Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Upload kali ini istimewa karena ada kontribusi dari salah satu pembaca. @Clara_ayu tampil bersama kita dalam wujud tokoh baru yang nanti akan tandem sama Bu Norma.



Lost & Found 4.2.1



Tengah malam sudah lewat saat Kopral dihubungi oleh operator pasar gelap. Pekan ini pasar digelar di kota bernama Kranggalan. Nama itu tidak asing di telinganya. Juga di telinga Gagah. Sebuah kota di balik pegunungan. Di utaranya, ada kota yang lebih besar. Yang karena satu alasan, Gagah tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Lain dengan Kranggalan yang masih dalam jangkauan mereka berdua.

"Gimana?" tanya Kopral sambil merokok pipa di dalam kabin mobil. "Jadi berangkat?"

Kranggalan, sebagaimana yang Kopral serta Gagah ingat, adalah domain seorang komandan militia wanita bernama Daisy. Ya, seperti bunga. Tapi jangan salah. Daisy teramat ditakuti. Bukan saja dia mantan tentara bayaran yang masuk ke dalam negeri saat perang, dia juga sempat dijadikan budak. Ya, budak. Hanya sesudah dia bunuh tuannya, Daisy ambil alih operasi militer lelaki itu. Terima kasih pada Gagah dan Kopral, yang membantunya.
Daisy

8b2df6b3da3917250485963663a909c040caf87e.jpg

Lalu, kenapa Kopral merasa perlu memastikan jadi atau tidaknya mereka pergi ke kawasannya Daisy?

"Jadi," kata Gagah setelah melamun lama.

"Oke. Nyalaken mobil. Kamu yang nyetir sampe sana. Aku micek dulu."

Dengan Kopral terlelap di sampingnya, Gagah bawa kendaraan yang mengangkut jarahan mereka keluar dari jalur utama, meliuk-liuk di antara lubang yang tak ada habisnya. Hingga selepas pukul sembilan pagi itu, mereka tiba. Di sebuah reruntuhan kota. Pagar kawat berduri mengelilingi kota itu. Gerbang masuknya dijaga pria dan wanita bersenjata. Usai diperiksa, Gagah diberi izin masuk dengan fee yang sudah disepakati.

Kranggalan masih sama. Seperti yang Gagah ingat. Jalanannya termasuk yang paling bagus di antara kota-kota bekas perang lainnya. Mudah dipertahankan kalu sewaktu-waktu kena serang juga berkat adanya gedung-gedung bertingkat pada lokasi-lokasi yang strategis di timur, utara, serta barat daya. Dari arah dia masuk, yaitu selatan, dia tidak bisa melihat 'menara-menara' ini. Sebagai gantinya, dia jumpai deretan tank dan kendaraan lapis baja membentuk satu blokade panjang. Dari satu persimpangan ke persimpangan berikutnya.

Hal pertama yang Gagah lakukan selesai dia memarkir mobil adalah kencing. Sekembalinya dia ke semitruk, Kopral sudah tidak ada. Gagah periksa bawaan mereka. Belum ke mana-mana. Artinya, dia yang diembani tugas menjual mereka. Dasar bandot tua. Hobinya nyuruh-nyuruh aja.

Sembari nggerundel, Gagah cari porter yang sudi membawakan barangnya tanpa menguras seluruh dompetnya. Kemudian, dia pun berangkat menuju pasar yang berada di bekas plaza kota. Selama berjalan ke sana, dia lebih banyak menundukkan kepala. Seakan-akan dia takut berjumpa mereka yang kenal siapa dia. Sudah cukup banyak masalahnya. Enggan dia menambah-nambah. Apalagi memperparah.

Sayangnya, Gagah tampak mencolok bahkan tanpa mencoba. Badannya yang menjulang dua kepala lebih tinggi dari rata-rata pria membuatnya kesusahan berbaur. Surai rambut panjangnya juga seakan bersekongkol menjadikannya tontonan. Belum lagi bahunya yang lebar mengharuskan dia banyak bersenggolan dengan orang. Terutama sesampainya dia di Plaza.

Gagah hanya bisa berharap. Semua barangnya harus udah terjual sebelum ada yang mengenali dia. Sebelum Daisy menemukannya.

Beruntung, dia tiba di saat yang tepat. Pelelangan para budak baru dimulai. Pengunjung ramai-ramai memadati selasar lantai utama. Di atas panggung, satu per satu budak dibawa. Diperkenalkan. Dipertontonkan. Ditawarkan. Kebanyakan dari mereka perempuan. Hanya beberapa lelaki yang hari itu kurang beruntung, sepertinya.

Gagah tadinya ingin langsung ke basemen saja. Di sana dia bisa tukarkan barang-barangnya dengan rupa, mata uang pengganti rupiah, yang nilainya bisa berubah sewaktu-waktu itu. Setelahnya, dia tak hendak berlama-lama. Langsung naik ke lantai dua dan tiga demi mendapatkan sembako serta senjata.

Namun, belum juga dia turuni tangga, perhatian Gagah tersita. Oleh sesosok wanita berkerudung yang diseret ke atas panggung. Dengan rantai melintangi lehernya. Wanita itu kurus. Teteknya hampir kering. Sekujur badannya dihiasi lebam dan luka. Pemilik lamanya agaknya seseorang yang sadis.

Bahkan dari kejauhan, Gagah tahu sosok itu bukan Ustazah Nuzula. Mereka tidak punya hubungan apa-apa. Kesamaan keduanya cuma sama-sama wanita dan sama-sama berhijab. Itu saja. Kenapa juga dia harus peduli? Budak itu tidak lebih mengingatkan Gagah pada mantan gurunya jika dibandingkan Bu Norma.

Ah, asem. Bu Norma lagi.

"Bos?" tanya porter Gagah yang susah payah mendorong lori kecil yang dia sewa dari salah satu juragan pasar. "Mau beli budak dulu?"

Gagah menggeleng. Meski begitu, dia tidak beranjak. Bukannya lekas pergi, dia justru berkata, "Bawa aja dulu itu semua. Kasih ke Bregul. Tahu orangnya, kan?"

Ingin lekas diupah, porter itu pun bertolak menuju basemen. Roda-roda besi lorinya berkeriut saat dia bawa melalui permukaan yang menurun.

Ditinggalkan sendiri bersama para pembeli budak, Gagah dengan hati-hati mengawasi. Dia rapatkan badannya pada sebuah pilar besar. Dari sana, dia tidak akan terlihat dari lantai dua atau yang di atasnya. Sementara, di atas panggung, lelang sedang terjadi. Harga-harga disebutkan. Riuh obrolan berjalan.

"Dua ratus rupa? Siapa tadi yang berani? Ah, ayolah! Masih bisa beranak ini. Ya, meski paling cuma sekali. Tapi...."

Begitulah. Si budak dirantai lehernya. Dipaksa berdiri dengan tangan di atas kepala yang dibalut kain sederhana. Dia tak punya kuasa apa-apa atas dirinya. Orang bebas menonton lekuk tubuhnya. Bebas menaksir harga dirinya. Bebas menghinanya. Bukan urusannya. Yang budak tersebut pedulikan saat itu cuma perutnya. Juga selakangannya.

Dia belum makan apa-apa sejak dua hari sebelumnya. Seakan belum cukip buruk, demi bisa masuk ke Kranggalan, dia dipakai beramai-ramai oleh para penjaga gerbang timur. Mereka membolak-balikkan badannya seolah dia bukan manusia. Mereka mengorek-ngorek lubang-lubangnya seakan dia binatang hina. Memandikannya dengan pejuh mereka.

"Nih, lihat!" kata petugas lelang sambil menarik-narik puting si budak. "Masih bagus dalemannya. Orangnya juga penurut. Taat. Tahu sendiri, kan, lonte hijaban gimana."

Saat diperintahkan oleh petugas lelang agar merentangkan kakinya serta menekuk punggungnya ke belakang, budak itu cuma bisa pasrah. Semoga saja oleh tuan barunya, dia akan diberi makan. Secepatnya kalau bisa. Sudah kesemutan badannya sejak tadi dia menunggu di belakang panggung bersama budak-budak yang lain. Mau pingsan saja rasanya.

"Nah, ini lobangnya dua juga udah di-bypass." Vagina dan anus si budak disenteri dari dekat seakan keduanya barang koleksi. "Agan-agan mau pake yang mana, bebas-bas-bas."

Dalam upaya merileks-kan otot leher, budak itu menoleh ke samping. Matanya menerawang jauh di atas kepala orang-orang. Sialnya, ada satu dari mereka yang kelewat tinggi. Besar sekali orang itu. Dan kenapa juga dia sembunyi di belakang tembok begitu? Mau tak mau, mereka pun bersitatap.

Walau hanya sementara, Gagah sempat melihat ke dalam jiwa si wanita. Dia tahu sedikit banyak yang budak itu rasa. Pasti berat luar biasa menjadi budak tetapi masih tetap kekeuh mempertahankan identitasnya. Ditelanjangi tetapi masih diijinkan mengenakan jilbabnya. Betapa mengerikan nasibnya.

Gagah mendengus saat budak berjilbab itu akhirnya dijual pada angka 215 rupa. Kalau Bu Norma yang ada di sana, pasti 600 rupa cepat terjualnya.

Ah. Bu Norma lagi.

Kenapa wanita itu terus-menerus menghantuinya?

Gagah merasa bersalah telah gagal menyingkirkan yang bersangkutan dari benaknya. Seakan dia sedang aktif menyelingkuhi kenangannya akan Ustazah Nuzula.

Jengah, Gagah balik kanan bahkan sebelum si budak berjilbab diseret turun dari panggung guna diserahkan pada majikan barunya. Dia baru berjalan beberapa langkah saat pria-pria bersenjata mengepungnya. Suasana tiba-tiba tegang. Orang mulai berbisik. Tidak sedikit yang menunjuk-nunjuk ke arahnya.

Gagah mengembuskan napas. Dia lebih dari bisa merubuhkan dua dari mereka dalam sekali coba. Tetapi, bagaimana setelahnya? Lagi pula, haram hukumnya pengunjung bikin gara-gara. Cuma yang punya tempat yang boleh pakai senjata saat pasar berlangsung.

Dengan muka murung, Gagah pun menerima nasibnya. Dia biarkan teman-teman barunya menggiringnya menaiki tangga. Hingga dia tiba di lantai empat. Dulunya, itu tempat merupakan apartemen-apartemen yang bisa orang sewa. Letaknya yang berada tepat di atas pusat perbelanjaan pastilah melambungkan harganya.

Sekarang, tidak ada yang menyewa di sana. Seluruhnya dikuasai oleh Daisy dan anak buahnya. Gagah tahu ini karena dia dulu tinggal di situ. Gusar dia ketika perjalanannya berakhir di muka sebuah pintu.

"Yo! G! Tumben ke mari."

Gagah menoleh. Rupa-rupanya, dia tiba mendahului tuan rumahnya. Dikawal oleh sirkel pertama, Daisy melangkah santai menghampirinya. Tidak ada jabat tangan. Hanya anggukan singkat dari si raksasa. Dengan logat yang belu melokal, wanita itu bertanya, "Kapan sampai?"

Gagah amati Daisy yang tinggi semampai dan tomboi. Rambut jagungnya dipotong setelinga. Tindik di kuping kiri si wanita lebih banyak dua dari yang dia ingat. Selebihnya, sosok dalam balutan tank top dan celana taktis itu masih sama. Kata si raksasa pada akhirnya, "Baru."

"Pak Pur mana?"

"Nggak tahu."

"Masuk dulu."

Gagah menelan ludahnya. Yang tadi itu bukan ajakan. Bukan pula undangan. Mengikuti arah permainan, dia pun iringi langkah kaki Daisy memasuki apartemen yang dulu pernah dia tinggali. Pernah mereka tinggali.

Selepas mereka masuk ke ruang kerja, anak buah Daisy pamit undur diri. Pintu cuma ditutup. Tapi tidak dikunci.

"Minum?" tawar Daisy dari balik meja mahoni besar di dekat dinding sebelah barat. Dokumen bertumpuk di mana-mana. Memanage kota sebesar Kranggalan agaknya belum jadi lebih mudah dari yang Gagah ingat.

"Dengar, D," kata Gagah usai dia jatuhkan pantat ke kursi beludru di seberang Daisy yang sedang menuang vodka, "aku nggak bisa lama. Ada... urusan."

"Oh? Apa?"

"Ah. Ehm. Itu. Beli—"

"Kamu nggak kangen aku?"

"D, aku udah bilang," kata Gagah usai dia urai lidahnya yang sempat kusut gara-gara seloroh Daisy. "Kita baiknya—"

"—temenan aja. Ya. Aku belum lupa." Daisy memandang tajam ke arah mantan rekannya. Gelas yang sudah terisi dia biarkan tetap di sisi. "Tapi temen macam apa kamu, G, main ke mari kalau lagi butuh aja?"

"Lha, ya mau gimana? Pasarnya di sini."

Tanpa peringatan, Daisy mengempaskan satu gelas ke seberang meja. Hampir menghantam kepala tamunya. Demi menguasai diri, wanita itu tenggak vodka dari gelas yang tersisa. Sia-sia belaka. Dengan darah menggelegak, wanita itu berkata, "Badan doang gede. Nyali sekedele."

"Sesukamu, lah, D."

Gagah memalingkan muka. Siap dia angkat kaki dari sana. Menurutnya, percuma saja bicara pada si wanita. Bule satu itu kepala batu. Bahkan sesudah Gagah utarakan sejelas-jelasnya kenapa dia pergi. Kenapa mereka mustahil bersama lagi.

"Yang penting semuanya aman."

"Aman?"

Daisy hampir tergelak. Dia bangkit dari kursi. Ruang kerja dia seberangi. Dengan gelas di satu tangan, dia geser pintu dan jendela kaca hingga udara dari balkon menerbangkan beberapa lembar dokumen penting dari meja.

"Kamu ****** apa gimana? Abangmu nggak akan berhenti nyerang ke mari cuma karena dia punya adik imut udah nggak di sini. Udah dikabarkan mati."

"Nyerang apa? Aman-aman aja kotamu aku lihat."

"Aman ndasmu. Menaraku jatuh dua. Kamu masuk dari mana tadi? Ah. Selatan pasti. Pantes."

Daisy tenggak minumannya. Dia tatap lalu lalang di bawahnya. Iri dia pada mereka. Yang bebas dari tanggung jawab mengelola kota. Bebas dari mimpi buruk yang menghantui malam-malamnya.

"Ustazahmu gimana? Udah ketemu?"

Sebelum pamit dari Kranggalan, Gagah memang memakai Ustazah Nuzula sebagai salah satu alasan. Dia bilang waktu itu kalau dia mau cari wanita itu. Sampai ketemu. Sampai mana kebenaran kata-kata itu, Gagah juga sekarang ragu.

"Makasih obrolannya, D." Gagah luruskan kaki. Leher dia putar ke kiri. "Tapi aku harus cab— D? Kamu... lagi apa?"

Entah sejak kapan Daisy sudah berdiri di atas pagar pembatas balkon. Bukan cuma itu, wanita dengan badan penuh bekas luka itu mulai melepaskan atasannya. Tampak perutnya yang rata. Juga bra sepasang gunung kembarnya. Untuk ukuran perempuan kaukasia setinggi Daisy, buah dada itu tampak kecil saja.

"D, jangan ******."

Daisy menyeringai. Tank top dia biarkan terbang dibawa angin yang memain-mainkan rambut pirang pendeknya. Di bawah cahaya matahari, mata biru beku wanita itu berkilat-kilat. Tampak betul dia mau nekat.

Tahu kata-katanya tak akan bisa menembus keras tempurung kepala Daisy namun tak tahu harus bagaimana, Gagah berkata, "Turun, D."

"You said you loved me."

"D, turun, plis."

"Itu bohong juga?"

"D...."

"Fuck me, atau aku lompat."

Fuck you, batin Gagah, dikuasai resah dan gelisah. Kalau sampai Daisy bunuh diri, dia yang akan disalahkan. Bahkan bagi dia yang pikirannya lamban, konsekuensi itu mutlak tak terbantahlan. Bukan cuma itu, kalau kelamaan di Kranggalan, dia bisa hadap-hadapan lagi dengan kakak tirinya. Sibuk dalam perang yang bukan urusannya.

Argh! Bangsat! Bedebah!

Enggan gegabah, Gagah beri Daisy anggukan. Yang langsung dia sesali. Pendar harap pada sepasang mata si wanita adalah hal terakhir yang dibutuhkannya. Dengan mengabulkan permintaan paling konyol di dunia barusan, sama saja dia telah kembali menantang supremasi kakaknya, yang memerintah kota sebelah. Kalau tahu bakal panjang urusannya, mungkin dulu dia akan biarkan Bledek berkuasa. Mantan majikan Daisy itu pastinya tidak akan pernah menemukan diri dalam situasi yang Gagah tengah alami saat ini.

"Seronde aja tapi," kata Gagah sebelum Daisy menerkamnya, membuat paru-parunya miskin udara. Mengingat beda berat badan mereka, wanita itu sepertinya sudah bukan lagi manusia. Bak binatang kelaparan, si pria yang masih enggan itu dia mangsa secara paksa. Celana lelaki itu dia buka.

"Hello, handsome. Did you miss me?" kata Daisy sebelum mengecup kontol kuda Gagah yang masih ngantuk. Tanpa membikin banyak jeda, dia beri si laki-laki blow job spesialnya. Lidahnya menari-menari. Seluruh kelamin pria itu dia jilati. Kemudian, dengan sangat berambisi, dia masukkan batang kejantanan itu ke mulutnya. Seluruhnya.

Di atas kursi, Gagah cuma bisa mengerang dan memegangi kepala Daisy yang naik-turun memanjakan kontolnya yang sudah ngaceng sejak kemarin lihat Bu Norma tapi belum berani menjamahnya. Tidak butuh waktu lama bagi dia untuk memuntahkan laharnya ke dalam mulut mantan kekasihnya.

Tergesa, mereka lalu bergumul di atas kasur kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang kerja. Gagah di bawah. Daisy mengendarainya. Kelamin mereka beradu. Menyatu. Napas menderu.

"Aaahhh, fuck! Just as great as i remember," bisik Daisy usai tubuhnya melengkung, payudara mancungnya membusung, dan kemaluan Gagah dia pasung. Lemas, dia peluk lelakinya dan berlagak tidur pulas.

"You a crazy bitch," komentar Gagah dalam broken english sebelum lalu berguling menyamping guna berganti mendominasi. Dengan paha jenjang si wanita disangga bahu lebarnya, dia ayunkan kontol 18 cm miliknya. Vagina bertindik Daisy bernyanyi. Kecipaknya kian nyaring seiring badannya dihentak-hentak.

"You like it?" tanya Gagah, mengamati Daisy yang cuma merem melek sambil meremasi kasur.

"Harder, dammit!" salak Daisy saat dia rasa Gagah memelankan hunjaman kontolnya.

"Harder? Like this?"

Gagah genjot Daisy hingga ranjang di bawah mereka mengerang dan bisa roboh kapan saja.

"Yes! Oh! God! Fuck!"

Daisy jepit leher Gagah dengan telapak kakinya. Gagah bereaksi dengan menjambak rambut setelinga si wanita. Lembap membekap keduanya. Keringat dan lendir nikmat mengucur. Berbaur. Batas-batas antara mantan kekasih mengabur. Segala urusan yang tidak berkaitan dengan persetubuhan mereka kubur.

"Tell me, who your daddy?"

Daisy kini Gagah nikmati di lantai dalam posisi anjing kawin. Kontolnya menemukan lubang bersarang pada anus wanita itu, yang kembang-kempis tidap digenjot, serasi dengan sepasang mata biru yang melotot.

"You are!" Sekuat tenaga Daisy coba mengimbangi. Sayangnya, bahkan bagi dirinya, birahi Gagah terlalu melimpah. Semua lawan main si laki-laki, tampaknya, hanya bisa pasrah dan berdoa. Berdoa agar bisa mengulangi pengalaman itu lagi. Dan lagi. "You're my daddy!"

Gagah pindahkan bobot tubuhnya ke kaki kiri. Memakai kaki kanan dia injak pipi Daisy sambil terus menggempur dubur yang bersangkutan.

"Dan siapa yang hari ini nakal? Hm?"

"Me! Me, daddy!" erang Daisy dengan bibir monyong dan sukma yang sebentar lagi malaikat maut colong. "I've been bad today! I've been naughty!"

Semasa Kopral menemukannya, Gagah sedang di balkon. Daisy dia gendong. Kontolnya naik turun menumbuki bokong. Cairan cinta mereka berceceran di mana-mana. Meja dan kursi jungkir-balik. Kertas beterbangan bagai habis disatroni badai.

Pantes, batin Pak Pur, aku tadi dibiarken masuk gitu ae. Lha bajingan ngene. Katane udah bubaran mereka ini? Belum pikun aku, kan?

"Pak Pur!" kata Daisy dengan logat Australi. Kepala wanita itu tak lagi terkulai. Dia tampak bersemangat dapat audiens. Karena dia juga Gagah menoleh dan bersitatap dengan Kopral. "Sini. Join!"

Kopral menelan ludah. Pikirannya mungkin ingin lupa. Tapi kontolnya ingat rasa apem impor milik Daisy. Yang dulu sering dia cicipi. Semasa Bledek masih dia anggap belum pantas dimusnahkan dari muka bumi.

Buru-buru Kopral menggeleng. Daisy itu cinta mati sama Gagah. Terbukti, meski dulu sempat hampir bunuh-bunuhan, sekarang mereka asik lagi bercinta. Kalau dia bergabung, dia cuma akan jadi pelancong yang nyelonong. Ngga ikut kena api tapi ikut kobong.

"Alah! Ayolah!" rengek Daisy dalam gendongan Gagah. "I miss your 'stache, Pak Pur!"

Jika bukan dikarenakan sorot mata Gagah yang memohon agar tidak dibiarkan sendirian bersama si bule gila, Kopral sudah pasti memilih pergi. Atau demikian yang lelaki itu yakini ketika pintu di balik punggung dia tutup dan, kali ini, kunci.

###

Petang sedang menjelang saat Kopral membopong Gagah masuk ke mobil. Raksasa itu tepar. Daisy memasukkan entah-obat-apa-saja ke dalam minuman mereka. Beruntung, Kopral tidak minum. Gara-garanya, pria itu sudah mabuk lebih dulu. Sebelum membereskan transaksi di tempat Bregul lalu membeli sembako & amunisi, dia mampir ke sebuah bar.

Meski sudah bertahun-tahun menyuling araknya sendiri, Kopral juga suka sesekali mencicipi alkohol bikinan orang lain. Saking asyiknya minum, dia sampai lupa kalau Gagah dia tinggalkan terlalu lama. Untungnya lagi, mau minum berapa botol juga, Kopral masih bisa mengandalkan kedua kakinya. Sekarang, sudah di kabin mobil, dia tinggal berkendara pulang, 21 jam, dengan kepala pengar.

Pria berkumis itu setengah berharap anak buah Daisy akan membiarkan mereka lewat begitu saja melalui gerbang kedatangan mereka. Dari yang dia gali selama tadi si bule ikut dia gauli, Gagah tidak akan dibiarkan pergi-pergi lagi. Oleh karenanya, Kopral lumayan tenang saat penjaga gerbang menahannya dengan alasan perintah atasan. Tidak terkejut. Tidak tersinggung. Cuma kecewa. Agak.

Yang penting udah aku coba, batin Kopral. Kini, laki-laki itu berharap dia akan dikawal kembali ke Plaza. Sesuatu, sayangnya, terjadi lebih dulu. Dari arah barat daya.

Seakan tahu adik tirinya lagi butuh bantuan, rezim kota sebelah menghujani Kranggalan dengan lesatan rudal dan roket. Drone-drone dikerahkan. Pasukan darat menyusul di belakang tawon-tawon dari neraka. Daisy dan anak buahnya menyambut dengan gegap gempita. Mereka pantang menyerahkan rumah mereka.

Pertempuran tak dapat lagi dielakkan. Peluru ogah pandang bulu. Siapa saja bisa jadi korban. Pengunjung pasar bertemperasan. Lintang pukang mereka kalang kabut menyelamatkan diri. Semuanya ogah mati. Tak terkecuali, Kopral dan Gagah. Mobil mereka ngacir pulang sebelum ada rudal nyasar yang kalau sudah menghantam ya mereka bakal wasalam.

Demi kebaikan bersama, oleh Kopral nasib Kranggalan dirahasiakan dari Gagah. Bagaimana mereka kabur juga dia karang-karang saja. Pria yang lebih tua itu lumayan lega saat suasana hati si raksasa membaik dibanding saat mereka berangkat. Meski agak sinting orangnya, apem Daisy berhasil membuat anak buahnya itu lebih tenang.

Sayang, kabar buruk bukan cuma ada di belakang mereka.

Begitu kendaraan sudah jauh meninggalkan Kranggalan dan mulai memasuki jangkauan komunikasi, Kopral mendapat kabar. Melalui sambungan radio, Tokek memberitahukan Bu Norma hilang.

"Maksude hilang?" tanya Kopral, menahan diri dari membuang radio di tangannya ke salah satu lubang jalan saking kesalnya.

'Ya, hilang,' jawab Tokek. 'Tadinya dia molor sama kita-kita. Tahu-tahu pas bangun, udah nggak ada.'

Gagah yang saat itu mengemudi memilih diam, meski air mukanya gagal menyembunyikan isi kepalanya. Dia peduli. Dan karenanya dia murka pada dua junior mereka. Terpikir olehnya enaknya dimasak apa mereka.

"Kowe eling, Kek, kenapa aku dipanggil Kopral?"

'Ehm, inget.'

"Kenapa?"

'Karena dulu Kopral aslinya pengen masuk militer tapi ngga keterima.'

"Dan?"

'Dan Kopral ngga malu sama ini fakta.'

"Terus? Kalau ada yang ketawa?"

'Kopral bakal kuliti mereka. Juga keluarga mereka. Kayak yang Kopral lakuin ke—'

"Intine apa, Kek?" Kopral terdengar mulai kesakitan menyimak suara Tokek.

"Intinya...."

"Cari Bu Norma," kaya Kopral sesudah beberapa lama Tokek membiarkan percakapan mereka menggantung di udara. "Sampai ketemu. Gimana. Di mana. Embuh. Urusanmu. Aku ndak mau tahu. Alternatife: kontolmu aku rica-rica. Paham, Kek?"

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Lost & Found 4.2.2

3cc491b286383586c484d11749e69a51ba11e13d-high.webp

Berjalan di tengah hutan pada malam hari itu sulit. Ditambah, Bu Norma tidak membawa alat bantu penerangan apa-apa. Hanya mengandalkan siluet orang yang dikerjarnya. Yang kadang tersembunyi di balik semak dan pepohonan yang rapat mengepung mereka.

Belum lagi, Bu Norma bertelanjang kaki. Ngilu dari bekas zina terakhirnya juga sama sekali, sedikit pun, tak membantu. Beberapa kali dia harus mencari sandaran. Harus mengatur kembali napas. Harus menunda redam pada daerah kewanitaan serta lubang pembuangannya.

Dan tidak jarang pula, kain mukena yang membungkus tubuh berumur namun moleknya tersangkut. Mula-mulanya dia berhati-hati saat menarik mukena. Agar tidak robek dan rusak. Namun, lama-lama, Bu Norma berhenti peduli. Jiwa dan raganya kini benar-benar satu. Dia hanya ingin kembali bersua suaminya. Yang anehnya, meski mereka sudah berjalan beberapa lama, pria itu masih kucing-kucingan dengan istrinya.
Entah apa tujuannya.

"Mas!" panggil Bu Norma pada hening malam. Pada kegelapan di sekelilingnya. Sekali lagi Dokter Abi hilang dari pandangan. Akan tetapi, sesudah dia tunggu cukup lama, pria itu masih belum muncul juga. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Kelelahan, Bu Norma pun duduk. Dia peluk dirinya sendiri dan mulai sesenggukan.

"Dik?"

Bu Norma mendengar satu suara. Yang sangat dikenalnya. Mengusap air mata, wanita itu mendongak. Benar saja. Dokter Abi sekarang ada di hadapannya. Hanya tanah yang memisahkan mereka. Tiga meter jaraknya, kira-kira.

"Mas jahat. Dari tadi aku panggil. Tapi Mas jalan terus."

Bu Norma kembali menunduk. Kembali meringkuk. Kembali mengurai sengguk. Tangisnya baru mereda saat dia simak dari bunyi daun dan ranting yang diinjak, bahwa suaminya mendekat. Menghampirinya. Ketika dia sedikit mengintip dari lengan yang dia jadikan tumpuan kepala, dia dapati sepasang kaki bersepatu kini hampir menyentuh jari-jari kaki telanjangnya. Sepatu itu ditambal di beberapa tempat. Bu Norma mengenalinya. Dia sendiri yang menjahit solnya.

"Aku minta maaf," kata Dokter Abi. "Aku ... cuma ragu. Kamu masih istriku atau bukan."

Bagai tersambat petir, Bu Norma terhenyak. Pelan, kepalanya mendongak.

"Habisnya," kata Dokter Abi sambil mengusap rambutnya yang hitam legam—sesuatu yang selalu dia lakukan saat sedang tidak percaya diri, sesuatu yang tidak pernah lelaki itu tunjukkan kecuali saat bersama sang istri, "tadi kamu hot banget mainnya. Sama mereka."

Bersimbah air mata baru, Bu Norma melemparkan diri ke depan. Bersujud dia pada kaki sang suami. Meraung dia sejadi-jadinya.

"Ampuni aku, Mas! Aku nggak tahu! Huhuhuhu. Aku kira Mas udah nggak ada! Ampun, Mas! Ampuni istrimu! Mereka bohong. Mereka bilang Mas udah mereka bunuh. A-aku juga mau mereka habisi kalau nolak ngelayani!"

Bukannya meragukan kebenaran cerita Bu Norma, Dokter Abi cuma tersenyum. Sedetik kemudian senyum itu lenyap. Penyaru suami Bu Norma itu ingat. Mangsanya belum sepenuhnya dalam genggamannya. Dia belum boleh lengah.

"Dik, udah."

Bu Norma menggeleng keras bahkan saat bahunya dipegang oleh tangan-tangan lelaki yang dia jadikan panutan. Dia merasa kotor. Hina. Nista. Dia merasa mandi kembang tujuh rupa selama sisa hidupnya juga tiada akan bisa melunturkan dosa-dosanya. Mengembalikan kesuciannya. Memulihkan marwahnya. Istri Dokter Abi bukan lagi wanita muslimah yang tutur kata serta perilakunya patut diteladani. Sosok itu sudah sirna. Yang tersisa hanyalah pelacur yang akan berbuat apa saja demi menyalurkan gairahnya.

"Udah. Yang tenang. Yang tenang, Dik. Mas nggak marah kok."

Dokter Abi kini bergabung dengan Bu Norma. Mereka sama-sama bersimpuh di tanah. Saling berpelukan. Saling menghangatkan. Menguatkan. Lewat usapan pada puncak kepala, kecupan-kecupan singkat, serta untaian kata-kata, pria berjenggot tipis itu yakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka. Bahwa tidak ada kata terlambat untuk bertobat dari maksiat yang Bu Norma perbuat.

"Tapi, Mas," ucap Bu Norma tatkala Dokter Abi menangkup wajahnya agar mereka dapat bersitatap dengan hidung saling bersentuhan, "aku udah kotor. Aku udah biarkan mereka—"

Dokter Abi sumpal mulut istrinya. Hangat. Lembut. Dan luar biasa basah. Dapat dia rasakan penyesalan dalam permainan lidah Bu Norma. Juga, gairah yang tiba-tiba melanda. Suhu badan mereka menanjak seketika. Aroma keringat menguat. Dan berbeda dari yang dulu-dulu, tangan-tangan Bu Norma lebih berani bergerilya. Kancing-kancing baju sanh suami dia preteli. Gundukan kemaluan yang dia rindukan dia kerjai. Jemari lentiknya dengan mahir menelusup ke dalam celah reslteing yang ditarik turun.

"Ahhh," desah Dokter Abi sewaktu mulutnya menjauhi bibir merekah Bu Norma. "Pindah, yuk? Jangan di sini?"

Dahi Bu Norma mengerut. Mereka masih di hutan. Mau pindah ke mana? Bukannya, semua tempat sama saja di sini?

"Deket, kok," bujuk Dokter Abi sambil membenahi mukena Bu Norma yang entah mengapa mendadak mengantuk mendengar suaranya. Ketika badannya diangkat lalu digendong si lelaki, wanita berkacamata itu hanya setengah peduli. Yang terpenting, dia sudah bersama suaminya kembali. Yang lain-lain bisa dipikir nanti.

Termasuk kabut yang seketika entah dari mana datang menyelimuti.

Dalam kondisi sadar dan tidak, Bu Norma temukan dirinya dibaringkan di sebuah kasur king size bersprei putih nan halus yang umum dijumpai pada kamar-kamar hotel modern. Penerangan redup saja. Sumbernya dari lampu kamar mandi serta lampu di atas kepala ranjang. Merasa nyaman, dia pun menggeliat. Meregangkan badan.

Dari arah kaki, suaminya menghampiri. Pria itu dengan hati-hati menaikkan tepian bawah mukena yang Bu Norma pakai. Geraknya baru berhenti usai dia capai pusar si wanita. Berlama-lama dia meresapi hidangan di depan matanya.

"Mas kok ngelihatnya gitu?" tanya Bu Norma, malu.

Dokter Abi tersenyum penuh arti. Betis Bu Norma mulai dia elusi. Bertahap telapak tangannya menemukan jalan ke lembah kenikmatan. Rambut-rambut halus yang mengitari vagina istrinya dia raba. Geli rasanya.

"Apik tempikmu, Dik."

Kuping Bu Norma memanas. Sejak kapan suaminya sudi berkata jorok? Jika bukan vagina, lelaki itu kadang malah menyebut kemaluannya farji.

"Aku jilmekin, ya?"

Bu Norma terlambat bereaksi. Tahu-tahu saja, Dokter Abi yang tidak pernah mau mendekatkan wajahnya ke vagina istrinya, kini menyurukkan lidahnya menjelajahi lipatan-lipatan daging mentah itu. Heran tetapi juga keenakan, Bu Norma cuma bisa mengejang. Menggelinjang. Rambut pria yang dia nikahi itu dia jambak.

"Ehmmm, Mmaasss? Stoooopppp."

"Kenapa, Dik?" Kepala Dokter Abi menyembul di antara kedua lutut Bu Norma, yang tampak lebih merah dari sebelum dia disekap. "Nggak enak ya jilatan Mas?"

"Eeenak, kok," jawab Bu Norma, melawan histeria dalam dada. "Biar adil, aku juga mau jilati punya Mas. Kalau boleh."

"Oh." Alis Dokter Abi terangkat. "Mau di bawah apa atas?"

"Bawah aja. Mas yang di atas."

Dengan sedikit koordinasi, pasangan halal itu merubah posisi. Bu Norma tetap telentang. Dokter Abi tak lagi merangkak di tepi ranjang. Tubuh telanjangelaki itu kini mengangkangi wajah dia punya istri. Kemaluannya lahap dihisap Bu Norma. Pada saat yang bersamaan, dia santap kue apem su wanita, yang berkat kerja lidahnya, kian lembap dan becek saja.

Mereka terus saja mengoral alat kelamin satu sama lain hingga salah satu keluar lebih dulu. Di luar kebiasaan, Dokter Abi mengalahkan istrinya soal ketahanan. Dengan jerit tertahan akibat penis sang suami yang menjejali lubang anginnya, Bu Norma mengerang selama beberapa lama. Sekujur badannya kaku. Seperti ada aliran listrik dihantarkan ke tubuhnya. Jari-jarinya menekuk seolah hendak melukai diri sendiri. Selama proses ini terjadi, Dokter Abi bergeming. Bibir dia buka demi menampung setiap tetes cairan orgasme yang berharga.

Perlahan turun dari klimaksnya, Bu Norma bertekad membalas nikmat yang serupa pada suaminya. Pantat di atas wajahnya dia gerakkan agar supaya ujung kontol Dokter Abi mentok ke kerongkongan. Buah zakar pria itu dia biarkan memukul-mukul hidung dan kacamatanya.

"Ahhhh, iya, Buuuu. Terussss. Yang dalemmm," racau Dokter Abi menikmati servis Bu Norma. Lupa dia bahwa sepanjang hauat sang dokyer, tak sekalipun dia memanggil istrinya 'Bu'. Karena bahkan bagi dirinya yang sudah lama mentas dari dunia manusia, nikmat blow jon Bu Norma terlalu dahsyat untuk dia lawan. Membiarkan memori masa lalunya mengambil alih, sosok yang bukan lagi menghuni dunia fana itu mencapai puncak syahwat. "Aaaku keluuuarrrr."

Sembari menutup mata dan berkonsentrasi penuh, Bu Norma tampung seluruh pejuh yang menyembur dari lubang penis dalam mulutnya. Alih-alih asin sebagaimana sperma lelaki lain yang sudah dia coba, termasuk sperma suaminya, sperma yang ini lebih kaya akan rasa. Selain gurih, dia temukan juga manis, asam, dan segar pada lidahnya. Tak mengherankan jika dia yakinkan diri sendirinya kemudian, bahwa sperma itu adalah yang paling enak di dunia. Dengan tamak dia sedot semuanya. Dia telan hingga kering kontol Dokter Abi.

Pasca mereka berganti posisi lagi menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan Bu Norma setengah dipangku Dokter Abi, wanita dalam balutan mukena itu berkata, "Mas kok kuat banget sekarang? Banyak banget juga tadi itu nyemprotnya."

"Hmmm. Mas kangen soalnya."

Muka Bu Norma merona. Mata indahnya menyala. Penis dalam genggamannya dia urut perlahan. Segala keraguan lenyap dari benaknya. Mau di hutan atau di mana dia sekarang aslinya, dia tak ambil peduli. Suaminya sudah kembali. Mereka telah kembali saling memiliki. Saling mencintai. Dunia bisa kiamat saat ini dan dia masih akan abai.

"Mas?"

"Hmm?"

Bu Norma geser tangan-tangan jahil Doktet Abi agar beristirahat dari mencolok-colok vaginanya yang sedari tadi masih merekah basah mengundang gairah.

"Jangan pergi-pergi lagi, ya?"

"Adik takut, ya?"

Bu Norma mengangguk.

"Aku cuma mau jadi punya Mas. Titik."

Dokter Abi memalingkan muka Bu Norma agar bibirnya bisa dia kecup hangat dan lama.

"Mas juga," ucap pria yang bukan betulan 'pria' itu, masih mengelabui mangsanya, "maunya kamu cuma buat Mas."

"Mas cemburu nggak? Lihat aku diperkosa?"

"Cemburu dong."

"Lha tapi kok Mas diem aja? Nggak nyelametin aku?"

"Ah. Ehm. Mas takut, Dik."

"Takut sama yang merkosa aku?"

Dokter Abi menggeleng.

"Kamu lagi menikmati banget kayaknya. Mas takut ngganggu kamu. Juga, anu, Mas sibuk onani tadi. Maaf."

Sedikit sebal namun juga geli karena terhibur, Bu Norma goda suaminya dengan kata-kata:

"Mas boleh lho hukum aku."

"Hukum kamu?"

"Iya. Kan aku yang salah. Aku yang... mau-mau aja mereka entot."

Muka Bu Norma masih tersipu setiap kali dia ucapkan kosa kata jorok yang baru dia pelajari dari Kopral dkk.

"Apa aja deh, Mas. Hukumannya. Adik rela."

"Hmm? Apa aja?"

Bu Norma mengangguk.

"Kalau gitu," kata Dokter Abi seiring kembali menegaknya dia punya pusaka, "Mas mau nyoba pantatmu, Dik."

"Eh?"

" 'Eh' kenapa?"

"I-itu kan kotor, Mas. Jorok. Dosa!"

Dokter Abi meremas-meras buah dada Bu Norma dari balik kain mukena yang tipis dan berwarna gelap. Puting wanita jelas tercetak dari baliknya. Hapal akan titik paling sensitif si wanita paruh baya, dia gesek-gesek keduanya di antara telunjuk dan ibu jarinya.

"Lha, gimana?"

Dokter Abi coba meniru emosi manusia saat mereka sedang kesal karena keinginannya terganjal satu atau lain hal. Dalam kasusnya, kompas moral Bu Norma. Yang meski sudah rusak, tapi tampaknya belum mati total.

"Masa orang lain kamu kasih boolmu, tapi suami sendiri nggak boleh? Sampai botol aja masuk, kan, tadi?"

Bu Norma berpikir keras. Berpikir lama. Bukan. Dia bukan sedang ingin mengoreksi suaminya. Bahwa yang dimasuki botol itu lubang peranakannya dan bukan duburnya. Itu cuma detail remeh. Yang wanita itu pikirkan jauh lebih serius.

"Ehmmmm, yaudahh," kata Bu Norma setelah beberapa lama. Satu kesimpulan yang dia ambil barusan, yang membuat dia berubah pikiran adalah: mematuhi suami jauh lebih penting dari mengikuti anjuran nabi. Neraka dan surganya sebagi seorang istru lagipula, terletak pada sang suami. Jika nanti dia dianggap berdosa di depan pengadilan tuhan, dia tidak akan sendiri. Ada Dokter Abi yang akan dihukum bersama. Dia bisa terima itu semua. "Nggak apa-apa."

"Apanya yang nggak apa-apa, Dik?"

Gantian penyaru Dokter Abi yang menggoda. Terutama, karena dia tahu Bu Norma sudah kembali terangsang oleh ulahnya. Napas wanita itu mulai tidak teratur. Pandangannya kian sayu. Wajahnya kuyu tapi tetap ayu.

"Masssh boleh pakai silitku."

Dokter Abi pencet dan tarim puting susu kecoklatan si wanita yang kanan hingga yang punya menjerit tertahan di dalam kamar hotel jadi-jadian yang kedap suara dan di kemudian hari Bu Norma ketahui, kedap waktu juga.

"Ah, yang bener?"

Bu Norma mengangguk dengan wajah menahan nyeri yang dia ingin alami lagi. Entah apa yang sebetulnya terjadi. Tetapi dia suka Dokter Abi yang ini. Yang tidak sibuk sendiri. Yang bersedia menyenangkannya dengan hal-hal kecil sesederhana menjahili puting susunya.
Mendapat persetujuan dari yang bersangkutan, Dokter Abi menyeringai. Penuh harap dia berucap, "Yaudah. Nungging, Dik."

Sebagai istri yang taat, Bu Norma pun langsung melaksanakan titah suaminya tanpa perlu diminta untuk kali kedua. Badan moleknya dia gerakkan. Bersujud dia membelakangi Dokter Abi. Bongakahan bokong bulatnya dia angkat tinggi-tinggi. Siap dinikmati.

"Angkat dong," kata Dokter Abi, "mukenanya."

Bu Norma tarik kain pembungkus tubuh sekalnya hingga siapa saja dapat menyaksikan bagian paling rahasia tubuhnya. Aset utamanya. Jati dirinya sebagai wanita.

"Renggangin kakimu dong, Dik. Mas mau lihat silitmu."

Seratus persen patuh, Bu Norma menjauhkan kaki kirinya dari yang kanan. Semakin terkuak lembah kenikmatannya. Tak ketinggalan, lubang pantatnya—yang sudah berulang kali Kancil dan Tokek sodomi—menganga menggoda. Mau manusia atau setan, jika disuguhi pemandangan serupa, pasti akan mupeng juga. Akan lupa daratan juga. Sosok yang menyaru Dokter Abi itu tak berbeda.​

sodomy ready
12a6e2828410b0e6a90b8decf6e64aeae36e7fd9-high.webp

"Udah kelihatan, Mas?" tanya Bu Norma dengan napas berat yang penuh antisipasi. Sudah tidak sabar dia ingin disodomi suami sendiri.

"U-udah, Dik."

Sepasang netra Dokter Abi berkedip cepat. Pupil yang tadinya bulat, tiba-tiba memipih, berdiri membalh iris matanya yang kuning menyala. Lidah yang kemudian dia pakai menjilat bibir juga semakin tak mirip manusia. Lidah itu panjang. Ujungnya bercabang. Jika Bu Norma menengok ke belakang, dia juga akan menemukan keanehan lain pada sendi-sendi suaminya. Bahwa, ada sisik-sisik yang seharusnya tidak muncul di sana. Sisik yang hanya mungkin dimiliki bangsa reptilia, dan bukan mamalia.

~bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd