Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

"Paa... Ini ada dimana?" tanya istriku begitu aku mendekat pada mereka berempat. Malu karena gak pake celana dihadapan Lisa apalagi Tiara, aku memakai pakaian hitam panjang milik ratu Tobrut yang seperti mantel itu untuk menutupi bagian bawah tubuhku yang telanjang. Mukaku masih bengap-bengap habis dipukuli istriku yang dirasuki si mantan ratu kuntilanak hitam itu. Tetapi sakitnya sudah jauh berkurang setelah kubasuh beberapa kali dengan air jernih segar sungai kecil yang mengalir di pinggiran hutan kecil daerah kekuasaanku.

"Ini daerah kekuasaan Menggala papa, ma..." jawabku standar aja karena otakku masih penuh dengan banyak pertanyaan dari banyak sekali teka-teki yang saling silang membuat jalinan ruwet seperti benang kusut. Hanya ada satu titik terang kalo selama ini, entitas yang selama ini melakukan semua ini padaku adalah si Lord Purgatory ini alias Putra. Nama lengkapnya Bobi Putranto. Salah satu teman seperjuangan kami sebelum terbentuknya Ribak Sude.

"Tadi papa berkelahi di sebelah sana... Berkelahi dengan hantu-hantu itu?" tunjuknya pada lokasi pertarunganku sebelumnya di seberang sana, di balik sungai kecil itu. Bagus mereka hanya memperhatikan pertarungan itu dari kejauhan sana karena mereka terlindung oleh pagar ghaib yang kubuat dadakan. Untung aku sempat membuatnya, entah apa jadinya kalo mereka terkena tembakan laser thermal si ratu bernama Fatima itu. Fatima... Kenapa dari sekian banyak nama, kau memberi nama itu pada ratu kuntilanak?

"Kalian sebaiknya tidak berlama-lama di sini... Kita keluar sekarang..." kataku menarik tangan istriku yang sedang menatap mahkota yang sedang nangkring di kepalaku. Lisa dan Tiara juga kubawa keluar dari tempat ini dan tak lama kami sudah balik kembali di dalam kamarku, di atas ranjang.

Perubahan tempat secara drastis tentunya membingungkan mereka bertiga, yang sudah ada diatas ranjang kembali. Dari kamar ini, ke kamar Basri yang gelap lalu tempat yang terang di daerah kekuasaanku dan balik lagi kemari yang redup. Semua terjadi secara ghaib. Tapi yang pertama kali kucari adalah celana panjangku dan cepat-cepat kukenakan kembali. Dan saatnya untuk memberi penjelasan...

"Gimana perasaan kalian? Keadaannya? Baik-baik saja?" tanyaku berdiri di depan mereka bertiga. Mereka sepertinya sedang memperhatikan mukaku. Tidak ada muka babak-belur dan mahkota ber-permata merah besar itu lagi. Mantel hitam itu juga sudah tidak ada. Semua itu hanya ada di tataran ghaib hingga di alam nyata gak akan kelihatan kecuali bagi pihak-pihak yang punya kemampuan sepertiku untuk melihatnya.

"Apa yang sudah terjadi, pa? Kenapa keadaanya jadi aneh begini? Mama sudah melakukan hal-hal aneh yang gak biasa begini... Main-main sama Lisa dan Tiara begini... Ini bukan mama, pa?" keluhnya ketakutan dan bingung. Tentunya dia harus bingung karena telah melakukan hal-hal yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. Maen lesbi-lesbian bareng Lisa dan Tiara.

"Mama sudah dipengaruhi satu mahluk ghaib hingga jadi kek gitu, maa... Tapi gak usah khawatir... mahluk ghaib itu sudah papa singkirin... Tiara juga sama... Selama ini dirimu juga dipengaruhi mahluk ghaib yang berbeda... Dia yang sudah mencegahmu untuk melakukan bunuh diri itu... Tapi dia sudah pergi..." jawabku sesederhana mungkin. Kalo dijelaskan dengan rincipun aku yakin mereka gak akan ngerti. Tapi mereka memberiku pandangan heran karena aku tau apa yang sudah diceritakan Tiara secara khusus pada istriku dan Lisa saat mereka kira tak sadarkan diri di kamar Basri ghaib itu. Ternyata aku menguping pembicaraan mereka.

"Kalo Lisa, bang?" tanya binor panlok satu itu tiba-tiba. Aku menggeleng karena semua kejadian tadi, ia menikmatinya murni karena keinginannya sendiri. Tak ada yang mempengaruhinya. Ia cemberut.

"Jadi mama selama beberapa hari ini... sudah begini ini karena dirasuki hantu gitu ya, pa?" simpulnya sambil mengelus-elus lehernya sambil melirik Lisa dan Tiara dengan mimik yang tak kupaham mengapa. Antara jijik, geli, takut sama penasaran juga. "Hantunya mesum gilak... Masak awak dibuat jadi kek lesbi gitu?" ternyata ia masih ingat apa yang sudah ia perbuat selama beberapa hari ini.

"Iya, ma... Namanya juga dipengaruhi... Mama mana bisa nolak... Tiara juga... Sabar, yaa... Ini semua cobaan... Jangan putus asa... Jangan sampe mau bunuh diri lagi karena kali ini karena gak akan ada yang menghalangi Tiara... Jodoh, langkah dan maut itu hanya di tangan Tuhan... Jangan mendahului-Nya, ya?" nasehatku.

"Trus gimana, bang?" tanya Lisa.

"Gimana apanya?"

"Yaaa... Kalian keluar semua sana!... Awak mau tidur... Pusiiing!" kata istriku cepat sambil memegangi kepalanya yang mungkin memang pusing beneran akibat semua insiden membingungkan ini. Insiden yang mengaitkannya secara langsung.

"Lisa tidur dimana, mbaaak? Lisa tidur sama mbak aja, ya?" tawar Lisa yang didorong-dorong ke arah pintu. Tiara dengan patuh jalan sendiri keluar dari kamar ini. Aku memberikan padanya semua unit baby monitor untuk dibawa keluar dari kamar ini. Ia mengangguk patuh tanpa suara.

"Enak aja... Yang ada nanti awak kau grepe-grepe lagi kek semalam... Sana tidur di sana... Ada banyak kamar kosong di sana... Hanya bang Aseng yang boleh nyentuh awak!" BLAM! Pintu ditutup padahal kuncinya sudah rusak. Kejam... Ya. Tapi semua yang dilakukannya memang masuk akal karena sifatnya memang begitu kalo sedang tertekan.

"Maa..."

"Hiks... hikss... Kenapa jadi begini, paa?" ia menenggelamkan mukanya di dadaku mencari ketenangan. Kurengkuh tubuhnya dan bersandar ke pintu agar ia tetap tertutup rapat agar Lisa tak mendengar ini semua. Kuelus-elus rambutnya penuh kasih sayang. Ia paling suka kalo dibeginikan. Kupeluk dirinya erat-erat. Si ratu kuntilanak hitam yang bernama Fatima itu sempat mengatakan tentang efek permanen yang disebabkan Mutee pada tubuh istriku. Permanen, ya? Jadi istriku akan tetap berbodi seperti ini...

Aku gak tau harus terima kasih pada Mutee ato gimana?

"Ushh... ushh..." elusku pada rambutnya yang pendek seleher. "Sudah berakhir... Semua sudah berakhir..." kataku berbohong untuk menenangkan kekalutan hatinya. Belum pernah ia masuk dalam situasi supranatural seperti yang baru terjadi ini. Sepanjang kami menikah, sebelum menikah ato pacaran, gak pernah ada insiden ghaib yang menyeret dirinya sama sekali. Aku selalu bisa menjauhkannya dari dunia yang kugeluti ini. Tapi kali ini, si Lord Purgatory itu lancang sekali melibatkan istriku dalam permainan kotornya. Entah apa maksud semua rally panjangnya ini. Aku yakin sekali kalo dialah dalang semua rangkaian kejadian ini.

Dari berbagai macam bisikan, hasutan dan dorongan ke beberapa pihak sudah dicobanya. Para binor yang selalu minta dihamilin, para dukun sesat, siluman jahat dan macam-macam lainnya. Semuanya untuk ke satu titik momen agar ia bisa menyerang istriku. Pengecut sekali dirinya kalo itu memang si Putra pelakunya. Aku tau dirinya sempat suka dengan orang rumahku. Itu sudah lama sekali dan lagi pula—Putra juga sudah lama meninggal.

Lalu siapa si Lord Purgatory yang memakai cincin andalan Putra itu?

Tersedu-sedu ia di pelukanku. Kuredakan guncangan batinnya dengan penuh kasih sayang. Dirinya yang tangguh sampe begini karena apa yang sudah terjadi. Apakah ia merasa kotor karena telah terjerumus dalam nafsu bejat yang suka sesama perempuan? Bagi beberapa orang itu tidak dapat ditolerir apalagi predikatnya sebagai seorang istri yang sangat setia pada suami. Padahal ia bersuamikan laki-laki tukang derma sperma begini yang bernama Aseng dengan Aseng junior bejatnya. Hu-uh...


--------------------------------------------------------------------
Setelah menidurkan istriku yang lelah dengan semua kegalauan hatinya aku keluar kamar. Di depan pintu aku bertemu Lisa duduk bersandar di dinding kamarku. Matanya nelangsa menatapku yang mungkin dikiranya istriku—lalu lemas bersandar lagi.

"Mbak udah tidur, bang?" tanya Lisa masih lemas tak mendapatkan apa yang diinginkannya, tidur bareng istriku.

"Udah Lis..." kuulurkan tanganku untuk membuatnya berdiri. "Yuk awak anterin ke kamar kosong... Lisa boleh pilih kamarnya mana yang suka..." kataku merangkul bahunya agar ia mau bergerak. Pasti dia bakal enggan bergerak. Kudorong tubuhnya dengan sedikit tenaga karena ia masih tetap bersikeras mau bareng dengan mbaknya. Tapi apalah dayanya dibanding dengan tenagaku.

"Bang...?" melasnya.

"Lisa tau kan... apa yang sudah terjadi padanya... Lisa liat semuanya... Bagaimana dia berubah jadi apa yang Lisa mau... Lisa benar... Ada yang sedang main-main dengan kita... Fucked up our bloody mind... Lisa bilang waktu itu... Awak udah menyingkirkan ratu kuntilanak hitam itu dari mbakmu... Levelnya sangat tinggi... Bukan sekedar hantu kroco... Level ratu sebuah kerajaan ghaib... Liat tadi kan muka awak bengap-bengap... Babak belur kek gitu..." ujarku sembari menggiringnya ke kamar kosong yang kumaksud. Aku menyeret tas koper beroda miliknya.

Lisa menghela nafas kecewa tapi mencoba memahami masalahnya. "Mbak udah enggak tertarik sama Lisa lagi seperti sebelumnya kan, bang... Sebelumnya itu hanya karena pengaruh ratu kuntilanak itu... Lisa tiba-tiba merasa kosong sekali, bang... Lisa merasa gak punya tujuan lagi..." katanya mendadak sedih. Kudorong dirinya memasuki kamar kosong di depan ini dan menutup pintunya lagi.

"Tujuanmu sekarang adalah anak di dalam perutmu ini..." kataku menatapnya tajam dan mengelus perutnya. Telapak tanganku menyentuh perutnya yang masih sangat rata. Ia membelalak kaget baru ingat akan perjanjian kami. "Gak usah ngarepin binik orang lagi, Lisa... Fokuslah pada anak yang akan tumbuh di perutmu ini... Itulah tujuan utamamu... Cup!" kukecup bibirnya lalu aku keluar dari kamar, meninggalkannya sendiri untuk memantapkan hatinya seorang diri. Biar dia istirahat dengan tenang dulu.

Aku percaya diri mengatakan gak lama lagi Lisa akan mendapatkan kabar baik di dalam rahimnya. Janin itu akan berkembang di dalam perutnya dan kelak akan menjadi kebanggaan keluarganya. Meneruskan garis keturunan pak Asui hingga berjaya nanti. Aku sudah mendapatkan banyak bukti keampuhan bibitku dalam membuahi belasan binor selama bulan belakangan ini. Bahkan Aida sudah melahirkan bayi perempuan yang cantik belum lama sebagai bukti kuatnya. Menyusul binor-binor lainnya yang akan melahirkan juga. Saat ini aku hanya tinggal menunggu kabar dari Farah dan Dea yang sudah kusetorkan sperma suburku beberapa kali secara teratur.

Lord Purgatory ini sudah menyiapkan mereka semua untuk membuatku lengah sedemikian rupa agar aku terbuai. Aku benar-benar lengah hingga ia berhasil menyerangku lewat orang rumahku. Entah kapan ia berhasil masuk dan mengacak-acak rumah tanggaku. Merasuki istriku dengan ratu kuntilanak bernama Fatima itu. Merasuki Tiara langsung. Rencana sistematisnya benar-benar tersusun rapi hingga aku sempat tak sadar telah dipermainkan. Sayangnya ia bisa melarikan diri setelah beberapa lama merasuk di tubuh Tiara tanpa diketahui siapapun.

"Tiara... Bisa kita ngobrol di luar?" panggilku pada gadis itu yang sedang duduk di meja kecil kamar Salwa setelah terlebih dahulu mengetuk pintunya. Ia sedang meratapi nasibnya dengan sesengukan tanpa suara walo aku hanya bisa melihat belakang bahunya yang berguncang-guncang.

"Sebentar, bang..." jawabnya menoleh sedikit. Ada rembesan air mata di pipi dan matanya yang merah. Aku langsung menutup pintu lagi untuk membiarkannya bersiap-siap. Pastinya ia harus membersihkan matanya terlebih dahulu. Kusiapkan dua mug coklat panas untuk teman ngobrol kami berdua di tepi kolam renang rendah nanti. Ini spot ngobrol favoritku di rumah ini.

Sementara menunggu Tiara datang, aku kembali menganalisa berbagai hal random sampe sapaannya datang. "Malam, bang?" Tiara sudah muncul dan berganti pakaian piyama tidurnya. Kusilahkan dia duduk di seberangku. Dia menurut dan duduk diam memandangi mug coklat panasnya.

"Sudah baikan?" tanyaku. Seingatku, kami belum pernah ngobrol hanya berdua saja begini. Lebih seringnya dengan orang rumahku aja. Mungkin dari sana bibit-bibit perasaan sukanya pada istriku. Ia hanya mengangguk saja tak berani menatapku. "Jadi... Tiara udah benar-benar putus dengan calon suamimu itu?" aku malah mengungkit kepahitan hidup yang ingin dilupakannya. Ia mengangguk lagi.

"Jadi selama disini... Tiara gak pernah berusaha bunuh diri lagi, kan?" tanyaku. Ia menggeleng dengan cepat. Melirikku sebentar lalu menunduk lagi. "Bagus kalo gitu... Bunuh diri itu cusss... langsung masuk neraka... Tau ya, kan?" kataku mengajaknya agak santai dikit. Kuhirup coklat panas milikku. "Diminum, Tirr... Gak ada sianida-nya itu..." tunjukku pada mug miliknya. "Abang yang buat itu, kok..." ia mengambil mug itu, meniupnya lalu mencicipinya sedikit-dikit karena memang masih panas.

"Yang merasuki Tiara itu namanya Lord Purgatory... Satu mahluk yang masih misterius... Dia selama ini ternyata sudah memata-matai abang sejak kejadian Tiara batal nikah itu... Asal Tiara tau aja... rumah ini udah abang pagari dengan perlindungan ghaib hingga gak bisa dimasuki mahluk-mahluk jahat seperti dirinya... Ternyata dia cerdik dan memanfaatkan keadaan Tiara yang sedang galau berat... untuk masuk ke rumah ini..."

"Tiara minta maaf, bang... Gara-gara Tiara yang sudah membawanya kemari..."

"Bukan... Bukan itu maksud abang... Tiara jangan coba-coba menyalahkan diri sendiri... Nanti masalah lain yang datang... Lord Purgatory ini sama sekali tidak perduli apa masalahmu, Tiara... Ia hanya terus mencari celah dan celah terus... Ini bukan serangan pertamanya... Tapi berkat ini abang jadi tau siapa sebenarnya musuh abang... Tiara jangan menyalahkan diri sendiri, yah? Tiara gak bersalah sama sekali... Ini hanyalah permainan nasib yang kejam dan brutal... Tugas kita hanyalah terus berusaha bertahan apapun cobaannya..." ujarku menatapnya selembut mungkin agar ia merasa tak disalahkan karena kasus barusan ini.

"Paham, ya? Abang bukan mau memarahi Tiara... Siapa sih yang mau mendapat masalah kek gini... Pokoknya Tiara jangan ngerasa down aja... Ini bukan salah Tiara... Tiara cuma dimanfaatkan... Mau tidak mau Tiara tetap harus move-on, kan? Gak ada pilihan lain... Terus melangkah... terus berusaha... terus bekerja... Abang gak mau abis ini Tiara minta berhenti kerja... Karena kakakmu udah cocok denganmu... Apalagi Rio dan Salwa... Tetap seperti biasa aja seperti gak terjadi apa-apa... Kakakmu juga udah ikhlas, kok... OK?" kataku sebaik-baiknya.

"OK, bang..."

"Nah... Gitu... Senyumlah... Nah, gitu... Cantik-cantikpun mahal kali senyumnya... Ibadah itu senyuman..." kataku lumayan berhasil membawa kembali semangatnya dengan dimulai sebuah senyuman manisnya. "Dah-la... Udah malam... Tidur kita... Ini hari yang melelahkan... Besok kerja lagi... Semangat lagi..." seruku berdiri melompat-lompat agar semangat.

"Makasih, bang..."

"Ya... Semangat, ya!" kataku mengiringi kepergiannya balik ke kamar untuk tidur. Mataku masih kabur. Terbawa-bawa dari alam ghaib sampe ke alam nyata. Aku meneguk ludah mengingat akan semua pengalamanku akhir-akhir ini yang selalu naik turun. Dan akhirnya setelah sekian lama, aku baru mendapat secercah informasi tentang siapa dirinya. Walopun masih penuh diliputi misteri, setidaknya aku sudah mengetahui namanya ato julukannya—Lord Purgatory.


--------------------------------------------------------------------
"Ini beneran mendiang Putra yang kita omongin, Seng..." Iyon mencoba memastikan apa yang kubicarakan dari tadi. Sekarang aku ditemani dua sahabat karibku dari Ribak Sude, tak lama Tiara pergi tidur.

"Ya... Bobi Putranto... Teman kita dulu... Yang kita hadiri pemakamannya waktu itu... Tidak salah lagi..." jawabku dengan tegas.

"Jadi kenapa Lord Purgatory itu bisa punya cincin mendiang? Apakah kau benar-benar melihat si Purgatory ini memakainya? Langsung di depan matamu?" Kojek bahkan ikut berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"Enggak, sih... Ada yang sering melihat si Lord Purgatory ini datang ke kerajaannya... Ratunya sering bersujud padanya dan mencium cincin itu... Waktu kutanyakan cincin itu... cincinnya sama dengan kepunyaan si Bobi..." jawabku.

"Kerajaan apa? Ratu apa?" tanya Iyon matanya menyipit mendengarku menyebut-nyebut perihal kerajaan.

"Awak juga baru tau ada kerajaan ini... Kerajaan Mahkota Merah yang lokasinya di pesisir selat Malaka..."

"Mahkota Merah? Seperti mahkota yang sedang kau pake ini?" liriknya pada arah jidatku.

"Seng... Kau yang menjadi raja kerajaan itu?" sambar Kojek saat aku akan menjelaskan tentang mahkota dengan satu permata merah besar yang hanya bisa dilihat manusia dengan kemampuan khusus. Mulutnya menganga mengagumi ukuran permata yang harganya pasti sangat mahal sekali.

"Begitulah..."

"Tunggu bentar... Kau jadi raja kerajaan Mahkota Merah? Ini kerajaan jin pastinya, kan?" mata Iyon masih menyipit menyelidik. Aku mengangguk. "Aku gak tau apa kau udah melupakan prinsip dasar kita tentang 'mereka'... tapi menjadi raja kerajaan jin? Ayolah, Seng... Kenapa kau bisa begitu ceroboh? Ini cuma akal-akalan mereka aja untuk menjeratmu..." kata Iyon.

"Iya, awak ngerti itu, Yon... Awak jugak gak tau kalo habis membunuh ratunya dengan menggunakan mahkota ini... bawahannya langsung menyatakan kalo awak yang menggantikannya..." jelasku pada mereka berdua. "Mahkota ini gak bisa dilepas, loh..." tambahku.

"Kau membunuh ratunya? Banyak kali waktu luangmu nyerbu kerajaan jin kek gini..." kata Kojek seperti mengejek. Kalo gak kenal mereka bertahun-tahun, aku pastinya sudah baku hantam terus, tapi memang seperti ini cara kami berkomunikasi.

"Cemana gak kubunuh ratunya... Dengerin, ya... Ratu kerajaan Mahkota Merah ini merasuki orang rumahku... Membuatnya kek orang gak waras yang sukanya sama perempuan... Ada dua perempuan yang langsung dimasukkannya ke kamar kami..." paparku awal. Iyon dan Kojek tak kurang jadi melotot mendengarnya. Mereka berdua kenal betul dengan istriku dan sah saja kalo mereka kaget bukan buatan. Pasti mereka marah padaku gak memanggil keduanya saat menghajar sang ratu Tobrut pukimak itu.

"Ratu kerajaan Mahkota Merah ini ternyata cuma suruhan si Lord Purgatory ini... Tapi demi mendapat informasi itu... aku harus merelakan mukaku yang tamvan ruvawan ini bengap-bengap dulu..." imbuhku mengelus-ngelus pipiku sok keren.

"Kimak kau gak ngajak-ngajak, ya!" maki si Iyon.

"Memang nih si Aseng, nih... Kawan macam apa kau ini?" maki si Kojek juga kesal.

"Bukan gitu, lae-laeku sekalian... Awak udah sering kali nyusahin kalian... Klen aja jarang minta bantuan sama aku kalo dapat masalah, kan?" kataku sebenarnya yang selalu merepotkan mereka berdua selama ini. Udah berulang-ulang aku minta bantuan pada mereka hingga aku merasa gak enak hati dan berusaha mengatasi masalah ini sendirian saja.

"Iya juga, sih... Tapi selama ini... Gangguan yang aku alami selama ini gak seberat yang ke kau, Seng... Kau kek mana, Jek..." sadar Iyon beralih ke Kojek.

"Ada... Ada beberapa kali yang kualami... Lumayan berat juga tapi puji Tuhan bisalah kuselesaikan... Tapi memang gak sesering yang kau alami, Seng... Benar juga sebenarnya... mungkin kau gak enakan kalo sering-sering minta tolong ke kami... tapi kita kan udah sama-sama bersumpah untuk saling menolong... Untuk itulah kita buat Ribak Sude ini, kan?" katanya mengingatkanku akan perjanjian kami waktu itu. Iyon juga sepakat tentang ini.

"Yaa... tau awak, kok... Balik lagi ke si Lord Purgatory ini... Kesimpulan awak gini... Ada yang memakai cincin mendiang si Bobi dan menggunakan kekuatannya untuk membalas apa yang gagal didapatkan mendiang dulu sama awak... Karena yang terus menerus diserangnya cuma awak-awak aja..." paparku.

Mereka berdua plus aku terdiam untuk beberapa lama.

"Tapi siapa yang memakai cincin itu?" gumam Iyon.

"Dia anak tunggal ya, kan?" gumam Kojek juga.

"Dan juga... gak ada keluarganya yang tau apa kegiatan mendiang Bobi sebelum kematiannya... hingga ia hanya divonis meninggal karena sakit..." gumamku agak panjang. "Dan gak mungkin pulak kalo dia pura-pura mati dan rupanya masih hidup sampe sekarang, kan?"

"Tapi kita gak ada yang tau kemana cincin itu sekarang..." simpul Iyon. Kojek mengangguk setuju. Aku juga setuju. Entah di tangan siapa cincin itu sekarang yang menamakan diri sebagai Lord Purgatory. Cincin berukuran besar berbentuk lonjong dengan batu akik berwarna hijau mengkilap dan taburan 18 batu akik kecil disekililing batu utamanya. Dulu kami sering mengata-ngatain mendiang Bobi sebagai Green Lantern karena sama-sama menggunakan cincin berwarna hijau. Bobi Putranto lebih memilih menjadi Menggala Aga dengan batu-batu cincinnya itu. Menggala yang memfokuskan kekuatannya pada bebatuan istimewa ini.

Awalnya cincin itu hanya kosong tak memiliki batu satupun. Dari satu petualangan awal kami, ia menemukan sebuah batu akik hijau berenergi besar yang pas untuk dipasangkan sebagai batu utama cincin itu. Ia mengasah batu itu sendiri dan memasangnya di cincin itu untuk memulai kiprahnya sebagai seorang Menggala Aga, mengejar ketertinggalannya dari kami. Seiring waktu ia menyadari, untuk menggenapkan semua kekuatannya, ia harus melengkapi semua batu-batu akik lainnya sebagai satelit batu akik hijau utamanya itu yang berjumlah 18 buah batu kecil. Mendiang Bobi berkelana sendiri untuk melengkapi cincin miliknya dan disanalah malapetaka itu terjadi.

"Apa dimasukkan ke dalam peti matinya, ya?" tebakku. Mereka berdua menatapku.

"Mungkin juga..." kata Kojek membenarkan. "Kalo meninggal biasanya barang-barang kesayangan si mati boleh dimasukkan ke dalam peti jenazahnya... Mungkin sama orang tuanya tetap dipasang di jari tengah mendiang... karena melihat dia sering memakai cincin itu..."

"Tetapi sebelum dikubur... ada yang mengambilnya..." tebak Iyon. Itu yang paling masuk akal.

"Arti Purgatory apa sih sebenarnya?"

"Sama enggak dengan Purgatorium? Ingat gak dulu Putra pernah ngusulkan nama band kita jadi Purgatorium?" kata Iyon masih ingat dengan masa-masa indah waktu SMA dulu, sok-sok keren buat band metal dengan nama-nama serem biar dikata gaul pada masa itu.

"Jadinya malah Momentomori... Ingat hari kematianmu... Yeaaa!!"

"Sama itu artinya Purgatory sama Purgatorium... Singkatnya... di Katolik itu adalah proses pemurnian setelah kematian sebelum boleh masuk ke dalam surga..." kata Kojek. Aku baru tersadar kalo kata Purgatory itu adalah kutipan dari Alkitab. Ternyata artinya sangat dalam. Kalo di agamaku mungkin padanannya adalah alam kubur, alam barzah. Masa penantian sebelum kiamat datang. Bisa jadi di alam itu, ruh mendapat siksaan karena dosa-dosanya ato malah tidur abadi dengan tenang sampe masanya tiba.

"Yang membuatku bertambah yakin kalo si Lord Purgatory ini erat sekali hubungannya dengan Putra adalah... ia menamai ratu kerajaan Mahkota Merah itu dengan nama Fatima..."

"Fatima?" ulang keduanya berbarengan lalu pandang-pandangan.

"Ya... Nama favorit Putra... Entah kenapa ia malah memberikan nama itu pada ratu kuntilanak itu... Kita sama-sama tau kalo itu adalah nama tebakan pertama Putra atas inisial F. nama orang rumahku saat kita bertanya-tanya tentang nama lengkapnya... Seterusnya sampe akhir... ia ngotot memaksakan menggunakan nama itu untuk memanggilnya... Tidak ada orang lain yang tau masalah ini kecuali kita-kita... Jadi bagaimana si Lord Purgatory ini bisa tau semua detil ini?"


--------------------------------------------------------------------
"Yakin-nya kau, Seng? Ini wargamu?" tanya Kojek menatap nyalang.

"Yakinlah..." jawabku.

"Peri berambut merah tadi katamu? Aku kok gak pernah dengar jin jenis ini..." kata Iyon.

"Mambang laut... Danyang penghuni pantai... Warganya cuma 19 peri rambut merah aja..." jelasku di hadapan si peri yang rambut panjangnya sudah kumodif menjadi pakaian yang menutupi tubuh telanjangnya. Ia berdiri menunduk patuh kupamerkan di hadapan kedua temanku ini.

"Gak ada baju orang ini?" tanya Kojek mempermasalahkan pakaiannya.

"Jin ini, Jek... bukan orang... Katanya mereka gak pantes buat pake baju... Punya nama juga gak pantes... Katanya..." jawabku. "Makanya rambut panjangnya aja yang kubikin kek gitu... Dia juga kusuruh ngasih tau teman-temannya yang lain supaya rambutnya diginiin... Ngaceng pulak nanti rajanya... Hajab kita!" candaku tapi karena itu memang benar. Kek mana ngadepin 19 jin perempuan seksi yang gak pake baju? Gimana? Apa gak ngaceng si Aseng junior jadinya? "Mau kau beli'in baju mereka, Jek... Bisa juga..." ia hanya berdecak untuk menjawabnya.

Tapi tak ayal Kojek tetap mempelototi bodi aduhai peri berambut merah yang berdiri tak bergeming di depannya. Sesekali ia menggaruk-garuk dagunya, menyamarkan mengelap encesnya yang menetes.

"Kalian gak ada buat perjanjian apa-apa?" khawatir curiga Iyon.

"Gak ada, Yon... Murni semua karena mereka menganggap awak rajanya... Cuma warganya cuma segini aja... Bingung juga awak kerajaan tapi warganya cuma tinggal 19... Itu kerajaan apa arisan?" kataku yang kerap diselipi canda.

"Asal kau enggak dipermainkan mereka aja... Tau sendiri kalo mereka ini penuh tipu daya..." kata Iyon yang masih tetap curiga akan motif kerajaan Mahkota Merah ini padaku.

"Sejauh ini mereka cukup tulus, kok... Gak nuntut macam-macam..." kataku beralasan. "Hanya saja aku kepikiran untuk memberi mereka nama... Susah juga nanti untuk ngomong sama 19 peri laut kalo gak ada namanya..."

"Apa gak akan ada efeknya kalo kau beri mereka nama? Karena nama bagi mereka itu sangat penting ya, kan? Kita kalo mau membasmi mereka aja kalo tau namanya akan lebih mudah..." kata Iyon memberi pandangan yang sangat penting.

"Nanti pake acara motong kambing pulak, Seng... Ngasih nama kan klen biasa kek gitu..." kata si Kojek.

"Kau pikir acara aqiqah pake motong kambing..." potongku sebelum dia nagih kari kambing berikutnya. "Apa jadinya kalo awak sebagai baginda rajamu tetap maksa memberimu nama? Hoi?" panggilku ke peri berambut merah itu karena ia tak merespon. Kukira ia tidur karena gak diajak ngobrol dari tadi.

"Hamba akan menjadi mahluk yang bebas, baginda raja... Mahluk yang tak terpaku pada tempat yang sama seperti selama ini..." ia langsung menjawab ternyata. Mahluk bebas katanya?

"Jadi selama ini kamu enggak bebas? Terpatok terus di tempatmu itu?" tanyaku. Aku tau Iyon udah gatal mau bertanya tapi ini warga kerajaanku, aku yang paling berhak bertanya padanya.

"Benar, baginda raja... Hamba hanya tetap di tepi pantai sebagai penghuni karang dari dulu hingga sekarang..." jawabnya. "Hamba hanya bisa kemari karena baginda raja memanggil hamba..." lanjutnya. Oo... Begitu rupanya. Aku dan kedua temanku mengangguk-angguk baru paham. Karena statusku sebagai rajanya aku bisa memanggilnya kemari dan prosesnya tidak seperti memanggil mahluk Menggala Suba. Ia hanya patuh tanpa embel-embel apapun atas pemanggilan dirinya. Tapi timbul pertanyaan baru...

"Kalo misalnya nih... awak sebagai rajamu memberimu nama, ya... Bebas-lah kau jadinya... Kau gak terpatok lagi di karang itu... Bebas juga-lah kau dari awak sebagai rajamu?" tanyaku. Ini hanya sebagai gambaran aja sebenarnya.

"Hamba tetap terikat pada baginda raja walaupun saya sudah bebas tidak terikat lagi pada tempat asal hamba... Apalagi baginda raja sudah memberikan sejumlah besar tenaga Lini untuk memberikan hamba nama tersebut..." jawabnya cukup lugas ternyata lengkap dengan contohnya.

"Eh? Pake Lini juga rupanya..." sadarku. Untung aja aku gak buru-buru memberikannya nama. Bisa-bisa habis terkuras energi Lini-ku harus memberinya nama. Ini manggil si Iyon aja udah habis banyak Lini-ku malam ini.

"Makanya... jangan asal mau aja kau, Seng... Abis Lini-mu kan repot... Apalagi sampe 19-19-nya yang mau kau namai... Modyar kowe..." kata Iyon tergelak mengejekku.

"Tapi stok Lini-mu masih banyak keknya, Seng... Mungkin itu berkat mahkota dan baju hitam yang sedang kau pake ini..." ujar Kojek memperhatikan tubuhku lekat-lekat udah kek mau disosornya aku. Ia juga memperhatikan pakaian hitam eks milik ratu Tobrut itu. Aku gak mau meninggalkannya di hutan daerah kekuasaanku dan saat ini malah kupake dan tentu saja hanya orang tertentu yang bisa melihat keberadaannya.

"Iya, Seng... Kau baru berkelahi tadi, kan? Apa gak kerasa energi Lini-mu masih banyak sekarang ini?" sadar Iyon juga memperhatikanku.

"Iya-ya? Padahal tadi awak udah bonyok-bonyok-loh... Apalagi tadi udah dipake untuk manggil kau, Yon..." kataku juga baru menyadari ini. Masih banyak stok energi Lini yang ada di tubuhku. Tidak meluap-luap tetapi gak abis-abis. Sumber energi ini seperti gak berbatas. Ini sangat keren ternyata.

"Kau pun ntah hapa aja... Pake manggil-manggil dengan Menggala Suba pulak... Ditelpon aja kan bisa aku tinggal B3 kemari..." kata Iyon bersungut-sungut. Aku-pun paok kali bisa-bisa lupa ada teknologi yang namanya telepon.

Tapi masalah penamaan para peri laut berambut merah akan aku tangguhkan nanti dulu. Kalo aku benar-benar akan melakukan itu, aku harus mempersiapkan namanya dulu apalagi aku belum pernah bertemu dengan mereka semuanya, ke-19 mereka secara lengkap. Karena kami sedang merencanakan sesuatu untuk weekend ini untuk mencari tau masalah yang sedang merundung khususnya diri dan keluargaku. Kami akan mengunjungi keluarga Bobi Putranto, teman kami yang telah berpulang dahulu sekali.

Kenapa harus weekend? Karena dua orang di dalam Ribak Sude ini waktu kerjanya terikat office hour kecuali Kojek yang memang wiraswasta hingga lebih merdeka waktunya. Sekalian Iyon dan Kojek melaporkan perkembangan usaha mereka yang menggunakan propertiku. Usaha peternakan sapi Kojek sudah mulai berjalan. Secara bertahap ia menjalankan semua rencananya. Peternakan sapi tentunya memerlukan lahan yang tidak sedikit dan ia mengalokasikan sejumlah besar dana yang diperolehnya untuk membeli lahan tak produktif di daerah kampungnya untuk usaha ini. Lalu ia mulai membangun kandang-kandang sapi untuk menampung semua ternak yang akan disiapkan untuk proses penggemukan. Untuk tahap awal perusahaan bentukan Kojek ini akan menampung sekitar 200 sapi dahulu dan secara bertahap akan bertambah terus tiap bulannya.

Sedang Iyon, usaha bentukannya gak jauh-jauh urusannya dengan dunia otomotif yang sangat dekat dengannya. Ide terbaiknya adalah mendirikan usaha oto bus. Karena ia tau banyak tentang bidang ini, aku pasrahkan saja surat rumah di kompleks XX untuknya seperti juga aku memasrahkan surat tanah berhektar-hektar di kota Stabat untuk Kojek. Hanya saja Iyon mengatakan untuk tahap awal ia akan menjajaki pembelian bus bekas terlebih dahulu sebanyak 5 unit. Dirinya yang secara ajaib bisa berkomunikasi dengan berbagai alat transportasi tentu akan dengan mudah mengetahui kualitas satu bus yang ditawarkan di pasaran tanpa bisa ditipu penjual. Dan bila rencananya sudah terealisasi dan selesai semua proses perizinannya, ia akan menyiapkan dua bus baru dahulu sebagai penglaris yang akan menjadi bintang usahanya.

Aku sebagai investor tunggal tentunya hanya bisa wanti-wanti agar mereka tetap mengedepankan profesionalitas dalam menjalankan usaha ini walopun dasar investasi ini adalah murni karena pertemanan. Walopun murni pertemanan, investor tetap mengharapkan keuntungan dan mereka menjanjikan keuntungan akan didapatkan beberapa tahun ke depan beserta BEP-nya.


--------------------------------------------------------------------
Pagi hari, orang rumahku sama sekali gak mau keluar dari kamar. Ia hanya rebahan saja di tempat tidur dan bengong. Aku gak bisa memaksanya keluar dari kamar dan memilih membiarkannya dahulu untuk sekedar berfikir jernih. Tiara yang kuberitahu agar bekerja double untuk menjaga Rio dan Salwa, kalo repot bisa minta bantuan ART lain yang sedang kosong. Lisa yang masih ngotot ingin ketemu mbak-nya kupaksa untuk berangkat kerja bareng-bareng denganku agar dia gak terus-menerus menggangu istriku.

"Kerja yang bener!" kataku tegas di depannya yang sudah duduk di dalam cubicle kami. Ia mengangguk-angguk patuh. Dan ia tenggelam dalam nuansa bekerja dengan rajinnya seperti seharusnya. Kesibukan ini semoga bisa mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang kegilaannya pada istriku yang belum ada obatnya. Setidaknya tinggal dia karena Tiara sudah teratasi dengan perginya Lord Purgatory dari tubuh gadis itu.

"Seng? Kemari lu..." panggil kak Sandra lewat telepon. Buset. Ini pasti masalah single bed di ruang istirahatnya. Aku bergegas ke ruangannya. Ia hanya sendirian tanpa Tiwi yang entah dimana.

"Apa, kak?" begitu aku menutup pintu lagi. Ia tidak ada di mejanya melainkan di ambang pintu ruang istirahatnya itu.

"Siapa yang lu tiduri di tempat wa? Ini bukan baunya Dani... Ini cepet perempuan lain pasti... Jangan macam-macam lu, Seng..." ancamnya cukup berang mendapati ranjang single bed-nya sudah berganti sprei tetapi masih ada aroma asing. Aku gak pernah menutup-nutupi siapa yang kutiduri di tempat itu karena di kantor ini hanya dirinya dan Dani orangnya.

"Lisa, kak..." dan kali ini bertambah satu lagi.

"Lisa? Lu mau jadi direktur aja rupanya? Gak perlu jadi Factory Manager?" sergahnya mengejutkan.

"Kak?"

Kak Sandra mengatur nafasnya dan mengelus-elus perut membuncitnya. Ia lalu menutup pintu ruang istirahat itu dan balik ke mejanya. Ia terdiam sebentar. "Lu udah tau rupanya dari Lisa kalo dia yang diproyeksikan pak Asui untuk menggantikan wa, ya?" Aku hanya mengangguk membenarkan. "Gak sangka wa... Lu gerak cepat juga..."

"Bukan begitu, kak... Awak sebenarnya gak perduli mau ditempatkan kemana aja, kak... Mau tetap begini silahkan... Mau jadi Factory Manager silahkan... Mau jadi direktur juga silahkan... Gak ada awak kejar-kejar semua itu, kak... Kata kuncinya hanyalah 'perjanjian'... Dah itu saja..." kataku. Ini terdengar seperti membangkang tapi aku tau gimana kak Sandra. Apalagi aku menyinggung masalah perjanjian juga.

Ia menatapku lama sambil bersandar ke kursi kerjanya lalu menghela nafas. "Okelah..." kuharap ia langsung paham dan tak membicarakannya lagi karena kata kunci itu. Karena sepertinya ia langsung tau kalo aku punya perjanjian dengan Lisa sebagaimana aku punya perjanjian dengan Dani dan dirinya.

Kak Sandra tetap seperti biasa aja setelah percakapan kami tadi dan hari berlanjut terus dan sang raja hari terus bergulir melintasi garis edarnya. Aku kembali membawa Lisa berkeliling ke lapangan. Berpanas-panasan meninjau area pabrik. Kembali mata-mata penghuni pabrik yang berterima kasih karena sudah disuguhi pemandangan penyegar di terik siang hari begini. Dua buah kantong susu berukuran jumbo yang dibawa-bawa Lisa kemanapun ia pergi. Mereka jadi pada rajin muncul di sekitar kami berdua sekedar nyapu lantai ato ngelap-ngelap mesin, padahal cuma pengen mupeng lebih dekat.

Lisa


"Lisa sengaja ya pake pakaian kek gini?" tanyaku yang juga sedang berpeluh-peluh.

"Kenapa, bang? Ketat banget, ya?" ia juga mengelap peluhnya yang mengalir dari dahi.

"Ngasih semangat gitu ke para penghuni pabrik... Liat mata mereka gak?" tanyaku lagi.

"Sedekah dikit, bang... Lagian stok pakaian Lisa masih sedikit... Entar Lisa shopping pakaian dulu, deh..." jawabnya masih berkeringat terguncang-guncang. Padahal tempat ini lumayan teduh dan tak terlalu panas lagi. Kami keliling sampe belakang pabrik yang sangat jarang dikunjungi para karyawan. Hanya sesekali para security kemari untuk control harian. Tadinya aku menunjukkan lokasi tempat genset berkapasitas besar yang kerap dipergunakan bila pasokan listrik dari PLN ngedrop dan juga posisi beberapa tandon air berada. Lisa menemukan tempat imi dan langsung melorotkan rok panjang span-nya dan menungging di salah satu sudut yang tertutup beberapa peti kayu bekas sparepart yang teronggok ini.

Aseng junior langsung berbahagia melihat pemandangan indah itu dan tanpa banyak tanya kami melakukannya di sudut yang tak biasa ini. Aseng junior langsung kugenjotkan dengan semangat berapi-api. Kami berdua melepaskan beban akibat tensi pekerjaan dengan seks. Sejauh yang kutau, Lisa sangat menyukai ide ini. Ia mendesah-desah tapi tak begitu kuat. Selagi berpegangan di dinding, sebelah tangannya melepaskan kancing-kancing kemeja ketatnya untuk membebaskan dadanya yang terkungkung—tetek jumbo-nya berjuntai menggantung berayun-ayun.

Mendapat suguhan begitu, aku semakin menggila menyodokkan Aseng junior bertubi-tubi ke kemaluannya yang sudah basah dari awal aku menjejalinya dengan keras batang penisku begitu melihat ia mulai menungging, memancingku. Desahan-desahan seksi yang tak terlalu kuat menjadi privasi kami tersendiri di sudut pabrik ini. Seakan dunia ini adalah spot terisolir dari siapapun. Jangkauan CCTV-pun tak ada di sudut ini. Tempat yang tepat untuk kami melakukan hal nakal ini.

Suguhan tetek jumbo Lisa memaksaku untuk memeluk tubuhnya hingga tak menungging lagi. Kupeluk bagian perutnya hingga punggungnya rapat ke perutku. Aseng junior tergencet belahan bokongnya dan menohok masuk memompa pendek-pendek kemaluannya. Batang Aseng junior sedikit agak berbeda diameternya di bawah leher lebih gemuk sedikit dan lebih kurus ke arah pangkal, membuat gesekan-gesekan berarti di mulut liang kawin Lisa. Tetek jumbo-nya tentu saja menjadi highlight utama pegangan tanganku. Kuremas-remas gemas tumpukan lemak kenyal itu.

Apalagi kakinya yang rapat semakin menjepit permainan Aseng junior di vaginanya yang semakin basah. Ia memegangi sebelah pahanya dan sebelah lagi masih bertumpu pada dinding. "Clok clok clok clok..." suara gesekan sepasang kelamin kami bersahutan dengan suara tepukan perut dan bokongnya yang bertemu rutin. Gerakan kepalanya menyebabkan rambutnya sesekali berkibaran di depan mukaku. Rambutnya wangi dan aku berkesempatan membenamkan bibirku ke lehernya, membuatnya semakin mendesah, merintih.

"Ah ahh ahh ah ahh ahh..." rintihnya apalagi jariku rajin memelintir puting susunya yang menggemaskan. Kutarik-tarik berkali-kali ditingkahi remasan-remasan gemas, memberinya rangsangan yang lebih-lebih lagi daripada hanya mengkontoli vaginanya. Ia mendongakkan kepalanya ke arahku hingga aku dapat menciumi lehernya yang putih bersih walo asin oleh keringat. Itu hanya bumbu penyedap seks di tempat tak biasa begini. Walo tak nyaman, kami berdua sama-sama menikmatinya.

"Baaang... I'm cumminn... nnn... Ahh~~! Aahh~~!" mendengar erangannya dan merasakan tubuhnya bergetar, aku sigap memeluk erat tubuhnya. Kakinya pasti lemas karena orgasme ini. Aku menghentikan gocekanku, hanya elusan dan remasan apresiasi yang kuberikan pada tubuh seksi mulus berkeringatnya. Ia mengerang-ngerang merasakan kenikmatan masih bersarang di sekujur tubuhnya. Aseng junior masih terjepit dengan nyaman sentosanya di dalam kemaluan anak sulung pak Asui ini.

"Kaki Lisa lemas, bang... Uhh... Tapi enak banget begini..." katanya membalik badannya, mengakibatkan Aseng junior tercerabut dari sarang barunya. Ia berhadapan denganku dan bermaksud mencium bibirku. Kami berpagutan untuk beberapa lama dan diakhiri dengan Lisa menggapai Aseng junior. Ia meremas-remas batang penisku untuk menjaga potensi kerasnya. Ia langsung berjongkok tanpa banyak tanya. "Aaah... Andai si mbak ngizinin Lisa tidur di kamarnya lagi... Andai si mbak ngizinin kita main bertiga, bang... Lisa pasti bahagia banget, bang..." katanya dengan banyak perandaian.

"Tapi itu gak mungkin, Lisa... Dia sudah sadar sekarang..." jawabku membiarkannya mengocok-ngocok Aseng junior sesukanya dengan tangan halusnya. "Bukannya Lisa cuma suka mbak-mu... Kenapa sekarang jadi main bertiga... Jangan baper-loh?"

"Mbak-ku cantik cuma suka sama abang... Mungkin kalau dengan cara itu bisa... Siapa tau... Shlkk..." ujarnya dan menjilat bagian kepala Aseng junior yang pasti masih ada aroma cairan cintanya sendiri. Tapi matanya menunjukkan kalo ia masih sangat sange. Kepala Aseng junior kemudian diemut-emut dengan mulutnya yang kecil. Ia berusaha memasukkan lebih tapi lebar bibirnya yang mungil terbatas.

"Hsss... Enak gitu, Liss... Ahh... Mbakmu gak bakalan mau ada orang lain di atas tempat tidurnya abis ini... Awak jamin itu... Tapi Lisa boleh terus berusaha mendekati dia, kok... Selagi Lisa belum diusirnya, kan?" kataku masih menikmati permainan mulutnya atas Aseng junior-ku yang keras berdenyut-denyut. Selagi mengenyot, tangannya tak berhenti mengocok pangkal penisku. "Hsss..." desisku yang dijawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepala. "Aaaakh..."

Ia melepas Aseng junior dari mulutnya yang basah oleh liurnya. "Hamili Lisa, bang..." ujarnya lalu duduk di salah satu peti yang ada tumpukannya. Dibukanya kakinya lebar-lebar di tepian peti itu. Mulutnya mangap-mangap masih mendesah. Aku merapatkan tubuhku ke bukaan kakinya. Ia tak terlalu memikirkan kalo peti yang didudukinya kurang bersih berdebu. Nafsu yang menguasai kami berdua. "Aahh... Mm..." erangnya.

Aseng junior kembali meluncur membelah dirinya dan masuk. Tanganku lancang dan memerah dua tetek jumbo-nya saat mulai kupompa perlahan. Lisa langsung mengerang merintih merasakan nikmat kembali mendera liang kawinnya. Aseng junior menumbuk-numbuk pintu cerviks-nya yang dangkal, merangsangnya agar segera membuka untuk segera kubuahi. Jepitan liang kawinnya meremas batang Aseng junior dengan nikmatnya dan kami berdua menikmati gesekan, garukan yang terjadi. Kepala jamur Aseng junior menggaruk tiap gerinjal permukaan liang kawin Lisa dan geli-geli enak itu mulai menggelitik dari bagian kepala dan mulai terasa geloranya.

"Baanng... I'm gonna cumm againn... Uuhh... Uhhh... Uhh so good... So fuckin' gooood... Oohh..." mulutnya menganga berulang-ulang menyerocos dalam bahasa Inggris logat Australi-nya. Tanganku yang tadi memerah tetek jumbo-nya kini memegangi pinggang sempitnya karena sodokanku semakin cepat dengan kepala menengadah dan mata terpejam. Menikmati rasa enak yang mulai menjalar di sekujur tubuhku.

"Ahh..." keluhku bersamaan dengan tersemburnya spermaku. "Crrroott crrooottt croootttt!" menyembur cepat beberapa kali cairan kentalku. Memberiku kenikmatan duniawi yang tiada taranya. Kakiku mengejang dengan jari-jari menekuk, menguras semua muatan sperma dari pelerku memasuki rahimnya. Lisa juga mendapatkan kenikmatan itu berbarengan denganku. Tubuhnya berkejat-kejat kembali mendapatkan hangat spermaku membanjiri sanubari rahimnya. "Enak, Lis?" erangku.

"Enak banget, bang... Mmm... Ditahan dulu bentar, bang... Biar Lisa bisa hamil..." katanya mengapit pinggangku agar gak buru-buru mencabut Aseng junior penyumpal liang kawinnya. Aku setuju tapi gak bisa lama-lama karena kami harus kembali bekerja. "Ada lokasi lain gak ya di sekitar pabrik ini... yang bisa kita pake beginian?" ujarnya nakal binti binal.

"Ada aja kalo mau dicari... Contohnya tuh... Menara boiler itu..."

"Ishh... Panas dong kalau di situ... Ada-ada aja si abang, ih..." mengertinya akan candaanku. Ia cekikikan tertawa bareng aku. Tetek jumbo-nya berguncangan dengan kepitan liang kawinnya yang disumpal Aseng junior-ku untuk menahan spermaku bekerja dulu. Kami ngobrol-ngobrol aja begitu dengan anehnya, kaki Lisa mengangkang lebar dan Aseng junior perlahan mengecil kembali hingga lepas dengan sendirinya. Ia memasukkan sepasang tetek jumbo-nya ke dalam bra lalu mengancingkan kembali kemeja ketatnya. Dengan tisu, ia membersihkan lelehan spermaku.

Telah mengkontoli Lisa sekali ngecrot, kami 'berkeliaran' lagi di seputaran pabrik belagak inspeksi beberapa bagian, control juga sekalian agar Lisa semakin mengenal tiap-tiap bagian lapangan yang banyak jenisnya. Padahal aku yakin bagian kemaluannya masih banyak berselemak spermaku yang mengucur keluar dan membekas di permukaan kain celana dalamnya. Mata-mata para operator mesin kembali dipuaskan oleh kemolekan tubuh Lisa. Kala berjalan, tetek jumbo-nya tentunya bergetar-getar dahsyat. Yang tentunya juga menggetarkan hati dan iman mereka tentunya. Sori-sori aja ya, klen cuma kebagian ngeliat tetek jumbo yang terbungkus aja, aku udah ngerasain semua-muanya. He hehehehe. Mupeng deh klen semua...

"Bang... Di sini sepertinya bisa juga, deh..." tunjuk Lisa ke balik beberapa bahan baku yang ditumpuk dengan rapi. Tempat ini biasanya hanya dikunjungi bagian gudang pada pagi hari saat permulaan shift untuk pemakaian hari itu. Setelah itu, tak ada siapapun yang berkunjung kemari.

"Bisa juga... Eh? Lisa mau lagi?" kagetku. Kukira ia hanya mengusulkan untuk permainan nakal kami besok-besok ternyata sekarang juga. Karena ia sudah mengarah ke arah sana sambil memegangi tepian roknya... Bakalan ena enaan lagi, nih...

Di dinding dekat tumpukan bahan baku ini ada beberapa buah exhaust fan buat menjaga sirkulasi udara hingga atmosfir di tempat ini tidak pengap. Lisa ternyata menilai nyaman tempatnya bergumul nanti berdasarkan benda itu. Dan ternyata benar, walo indoor tetapi tidak pengap hingga ia dengan santai melepaskan celana dalamnya setelah menggulung roknya dan bersandar di dinding. Ia lalu melepaskan kancing-kancing kemeja ketatnya agar aku dapat mengakses dadanya dengan mudah. Kedua helm safety kami berdua kami lemparkan begitu aja di atas tumpukan karung-karung bahan baku.

Melihat semua display tubuhnya yang aduhai, aku hanya geleng-geleng. "Gila ya, Lis... Kamu jadi sangean begini, ya?" kataku saat mengeluarkan Aseng junior dari sangkarnya. Celanaku tak kubuka sama sekali, hanya mengeluarkannya dari bukaan ristleting aja. Ia menjuntai-juntai kesenangan.

"Demi hamil, kok... Lisa harus memaksimalkannya, kan? Kapan lagi ada kesempatan begini... Ci Sandra selalunya pulang malam-malam, kan? Bang Aseng sore udah pulang... Lisa lembur lagi... Terpaksa jalan ini yang Lisa ambil..." jelasnya. Benar juga, pikirku. Aku mendekat padanya. Ia langsung menjamah Aseng junior dan mengarahkannya ke kemaluannya. Digesek-gesekkannya kepala Aseng junior ke belahan vaginanya yang terasa masih basah oleh spermaku ronde sebelumnya.

"Kalo pengalamanku dengan mbakmu... punya Lisa ini mirip loh dengan punya dia..."

"Mirip?" kaget Lisa dengan mulut menganga tapi tetap mengoles-oles kepala Aseng junior dan mencoba mencelup-celupkan ke dalam liang kawinnya. "Pussy Lisa mirip dengan pussy-nya mbak?"

"Ya... Mulut rahim Lisa dangkal... Makanya awak sering mentok, kan? Harusnya dengan begitu... Lisa mudah sekali untuk hamil... Harusnya sekali senggol langsung hamil-loh dengan lakikmu... si Steven itu... Hanya saja karena ada siluman monyet yang selalu menghalangi Lisa untuk hamil selama ini... Lisa jadi susah hamil... Mudah-mudahan abis ini Lisa langsung hamil, deh... Apalagi dalam masa subur begini... Lakikmu udah berangkat lagi ke Australi, ya?" kataku membantu mendorong hingga pelan-pelan Aseng junior bisa meluncur masuk.

"Ahh... Mm... Sewaktu main pertama tadi... dia sedang transit di Jakarta... Pasti ia sedang dalam penerbangan, bang..." jawabnya mendesis-desis begitu Aseng junior mulai kupompakan pelan-pelan. Bersenggama berdiri berhadapan begini agak sedikit sulit karena tubuhnya tak begitu tinggi. Sepatu safety-nya tak banyak membantu karena tak begitu tinggi. Dengan begitu aku harus sedikit menekuk kakiku untuk dapat menusukkan Aseng junior dengan sudut yang pas untuk memasukinya.

"Jadi nanti asumsinya terakhir kali bercinta dengan lakikmu adalah masa pembuahannya, ya?"

"Biar aja dia sendiri yang mikirin itu... Lisa gak mau pusing... Kalo dia masih mau sama Lisa ya dia pulang kemari setelah urusannya dengan perusahaannya selesai... Males banget ngurusin dia lagi..." kata Lisa mendadak jutek akan suaminya. Mulutnya mengarah ke mulutku dan kusambut dengan pagutan, lebih karena bersalah telah membuat moodnya jelek dengan membicarakan suaminya. Kubiarkan ia memimpin permainan mulut, biar urusan kelamin aku yang urus.

Ditambah dengan meremas-remas tetek jumbo fenomenalnya, aku terus merojok-rojokkan Aseng junior dengan intensitas cepat. Benar saja, di posisi berdiri begini aja Aseng junior bisa mentok menumbuk pintu rahimnya. Mengetuk-ngetuk agar terbuka dan nantinya menerima curahan sperma kentalku yang kaya akan kesuburan bibit yang sudah terbukti dapat menghamili belasan binor.

Tangan Lisa mencengkram lenganku. Sesekali cengkraman menguat kala ia mengerang keenakan merasakan nikmat yang berlebih. "Bhaanng... Enhaak, baangghh... Ah ah ah... Aaahh..." dan ia mengejang dengan cengkraman erat baik di lengan maupun di Aseng junior-ku dipulas kuat di dalam liang kawinnya yang berkontraksi. Tanganku masuk ke sela ketiaknya untuk menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak.

Saat ini, mukanya sedang menunjukkan ekspresi seksi seorang perempuan dewasa yang sedang menikmati serpih-serpih kenikmatan biologisnya. Matanya mendelik-sayu bergantian terkadang hanya terlihat putihnya saja. Mulutnya mangap-mangap tanpa suara dengan urat leher menonjol menahan suaranya. Ia tau diri ada dimana sekarang. Kalo tempatnya memungkinkan, pasti ia akan menjerit puas.

Sebelah kakinya kemudian kuangkat yang tentu saja kubantu dengan menopang tubuhnya karena perjuangan senggama di posisi seperti ini akan sangat berat. Pelan-pelan Aseng junior kupompakan lagi pelan-pelan awalnya dan kembali ke tempo semula dengan cepat begitu Lisa sudah pulih kembali dan menikmati seks luar ruangan kami yang berani dan nakal kami ini. Sesekali kami masih berpagutan mulut lagi. Ia kembali mengambil kendali saat beradu mulut. Getar-getar tubuhnya yang kusodok menyebabkan tetek jumbo-nya bergetar masyuk dengan indahnya. Tapi kedua tanganku sudah penuh terisi, satu menyangga tubuhnya dan satunya menahan kakinya tetap terangkat. Aseng junior menyodok tetap konsisten walo sudah terasa geli-geli enak kembali.

"Udah mau laghii, baanghhh... Ahh... Mmm... Enak banget iniiihh... Uhh... Aah.. ahh... ahhh..." erangnya berkejat-kejat lagi dengan tubuh menegang tapi aku tak berhenti karena aku juga sudah terujung. Aku akan segera menyusulnya.

"Crooott crooottt crooottt!!" spermaku mengucur tanpa ampun memenuhi rahimnya kembali. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan menciumi bibirnya yang dibalasnya dengan panas juga. Perutnya pasti terasa penuh saat ini kustok sperma sampe dua kali dalam waktu berdekatan. Pelukan begini cukup lama sambil senyum-senyuman aja berdua merasakan pelan-pelan Aseng junior mengecil-mengkerut ke posisi tidurnya dan lepas dari liang kawin Lisa. Ia langsung menyumpal vaginanya dengan tangannya sendiri begitu Aseng junior berpisah dari sarangnya.

"Banyak banget... Pussy Lisa kerasa penuh..." senyumnya merekah. Ia juga yakin akan ucapanku kalo ia bakalan hamil setelah perbuatan kami berdua ini. "Makasih bang Aseng... Walo Lisa berusaha membuat mbak-nya jadi lesbo begitu... bang Aseng masih mau nolongin Lisa buat hamil... Nanti Lisa kasih hadiah, deh..." katanya misterius.

"Eh... Hadiah apa? Jangan macem-macem, loh... Jangan-la..." elakku langsung menolak hadiahnya.

"Yee... Hadiahnya bukan buat abang, kok... Buat si mbak-ku sayang, loh... Jangan ge-er... Hi hihihi..." godanya.

"Bukan untuk awak?... Tapi jangan juga-la, Lis... Mbak-mu masih kesal-loh sama Lisa..." ujarku agak menjauhkan jarak wajah kami berdua yang masih berpelukan erat. Tetek jumbo-nya aja masih menempel empuk di dadaku. Ia tersenyum jahil seolah mengatakan bahwa hadiah yang bakal diberikannya pada istriku ini akan sulit untuk ditolaknya.

"Lisa sempat ngobrol-ngobrol kan dengan mbak... Jadi tau apa yang sedang ia butuhkan saat ini?" katanya masih misterius.

"Jangan bilang kalo dia pengen liburan?" sergahku. Itu yang terlintas di benakku saat ini, tapi Lisa menggeleng pertanda tebakanku salah. "Apa, dong?" aku mengguncang-guncang tubuhnya pelan. Ia makin mengulum senyum senang berhasil membuatku penasaran begini.

"Ra-ha-sia..." ejanya.

Sepanjang perjalanan untuk control keliling pabrik aku terus mendesaknya untuk memberitahuku apa yang akan diberikannya pada istriku sebagai hadiah. Ia hanya memberi petunjuk kalo hadiah ini sebagai bukti tulus kalo ia meminta maaf telah menyebabkan istriku masuk dalam situasi aneh saat ini. Kecenderungan Lisa yang menyukai istriku, hanya istriku, bukan perempuan lain. Lisa mengaku ia bukan lesbi dan ia sendiri tak tau kenapa ia begitu menyukai si mbak cantiknya ini.

"Ya, halo?" jawabku begitu aja akan panggilan ini. Eh siapa ini? Aku melihat kembali ke layar HP untuk melihat ID si penelepon. "Dea?" gumamku. "Halo..." ulangku menyapa lagi.

"Halo, bang? Apa kabar, nih?" sapanya

"Baik... Ada apa nih, bu? Tumben nelpon siang-siang begini... Keknya ada yang penting, ya?" tebakku. Lisa berjalan di depanku tampak tak memperdulikanku dan asik memperhatikan atmosfir pabrik yang panas dan pengap begini. Mata-mata jalang lelaki di sekitar kami masih jelalatan. Apalagi kalo mereka tau kalo binor panlok itu pake celana dalam yang berselemak sperma. Bisa pada ngocok berjamaah mereka.

"Lagi sama Farah ini, bang... Entar sore dia mau nemanin Dea ke Kuala Lumpur... Sekalian liburan katanya... Abang sih sombong gak pernah ngunjungin kita-kita lagi... Nanti sebelum take-off kita ketemuan sebentar yuk?" kata binor berdarah Aceh itu. Ke Kuala Lumpur? Biasanya dia berangkat weekend, ya? Ini masih hari Rabu. Eh... Bebas sih... Siapa aku yang ngatur-ngatur dia mau ketemuan sama lakiknya yang sedang ada di sana. Lagian mereka lagi program kehamilan juga, kan?

"Boleh-la... Ketemunya dimana? Di rumah Farah ato dimana?" aku langsung membayangkan threesome dengan kedua binor itu sebelum keduanya terbang ke KL dengan penerbangan malam. Otakku langsung mengatur schedule kalo aku gak usah pulang dulu, langsung tembak langsung kesana dan setelah itu baru berangkat kuliah.

"Enggak, bang... Kita ketemunya di bandara aja... Takutnya gak keburu... Flight-nya jam setengah tujuh..." jelas Dea. Langsung buyar lamunan schedule yang kususun. Gimana ena-ena bertiga di bandara? Ahh... Cuma kongkow-kongkow kalo gitu. Otakmu, Seng... Ngentot aja yang kao pikirin. Gak puas kao udah nembak dua kali sama panlok toge jumbo kek si Lisa ini? Ini kualitas super yang limited edition gini bisa kao entup berulang-ulang kalo mau. Pasti ngangkang-nya dia ini.

"Oke-la... Nanti awak kabarin lagi ya kalo udah sampe bandaranya... Bye..." jawabku. Saat aku selesai menutup HP-ku, Lisa juga sedang teleponan dengan seseorang. Ia menutupi bagian mic HP itu agar tidak terganggu suara bising mesin pabrik dan tak lama kemudian selesai. Ia beralih padaku dengan senyum mengembang lagi.

"Napa senyum-senyum begitu... Lumayan kalo cantik... Ini cantik kali... Hi hihihi..." guyonku yang membuatnya makin tersenyum. Eh... Ada yang nelpon lagi. Orang rumahku nelpon... "Halo, ma?"

"Halo, pa? Ada Lisa di situ, gak?" tanyanya tanpa basa-basi apapun.

"Ada... Tapi ini kami lagi di lapangan... Agak bising..." aku langsung menebak kalo hadiah yang dimaksudkan Lisa tadi sudah sampe di tangan istriku. Menyambung-nyambung berbagai pertandanya dan ini yang paling masuk akal. Aku menunjuk-nunjuk HP-ku pertanda istriku sedang mencari-cari dirinya.

"Kasihkan HP-nya ke Lisa, pa... Dari tadi mama nelpon dia gak diangkat-angkat... Minta didamprat tuh si tetek besar..." sepertinya istriku cukup emosi. Lisa menggeleng-geleng menolak menerima HP-ku.

"Ada apa sih, maa? Lisa kenapa lagi? Kenapa emosi begitu?" aku mencoba menenangkan dirinya. Ini rasanya kek aku punya binik dua aja. Binik tua sedang berusaha mendamprat binik muda yang membuat masalah.

"Masak dia mengirim mobil ke rumah, pa... Kata orang dealernya ini kiriman dari si Lisa... Kan kurang ajar si Lisa membelikan mama mobil? Yang dipikirnya kita gak bisa beli sendiri..." cerocosnya diseberang sana. Mobil? Aku langsung beralih ke Lisa yang menahan tawanya dengan gesture YES! YES! beberapa kali dengan tangan terkepal.

"Mobil, ma? Nanti salah kirim?... Mungkin maksudnya untuk dia sendiri, ma?" kataku gak habis pikir. Ini hadiah yang dimaksud Lisa. Aku tau kenapa istriku marah dan ini agak lucu menurutku.

"Orang dealernya bilang ini atas nama mama, kok... Mana si Lisa-nya... Mama mau bilang ke dia... Aku gak bisa bawak mobil... Dasar tetek besar!!" dampratnya di sana. Kupingku sampe panas.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd