1
Preambule
~~~oo0oo~~~
"Guoblok! Utekmu ning ndi?"
("Bodoh! Otakmu dimana?")
"Nyuwun sewu Pakdhe, Budhe kulo saestu sampun atos-atos anggonipun ngangkat tigan teng peti puniko, ananging nggih niku wau, petine sing mboten kiat ngantos ambrol, sebabipun tigane pecah sedanten"
("Mohon ma'af Pakde, Bude saya sungguh sudah berhati-hati ketika mengangkat telur di peti itu, akan tetapi ya itu tadi, petinya yang nggak kuat sehingga telurnya pecah semua")
"Alaaah alesan dasar anak haram, apa-apa ndak pecus!"
"Iya Bune, rugi kita melihara anak 'jadah' (haram) satu ini, tahu gitu waktu dipasrahin sama Mboknya yang malah minggat entah kemana?! Dulu Kita pites aja nih pas bayi biar modar gak nyusahin"
"Ma'af Bude, Pakde, sekali lagi ma'af.. hiks" derai tangis perlahan menampakkan diri, melukiskan perasaan tersakiti, teraniaya dan terhina.
"Mo'af-me'ef?! ijoli kuwi ndogke, nek ora kowe rak bakal tak pakani sesasi. Ra usah nangis! Opo njur gumun nek mok pameri tangesmu haa?!"
("Ma'af-ma'af?! Ganti rugi tuh telurnya, klo nggak, gak bakalan Saya kasih makan sebulan Kamu. Gak usah nangis! Apa lantas terharu ketika Kamu tunjukkan tangismu haa?!")
Pagi hari ketika mentari baru saja menggeliat dari tidur cantiknya, menyebar kehangatan lewat senyum indahnya, seorang anak manusia justru tersengat panasnya lidah penuh amarah yang berapi-api, meluapkan cacian dan hina'an yang mengoyak hati.
Yono begitu nama sapaannya, seorang anak yang tidak memiliki kejelasan dalam keluarga, Dia terlahir tidak dalam balutan pernikahan. Insan yang seharusnya menjadi orang tua sejati baginya, tiada bersanding mengurusnya, hubungan gelap membuat mereka lari dari tanggung jawab.
Plaaak plaaaak
Seakan belum puas meluapkan kekesalan dalam makian, berlanjut tamparan.
Ketika pipi seorang bocah yang seharusnya di-elus dan di-sun manja penuh kasih sayang, justru sapuan kencang telapak tangan berbalut amarah yang menyambut.
"Guobloook! Ngeyelan"
"Iya Bune, siph itu anak emang kudu sering-sering di gampar biar dungunya ilang" Tiada dibela saat dirinya teraniaya baik oleh sang Budhe maupun Pakdhenya, mereka malah serasa saling dukung ketika salah satunya main 'Pentung' (Pukul) terhadap anak yang kurang beruntung itu.
"Hiks hiks"
"Rak sah nangis"
Plaaak
"Huaaaa, am.. puun Budhe ampun"
"Ampun ndasmu iku?! Ngertio ngu dungu, endok sak peti iso gawe nguntali kowe rong sasi blok gobloook!"
("Ampun kepalamu itu?! asal Kamu tahu ngu dungu, telur satu peti bisa buat ngasih makan (versi kasar) Kamu dua bulan lol tolol!")
Tamparan dan umpatan serasa menjadi sarapan sehari-hari bagi Yono, baik saat kerjaan beres apalagi tidak beres selalu dan selaluuuu salah di mata mereka.
"Duh Gusti, kok cobaan ini beraaat banget buat hamba Gusti?" Tangis, keluh kesah hanya mampu dicurahkan dalam bait-bait do'a.
Kepada siapa lagi untuk bisa berbagi? Dimana tempat yang tepat untuk bercurah? Satu hal dalam benaknya bahwa hidup ini begitu keras dan betapa tidak adilnya.
Seorang anak berusia 10 tahun, yang baru saja menginjak bangku kelas 5 sekolah dasar yang seyogyanya dalam keseharian diisi bermain dan belajar, canda tawa, tangis, nakal dan kurang ajar namun tahap wajar. Justru harus menelan pil pahit yang telah tertorehkan dalam suratan takdir bahwa Ia harus! Menderita.
Pagi sarapan caci maki, siang mengunyah sumpah serapah, sore menelan hina'an dan siksaan, malam berselimut umpatan mencekam, tiada hari dan waktu tanpa siksa. Adil kah hidup? Keadilan? Apa itu keadilan? Seperti apakah wujud keadilan? Dan jalan mana yang harus ditempuh untuk menggapai keadilan.
~~~oo0oo~~~
Siang hari ketika Aku pulang sekolah dan baru saja menginjakkan kaki lelah ini di rumah gedhong (mewah), gede maglong-maglong, hunian Budheku Sumini dan Pakdheku Bakir tempat dimana diri sebatang kara ini menumpang untuk melanjutkan hidup yang mau tak mau harus terus dijalani.
"Assalamu'alaikum
."
Bruaaaaak
!
Suara ember dibanting dihadapanku.
"Balek sekolah langsung balek, ojo ngeluyur wae! celeng Kowe yaa?"
("Pulang sekolah langsung pulang, jangan kelayapan terus! Babi hutan Kamu yaa?") . Sapaan salam dari bibir mungilku bersambut umpatan pedas. Ingin rasanya teriak menangis atas umpatan dan perlakuan yang selalu dan selalu sadis ini, namun ketika menangis tak ada belas kasihan justru makin tajam hinaan yang mengiris.
"Iki lho matane celekke! kumbahan akeh malah sakpenakke dewe, rumangsamu iki omahe tengkleke** mbahmu po?"
("Ini lho matanya dibuka lebar! cucian banyak malah seenaknya sendiri, Kamu pikir ini rumahnya mbahmu apa?")
"Inggih Budhe sekedap kulo badhe gantos pakean kalian maem rumiyin, Kulo ngelih dereng maem siang** "
("Iya Bude sebentar Saya mau ganti pakaian dan makan dulu, Saya lapar belum makan siang.")
"Uophooooo? Mangaaaaaan? Nguntal korengmu bosok! Gawean durung ditandangi kok arep mbadog wuu wuuu"
("Apaaaaa? Makaaaaaan? Makan koreng busukmu itu! Kerjaan belum dilaksanakan kok mau makan wuu wuu") Timpal bude Sumini sembari menonyo jidatku berulang-ulang.
Akupun memutuskan segera masuk kamarku bergegas mengganti seragam sekolah.
"Cepetaan blooook! Eh-heh" Padahal sudah berusaha cepat begitu sampai dihadapannya untuk mengambil cucian malah jeweran kencang yang Ku terima.
Sakit? Jelas! Hanya menahan dan bertahan, melawan? Mana berani selain masih terlalu kecil dan pola pikir labil juga takut kualat karena ngelawan orang tua, yaa ku anggap merekalah (Pakde, Bude) sebagai orang tua karena mereka yang merawatku, merawat meski berbalut damprat.
"Kumbahi sing resik! nek ora, tak uyohi cangkemmu"
("Cuci yang bersih! klo tidak bersih, Aku kencingi mulutmu").
"Iya Bude" Hanya anggukan yang bisa Ku lakukan untuk menjawab perintah berbalut ancaman, ancaman keji tak manusiawi. Kencingi? Yaa najis bin ngeri bukan? Tapi itu bukanlah gertakan semata.
Air mataku tak dapat kutahan walau tak kutunjukkan dalam suara tangisan dari mulutkku. Menyadari betapa beratnya cobaan hidup, cobaan yang mungkin tak seharusnya Ku terima apalagi usiaku yang masih belia. Logiskah anak kecil menerima perlakuan sadis? Akan tetapi ini adalah suratan takdir, seuntai cerita dari goresan pena Tuhan yang tersirat rahasia di dalamnya, rahasia besar dan hikmah jika mampu melewatinya.
Akankah Aku sanggup melewatinya?
~~~oo0oo~~~
SINAMBUNG