kucabut kontolku dan...


"SRRRR!!"


Aliran seperti pipis pun memancar deras begitu kontolku lepas. Ya, Rini squirt, untuk pertama kalinya dalam hidupku. Bahkan saat menikah pun belum pernah sekalipun dia squirt saat bercinta denganku. Kupeluk dia dengan hangat saat otot-ototnya mulai melemas dan akhirnya ambruk.


"Thank you, Erik..."


Katanya lirih sebelum kami berdua sama-sama ambruk di kasur yang kini telah basah.






Aku sudah berpakaian rapi setelah persetubuhan pagiku dengan Rini. Dia masih terbaring di ranjangnya, dan aku pun mencium keningnya sebelum pelan-pelan aku mengendap-endap untuk keluar kamar.


"Kamu mau ke mana?"


Aku berhenti di ambang pintu. Rini rupanya sudah bangun saat ini. Dia lalu berdiri sambil mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang.


"Jangan pergi..."

"Aku harus pergi, ada urusan bentar, ntar aku balik lagi."

"Enggak, kamu bohong, kan?"

"Rin..."



Rini kemudian memelukku dari belakang seolah menahan supaya aku tidak keluar dari kamar itu.


"Jangan pergi, please. Aku tahu kamu mau ngapain... Abang kemarin bilang ke aku. Yang kamu lakuin itu berbahaya, Rik."

"Aku harus lakuin ini, Rin... Ini demi..."

"Demi Metta? Setelah semua yang dia lakuin ke kamu?"

"Aku harus bales perbuatan mereka..."

"Buat apa sih, Rik? Can't you just leave them be?? Seberharga itukah Metta sampai kamu bersedia korbanin diri kamu sendiri??"

"I've got nothing to lose, Rin..."

"Nothing to lose? Lalu aku nggak kamu anggep? Aku, yang selalu cinta kamu!"

"Rin..."



Rini lalu memelukku semakin erat.


"Ayo kita pergi dari sini, Erik, ke tempat di mana nggak ada orang yang kenal sama kita, and live together in happiness. Kamu dan aku..."

"I... I can't do that... Aku nggak bisa, Rin..."

"Kenapa? Aku cinta sama kamu, Erik, dan kamu pun cinta juga sama aku, kan?"



Aku terdiam karena tak bisa berkata tidak. Menolak berarti mengingkari perasaanku sendiri, karena memang aku mencintai Rini.


"I just can't..."

"Karena kita pernah menikah di masa lalu?"



Aku tiba-tiba terkejut saat Rini berkata seperti itu.


"Malam itu di Puncak... Aku denger dan inget semuanya, Rik, semua yang kamu omongin. Itu hal paling menyakitkan yang pernah aku denger... Separah itukah aku sampai kamu bersedia kembali ke masa lalu dan memutuskan memilih wanita lain?? Lalu kenapa kamu kembali ke aku, Erik?? Kenapa???"


Aku menangis, sementara Rini memukuli punggungku dengan keras. Aku bahkan tak berani berbalik untuk menghadapinya atau menatap wajahnya. Hingga akhirnya, Rini pun diam dan kembali memelukku dari belakang.


"Let's start all over again, Erik... Kita mulai lagi dari awal, ya? Aku nggak peduli walau kamu udah nikah sama Metta. Aku tetap mau kamu, dan kamu satu-satunya. Kalau aku salah, tolong ingetin aku, tolong arahin aku supaya kesempatan kedua ini aku bisa jadi Rini yang lebih baik, jadi istrimu yang lebih baik..."

"Kamu nggak bisa jadi lebih baik, Rin... For you are already the best. Kamu sudah jadi yang terbaik, di mataku, dan itu sebabnya aku jatuh cinta lagi saat pertama bertemu sama kamu. Itu sebabnya juga aku jatuh cinta lagi saat kedua kalinya bertemu sama kamu. Aku sadar, bahwa aku akan selalu mencintaimu, bagaimanapun keadaannya."

"Lalu kenapa, Erik?? Kenapa kita nggak bisa bersama?? Kenapa kita nggak ulangin saja apa yang pernah kita alami..."

"Karena..."



Aku terhenti. Lidahku terasa kelu dan tenggorokanku tercekat. Aku sama sekali tidak tega untuk mengatakan bahwa aku membunuhnya dalam kehidupanku sebelumnya. Juga bahwa aku yang mengubahnya dari Rini ceria menjadi Rini kelam.


"Aku cuman bakal nyakitin kamu, Rin... Karena itu aku nggak mau ulangi takdir ini. You deserve better than me. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku..."

"Bagaimana aku bisa dapat lebih baik kalau cuma kamu yang terbaik buat aku, Rik??"



Jantungku terasa berhenti saat dia berkata begitu. Kata-kata itu membuatku gemetaran dan hampir tak kuat untuk berpijak. Rini masih terus memelukku dengan kencang seolah tak ingin melepasku sama sekali. Kami berdua mematung beberapa saat.


"Aku iri dengan Rini dari dunia asalmu, Rik..."

"..."

"Karena dia bisa memilikimu, hal yang selalu aku inginkan, tapi nggak bisa aku dapetin. Aku kalah, bahkan dari versiku sendiri di waktu berbeda..."

"Kamu nggak bakal iri, andai kamu tahu bagaimana akhir ceritanya."

"Lalu, kenapa nggak kita ubah saja ceritanya. Apapun itu, kenapa nggak kita ubah saja ceritanya menjadi akhir yang bahagia??"

"Nggak ada kebahagiaan kalau kamu nanti bersamaku, Rin. Aku takut aku akan kembali..."

"Kembali apa?"



Kembali lidahku kelu saat ingin mengucapkan kata-kata itu. Aku diam sejenak sebelum akhirnya berkata...


"Membunuhmu."


Rini pun terdiam, tampak berusaha mencerna apa yang aku katakan.


"Iyaa, Rin... Aku ngebunuh kamu di timeline-ku yang asli. Aku nggak mau sampai harus lakuin itu dua kali."


Rini diam, tangannya terasa gemetaran memelukku, tapi dia semakin mengencangkan pelukannya.


"Karena itu kamu milih sama Metta? Walau apa yang terjadi?"

"Entahlah... Aku juga nggak ngeduga kejadiannya bisa sampai begini. Tapi aku nggak bisa lepas tangan begitu saja dari Metta, Rin."

"Kenapa?"

"Metta itu istriku sekarang... Apa pun yang terjadi, dia melanggar janji atau tidak, aku tetap berkewajiban buat selesaiin masalah ini, apalagi kalau dia kepaksa ngelakuinnya."



Rini masih terdiam. Suasana amat hening di kamar ini sehingga aku pun bisa mendengar suara detik jam dan dengus nafas Rini yang halus.


"Setelah urusan kamu ama Metta selesai... Bisa kamu tolong balik lagi ke aku? At least, izinin aku perbaiki apa yang Rini kamu udah lakuin ke kamu. I don't care if I have to die again and again... Aku mau untuk sekali saja merasakan hidup sama kamu, Erik... Kalau itu terpenuhi, mati pun aku rela, Rik."

"Aku yang nggak rela kamu mati, Rin. Aku terlalu mencintai kamu sampai kalau kamu mati, aku pasti bakal hancur, apalagi kalau ternyata matimu karena tanganku."

"I don't care, Erik... Aku mau kita bersama menantang takdir! Kalaupun memang aku harus mati, izinkan aku mati dalam pangkuanmu, dalam pelukanmu, dalam statusku sebagai istrimu, pendamping hidupmu... Setelah itu, aku nggak bakal minta apa-apa lagi, karena hari-hariku bersamamu, bagiku itu sudah cukup."



Aku kemudian berbalik lalu memeluk Rini, dan kucium bibirnya dalam-dalam, seolah ini adalah ciuman terakhirku untuknya. Rini tampak enggan saat harus melepaskan bibirku, seolah dia ingin bibir itu selamanya ada di dekatnya.


"Aku harus pergi..."

"Setelah itu kamu akan kembali?"

"Iya, aku akan kembali."

"Kamu janji?"

"Aku janji. Setelah semua ini selesai, aku akan kembali."

"Ke aku?"

"Iyaa, Sayang, ke kamu."



Rini kemudian kembali mencium bibirku, dan selama beberapa detik kami kembali saling berpagutan.


"Tapi, aku harus minta tolong sesuatu dulu..."

"Katakan saja, Rik. Demi masa depan kita, semua akan aku lakuin."

"Kamu bisa nyetir, atau punya temen yang bisa nyetir?"

"Ada, aku bisa minta tolong ama si Anin, temenku."

"Dia punya mobil?"

"Ada. Kenapa?"

"Oke, sekarang dengerin aku baik-baik."







Hotel Mewah Kawasan Jakarta Selatan
11.38 WIB



Sebuah taksi merapat ke pintu depan hotel di kawasan Jakarta Selatan ini, dan seorang wanita dengan pakaian modis turun dari taksi itu. Dia mengenakan baju blouse merah marun lengan panjang dengan rok span hitam selutut namun belahannya memanjang hingga ke setengah paha. Aku memandanginya sambil menyesap kopiku dari coffeehouse di hotel ini. Itu adalah Jessica, daeri-ku. Saat melihatku, dia pun melambaikan tangan dan aku membalasnya. Dengan wajah yang sumringah, dia pun berjalan ke arahku, kemudian mencium pipi kiri dan kananku begitu sampai di hadapanku.


"Pak Erik, aku seneng lho Pak Erik telepon minta aku ke sini."

"Aku juga, Jess. Mau ngopi dulu apa enggak, nih?"

"Nggak usah deh, Pak, langsung aja. Aku pengen maen beberapa ronde lagi ama Bapak."



Dia mengerling genit kepadaku. Aku hanya tersenyum agak kecut. Jessica memang cantik dan sexy, tapi entah kenapa aku kurang suka padanya. Bagiku, wanita seperti Metta dan Rini justru lebih membuatku tertarik walau mereka berpakaian sopan, dibandingkan dengan Jessica yang pakainnya lebih sexy dan terbuka. Apalagi karena aku tahu bahwa Jessica pada dasarnya punya hubungan dengan Steven. Pemikiran bahwa "aku" pernah bersetubuh dengan Jessica membuatku bergidik, bahkan pada saat ini ketika aku mengajak Jessica untuk check-in di hotel.

Dia kemudian mengambil kunci dari tanganku, seolah benar-benar ingin segera ngentot denganku. Aku memang tahu bahwa di timeline ini aku memiliki pesona tersendiri bagi para wanita yang pernah bersetubuh denganku, namun Jessica ini jelas menggebu-gebu, seolah tak ingin berlama-lama. Dia bahkan lebih agresif dibandingkan Nindy sekalipun.


"Mari, Pak, masuk dulu, yuk."


Begitu aku masuk, Jessica pun menutup pintu di belakangku. Belum juga aku membuka blazerku atau meletakkan gym bag-ku, Jessica sudah menubrukku hingga mepet ke tembok sambil menciumku. Bukan, lebih tepatnya melumat bibirku. Bau lipstik D*or serta parfum Bl*ck Opium langsung menyeruak menyengakkan memenuhi relung penciumanku dan menggelitik membangunkan nafsu birahiku. Jessica cukup pandai memainkan bibir dan lidahnya pada mulutku dengan teknik yang bahkan tak bisa disamai oleh Metta. Dari sini saja aku bisa menduga bahwa jam terbang Jessica dalam dunia peranjangan sudah amat tinggi.

Setelah ada sekitar 1 menit kami saling berpagutan, Jessica pun melepaskan ciumannya kemudian tersenyum padaku.


"Hihihi, maaf ya, Pak, habisnya saya udah nggak tahan."


Aku mengerang tertahan karena pada saat yang sama jari lentik Jessica mengelus serta meremas pelan kontolku yang masih ada di dalam celana.


"Udah siap nih kayaknya kontolnya Bapak, hihihi. Keras, saya suka banget."


Tanpa menunggu jawaban dariku, Jessica segera membantuku melepas blazerku, yang dia taruh dengan rapi pada meja vanity. Satu hal yang kuperhatikan pada Jessica adalah dalam kondisi senafsu apa pun, dia masih meluangkan waktu melipat blazer serta semua pakaian luar yang kubuka, lalu diletakkan dengan rapi pada meja sehingga tidak akan berkerut dan masih akan rapi saat kupakai nanti. Level ketelitian ini bahkan melebihi Rini atau Metta sekalipun.

Saat aku menoleh, rupanya dia tengah menelanjangi dirinya sendiri, Baru kali ini aku melihat Jessica dalam keadaan telanjang itu dan memang benar-benar luar biasa. Dia jauh lebih seksi daripada semua wanita yang pernah kukenal, termasuk Metta sekalipun. Setelah telanjang, dengan tersenyum dia naik kembali ke ranjang. Aku kemudian meletakkan tasku di atas meja nakas pada samping ranjang, sementara Jessica melihatnya dengan penuh rasa ingin tahu. Kuambil sebuah blindfold dan kulemparkan kepadanya. Dia mengerling padaku.


"Ini harus dipakai, Pak?"

"Iyaa, pakailah."

"Nggak pake ball-gag, Pak?"

"Nggak usah, I need your mouth open for this."

"Hihihi, siap, Pak. Jessica pasrah aja ama Bapak, yang penting enak."



Jessica kemudian berbaring di ranjang sambil memakai blindfold yang aku berikan kepadanya. Dia tersenyum, tampaknya dia sudah bisa menduga apa yang akan aku lakukan padanya, dan mungkin dia menyukai hal itu.


"CKLIK!!"


"Lho, Pak? Koq saya diborgol, sih?"

"Iya, biar kamu nggak ke mana-mana."

"Ih, Bapak ternyata fantasinya nakal juga ya. Tapi gak apa-apa, Pak, saya suka koq, hihihi."



Kedua tangan Jessica kini kupancangkan terentang di atas kepalanya pada sebuah batang baja dengan borgol berlapis bulu halus supaya tak menyakiti tangannya. Sengaja kuletakkan bantal di antara kepala Jessica dan batang baja itu supaya dia tidak membenturnya. Setelah itu, dengan batang baja yang lain, aku membuat kakinya terentang, kembali kuikat dengan borgol halus, sehingga posisi akhir Jessica mirip seperti salah satu posisi pada Vitruvius Man.


"Bapak kapan nyiapin ini, Pak? Koq saya nggak tahu?"

"Tadi sebelum ke sini aku beli barang-barang ini dulu pake COD."

"Wah, jadi saya yang pertama nyobain, ya? Bener-bener nakal Bapak ya, malah istrinya sendiri bukan yang pertama dicobain."

"Ini aku beli emang buat kamu koq, bukan buat Metta."

"Hah? Apa iya, PaaaAAAHHKK..."



Jessica berteriak terkejut karena aku memasukkan sejenis butt plug pada anusnya meski dia berposisi telentang.


"Sakit?"

"Enggak sih, Pak, kaget aja. Kalau mau nusukin butt plug kasih tahu lah, Pak, jadi saya nggak kaget apa ini dingin-dingin koq nancep ke anus."

"Maaf ya. Siap-siap kalau gitu"

"Siap-siap kenapaAAAAAHHH!!"



Jessica kembali membuang nafas dengan terengah-engah memburu karena aku baru saja memasukkan sebuah vibrator logam pada mekinya. Dia kembali melenguh saat kutekan tombol pada remote-nya untuk uji coba.


"Vibrator, ya, Pak?"

"Mm-hmm."

"Bapak niat banget ya, ampe beliin ini semua."

"Belum semuanya ini, Jess."

"Oh ya, masih ada lagi, Pak?"



Aku diam saja membuat Jessica penasaran mengenai apa yang akan kulakukan padanya. Dengan blindfold masih terpasang erat, dia tak bisa melihat bahwa aku sedang memegang sebuah alat suntik ukuran kecil di tanganku. Ya, alat suntik ini kubeli bersama dengan set peralatan BDSM ini tadi, dan ini adalah yang paling mahal dari semuanya, karena efek dari obat pada suntikan ini adalah memberikan gairah birahi yang membara kepada siapapun yang mendapatkannya. Saking hebatnya badai birahi yang diterima sehingga memberikan efek trance dan teler mirip seperti orang yang sedang mabuk berat.


"Aduuuhhh! Koq nusuk ini apaan, Pak???"


Kucium pipi Jessica yang tampaknya agak panik setelah sebagian dari obat itu kusuntikkan pada dadanya yang bulat dan ranum itu. Kemudian aku juga menusukkan obat perangsang itu pada bagian labianya.


"Iiih, Bapak nyuntik aku, ya?? Itu apaan, Pak?? Obat, ya?"

"Ini obat perangsang, aku dapet dari temenku tadi, bonus dari beli set BDSM, tujuannya biar kamu bisa tambah hot kalau pas sange."

"Waah, Bapak bener-bener kinky nih ternyata... But I love it, Pak... Efeknya ntar berapa lama ya?"

"Katanya sih cuman sebentar."



Aku lalu duduk di hadapan Jessica yang kini terikat sempurna dengan blindfold dan sudah tersuntik obat perangsang itu. Tampaknya dia menungguku untuk melakukan gerakan pertama, namun aku tetap diam dan memperhatikan. Remote vibrator kupegang dengan jari siap menekan tombolnya, namun sama sekali tak kutekan. Pelan-pelan kuperhatikan, raut muka Jessica makin berubah. Wajahnya kini memerah dan keringat pun bermunculan pada badannya. Dia mulai menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, tanda bahwa obat perangsang tadi mulai bereaksi.


"Paaaakkk... Ayoo, Paaakkk... Aku udah nggak tahaaaann... Setubuhi Jessica, Pak... Stuff your big dick to me... Pleaseeeee..."


Namun aku tetap diam. Kunyalakan vibratornya, namun pada tingkat paling rendah saja. Getaran pada tingkat ini cukup untuk menaikkan birahinya namun tidak cukup untuk menimbulkan orgasme, sehingga baginya akan terasa seperti perasaan kentang yang menyebalkan.


"PAAAKKK!!! AYOOO!!! PLEAASEEEE!!! JESSICA GATEL BANGEEET PAAAKKKK!!! TOLONG GARUKIIIIINNNN!! PAAAAAAAKKKKKK!!!"


Jessica pun semakin panik, namun aku tetap tak bergerak. Wajah Jessica pun merah hitam, dia berusaha untuk bergerak namun tidak bisa karena tangan dan kakinya sudah aku borgol pada batang besi panjang, yang juga mencegahnya untuk berguling. Dia hanya bisa menggeliat-geliat dan ototnya pun menegang di berbagai tempat, sementara mekinya sudah menjadi amat merah dan putingnya terlihat mengeras.


"AAAAHHHHHHH!!!!! YEEESSSSHHHH!!!"


Dia melenguh keenakan saat aku menyalakan vibratornya dalam tingkat maksimum.


"Iyaaahhh... Yesss... Aaaahhh... Closer... Closer..."


Vibrator kumatikan dan dia langsung berteriak frustrasi. Dia berusaha menggoyang-goyangkan pinggulnya dalam usaha sia-sia untuk mendapatkan rangsangan lagi.


"Pak Eriiikk... Nyalain lagi dong, pleaseee..."

"Nggak mau..."

"Aaahhh... Pak Erik maaahh... Pleaseeeeeeeee... Jessica janji bakal lakuin apa aja, Paaaak..."

"Bener kamu mau lakuin apa aja?"

"Iyaaa... Janjiiiii..."

"Oke, kalau gitu tolong jawab pertanyaan aku. Apa alesan sebenernya Rini keluar?"

"Kan saya udah bilang, Pak... Rini keluar karena Bapak terminate kontraknya..."

"Jangan bohong."



Vibrator kembali kunyalakan dalam mode kecil. Jessica kembali berteriak-teriak kesetanan karena ini hanya akan membuatnya tambah horny tanpa penyelesaian.


"Ampuun, Pak... Ampuunn... Jangan digituin lagi, Pak... Hhhhh..."

"Oke, jawab sejujurnya, kenapa Rini keluar?"

"Karena... hhh... Karena dia berbahaya... Rini yang nyari-nyari dokumen-dokumen penting di KSI yang bisa dipakai buat jatuhin Pak Steven... Hhh... Makanya dia berbahaya."

"Jadi bener kamu itu orangnya Steven?"

"Iyaa..."

"Kenapa kamu ditempatkan jadi daeri-ku?"

"Buat ngawasin Pak Erik, supaya Pak Erik nggak macem-macem lagi..."

"Lagi?"

"Aksi Pak Erik tahun 2014 itu bikin semuanya kacau, banyak penyelidikan yang dilakukan, apalagi yang tahun 2018."

"Apa yang aku lakuin tahun 2018?"

"Pak Erik berusaha gagalin nominasi Pak Steven buat masuk ke board. Pak Erik beruntung, Pak Steven gak mau perpanjang masalah ini dan kalian berdamai, tapi Pak Steven nggak mau Pak Erik ngulangin itu lagi... Makanya Rini harus keluar."

"Kenapa bisa gagal?"

"Dokumen yang Pak Erik pegang bocor ke Pak Steven... Makanya Pak Steven tahu kalau Pak Erik coba sabotase dia."

"Bocor kenapa?"

"Saya nggak tahu..."



Jessica kembali berteriak kencang saat aku menaikkan getaran vibratornya, kemudian menghentikannya tiba-tiba.


"Pak, pleaseee... Don't do that... It hurts..."

"Jawab yang jujur kalau gitu!"

"Bener, Pak, saya nggak tahu gimana bisa bocor... Saya cuman suruhannya Pak Steven aja, dan Pak Steven nggak pernah ngasih tahu apa langkah-langkahnya. Tugas saya cuman buat ngawasin CEO Park ama Pak Erik lalu ngelapor ke dia... That's it, saya jujur, Pak! I don't know about the rest... Itu urusan Pak Steven ama... Ama..."

"Ama siapa?"

"Ama konsultannya..."

"Konsultan? Steven punya konsultan?"

"Ada... Tapi saya nggak tahu siapa nama dia. Dia nggak pernah ke kantor, dan selalu Pak Steven yang ke tempatnya dia. Paling tugas saya cuman disuruh kirimin data-data ke dia, itu pun saya nggak boleh kontak langsung, cuman boleh pake e-mail."

"Kalau kamu pakai e-mail, berarti record-nya masih kesimpan di e-mail kamu, kan? Apa password-nya?"

"Pak, please... Jangan tanyain itu, Pak, please... Kalau Pak Steven tahu saya bisa dibunuh, Pak... Saya ngikut ama dia soalnya dijanjiin uang lebih ama bisa maen ama cowok-cowok di KSI sesuka saya. Please, Pak..."

"Kamu nggak bakal apa-apa. Sekarang kamu kasih aku password-nya."

"I-Iyaa, Pak... Please... Please... Jangan dimainin lagi, saya udah nggak tahaaan..."

"Username ama password?"

"Jess_Aurellia87... Password-nya... BL4ck0p1uM..."



Aku segera memasukkan username dan password pada tablet yang kubawa, yang memang masih tersambung ke mainframe KSI. Ternyata benar apa kata Jessica, semua catatan dan data-data yang dikirimkan masih rapi ada di sini. Sepertinya Jessica memang tidak pernah membersihkan inbox atau kotak keluarnya. Mungkin karena dia adalah orang yang amat rapi, sehingga tak mau ada data yang hilang kalau-kalau diperlukan. Buru-buru aku mengunduh semua data itu ke dalam laptopku yang aman, kemudian mengirimkan kopiannya ke Reyhan dan Rini. Mereka sudah tahu harus diapakan data-data itu.


"Please, Pak... Tolong jangan kasih tahu Pak Steven... Saya bisa dibunuh, Pak, kalau Pak Steven sampai tahu saya ngasih tahu Pak Erik..."


Aku tak menjawab, hanya membesarkan vibrator itu hingga Jessica terangsang maksimal, kubiarkan hingga akhirnya dia bisa melepaskan siksaan birahinya dengan squirt amat kencang dan besar, melebihi squirt semua wanita yang kutahu. Kemudian setelah dia melepaskan orgasmenya itu, dia langsung lemas. Saat itulah kusuntikkan suntikan kedua, yang langsung membuat Jessica tak sadarkan diri. Kalau yang pertama tadi adalah obat perangsang, maka ini adalah obat tidur, yang akan membuatnya tertidur selama 6-8 jam, cukup waktu bagiku untuk melaksanakan rencanaku selanjutnya. Kemudian aku pun berpakaian dan keluar dari kamar, setelah memberi tanda "Do Not Disturb" di pintu. Tak lupa kuberikan pesan pada resepsionis bahwa aku meminta diantarkan makan malam tepat jam 10 malam. Siapa pun yang mengantarnya akan menemukan Jessica dan kuharap akan langsung menyelamatkannya.

Ya, aku memang tidak setega itu pada Jessica. Dia memang benar bisa bekerja, dan menurut pengakuan beberapa orang, bekerjanya Jessica di unitku bisa mengurangi load pekerjaan yang menumpuk akibat hilangnya Rini. Aku hanya berharap semoga setelah ini Jessica tak lagi berada di lingkaran orang yang salah lagi.






Rumahku
17.00 WIB



Aku kembali memasuki rumahku yang kutinggalkan sejak semalam. Keadaannya tidak berantakan, namun juga tak bisa dibilang rapi, dan kulihat Metta masih di sana, di ruang tengah, meringkuk di ruang tengah. Dia tampak sumringah saat melihatku kemudian langsung berlari menghampiriku, namun aku memberi isyarat agar dia tak mendekat. Metta tunduk dan menurut, dia hanya berdiri saat aku berjalan dan duduk di bangku meja makan.

Tas dan semua barangku kuletakkan dengan kasar saja ke meja. Metta masih berdiri dengan ketakutan, mendekat tapi tak berani terlalu dekat denganku. Aku mendengus saat meliriknya kemudian membuang pandanganku. Entah kenapa aku agak tak sudi melihatnya, seolah dia ini najis yang tak layak kulihat.


"Kamu semalam ke mana?" tanya Metta dengan terbata-bata.

"Ke rumah Rini."

"Kamu nginep di sana?"

"Iya."

"Baguslah, paling enggak aku tahu kalau kamu aman."



Kami terdiam. Suasana canggung terasa amat menyeruak di sini, dan aku masih memasang muka dingin.


"Rik... Maafin a..."


Metta terdiam seketika saat aku memberi isyarat agar dia tak bicara. Dia masih memakai celana panjang gombrong dan kaus longgar seperti yang biasa dia pakai.


"Ngapain kamu masih pakai baju kayak gitu? Toh aku juga udah tahu."

"Rik, aku..."

"Buka."

"Rik..."

"Buka, aku mau lihat!"



Dengan gemetaran, Metta pun memelorotkan celananya hingga ke lutut lalu mengangkat kausnya, memperlihatkan tato ular terkutuk itu yang masih tertutup sisi celana dalam.


"Sakit pas bikin itu?"


Metta tak menjawab, hanya mengangguk sambil sesenggukan menahan tangis.


"Lalu kenapa kamu bikin?"

"Rik, jangan..."

"KENAPA!!"



Aku berteriak sambil menghantam meja amat keras hingga Metta pun bergidik, dan tangisnya pun akhirnya meledak.


"Maafin aku, Rik... Ampunin aku..."

"KENAPAA!!!"



Metta kembali bergidik. Namun dia tak menjawab, hanya menggeleng sambil menangis saja.


"KALAU AKU TANYA ITU JAWAB!!!"


Metta menggeleng saja seolah tak mau menjawabnya.


"Kamu masih anggep aku suamimu apa bukan!!??"

"Enggak gitu, Rik... Aku nggak bisa..."

"JAWAB!!!"



Namun Metta tetap bungkam, hanya menangis saja dengan badannya gemetaran. Aku mendengus dan memukul meja beberapa kali hingga beberapa piring yang ada di sana terlempar hingga pecah ke lantai. Metta semakin meraung dalam tangisan mendengar bunyi pecahan kaca itu.

Hapeku pun berbunyi, ada pesan masuk. Aku tahu siapa yang mengirimnya, karena memang aku yang menyuruhnya menghubungiku pada waktu ini.


"Kamu dari tadi di rumah?" tanyaku.

"Iya, Rik..."

"Nggak pergi ke mana-mana? Nggak nelepon siapa-siapa? Nggak terima pesan dari siapa-siapa??"

"Enggak, Rik, aku cuman nungguin kamu doang."

"Beneran? Jawab yang jujur!!"

"Iyaa, bener, Rik... Aku dari tadi nggak ngapa-ngapain, nggak kirim pesan, terima telepon, nggak ngapa-ngapain... Aku cuman nungguin kamu, nungguin kamu telepon atau WA..."

"Ya sudah, kemasin barang-barang kamu, bawa yang bisa kamu bawa pakai satu tas aja. Inget, satu tas aja."

"Erik..."

"Cepetaan!!"



Dengan ketakutan, Metta buru-buru berlari ke kamar, tak berapa lama dia kemudian dia sudah turun kembali membawa sebuah boston bag penuh dengan baju dan semua peralatan lainnya yang bisa dia bawa.


"Sudah semua? Baju? Pakaian dalam? Make up?"

"Udah, tapi..."



Aku memberi isyarat supaya Metta memberikan boston bag-nya. Dengan cepat aku pun memeriksa isinya, dan mengeluarkan laptop, tablet, iPod, serta hape yang ada di dalamnya. Bukan hanya kukeluarkan, bahkan kuhancurkan tepat di depannya hingga Metta berteriak dan bergidik ketakutan. Setelah itu, kututup boston bag dan kuberikan kepadanya kembali.


"Erik..."

"Bakal ada mobil yang ngejemput kamu sekarang. Kamu kudu ikut mobil itu sampai aku hubungin lagi."

"Erik... Kamu ngusir aku?"

"Iya, buat saat ini..."

"Erik..."



Bel pintu pun berbunyi, dan tak berapa lama, Rini pun masuk ke dalam. Dia tampak tertegun melihat Metta di sana sambil menangis dan membawa boston bag.


"Rin, mobilnya udah ada?"

"Udah, Rik, lagi nunggu di luar sama temen aku Anin. Tapi..."

"Oke, sekarang juga kamu bawa Metta pergi, ke tempat yang udah aku kasih tahu."

"Rik..."
kata Rini.

"Bebeb..." kata Metta.

"Pergi ke mobil sekarang!!"


Dengan tanggap, Rini pun menggandeng Metta dengan lembut lalu membawanya ke luar. Aku mengikuti mereka hingga ke ambang pintu. Sebuah mobil M*rcedes Benz C-class, entah type berapa, berwarna perak, tengah menunggu di luar pagar dengan mesin menyala. Ada seorang wanita di bangku sopir, namun aku tak bisa melihat siapa dia. Pasti itu teman Rini yang bernama Anin, walau siluetnya agak familier bagiku. Rini membawa Metta ke mobil, membukakan pintu dan membantunya naik ke dalam. Namun setelah itu, Rini tak langsung naik dan malah mendatangiku ke ambang pintu.


"Rik, what are you doing, actually? Aku kira kamu yang bakal pergi ama kami?"

"This is something that I have to do."



Aku membuka tasku dan memberikan sebuah amplop berisi uang dan kartu kredit serta debit kepada Rini.


"Ini buat apa?"

"Buat keperluan kalian. Metta tahu kodenya. Kalau perlu ajak juga si Anin."

"Kamu nggak bakal ikut?"

"Aku nyusul kalau semua udah selesai."

"Rik! Aku tahu kamu mau ngapain, jangan, Rik!"

"I have to do this!"

"For her? What about me?? Rik, please, kita pergi sekarang ya, Sayang, please..."



Rini kemudian memelukku dengan erat seolah tak ingin melepasnya. Aku pun kemudian balas memeluknya, meski tahu bahwa Metta pasti bisa melihat ini dari mobil, namun aku dan Rini seolah tak peduli.


"Please, Rik..."

"No, I have to do this, I have to make things right."

"Rik..."

"Rin, kalau kamu nggak segera pergi, kita semua dalam bahaya."

"Tapi..."

"PERGI!!!!"



Aku menghardik dengan begitu keras hingga Rini pun mundur. Dia menangis, bukan karena ketakutan, namun karena menghadapi sebuah perpisahan yang tak terelakkan. Tiba-tiba dia langsung maju dan kami pun berciuman dengan amat intens, seolah ini merupakan ciuman sebelum akhir dunia. Kemudian dia kembali memelukku dengan erat. Inilah pertama kalinya kami melakukan ini dengan Metta bisa melihat kami, seolah kami memang sudah tak lagi peduli apa pendapatnya, karena bagiku saat ini hanya Rini yang kupedulikan.


"Erik, please be safe, and please come back, for me..."

"Iya..."

"Promise me!"

"I promise."



Rini lalu mencium kedua pipiku kemudian dengan air mata yang tak bisa dia tahan lagi, dia pun segera berlari dan masuk ke dalam mobil. Begitu Rini masuk, mobil itu segera pergi dan menghilang dari pandanganku, meninggalkanku sendiri untuk menghadapi apa yang selanjutnya harus kulakukan.

Aku masuk ke dalam rumah, duduk di meja makan, lalu membuka sebuah brankas yang aku sembunyikan di dapur. Brankas ini amat tersembunyi hingga bahkan Metta pun tak mengetahui keberadaannya. Di dalamnya, ada beberapa catatan, dokumen, emas batangan, dan sebuah kotak kevlar berwarna hitam. Kotak ini kubeli secara rahasia beberapa tahun lalu awalnya hanya untuk berjaga-jaga, namun kini tak kusangka akan kupakai juga. Dari dalamnya, aku mengeluarkan sebilah pisau yang memiliki desain amat khusus. Kuletakkan pisau itu di meja, sambil mengambil sekaleng soft drink untuk minum. Ya, aku sedang akan menunggu seseorang.

Saat itulah aku membuka hape S*msung C3590 yang kuambil dari buku merahku di kantor, yang kini sudah berada di tangan Rini. Dari kemarin semenjak kuambil, aku belum pernah membuka-bukanya untuk memeriksanya, jadi sambil menunggu orang yang akan datang, sebaiknya kulihat-lihat dulu saja, meski aku tak mengharapkan akan menemukan sesuatu.

Begitu kubuka halaman utamanya, aku agak tertegun karena ada sebuah folder tambahan yang tampak amat mencolok di sana, yang aku ingat belum ada terakhir aku membukanya sebelum aku dibawa melompat ke timeline ini. Pada folder itu ada 2 buah file video dengan nama yang amat aneh: "Buka Ini Dulu" dan "Setelah Itu Buka Ini". Apakah "aku" tengah mencoba meninggalkan pesan pada diriku sendiri? Segera saja kubuka video pertama, dan seperti kuduga, wajahku tampak di sini, berbicara di hadapan kamera. Aku pun memutarnya dengan bantuan headset bawaan.


"Erik, bila kamu menemukan pesan video ini, artinya kamu sudah kembali. Beberapa hari ini aku sering mimpi buruk yang mana kusimpulkan bahwa kamu akan segera kembali. Bila kamu kembali dan menemukan situasi dunia ini amat berbeda dari yang pertama kali kamu tinggalkan, ya, benar sekali, memang segalanya berbeda. Namun aku hanya berdoa supaya sebelum kamu mengambil tindakan lebih jauh menyikapi semua yang terjadi, kamu sudah melihat video ini. Baik, aku mulai saja.

Pertama-tama, aku akan bilang bahwa usaha kita sudah gagal. Kita gagal mencegah Steven untuk menduduki posisi tertinggi di KSI Company. Kita juga sudah gagal dalam mencegah Steven menyentuh Metta. Ya, benar, entah kamu sudah tahu atau belum, tapi Erik, aku sudah tahu mengenai tato ular pada paha Metta. Kalau kamu sudah menemukannya, saranku adalah please, don't do anything, apalagi marah ke Metta. She didn't do this voluntarily. Dia tidak dengan sukarela melakukannya, Erik."



Aku terkejut sekali mendengarnya. Rupanya "aku" sudah tahu mengenai tato pada Metta dan tidak berbuat apa-apa, tapi kenapa? Apa alasannya?


"Alasannya adalah, dia dipaksa buat bikin tato itu, sebagai tanda bahwa dia adalah budak Steven. Kuberi tahu, kamu benar, Steven nggak pernah tertarik untuk mencintai Metta, dia hanya ingin memilikinya karena nilai penting yang dimiliki Metta, tadinya sebagai cewek tercantik di KSI Company setelah Jessica, kemudian sebagai istri kita, yang merupakan musuh besarnya. Aku sendiri nggak tahu bagaimana detailnya, tapi aku menduga Metta harus menyembunyikannya karena ada nyawa terancam bila kita tahu, entah nyawanya atau nyawa kita. Aku juga tahu atas suruhannya, Metta yang masang worm di semua komputer dan handphone kita, kecuali hape yang ini. So, please, jangan apa-apakan Metta, apalagi menyalahkannya atau memarahinya atau mengusirnya, karena dia melakukan itu supaya kita tidak dibunuh oleh Steven. She's been in constant pressure all the time, she's depressed enough to hide that from you, karena dia tahu nyawa kita bisa terancam bahaya bila kita secara terang-terangan tahu soal tato Metta itu."


Shit! Apa yang sudah kulakukan?? Kenapa aku langsung marah begitu saja pada Metta?? Bodoh sekali aku! Kenapa aku tak memperhitungkan faktor bahwa Metta diintimidasi dengan ancaman atas nyawanya atau nyawaku?? Kenapa aku menyalahkannya, padahal aku tahu bahwa Metta tak akan mau membuat tato memalukan macam itu dalam kondisi normal? Astaga... Apa yang sudah kulakukan!??


"Lalu mengenai KSI, dokumen yang kita pakai bocor ke Steven. Aku belum tahu bagaimana prosesnya, namun aku menduga ada yang mengkhianati kita. Dugaanku adalah Direktur Kim. Kenapa? Karena aku memperlihatkan dokumen itu pada Direktur Kim, mengira bahwa aku bisa mempercayainya. Aku memintanya untuk menggunakannya demi mencegah Steven dan CEO Park untuk mencapai tujuannya, tapi rupanya aku salah. Direktur Kim bilang kalau Steven pernah dekat dengannya, bukan? Kita rupanya salah berasumsi bahwa kedekatan itu sudah berakhir. Aku belum punya bukti konkrit mengenai Direktur Kim, namun bila itu benar ulahnya, maka semuanya amat cocok. Karena itu setelah gagal mencoba menghentikan Steven. aku mencoba mendekati CEO Park, dan ternyata tujuan CEO Park ke Indonesia berbeda jauh dari apa yang dikatakan oleh Direktur Kim. Setelah ini kamu buka video kedua, isinya adalah penjelasan CEO Park atas semua hal yang terjadi di KSI Company, sekaligus juga rencana yang aku dan CEO Park susun untuk mengatasi masalah ini. This is like a chess, Rik, dan pada tahap ini, jangan mengambil keputusan gegabah, apalagi melepaskan virus Medusa yang akan menghancurkan semua orang, bukan hanya Steven tapi juga kamu, Metta, CEO Park, dan semuanya. Semua dokumen ada pada brankas, dan pada saatnya nanti, tolong gunakan untuk menyelesaikan ini untuk selama-lamanya. So, please, do two things for me: jangan apa-apakan Metta, dan biarkan rencana yang kita susun bersama CEO Park sampai pada kesimpulannya, karena setelah itu, Steven akan hancur sendiri, dan kamu akan bisa membebaskan Metta tanpa ada yang disakiti. Please, Erik."


Aku kemudian menonton video kedua, dan saat itulah aku sadar bahwa benar seperti yang "aku" katakan, ini adalah langkah jangka panjang untuk menghancurkan Steven. CEO Park ternyata sengaja menyerahkan diri kepada polisi untuk diselidiki. Dia sudah bisa memprediksikan bahwa pemeriksaan atas dirinya akan mengguncang hingga ke markas KSI Group di Ulsan, dan cepat atau lambat akan membuat Ulsan untuk turun tangan langsung. Bila Ulsan sudah turun tangan, maka tinggal hitungan waktu saja semua dokumen yang tersembunyi akan turut dipaksa untuk dibuka, yang akan menyeret Steven. Setelah Steven hancur, maka aku akan bisa membebaskan Metta tanpa harus menghancurkan semuanya, dan itulah yang kini kulakukan: menghancurkan semuanya. Dasar bodoh kamu, Erik! Bahkan Om Darwin saja sudah memperingatkanmu agar selalu bermain taktis dan tidak terburu nafsu atau emosi, karena itu bisa menghancurkan semua strategi yang kurancang dari awal.


"TING TONG!!"


Suara bel pintu mengejutkanku. Aku pun memasukkan hape ke kantung, lalu mengambil pisau itu dan menyembunyikannya di balik punggungku sambil berjalan ke arah pintu. Sepertinya inilah orang yang sudah kutunggu-tunggu. Apa pun itu, semua akan berakhir di sini, walau untuk itu aku telah memilih melakukannya dengan cara yang memakan banyak korban.

Aku berjalan makin mendekati pintu, dan saat sudah dekat, tiba-tiba pintu itu menjeblak terbuka, dan aku merasakan ada semacam sengatan pada badanku.


"BZZZZZ!!!!"


Suara mirip dengungan lebah itu terdengar amat keras dan tahu-tahu seluruh tubuhku kaku seolah semua otot pada tubuhku kram secara sekaligus, menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, hingga aku terjatuh sambil kejang-kejang, dan pisauku pun terjatuh di lantai. Aku terus meregang kesakitan, berkelojotan di lantai tanpa bisa mengendalikan otot pada tubuhku, yang tengah disengat listrik ribuan volt dari sebuah pistol taser. Suara tawa gila terdengar membahana oleh si pemegang pistol taser itu. Dia tampaknya jingkrak-jingkrak kesenangan melihatku kelojotan, kesakitan, dan lumpuh akibat taser.


"Akhirnya, aku bisa balas dendam pada kau, Erik, hahahahahahahaha!!"


Sebuah suara yang amat kukenal, dan sejujurnya, tak ingin kudengar kembali. Siluetnya kini berdiri di dekatku dan menendang kakiku dengan keras hingga aku berteriak kesakitan. Namun dia kembali tertawa seperti orang gila, seolah puas berhasil menyiksaku. Ya, dia memang sedendam itu padaku...


"Kamu inget aku, kan, Erik? Hah? Ini aku, yang dulu kamu bikin dipecat dari ASV! Aku! Surya Lesmana! Hahahahaha!!"


Next >>> Betrayal
 
Terakhir diubah:
Bimabet
pusing bacanya, alurnya cepet bangettt

anyway makasih atas updatenya, dikabulin doong posting sebelum lebaran
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd