Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

Bimabet
Lebih dari satu semester belum apdetan ... Mungkin TS nya sedang punya masalah berat di dunia real life ... Semoga urusan TS segera lancar dan sukses ... Sayang bila kisah ini tidak berlanjut .... Lanjoetkeunnnn .....
 
sungguh cerita yang sangat bagus dan kompleks.aku sampai harus pelan pelan membacanya untuk memahami dan memastikan tidak ada yang terlewat dalam mengerti alur ceritanya yang sering membuat kening berkerut.

good joob and thanks to Subes @fleur_mirage , semoga selalu di berikan keberkahan dengan kesehatan dan rezeki yang berlimpah
 
Chapter 7:

It's All About Persuasion...


KSI Company
Agustus 2017



"Ada bunga lagi?"


Aku mengangguk saat Erik melihat bahwa di mejaku ada sebuah buket bunga segar, menggantikan bunga yang telah lama.


"Sudah seminggu ini kamu menerima bunga di mejamu, dari siapa sih?"

"Entah ya, penggemar rahasiaku, mungkin."

"Ayolah, masa kamu nggak tahu sih siapa yang ngirim?"

"Ya, emangnya kenapa? Kepo amat."

"Nothing I just..."



Aku menatap Erik, menunggunya menyelesaikan kalimatnya, namun seperti biasa, dia mengurungkan apa yang akan dia katakan. Sial, padahal aku benar-benar ingin dia mengatakan sesuatu.


"Kenapa sih? Kamu cemburu?"


Erik tak menjawab, namun belum beranjak, sepertinya dia tengah menimbang-nimbang perkataan apa yang tepat untuk menjawab pertanyaanku itu tanpa membuatku berpikir secara salah. Ya, Erik memang selalu begitu, sama sekali berbeda denganku atau Metta yang langsung bisa ungkapkan apa yang ada dalam pikiran kami.

Oh ya, semenjak terakhir kami bertengkar di ruangan itu, kurasakan bahwa Erik agak menjaga jarak denganku. Oleh karena itu, sebagai respons, aku pun menjaga jarak juga darinya. Kami masih bertegur sapa, tapi dalam kapasitas dia sebagai bujang dan aku sebagai daeri. Beberapa kali bahkan kulihat Erik seperti menahan diri saat ingin mengomentari sesuatu, tak seperti dulu yang dia bisa bebas melakukannya, contohnya seperti soal bunga ini. Aku yakin banyak yang ingin dia katakan, tapi dia memilih tak mengungkapkannya secara gamblang.


"Udahlah, ngomong aja kenapa, sih?"

"Beneran nih, boleh ngomong?"

"Iyaa, ngomong aja."

"Itu bukan dari penggemar rahasia, kan? Kamu tahu kan siapa yang kirim?"

"Iya, aku tahu, emangnya kenapa?"

"Terus?"

"Ya, nggak ada terusannya."

"Kamu nggak mau kasih tahu aku siapa orangnya?"

"Ngapain? Emang apa hubungannya ama kamu?"

"Ya, aku peduli lah, sama kamu."

"Peduli dalam hal apa? Emang kita ini ada hubungan apa sih, Rik, selain atasan ama bawahan?"

"Gimana kalau ternyata dia bukan orang baik buat kamu?"

"So what? This is my choice. Sama kayak ketika kamu mutusin buat milih nikah sama Metta. Emangnya pas itu keberatanku kamu gubris?"

"Ya... Ya, itu beda kasus, Rin!"

"Beda kasus gimana, sih? Ini itu sama, Rik. Kamu udah nikah sama Metta, jadi kamu udah nggak bisa lagi aku milikin, lalu salah gitu kalau aku milih bareng sama cowok lain yang bisa aku milikin? Tell me that I'm wrong, Erik?"



Erik kembali hanya bisa menghela nafas. Sudah kuduga, dia tak bisa menjawabnya. Aku tak pernah tahu bagaimana posisiku di matanya. Sepertinya aku cukup penting hingga dia tak mau melepasku, tapi juga tidak cukup penting hingga dia lebih memilih bersama Metta, and I hate to be in this position. Mungkin cowok menganggap ini adalah sebuah arrangement terbaik, tapi itu terlalu egois bagi mereka dan kami para cewek tak suka ada di posisi itu, meski kebanyakan tak punya pilihan. Tidak, bukan aku...


"Aku cuman nggak nyaman aja kalau nggak tahu orangnya. Kalaupun kamu mau sama orang lain, at least aku bisa tenang kalau kamu sama orang yang baik."

"Udah deh, berhenti bersikap begitu dan tolong hormati keputusanku, okay?"

"Ya sudah, terserah kamu sajalah."



Aku tahu ekspresi itu, ekspresi yang sudah amat kukenal. Erik sudah tak ingin lagi membahasnya, jadi, ya sudahlah. Lebih baik menghentikannya di sini, karena kalau kupaksa, salah-salah bisa memancing kemarahan Erik, dan entah kenapa aku nggak mau itu terjadi.


"Oh ya, tolong materi untuk ke Singapore segera dikirim ke email-nya Jessica, ya."

"Koq dikirim ke email Jessica? Bukannya mending aku bawa saja langsung sekaligus aku persiapkan buat nanti."

"Change of plan, CEO Park mau yang ikut cuman aku dan beberapa manajer teritorial. Kecuali Jessica, tidak boleh ada daeri lain yang ikut, jadi semua materi harus diserahkan ke Jessica."

"Lho? Koq gitu?"

"Aku nggak tahu, ini ada di newsletter para manajer teritorial."

"Wait, koq diubah seminggu sebelum pelaksanaan? Jangan-jangan ini akal-akalan kamu karena marah kita nggak ngomong-ngomong selama beberapa minggu ini."

"Ya ampun, ngapain sih, Rin, aku berbuat begitu?? Ini perintah dari CEO Park langsung, apa mau aku forward email-nya??"



Aku menatap Erik. Ya, Erik bisa jadi apa saja, tapi tidak profesional bukan salah satunya. Apa pun masalah personal di antara kami, perkara pekerjaan, Erik selalu bersikap profesional. Duh, kenapa ya aku jadi seperti ini, meragukannya, menuduhnya yang tidak-tidak, bahkan mulai melawannya? Padahal dulu aku selalu menurut pada Erik dalam urusan apa pun karena memang Erik selalu bisa diandalkan, selalu punya rencana, dan selalu tahu batasan. Ya, kami memang bertengkar beberapa kali, tapi tidak dalam hal aku tiba-tiba menuduhnya atas sesuatu yang sebenarnya aku tahu dia tak mungkin melakukannya. Karena aku pun tahu bahwa bila ada sesuatu yang paling tak disukai oleh Erik yaitu dituduh atas sesuatu yang tak dia lakukan.

Tapi kenapa ya, aku melakukan itu? Apa karena kini sudah ada orang lain yang memperhatikanku sehingga aku mulai mengkritisi dan membandingkan dia dengan Erik? Agak terlalu awal untuk dikatakan, karena yang dia lakukan adalah memberi bunga untukku, hampir setiap hari. Pokoknya setiap kali bunga di mejaku hampir layu, dia pasti akan menggantinya dengan yang baru. Namun itu yang terlihat. Yang tak terlihat adalah dia pun aktif mengobrol denganku di sosmed, terutama di malam hari. Dari dialah aku mendapatkan ketenangan, bisa mencurahkan segala uneg-unegku, hal yang dulu biasa kulakukan bersama Erik, namun kini sudah tidak bisa lagi setelah dia menikah, or setidaknya, sudah tak bisa seintensif dulu lagi.

Jadi, siapakah dia sebenarnya?


Seminggu Kemudian


"Gila lo, ngajakin makan di tempat kayak gini, gak boncos duitmu??"


Anin hanya tertawa saja mendengarku mengungkapkan kekhawatiranku.


"Udah, tenang aja sih, Kak. Duit bisa dicari, tapi kesempatan kita hang out dan bonding kayak gini susah, apalagi aku baru balik dari Perth."

"Kayaknya kamu keseringan baliknya deh, tiap libur semester bisa aja balik beberapa kali. Ntar ayahmu protes bayarin tiket pesawat Jakarta-Perth terus-terusan."

"Justru Ayah yang suruh aku balik sering-sering. Lucu sih, emang, padahal dia kan bukan ayah kandung ya, but he cares to me alot, more than my own father was. Mirip lah ama Papa Handi."



Aku hanya tersenyum saja mendengar nama ayahku disebut. Oh ya, pada saat ini, ibu Anin sudah menikah lagi dengan temannya waktu SMA yang namanya biasa aku sebut dengan Om Peter. Mereka menikah beberapa bulan sebelum Anin pergi kuliah ke Perth, namun Anin sudah lama mengenalnya, karena si Om Peter ini yang banyak membantu Anin dan ibunya saat mereka dilanda banyak kesusahan pasca meninggalnya ayah Anin dulu.


"Padahal dulu kamu nggak suka ama Om Peter."

"Ya, dulu... Soalnya namanya hampir mirip ama nama Papa, makanya gak suka aja. Lagian saat itu, I'm still my daddy's girl, jadi pas Mama perkenalin Om Peter ke aku, ya aku ngerasa Om Peter itu bakal gantiin Papa, dan aku nggak suka, makanya aku dulu sering kabur dari rumah, malahan sampai ke Semarang."

"Yang waktu itu kamu..."



Anin mengangguk.


"Anyway, Om Peter juga banyak ngebantu pasca kejadian itu. So, I'm like finding my dad again. Jadi ya aku ngedukung pas akhirnya Mama bilang mau nikah ama Om Peter... Eh, wait, harusnya aku bilangnya Papa Peter ya."

"Iyalah, dia udah jadi bapak kamu sekarang, Nin."

"So, how's things?"

"Yaa, begini-begini aja lah. Kerja di KSI itu dibilang berat ya berat, enggak ya enggak. Kerjaannya sih bisa aku handle, politiknya yang ampun-ampunan. Apalagi..."

"Yes, I know, aku masih sedih gak bisa datang pas Tante Mala meninggal."

"Mau gimana lagi? Kamu lagi ujian, kan?"



Beberapa bulan lalu memang ibuku baru saja meninggal, jadi hingga hari ini aku masih merasa amat emosional akibat duka kehilangan ibuku. Mungkin sikap emosionalku ini bisa menjadi alasan kenapa aku jadi agak ketus dengan Erik sekarang, meski saat dia tak sedang menyalahiku. Mungkin juga itu bentuk pelampiasanku karena sedang berduka. Apalagi saat ibuku meninggal, Anin, yang biasanya jadi sasaranku untuk curhat dan paling bisa menenangkanku, sedang ujian di Perth, sehingga dia tak bisa langsung pulang ke Jakarta.


"Okay, enough of me. Let's talk about you. Itu bunga dari siapa sebenernya? Kamu kan janji mau kasih tahu kalau kita ketemu."

"Hehehe, someone."

"Bukan si Erik itu, kan?"

"Bukan, ini bunga dari Kim Young-chul, direktur aku di kantor."

"HAH!??"



Anin terkejut dan mengeluarkan suara keras hingga semua orang menoleh ke arah kami. Aku pun memberi isyarat agar dia tak terlalu berisik.


"Gila lo ya, koq bisa-bisanya deket ama direktur??"

"Ya, awalnya nggak sengaja sih, Nin. Jadi kita ketemu pas aku lagi rapuh-rapuhnya, ngobrol, chattingan, ya udah, lalu dia jadi sering kirim bunga."

"Gila, jadi kamu pacaran ama dia, Kak?"



Aku hanya mengangkat bahu.


"Terlalu awal sih buat bilang kalau ini pacaran, kami cuman sering curhat doang. Dia juga sering beliin aku bunga atau hadiah, incognito, tapi aku tahu lah kalau dia yang ngirim."

"Ya, kenapa nggak kamu pacarin aja, Kak? Kan lumayan, udah tajir, orang Korea pula."

"Hei, dia nggak kayak boyband Korea, ya. Orangnya udah tua, 50 tahunan ada kali."

"Jelaslah, tajir gitu. Paling gak secara finansial masa depan aman, lah."

"Iya sih, kalau pure pake logika ya begitu, tapi masih banyak yang aku pikirin, Nin."

"Banyak, atau cuman satu? Empat huruf, inisial 'E' belakangnya 'K', dan sudah di pikiranmu sejak entah kapan?"



Toucher! Memang hanya Anin yang bisa tahu apa yang kupikirkan. Seperti dia bilang, secara logika, berpacaran dengan Direktur Kim akan memecahkan hampir semua masalahku. Finansial, pasangan, juga supaya aku bisa menjaga jarak dari Erik. Masalahnya adalah, seperti juga yang dibilang oleh Anin, bahkan aku pun tidak bisa melepaskan Erik. Aku selalu mencintai Erik, dan hanya dia yang ada di hatiku meskipun dia kini sudah menikah dengan Metta. Meski berkali-kali aku menolak Erik, berkali-kali pula hatiku amat menginginkannya.


"Lagi pula, aku nggak yakin kalau Erik bakal terima misal aku pacaran sama Direktur Kim."

"Why? Apa ada sesuatu?"

"Anggep aja gini, aku sih berharap bisa deket ama Direktur Kim biar kami bisa punya sekutu yang kuat."

"Wow, political marriage, ternyata. It's okay, sah-sah saja, The Habsburgs did it too. Tapi aku duga, hatimu pasti menolak soal ini."

"Iya, kayaknya nggak adil aja kalau aku nikah sama Direktur Kim cuman demi pelarian dari Erik, nggak adil buat Direktur Kim juga."

"Iya sih... Lalu kenapa kamu ngerasa Erik gak setuju?"

"Well, kayaknya Erik masih unsure soal Direktur Kim. Kamu inget kan yang dulu pernah aku ceritain ke kamu?"

"Uh-huh, inget. Both of you against the Evil Company of KSI. Logically sih wajar kamu cari sekutu, tapi apa kamu pernah mikir kenapa si Erik itu masih jaga jarak dari dua orang itu, siapa dulu kamu bilang? Direktur Kim dan CEO Park?"

"Yes. Tapi maksudnya mikir gimana? Selama ini Direktur Kim banyak membantu kami koq dalam hal-hal kecil, so wajar dong kalau aku nganggep dia bisa dipercaya."

"Wajar, dan nggak salah, tapi kalau si Erik ini masih mau jaga jarak, artinya ada sesuatu yang off."



Aku lalu menatap mata Anin dengan agak curiga. Apa yang dikatakan oleh Anin ini benar-benar mirip dengan apa yang dikatakan oleh Erik. Ini juga bukan pertama kalinya Anin mengambil sudut pandang sebagaimana apa yang ada di pikiran Erik.


"Aku bingung deh, koq kamu bisa sih mbelain si Erik?"

"Mbelain gimana?"

"Yang kamu omongin barusan mirip banget ama Erik. Dia juga pernah bilang kalau dia masih nggak yakin ama Direktur Kim."

"Oh, kan aku udah pernah bilang, I can see both sides of something. Dan dalam kasus ini, aku mempertanyakan kenapa after all these years, Erik masih belum sepenuhnya percaya ama Direktur Kim."

"Why?"

"Ya nggak tahu, kan aku bukan si Erik. Tapi kalau Erik aja bisa masih belum percaya ama Direktur Kim, pasti ada sesuatu."

"Koq kamu bisa mikir gitu?"

"Hei, kamu udah berapa lama temenan sama aku? Aku sudah denger cerita soal si Erik dari beberapa tahun lalu, and you always told that in details, so, kalau semua cerita kamu soal si Erik itu bener, berarti Erik punya alasan buat belum sepenuhnya percaya ama Direktur Kim."



Aku mendengus. Ya, aku memang sering cerita soal Erik kepada Anin, bahkan semenjak awal aku bertemu lagi dengannya di ASV. Banyak yang sudah kuceritakan padanya, perasaanku, kekagumanku pada Erik, sampai-sampai aku sendiri pun lupa apa saja yang pernah kukatakan padanya. Aku tahu Anin memang lumayan genius dan pintar dalam mengingat detail, namun terkadang aku terkejut juga dengan berapa rinci semua yang telah dia ingat itu. So, Anin itu seperti counterbalance setiap kali aku ragu atau kesal pada Erik.


"Katanya, semuanya seperti ditunjukkan dengan terlalu terbuka, bahwa Direktur Kim adalah orang baik yang tersia-sia, dan CEO Park adalah sekutu dari si jahat. Seolah-olah semua sudah diatur agar kami bisa melihatnya seperti itu."

"Uh-huh."

"Kamu koq kayak nggak kaget gitu?"

"Well, kalau Erik memang seperti yang sering kamu ceritain ke aku, ya wajar saja dia mikir gitu. Lagian, seperti rata-rata drama Korea, there's always plot-twist after 12 episodes."

"Maksudnya?"

"Begini, look, drama Korea itu rata-rata terdiri dari 16 episode yang paling pendek. Kita bisa skip 4 episode pertama karena basically nggak penting and we can still follow the show without those. Episode 5 sampai 10 itu eskalasi masalah sama yang aku sebut sebagai 'antagonist one', episode 10 sampai 12 ini biasanya baru diperkenalkan tokoh yang disebut 'antagonist two', and for almost always, si 'antagonist two' ini adalah musuh yang sesungguhnya. Nah, si 'antagonist one' ini, setelah episode 12 bakal relegated, entah dia jadi temennya si protagonis, jadi insignificant tritagonis, or disappeared entirely from the show, makanya aku bilang bahwa semua plot-twist itu bakal muncul setelah episode 12. Sementara episode 13-14 adalah reintroduksi yang aku sebut sebagai 'the real conflict', karena konflik pada episode 13-14 itu lebih gede bahkan daripada episode 5-10. Semua itu bakal berpuncak pada episode 15, atau episode penultimate. Pada episode 15 ini semua masalah bakal diselesaikan, at the very least, 95 percent of them. So, kalau ada episode yang sama sekali nggak boleh dilewatkan itu adalah episode 15, karena biasanya summary dari semua episode awal bermuara dan berakhir di sini. Episode 16 atau episode terakhir biasanya hanya antiklimaks dari episode 15, tapi masih layak diikuti, karena pada episode 16 ini ada aftermath dari semua yang sudah terjadi, bagaimana semua tokoh yang masih tersisa menjalani hidup setelah semua yang terjadi, of course, if you're not into those things, you can skip episode 16 entirely."

"Ini apa? Panduan mengikuti drama Korea?"

"Boleh dibilang begitu. Mau sebanyak apa pun episodenya, biasanya formulanya sama. The tricky question is to know which episode are you in right now, karena dalam real life, nggak ada yang namanya program acara."

"That was absured."

"Hei, call it what you want. Tapi, I kinda notice something."

"Apa?"



Anin balas menatap mataku, seolah berusaha menggali jauh ke dalam hatiku. Tatapan itu entah kenapa selalu membuatku tidak nyaman, walau Anin memiliki mata yang indah.


"Dulu, setiap kali kamu bicara soal Erik, kamu selalu penuh kekaguman, as if he was someone so special."

"Lalu sekarang?"

"I don't know... Kayaknya sebagian antusiasme itu udah ilang. Kamu udah nggak ngomong biasa ama Erik berapa lama, Kak?"

"Sejak dari dia nikah... Setelah itu aku kayak mbatesin supaya kita ngobrolnya cuman sebatas kerjaan aja."

"Including when Mom died?"

"Iya... Dia telepon beberapa kali, tapi aku nggak angkat."

"Huh... Figured..."

"Kenapa?"

"Selama itu ada kekosongan di hati kamu karena kamu membatasi diri dari Erik. Kebetulan ada orang masuk dan coba mengisi, dan orang itu adalah Direktur Kim."

"Oh ya? Sotoy kamu."

"Hey, in terms of relationship, I have the experience... Tapi entah kenapa, itu justru bikin kamu tambah merindukan masa-masa sama Erik, hence, you resent Erik more and more. Kayak kamu ngerasa, when you hate him enough, you'll be able to forget him, tapi ya kayak ngisi ember bocor sih, selamanya nggak bakal penuh, jadinya malah kamu semakin kosong, semakin merindukan Erik."



Aku termenung mendengar perkataannya.


"So, maksud kamu, dengan aku sering ngobrol sama Direktur Kim, itu justru bikin aku tambah..."

"Uh-huh."

"Nggak mungkin ah..."

"I told you."



Tiba-tiba notifikasi pesan pada hapeku berbunyi. Aku melihatnya dan tampak terkejut dengan isinya.


"Siapa? Direktur Kim?"

"Hah? Koq kamu tahu?"



Anin hanya tersenyum penuh arti tanpa menjelaskan ada apa di balik senyuman itu. Kadang-kadang aku takut dengan Anin saat dia bisa membacaku dengan begitu gamblang. Namun sekali lagi, aku beruntung bahwa Anin adalah sahabatku.


"Omo..."

"Kenapa?"

"Dia ngajakin kencan, gaes."

"What? Kapan??"

"This weekend. Nggak tahu di mana sih, tapi dia bilang candlelight dinner gitu..."

"Hmm, he's asking for sex kalau gitu."

"Ah, masa sih? Tapi dia kan udah tua, Nin."

"Hei, back in my days, most of my most royal clients are senior member of society. Cuman karena usianya udah paruh baya, bukan berarti dia nggak punya nafsu. Apalagi kamu cantik, dan kamu beneran dedicate yourself to Erik all this year, so pasti menarik perhatian banyak cowok, dan kebetulan Direktur Kim yang bisa ndeketin."

"Duh, aku jujur nggak tahu kudu gimana deh, Nin. Di satu sisi aku tertarik juga, tapi koq kalau pergi ama dia kayaknya salah aja."

"Want my advice? Terima aja ajakannya, kalaupun dia emang ntar ngajakin ML, ya udah, jalanin aja."

"Nin! Ngasih saran koq ngawur gitu, sih??"

"Hei, kamu udah dewasa ya, udah kenal kontol juga, udah bukan virgin juga, at your age, why care such of things? I'd say f*ck him, lalu cari tahu bagaimana perasaanmu setelah itu. After all, kayak yang selalu aku yakini, seks itu the best way to get into your own heart."

"Gila lo!"



Anin tertawa saja lalu menyesap sedikit minumannya.


"But seriously, emangnya Erik itu satu-satunya, ya?"

"ML, iya, satu-satunya, tapi kalau BJ dia yang pertama dari tiga orang."

"Hmm."

"I sounded like a slut ya?"

"Enggak sih, terlalu sedikit buat dibilang slut. Tapi ya at least kamu nggak awam-awam banget sih, ya."

"So, what should I do? Should I say yes?"

"You know, dalam dunia perkhilafan ada sebuah pepatah bahwa 'lebih baik menyesal melakukan daripada menyesal tidak melakukan', dan ini sama aja."

"Lo itu beneran gila ya. Ya udah, terima aja nih?"

"Terima aja, and see it from there."

"Okay."



Aku lalu mengirim persetujuanku kepada Direktur Kim, dengan nada tulisan yang berbunga-bunga untuk menunjukkan bahwa aku menantikan pertemuan ini, meski masih ada keraguan dalam hatiku. Apakah dengan ini berarti aku mengkhianati Erik? Tapi Erik bukan milikku, jadi apa yang kukhianati? Entahlah, mungkin benar kata Anin, supaya aku mencari tahu apa yang sebenarnya sedang kurasakan pada Direktur Kim, dan itu hanya bisa terjadi dengan menerima ajakan kencannya.

Selesai mengirim pesan, aku mendongak, dan saat itulah aku melihat sesuatu, or lebih tepatnya, seseorang. Dia memang berusaha untuk menutupi wajahnya dan berjalan dengan seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu, dengan gaun yang boleh dibilang cukup seksi, tapi aku tahu bahwa itu adalah Metta, istri Erik. Entah bagaimana dia bisa melewatiku saja seolah tak sadar bahwa aku sedang ada di sini. Buru-buru aku segera memberikan hapeku pada Anin yang memang duduk di depanku.


"Apaan??"

"Ganti ke video, pura-pura aja lagi selfie atau apa, tapi tolong rekamin cewek pake gaun merah yang baru aja lewat tadi."

"Hah??"



Meski agak gelagapan, dengan cepat Anin pun melaksanakan perintahku.


"Kelihatan?"

"Iyaa, kamu mau di sini aja buat lihat?"

"Jangan! Dia nggak boleh tahu kalau aku lihat dia."

"Hah? Emangnya dia siapa sih, Kak?"

"Itu Metta, istrinya Erik."

"Ah?? Serius?? Tapi bukannya Erik lagi ada di..."

"Singapore, yes, I know."

"Lalu dia di sini ngapain?"

"Aku juga pengen tahu, apalagi gaunnya seksi banget kalau cuman buat ketemu ama temen doang."

"Oh, dia masuk ke ruangan VIP."

"Ada orang di sana?"

"Ada, tapi kayaknya cowok pake baju item. Oh, pintunya sekarang ditutup."



Anin menghentikan rekamannya lalu memberikannya kepadaku. Segera saja kubuka hasilnya, kemudian mencoba zoom pada orang yang ada di dalam, tapi gagal karena gambarnya terlalu kabur bila di-zoom. Ditambah lagi mood lighting pada restoran ini tidak begitu ramah bagi kamera hape semacam ini.


"Kenal?"

"Cowoknya sih enggak, tapi yang cewek jelas Metta."

"Cuman ada satu cowok aja lho, dia itu temen apa keluarganya?"

"Nggak ngerti. Tapi keluarga sih bukan, orang Metta itu anak satu-satunya, koq."

"Or yang kamu pernah cerita dulu, siapa itu, Adam?"

"Mungkin, tapi kayaknya beda ah. Lagian si Adam itu orangnya narsistik, dia pasti bakal ketemu ama Metta di ruang umum, bukan ruang private macem gitu."



Anin hanya mengangguk-angguk saja.


"Mau aku rekamin lagi kalau ada yang masuk lagi atau kalau dia keluar?"

"Yes, please."

"Okay, pesen satu course lagi kalau gitu."



Kami lalu memesan satu course lagi sambil Anin memegang hapeku. Aku kadang-kadang agak ngeri kalau Anin begitu, bukan karena duitnya, I can pay for the whole meal, tapi ngeri aja ngelihat dia kalau makan beneran sampai banyak gitu. Tapi yang bikin kesel adalah kalau aku harus jaga makan biar lemak nggak menumpuk, Anin ini mau makan berapa saja badannya bisa tetep langsing gitu, apalagi pinggangnya, yang beneran bisa kelihatan kecil sampai-sampai aku curiga dia praktik "wasp waist", tapi Anin sendiri bilang bahwa soal pinggang kecil emang sudah turunan dari keluarganya dia. I know this for sure, karena aku memang pernah ketemu sama keluarganya.


"Hold on, ada cowok masuk ke dalam."

"Cowok? Siapa?"

"Wait... Oke, coba dilihat."



Anin memperlihatkan rekamannya, dan ada cowok dengan setelan warna putih masuk ke dalam. Aku terhenyak hingga menarik nafas amat dalam, karena walau dari belakang, aku bisa tahu siapa orang itu.


"Itu Steven Theo."

"Hah? The bad guy?"



Aku mengangguk.


"Koq bisa dia muncul di situ?"

"Steven itu temen sekolahnya Metta. Dari yang aku tahu, kayaknya Metta satu-satunya yang oblivious kalau si Steven ini evil person."

"Oh gitu, antara terlalu lugu atau dia memang orangnya terlalu baik."

"I'd say Metta emang orangnnya terlalu baik. Lugu sih enggak, dia pinter koq, one of the brightest person I ever knew. Pokoknya kerjaan kalau udah di-handle ama dia beneran jadinya like a clockwork. Kayaknya nggak banyak orang macem dia, bahkan di KSI sekalipun."

"Kamu juga begitu, kan? You are also the brightest person I know."

"Masih lebih cepet dan sat set dia sih, Nin."

"Ya karena dia udah lebih dulu masuk KSI, udah pengalaman. Coba aja setahun atau dua tahun lagi, kamu juga bisa secepet dia."



Aku hanya mengangkat bahu saja.


"Tapi ya, mungkin kayak kamu bilang, dia itu orangnya genius dalam pekerjaan, tapi mungkin inexperienced dalam hubungan terutama percintaan."

"Inexperienced gimana? Udah beberapa kali dia selingkuh itu sebelum nikah."

"That doesn't make her to become experienced. Kenyataannya dia bisa aja jatuh berkali-kali di tempat yang sama, karena memang dia nggak ahli dalam bermanuver pada bidang itu."

"Like now?"

"I won't jump into conclussion yet."

"Kenapa?"

"Kalau dia udah pernah berkali-kali selingkuh, dia nggak bakal masuk dengan cara kayak orang ketakutan gitu. Sembunyi-sembunyi iya, tapi ketakutan harusnya enggak. Aku sih curiga, siapa pun yang ada di dalam ruangan VIP itu sebelum si Metta masuk, dia pegang sesuatu yang mengerikan, bukan buat Metta, tapi mungkin buat orang-orang yang ada di sekitar Metta."

"You mean, she's being blackmailed?"

"Maybe, or mungkin aja dia emang cuman lagi selingkuh dan nggak mau ketahuan aja karena, siapa tahu, temen-temen atau sodara-sodaranya ternyata sering mampir di sini."

"Apa kudu kita labrak?"

"Nggak usah, kita cuman berdua, susah buat kita ngelawan siapa pun yang ada di dalam. Kamu harus kasih tahu Erik soal ini secepatnya."

"Kenapa?"

"Ya, ini domainnya dia sebagai suaminya Metta, Kak. Seriously, you need to stop your silence with him and talk to him more, apalagi setelah ada perkara ini."

"Tadi kamu nyuruh aku kencan ama Direktur Kim, sekarang nyuruhnya ngobrol sama Erik, gimana sih?"

"Itu bisa berjalan bersamaan, kamu aja yang mengira keduanya harus dipisah."

"Hah? Gimana maksudnya?"

"Belajar ya, Kakakku sayang. Kamu emang perlu cari tahu gimana perasaanmu pada Erik dan Direktur Kim, tapi ingat kalau Erik saat ini membutuhkan kamu dalam usahanya, semakin lama kamu menahan informasi darinya, efeknya bisa parah, karena mungkin ada sesuatu yang bisa Erik lakukan bila dia memang bisa tahu saat ini juga."



Aku mendengus. Ya, nggak salah sih apa kata Anin. Erik hampir selalu bisa mencari pemecahan masalah apa pun, namun syaratnya, dia harus tahu soal apa pun sesegera mungkin. Semakin lama dia tidak tahu, maka ketika tahu, langkah yang dia ambil biasanya akan makin ekstrem. Tapi, entahlah, mungkin ini hanya ego pribadiku, tapi bila memang benar Metta saat ini sudah selingkuh, entahlah, mungkin aku nggak pengen Erik memperbaiki masalah ini. Mungkin yang aku inginkan justru supaya Metta terjebak lebih dalam sehingga ketika akhirnya Erik tahu, semuanya sudah terlambat, lalu pernikahan mereka hancur, lalu Erik akan kembali padaku. Hei, ya, itu bukan ide yang buruk... Sama sekali bukan ide yang buruk.


==========


Malamnya...


Hari sudah hampir tengah malam, dan aku masih diam di ruang utama rumahku yang terlihat kosong ini. Baru beberapa tahun lalu aku selesai membiayai renovasi rumahnya, untuk kutempati bersama ibuku, dan setelah dia meninggal, kini hanya aku yang tinggal sendiri beberapa bulan ini, dan rumah ini pun menjadi terlalu besar bagiku. Dulu aku selalu berharap bahwa pada usiaku sekarang aku sudah menikah, punya anak, dan... Ah, tahu begini aku tak akan memperbesar rumah ini, cukup memperbaikinya saja, setidaknya cukup untukku sendiri... Well, sebenarnya tidak sendiri juga sih, karena...


"Hayo! Ngalamun!"


Anin mengejutkanku. Lebih terkejut lagi karena dia menggunakan semacam lingerie warna biru dan pink yang sebenarnya cukup seksi. Ya, Anin memang lebih suka tinggal di rumahku daripada ke rumah orang tuanya. Dia selalu bilang bahwa ibunya baru saja menikah lagi, jadi dia akan memberikan lebih banyak ruang bagi pengantin baru itu untuk mengalami romansa, karena dia tahu bagaimana perjuangan ibu dan ayah barunya, Om Peter, sebelum akhirnya mereka bisa menikah.


"Dasar kamu sukanya ngagetin aja!"

"Abisnya kamu diem aja gitu, kayak orang ngalamun. Mikirin apa sih, Kakakku?"

"Soal yang tadi sih, Nin."

"Yang tadi? Soal si Metta itu?"

"Iyaa, apa aku kudu ngobrol ama Metta ya?"

"Boleh aja, tapi itu nggak wajib, justru yang wajib harusnya kamu ngobrol ke Erik."

"Bukannya kalah Metta adalah korban dia harus dikasih kesempatan membela diri, ya? Lagian, buat aku, si Metta udah kayak kakak sendiri, jadi mending aku ngomong ama dia duluan."

"Iya, tapi balik lagi, ini domain si Erik, dia harus bisa memutuskan pada saat ini mengenai situasinya. Semakin lama ditunda, takutnya keadaan bakal makin tambah parah."

"I know, Nin, I know... Tapi... Besok aku udah ambil cuti, tolong anterin aku ke tempatnya si Erik ya."

"So, kamu mau bicara ama Metta soal malam ini?"



Aku mengangguk.


"Nggak apa-apa, kan?"

"Jujur agak beda dari penilaianku sih, tapi gak apa-apa, besok aku anterin. Mau ditemenin juga gak?"

"Gak usah, ini antara aku sama Metta, lagian kami juga udah lumayan deket."

"Oke, anything for my beloved sister."



Anin kemudian duduk di sofa dan menggelendot kepadaku. Sejak kami bertemu, entah kenapa dia kini akhirnya menjadi lebih mirip seperti adikku. Kami sama-sama anak tunggal sebenarnya, tapi aku lebih tua. Mungkin itulah yang membuatnya menganggapku sebagai kakak, walau awal kami bertemu memang agak salah paham.


"Tumben pake baju seksi banget."

"Halah, Kak, di rumah ini, adanya cuman kamu juga. Kapan lagi? Lagian ini aku beli di Aussie, lho, bagus kan?"

"Bagus, bikin kamu jadi tambah seksi kalau gini."

"Cantik nggak?"

"Iyaa, cantik."

"Kak Rini suka?"

"Suka lah."

"Oh ya, aku beli satu barang lagi lho, di sono."

"Oh? Apaan tuh?"



Anin kemudian berdiri tepat di hadapanku. Ada yang aneh dari rok lingerie-nya karena terlihat seperti ada sesuatu yang menonjol di sana. Eh, nggak mungkin, Anin kan cewek, masa dia punya...


"Tadaaa!"


Aku terkejut karena tiba-tiba sesuatu yang panjang dan berwarna pink muncul dari sana ketika Anin mengangkat rok-nya. Ya ampun, itu dildo strap! Bentuknya mirip sekali seperti seolah Anin punya kontol. Dia hanya tertawa saja melihatku keheranan.


"Ini apaan lagi, sih?"

"Mainan baru, nyoba yuk?"

"Ih gila ya, kamu? Masa nyobanya ama aku??"

"Ya mau sama siapa lagi?? Hahaha. Ayolah, kamu udah gak virgin lagi, dan pastinya udah lama nggak ngewe ama orang, let's try this."

"Enggak ah, gila, kamu."



Baru aku akan berdiri saat tiba-tiba Anin memegang dan langsung mencium bibirku. Aroma itu, rasa itu, strawberry... Aahh, tiba-tiba saja ingatanku menuju ke awal-awal saat aku dan Anin berciuman pada malam yang sama ketika kami bertemu. Saat itulah aku merasakan ada semacam hawa hangat yang naik memenuhi dadaku, dan jantungku berdebar amat kencang. Anin tertawa saat melepas bibirnya.


"Gila, Kak, jantungnya berdebar-debar banget, lho..."

"Kerasa, ya?"

"Iyaa... Deg-degan... Anget... Empuk..."

"Aaaahhhhhh..."



Aku melenguh karena Anin meremas susuku dari luar dengan amat lembut, namun pas pada bagian sensitifnya. Apalagi saat itu sudah hampir tengah malam, aku biasa sudah mengenakan gaun tidur baby doll dengan tanpa beha sehingga saat diremas dari luar sekalipun akan langsung terasa.


"Keras lho, putingnya... Kamu suka ya?"

"Iyaa, Nin, suka..."

"Udah lama ya, nggak gini?"

"Iyaa... Aaahhh..."

"Mau lagi?"

"Iyaa... Mau... Aaahhh... Ninn..."



Aku benar-benar tak bisa berpikir jernih dalam menjawab, karena permainan Anin pada dadaku benar-benar intens, bahkan dia sampai menyelusupkan tangannya dari atas gaun tidurku dan meremas langsung dadaku, sehingga putingku yang keras ini bersentuhan langsung dengan jari lentiknya. Ketika kukunya menggesek batang putingku benar-benar mengirimkan isyarat bak kejutan listrik ke seluruh tubuh.

Anin lalu kembali menciumku, sambil tubuhnya ditempelkan padaku. Dari sini aku bisa merasakan dildo pink-nya menyentil dan menggesek mekiku yang masih terbungkus celana dalam satin. Aku melenguh, teredam oleh ciuman Anin, namun sepertinya Anin tahu, sehingga dia malah sengaja mengarahkan dan menggesekkan dildonya ke mekiku. Dia pun ikut melenguh saat melakukannya.


"Aaahhhh... Emang kerasa ya, Nin?"

"Aahh... Iyaa, Kak, jadi ini di dalemnya ada dildo vibrator lain yang nancep di meki aku... Aaahhh..."

"Oh gitu..."

"Masukin ya, Kak?"

"Eh, bentar, belum basah..."



Mendengar itu, Anin pun langsung merosot sehingga wajahnya berada pada mekiku, kemudian, tanpa bisa aku cegah, dia langsung melepas CD-ku dan menjilati mekiku.


"Kyaaaaa... Niiiinnnn... Aaahhhhh..."


Aku tak bisa menahan gejolak akibat jilatan Anin itu, hingga akhirnya aku rubuh ke sofa. Anin menaikkan kedua kakiku ke sofa dan merenggangkannya sehingga mirip bentuk huruf "M", sambil terus menjilati mekiku. Lidah Anin lebih kecil daripada lidah Erik, juga sedikit lebih panjang, sehingga Anin bisa menjangkau relung-relung yang tak bisa dijangkau oleh Erik, dan karena Anin juga sama-sama wanita, seolah dia tahu mana-mana saja yang menjadi titik sensitifku.


"Aaaahhh... Niinn... Udaah... Aaahhh..."

"Eh, koq udahan? Yakin nih?"



Anin tertawa seolah menggoda. Ya, di satu sisi aku ingin berhenti, karena meski ini bukan yang pertama, bagiku bercinta dengan wanita, seperti dengan Metta atau Anin, masih kuanggap agak awkward. Namun di sisi lain, ada sensasi yang tak bisa disamai dengan saat aku bercinta dengan Erik. Bercinta dengan wanita itu lebih lembut, dan mereka lebih memahami diri mereka sendiri, namun satu hal yang tidak pernah bisa disamai dengan bercinta dengan pria: sensasi kontol! Bagaimana pun juga, satu sisi diriku tampaknya benar-benar tertarik ingin mencoba bagaimana kalau aku ML dengan wanita macam Anin yang memakai dildo strap.


"Nin... Udah..."


Anin tak peduli dan terus menjilati mekiku hingga relung terdalam. Pikiranku tiba-tiba kosong, dan aku hanya bisa berpegangan pada pahaku yang ditahan oleh Anin supaya terus mengangkang, akibatnya, aku tak punya kekuatan untuk menahan dorongan yang tiba-tiba muncul. Dan karena nafsuku benar-benar sedang naik hingga ke ubun-ubun, aku sampai tidak sempat memperingatkan Anin saat...


"CRUUUTTTT!!!"


"KYAAAAA!!!!"



Anin berteriak keras saat mekiku menyemburkan cairan squirt-nya tepat pada wajahnya. Saking derasnya hingga kudengar Anin seperti gelagapan. Aku sendiri sedang terbuai dalam koma selama beberapa detik, seolah tak sedang berada dalam diri sendiri...


"KAK RINI!!! Bilang-bilang dong, kalau mau squirt!!"


Aku hanya terkekeh saja, tapi tak terlalu menanggapi karena separuh nyawaku seolah masih di awang-awang. Beberapa kali pahaku menegang dan berkedut, dan cairan itu muncrat dari mekiku tersendat-sendat, tidak sederas yang tadi.

Tiba-tiba saja wajah Anin sudah ada amat dekat dari wajahku, dan tangannya memaksa mulutku untuk membuka sebelum akhirnya menyemburkan sesuatu dari mulutnya.

Yucks! Dari baunya, itu bukan ludah tapi cairan meki... Cairan squirt mekiku sendiri!! Aku berusaha memuntahkan atau meludahkannya tapi Anin dengan cepat menutup mulutku, memaksaku untuk menelan semuanya. Yucks! Baunya mirip pemutih atau tuak kelapa, tapi rasanya sebenarnya gurih, hanya saja karena itu sekresi dari mekiku, pikiranku seolah mendikte bahwa itu hal yang jorok!

Aku terbatuk-batuk begitu Anin melepaskan tangannya dari mulutku.


"NIN!! JOROK BANGET!!"

"Lagian siapa suruh squirt gak bilang-bilang?? Rasain tuh squirt-nya sendiri..."

"Uhuuk... Uhuukk... Bleeh... Rasanya aneh, kayak kuah sop."

"Really? Itu baru... Eh, tapi sejak kapan kamu bisa squirt? Kayaknya dulu pas kita ngewe nggak bisa deh..."

"Nggak tahu, pas ngewe ama Erik tiba-tiba aja kayak bisa gitu, abis itu setiap kali orgasme aku kayak squirt terus-terusan."

"Hmm, menarik..."



Anin berdiri kemudian melepas lingerie-nya yang basah kena cairan squirt-ku. Ini membuat tubuh telanjangnya kini terekspos sempurna di hadapanku, kulit yang mulus, dada yang sedikit lebih besar daripada punyaku dengan puting warna cokelat kemerahan, dan pinggang kecil yang menggoda pada perut yang rata. Bila ada yang tertutup, maka itu adalah meki Anin yang disumpal celana dalam khusus dengan dildo di dalam dan di luar. Dildo pink itu tampak menggelantung gemas, tapi tidak bisa bergerak-gerak sendiri seperti kontol asli. Walau begitu, bukan itu yang membuatku menahan nafas, tapi bahwa kulit Anin yang memang sudah bagus kini menjadi tambah mengkilat setelah diguyur oleh cairan squirt-ku tadi.


"Kamu cantik, Nin..."


Pujian itu terlontar begitu saja dari mulutku. Namun Anin memang benar-benar cantik, apalagi pada posisiku yang ada di bawahnya. Kakinya mengangkangiku dengan dildo pink yang menjuntai. Sepertinya ukuran kontol Erik mirip dengan ukuran dildo itu, namun saat itu aku tak berpikir bahwa itu pertanda sesuatu, bahwa mungkin Anin memang kebetulan saja membeli dildo dengan ukuran semacam itu.

Aku secara refleks pun mencoba untuk meloloskan gaun tidurku, menurunkannya hingga ke perut, sehingga kini kedua susuku terbuka dengan bebas di hadapan Anin. Dia melihat kedua susuku dengan tersenyum, dan entah kenapa aku malah berdebar-debar. Tanpa sadar, aku pun menutupi kedua susuku itu dengan tanganku. Anin hanya tersenyum saja. Dia mendekatiku dan berada di atasku, kemudian dengan perlahan dia kembali mencium bibirku. Kali ini ciumannya lebih pelan dan lebih halus serta lebih romantis, sehingga jantungku semakin berdebar tak keruan.


"Jangan ditutupin, dada kamu bagus..." kata Anin.

"Nggak sebagus punya kamu, Nin..."

"Oh, ini?"



Anin kemudian memegang kedua susunya hingga mengacung keras ke arahku. Entah kenapa aku seperti tergiur dan mengeces melihat kedua susu yang indah itu.


"Mau?"


Aku mengangguk, kemudian Anin membungkuk dan menyentuhkan putingnya ke bibirku. Terasa keras dan kenyal saat puting itu menempel di bibirku, disusul dengan tekstur berbintik-bintik yang khas pada areola mungil Anin. Aku membuka bibirku dan menciumi puting serta areola yang digodakan kepadaku, menggunakan lidahku untuk menjilat dan menaut putingnya. Untuk orang dengan ukuran areola mungin, Anin memiliki puting yang sebenarnya agak besar dan keras, bahkan saat biasa pun lebih keras daripada putingku saat horny, karena itu Anin selalu rewel dalam memilih beha, karena bila salah pilih, putingnya bisa menonjol seharian walau sudah ditutupi baju. Anin melenguh pelan saat kusedot dan kutaut putingnya.


"Yess... Iyaa, Kak... Aaahhhh... More... Aaahhh... More, please..."


Aku terus memburu dan bahkan meremas susu Anin yang terasa lebih kenyal. Kusedot dan kukulum, kanan dan kiri bergantian, merasakan tekstur puting keras itu yang terasa unik pada lidahku. Lenguhan Anin seakan menjadi penyemangat untuk mengisap dengan lebih kencang.

Anin kembali menciumku, namun kali ini ciuman yang penuh dengan nafsu birahi. Dengan ganasnya lidahnya pun bermain di mulutku, menjelajahi semua sudutnya, menyapu gigi dan menaut lidah. Aroma nafasnya, basah dan hangat, berpadu dengan aroma tubuhnya, wangi feromon murni yang lebih lembut dan berbeda dari feromon Erik yang lebih tegas. Dadanya ditekankan pada dadaku hingga kedua puting kami saling menempel, dan Anin menggerakkannya hingga terasa sensasi aneh saat puting Anin menggesek putingku. Belum lagi di bawah, kurasakan dildo itu menepuk-nepuk dan menggesek-gesek mekiku yang kini sudah becek.


"Aaahhh... Iyaa, Nin... Terussshhhh... Aaahhhhh..."


Anin menggunakan bibirnya untuk menjumputi inci demi inci leher serta badanku. Dia baru mengisap dengan amat kuat pada bagian yang tertutup pakaian, terutama pada susuku, karena katanya dia selalu gemas melihatnya. Aku melenguh, mendesah, dan megap-megap, sambil kupeluk erat Anin yang tengah menjelajahi tubuhku dengan mulutnya. Bahkan beberapa kali telingaku kanan dan kiri dikulumnya sambil dimain-mainkan dengan lidah, membuatku kegelian dan basah.


"Udah becek banget nih..."


Kulihat jari telunjuk dan jempol Anin di depanku, dan ada seuntai lendir agak bening di antaranya, meregang saat ditarik sehingga kita bisa tahu bahwa itu kental sekali.


"Kentel gini kayaknya jarang dikeluarin ya? Mau dimasukin sekarang, Kak?"


Aku hanya mengangguk saja. Anin pun bangkit, kemudian dia menempatkan dildo itu pada mekiku. Tak seperti kontol asli yang bisa bergerak-gerak atau berkedut-kedut atau berubah tekstur, dildo ini tampak sama dari sejak tadi, Anin menggesek-gesekkan dan memutar-mutarkannya pada lubang mekiku, dan saat melakukan itu, dia sendiri tampak mendesah dengan mata nanar dan bibir bawah digigit. Mungkin saat memainkan dildo di luar ini, dildo pada bagian dalam turut bergerak hingga merangsang meki Anin. Pelan-pelan aku merasa dildo itu mulai masuk dan masuk, hingga akhirnya mulut mekiku terasa menjepit kepalanya, yang terasa licin meski tidak diberikan lubricant.


"Aku masukin ya..."


Anin menarik nafas, karena saat dia memasukkan dildo ini pada mekiku, maka dildo di sebelah dalam pun akan terdorong lebih dalam masuk ke dalam mekinya. Dia seperti menghitung sebelum akhirnya mulai mendorong. Kami berdua sontak pada saat itu juga menarik nafas panjang dan menahannya. Huft... Dildo itu bergerak masuk dengan lebih mulus bila dibandingkan saat aku ngewe dengan Erik, mungkin karena kekerasannya yang lebih konsisten. Sensasi dimasuki kontol pun kembali lagi, dan dari ubun-ubun hingga ujung kaki pun aku merasakan sensasi khas itu. Penuh, sakit, geli, nikmat, semua bercampur menjadi satu. Mekiku kembali meronta-ronta karena lama tak dimasuki oleh kontol. Otot-ototnya memijat-mijat dan mengejan seolah berusaha mengeluarkannya, namun aku tak menemukan sensasi denyutan atau gerakan sebagaimana dilakukan oleh kontol asli yang hidup. Bagiku, itu hanyalah sebuah benda yang masuk, sehingga sensasinya pun agak kurang.


"Huffftttt..."


Pinggulku dan Anin pun bertemu, tanda dildo itu sudah masuk maksimal. Damn, ini jelas mengganjal sekali. Anin tampak mengatur kembali nafasnya, sementara keringat yang membasahi tubuhnya membuatnya semakin mengkilap dan indah. Dia menarik pinggulnya sebentar lalu menghujamkannya lagi.


"AAAHHHHH!!!"


Kami sama-sama menarik nafas.


"Sakit, Nin..."

"I-Iya, Kak, aku juga sakit... Huft... Huft..."

"Pelan-pelan aja ya, Nin..."

"Iyah... Aahhh... Huft... Penuh banget ya, Kak?"



Aku tak bisa menjawab, hanya mengangguk saja, kemudian kutarik kepalanya dan kami berciuman sekali lagi. Anin lalu mulai menggerakkan pinggulnya lagi, dan dildo itu akhirnya mulai terasa hidup menggesek liang mekiku. Agak berat saat Anin melakukannya, mendorong dan menarik, tapi kuduga ini ada hubungannya dengan dildo bagian dalam yang pastinya turut bergeser saat dildo pada mekiku bergerak.


"Hmmpphhh... Hmmpppphhh..."


Anin tampak ingin berteriak, tapi tidak bisa karena aku memagut mulutnya dengan kencang. Tangannya dengan agak kasar dan tidak ritmis meremas-remas susuku, kadang memainkan putingnya di antara jari-jarinya. Saat itulah aku melepas pagutanku...


"Huaaaahhhhhh..."


Anin menarik nafas seperti orang yang baru saja menyelam. Keringatnya terpercik menetes di atas badanku dari rambutnya yang kini lepek. Baru sebentar saja, Anin yang tadi masih belepotan cairan squirt-ku kini sudah basah bermandikan keringat, yang menetes di atas tubuhku. Luar biasanya, dia tidak menghentikan genjotannya, mungkin dia juga sedang mencari sensasi mana yang paling enak bagi dildo dalam mekinya.


"Aaahhhh... Aaahhhh... Enak gak, Kak??"

"Iyaahhh... Enaak, Nin... Kamu??"



Anin hanya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya kalau boleh memilih aku lebih memilih ML sama cowok macem Erik. Yes, Anin memang lebih paham fisiologis meki karena sama-sama cewek, tapi memeluk cewek beda dengan memeluk cowok. Ada aspek mengenai kenyamanan dan perlindungan serta pengayoman yang kudapat dari Erik, tapi tidak saat memeluk atau memegang Anin. Belum lagi, tentu saja, kontol asli jelas berbeda dengan kontol palsu yang dipakai Anin. Tekstur kontol asli memang tidak konsisten, namun itu yang membuatnya menyenangkan. Bagi mekiku sendiri, meremas kontol asli jauh lebih nyaman daripada meremas dildo yang lebih terasa seperti "benda asing dalam tubuh", tak ada denyutan, gerakan, atau rasa hangat yang sama. Entahlah, mungkin Anin pun merasakan hal yang sama, hanya saja karena kami masih sama-sama terpengaruh dopamin dan serotonin, kami tak terlalu merisaukan soal itu. Asli atau tidak, pastinya untuk saat ini, hasratku yang terpendam selama 2 tahun kini sedang dipuaskan!


"Kaaaakkk... Hgggh..."

"Hah? Kenapa? Kamu mau keluar ya??"



Anin tidak menjawab, hanya mengangguk liar. Tumben cepat sekali, biasanya Anin bisa lebih lama daripada ini. Namun antara pengaruh ini atau lainnya, gerakan pinggul Anin pun jadi semakin kencang, dan beberapa kali dildo itu menyodok dan menggesek beberapa titik di dalam mekiku, sehingga aku pun mau tak mau terpengaruh juga untuk bersiap orgasme.


"Kak Rini... juga... mau... keluar??"

"I-Iyaa... Huft... Kerasa ya?"

"Pinggulnya jadi tegang bangeeeet..."



Aku tak merespons lagi karena mulai berkonsentrasi untuk mencapai orgasmeku sendiri. Ritme Anin mulai agak kacau, cepat tapi kacau, berbeda saat aku ditembus Erik, di mana Erik bisa menyesuaikan dengan kondisiku, Anin tak benar-benar bisa merasakan gerakan dari mekiku, ditambah konsentrasinya mungkin pecah karena di saat yang sama dia harus mencapai orgasmenya sendiri dengan dildo pada sisi dalam strap itu. Aku pun akhirnya berinisiatif untuk menggosok klitorisku sendiri dengan tangan. Damn, this is good... Aku memejamkan mata, meresapi getaran dan sengatan geli pada klitorisku yang berpadu dengan gerakan cepat dildo Anin, hingga kurasakan orgasmeku makin lama makin memuncak, tapi...


"Aaaaahhhh... Kaaaaakkkk... Bantu lepasin strap-nya!! Kaaaakkkk!!"


Anin berdiri tepat saat aku membuka mata dan akan membuka strap pada Anin, yang sepertinya juga sudah goyah. Akibatnya, dildo itu terlepas sembari kepalanya menggesek bagian mekiku yang paling sensitif. Karena memang dari tadi orgasmeku sudah hampir berada di ujung, gerakan ini secara otomatis memantik gelombang orgasme itu untuk meledak, seperti menyalakan pemantik pada kondisi penuh bensin, dan...


"KYAAAAA!!!"


Aku berteriak saat orgasmeku menghajarku dengan bertubi-tubi, apalagi otot selangkanganku tak dalam posisi untuk menahannya, sehingga secara refleks aku mencengkeram strap dildo Anin untuk berpegangan.


"SUUUURRRR!!!"


Air squirt pun kemudian menyembur sofa dengan kencang dari mekiku disertai pinggul dan seluruh tubuhku yang berguncang dengan keras. Anin berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, namun kulihat lututnya pun sudah gemetaran. Sepertinya dia juga menahan orgasme namun tak bisa keluar akibat tersumpal dildo. Dengan sisa-sisa kesadaran dan tenaga, aku menyelipkan tanganku pada harnes dildo strap itu, dan...


"KLIIK!!"


"AAAAHHHHHH!!!"



Dildo strap Anin terbuka, dan secara otomatis aku langsung terjatuh hingga bergulingan di lantai, masih berkedut-kedut sambil mengeluarkan cairan. Anin melolong dengan amat kencang saat dildo itu terlepas hingga aku agak khawatir tetangga akan mendengar. Pantas saja Anin bisa melolong sekeras itu, karena berbeda dengan dildo sisi luar yang mulus, bagian dalam ini boleh dibilang bergerigi dan agak melengkung, sehingga mungkin tepat pada G-spot Anin. Karena tertarik oleh momentum jatuhku, Anin pun turut pula jatuh ke lantai. Lagi pula, tangan dan kaki kamu sudah seperti dilolosi tulangnya sehingga tak ada tenaga untuk bertahan atau berpegangan.


"BYUUURRRR!!"


Belum sempat aku bereaksi, giliran Anin yang squirt amat kencang hingga membasahi ke mana-mana, sofa, meja, lantai, bahkan wajahku. Cairan squirt Anin rasanya seperti tuak kelapa, gurih dan menyegarkan, walau baunya agak tajam. Kulihat badan Anin terbanting-banting akibat muscle convulsion, mirip seperti orang yang kesurupan, bahkan kakinya beberapa kali menendangku, yang kini tak punya tenaga untuk menghindar, sehingga kuterima saja tendangan-tendangan itu. Beberapa detik kemudian kami sudah sama-sama terengah-engah, basah, bau, dan berbaring di lantai dingin yang becek oleh cairan hangat kami berdua. Anin kemudian bergerak dengan tenaganya yang tersisa dan memelukku, tidur di atasku dengan menggunakan susuku sebagai bantal.

Badan Anin terasa hangat dan lembut dalam pelukanku. Kucium keningnya dengan hangat, dan kulihat dia tersenyum, kemudian memeluk erat tubuhku seolah tak ingin melepasku. Pada saat ini aku tak peduli apa yang akan terjadi esok hari, karena malam ini, aku hanya ingin menikmatinya bersama Anin.


==========


Akhir Pekan...


Lobby Sebuah Hotel Mewah di Jakarta Pusat



Aku duduk gelisah sambil memegang dan mencengkeram erat tasku. Hari ini aku sudah berdandan dengan cantik, lebih daripada ketika aku pergi ke kantor, juga memakai gaun bunga-bunga yang walau casual tapi bisa dipakai untuk acara resmi sekalipun. Tas dan sepatu pun aku sengaja memakai yang bermerek, yang biasanya tak pernah kupakai, hanya pada situasi-situasi istimewa saja. Pendek kata, hari ini aku sudah sangat cantik. Tapi ke mana aku akan pergi? Jawabannya adalah aku akan berkencan, namun bukan dengan Erik.

Hal ini jelas membuatku agak gelisah serta canggung. Ya, aku merasa saat berkencan dengan orang lain ini aku tengah mengkhianati Erik. Namun bagaimana bisa seperti itu? Erik bukan siapa-siapaku, pacar pun bukan, hanya atasanku saja, lalu kenapa aku merasa saat ini seperti sedang berselingkuh dari Erik? Ah, damn, aku benar-benar gelisah saat ini. Entah ide dari mana, aku kemudian membuka hapeku untuk menghubungi satu-satunya orang yang kurasa bisa menenangkanku dalam situasi gelisah: Erik!

Nada sambung pun berbunyi. Aku menunggu dengan gelisah, bagaimana bila Erik tak mau menjawabnya? Lagi pula semenjak Erik menikah, aku hanya bicara pada Erik mengenai pekerjaan dan rencana yang kami susun saja. Ini sepertinya bakal jadi pertama kalinya aku ngobrol biasa dengan Erik tanpa embel-embel pekerjaan. Jantungku pun berdebar-debar, dag dig dug tidak keruan, hingga...


"Halo, Rin?"

"Ah iya, Rik... Maaf tiba-tiba nelpon. Kamu lagi apa?"

"Aku lagi di Changi nih, siap-siap mau balik ke Jakarta."

"Oh, jam berapa pesawatnya?"

"Harusnya satu jam lagi sih, ini sudah boarding, tinggal nunggu gate dibuka aja."

"Semuanya lancar di Singapore?"

"Syukurlah semuanya lancar. Nanti di kantor aku kasih tahu hasilnya, pokoknya semuanya beres dan terkendali, dan yang paling penting lagi, Divisi 2 bakal jadi penanggung jawab untuk akun Singapore ini."

"Wah, syukur ya, akhirnya nasib Divisi 2 bakal cerah."

"Iya, doain aja lah. Omong-omong tumben kamu telpon? Apa ada masalah di sana? Semua baik-baik saja, kan?"

"Oh, baik, Metta juga baik."



Aku berbohong, karena Metta saat ini sedang tidak baik-baik saja pasca ditato paksa oleh Steven dan satu lagi orang yang tak kukenal itu. Tapi karena Metta sudah memintaku merahasiakannya, aku pun tak bilang apa-apa pada Erik.


"Aku nggak tanya soal Metta, koq. I'm asking you, are you okay?"

"I-Iya, I'm okay."

"Nggak ada masalah apa-apa, kan?"

"Enggak, nggak ada masalah koq."

"Syukur deh, kalau semua baik-baik saja."



Aku bimbang sebentar, kemudian memantapkan diri untuk mengatakan sesuatu.


"Listen, aku mau minta maaf soal semuanya, Rik. Aku kayaknya nyadar mungkin aku jadi sering ketus sama kamu..."

"Hey, none taken, tenang saja. Justru aku yang minta maaf soal tempo hari karena udah..."

"Yeah, it takes two to Tango, jadi ya, bukan cuman kamu aja yang salah, tapi aku juga."

"So, are we good?"

"Yeah, water under the bridge now..."



Kudengar Erik menghembuskan nafas lega.


"Aku kangen kita bisa kayak dulu lagi, Rin..."

"Kamu tahu kalau itu mustahil kan, Rik?"

"I know, but at least as a friend..."

"Yeah, as a friend boleh juga, tapi kita harus mengatur beberapa hal buat ini..."

"Aku tahu..."



Kami terdiam. Tak ada kata-kata yang terucap, baik olehku atau Erik. Aura kecanggungan masih menggelayut di antara kami, meski hanya lewat telepon. Namun setidaknya, ini sebuah awal...


"Oh ya, kayaknya bentar lagi gate-nya dibuka, kamu lagi apa nih, btw?"

"Aku... Err... Aku lagi di mall, Rik, belanja, kebetulan lagi ada diskon."



Aku kembali berbohong. Aku bahkan tak berani bilang ke Erik bahwa aku akan berkencan.


"Oh, oke, kalau ada yang bagus nitip ya, nanti aku ganti duitnya."

"Oke, nggak masalah. So, safe flight?"

"Yes, kita ketemu di Jakarta, ya?"

"Iya, sampai ketemu di Jakarta."

"See you, selamat belanja!"



Aku hanya berdehem kemudian menutup telfonnya. Ahhh, damn! Aku menghembuskan nafas panjang dan rasanya seperti amat sesak di dada. Aku mengalami hyperventilating sejenak, sebelum akhirnya aku diam dan menenangkan diri. Tak sadar, beberapa air mata pun menetes dari pipiku. Gosh! Why does this felt so wrong?? Namun aku tak sempat untuk berkontemplasi, karena aku bisa melihat dari jauh, teman kencanku sudah berjalan ke arahku. Buru-buru aku mengambil tisu dan mengelap semua air mata, lalu berpura-pura memperbaiki bedakku. Orang itu semakin mendekat, dengan wajahnya yang ramah dan senyumnya yang kebapakan, yang selalu membuatku nyaman meskipun usianya jauh lebih tua. Ya, orang itu adalah Direktur Kim Young-chul.


"Rini-ssi, saya sudah check in kamarnya. Kita langsung ke atas?"

"Ne, Jungmoo-nim, langsung saja."

"Ini sudah di luar kantor, jangan panggil 'jungmoo' dong."

"Oh, maaf... Bagaimana kalau... 'oppa'?"

"Hmm, oppa boleh juga. Ya, membuat saya merasa lebih muda, hahaha."



Aku ikut tertawa, meski senyum yang kuberikan ini jujur adalah palsu. Aku masih belum bisa menerima sepenuhnya Direktur Kim dalam hatiku, namun sebagaimana kata Anin, sebaiknya aku mencobanya.


"Ayo kita naik."

"Ne, Oppa, mari..."



Kami pun lalu berjalan ke arah lift. Aku masih memperhatikan di luar saat lift itu tertutup. Here goes, Rin, mulai dari sekarang, tak bisa mundur lagi...


Next >>> Affair
 
Setelah sekian purnama.
Suhu kembali lagi . Thanks untuk update nya.
Mantap
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd